Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia

indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-indonesia/

Harian IndoPROGRESS

INDONESIA menempati posisi ketiga sebagai negara yang memiliki hutan tropis terluas
setelah Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Pada tahun 2009, total luas hutan Indonesia
90,1 juta hektar (Brockhaus et.al 2012: 32). Namun, keberadan hutan Indonesia terus
terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan,
legal logging dan illegal logging (Noordwijk et.al 2008, Tolo 2012). Deforestasi dan
degradasi hutan di Indonesia ditengarai sebagai akibat dari dinamika kebijakan pada sektor
kehutanan yang menyingkirkan peran masyarakat (Tolo 2012) dan cenderung mengelola
hutan dengan menggunakan pendekatan ekonomi semata[1] (Awang 2009). Kerusakan
hutan Indonesia bukanlah fakta baru melainkan sudah menyejarah sejak jaman kerajaan
hingga saat ini.

Jaman kerajaan dan penjajahan

Hutan Indonesia sudah menjadi sumber daya alam yang dieksploitasi sejak jaman kerajaan.
Di Jawa, eksploitasi hutan terjadi sejak tahun 800. Di salah satu dinding candi Borobudur
ada lukisan kapal yang konon sudah berlayar sampai ke India dan Mesopotamia. Candi
Borobudur didirikan selama 250 tahun dan rampung pada abad ke-10 (Simon 2008).
Dengan ini disimpulkan bahwa penebangan kayu sudah terjadi sejak tahun 800, bahkan
sebelumnya. Sementara itu, dalam cerita kronikel sejarah kerajaan Mataram abad ke-16
dan 17 yang berjudul ‘Babad Tana Jawi,’ yang bisa diterjemahkan sebagai ‘Sejarah Tanah
Jawa’ atau “Pembersihan Tanah Jawa” diinterpretasi oleh beberapa kalangan sebagai
proses pembukaan tata ruang pada tempat lain untuk memindahkan penduduk agar lebih
mudah dikontrol oleh kerajaan. Dalam proses pembukaan tata ruang ini tentunya terjadi
eksploitasi hutan (Hidayat 2008).

Pembangunan ibu kota Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, dilakukan dengan membabat
hutan jati. Pada tahun 1200, terdapat banyak industri kapal yang menyebabkan deforestasi
hutan di Jawa. Industri kapal ini umumnya dikuasai oleh pengusaha Cina di sepanjang
pantai utara pulau Jawa yang terbentang mulai dari Pasuruhan di Jawa Timur sampai di
Tegal Jawa Tengah. Perusahan kapal pada masa kerajaan Majapahit sangat penting untuk
melakukan hubungan dagang dengan Cina, Champa, Siam, Burma, India dan Madagaskar
di Afrika Timur (Simon 2008).

Eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin intensif pada masa VOC (Vereenigde Oost-
Indische Compagnie). Pengusaha etnis Tionghoa juga berperan dalam eksploitasi hutan
pada masa VOC. Biasanya sebelum melakukan ekspoitasi terhadap hutan, VOC meminta
izin kepada raja-raja Jawa. Pada tahun 1743, ketika Raja Mataram melepaskan wilayah
pantai utara-timur Jawa (Rembang, Jepara, Waleri, Pekalongan, dan lain-lain), hutan daerah
ini dieksploitasi oleh VOC. Pada tahun 1812, hutan Jipang yang didominasi hutan jati
1/7
direbut VOC. Hutan bagian selatan Jipang kemudian dikuasai pada tahun 1930. Tujuan
eksploitasi saat itu adalah untuk mendukung perusahaan perkapalan di Rotterdam dan
Amsterdam. Selain itu, pada masa VOC, eksploitasi hutan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan kayu bakar di perusahaan gula di Jawa. Oleh karena itu, hutan di daerah seperti
Bekasi, Depok, Tanggerang dan Jakarta dieksploitasi untuk mendukung perindustrian gula
milik VOC (Awang 2005).

Ketika VOC mendapat hak-hak konsesi hutan dari raja-raja Jawa, VOC juga merambah
eksploitasi hasil hutan berupa getah, damar, kopra, biji-bijian yang menghasilkan minyak
dan rotan (Hidayat 2008). Ketika VOC bangkrut pada abad ke-18, maka kekuasaan atas
hutan di Indonesia diambilalih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Karena pentingnya bahan
baku untuk industri kapal di Rotterdam dan Amsterdam yang sangat penting bagi ekonomi
nasional, Kerajaan Belanda mengirim Herman Willem Daendels menjadi gubernur Jenderal
(1808-1811). Salah satu tugas Daendels adalah membangun kembali hutan jati di Jawa
(Simon 2008). Pada masa Jepang, hutan di Jawa mengalami kerusakan serius karena
dieksploitasi untuk ongkos perang (Awang 2005).

Masa Soekarno dan ideologi sosialisme nasionalis

Pada masa Soekarno, tata kelola kehutanan bersifat desentralistik. Melalui Peraturan
Pemerintah No. 64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata kelola kehutanan di
luar pulau Jawa kepada pemerintah propinsi. Oleh karena itu, pemerintah propinsi
berwewenang untuk memberikan izin pemanfaatan sumber daya hutan dalam bentuk: (1)
konsesi hutan di wilayah kerjanya maksimal 10.000 hektar dengan jangka waktu 20 tahun,
(2) memberi ijin penebangan maksimal 5.000 hektar dengan jangka waktu 5 tahun, (3) ijin
tebang kayu dan pemungutan hasil hutan non-kayu lainnya sampai dengan batas tertentu
selama 2 tahun (Santoso 2008).

Kebijakan yang desentralistis dalam sektor kehutanan pada masa Soekarno ditopang oleh
kebijakan ekonomi politik yang berdasarkan pada gagasan sosialisme dan nasionalisme
yang anti investasi Barat. Oleh karena itu, pada masa Soekarno, sumber daya hutan kurang
dieksploitasi baik oleh pengusaha asing maupun pribumi. Banyak perusahaan Amerika dan
Inggris yang terpaksa mengundurkan diri karena iklim usaha yang merugikan investor asing.
Pada tahun 1957/1958, Sukarno mengumumkan sikap anti barat dan hingga tahun 1963
upaya nasionalisasi perusahaan Belanda, Inggris dan Cina, terus berlangsung. Hampir tidak
ada investasi komersial dalam bidang kehutanan kecuali oleh perusahaan Jepang, seperti
Mitsui yang melakukan eksploitasi hutan pada tahun 1950an di Kalimantan dengan
perjanjian pembagian produksi yang adil. Namun, kerja sama dengan Jepang ini dinilai
kurang berhasil (Awang 2005).

Pragmatisme dan liberalisme ekonomi Orde Baru

Pada masa Orde Baru (1968-1998), tata kelola hutan bersifat sentralistis dan kebijakan
ekonomi politik menjadi pro-investasi barat dan investasi dalam negeri serta
2/7
mengembangkan skenario pinjaman luar negeri untuk melaksanakan pembangunan
nasional melalui IMF dan Bank Dunia (Awang 2006: 16). Kebijikan ekonomi pragmatis ini
diambil untuk menyelamatkan ekonomi nasional yang gagal di era akhir era Soekarno yang
ditunjukkan inflasi yang mencapai 650 persen (Awang 2005). Sumber daya hutan seluas
143 juta hektar menjadi sumber devisa yang penting untuk pembangunan bangsa. Dengan
dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan UU
No. 11 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pintu investasi asing
dan swasta untuk mendapat konsesi hutan terbuka lebar (Siahaan 2007). Sejak saat ini,
para investor diberi konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk hutan di luar Jawa,
terutama hutan di Sumatra dan Kalimantan.. Dengan dibekukannya hak-hak masyarakat
adat oleh pemerintah pada tahun 1970-an, HPH berkembang dengan subur tanpa
hambatan perlawanan dari masyarakat adat (Awang 2006). Pada tahun 1989, 572 unit HPH
menguasai 64 juta hektar hutan produksi.[2] Hingga tahun 2000, jumlah HPH meningkat
sekitar 600 unit.[3] Dengan menjamurnya HPH, menurut FAO, antara tahun 1976-1980,
550.000 hektar hutan rusak setiap tahun (Hidayat 2008). Pada tahun 1980, laju deforestasi
adalah 1 juta hektar. Pada tahun 1885, laju deforestasi sebesar antara 600-1,2 hektar per
tahun. Laju deforestasi pun semakin meningkat pada tahun 1985-1997, yakni 1,7 juta hektar
per tahun (Awang 2005).

http://uniqpost.com/wp-content/uploads/2012/09/hutan-tropis-sungai.jpg

Pada tahun 1970an, sektor kehutanan melalui pemberian HPH menyumbangka devisa
kedua terbesar setelah sektor minyak bumi. Pada tahun 1974, pendapatan devisa asing
meningkat menjadi 564 juta dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan dengan tahun 1968
yang hanya 6 juta dolar AS. Di penghujung tahun 1968, Indonesia menjadi produsen kayu
log utama, lebih besar dari seluruh negara Afrika dan Amerika Latin, yang menyumbangkan
devisa 2,1 miliar dolar AS (sekitar 40 persen saham dari pasar log global). Pada tahun 1985,
ekspor log dilarang pemerintah karena pemerintah ingin membuat kebijakan untuk
mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya hutan dari hulu hingga hilir dengan
membangun Plywood. Dengan kebijakan ini, pemerintah memperoleh devisa 50 miliar dolar
AS selama periode 1983-1997 (Hidayat 2008).

Karena kebijakan Plywood berhasil, pemerintah merencanakan untuk mendirikan industri


pulp dan kertas. Konsekwensi dari kebijakan ini adalah bahwa pemerintah mempromosikan
Hutan Tanaman Industri (HTI). Pada akhir tahun 1980an, pemerintah berencana membuka
1,5 juta hektar tanaman HTI dan bahkan menjadi 4,4 juta sampai 6 juta hektar menjelang
tahun 2000an. Namun, hingga tahun 1998 hanya 2,4 juta hektar HTI yang dibuka.
Kegagalan ini disebabkan oleh guncangan krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti
terjadinya konflik lahan antara masyarakat dan pengusaha HTI. Konflik lahan ini
disebabkan oleh munculnya isu hak-hak hutan adat, otonomi dan desentralisasi pengelolaan
3/7
sumber daya alam yang mencuat di berbagai daerah dan propinsi (Hidayat 2008).

Pada era Orde Baru, Indonesia kehilangan hutannya seluas 40 juta hektar karena
dikonversi untuk lahan kelapa sawit, areal transmigrasi, konsesi HPH dan HTI, ekspansi
pertanian (sawah 1 juta hektar di Kalimantan Tengah), dan praktik illegal logging. Selain itu,
kebijakan yang sentralistis pada masa Orde Baru dan kemudahan-kemudahan yang
diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha dan investor untuk mendapatkan fasilitas dari
pemerintah seperti kredit bank, percepatan pemberian izin, serta perkawinan antara
pengusaha dan penguasa juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan hutan yang masif
dan cepat di Indonesia (Hidayat 2008). Namun, eksploitasi hutan memberikan devisa
negara yang menjadi sumber penting pendorong pembangunan ekonomi nasional. Namun,
keuntungan finansial dari sektor kehutanan dinikmati oleh elit militer, penguasa dan politik
(Awang 2006).

Kebijakan ekonomi politik Orde Baru dalam hal mengelola hutan mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional yang signifikan. Namun, jika dikalkulasi kontribusi sektor kehutanan untuk
APBN sangat kecil karena dari tahun 1984-1989, pendapatan pemerintah pusat hanya
sebesar 0,1 persen saja. Rendahnya pemasukan dari sektor kehutanan disebabkan oleh
rendahnya rente ekonomi yang dikumpulkan pemerintah dari iuran lisensi, pajak PBB, royalti
dan reboisasi. Dari tahun 1988 hingga 1990, rente ekonomi yang ditarik pemerintah
maksimal 17 persen, sedangkan rente yang tidak dapat ditarik pemerintah minimal 83
persen yang menjadi milik perusahaan swasta. Namun, jika dilihat dari pendapat ekspor,
sumbangan dari sektor kehutanan cukup besar. Dari tahun 1994-1999, kontribusi sektor
kehutanan terhadap total ekspor nasional berkisar antara 13,39 persen-16,73 persen
(Awang 2006).

Pasca-Orde Baru dan desentralisasi yang gagal

Sejak Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, Indonesia memasuki era pasca Orde Baru yang
diwarnai oleh krisis ekonomi moneter. Untuk mengatasi krisis ini, Indonesia kembali
menggunakan resep ekonomi neo-liberalisme yakni melakukan skenario peminjaman
kepada IMF dan Bank Dunia untuk memulihkan ekonomi nasional. Selain itu, pemerintah
menjalankan kebijakan privatisasi terhadap perusahaan negara seperti perbankan, PT.
Telkom, PT Pupuk Kaltim, dan industri semen. Bersamaan dengan itu, masa pasca Orde
Baru ditandai oleh perubahan sistem politik dari sentralisasi menjadi desentralisasi dengan
dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
disempurnakan oleh UU No. 32 Tahun 2004. Namun, UU desentralisasi ini memiliki konflik
kewenangan (conflict of norm) dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Namun, karena
pemerintah pusat menjadi lemah, maka terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi
dalam pengelolaan hutan oleh para pejabat publik di daerah. Selain itu, masyarakat adat
yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Baru menuntut pengelolaan hutan
dikembalikan kepada masyarakat. Konflik masyarakat dengan pengusaha HPH terjadi di
mana-mana. Oleh karena itu, banyak HPH yang beroperasi di Kalimantan Timur,
4/7
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Riau tidak lagi beroperasi. Di sisi lain,
depertemen kehutanan juga memberhentikan operasi HPH karena tidak memperhatikan
kelestarian hutan yang merupakan tanggung jawabnya (Awang 2006, Awang 2005).

Namun, meskipun banyak HPH yang berhenti beroperasi. Pada masa pasca Orde Baru,
tingkat deforestasi justru semakin tinggi. Pengimplementasian otonomi yang berlebihan oleh
pemerintah daerah dalam desentralisasi pengelolaan kehutanan adalah salah satu
penyebab meningkatnya deforestasi (Awang 2006, Awang 2005).

Akibat dari kebijakan eknomi neo-liberal dan implementasi desentralisasi pengelolaan


sumber daya hutan, pada tahun 1990, 1,8 juta hektar hutan ditebang setiap tahun. Sejak itu,
tingkat deforestasi terus meningkat dari 1,7 persen ke 2 persen setiap tahun. (Siahaan
2007). Namun, laju kerusakan hutan yang tinggi ini tidak diimbangi dengan pemasukan
yang diterima pemerintah. Menurut laporan Bank Dunia (2006), dalam 10 tahun terakhir,
sektor kehutanan hanya berkontribusi terhadap 3-4 persen GDP. Oleh karena itu, sumber
daya hutan di Indonesia tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan, pembangunan
sosial dan ekonomi, serta sustainabilitas lingkungan hidup (Scheyvens dan Setyarso 2010,
Brockhaus et.al 2012). Hal ini diperburuk oleh korupsi dalam manajemen hasil hutan oleh
elit pemerintahan. Menurut laporan Clements et.al (2010), sejak tahun 1989, Dana
Reboisasi (Indonesia’s Reforestation Fund) sebesar 5,8 miliar dolar AS digunakan untuk
proyek-proyek politik yang tidak ada hubungan sama sekali dengan program restorasi
hutan.

Ekonomi kapitalis global, penyebab kerusakan hutan

Melihat sejarah tata kelola kehutanan Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa
kerusakan hutan disebabkan oleh kebijakan tata kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh
kekuatan ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal yakni: pertama, kebijakan ekonomi
politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun domestik, dalam sektor kehutanan,
pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi,
telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Kebijakan ekonomi politik pro
investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.

Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh
kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the failure to address the
fundanmental driver) dan tendensi untuk melihat sektor kehutanan sebagai entitas yang
terpisah dari sektor lain (the tendency to view the forest sector in isolation from other
sectors)”. Tendensi seperti ini menimbulkan kontradiksi kebijakan antar-departemen.
Regulasi yang dibuat oleh departemen dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-
tindih. Singkatnya, deforestasi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena
kemiskinan, rendahnya kapasitas manajemen, dan buruknya kebijakan ekonomi politik
(Ricketts 2010).***

Emilianus Yakob Sese Tolo, Peneliti di Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta
5/7
Kepustakaan:

Awang, San Afri. 2005. Sejarah Pemikiran Pengelolaan Hutan Indonesia, Wacana edisi 20,
Yogyakarta: Insist Press.

Awang, San Afri. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan
Perlawanan. Yogyakarta: Debut Press.

Brockhaus, Maria. et.al. 2012. An Overview of Forest and Land Allocation Policies in
Indonesia: Is the Current Framework Sufficient to Meet the Needs of REDD+. Forest Policy
and Economics, Vol.18.

Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Noordwijk et.al. 2008. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in
Indonesia: Options and Challenges for Fair and Efficient Payment Distribution Mechanisms.
Working Paper. CIFOR: Bogor, Indonesia.

Ricketts, H. Taylor. (2010). Indigenous Lands, Protected Areas, and Slowing Climate
Change. PLoS Bilogy 8, e1000331.

Santoso, Imam. 2008. Perjalanan Desentralisasi Pengurasan Sumberdaya Hutan Indonesia.


Paper dipresentasikan di Seminar Internasional di bawah tema Ten Years Along:
Decentralization, Land, and Natural Resources in Indonesia pada tanggal 15-16 Juli
Universitas Atma Jaya Jakarta.

Simon, Hasanu. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Cooperative Fores


Management. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siahaan, N. H. T. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta:


Pancuran Alam.

Simon, Hasanu. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Cooperative Forest


Management. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tolo, Emilianus Yakob Sese. 2012. Siginifikansi Desentralisasi Kehutanan Bagi


Implementasi REDD+ di Kabupaten Maluku Tengah, Jurnal Sosial dan Politik UGM, Vol. 12.

[1]Hutan tidak saja bernilai ekologis dan ekonomis, tetapi juga bernilai religius, sosial dan
kultural. Begitu juga dengan hutan Indonesia. Hampir semua masyarakat yang hidup di
sekitar hutan memandang hutan bukan bernilai ekonomi semata melainkan juga memiliki
nilai religius, sosial dan kultural. Misalkan, masyarakat Manggarai di NTT melihat hutan
sebagai Ibu yang melahirkan dan melindungi masyarakat. Penghargaan terhadap hutan
6/7
sebagai Ibu dilakukan dalam upacara adat yang disebut ‘Barong Wae’. Selain itu,
masyarakat Dayak di Kalimantan melihat hutan sebagai asal muasal kehidupan. Hal ini
dituliskan dalam mitos-mitos masyarakat Dayak. Di hutan yang sama, baik masyarakat
Manggarai maupun Dayak membangun relasi sosial melalui kegiatan sosial-komunal seperti
berburu secara adat dan ritus-ritus religius

[2]Perlu diketahui bahwa 572 unit HPH hanya dikuasai oleh 20 konglomerat kehutanan.
Artinya, setiap konglomerat mengeksploitasi lebih dari 1 juta hektar (Awang 2006: 17).

[3]Menurut Hidayat (2008) pada pertengahan tahun 1990an konsesi HPH telah mencapai 69
hektar yang dialokasikan kepada 657 pemilik konsesi HPH.

7/7

Anda mungkin juga menyukai