1. Introduksi
Menentukan postmortem interval adalah salah satu masalah kompleks dalam ilmu
forensik. Penelitian yang berdasarkan data untuk menentukan PMI masih sedikit dan
berdasarkan evaluasi komponen biokimia dari vitreous humor, seperti natrium, kalium,
klorida, laktat dan hipoksantin [1-4]
Lensa berada pada mata di belakang iris. Permukaan anterior lensa berisi aqueous
humor, sedangkan bagian posterior lensa berisi vitreous body [5]. Lensa berisi 1000-3000
lapis sel fiber [6]. Lensa dewasa berisi 2 jenis sel fiber yaitu: (i) berada pada korteks(bagian
terluar lensa), yang masih belum dewasa dan masih berisi organella(termasuk mitokondria),
yang akan terdegradasi melalui proses protease-and nuclease-regulated, meninggalkan
kantung membran berisi kristallin, dan (ii) berada pada nukleus(inti dari lensa), ang telah
dewasa dan tak berisi organella [6]. Penyingkiran organella diperlukan agar lensa dapat
menjadi transparan karena organella dapat menghamburkan cahaya sedangkan protein
kristallin tidak. Sintesis protein dan degradasi protein terjadi sedikit sekali atau tidak ada, dan
kristallin dan protein lain yang disintesis sejak lahir bertahan sepanjang hidup makhluk hidup
[7].
Transparansi mata bergantung pada deretan sel fiber yang merupakan hal sulit karena
terususun dengan rapi untuk membentuk volume speroidal yang berisi kristalin sitoplasmik
dan filamen sitoskeletal intermediet yang terbungkus membran yang terbuat dari beberapa
protein integral. Protein lensa termasuk jenis protein yang umum namun lensa memiliki jenis
yang khusus. [8]
Kristallin, yang terbagi menjadi tiga isoform berbeda (a-crystallin, b-crystallin dan c-
crystallin), adalah komponen utama pada lensa mata vertebrata yaitu menyusun >90% jumlah
seluruh protein yang ada pada sel fiber lensa dan >35% berat basah lemsa [7]. Kegunaan
yang dilakukan oleh a-crystallin penting untuk menjaga transparansi lensa
Alasan penggunaan kelinci sebagai model eksperimen untuk mempelajari lensa antara
lain: Pertama, kelinci dan manusia memiliki lensa dengan sutura bercabang, walaupun
sebelumnya adalah tipe “garis”dan lalu tipe “bintang”. Maka lensa kelinci dapat dianggap
sebagai penyederhanaan dari lensa manusia yang lebih kompleks [9-13]. Kedua, ukuran dan
kelengkunagn lensa kelinci mendekati lensa manusia dibandingkan lensa lain yang umumnya
digunakan dalam penelitian seperti tikus dan mencit. Penelitian pertama dengan memakai
lensa kelinci sebagai model eksperimen adalah untuk mengukur ketebalan kornea dengan
ultrasonik [2]. Terakhir, dalam penelitian ini hal-hal yang diperoleh dari lensa kelinci adalah
sebagai parameter perbandingan dengan lensa manusia [10,14-16].
Selain untuk menentukan PMI, umur subjek juga dapat diketahui dengan teknik
radiokarbon pada lensa antara 24 dan 48 jam setelah kematian [17]. Kesimpulannya
penentuan postmortem keburaman lensa dapat memberikan informasi yang berguna dalam
proses hukum serta pendamping data klinis dan data fundametal dalam kasus yang tidak
memiliki data medis.
Tujuan penelitian ini adalah menilai adanya perubahan histologis dan morfologis
postmortem yang ada di lensa yang berkaitan dengan postmortem interval.
Lensa ( n=80 ) di ambil dari 40 kelinci dengan rata – rata umur 84.02 hari (75-95 hari)
dikorbankan di perusahaan lokal pengolahan daging [19]. Semua hewan yang digunakan
diperlakukan secara normal dan tidak dibunuh demi kejelasan penelitian. Di laboratorium
Departemen Forensik Kedokteran dari Univesity of Murcia (Spanyol), lensa dibiarkan
terkena udara dengan suhu ruangan rata-rata 21.3oC pada 24 hpm, 21.4oC pada 48 hpm,
22,4oC pada 72 hpm dan 22.7oC pada 96 hpm.
Gambar 1. Keakuratan pada lensa dan dan perbedaan statistik yang signifikan anata mata
kanan dan kiri untuk interval postmortem.
2.4.Analis Statistik
Paket 20.0 spss ( SPSS Inc., Chicago, IL, USA ) digunakan untuk data analis statistik,
perhitungan diartikan standar deviasi ( DV ) dan 95% tingkat keakuratan. Uji Kruskal –
Wallis, uji parametrik – anon untuk lebih dari dua sampel independen, di gunakan untuk
membandingkan kelompok. Juga, secara kontras khusus untuk setiap variabel yang di
kelompokan menurut kategori diagnostik menggunakan Uji non – parametrik Mann –
Whitney untuk dua sampel independen. Nilai kurang dari 0.05 dianggap signifikan secara
statistik.
3.1 Pengukuran absorbansi lensa kanan dan kiri pada panjang gelombang dan
postmortem interval yang berbeda
Pada setiap waktu postmortem tidak ditemukan perbedaan signifikan antara nilai
absorbansi antara lensa kenan dan kiri pada setiap panjang gelombang untuk PMI yang
sama.
Nilai absorbansi untuk tiap panjang gembang ditunjukkan pada tabel. Dapat diamati
bahwa absorbansi menurun selama postmortem interval naik (Tabel 1). Data telah
dibandingkan dan dianalisa oleh tes nonparametrik.
Rata-rata dan 95% confidence interval lensa adalah: 0.976 ± 0.005 (0.965–0.988) saat
24 jam postmortem, 0.967 ± 0.007 (0.956–0.981) saat 48 jam postmortem, 0.950 ± 0.007
(0.929–0.971) saat 72 jam postmortem dan 0.913 ± 0.015 (0.881–0.947) saat 96 jam
postmortem. Untuk pemerikaan variabel kelengkungan, dilakukan tes Kruskal-Wallis dan
menghasilkan perbedaan signifikan dengan PMI (p<0.0001). Sperbedaan statistik yang
signifikan ditemukan antara PMI yang berbeda-beda. Terlebih adanya kecenderungan
perubahan menurunnya kelengkungan seiring dengan bertambahnya PMI (Gambar 1).
Gambar 2. Foto makroskopik lensa: (a) 24 jam postmortem; (b) 48 jam postmortem;
(c) 72 jam postmortem; (d) 96 jam postmortem.
Gambar 3. (A) Lensa 24 jam postmortem: (a) nukleus sel (panah hitam) (HE, 4x);
(b) kapsul lensa dan epitel dan, dibawahnya, melekat fiber lensa (panah hitam) (HE, 10); (c)
detail foto yang diobservasi pada gambar a. Kapsul transparan (panah hitam) dan sel epitel
bergabung terdistribusi secara merata (HE, 40x). (B) Lensa saat 48 jam postmortem: (a)
bagian posterior: epitel terperihara dengan baik di zona perifer (panah hitam). (HE, 10); (b)
nukleus sel epitel (HE, 40x); (c) fiber lensa (panah hitam) tersebar merata dan bergabung,
dengan tanpa celah dintaranya (HE, 40x). (C) Lensa 72 jam postmortem: (a) fiber lensa
terpisah (panah hitam) (HE, 10x); (b) fiber muda terpilah (HE, 10x); (c) detail gambar b.
Celah diantar fiber muda bertambah (panah hitam) (HE, 40x). (D) Lensa 96 jam postmortem:
(a) struktur eosinofil (panah hitam) (HE, 10x); (b) aglomerasi struktur eosinofil memanjang
secara acak (panah hitam) (HE, 40x)