DEFINISI DIFTERI
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi secara
lokal pada mukosa saluran pernafasan atau kulit, yang disebabkan bakteri
Corynabacterium Diphteria, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang membentuk
membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan
oleh eksotoksin yang diproduksi bakteri tersebut (Sudoyo Aru,2009)
B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit difteri adalah bakteri Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini
adalah kuman batang gram positif, dimana kuman ini tidak membentuk spora, tahan dalam
keadaan beku dan kering dan mati pada pemanasan 60ºC. Akan tetapi terdapat beberapa
Kualitas vaksin yang tidak bagus dan akses pelayanan kesehatan yang kurang.
Faktor lingkungan tidak sehat seperti sanitasi yang buruk dan rumah yang berdekatan
Secara klinis difteri diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi sebagai berikut:
a. Difteri hidung.
Pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum
nasi. Absorbsi sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama
untuk terdiagnosis.
b. Difteri faring.
Gejala difteri faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan , dan nyeri telan. Dalam
1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih/kelabu dapat
menutupi tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
laring trakea.
c. Difteri laring
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada kasus yang
Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi
jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau.
Faktor Pencetus 1. Imunisasi tidak lengkap Kuman C. Difteriae Masuk melalui mukosa
2. Faktor lingkungan dan kulit
3. Daerah endemik bakteri
Menghambat
Sel mati, respon inflasi pembentukan protein Lokal Seluruh tubuh
lokal dalam sel toksin
Psudomembran
(eksudat, fibrin, sel Jantung Saraf Ginjal
radang, eritrosit,
nekrosis, sel-sel epitel)
Nekrosis toksik Neurotististoksik Tampak
dan degenarasi dengen degenerasi perdarahan
Udem sof tissue hialin lemah pada adrebnal dan
selaput melien nekrosis tubular
adekuat
Miokarditis payah
Obstruksi saluran jantung
pernafasan toksin Paralisis
dipalatumole, Proteinuria
otot mata,
Edema kongesti ekstremitas
Menyumbat jalan infiltrasi sel mono inferior
nafas nuclear pada serat Inkotinensia
dan sistem urine aliran
konduksi berlebih
Ketidakefektifan pola
nafas
Kelebihan
volume cairan Ansietas Hambatan
penurunan curah gangguan komunikasi
jantung menelan verbal
(NANDA,2015,Sudoyo Aru,2009)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Bakteriologik, preparat apusan kuman difteri dari bahan asupan mukosa
hidung dan tenggorokan (nasofaringeal swab)
2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3. Urin lengkap : aspek, protein, dan sidimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (Bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG (Endo Kardio Gram)
7. Pemeriksaan radiografi torak untuk mengecek adanya hiperinflasi
8. Tes schick
(Hidayat,2006)
G. Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun
organ lainnya:
1. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
2. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak
terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu.
3. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
4. Kerusakan ginjal (nefritis).
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteria.
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta
diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein
dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara
lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban
udara dengan menggunakan nebulizer.
B. Pengobatan Khusus
2. Antibiotik
Dosis :
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10
hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan
berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam
sesudah selesai terapi.
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila
terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis
ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
hari.
C. Pengobatan Penyulit
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
edenoidektomi..
I. Pencegahan
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat
adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke
tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat
diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.
Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga
dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6
tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.