Anda di halaman 1dari 57

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Program Profesi Dokter/G1A217115/ April 2018

** Pembimbing/ dr.Fadil Rulian, Sp.A

DEMAM REMATIK AKUT

Wulan Reksa Fortuna,S.Ked*

dr. Fadil Rulian,Sp.A **

PROGRAM PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION

“ DEMAM REMATIK AKUT “

Oleh :

Wulan Reksa Fortuna,S.Ked

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi
Program Studi Profesi Dokter Universitas Jambi

Jambi, April 2018

Pembimbing :

dr. Fadil Rulian, Sp.A

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis mengucapkan terima kasih
kepada dr.Fadil Rulian,Sp.A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan ilmu selama di tahap studi Program Profesi Dokter bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, penulis
dalam tahap pembelajaran , untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang
membangun agar lebih baik kedepannya. Semoga tugas ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, April 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................... i

Halaman Pengesahan ............................................................................................ ii

Kata Pengantar .................................................................................................... iii

Daftar Isi ............................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................................3

2.1 Identitas Pasien ...............................................................................................3

2.2 Anamnesis ......................................................................................................3

2.3 Pemeriksaan Fisik ...........................................................................................7

2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................10

2.5 Diagnosis Banding........................................................................................12

2.6 Diagnosis Kerja ............................................................................................12

2.7 Terapi ............................................................................................................13

2.8 Prognosis ......................................................................................................13

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................14

3.1 Definisi .........................................................................................................14

3.2 Epidemiologi ...............................................................................................14

3.3 Etiologi .........................................................................................................16

3.4 Faktor Resiko................................................................................................16

3.5 Patogenesis ...................................................................................................18

3.6 Manifestasi Klinis .........................................................................................20

3.7 Diagnosis ......................................................................................................31

3.8 Pemeriksaan penunjang ................................................................................35

3.9 Tatalaksana ...................................................................................................39

iv
3.10 Komplikasi .................................................................................................48

3.11 Pencegahan .................................................................................................48

3.12 Prognosis ....................................................................................................50

BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................52

BAB V KESIMPULAN .......................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................56

v
BAB I

PENDAHULUAN

Demam rematik adalah penyakit peradangan akut yang dapat menyertai


faringitis yang disebabkan oleh streptococcus beta hemolyticus grup A. Demam
rematik merupakan penyebab paling umum dari penyakit jantung didapat pada anak
dan dewasa muda yang hidup di kondisi sosial ekonomi rendah. Demam rematik
akut terjadi setelah infeksi tonsilofaringeal oleh bakteri streptococcus beta
hemolyticus grup A yang tidak tertangani dan bermanifestasi setelah tiga minggu
periode laten. Demam rematik akut secara primer berdampak pada jantung, sendi,
dan sistem saraf pusat. Fokus utama dari DRA adalah kemampuannya dalam
menyebabkan fibrosis pada jantung yang dapat berakibat pada penyakit katup
jantung yang melumpuhkan sistem hemodinamik, gagal jantung, dan kematian.

Saat ini diperkirakan insiden demam rematik di Amerika Serikat adalah 0,6
per 100.000 penduduk pada kelompok usia 5-19 tahun. Insiden yang hampir sama
dilaporkan di negara eropa barat. Angka tersebut menggambarkan penurunan tajam
apabila dibandingkan angka yang dilaporkan pada awal abad ini yaitu 100-200 per
100.000 penduduk. Sebaliknya insiden demam rematik masih tinggi dinegara
berkembang . Data dari negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi demam
rematik masih amat tinggi sedangkan mortalitas penyakit jantung rematik
sekurangnya 10 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Prevalensi demam rematik
di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang
pernah dilakukan menunjukkan prevalensi penyakit berkisar 0.3 sampai dengan 0.8
per 1000 anak sekolah. 1

Beban global akibat penyakit yang disebabkan oleh demam rematik saat ini
menimpa anak-anak dan dewasa muda secara tidak proporsional yang hidup di
negara berpendapatan rendah dan bertanggung jawab pada 233.000 kematian tiap
tahunnya. Setidaknya 15,6 juta orang diduga saat ini terjangkit penyakit ini dengan
jumlah signifikan dari mereka yang membutuhkan hospitalisasi berulang.
Pencegahan penyakit ini dilakukan pada sejumlah level berbeda. Pencegahan
primer dicapai dengan pengobatan infeksi tenggorokan akut oleh streptococcus

1
grup A. Pencegahan primer digunakan setelah sebuah serangan DRA untuk
mencegah progresi ke penyakit jantung dan dilanjutkan untuk beberapa tahun.
Pembedahan sering dibutuhkan untuk memperbaiki atau mengganti katup jantung
pada pasien dengan kerusakan katup jantung yang parah, biaya sangat tinggi dan
sangat terbatas terutama dari segi biaya pada sumber pelayanan kesehatan di negara
miskin. 2

Berikut ini adalah laporan kasus mengenai demam rematik akut pada
seorang anak perempuan berumur 10 tahun 7 bulan yang datang berobat ke RSUD
Raden Mattaher Jambi pada tanggal 12 April 2018.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

 Nama : An.R
 Umur : 10 tahun 7 bulan
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Pekerjaan : Pelajar
 Orang Tua : Bapak Usman
 Suku : Melayu
 Agama : Islam
 Status Perkawinan : Belum menikah
 Alamat : Desa Olak RT.06 Muaro Bulian
 Tanggal : 12 April 2018

2.2 Anamnesis

 Anamnesis : Pasien dan orang tua


 Keluhan Utama : kontrol ulang DRA
 Keluhan tambahan : tidak ada

 Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang untuk kontrol dengan DRA dan pada kontrol kali ini os tidak
mempunyai keluhan.
Sekitar 3 bulan yang lalu os awalnya mengalami demam , demam timbul
mendadak setelah os pulang dari sekolah. Demam berlangsung selama 1
minggu dimana demam bersifat terus menerus tanpa naik turun dan tidak
diselingi periode bebas demam. Os juga mengeluh batuk (+) pilek (+) dan
sakit tenggorokan namun orang tua os mengganggap radang tenggorokan
pada umumnya sehingga os hanya meminum obat yang dibeli di warung
dan sembuh.

3
1 bulan yang lalu, os mengeluh timbul ruam merah di seluruh tubuh ketika
cuaca dingin ruam dirasakan gatal dan menojol seperti gigitan nyamuk. Os
juga mengeluh demam subfebris disertai nyeri sendi. Keluhan nyeri sendi
dirasakan pada bahu dan lutut selama ±1 minggu. Pada keluhan tidak
terdapat pembengkakan dan kemerahan (-). Riwayat pembengkakan pada
tonjolan-tonjolan tulang(-) dan timbulnya gerakan- gerakan aneh (-)riwayat
warna kulit berubah menjadi kebiruan (-) mual (-) muntah (-) suara ngorok
(-) dan mengi (-). Kemudian os dibawa ke RS Mitra Medika Muaro Bulian
dan dicurigai suspek DRA. Kemudian pasien di rujuk ke RS Raden Mataher
untuk dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut berupa darah lengkap,
LED, ASTO,CRP dan echocardiografi dan dokter mengatakan bahwa os
mengalami demam rematik akut dan diberikan obat eritromisin tab 500mg
untuk 10 hari dengan dosis 4 x ½ tablet.

 Riwayat Penyakit Dahulu :


4 tahun yang lalu, pasien mengalami demam dengan ruam merah pada
batang tubuh, demam berlangsung lebih dari 7 hari secara terus menerus
tanpa naik turun dan tidak diselingi periode bebas demam, menggigil
maupun berkeringat. Demam disertai dengan nyeri sendi yang berpindah
pindah,bengkak dan merah terutama kedua sendi lutut sehingga os tidak bisa
berjalan. Keluhan batuk(+), pilek(+) dan sakit tenggorokan (+) namun
hanya mengaku sakit tenggorokan seperti pada umumnya. Selama demam,
riwayat pembengkakan pada tonjolan-tonjolan tulang disangkal dan
timbulnya gerakan-gerakan aneh disangkal. Akibat demam tersebut, pasien
berobat ke RS Ma.Bulian kemudian di rujuk ke RS DKT untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut dan Os di diagnosis mengalami demam rematik
akut. Os melakukan kontrol setiap 3 minggu untuk mendapatkan injeksi
BPG untuk profilaksis sekunder. Setelah 18 kali kontrol os melakukan
pemeriksaan ASTO kembali dan dinyatakan negatif. Kemudian Os tidak
pernah kontrol lagi.

4
 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keturunan (-), riwayat alergi (-) riwayat penyakit dengan
keluhan yang sama (-)

 Lingkungan dan sosial ekonomi


Os merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yang saat ini duduk di
sekolah dasar kelas 4. Ayah os bekerja sebagai pedagang dan ibu os seorang
ibu rumah tangga. Os hidup di dekat sungai Batanghari dan hidup dalam
kesan kondisi social ekonomi yang rendah.

2.3 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


 Riwayat kehamilan dan kelahiran
Masa kehamilan : Aterm
Partus : Spontan (pervaginam)
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 23 September 2007
BBL :3100 gr
PB : 49 cm

 Riwayat makanan
ASI : ASI diberikan sampai usia 2 tahun
Susu formula : Saat lahir tahun – 5tahun
Bubur nasi : Mulai dari usia 6 bulan
Nasi tim/lembek : Mulai dari usia 12 bulan
Nasi biasa : Mulai dari usia 18 bulan – sekarang
Daging, ikan dan telur :+
Tempe dan tahu :+
Sayur dan buah :+
Kesan : Kuantitas dan kualitas baik

 Riwayat imunisasi
BCG :+
Polio :+

5
DPT :+
Campak :+
Hepatitis B :+
Kesan : imunisasi dasar pasien lengkap

 Riwayat keluarga
Perkawinan : Orang tua menikah
Umur : Ayah :27 tahun
Ibu :20 tahun
Pendidikan : Ayah : SMA
Ibu : SMA
Saudara : anak ke 3 dari 4 bersaudara

 Riwayat perkembangan fisik


Gigi pertama : 6 bulan
Tengkurap : 4-5 bulan
Balikbadan : Ibu lupa
Merangkak : Ibu lupa
Duduk : 8 bulan
Berdiri : Ibu lupa
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : Ibu lupa
Kesan : Tidak dapat dinilai
 Riwayat Perkembangan Mental
Isap Jempol :-
Ngompol :-
Sering mimpi :-
Aktifitas : cukup aktif
Membangkang :-
Ketakutan :-

6
 Status gizi
Seorang anak perempuan, usia 10 tahun 7 bulan dengan berat badan 22 kg
dan tinggi badan 134 cm. Berdasarkan usia maka penilaian status gizi
menggunakan kurva CDC
Status gizi = BB aktual / BB ideal x 100%
= 22 kg / 29 kg x 100%
= 75,8 %  gizi kurang

2.4 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : Tampak sakit Ringan
Kesadaran : Compos mentis (E:4 M:6 V:5)
Berat Badan : 22 kg
Tinggi badan : 134 cm
Gizi : kurang

b. Tanda-tanda vital  Nadi : 98 x/menit


RR : 22 x/menit
Suhu : 36,6°C
TD : 100/70 mmHg
c. Kulit
Sianosis : (-)
Turgor : Cepat kembali < 2 detik
Kelembaban : Kurang
Pucat : (-)
d. Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut
Warna : Hitam
Tebal / tipis : Tebal
Distribusi : Normal
Mata
Palpebra : Edema (-/-), cekung (-/-)
Konjungtiva : Anemis (-/-)

7
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor +/+
Refleks cahaya :+/+
Kornea : Jernih
Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : ada
Nyeri : Tidak ada
Hidung
Bentuk : Simetris
Pernapasan cuping hidung : -
Sekret :-/-
Epistaksis :-/-
Mulut
Bentuk : Simetris
Bibir : Mukosa kering (-)
Gusi : Mudah berdarah (-)
Lidah
Bentuk : Simetris
Pucat :-
Kotor :-
Warna : Merah muda
Faring
Hiperemis :-
Edema :-
Tonsil
Warna : Kemerahan
Pembesaran : T2/ T1
Leher
Pembesaran KGB :-
Massa :-

8
e. Thoraks
Jantung
Inspeksi  Iktus kordis : Tidak terlihat
Palpasi  iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra ,
thrill (-)
Perkusi  Batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi  Suara dasar : S1-S2 reguler,
Bising : murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi  Bentuk : Simetris
Retraksi :-
Dispnea :-
Pernapasan : Thorakoabdominal
Bendungan vena : -
Sternum : Ditengah
Palpasi  Fokal fremitus : Getaran sama antara kiri dan kanan
Perkusi  Sonor / Sonor
Auskultasi  Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+) Normal
Suara nafas tambahan : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
f. Abdomen
Inspeksi  Bentuk : Datar
Umbilikus : Tidak menonjol
Turgor : Cepat kembali
Auskultasi :Bising usus (+) normal
Palpasi  Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Massa : Tidak teraba

9
Perkusi  Timpani
Asites (-)

g. Ekstremitas : Akral hangat, edema pada kedua kaki (-), sianosis (-),
deformitas(-) CRT ≤ 2 detik
h. Genitalia :Perempuan, tidak diperiksa
i. Anus : (+), tidak ada kelainan

2.5 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium (20 Maret 2018)

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI NORMAL


Darah Rutin
WBC 10,43 103/mm3 4-10.0
RBC 4,73 106/mm3 3.50-5.50
HGB 13 g/dl 11.0-16.0
HCT 37,7 % 35.0-50.0
PLT 394 103/mm3 100-300
MCV 79,7 µm3 80-97
MCH 27,5 Pg 26.5-33.5
MCHC 345 g/dl 320-360
LED 24 mm/jam <15

Pemeriksaan Imunologi (20 Maret 2018)


ASTO: (+)
CRP : (-)

10
 Pemeriksaan EKG (21 Maret 2018)

Hasil Deteksi :

- Irama : sinus rythm


- Frekuensi : 100 x / menit (normal)
- Regularitas : regular
- Gelombang P : normal (0,08-0,1 detik )
- PRinterval : tidak memanjang ( 0,12 – 0,20 detik)
- Aksis : normal

Hasil Diagnosis EKG :


- Sinus rhythm (Normal)

 Pemeriksaan Echocardiography / Doppler (21 Maret 2018)


Penemuan :
1. Katup-katup : katup mitral doom shape (+) tidak ada regurgitasi , TR
normal, katup aorta dan pulmonal baik
2. Dimensi punggung jantung normal, IAS intake, MI intake, PDA (-)

Kesimpulan : EF 59% , katup mitral doom shape (+)

11
2.6 Diagnosa Banding
1. Demam Rematik Akut
2. Demam scarletina

2.7 Diagnosis Kerja


Demam rematik akut

12
2.8 Tatalaksana
- Medikamentosa
PO eritromisin tab 500 mg 4x½ tablet selama 10 hari
- Non medikamentosa
Tirah baring

Kontrol Poli : Inj. BPG 600.000 IM/ 3minggu

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Demam rematik akut adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi
kuman Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi secara
akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis
migrans, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.2
Demam rematik akut adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi
imunologis terhadap infeksi bakteri streptokokus β hemolitik Grup A. Infeksi ini
menyebabkan respon inflamasi yang bersifat akut dan merupakan penyakit yang
berdampak pada beberapa bagian tubuh tertentu terutama jantung , sendi, otak
dan kulit. Individu dengan DRA sering mengalami sakit parah dengan nyeri
hebat dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Disamping gejalanya yang
hebat saat episode akut, DRA tidak meninggalkan cedera yang permanen pada
otak, sendi atau kulit. Namun kerusakan terhadap jantung atau lebih spesifik di
katup mitral dan atau katup aorta, mungkin akan menyisakan kerusakan
sekalipun episode akut telah teratasi.Keadaan ini dikenal sebagai penyakit
jantung rematik (PJR). PJR adalah bentuk paling umum dari penyakit jantung
pada anak secara global dan pada banyak negara merupakan penyebab tersering
mortalitas akibat penyakit jantung anak-anak dan dewasa berusia kurang dari
40 tahun.3

3.2 Epidemiologi
Demam rematik akut menyertai faringitis streptococcus beta hemolyticus
grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut
hampir meniadakan resiko terjadinya demam rematik. Diperkirakan hanya
sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam rematik akan
menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis streptococcus yang tidak
di obati. Serangan pertama demam rematik akut terjadi paling sering antara

14
umur 5-15 tahun . demam rematik jarang ditemukan pada anak dibawah umur
5 tahun.

Table 1. Insiden Demam Rematik Akut

Saat ini diperkirakan insiden demam rematik di Amerika Serikat adalah 0,6
per 100.000 penduduk pada kelompok usia 5 -19 tahun. Insiden yang hampir
sama dilaporkan di negara Eropa Barat. Angka tersebut menggambarkan
penurunan tajam apabila dibandingkan angka yang dilaporkan pada awal abad
ini, yaitu 100 sampai 200 per 100.000 penduduk.3,4
Sebaliknya, insiden demam rematik masih tinggi di negara berkembang.
Data dari negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi demam rematik
masih amat tinggi sedang mortalitas penyakit jantung rematik sekurangnya 10
kali lebih tinggi daripada negara maju. Di Srilanka insiden demam rematik pada
tahun 1976 dilaporkan lebih kurang 100 sampai 150 kasus per 100.000
penduduk. Di India , prevalensi demam rematik dan penyakit jantung rematik
pada anak sekolah diperkirakan 6-11 per 1000 anak.6
Beberapa faktor membantu menurunkan insiden penyakit jantung rematik
di negara maju. Tingkat ekonomi yang baik tampak merupakan faktor yang
paling mendorong. Faktor yang sekunder termasuk berkurangnya penghuni
rumah dan sekolah serta bertambah baiknya pelayanan kesehatan. Walaupun

15
penurunan insiden ini mendahului era antibiotik, penggunaan antibiotik dalam
pengobatan faringitis akibat streptococcus terbukti sangat mempercepat
penurunan tersebut. Suatu faktor penting yang mempengaruhi insiden demam
rematik adalah ketepatan diagnosis dan pelaporan penyakit.

3.3 Etiologi
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat
interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan.
Infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorok selalu
mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun
serangan ulangan. Untuk menyebabkan serangan demam reumatik,
Streptokokus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya
kolonisasi superfisial. Berbeda dengan glomeronefritis yang berhubungan
dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di saluran napas, demam
reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit.
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik
diketahui dari data sebagai berikut: Pada sebagian besar kasus demam reumatik
akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap Streptococcus atau dapat
diisolasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A, atau keduanya.7,8
Insidens demam rematik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insiden
oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan
hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam rematik
akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang
tidak diobati. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila
penderita mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika.6

3.4 Faktor Resiko


a. Faktor Individu
 Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu
keluarga maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik
merupakan alasan penting mengapa hanya sebagian pasien yang terkena

16
infeksi streptococcus menderita demam reumatik, sedangkan cara
penurunannya belum dapat dipastikan.
 Jenis Kelamin
Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan
wanita. Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering
ditemukan pada salah satu jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih
sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Kelainan katup sebagai
gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan jenis
kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering
ditemukan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan
pada laki-laki.
 Golongan Etnik dan Ras
Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor
lingkungan yang berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan
atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan
jelas ialah terjadinya stenosis mitral. Di negara-negara barat umumnya
stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung
reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral
organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat,
hanya 6 bulan-3 tahun setelah serangan pertama.
 Umur
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum umur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini
dikatakan sesuai dengan insidens infeksi Streptococcus pada anak usia
sekolah.
 Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain
Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi.Hanya sudah
diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang menderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik.5,9

17
b. Faktor-faktor Lingkungan
 Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Termasuk dalam keadaan
sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-
rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian
untuk segera mengobati anak yang sakit sangat kurang, pendapatan yang
rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain.
 Iklim dan Geografi
Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi data
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens
yang tinggi, lebih tinggi daripada yang diduga semula. Di daerah yang
letaknya tinggi agaknya insidens lebih tinggi daripada di dataran rendah.
 Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi
saluran nafas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga
meningkat.
3.5 Patogenesis

Gambar 1 : pathogenesis dan temuan klinis DRA4

18
Patogenesis dari DRA tidak sepenuhnya diketahui. Walaupun sering
streptococcus tidak ditemukan pada jaringan jantung penderita DRA, tetapi ada
hubungan yang cukup kuat bahwa DRA adalah akibat respon imun yang
berlebihan dari infeksi faring oleh streptokokus grup A. Bukti yang mendukung
misalnya wabah DRA selalu mengikuti epidemik streptokokal faringitis dan
demam scarlet, serta bila mendapat terapi yang adekuat pada infeksi
streptokokal faring ternyata menyebabkan penurunan insidensi DRA. Selain itu
profilaksis dengan antibiotik bisa mencegah rekuransi DRA, dan kebanyakan
penderita DRA juga memiliki peningkatan titer dari satu atau lebih ketiga
antibodi streptokokal (Streptolisin O, hyaluronidase, dan streptokinase).
Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR
terjadi akibat sensitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di
faring. Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter
0,5-1 mikron dan mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau
rantai selama pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini
terdiri dari dua jenis, yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi
manusia pada umumnya jenis hemolitik. Lebih kurang 95% pasien
menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O (ASTO), antideoksiribonukleat
B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes yang biasa dilakukan untuk
infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A.9
Demam rematik merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh
yang berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan
oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan hipotesis
tentang adanya reaksi silang antibodi terhadap Streptococcus beta hemolitycus
grup A dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen
Streptococcus beta hemolitycus grup A. Hal inilah yang menyebabkan reaksi
autoimun.
Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan antigen tubuh
sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self
antigen, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi
autoimun. Reaksi autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel
jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang

19
dibentuk disebut autoantibodi. Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang
menimbulkan kerusakan jaringan dan gejala-gejala klinis disebut penyakit
autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala klinis disebut fenomena
autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam
rematik termasuk dalam penyakit autoimun. Gangguan yang disebabkan
demam rematik pada katup jantung dapat berupa penyempitan katup (stenosis)
atau kebocoran katup (insufisiensi). Kedua kelainan ini akan menyebabkan
gangguan aliran darah pada jantung. Pada keadaan stenosis, darah yang
dipompa akan sulit melalui katup jantung yang menyempit. Sementara pada
keadaan insufisiensi terjadi semacam kebocoran. Meskipun kuman penyakit ini
bisa menyerang semua katup jantung, yang paling sering terjadi adalah
kerusakan pada katup mitral.
Ketika ventrikel kiri jantung berkontraksi, katup yang terdapat antara atrium
jantung kiri dan ventrikel jantung kiri ini tidak dapat menutup rapat. Akibatnya,
darah yang dipompa oleh ventrikel jantung kiri sebagian menuju pembuluh
aorta, dan sebagian lagi kembali ke ventrikel jantung kiri melalui katup yang
tak menutup rapat tadi. Karena penyumbatan atau kebocoran pada katup
jantung, maka ventrikel jantung kiri harus bekerja lebih keras untuk memompa
darah yang cukup ke seluruh tubuh (sirkulasi). Akibatnya terjadi pembesaran
ventrikel jantung kiri hingga menyebabkan gagal jantung.10

3.6 Manifestasi Klinis


Perjalanan klinis penyakit demam reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium:
Stadium I

Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa
sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat
terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang
menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular
seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan.

20
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas
pada penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi
10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung
reumatik.

Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi
Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini
berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan
berbulan-bulan kemudian.

Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi
klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut
dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi
spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik
tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa
katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung reumatik
dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis
serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun
penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi
penyakitnya.1,3

21
Tabel 2. Manifestasi klinis demam rematik akut

Secara umum, manifestasi mayor paling umum selama episode awal DRA
adalah karditis (50-70%); artritis (35-66%); korea (10-30%) yang dominan terjadi
pada perempuan; nodul subkutan (0-10%) dan eritema marginatum (<6%).
Disamping konsistensi umum dari masing-masing manifestasi mayor klasik
tersebut, data saat ini menunjukkan variabilitas substansial dari manifestasi pada
keadaan dan populasi tertentu. Sebagai contoh pada populasi yang sangat berisiko
tinggi seperti pada populasi Australia asli, variabilitas dari manifestasi kriteria
Jones tipikal telah digambarkan seperti penampakan monoartritis aseptic,
poliatralgia dan demam yang tidak terlalu tinggi.8

22
Biasanya, periode laten terjadi selama 18 hari antara onset streptococcus
dan onset demam rematik akut. Periode laten ini jarang kurang dari 1 minggu atau
lebih dari 5 minggu. Sekitar 70% anak dan remaja muda mengingat adanya riwayat
faringitis. Namun, hanya sekitar 25% anak yang mengingat adanya faringitis. Oleh
karena itu anak-anak yang datang berobat dengan tanda atau gejala faringitis patut
dicurigai DRA. Manifestasi awal dari DRA adalah poliartritis migran yang sangat
menyakitkan pada anak. Biasanya mengenai sendi besar seperti lutut, pergelangan
kaki, siku atau bahu dan biasanya bersifat tipikal. Seringkali, adanya gejala demam
dan perkembangan toksisitas. Gejala chorea syndenham berupa gerakan spontan
yang tidak teratur , tanpa tujuan pada tangan, kaki, batang tubuh dan otot wajah
yang akhir-akhir ini gejala jarang ditemui. Serangan akut biasanya sembuh dalam
12 minggu.7,8,11

Manifestasi Mayor DRA


1. Karditis
Meskipun endokardium, miokardium dan perikardium dipengaruhi
bergantung berbagai derajat, karditis rematik hampir selalu berhubungan dengan
murmur valvulitis. Karenanya, miokarditis dan pericarditis dengan sendirinya
seharusnya tidak dicap berasal dari proses rematik ketika tidak berhubungan dengan
sebuah murmur dan etiologi lain harus dipertimbangkan.5
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien,
yang cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir. Dua laporan
yang paling baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien
demam reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan
hanya dengan auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi doppler
91% pasien menunjukkan keterlibatan jantung. Pada literatur lain menyebutkan
yaitu sekitar 40-80% dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis.
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan
sesudah fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang
tidak mudah ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya

23
mortalitas dapat terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang
menyebabkan endokarditis bakteri.

Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik


yang paling khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan
dengan infeksi virus, riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap
merupakan penyebab utama insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa
muda. Meskipun laporan dari negara berkembang mengambarkan insidens penyakit
jantung reumatik yang tinggi pada anak muda, demam reumatik dan karditis
reumatik jarang ditemukan pada anak umur di bawah 5 tahun. Penyakit ini terkait
dengan gejala nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, dan kulit pucat
kekuningan. Mungkin terdapat demam ringan dan mengeluh bernapas pendek,
nyeri dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan keterlibatan
jantung dan pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung.

Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan


dengan satu atau lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis;
pada kasus demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu;
jarang terjadi keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini. Seperti manifestasi
yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi. Karditis dapat sangat tidak
kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi mitral dapat sangat
ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada auskultasi.
Karditis yang secara klinis ’mulainya lambat’ mungkin sebenarnya mengambarkan
progresivitas karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang datang
dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya
karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus
selalu dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan
keterlibatan jantung harus terus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya
karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2
sampai 3 minggu pasca serangan, maka selanjutnya ia jarang muncul. Pembesaran
jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat penyakit
katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu
karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan

24
perikardium parietal dan viseral. Penggesekan permukaan yang meradang
menimbulkan suara gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling
baik di midprekordium pada pasien dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan
permukaan. Bising gesek dapat didengar pada sistol atau diastol tergantung pada
apakah pergeseran timbul oleh kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan
cairan yang banyak menyebabkan terjadinya pergeseran perikardium, sehingga
dapat mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising gesek pada pasien
karditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya pankarditis.
Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis dan miokarditis biasanya bukan
disebabkan demam reumatik.12,13

2. Arthritis
Artritis pada DRA adalah poliartritis migrans dan sendi yang paling sering
terkena adalah sendi besar, termasuk lutut, ankle, siku dan telapak tangan. Riwayat
perbaikan yang cepat dengan salisilat atau NSAID juga merupakan
karakteristiknya. Secara umum artritis pada DRA merupakan self limited bahkan
tanpa terapi, setidaknya selama 4 minggu. Tidak terdapat deformitas jangka
panjang. Keterlibatan sendi kecil pada kaki dan tangan dan juga tulang punggung
sangat jarang terjadi pada PJR dibanding pada sakit sendi lainnya.8
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun
merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik
dan sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada
penjangkitan demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat
pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis
sebagai manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius,
seperti kata Lasegue, ’demam reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung.
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi,
ditandai oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak
semua manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada
gerakan aktif atau pasif biasanya merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri
dapat menghambat pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis.
Artritis harus dibedakan dari artralgia, karena pada artralgia hanya terjadi
nyeri ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang

25
terutama adalah sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi
perifer yang kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-
pindah (poliartritis migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara
spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang
lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya
tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons
dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan
artritis dapat di perpendek dengan nyata dengan pemberian aspirin.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi.
Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan, namun harus benar-benar
diperhatikan, baik yang berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke
laboratorium untuk memikirkan ’skrining kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa
dengan anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang cermat.10,14,15

3. Chorea (Sydenham Chorea)

Gambar 2: chorea syndenham

Korea pada DRA dikarakterisasikan dengan pergerakan tubuh atau


ekstrimitas tanpa tujuan, involunter dan non stereotip. Korea sering dikaitkan
dengan kelemahan otot dan ketidakstabilan emosi. Pada beberapa pasien, korea
dapat predominan terjadi secara unilateral dan membutuhkan pemeriksaan
neurologis yang cermat untuk mengkonfirmasi bahwa hal tersebut bukan
merupakan gangguan neurologis lain. Korea Huntington, SLE, penyakit Wilson dan

26
reaksi obat adalah hal yang harus dieksklusi dan pergerakan harus dapat dibedakan
dari tics, athetosis, reaksi konversi dan hiperkinesis. Bukti infeksi SGA saat ini
mungkin sulit untuk didokumentasikan karena periode laten yang panjang antara
infeksi SGA dan onset korea. Perburukan bentuk pergerakan korea pada anak
dengan korea residual tingkat rendah sebelumnya mungkin sulit untuk dibedakan
dari serangan baru korea.8
Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15%
pasien demam reumatik. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf
pusat, terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan
korea Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama.
Hubungan tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama
insufisiensi mitral, yang semula datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang
jelas bahwa periode laten antara infeksi streptokokus dan awal korea lebih lama
daripada periode laten untuk artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis
artritis atu karditis adalah sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis korea
dapat mencapai 3 bulan atau lebih.15,16
Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak
bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata
apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara
atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena,
tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan
menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan cepat dan
menyerupai ’kantong cacing’. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan
kestabilan tonus dalam waktu yang pendek.
Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi
lengan di atas kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator).
Kontraksi otot tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari
pemeriksa (pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka
jari-jari berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan).
Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan
ke atas yang tidak mantap. Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju,
pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa.

27
Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi
yang tidak sesuai. Orangtua sering cemas oleh kecanggungan pasien yang reaksi
yang mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien kehilangan perhatian, gelisah,
dan tidak koperatif. Sebagai pasien mungkin disalahtafsirkan sebagai menderita
kelainan tingkah laku. Meskipun tanpa pengobatan sebagian besar korea minor
akan menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada kasus yang berat, meskipun
dengan pengobatan, korea minor dapat menetap selama 3-4 bulan, bahkan dapat
sampai 2 tahun.
Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan
cenderung menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31%
kasus. Korea tidak biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa,
kecuali jarang pada wanita hamil (’korea gravidarum’). Korea ini merupakan satu-
satunya manifestasi yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada
anak wanita dibanding pada lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini
bertambah.12,16

4. Eritema marginatum

Gambar 3: eritema marginatum di batang tubuh


Eritema marginatum merupakan gejala khas untuk demam rematik dan
jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam
manifestasi mayor. Penilitian menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya
terjadi pada lebih kurang 5% pasien. Pada penelitian lain mengatakan eritema
marginatum ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal,
maskular , dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian sat uke bagian lain
mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter 2,5 cm, tersering pada
batang tubuh dan tungkai proksimal dan tidak melibatkan wajah. Pemasangan

28
handuk hangat atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema sukar
ditemukan pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal
penyakit , kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi
klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis,
seperti halnya nodul subkutan.6,9,12

5. Nodul Subkutan

Gambar 4: nodul subkutan pada DRA


Nodul subkutan merupakan tonjolan tegas dan tidak nyeri yang ditemukan
di permukaan ekstensor pada sendi spesifik seperti lutut, siku dan telapak tangan
dan juga teerlihat pada oksipital dan sepanjang prosesus spinosus pada vertebrae
torakal dan lumbal yang ukurannya bervariasi dari 0,5 – 2 cm, tidak nyeri dan bebas
digerakkan. Nodul subkutan tidak ditemukan memiliki variabilitas ras ataupun
populasi. Nodul subkutan lebih sering tampak pada pasien yang memiliki karditis
dan juga eritema marginatum, nodul subkutan hampir tidak pernah muncul sendiri
sebagai manifestasi mayor dari DRA.kulit yang menutupi tidak menunjukkan tanda
radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul setelah beberapa minggu sakit.
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir , saat ini
jarang ditemukan kecuali pada penyakit jantung rematik kronis. Penelitian mutakhir
melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun laporan mutakhir
dari Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien.3,5

Manifestasi Minor
Demam dengan kriteria titik potong >37.5 C memungkinkan diagnosis
demam pada 90% kasus terduga DRA. Hal ini merupakan kepentingan yang

29
potensial karena 41% individu pada populasi khusus yang tidak terdiagnosis DRA
karena tidak adanya demam ketika didefinisikan sebagai suhu melebihi 38`C atau
39`C yang setelahnya berkembang DRA atau PJR. Namun pada kebanyakan
keadaan termasuk populasi risiko rendah, demam berkaitan dengan DRA umumnya
melebihi 38.5`C. Sama dengan artritis, karena penyebaran agen antipiretik yang
luas, sehingga membutuhkan penegakan riwayat yang detail untuk mendapatkan
konteks demam yang semestinya.8
Secara umum tidak tampak ada perbedaan dibanding manifestasi minor lain
(kenaikan CRP, LED, pemanjangan interval PR pada EKG, riwayat DRA atau PJR)
antara populasi risiko rendah dan tinggi serta secara geografi. Bagi kebanyakan
populasi, LED > 60mm pada jam pertama dan CRP> 3.0 mg/dL dianggap tipikal
DRA. Pada DRA, nilai CRP harus selalu lebih tinggi dibanding batas atas normal
untuk setiap laboratorium spesifik dan umumnya >7.0 mg/dL atau bahkan lebih
tinggi, bergantung pada metode laboratorium yang digunakan. Beberapa ahli,
mempertimbangkan LED >30 mm/h sebagai sesuatu yang konsisten dengan
diagnosis DRA. Level LED dan CRP normal mendorong pengkajian pada diagnosis
DRA, karena kecuali pasien dengan korea terisolasi, nilai ini hampir tidak pernah
normal pada DRA.8
Nyeri abdomen, laju nadi tidur yang cepat, takikardia tidak sesuai demam,
malaise, anemia, leukositosis, epistaksis dan nyeri prekordial juga tercatat pada
pasien DRA. Walaupun klinis dan fitur laboratorium ini bukan bersifat diagnostik,
hal tersebut sering cocok dengan penampakan DRA. Karena tanda dan fitur
laboratorium sering tercatat pada banyak penyakit, kegunaannya berkurang
dibanding manifestasi minor pokok.8

30
3.7 Diagnosis
Tabel 3. Diagnosis demam rematik akut

Penegakan diagnosis dahulu berdasarkan Kriteria Jones, tetapi kriteria


diperbaharui oleh AHA dan WHO tahun 2002-2003, dimana melalui kriteria yang
terlah diperbaharui ini dapat dilakukan diagnosis: 5
1. Episode pertama demam rematik

31
2. Serangan berulang demam rematik pada pasien tanpa PJR
3. Serangan berulang demam rematik pada pasien dengan PJR
4. Reumatik Chorea
5. Onset awal Karditis Rematik
6. PJR Kronik

Tabel 4. Kriteria WHO untuk Diagnosis DRA dan PJR

3.8 Diagnosis Banding


Penting untuk memiliki diagnosis banding ketika mempertimbangkan tiap
kriteria mayor dari diagnosis DRA. Pada Tabel berikut memberikan daftar
diagnosis alternative dalam mempertimbangkan evaluasi pasien dengan artritis,
kardits atau korea. Penerimaan kriteria berdasarkan ekokardiografi untuk
mendiagnosis karditis dalam tidak adanya temuan klinis, membutuhkan
pengetahuan terhadap temuan lain yang dapat menyerupai karditis rematik,
khususnya pada populasi risiko rendah.9 Tidak ada satupun gejala klinis maupun
kelainan laboratorium yang khas untuk demam rematik atau penyakit jantung
rematik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala yang sama atau
hampir sama dengan DRA atau PJR. Yang perlu diperhatikan adalah infeksi piogen
pada sendi yang sering disertai demam serta reaksi fase akut. Bila terjadi kenaikan
yang bermakna titer ASTO akibat infeksi streptococcus sebelumnya , maka seolah
olah kriteria jones sudah terpenuhi.

32
Tabel 5. Diagnosis banding berdasarkan kriteria

3.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Kultur tenggorok

Standar baku untuk mendeteksi streptococcus masih berupa usap


tenggorokan pada agar darah, meskipun membutuhkan waktu 24-48 jam untuk
memperlihatkan hasil, dengan konsekuensi menunda mulainya pemberian terapi
antibiotic insial. Penemuan SGA pada kultur tenggorok biasanya negatif pada saat
gejala demam rematik atau PJR terlihat. organisme harus di isolasi sebelum terapi
antibiotik inisiasi.

2. Tes deteksi cepat antigen


Tes ini memungkinkan deteksi cepat antigen SGA dan memungkinkan
diagnosis faringitis streptokokal dan inisiasi terapi antibiotik ketika pasien masih
berada di ruang periksa. Karena spesifitasnya lebih dari 95% tetapi sensitivitasnya
hanya 60-90%, kultur tenggorok harus dilakukan menambahkan hasil tes ini.12,13

33
3. Antibodi Antistreptococcal
Gejala klinis demam rematik dimulai saat antibodi berada pada tingkat
puncaknya, oleh karena itu, tes antibodi antistreptococcal berguna untuk
mengkonfirmasi infeksi SGA sebelumnya. Peningkatan antibodi sangat berguna
terutama untuk pasien dengan gejala klinis yang ada hanya chorea. Titer antibbodi
harus di cek interval 2 minggu untuk mendeteksi kenaikan. Tes antibodi terhadap
ekstraselular antistreptococcal yang paling sering adalah antistreptolisin O (ASTO),
antideoxyribonuklease (DNAse) B, antihyaluronidase, antistreptokinase,
antistreptococcal esterase dan anti-DNA.9,10
Tes antibodi untuk komponen selular antigen SGA meliputi
antistreptococcal polisaccharida, antiteichoic acid antibodi, dananti M-protein
antibody Secara umum, rasio antibodi terhadap antigen ekstraselular streptococcal
meningkat selama bulan pertama setelah terinfeksi dan setelah itu menurun dalam
3-6 bulan sebelum kembali kekadar normal setelah 6-12 tahun. ASO memiliki titer
puncak 2-3 minggu setelah onset demam rematik dengan sensitivitas tes ini 80-
85%. Anti DNAse B sedikit lebih sensitif (90%) untuk mendeteksi demam rematik
atau glomerulonefritis akut.Antihyaluronidase biasanya abnormal pada pasien
demam rematik dengan titer ASO normal dan meningkat lebih awal dan bertahan
lebih lama dari peningkatan titer ASO selama demam rematik.9,10

4. Reaktan Fase Akut


C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah meningkat pada demam
rematik dikarenakan inflamasi yang merupakan natur dari penyakit. Memiliki
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifsitas yang rendah.9,10

5. Rontgen Thoraks
Pada insufisiensi mitral, foto thoraks dapat dilihat pembesaran atrium kiri
dan ventrikel kiri, kongesti pembuluh darah perihilar yang adalah tanda dari
hipertensi vena pulmonalis dapat juga terlihat. Kalsifikasi mitral jarang terjadi pada
anak kecil Pada mitral stenosis, lesi sedang atau berat, pada foto thoraks didapatkan
pembesaran atrium kiri dan pembesaran arteri pulmonalis dan ruang jantung kanan,

34
perfusi pada bagian apikal paru-paru yang lebih banyak Pada insufisiensi aorta,
didapatkan pembesaran ventrikel kiri dan aorta.9,10

6. Elektrokardiografi (EKG)
Pada mitral insufisiensi berat terlihat gel P bifasik, disertai tanda hipertrofi
ventrikel kiri dan berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kanan. Pada mitral
stenosis seiring dengan berat penyakit, terdapat gel P notched dan hipertrofi
ventrikel kanan menjadi terlihat. Pada EKG insufisiensi aorta mungkin normal,
tetapi pada kasus lanjutan terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang P
prominen Atrioventrikular (AV) blok derajat satu, yaitu dengan adanya
perpanjangan PR interval harus diperhatikan pada beberapa pasien dengan PJR.
Abnormalitas ini mungkin berhubungan dengan inflamasi miokardial lokal yang
meliputi nodus AV atau vaskulitis yang meliputi arteri di nodus AV. Hal ini
bukanlah penemuan spesifik dan tidak digunakan dalam kriteria diagnostik PJR
Bila demam rematik akut berhubungan dengan perikarditis, dapat terjadi ST elevasi
yang biasa terlihat pada lead II, III, aVF, and V4-V6. Pasien dengan PJR mungkin
mengalami atrialflutter, mutltifokal atrial takikardia atau atrial fibrilasi dari
penyakit katup mitral kronik dan dilatasi atrium.9,10

7 . Doppler-echocardiogram
Pada PJR akut, Doppler-echocardiography mengidentifikasi dan
menghitung insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. Studi di Kamboja dan
Mozambique memperlihatkan peningkatan 10 kali prevalensi PJR ketika
ekokardiografi digunakan untuk screening klinis dibandingkan dengan penemuan
klinis saja. Pada karditis ringan, Doppler membuktikan adanya mitral regurgitasi
yang ada selama fase akut penyakit yang menghilang dalam minggu sampai bulan.
Tetapi pasien dengan karditis sedang hingga berat memiliki mitral dan atau aorta
regurgitasi persisten. Penemuan penting pada ekokardiografi dari mitral regurgitasi
dari valvulitis akut reumatik adalah dilatasi anula, elongasi dari korda tendinae
menuju daun katup anterior dan mitral regurgitasi jet mengarah posterior lateral
Selama demam rematik akut, ventrikel kiri menjadi sering dilatasi dengan ejeksi
fraksi yang normal atau memendek. Oleh karena itu, beberapa kardiologis

35
mempercayai insufisiensi katup dari endokarditis adalah penyebab dominan dari
gagal jantung pada demam rematik akut daripada disfungsi miokardium, yang
disebabkan miokarditis. Pada PJR kronik, ekokardiografi digunakan untuk melihat
perkembangan progresivitas dari stenosis katup dan membantu penentuan waktu
intervensi bedah. Daun katup yang terkena menjadi tebal secara difus, dengan fusi
komisura dan korda tendinae. Terjadinya peningkatan densitas echo dari katup
mitral menandakan kalsifikasi. Gambar dibawah ini memperlihatkan jet insufisiensi
sistolik mitral tipikal dilihat pada PJR.9,10

8. Kateterisasi Jantung

Hal ini tidak diindikasikan pada PJR akut. Pada PJR kronik dilakukan untuk
mengevaluasi penyakit katup mitral dan aorta dan untuk tindakan ballon stetosis
katup mitral. Hal yang harus diperhatikan setelah prosedur ini adalah perdarahan,
rasa nyeri, mual, dan muntah, serta obsrtuksi arteri atau vena dari trombosis dan
spasme. Komplikasi dapat meliputi mitral insufisiensi setelah dilatasi ballon,
takiaritmia, bradiaritmia, dan oklusi vascular.9,10

Tabel 6. Rekomendasi pemeriksaan penunjang DRA

36
3.7 Pengobatan1,3,4,6,7,8,11
Pengobatan terhadap demam rematik ditujukan pada 3 hal yaitu pencegahan
primer pada serangan demam rematik,pencegahan sekunder demam rematik,
dan menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan
anti inflamasi, penatalaksanaan gagal jantung dan korea. Pencegahan primer
bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan demam
rematik dan diberikan fase awal serangan. Pencegahan sekunder demam
rematik bertujuan untuk mencegah serangan ulangan demam rematik, karena
serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup katup jantung dan dapat
menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung.

A. Eradikasi Kuman Fase Akut/Pencegahan Primer


Pencegahan primer dari demam rematik akut didefinisikan sebagai terapi
antibiotik adekuat terhadap infeksi streptokokus pada saluran napas atas untuk
mencegah serangan awal demam rematik akut, selain itu juga dapat berperan
untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan demam rematik dan
diberikan pada fase awal serangan.Rekomendasi untuk pencegahan streptokok
dari tonsil dan faring sama dengan rekomendasi yang dianjurkan untuk
pengobatan faringitis streptokokus.5,7
Untuk eradikasi infeksi SGA, penisilin oral (Penisilin V atau G) harus
diberikan untuk 10 hari penuh. Injeksi tunggal Benzatin Penisilin G dapat
digunakan untuk mengatasi infeksi yang bersifat antisipatif pada pasien yang
akan tidak mematuhi regimen pengobatan antibiotic oral. Sefalosporin generasi
pertama juga dapat digunakan dengan cukup berhasil. Di sisi lain, obat
golongan tetrasiklin dan sulfa dikontraindikasikan untuk pencegahan primer
demam rematik karena banyak SGA yang resisten terhadap golongan tersebut.5
Untuk lebih lengkap tertera pada Tabel berikut:

37
Tabel 7.Obat yang direkomendasikan untuk eradikasi SGA

B. Pencegahan Sekunder
Sesudah pengobatan DRA selama 10 hari dilanjutkan dengan pencegahan
sekunder. Cara pencegahan sekunder yang diajukan oleh The American Heart
Association dan WHO, yaitu mencegah infeksi streptokokus. Pencegahan sekunder
demam rematik didefinisikan sebagai pemberian berkelanjutan sebuah antibiotic
spesifik kepada pasien dengan serangan demam rematik sebelumnya, atau dengan
PJR yang terdokumentasi dengan baik. Tujuan dari pencegahan ini adalah untuk
mencegah kolonisasi atau infeksi saluran napas atas dari SGA dan perkembangan
serangan DR rekuren. Profilaksis sekunder wajib untuk semua pasien yang pernah
memiliki serangan demam rematik atau yang memiliki penyakit katup jantung
rematik residual.5,7
Penisilin masih merupakan antibiotic pilihan. Injeksi BPG IM tiap 3 minggu
(tiap 4 minggu pada wilayah risiko rendah) adalah strategi paling efektif untuk
mencegah rekurensi serangan DR. penisilin oral juga bisa digunakan sebagai
alternatif pada profilaksis sekunder, namun focus terbesar pada pemberian oral
adalah ketidakpatuhan. Pada pasien yang diketahui alergi penisilin, sulfadiazine
atau sulfasoxazole oral tampak sebagai pilihan kedua yang optimal. Pada daerah
yang keterbatasan golongan penisilin atau sulfa, eritromisin oral bisa digunakan.5
Berikut pada Tabel dan antibiotik yang dapat digunakan pada profilaksis sekunder
DR dan durasi pemberiannya.

38
Tabel 8. Antibiotik untuk Profilaksis Sekunder DR

Sulit untuk memformulasikan panduan bagi durasi profilaksis sekunder Durasi


profilaksis sekunder untuk pasien dengan riwayat DR yang dipertanyakan dan tidak
ada bukti penyakit katup jantung, sebagai contoh, mugkin berbeda disbanding
untuk pasien dengan penyakit jantung residual yang signifikan dan serangan DR
berulang yang terdokumnetasi. Berikut pada Tabel merupakan durasi pemberian
profilaksis Sekunder pada DR.5
Lama pemberian antibiotika profilaksis sekunder:

 Demam rematik dengan karditis dan penyakit jantung residual (kelainan katup
persisten)  Selama 10 tahun atau sampai usia 40 tahun, pada beberapa kondisi
(resiko tinggi terjadi rekuren) dapat seumur hidup.
 Demam rematik dengan karditis tetapi penyakit jantung residual (tanpa kelainan
katup)  Selama 10 tahun atau sampai usia 21 tahun
 Demam rematik tanpa karditis  Selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun.

Tabel 9. Durasi Pemberian Profilaksis Sekunder

39
C. Tatalaksana Gejala Penyerta
Korea
Korea secara tradisional dianggap sebagai penyakit ringan yang dapat
sembuh sendirinya, tidak membutuhkan terapi. Namun terdapat laporan bahwa
gejala yang berlarut-larut mengararkan ke disabilitas dan isolasi social.
Neuroleptik, benzodiazepine, dan antiepileptic dengan kombinasi suportif seperti
beristirahat di ruang yang tenang. Haloperidol, diazepam dan carbamazepine
dialporkan efektif pada terapi korea. Tidak terdapat bukti meyakinkan bahwa
steroid berguna untuk terapi korea berkaitan dengan DRA.5

Tabel 10. Dosis Obat tatalaksana Korea pada DR

Carbamezepine dan Sodium Valproat saat ini lebih dipilih disbanding


haloperidol, yang dulu dianggap sebagai lini pertama terapi korea. Pada sebuah
studi perbandingan prospektif yang membandingkan tiga agen ini, hasilnya sodium
valproate merupakan yang paling efektif. Medikasi antikorea lain harus dihentikan
karena berpotensi toksik. Berkenaan dengan potensi hepatotoksik sodium
valproate, direkomendasikan carbamazepine digunakan secara inisial untuk korea
berat yang membutuhkann terapi, dan sodium valproate dipertimbangkan untuk
diberikan pada kasus refrakter. Respon belum bisa dilihat dalam 1-2 minggu, dan
medikasi yang sukses hanya dapat mengurangi namun tidak mengeliminasi gejala.
Medikasi harus dilanjutkan 2-4 mgg setelah korea reda, dan dihentikan. Rekurensi
korea biasanya ringan dan dapat diatasi secara konservatif namun pada rekurensi
yang berat, medikasi disarankan jika diperlukan.2

40
Artritis/atralgia
Salisilat (aspirin) direkomendasikan sebagai lini pertama pengobatan. Dosis
aspirin pada anak 125/kgBB/hari dibagi dalam 4-5 dosis. Setelah mencapai
konsentrasi steady state dalam 2 minggu, dosis dapat diturunkan ke 60-70
mg/kg/hari untuk tambahan 3-6 minggu. Pada pasien dengan alergi aspirin,
naproxen (10-20mg/kgBB/hari) dapat digunakan. Ibuprofen juga dapat digunakan
dengan dosis 30 mg/kgBB/hari terbagi ke dalam 3 dosis.2,5

Demam
Demam tidak membutuhkan terapi spesifik. Demam biasanya akan berespon
terhadap terapi salisilat. Demam saja, atau demam dengan atralgia atau atrtritis
ringan, mungkin tidak membutuhkan salisilat namun sebagai gantinya dapat
diterapi dengan parasetamol.2

Aktivitas
Pasien tirah baring dan melakukan aktivitas didalam rumah sebelum
diperbolehkan bersekolah kembali. Aktivitas sepenuhnya tidak diperbolehkan
sampai fase akut reaktan kembali normal. Lama dan tingkat tirah baring tergantung
sifat dan keparahan serangan.7

Tabel 11. Panduan Aktivitas pada DRA

3.8 Komplikasi
 Episode akut biasanya dapat sembuh sendiri dengan durasi rata-rata 3 bulan
untuk serangan yang tidak diobati. Kekambuhan cendrung terjadi dalam
beberapa tahun pertama serangan.

41
 Outcome dengan karditis kemungkinan akan lebih parah jika pasien
memiliki penyakit jantung sebelumnya. Karditis biasanya sembuh tanpa
gejala sisa pada 65-75% pasien.
 Gagal jantung berat, kecacatan dan kematian dapat terjadi beberapa tahun
setelah serangan akut.
 Resiko terjadinya episode baru akan meningkat 5 tahun setelah serangan
akut. Ini membenarkan rofilaksis DRA pada semua pasien selama minimal
5 tahun atau sampai pasien mencapai usia 18 tahun.

3.9 Pencegahan
Pasien harus diberitahu tentang tanda-tanda awal faringitis. Setelah
penyakit ini muncul, pasien atau keluarga harus diberitahu mengenai manfaat
dan resiko kepatuhan terhadap pengobatan medis yang berlangsung lama.

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditujukan kepada penderita DR. Terjadinya
DR seringkali disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha
pencegahan primer terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada
pasien anak-anak yang menderita penyakit radang oleh streptococcus beta
hemolyticus grup A pada pemeriksaan THT (telinga,hidung dan
tenggorokan), di antaranya dengan melakukan pemeriksaan radang pada
anak-anak yang menderita radang THT, yang biasanya menyebabkan batuk,
pilek, dan sering juga disertai panas badan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan
radang pada THT tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi,
termasuk golongan sulfa untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya DR. Pengobatan antistreptokokkus
dan anti rematik perlu dilanjutkan sebagai usaha pencegahan primer
terhadap terjadinya PJR Akut.

42
b. Pencegahan Sekunder
Pecegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya
infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR.
Pencegahan tersebut dilakukan dengan cara, diantaranya :
 Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah diagnosis
ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis 1,2 juta unit
selama 10 hari. Pada penderita yang alergi pada penisilin, dapat diganti
dengan eritromisin dengan dosis maksimum 250mg yang diberikan selama
10 hari. Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan
negative, kerana kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan
faring dan tonsil.
 Obat anti radang
Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang
akut demam rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat tersebut
sangat efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase
reaksi akut. Lebih khusus lagi, salisilat digunakan untuk DR tanpa karditis
dan steroid digunakan untuk memperbaiki keadaan umum anak, nafsu
makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat menurun. Dosis dan
lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya penyakit.
 Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada
sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang
cukup. Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak
menimbulkan gas, dan serat untuk menghindari konstipasi. Bila kebutuhan
gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa
vitamin atau suplemen gizi.
 Tirah baring
Semua pasien DR Akut harus tirah baring di rumah sakit. Pasien harus
diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat gagal jantung. Karditis
hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan, sehingga
pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.

43
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di
mana penderita akan mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis
mitral, insufisiensi mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta.

Tabel 7. Durasi Pencegahan berdasarkan Kategori Pasien

Kategori pasien Durasi


Demam rematik tanpa karditis Sedikitnya sampai 5 tahun
setelah serangan terakhir atau
hingga usia 18 tahun
Demam rematik dengan karditis Sedikitnya sampai 10 tahun
tanpa bukti adanya penyakit setelah serangan terakhir atau
jantung residual/kelainan katup. hingga usia 25 tahun, dipilih
jangka waktu yang terlama
Demam reumatik akut dengan Sedikitnya 10 tahun sejak
karditis dan penyakit jantung episode terakhir atau sedikitnya
residual (kelainan katup hingga usia 40 tahun, dan
persisten) kadang-kadang seumur hidup
Setelah operasi katup Seumur hidup

3.10 Prognosis
Dalam penelitian di Australia, kekambuhan DRA paling sering terjadi
pada tahun pertama setelah episode awal DRA (kejadian 3,7 per 100 orang-
tahun), tetapi risiko rendah bertahan selama lebih dari 10 tahun. Risiko
pengembangan penyakit jantung rematik juga tertinggi pada tahun pertama
(insiden 35,9), hampir 10 kali lebih tinggi daripada kekambuhan DRA.
Kelainan jantung pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25%
pasien. Penyakit katup sering membaik dengan profilaksis. Prognosis sangat
baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan demam rematik akut.
Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik tidak membaik

44
bila bising organic katup tidak menghilang. Penyembuhan akan bertambah
bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik.
Prognosis demam rematik tergantung pada stadium saat diagnosis
ditegakkan, umur, ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan
yang diberikan, serta jumlah serangan sebelumnya. Prognosis pada anak
memburuk pada penderita dengan karditis pada masa anak-anak. Serangan
ulang dalam waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20%
penderita dan kekambuhan semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun.
Morbiditas demam rematik akut berhubungan erat dengan derajat
keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat,
komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju namun masih
sering ditemukan di negara berkembang. Profilaksis sekunder yang efektif
mencegah kumatnya demam rematik akut hingga mencegah perburukan
status jantung. Pengamatan menunjukkan angka penyembuhan yang tinggi
penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur. Informasi ini harus
disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan prognosis
yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat.1,6

45
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini dilaporkan seorang anak perempuan berusia 10 tahun 7


bulan, TB 134 cm, dan BB 22 kg. Demam rematik merupakan suatu reaksi
autoimun terhadap faringitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus
beta hemolyticus grup A yang mekanismenya belum sepenuhnya
dimengerti.Insiden tertinggi didapatkan pada anak usia 5-15 tahun dan pengobatan
yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan resiko terjadinya demam
rematik. Hal ini sesuai dengan kasus, yaitu usia pada saat ini adalah 10 tahun 7
bulan.

Pada anamnesis ditanyakan mengenai keluhan utama, riwayat penyakit


sekarang, riwayat penyakit terdahulu, dan riwayat penyakit keluarga. Berdasarkan
literatur terdapat faktor predisposisi demam rematik yaitu faktor individu ( genetik,
jenis kelamin,usia, golongan etnis dan ras) dan faktor lingkungan ( keadaan sosial
ekonomi buruk, iklim, geografi dan cuaca). Pada pasien ini terdapat faktor
predisposisi yaitu faktor individu (usia) dan faktor lingkungan ( keadaan sosial
ekonomi yang buruk, iklim, geografi dan cuaca).

Selanjutnya ditanyakan mengenai gejala klinis yang dialami pasien. Pada


pasien didapatkan gejala demam memberat sejak 3 bulan SMRS. Keluhan demam
disertai batuk berdahak dan pilek,nyeri sendi, sakit tenggorokan dan riwayat
penyakit DRA sebelumnya. Berdasarkan teori, gejala klinis yang terjadi pada
demam rematik akut terbagi menjadi manifestasi mayor ( karditis, poliartritis,
korea, eritema marginatum, dan nodul subkutan) serta manifestasi minor. Adanya
dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor menunjukkan
kemungkinan besar demam rematik akut jika didukung oleh adanya infeksi
streptococcus grup A sebelumnya.

Dari pemeriksaan fisik saat pasien diperiksa, didapatkan keadaan umum


tampak sakit ringan, tidak terdapat konjungtiva anemis, reflek cahaya positif dan

46
kedua pupil isokor. Pada pemeriksaan leher, tidak ada peningkatan JVP. Pada
pemeriksaan paru dan jantung tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan abdomen tidak
ada pembesaran organ. Diagnosis demam rematik akut diperkuat dengan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakan diagnosis demam rematik akut yaitu ASTO (antistreptolisin tipe O).

Pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan pada pasien ini diantaranya :


elektrocardiografi, echocardiografi, darah rutin dan imunologi. Dari pemeriksaan
darah rutin ditemukan trombositosis, pemeriksaan ASTO positif, CRP negatif,
pemeriksaan EKG didapatkan sinus rhythm dan tidak ada pemanjangan PR interval
serta pada pemeriksaan echocardiografi didapatkan katup mitral mengalami
inflamasi (doom shape) namun pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan bising
jantung.

Dari klinis riwayat penyakit os, dapat dipenuhi kriteria untuk menegakan
diagnosis demam rematik yaitu 1 gejala mayor + 2 gejala minor + bukti
streptococcus : karditis + demam + monoartralgia + ASTO (+). Dimana
berdasarkan teori bahwa demam rematik merupakan penyebab penyakit jantung
didapat tersering pada anak namun untuk menunjang diagnosis ini dibutuhkan
beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan dan hasil pemeriksaan penunjang
dari riwayat penyakit Os, didapatkan temuan yang mendukung diagnosis seperti
ASTO (+), peningkatan LED dan hasil ekokardiografi ditemukan adanya inflamasi
pada katup mitral (tanda karditis subklinis) dan maka pada kasus ini ditegakkan
demam rematik akut. Ini sesuai pedoman AHA 2015 untuk diagnosis demam
rematik rekuren memenuhi satu mayor dan 2 minor ditambah bukti streptococcus.

Terapi pada kasus ini berupa pemberian antibiotic tablet eritromisin 500 mg
selama 10 hari untuk eradikasi primer dan Inj. Benzatine penisilin G 600.000 U
IM.untuk pencegahan sekunder. Menurut kepustakaan , tujuan terapi pada demam
rematik yaitu pencegahan primer pada saat serangan DR, pencegahan sekunder DR
dan menghilangkan gejala yang menyertaiinya, seperti tirah baring, antibiotic dan
penggunaan anti inflamasi kortikosteroid.

47
Berdasarkan pedoman terapi pemberian inj. Penisilin pada anak dengan
dengan BB < 27 kg diberikan dengan dosis 600.000 – 900.000 IU dan BB ≥ 27 kg
diberikan dosis 1.200.000 IU atau dapat diberikan secara oral yaitu Penisilin V
dengan dosis 250 mg tiap 2-3 kali/hari selama 10 hari (anak) dan 500 mg tiap 2-3
kali/hari selama 10 hari (dewasa).

Tabel : penggunaan antibiotik profilaksis sekunder demam rematik oleh WHO


technical report untuk demam rematik dan penuakit jantung rematik

Lamanya pemberian antibiotik pada kasus ini maka perlu diberikan selama 10
tahun atau sampai usia 21 tahun, pada beberapa kondisi dapat seumur hidup.
Pemberian antibiotik pada kasus ini sesuai dengan teori adalah penisilin benzatine
600.000 unit IM karena pada kasus ini berat badan pasien 22 kg. Injeksi BPG ini
digunakan untuk tindakan profilaksis sekunder terhadap rekurensi demam rematik
akut.

Prognosis untuk kasus ini cukup baik selama pencegahan sekunder dengan
pemberian antibiotic BPG diberikan dengan tepat, adekuat dan dimulai secara dini.
Hal tersebut dapat menurunkan mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-kanak,
sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi
rendah.

48
BAB V

KESIMPULAN

Demam rematik merupakan suatu reaksi autoimun terhadap faringitis


streptococcus beta hemolyticus grup A yang mekanismenya belum sepenuhnya
dimengerti. Demam rematik akut tidak pernah menyertai infeksi kuman lain
maupun infeksi streptococcus di tempat lain. Penyakit ini juga cenderung berulang.
Insiden tertinggi penyakit ini ditemukan pada anak berumur 5 -15 tahun dan
pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan resiko
terjadinya demam rematik.

Perjalanan klinis penyakit demam rematik didahului pertama kali oleh


infeksi saluran nafas atas oleh kuman streptococcus beta hemolyticus grup A dan
selanjutnya diikuti periode laten yang berlangsung 1-3 minggu kecuali korea yang
dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan. Setelah periode laten , periode
berikutnya merupakan fase akut dari demam rematik akut dengan timbulnya
berbagai manifestasi klinis dan diakhiri dengan stadium inaktif , yang pada demam
rematik tanpa kelainan jantung tidak menimbulkan gejala.

Manifestasi klinis demam rematik akut dibagi menjadi manifestasi klinis


mayor yaitu : artritis, carditis, chorea syndenham, eritema marginatum dan nodul
subkutan. Manifestasi klinis minor yaitu demam, artralgia, peningkatan LED dan
C-reaktif protein dan pemanjangan PR interval. Kriteria diagnosis berdasarkan
kriteria Jones (revisi 1992) ditegakkan bila ditemukan dengan bukti infeksi
streptococcus grup A pada tenggorokan positif ditambah peningkatan titer antibody
streptococcus.

Penatalaksanaan pada demam rematik berupa eradikasi dari kuman


streptococcus beta hemoliticus grup A, obat analgetik dan antiinflamasi, diet,
istirahat dan mobilisasi serta pengobatan lain yang diberikan sesuai klinisnya
seperti pengobatan corea. Kemudian diikuti dengan pencegahan sekunder yang

49
lamanya sesuai dengan klinisnya. Pencegahan sekunder ini diharapkan dapat efektif
untuk mencegah timbulnya demam rematik berulang.

Pengobatan serta pencegahan yang harus dilaksanakan secara teratur ,


informasi disampaikan kepada pasien atau keluarga pasien sehingga prognosis
pasien dengan penyakit ini baik walaupun pada pasien dengan penyakit jantung
yang berat.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Sastroasmoro, Sudigdo dkk. Buku Ajar Kardiologi Anak. Ikatan


Dokter Anak Indonesia. Jakarta.1994
2. National Heart Foundation of Australia (RF/RHD guideline
development working group) and the Cardiac Society of Australia
and New Zealand. Diagnosis and management of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease in Australia - an evidence based
review. 2006.
3. Nova R. Demam Rematik dan Penyakit Demam Rematik. Standar
Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. Palembang: RSMH.2013
4. Kliegmen B, Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Vol. 2, Edisi 15. Jakarta:
EGC.2011
5. Rudolph AM. Rudolph’s Pediatric. ed- 21. Mcgraw Hill.2003
6. Kumar V, Cotran R, Robbins A. Buku Ajar Patologi Anatomi.
Vol.2. Edisi 7. Jakarta: EGC.2013
7. Pedoman Bagi RS Rujukan Tingkat Pertama Di kota, Pelayanan
Kesehatan Aak DI RS,Jakarta: WHO Indonesia. 2009
8. Staf pengajar IKA FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid
2. Infomedika Jakarta : FKUI.
9. Tilkian AG, Conover MB. Memahami bunyi dan bising jantung
dalam praktik sehari – hari. Jakarta: Binarupa Aksara.
10. Pusponegoro HD,dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi 1. IDAI. 2004.
11. Gerber MA. Chapter 182. Rheumatic Fever. In :Kleigman RM,
Behrman RE, Jenson HB,Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics.18th ed. UK : Elsevier; 2007
12. Acute rheumatic fever (ARF). Pathogenesis & clinical findings. The
Calgary Guide to Understanding Disease. www.calgaryguide.com.
2017
13. Chin TK, Chin EM, Siddiqui T, Sundell AK. Article : Pediatric
Rheumatic Heart Disease.Updated May 30th 2012.
14. Available at :http: //emedicine.medscape.com/article/891897-
overview# showall.

51
15. Endang, Sri. R. Demam Rematik Akut. Pendidikan ilmu kesehatan
anak berkelanjutan (PIKAB) IX. 2011
16. Rosa GD, Pardeo M, Stabile A, Rigante D. Rheumatic Heart Disease
in Children: From Clinical Assessment to Therapeutical
Management. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 2006; 10: 107-110
17. Jonathan C. Alex B. Warren W. Keith E. Clive H. Dkk. Diagnosis
and management of acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease in Australia An evidence-based review. National Heart
Foundation of Australia and the Cardiac Society of Australia and
New Zealand. June 2006

52

Anda mungkin juga menyukai