Anda di halaman 1dari 5

Abstraksi

Menentukan waktu setelah seseorang meninggal / postmortem interval(PMI) adalah masalah


yang kompleks walaupun telah ada beberapa metode-metode makroskopik dan mikroskopik
sebelumnya. Kebanyakan metode adalah berdasarkan pemeriksaan komponen kimiawi
vitreous humor 24-36 jam setelah meninggal, namun sejauh ini masih belum ada penelitian
tentang hubungan antara lensa dan PMI. Lensa dilindungi oleh aqueous humor dan vitreous
humor di dalam bola mata maka perubahan postmortem dapat diasumsikan terjadi pada
kemudian waktu. Untuk mengevaluasi kegunaan lensa dalam menentukan postmortem
interval, kami meneliti 80 lensa kelinci dalam waktu 24,48,72 dan 96 jam setelah kematian
dengan menilai penurunan dalam kelengkungan dan absorbansi (densitas optik) di gelombang
cahaya yang berbeda dan perubahan histologis. Kelengkungan dan absorbansi diamati
perubahan yang signifikan serta rusaknya struktur dan organisasi komponen lensa secara
bertahap untuk menentukan postmortem interval. Perubahan pada lensa berguna untuk
menentukan postmortem interval antara 24-96 jam.

2015 Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved.

1. Introduksi

Menentukan postmortem interval adalah salah satu masalah kompleks dalam ilmu
forensik. Penelitian yang berdasarkan data untuk menentukan PMI masih sedikit dan
berdasarkan evaluasi komponen biokimia dari vitreous humor, seperti natrium, kalium,
klorida, laktat dan hipoksantin [1-4]

Lensa berada pada mata di belakang iris. Permukaan anterior lensa berisi aqueous
humor, sedangkan bagian posterior lensa berisi vitreous body [5]. Lensa berisi 1000-3000
lapis sel fiber [6]. Lensa dewasa berisi 2 jenis sel fiber yaitu: (i) berada pada korteks(bagian
terluar lensa), yang masih belum dewasa dan masih berisi organella(termasuk mitokondria),
yang akan terdegradasi melalui proses protease-and nuclease-regulated, meninggalkan
kantung membran berisi kristallin, dan (ii) berada pada nukleus(inti dari lensa), ang telah
dewasa dan tak berisi organella [6]. Penyingkiran organella diperlukan agar lensa dapat
menjadi transparan karena organella dapat menghamburkan cahaya sedangkan protein
kristallin tidak. Sintesis protein dan degradasi protein terjadi sedikit sekali atau tidak ada, dan
kristallin dan protein lain yang disintesis sejak lahir bertahan sepanjang hidup makhluk hidup
[7].

Transparansi mata bergantung pada deretan sel fiber yang merupakan hal sulit karena
terususun dengan rapi untuk membentuk volume speroidal yang berisi kristalin sitoplasmik
dan filamen sitoskeletal intermediet yang terbungkus membran yang terbuat dari beberapa
protein integral. Protein lensa termasuk jenis protein yang umum namun lensa memiliki jenis
yang khusus. [8]

Kristallin, yang terbagi menjadi tiga isoform berbeda (a-crystallin, b-crystallin dan c-
crystallin), adalah komponen utama pada lensa mata vertebrata yaitu menyusun >90% jumlah
seluruh protein yang ada pada sel fiber lensa dan >35% berat basah lemsa [7]. Kegunaan
yang dilakukan oleh a-crystallin penting untuk menjaga transparansi lensa

Alasan penggunaan kelinci sebagai model eksperimen untuk mempelajari lensa antara
lain: Pertama, kelinci dan manusia memiliki lensa dengan sutura bercabang, walaupun
sebelumnya adalah tipe “garis”dan lalu tipe “bintang”. Maka lensa kelinci dapat dianggap
sebagai penyederhanaan dari lensa manusia yang lebih kompleks [9-13]. Kedua, ukuran dan
kelengkunagn lensa kelinci mendekati lensa manusia dibandingkan lensa lain yang umumnya
digunakan dalam penelitian seperti tikus dan mencit. Penelitian pertama dengan memakai
lensa kelinci sebagai model eksperimen adalah untuk mengukur ketebalan kornea dengan
ultrasonik [2]. Terakhir, dalam penelitian ini hal-hal yang diperoleh dari lensa kelinci adalah
sebagai parameter perbandingan dengan lensa manusia [10,14-16].

Walaupun banyak penelitian mengenai perubahan morfologis dan histologis untuk


beberapa patologi , kami tidak menemukan referensi mengenai penggunaan lensa untuk
menentukan PMI. Menentukan perubahan dalam transparensi lensa postmortem akan berguna
sebagai langkah awal menentukan perubahan kondisi visual kadaver [17]. Evaluasi
postmortem lensa akan memberikan gambaran untuk menentukan kondisi yang berbeda dan
tingkat katarak yang berkaitan dengan kejadian, serta memberikan informasi yang relevan
untuk mengembangkan usaha pencegahan kejadian [18].

Selain untuk menentukan PMI, umur subjek juga dapat diketahui dengan teknik
radiokarbon pada lensa antara 24 dan 48 jam setelah kematian [17]. Kesimpulannya
penentuan postmortem keburaman lensa dapat memberikan informasi yang berguna dalam
proses hukum serta pendamping data klinis dan data fundametal dalam kasus yang tidak
memiliki data medis.

Tujuan penelitian ini adalah menilai adanya perubahan histologis dan morfologis
postmortem yang ada di lensa yang berkaitan dengan postmortem interval.

2. Bahan dan metode

2.1. koleksi sampel

Lensa ( n=80 ) di ambil dari 40 kelinci dengan rata – rata umur 84.02 hari (75-95 hari)
dikorbankan di perusahaan lokal pengolahan daging [19]. Semua hewan yang digunakan
diperlakukan secara normal dan tidak dibunuh demi kejelasan penelitian. Di laboratorium
Departemen Forensik Kedokteran dari Univesity of Murcia (Spanyol), lensa dibiarkan
terkena udara dengan suhu ruangan rata-rata 21.3oC pada 24 hpm, 21.4oC pada 48 hpm,
22,4oC pada 72 hpm dan 22.7oC pada 96 hpm.

Hewan yang di pergunakan di bawah perlindungan peraturan hukum Spanyol ( RD


1201/05) sesuai dengan prinsip – prinsip EU directive EU 86/609. Pembelajaran ini telah
disetujui oleh Ethics Committee of the University of Murcia (Spanyol).

2.2. Enukleasi dan pengukuran dari kelengkungan dan absorbansi


80 lensa diklasifikasikan ke dalam 4 kelompok dengan 20 sampel setiap kelompok.
Setiap 24jam semua lensa dari group diberikan enukleasi ( grup pertama 24 hpm, grup kedua
48 hpm, grup ketiga 72 hpm, dan grup terakhir 96 hpm) dengan membuat sayatan lateral dan
memotong otot orbital [20]. Setelah diekstrak, 20 lensa di tempatkan garam fisiologis,
absorbansi mereka diukur pada 365,370,375,415,dan 420nm menggunakan Shimadzu UV –
160 spektrofotometer [21]. Absorbansi dari setiap mata lensa diukur langsung dalam plastik
cuvette berukuran 1 – cm yang dirancang dan dikembangkan di laboratorium kita, dan sebuah
cuvette yang kosong sebagai tempatnya. Bentuk special dari cuvette memungkinkan kensa di
pegang secara vertikal, sehingga bobotnya sendiri dan efek dari gravitasi tidak berpengaruh
karena di dukung oleh bentuk tepinya, meninggalkan bagian tengah dalam posisi anatomi
yang benar saat sinar cahaya di arahkan. Setelah mengukur lensa yang difoto menggunakan
Nikon DX kamera digital ( AF – S DX NIKKOR) pada jarak 20 cm dan dengan resolusi 10.2
megapixels. Program analisis gambar, digunakan alat gambar UTHSCSA untuk mengukur
diameter terbesardan terkecil serta untuk menghitung keakuratan lensa.Dengan cara ini, kita
dapat menilai setiap perubahan kation dalan transparansi dan kejelasan sebagai fungsi PMI.

2.3. Studi Histologis

Setelah pemeriksaan visual dengan alat gambar, lensamata di pasang di 10 dormalin


buffer selama 22 – 30 hari, Bagian (tebal 4nm) di peroleh dari masing – masing blok parafin
dan di tempatkan di SuperFrost (Menzel – Glaser, Braunschweig, Spanyol) di tambah slide
kaca. Setelah deparaffinisasi dan rehidrasi pada golongan alkoholik, haematoxylin eosin dan
di aplikasikan

Gambar 1. Keakuratan pada lensa dan dan perbedaan statistik yang signifikan anata mata
kanan dan kiri untuk interval postmortem.

2.4.Analis Statistik

Paket 20.0 spss ( SPSS Inc., Chicago, IL, USA ) digunakan untuk data analis statistik,
perhitungan diartikan standar deviasi ( DV ) dan 95% tingkat keakuratan. Uji Kruskal –
Wallis, uji parametrik – anon untuk lebih dari dua sampel independen, di gunakan untuk
membandingkan kelompok. Juga, secara kontras khusus untuk setiap variabel yang di
kelompokan menurut kategori diagnostik menggunakan Uji non – parametrik Mann –
Whitney untuk dua sampel independen. Nilai kurang dari 0.05 dianggap signifikan secara
statistik.

3.1 Pengukuran absorbansi lensa kanan dan kiri pada panjang gelombang dan
postmortem interval yang berbeda

Pada setiap waktu postmortem tidak ditemukan perbedaan signifikan antara nilai
absorbansi antara lensa kenan dan kiri pada setiap panjang gelombang untuk PMI yang
sama.
Nilai absorbansi untuk tiap panjang gembang ditunjukkan pada tabel. Dapat diamati
bahwa absorbansi menurun selama postmortem interval naik (Tabel 1). Data telah
dibandingkan dan dianalisa oleh tes nonparametrik.

Tes Kruskal-Wallis untuk postmortem interval menunjukkan perbedaan signifikan


antara 365 nm, 370 nm, 375 nm, 415 nm dan 420 nm. Tes Mann-Whitney dilakukan
untuk menginvestigasi hasil signifikan dari analisis Kruskal-Wallis (Tabel 1). Saat
absorbansi lensa dibandingkan dengan postmortem interval yang berbeda secara statistik
maka ditemukan perbedaan signifikan antara kedua lensa dalam semua keadaan.

3.2 Kelengkungan lensa: pada PMI yang berbeda

Rata-rata dan 95% confidence interval lensa adalah: 0.976 ± 0.005 (0.965–0.988) saat
24 jam postmortem, 0.967 ± 0.007 (0.956–0.981) saat 48 jam postmortem, 0.950 ± 0.007
(0.929–0.971) saat 72 jam postmortem dan 0.913 ± 0.015 (0.881–0.947) saat 96 jam
postmortem. Untuk pemerikaan variabel kelengkungan, dilakukan tes Kruskal-Wallis dan
menghasilkan perbedaan signifikan dengan PMI (p<0.0001). Sperbedaan statistik yang
signifikan ditemukan antara PMI yang berbeda-beda. Terlebih adanya kecenderungan
perubahan menurunnya kelengkungan seiring dengan bertambahnya PMI (Gambar 1).

Gambar 2. Foto makroskopik lensa: (a) 24 jam postmortem; (b) 48 jam postmortem;
(c) 72 jam postmortem; (d) 96 jam postmortem.

Gambar 3. (A) Lensa 24 jam postmortem: (a) nukleus sel (panah hitam) (HE, 4x);
(b) kapsul lensa dan epitel dan, dibawahnya, melekat fiber lensa (panah hitam) (HE, 10); (c)
detail foto yang diobservasi pada gambar a. Kapsul transparan (panah hitam) dan sel epitel
bergabung terdistribusi secara merata (HE, 40x). (B) Lensa saat 48 jam postmortem: (a)
bagian posterior: epitel terperihara dengan baik di zona perifer (panah hitam). (HE, 10); (b)
nukleus sel epitel (HE, 40x); (c) fiber lensa (panah hitam) tersebar merata dan bergabung,
dengan tanpa celah dintaranya (HE, 40x). (C) Lensa 72 jam postmortem: (a) fiber lensa
terpisah (panah hitam) (HE, 10x); (b) fiber muda terpilah (HE, 10x); (c) detail gambar b.
Celah diantar fiber muda bertambah (panah hitam) (HE, 40x). (D) Lensa 96 jam postmortem:
(a) struktur eosinofil (panah hitam) (HE, 10x); (b) aglomerasi struktur eosinofil memanjang
secara acak (panah hitam) (HE, 40x)

3.3 Evaluasi makroskopik transparansi

Penelitian makroskopik lensa pada setiap postmortem interval menunjukkan


kecenderungan transparensi berkurang seiring waktu. Setelah 24 dan 48 jam masih ada
transparansi, sedangkan pada 72 jam mulai berkurang dan saat 96 jam lensa benar-benar
telah buram dan kehilangan kelengkungannya (Gambar 2).

3.4 Analisis histologis lensa mata postmortem


Saat 24 dan 48 jam postmortem struktur lensa masih serupa. Secara histologis, semua
lapisan sel dapat diamati – kapsul eksterna, epitel sel, korteks dan nukleus (Gambar 3 A
dan B). Sebagai penurutan dan kelanjutan dari epitel, perhatikan fiber yang terdistribusi
secara merata di korteks dan nukleus (Gambar 3Ab, Ac, Bb, Bc). Fiber nukleat yang
bersamaan dengan fiber muda dapat diamati pada zona equatorial (Gambar 3Aa). Namn
pada 72 jam, perubahan pada struktur dan susunan lapisan lensa mulai terlihat.Baik
kapsul maupun lapisan sel epitel tidak dapat dibedakan, walau korteks dan nukleus telah
kehilangan keseragaman, telah dipilah dan dipisahkan mungkin karena hilangnya
mekanisme yang menjaga keduanya menyatu (Gambar 3Cb dan Cc). Demikian pula saat
96 jam baik kapsul dan sel epitel tidak dapat dibedakan (Gambar 3Da) dan alih-alih fiber
individual, kumpulan eosinofil terlihat jelas (Gambar 3Da dan Db)

Anda mungkin juga menyukai