Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Pertumbuhan

2.1.1 Pengertian Secara Etimologis

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pertumbuhan berasal dari kata

tumbuh yang berarti tambah besar atau sempurna.

2.1.2 Pengertian Secara Termitologis

Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari

proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal

pada anak yang sehat dalam perjalanan waktu tertentu. (Jurnal

Pertumbuhan dan Perkembangan, ISSN: 2104-1994 Volume: 7, Nomor 1,

Mei 2013 )

2.2 Pengertian Perkembangan

2.2.1 Pengertian Secara Etimologis

Perkembangan berasal dari kata kembang menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia kembang berarti maju, menjadi lebih baik.


2.2.2 Pengertian Secara Termitologis

Perkembangan adalah proses kualitatif yang mengacu pada

penyempurnaan fungsi sosial dan psikologis dalam diri seseorang dan

berlangsung sepanjang hidup (Jurnal Pertumbuhan dan Perkembangan,

ISSN: 2104-1994 Volume: 7, Nomor 1, Mei 2013 )

2.3 Ciri- Ciri Pertumbuhan Dan Perkembangan

Pada umumya proses tumbuh kembang anak berlangsung secara

teratur, berkesinambungan serta saling berkaitan. Secara a. a. umum ciri-

ciri tumbuh kembang anak balita adalah sebagai berikut:

a. Tumbuh kembang anak usia balita 1-2 tahun

– Memiliki kemampuan menggerak-gerakkan kepala

– Memiliki kemampuan mengangkat kepala

– Bisa mengeluarkan kata-kata ocehan

– Sering tertawa dengan keras

– Mampu menatap dan melihat wajah orang tua dengan

baik

– Mampu merespon ketika di ajak berbicara dengan

senyuman

– Mampu mengenali keberadaan ibu dengan indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, serta kontak fisik.

2.3.1 Ciri-ciri tumbuh kembang anak usia 1 tahun


Dengan bertambahnya umur seseorang akan berpengaruh terhadap

proses tumbuh kembang sang anak itu sendiri. Ciri-ciri yang bisa

dilihat terkait dengan tumbuh kembang anak 1 tahun adalah:

a. Sudah bisa memanggil nama ayah dan juga

nama ibu

b. Dapat menunjukkan mengenai apa yang dia inginkan

tanpa menangis atau merengek. Biasanya anak bias

mengeluarkan suara yang menarik, bahkan juga bisa

menarik tanga ibunya.

c. Bisa membungkuk untuk sekedar mengambil

mainan,kemudian berdiri kembali

d. Anak mampu berdiri sendiri selama beberapa detik

meskipun tanpa berpegangan

e. Mampu melakukan tepuk tangan serta melambaikan

tangan

2.3.2 Ciri-ciri tumbuh kembang anak usia 2 tahun

Adapun ciri-ciri dari tumbuh kembang anak usia 2 tahun adalah

sebagai berikut

a. Anak mampu melihat gambar-gambar serta mampu menyebutkan

nama beberapa benda sekaligus

b. Mampu makan sendiri tanpa menumpahkan makanannya


c. Mampu memakai dan membuka baju sendiri

d. Mampu mencoret-coret pensil pada kertas

Tumbuh kembang anak Bisa dinilai dengan adanya pertambahan

pada tinggi badan serta pertambahan berat badan anak itu sendiri.

Selain itu sebelum anak berusia 2 tahun penilaian terhadap tumbuh

kembang anak bisa dilakukan dengan mengukur lingkar kepala yang

kemudian dibandingkan dengan usia sang anak.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses tumbuh kembang

anak adalah faktor hedro konstitusional (ras, genetic, jenis kelamin),

faktor hormonal (insulin, tiroid), serta faktor lingkungan selama dan

setelah kelahiran.

2.2 Prinsip Pertumbuhan dan Perkembangan

Menurut Santrock (2011), Perkembangan dan pertumbuhan mengikuti

prinsip cephalocaudal dan proximodistal. Prinsi pcephalocaudal

merupakan rangkaian dimana pertumbuhan yang tercepat selalu terjadi

diatas, yaitu di kepala. Pertumbuhan fisik dan ukuran secara bertahap

bekerja dari atas kebawah, perkembangan sensorik dan motorik juga

berkembang menuru tprinsip ini, contohnya bayi biasanya menggunakan

tubuh bagian atas sebelum meraka menggunakan tubuh bagian bawahnya.

Prinsi pproximodistal (dari dalam keluar) yaitu pertumbuhan dan


perkembangan bergerak dari tubuh bagian dalam keluar. Anak-anak belajar

mengembangkan kemampuan tangan dan kaki bagian atas ( yang lebih

dekat dengan bagian tengah tubuh) abru kemudian bagian yang lebih jauh,

dilanjutkan dengan kemampuan menggunakan telapak tangan dan kaki dan

akhirnya jari-jari tangan dan kaki (Jurnal Pertumbuhan dan Perkembangan,

ISSN: 2104-1994 Volume: 7, Nomor 1, Mei 2013 ) ( Papalia, dkk, 2010,

hlm 170).

2.3 Tahapan – tahapan pertumbuhan dan perkembangan

Perkembangan anak merupakan sesuatu yang penting untuk diikuti.

Perkembangan anak meliputi banyak aspek mulai dari perkembangan fisik

(berat dan tinggi badan), perkembangan mental, hingga memiliki

kemampuan baru di setiap tahapan usia. Sifat perkembangan anak adalah

bertahap serta berurutan, dan perkembangan sebelumnya menjadi dasar bagi

selanjutnya. (Jurnal Pertumbuhan dan Perkembangan, ISSN: 2104-1994

Volume: 7, Nomor 1, Mei 2013 )

Proses perkembangan ini penting bagi anak terutama untuk usia 0-5

tahun, karena apabila ada keterlambatan atau kelainan pada perkembangan

anak akan berdampak buruk bagi masa depan anak. Maka dari itu perlu

mengetahui tahap-tahap perkembangan anak. Cara memantaunya tidak hanya

mengukur tinggi badan atau berat badan, tetapi juga memantau kemampuan

motorik, bahasa, serta emosi anak.


Selengkapnya dapat disimak pada ulasan mengenai tahap-tahap

perkembangan anak hingga usia 5 tahun di bawah ini.

a. Usia 3-4 bulan

Pada usia ini, umumnya anak akan mulai mengamati wajah orang dan

mengikuti pergerakan benda-benda. Anak juga sudah mulai mengenali orang

dan benda yang familiar, tersenyum kepada orang lain, bermain bersama

orang lain, meniru gerakan dan ekspresi wajah, menoleh ke arah sumber

bunyi, serta mulai mengeluarkan suara ocehan.

b. Usia 6-7 bulan

Di usia 6-7 bulan, anak akan sudah mulai dapat merespons emosi orang

lain dan senang bermain bersama pengasuhnya. Saat dipanggil dengan

namanya, anak juga sudah dapat memberikan tanggapan. Selain itu, pada

usia ini, umumnya anak mulai menunjukkan rasa penasaran dengan

mengamati lingkungan sekitar, berusaha mengambil barang-barang yang

diletakkan agak jauh, atau memasukkan benda-benda ke mulut. Secara

emosi, anak sudah dapat menunjukkan perasaannya (senang atau tidak)

dengan mengeluarkan suara-suara yang khas.

c. Usia 1 tahun

Pada ulang tahun pertamanya, anak umumnya sudah dapat

mengucapkan kata tunggal seperti mama atau papa. Anak juga senang

meniru kata-kata orang lain, merasa malu atau takut dengan orang asing,

menangis apabila ditinggal oleh orangtua dan pengasuh, serta sudah dapat
menunjuk benda-benda. Jika diminta untuk melakukan hal-hal sederhana,

seperti mengambil mainan, anak sudah dapat melakukannya dengan benar.

Jika nama sebuah benda disebut, anak sudah dapat menunjuk atau melihat ke

arah benda yang dimaksud.

d. Usia 2 tahun

Anak berusia 2 tahun senang meniru aktivitas dan tindakan orang lain.

Ia juga mulai senang bermain bersama dengan teman sebayanya.

Perbendaharaan kata semakin bertambah dan sudah mulai dapat merangkai

2-4 kata untuk membentuk sebuah kalimat. Anak pada usia ini juga sudah

dapat menyusun benda sesuai bentuk dan warna, mengetahui nama atau

panggilan orang dan benda di sekitarnya, serta sudah dapat menjalankan

perintah sederhana dengan tepat.

e. Usia 3 tahun

Di usia 3 tahun, anak sudah dapat menunjukkan rasa sayang dan

perhatian terhadap orang di sekitarnya. Anak juga sudah memiliki banyak

emosi yang bervariasi, dapat berpakaian sendiri, dapat menyebutkan nama-

nama benda-benda di sekitarnya, dapat diajak bercakap-cakap dan

memahami isi percakapan dengan cukup baik, serta mulai memahami konsep

jumlah.

f. Usia 4 tahun
Menginjak usia 4 tahun, anak sudah dapat bekerjasama dengan teman

dan lebih senang bermain bersama teman dibandingkan dengan bermain

sendiri. Anak juga sudah dapat mengucapkan kalimat panjang, berbicara

dengan jelas, memahami konsep sama/berbeda, dapat berhitung, senang

berimajinasi, serta mulai dapat menyanyikan lagu-lagu yang dikenalnya.

g. Usia 5 tahun

Pada usia ini, anak mulai ingin seperti temannya dan menjadi lebih

mandiri. Anak juga mulai suka menyanyi, menari, dan berakting. Saat

berbicara, tutur katanya sudah jelas dengan kalimat yang panjang dan

berstruktur. Anak juga sudah dapat menulis angka dan huruf serta

menggambar bentuk-bentuk geometri.

Itulah tahap-tahap perkembangan anak usia 0-5 tahun. Perlu diingat

bahwa perkembangan anak tidaklah sama, perbedaan tersebut dapat

disebabkan oleh berbagai faktor. Jadi, tahap diatas merupakan dasar

perkembangan anak pada umumnya. (Jurnal Pertumbuhan dan

Perkembangan, ISSN: 2104-1994 Volume: 7, Nomor 1, Mei 2013 )

2.3.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan

Ada beberapa faktor yang dapat mempengeruhi perkembangan anak

antara lain :

2.3.1 Faktor Genetik


Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir

proses tumbuh kembang anak. Yang termasuk dalam faktor genetik

adalahberbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin,

suku bangsa atau bangsa. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat

berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil

akhir yang optimal. ( Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015

2.3.2 Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukantercapai

atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang baik akan

memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang

baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan

“biofisikososial psikososial” yang mempengaruhi individu, mulai dari

konsepsi sampai akhir hayatnya.

Yang termasuk dalam faktor ini antara lain, lingkungan biologis

(suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan,

penyakit, dan fungsi tubuh), lingkungan fisik (cuaca, sanitasi,

keadaan rumah, dan radiasi), faktor psikososial (stimulasi, motivasi

belajar, hukuman/ganjaran, kelompok sebaya, stres, sekolah,

cinta/kasih sayang, dan kualitas interaksi), dan faktor keluarga

(pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, jumlah saudara, jenis

kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian orang


tua, adat istiadat, agama, urbanisasi, dan kehidupan politik keluarga)

(Soetjiningsih, 2006). ( Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02,

Desember 2015 )

2.4 Deteksi Dini Dan penyimpangan perkembangan anak menggunakan

Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP).

Tujuan deteksi/skrining ini untuk mengetahui apakah perkembangan

anak normal atau tidak. Jadwal skrining KPSP rutin dilakukan pada saat

umur anak mencapai 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66

dan 72 bulan. Apabila anak mempunyai masalah tumbuh kembang pada

usia anak diluar jadwal skrining, maka gunakan KPSP untuk usia skrining

terdekat yang lebih muda.

Alat yang dipakai adalah Formulir KPSP menurut kelompok umur.

Formulir KPSP berisi 9-10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan

yang telah dicapai anak, petugas memeriksa/menanyakan kepada orang

tua dan anak. Formulir KPSP tersedia untuk setiap kelompok umur anak

dari 3 bulan hingga 72 bulan. Interpretasi hasil KPSP dapat dinilai dengan

cara:

a. Bila jawaban "Ya" mencapai 9-10 berarti

perkembangan anak SESUAI dengan tahap perkembangannya.

b. Bila jawaban "Ya" berjumlah 7-8 berarti

perkembangan anak MERAGUKAN


c. Bila jawaban "Ya" berjumlah 6 atau kurang berarti

kemungkinan ada penyimpangan perkembangan anak (Depkes RI,

2006 ). ( Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

2.5 Stimulasi Perkembangan Dan Pertumbuhan

Stimulasi tumbuh kembang pada anak balita merupakan kegiatan

merangsang kemampuan dasar anak agar anak tumbuh kembang secara

optimal. Setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan

terus menerus pada setiap kesempatan. Stimulasi tumbuh kembang anak

dilakukan oleh orang tua, yang merupakan orang terdekat dengan anak,

pengganti ibu atau pengasuh anak, anggota keluarga lain dan orang dewasa

lainnya. Kurangnya stimulasi dapat menyebabkan penyimpangan tumbuh

kembang anak bahkan gangguan yang menetap. Kemampuan dasar anak

yang dirangsang dengan stimulasi terarah adalah kemampuan gerak kasar,

kemampuan gerak motorik halus, kemampuan bicara dan bahasa serta

kemampuan sosialisasi dan kemandirian (Aziz, 2008). Jurnal Kebidanan,

Vol. VII, No. 02, Desember 2015

2.5.1 Beberapa fungsi stimulasi diantaranya:

a. Membantu perkembangan sensorik dan motorik

Fungsi stimulasi dapat dikembangkan dengan melakukan rangsangan

pada sensorik dan motoric, melalui rangsangan ini aktifitas anak dapat

mengeksplorasi alam disekitarnya.Sebagai contoh, bayi dapat dilakukan


dengan rangsangan taktil, audio dan visual. Hal tersebut dapat

dicontohkan, apabila sejak lahir anak yang telah dikenalkan atau

dirangsang visualnya, maka dikemudian hari kemampuan visual anak

akan lebih menonjol, misalnya lebih cepat mengenal sesuatu yang baru

dilihatnya, demikian juga dengan pendengaran.

Pada perkembangan motoric apabila sejak bayi kemampuan motoric

sudah dilakukan rangsangan maka kemampuan motoric akan cepat

berkembang disbanding dengan tanpa stimulasi. Seperti rangsangan

kemempuan menggenggam dan kemampuan ini akan memberikan dasar

dalam perkembangan motoric selanjutnnya. Rangsangan atau stimulasi

yang dimaksud dapat diberikan melalui suatu permainan. ( Jurnal

Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

b. Membantu perkembangan kognitif

Anak akan mencoba melakkan komunikasi dengan bahasa anak, mampu

memahami objek permainan, seperti dunia tempat tinggal, mampu

membedakan khayalan dan kenyataan, mampu belajar warna, memahami

bentuk, ukuran, dan berbagai manfaat benda. ( Jurnal Kebidanan, Vol.

VII, No. 02, Desember 2015 )

c. Meningkatkan kemampuan sosialisasi anak

Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, misalkan pada saat

anak akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran orang lain dan

merasakan adanya teman yang dunianya sama. ( Jurnal Kebidanan, Vol.

VII, No. 02, Desember 2015 )


d. Meningkatkan kreatifitas

Anak mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan

mampu memodifikasi objek yang digunakan dalam permainan, sehingga

anak akan lebih kreatif, seperti mainan bongkar pasang mobil-mobilan. (

Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

e. Meningkatkan kesadaran diri

Stimulasi dapat memberikan kemampuan untuk mengeksplorasi tubuh

da merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang merupakan bagian

dari individu yang saling berhubungan, anak mau belajar mengatur

perilaku, serta membandingkan dengan perilaku orang lain. ( Jurnal

Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

f. Mempunyai nilai terapeutik

Dengan stimulasi melalui bermain menjadikan anak lebih senang dan

nyaman sehingga adanya stress dan ketegangan dapat dihindari,

menginggat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya.

(Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

g. Mempunyai nilai moral pada anak

Dengan stimulasi bermain dapat memberikan nilai moral tersendiri, hal

ini dapat dijumpai ketika anak sudah mampu belajar benar atau salah

dari budaya dirumah, disekolah, dan ketika berinteraksi dengan

temannya.Disamping itu ada beberapa permainan yang memiliki aturan


– aturan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilanggar.(Alimul H,

2009) ( Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

2.5.2 Jenis – jenis Stimulasi Permainan

1. Jenis Stimulasi Permainan Berdasarkan Sifat

a. Bermain afektif social

Sifat dari permainan ini adalah orang lain yang berperan aktif dan

anak hanya merespon terhadap stimulasi. Missal dengan cara orang tua

memeluk anaknya sambil berbicara, bersenandung, kemudian anak

memeberi respon tersenyum, tertawa, gembira, dll.

b. Bermain bersenang – senang

Sifat dari permainan ini adalah bergantung pada stimulsi yang

diberikan pada anak tanpa adanya kehadiran orang lain, misanya

bermain boneka, binatang – binatangan, dll.

c. Bermain ketrampilan

Bermain ketrampilan dilakukan dengan menggunakan objek yang

dapat meatih kemampuan ketrampilan anak yang diharapkan mamapu

untuk berkreasi dan trampil dalam segala hal.Permainan ini bersifat

aktif, dimana anak selalu ingin mencoba kemampuan dalam ketrampilan

tertentu, misalnya bermain bongkar pasang gambar, latihan memakai

baju dll.

d. Bermain drama
Model permainan ini dapat dilakukan anak dengan mencoba

berpura – pura dalam berperilaku, misalnya anak berpura – pura menjadi

oran dewasa, seorang ibu atau guru dalam kehidupan sehari – hari. Sifat

dari permainan ini adalah anak dituntut aktif dalam memerankan

sesuatu.Bermain drama ini dapat dilakukat apabila anak sudah mampu

berkomunikasi dan mengenal kehidupan social.

e. Bermainmenyelidiki

Model permainan ini dilakukan dengan memberikan sentuhan

untuk berperan dalam menyelidiki sesuatu atau memeriksa alat

permainan, misalnya mengocok atau mengetahui isi suatu

benda.Permainan ini bersifat aktif pada anak dan dapat digunakan untuk

mengembangkan kemampuan kecerdasan pada anak. Sifat permainan

tersebut adalah harus sealu diberikan stimulasi dari orang lain agar

senantiasa dapat menambah kemampuan kecerdasan anak.

f. Bermain konstruksi

Model permainan ini bertujuan untuk menyusun suatu objek

permainan agar menjadi sebuah konstruksi yang benar, misalnya

bermain menyusun balok.

g. Bermain onlooker

Model bermain ini adalah dengan melihat apa yang dilakukan olah

anak lain yang sedang bermain, tetapi tidak ikut bermain. Permainan ini
bersifat pasif, namun anak akan mempunyai kesenangan atau kepuasan

sendiri dengan melihatnya.

h. Bermain soliter / Mandiri

Model bermain ini merupakan bermain yang dilakukan sendiri dan

hanya terpusat pada permainan tanpa memeperdulikan orang lain.

Permainan ini bersifat aktif dan bentuk stimulasi tambahan kurang,

namun dapat membantu untuk menciptakan kemandirian pada anak.

i. Bermain Paralel

Model bermain ini adalah bermain sendiri ditengah – tengah anak

lain yang sedang melakukan permainan yang berbeda atau tidak ikut

bergabung dalam permainan. Permainan ini bersifat aktif secara mandiri,

tetapi masih dalam satu kelompok, dengan harapan kemampuan anak

dalam menyelasaikan tugas mandiri dalam kelompok tersebut terlatih

dengan baik.

j. Bermain Asosiatif

Merupakan bermain bersama dengan tidak terikat pada aturan yang

ada, semua bermain dengan tidak memperdulikan teman yang lain dalam

sebuah aturan main.

k. Bermain Kooperatif

Bermain kooperatif merupakan bermain bersama – sama dengan

adanya aturan yang jelas, sehingga terbentuk perasaan kebersamaan dan

terbentuk hubungan antara pemimpin dan pengikut.

2.6 Jenis Stimulasi Permainan Berdasarkan Kelompok Usia


Penggunaan alat permainan pada anak tidak selalu sama dalam setiap

usia tumbuh kembang, hal ini karena setiap tahap usia tumbuh kembang

anak selalu mempunyai tugas – tugas perkembangna yang berbeda sehingga

dalam penggunaan alat selalu memperhatikan tugas masing – masing usia

tumbuh kembang.

a. Usia 0 – 1 Tahun

Pada usia ini perkembangan anak mulai dapat dilatih dengan adanya reflex :

melatih kerjasama antara mata dan tangan atau mata dengan telinga dalam

berkoordinasi, mencari objek yang ada tetapi tidak kelihatan, serta melatih

sal suara, kepekaan perabaan, dan ketrampilan dengan gerakan yang

berulang.

Jenis permainan yang dianjurkan pada usia ini antara lain benda

(permainan) yan aman sehingga dapat dimasukkan kemulut, misaknya

gambar bentuk muka, boneka orang dan binatang, alat permainan yang

dapat digoyang, alat permainan yang berupa selimut, boneka, dll.

b. Usia 1 – 2 Tahun

Jenis permainan pada usia ini pada dasarnya bertujuan untuk melatih anak

untuk melakukan gerakan mendorong atau menarik, melatih melakukan

imajinasi, melatih anak melakukan kegiatan sehari – hari, serta

memperkenalkan beberapa bunyi dan mampu membedakanya. Jenis

permainan ini menggunakan semua alat permainan yang dapat didorong

dan ditarik, misalnya alat rumah tangga, balok – balok, buku gambar,

kertas, pensil warna, dll.


c. Usia 2 – 3 Tahun

Pada usia ini anak dianjurkan untuk bermain dengan tujuan menyalurkan

perasaan atau emosi anak, mengembangkan ketrampilan berbahasa, melatih

motoric kasar dan halus, mengembangkan kecerdasan, melatih daya

imajinasi, serta melatih kemampuan membedakan, permukaan dan warna

benda.

Adapun alat permainan pada usia ini yang dapat digunakan antara lain

peralatan menggambar, puzzle sederhana, manik –manik ukuran besar,

serta berbagia benda yang mempunyai permukaan dan warna yang berbeda

– beda.

d. Usia 3 – 6 Tahun

Pada usia ini anak sudah mulai mampu mengembangkan kreatifitas dan

sosialisasinya, sehingga diperlukan permainan yang dapat mengembangan

kemampuan menyamakan dan membedakan, kemampuan berbahasa,

mengembangkan kecerdasan, menumbuhkan sportivitas, mengembangkan

koordinasi motoric, mengembangkan dalam mengontrol emosi, motoric

kasar dan halus, memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu

pengetahuan, serta memperkenalkan suasana kompetisi dan gotong

royong.(Alimul H, 2009) ( Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember

2015 )

2.7 Kemampuan yang Dicapai Batita Usia 1-3 Tahun


2.7.1 Kemampuan Motorik Kasar antara lain :

a. Berjalan tanpa berpegangan sambil menarik mainan yang bersuara.

b. Berjalan mundur.

c. Berjalan naik turun tangga.

d. Berjalan sambil berjinjit.

e. Bermain di luar rumah.

f. Menendang bola.

g. Melompat, dapat melati keseimbangan tubuh.

h. Mendorong mainan dengan kaki.

i. Melempar dan menangkap bola.

2.7.2 Kemampuan Motorik Halus

1. Bermain dan menyusun balok.

2. Memasukkan dan mengeluarkan benda ke

3. suatu wadah.

4. Memasukkan benda satu ke benda lain.

5. Meniup.

6. Membuat untaian.

7. Mengenal dan menggambar bentuk.

8. Bermain puzzle.

9. Membuat berbagai bentuk dari lilin mainan.

10. Mencocokkan gambar dan benda.


2.7.3 Kemampuan Bicara dan Bahasa

a. Anak usia 12-15 bulan memiliki kemampuan bicara dan bahasa antara

lain, membuat suaradari barang yang dipilihnya, menyebutkan nama

bagian tubuh, dan melakukan pembicaraan.

b. Anak usia 15-18 bulan memiliki kemampuan antara lain, bercerita

tentang gambar di buku atau majalah, bermain telepon-teleponan, dan

menyebut berbagai nama barang.

c. Anak usia 18-24 bulan memiliki kemampuan antara lain, melihat acara

televisi, mengerjakan perintah sederhana, dan bercerita tentang apa

yang dilihatnya.

d. Anak usia 24-36 bulan memiliki kemampuan antara lain, menyebutkan

nama lengkap, bercerita tentang dirinya, menyebut berbagai jenis

pakaian, dan menyatakan keadaan suatu benda.

2.7.4 Kemampuan Bersosialisasi dan Kemandirian

1) Anak usia 12-15 bulan : Dapat menirukan pekerjaan rumah tangga,

melepas pakaian sendiri, makan sendiri, dan merawat mainan.

2) Anak usia 15-18 bulan : Mulai belajar memeluk dan mencium,

membereskan mainan dan membantu kegiatan rumah, bermain dengan

teman sebaya, dan bermain petak umpet.

3) Anak usia 18-24 bulan : Anak dapat mengancingkan kancing baju,

bermain dengan interaksi teman, membuat rumah-rumahan, dan

berpakaian sendiri.
4) Anak usia 24-36 bulan : Anak berlatih buang air kecil dan buang air

besar di WC atau kamar mandi, berdandan dan memilih pakaian

sendiri, dan mampu berpakaian sendiri (Depkes RI, 2006). ( Jurnal

Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

2.8 Cara Kerja Pemerintah Mengenai SDITK

Data untuk analisis diambil dari data Riset Kesehatan Dasar yang

merupakan survei nasional yang meliputi survei dari seluruh provinsi di

Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2013).

Riset yang dilaksanakan pada tahun 2013 ini merupakan Riset yang

ketiga kali dilaksanakan setelah sebelumnya dilaksanakan pada tahun 2007

dan 2010 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI.

Disain riset ini adalah potong lintang, mengumpulkan berbagai

variabel kesehatan melalui teknik wawancara, observasi dan termasuk

diantaranya adalah pengukuran antropometri. Secara keseluruhan, terdapat

25.107 anak usia 3-5 tahun dari seluruh provinsi di Indonesia yang

memiliki data yang lengkap. Usia 3-5 tahun dipilih dengan pertimbangan

bahwa efek terjadinya kependekan pada anak barn dapat mulai terjadi

paling cepat pada usia 3 tahun. Variabel terikat dalam analisis ini adalah

status gizi gemuk anak sementara variabel bebas adalah status gizi pendek

anak.
Variabel confounding meliputi karakteristik anak (jenis kelamin,

umur), karakteristik orang tua (status gizi ayah dan ibu, pendidikan ayah

dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu) serta karakteristik sosio demografi

(desa/kota), tinggal di daerah kumuh atau tidak dan status ekonomi rumah

tangga yang diperoleh dari pengeluaran rumah tangga per kapita (kuintil).

Infeksi (malaria) juga masuk Resiko terjadinya kegemukan pada anak

dalam variabel confounding karena factor infeksi juga dapat mempengaruhi

pertumbuhan anak. Data cleaning dilakukan dengan menghapuskan data

yang tidak lengkap. Untuk antropometri dilakukan pada data yang berada di

luar nilai normal (pencilan). Status gizi anak diukur dengan menggunakan

nilai z skor yang didapatkan dari standar World Health Organization

(WHO) 2006. Anak dikategorikan pendek bila nilai z skor TB/U < -2 SD.

Sedangkan anak dikategorikan gemuk bila nilai z skor BB/TB > 2 SD

(WHO, 2008).

Status gizi orangtua diukur dengan menggunakan standar

antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT). Orangtua dikategorikan kurus :

IMT < 18.5 kg/m2, normal : IMT > 18.5 - < 25 kg/m2, gemuk : IMT > 25

kg/m2. Pendidikan orangtua dikategorikan menjadi tidak sekolah,

pendidikan rendah, Pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Pendidikan tidak sekolah adalah apabila ayah atau ibu sama sekali tidak

pernah mendapatkan pendidikan formal. Pendidikan rendah didefinisikan

apabila ayah atau ibu mendapatkan pendidikan formal namun tidak tamat

SMA/SMK dan sederajat. Pendidikan menengah yaitu apabila ayah atau ibu
mendapatkan pendidikan formal sampai tamat SMA/SMK dan

sederajatnya. ( Jurnal Sari Pediatri, Vol. 10, No. 1, Juni 2008 )

Sedangkan pendidikan tinggi yaitu bila ayah atau ibu mendapatkan

pendidikan formal sampai dengan tamat Dl/D3/D4/S1. Uji statistik secara

deskriptif dianalisa dengan menggunakan STATA terhadap sampel yang

telah dilakukan pembobotan mengingat sampel adalah data survei nasional.

Analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik digunakan

untuk mencari hubungan antara status pendek anak dengan status

kegemukan pada anak. Regresi logistik digunakan karena outcome yang

akan dianalisis berbentuk kategori (dichotomous outcome). Persetujuan etik

dari Riset Kesehatan Dasar didapatkan dari Komisi Etik Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan.

2.9 Hasil Cara Kerja Pemerintah Mengenai SDITK

Berdasarkan hasil analisis pada table 1 dapat diketahui bahwa

proporsi anak berusia 48-59 bulan dalam analisis ini lebih besar daripada

anak usia 36-47 bulan. Jenis kelamin anak laki-laki sedikit lebih besar

proporsinya dibandingkan dengan anak perempuan.

Hasil juga menunjukkan bahwa sebesar 9,9% anak masuk dalam

kategori gemuk dan 34,6% tergolong pendek menurut usianya. Hampir

seluruh responden tidak pernah memiliki riwayat malaria. Proporsi

responden yang tinggal di pedesaan dan di perkotaan juga berimbang.

Sembilan belas persen anak tinggal di daerah kumuh. Proporsi terbesar


responden berada di kuintil status ekonomi ke 4. Lebih dari separuh ayah

dan ibu responden memiliki Pendidikan rendah. Lebih dari 40% ibu

responden adalah ibu bekerja. Ayah responden hamper seluruhnya bekerja.

Status gizi ayah dan ibu responden yang terbanyak adalah normal.

Sementara itu proporsi ayah dan ibu yang gemuk lebih tinggi daripada ayah

dan ibu yang kurus.

Hasil analisis (Tabel 2) menunjukkan bahwa berdasarkan usia, anak

berusia 48-59 bulan sedikit lebih banyak yang mengalami kegemukan

dibandingkan dengan usia 36-47 bulan. Pada dua kelompok umur ini

proporsi anak yang pendek relatif sama. ( Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14

No 3, September 2015 )

Tabel 1. Karakteristik responden

Indikator Frekuensi

n %

Umur (bulan)

36 - 47 11.994 47,8

48 - 59 13.113 52,2

Jenis kelamin

Laki-laki 12.820 51,0

Perempuan 12.287 49,0

Status Gizi

Berdasarkan BB/TB
Gemuk 2.306 9,9

Normal 19.309 76,8

Kurus 3.492 13,3

Status Gizi

Berdasarkan TB/U

Normal 16.141 65,4

Pendek 8.966 34,6

Riwayat malaria

Tidak Pernah 24.502 99,0

Pernah 605 1,0

Kategori tempat

tinggal

Pedesaan 11.194 55,4

Perkotaan 13.913 44,6

Tinggal di daerah

kumuh

Ya 4.282 19,6

Tidak 20.825 80,4

Status ekonomi

rumah tangga

Kuintil 1 4.943 14,6

Kuintil 2 4.703 18,2

Kuintil 3 4.736 21,3


Kuintil 4 5.307 24,9

Kuintil 5 5.418 20,9

Pendidikan ibu

Rendah 15.765 62,8

Menengah 6.963 27,7

Tinggi 2.379 9,5

Pendidikan ayah

Rendah 14.777 58,9

Menengah 8.040 32

Tinggi 2.290 9,1

Pekerjaan ibu

Sekolah 111 0,4

Tidak bekerja 14.013 55,8

Bekerja 10.983 43,7

Pekerjaan ayah

Sekolah 105 0,4

Tidak bekerja 456 1,8

Bekerja 24.546 97,8

Status gizi ibu

Gemuk 9.470 37,7


Normal 14.048 55,9
Kurus 1.589 6,3
Status gizi ayah
Gemuk 5.699 22,7
Normal 17.440 69,5
Kurus 1.968 7,8

Proporsi anak laki-laki yang mengalami kegemukan sedikit lebih


banyak daripada anak perempuan, sebaliknya proporsi yang mengalami
kependekan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan.
Anak yang pernah mengalami malaria lebih banyak yang mengalami
kegemukan dan kependekan disbanding dengan anak yang tidak pernah
mengalami malaria.
Proporsi anak-anak yang tinggal di pedesaan sedikit lebih banyak
yang mengalami kegemukan daripada anak di perkotaan. Proporsi anak-
anak yang pendek di pedesaan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan
anak-anak di
perkotaan.
Proporsi anak yang mengalami kegemukan semakin besar sejalan
dengan peningkatan status ekonomi rumah tangga, dengan proporsi terbesar
anak-anak yang mengalami kegemukan berada di kuintil 5 dan proporsi
terkecil pada kuintil 1. Sebaliknya proporsi anak yang mengalami
kependekan semakin kecil dengan peningkatan status ekonomi rumah
tangga,
dengan proporsi terbanyak anak yang mengalami kependekan berada di
kuintil 1 dan proporsi terkecil berada pada kuintil 5.

Tabel 2. Proporsi status gizi gemuk dan pendek


Indikator Gemuk Pendek
N N
% %
Pekerjaan ibu
Sekolah 11 42
Tidak bekerja 12,6 34,7
Bekerja 1.218 4.941
9,6 34,4
1.077 3.983
10,3 34,8
Pekerjaan ayah
Sekolah 13 39
Tidak bekerja 14,6 37,2
Bekerja 31 149
6,4 28,5
2.262 8.778
9,9 34,7
Status gizi ibu
Gemuk 921 2.947
Normal 10,2 30,2
Kurus 1.280 5.339
9,8 36,6
105 680
8,4 41,8
Status gizi ayah
Gemuk 683 1.652
Normal 12,8 26,9
Kurus 1.527 6.476
9,4 36,3
96 838
6,3 40,2

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah


dan ibu semakin besar proporsi anak yang mengalami kegemukan,
sebaliknya semakin tinggi pendidikan ayah dan ibu semakin rendah
proporsi anak yang mengalami kependekan.
Hasil analisis menunjukkan ayah dan ibu yang sekolah memiliki anak
dengan proporsi kegemukan terbesar. Proporsi terbesar anak yang pendek
juga berasal dari ayah yang sekolah. Sementara itu proporsi anak yang
mengalami kependekan cenderung sama pada kategori pekerjaan ibu.
Proporsi anak yang gemuk paling besar terjadi pada ayah dan ibu yang
gemuk juga, dan terkecil pada ayah dan ibu yang kurus.
Di lain sisi proporsi anak yang pendek paling banyak terjadi pada
anak yang memiliki ayah dan ibu yang kurus. Tabel 3 menyajikan
pemodelan pendek sebagai resiko kegemukan pada anak. Pada model awal
seluruh variable dimasukkan ke dalam pemodelan tersebut.
Variabel-variabel tersebut sate persatu dikeluarkan dari model bila
memiliki p value > 0,05, artinya variabel tersebut bukan merupakan faktor
resiko kegemukan pada anak. Pada model akhir, didapatkan bahwa status
pendek anak merupakan resiko terjadinya kegemukan pada anak dengan
OR 2,54 (2,24-2,89) setelah di koreksi oleh faktor sosial ekonomi, jenis
kelamin anak, pendidikan ayah, dan status gizi ayah.

Tabel 3. Pemodelan pendek sebagai resiko kegemukan


pada anak
OR OR (95% CI) % Perubahan
Pemodelan (95% CI) Adjusted OR
Crude Variabel
Utama
Status pendek 2,57 (2,26- 0,06
anak, Kelompok 2,92)
umur anak,
Jenis kelamin
anak, Riwayat
malaria, Kategori
tempat tinggal,
Status sosial
ekonomi rumah
tangga,
Pendidikan ibu,
Pendidikan ayah,
Pekerjaan ibu,
Pekerjaan ayah,
Status gizi ibu,
Status gizi ayah,
Tinggal di daerah
kumuh
Status pendek 2,57 (2,26- 0,12
anak, Kelompok 2,92)
umur anak,
Jenis kelamin
anak, Riwayat
malaria*, Status
sosial ekonomi
rumah tangga,
Pendidikan ibu,
Pendidikan ayah,
Pekerjaan ibu,
Status gizi
ibu, Status gizi
ayah, Tinggal di
daerah kumuh
Status pendek 2,57 (2,26- 0,22
anak, Kelompok 2,92)
umur anak,
Jenis kelamin
anak, Status sosial
ekonomi
rumah tangga,
Pendidikan ibu,
Pendidikan
ayah, Pekerjaan
ibu*, Status gizi
ibu, Status
gizi ayah, Tinggal
di daerah kumuh
Status pendek 2,57 (2,26- 0,26
anak, Kelompok 2,92)
umur anak,
Jenis kelamin
anak, Status sosial
ekonomi
rumah tangga,
Pendidikan ibu,
Pendidikan
ayah, Status gizi
ibu, Status gizi
ayah, Tinggal
di daerah kumuh*
Status pendek 2,56 (2,25- 1,22
anak, Kelompok 2,91)
umur anak,
Jenis kelamin
anak, Status sosial
ekonomi
rumah tangga,
Pendidikan ibu,
Pendidikan
ayah, Status gizi
ibu*, Status gizi
ayah
Status pendek 2,56 (2,25- 1,43
anak, Kelompok 2,90)
umur anak*,
Jenis kelamin
anak, Status sosial
ekonomi
rumah tangga,
Pendidikan ibu,
Pendidikan
ayah, Status gizi
ayah
Status pendek 2,54 (2,24- 2,65
anak, Jenis 2,89)
kelamin anak,
Status sosial
ekonomi rumah
tangga,
Pendidikan ibu*,
Pendidikan ayah,
Status gizi ayah
MODEL AKHIR 2,54 (2,24-
Status pendek 2,89)
anak, Jenis
kelamin anak,
Status sosial
ekonomi rumah
tangga,
Pendidikan ayah,
Status gizi ayah

Hasil analisis ini menunjukkanbahwa malnutrisi masih menj adi

permasalahan pada anak balita di Indonesia. Malnutrisi yang terjadi di

negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah termasuk didalamnya

Indonesia meliputi terjadinya kekurangan gizi dan pada sisi yang lain

terjadi juga peningkatan masalah kegemukan dan obesitas pada anak.

(Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 3, September 2015)

Meningkatnya proporsi kegemukan pada anak balita merupakan

fenomena yang saat ini terjadi bukan hanya di negara-negara maju raja

(Black et. al, 2013). United Nations Children's Fund (UNICEF), WHO

World Bank menyebutkan bahwa peningkatan ini juga terjadi di semua

wilayah di dunia, sedangkan beban terhadap terjadinya kegemukan pada

anak balita terutama terjadi di Afrika, Asia dan negaranegara maju (United

Nations Children's Fund, World Healt Organization, The World Bank,

2012).

Studi gizi di Asia Tenggara, South East Asian Nutrition Survey

(SEANUTS) yang dilakukan di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam

menemukan bahwa masalah gizi ganda telah terjadi di negara-negara Asia

Tenggara. Kelebihan gizi pada anak terbesar terjadi di Malaysia (21,1%).

Proporsi ini masih jauh diatas Indonesia yaitu sebesar 8% (Tan-Khouw,

2014). Berdasarkan hasil Riskesdas terdapat kecenderungan terjadinya


peningkatan proporsi kegemukan pada balita (0-59 bulan) dari tahun 2007

sebesar 12,2% menjadi sebesar 14% pada tahun 2010. Proporsi ini menurun

pada tahun 2013 menjadi sebesar 11,9%. Walaupun terjadi penurunan,

proporsi kegemukan pada balita ini masih diatas target global yaitu proporsi

balita gemuk < 10% pada tahun 2025 (WHO, 2014).

Dualisme masalah gizi di negaranegara berkembang ditunjukkan

dengan masih tingginya proporsi stunting selain kecenderungan

peningkatan proporsi kegemukan pada balita. Analisis ini menunjukkan

bahwa proporsi balita usia 3-5 tahun yaitu sebesar 34,6%. Hal ini sejalan

dengan beberapa hasil studi di negara lain dan juga pernyataan dari WHO

yang menyatakan bahwa stunting terjadi pada satu dari tiga anak balita di

negara-negara berpendapatan rendah dan menengah (WHO, 2014, Dewey

& Begum, 2010, WHO, 2000 & De Onis M, Blossner , 2000). Di seluruh

region di dunia, proporsi stunting tertinggi terjadi di Afrika dan Asia.

Hasil SEANUTS menunjukkan, dari 4 negara di Asia Tenggara yang

menjadi lokasi penelitian, proporsi balita stunting di Indonesia adalah yang

tertinggi (34%) bahkan lebih tinggi daripada Vietnam yang memiliki

proporsi stunting pada anak balita sebesar 14% (Tan-Khouw, 2014 & Le

Nguyen et al, 2011). Stunting menjadi penting dan menjadi salah satu target

pencapaian 280 Millenium Development Goals (MDG' s) dikarenakan

konsekuensinya terhadap balita di masa mendatang. Kekurangan gizi kronis

ini merupakan kekurangan gizi yang sifatnya kumulatif dan merupakan

sebuah sindrom yang kompleks dimana dapat terjadi keterlambatan


perkembangan, gangguan fungsi kekebalan tubuh, rendahnya kognitif,

gangguan metabolisme yang menyebabkan akumulasi lemak tubuh,

hilangnya lean body mass dan peningkatan resiko hipertensi (WHO, 2014,

Dewey & Begum, 2010, Kementerian Kesehatan, 2013, Black et.al, 2013,

Branca & Ferari, 2002, Mendez & Adair, 1999 & Berkman, Lescano,

Gilman, Lopez, Black, 2002). Stunting menjadikan anak tidak dapat

mencapai potensi tinggi yang seharusnya bisa dicapai (WHO, 2014,

Kemenkes, 2013, Black et.al, 2013 & Dewey & Begum, 2010).

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa anak yang pendek di Indonesia

memiliki resiko 2,54 kali untuk menjadi gemuk dibandingkan dengan anak

dengan tinggi badan yang normal setelah dikoreksi oleh faktor sosial

ekonomi, jenis kelamin anak, pendidikan ayah, dan status gizi ayah. Hasil

ini sejalan dengan analisis hasil survey di negara-negara Arab yang

menemukan bahwa Risk Ratio (RR) terjadinya kegemukan pada anak

pendek bervariasi dengan kisaran mulai 2.14 di Djibouti sampai 3.85 di

Libya (El Taguri, Besmar, Abdel Monem, Betilmal, Ricour & Cachera,

2009). Analisis survei nasional pada tahun 1996 yang dilakukan di 4 negara

yang sedang mengalami transisi gizi yaitu di Brazil, Rusia, Republik Afrika

Selatan dan Cina juga mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara kependekan dan status kegemukan anak di seluruh negara

yang dianalisis, dimana Risk Ratio (RR) terjadinya kegemukan pada anak

pendek berkisar dari 1,7 sampai dengan 7,8 (Popkin, Richards & Montiero,

2011). Penjelasan yang lazim untuk terjadinya peningkatan berat badan


yang dihubungkan dengan kependekan yang terjadi di negara-negara

berkembang termasuk kurangnya aktifitas fisik dan peningkatan asupan

tinggi lemak. Namun berkembangnya ilmu pengetahuan sekarang ini

semakin memunculkan adanya peran Resiko terjadinya kegemukan pada

anak. (Nur HU dan Dwi Sisca 1(P) kekurangan gizi kronis yang terjadi di

awal-awal kehidupan (Branca & Ferrari, 2002).

Efek buruk dari kependekan dan kegemukan dapat dimulai dari dalam

Rahim dan mungkin akan terjadi terus setelah anak lahir Kedua

permasalahan gizi ini juga terkait dengan metode pemberian makan dan

penyapihan yang akan membentuk penerimaan pangan dan kebiasaan

makan di masa yang akan datang (Maffeis, 2000). Sejumlah penelitian telah

menunjukkan perubahan metabolik pada anak-anak yang mengalami

kekurangan gizi pada semua jaringan dan sistim tubuh (Sawaya & Roberts,

2003).

Perubahan ini menyangkut penghernatan energi serta upaya

mempertahankan laju metabolisme, sehingga hal ini bisa menyebabkan

anak yang pendek memiliki gangguan regulasi asupan makanan dan juga

memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap diet tinggi lemak (Zhang,

Proenca, Maffeik, Barone Leopold & Friedman, 1994). Energi dari

makanan ini lama kelamaan dapat meningkatkan timbunan lemak terutama

di bagian perut (Popkin, Richards & Montiero, 2011). ( Jurnal Ekologi

Kesehatan Vol. 14 No 3, September 2015 )


Studi-studi yang dilakukan pada tahun 1990an telah

menginformasikan bahwa memberi makan anak yang kekurangan gizi

relatif mudah, hal ini menyiratkan bahwa anak-anak ini kelaparan, mungkin

karena lemak tubuh mereka rendah sehingga telat memicu sinyal yang

mendorong rasa lapar (Zhang, Proenca, Maffeik, Barone, Leopold &

Friedman, 1994).

Sebuah studi lainnya juga menjelaskan bahwa peningkatan berat

badan pada bayi dan anak-anak yang mengalami pemulihan status gizi

sangat tinggi, biasanya 5-15 kali lebih besar dari rata-rata pada anak-anak

normal (Lampl, Veldhuis & Johnson, 1993). Pada anak yang sehat,

pertumbuhan dapat dilihat sebagai suatu even yang terjadi sebagai suatu

respon terhadap keseimbangan hormon pertumbuhan dan factor

pertumbuhan lainnya. Melalui kondisi metabolik tertentu, proporsi

pertumbuhan tulang dan otot yang tinggi terjadi dalam kaitannya dengan

penumpukan lemak.

Sebaliknya, ketika pertambahan berat badan atau pertumbuhan terjadi

tanpa adanya keseimbangan faktor pertumbuhan, hasilnya adalah proporsi

yang besar dari lemak dan proporsi yang kecil darijaringan tanpa lemak

(lean mass) yang akan membentuk komposisi jaringan barn pada orang

dewasa yang sudah tidak mengalami pertumbuhan ketika mereka

menambah berat badan (Saltzman & Roberts, 1995).

Kombinasi dari studi-studi ini dan juga berdasarkan hasil pengamatan

menghasilkan bahwa terjadinya peningkatan berat badan secara cepat yang


terjadi pada anak yang mengalami kekurangan gizi menyebabkan anak

tersebut menjadi lebih gemuk dan memiliki jaringan otot yang lebih sedikit

dibandingkan anak yang sehat dengan usia yang sama yang tidak pernah

mengalami kekurangan gizi. Hasil ini sejalan dengan informasi yang masih

terbatas pada saat ini. Belum ada bukti yang memadai bahwa pengurangan

massa otot (relatif terhadap pertumbuhan normal) dan peningkatan massa

lemak akan terus terjadi pada waktu yang lama mengikuti kekurangan gizi

(Sawaya & Roberts, 2003).

Sejalan dengan pertimbangan diatas, pada beberapa studi kohor yang

mengikuti anak pendek, terjadi peningkatan yang tajam untuk indikator

berat badan menurut tinggi badan tetapi tidak diikuti dengan peningkatan

tinggi badan menurut umur (Benefice, Gamier, Simondon, Malina, 2001 &

Sawaya, Grillo, Verreschi, Silva & Roberts, 1998).

Pada studi longitudinal lainnya yang mengikuti sekelompok anak

pendek dan tidak pendek selama dua tahun didapatkan bahwa terdapat

perbedaan metabolik antara dua grup tersebut, dimana anak pendek bila

dibandingkan dengan anak yang tidak pendek menunjukkan kerentanan

yang lebih akan terjadinya kenaikan berat badan menurut tinggi badannya

jika mengkonsumsi lemak yang tinggi, juga memiliki akumulasi lemak

yang lebih tinggi pada bagian perut yang ditunjukkan dengan besarnya rasio

panggul dan pinggul (Sawaya, Grillo, Verreschi, Silva & Roberts, 1998).

Besarnya kemungkinan anak pendek untuk menjadi gemuk bila

dibandingkan dengan anak yang memiliki tinggi badan normal menjadikan


anak yang pendek hams menghadapi beban masalah gizi ganda, mereka

akan cenderung menjadi pendek dan gemuk. Hal inilah juga yang hams 281

diwaspadai sebagai dampak lain kekurangan gizi. Analisis yang dilakukan

sebelumnya pada anak usia 0-23 bulan di Indonesia mendapatkan bahwa

sebesar 19,8% anak pendek gemuk (Utami, Putri & Christita, 2014).

Walaupun begitu Kemenkes, 2013, menyebutkan bahwa pada balita,

proporsi anak pendek gemuk di Indonesia memiliki kecenderungan yang

selalu menurun mulai dari 7,4% pada tahun 2007 menjadi 6,8% pada tahun

2013 (Kemenkes, 2013). ( Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 3,

September 2015 )

Selain hasil-hasil studi dan penelaahan epidemiologis yang

mendukung hasil analisis ini, pada beberapa analisis lain yang telah

dilakukan tidak ditemukan adanya hubungan antara pendek dan gemuk

(Duran, Caballero, de Onis, 2006). Hal ini mungkin disebabkan karena

kegemukan pada anak pendek tergantung pada ketersediaan energy ekstra

di anak yang telah mengalami pemrograman untuk menggunakan energy

lebih ekonomis. Pendek sendiri bukan merupakan penyebab langsung,

karena banyak anak-anak yang pendek namun tidak menjadi gemuk,

bahkan menjadi kurus (El Taguri, Besmar, Abdel Monem, Betilmal, Ricour

& Cachera, 2009).

Hasil analisis ini yang juga didukung oleh analisis-analisis

sebelumnya telah menemukan resiko yang lebih besar pada anak pendek

untuk menjadi gemuk yang kemungkinan disebabkan oleh adanya


perubahan metabolik pada saat anak mengalami kekurangan gizi. Untuk itu

perlu upaya pengentasan permasalahan gizi kurang pada anak dalam hal ini

pendek agar anak pendek tidak mengalami dampak permasalahan gizi

lainnya di usia mendatang. Selain itu basil analisis ini menekankan

perlunya studi longitudinal maupun intervensi untuk dapat lebih

menginvestigasi adanya hubungan antara stunting dan kegemukan pada

anak di Indonesia. (Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 3, September

2015)

2.10 Wewenang Bidan Dalam Pelayanan SDIDTK

Sesuai dengan peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia nomor

1464/MENKES/PERIX/2010 tentang registrasi dan praktik bidan pasar 11

ayat 2 tentang kewenangan bidan dalam pelayanan ibu dan anak khususnya

pelayanan kesehatan anak adalah pemberian konseling dan penyuluhan.

Dalam ghal gizi bayi pertumbuhan perkembangan untuk meningkatkan

pengetahuan ibu dan keluarga serta masyarakat sehingga terwujud perilaku

sehat.

( Depkes, 2010 ) ( Jurnal Kebidanan, Vol. VII, No. 02, Desember 2015 )

Kewenangan normal adalah kewenangan yang dimiliki oleh seluruh

bidan. Kewenangan ini meliputi:

1. Pelayanan kesehatan ibu

A. Ruang lingkup:

a. Pelayanan konseling pada masa pra hamil


b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

c. Pelayanan persalinan normal

d. Pelayanan ibu nifas normal

e. Pelayanan ibu menyusui

f. Pelayanan konseling pada masa antara dua

kehamilan

B. Kewenangan:

a. Episiotomi

b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II

c. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan

dengan perujukan

d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil

e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu

nifas

f. Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini

(IMD) dan promosi air susu ibu (ASI)

eksklusif

g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif

kala tiga dan postpartum

h. Penyuluhan dan konseling

i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil

j. Pemberian surat keterangan kematian

k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin


2. Pelayanan kesehatan anak

A. Ruang lingkup:

a. Pelayanan bayi baru lahir

b. Pelayanan bayi

c. Pelayanan tumbuh kembang ( SDIDTK )

d. Pelayanan anak pra sekolah

B. Kewenangan:

a. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk

resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini

(IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada

masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat

b. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera

merujuk

c. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan

perujukan

d. Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah

e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak

pra sekolah

f. Pemberian konseling dan penyuluhan

g. Pemberian surat keterangan kelahiran

h. Pemberian surat keterangan kematian

C. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan


keluarga berencana, dengan kewenangan:

a. Memberikan penyuluhan dan konseling

kesehatan reproduksi perempuan dan

keluarga berencana

b. Memberikan alat kontrasepsi oral dan

kondom

Selain kewenangan normal sebagaimana tersebut di atas, khusus bagi

bidan yang menjalankan program Pemerintah mendapat kewenangan

tambahan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang meliputi:

a. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan

memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit

b. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis

tertentu (dilakukan di bawah supervisi dokter)

c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan

d. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu

dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan

e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan

anak sekolah

f. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas

g. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan

terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom,

dan penyakit lainnya


h. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif

lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi

i. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah

Anda mungkin juga menyukai