Anda di halaman 1dari 11

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kelompok 4

Fakultas Kedokteran April 2018


Universitas Hasanuddin

MANAJEMEN MUTU RUMAH SAKIT

Oleh:
Gede Dewagama M. C111 13 114
Mufti Akhmad SA C111 13 520
Muh.Fuad Bin Rozhan C111 13 816
Siti Fatimah Binti Mohd Zaidi C111 13 817
Christy Angelia Budiono C111 13 509
Tiara Lestari C111 13 307
Noratu Sendana C111 13 313
Irene Hongdyanto C111 13 123
Saifullah Muhbiddin C111 12 293
Nurul Ain Binti Rojmi C111 13 849
Muh. Izzat Bin Roziken C111 13 845
Dian Pratiwi Djahuno C111 13 075

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2018
Pendahuluan

Organisasi Rumah Sakit disusun dengan tujuan untuk mencapai visi dan
misi Rumah Sakit dengan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (Godd
Corporate Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical
Governance).

Dalam Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada
Pasal 33 Ayat 1 dan 2 tersebut menyebutkan setiap rumah sakit harus
memilikiorganisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel serta paling sedikit terdiri
atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis,
unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan
internal, serta administrasi umumdan keuangan.

Tanggal 1 Januari 2010 telah berlaku implementasi modus keempat dalam era
liberalisasi perdaganan jasa bidang kesehatan untuk negara kawasan Asia Tenggara
sesuai dengan perjanjian kerjasama ASEANMutual Recognition Arrangement on
Medical

Practitioners(MRA-MP).1 Ada 4tujuan dalamMRA-MP yakni:

1. Mengatur mobilitas praktisi dokter di wilayah ASEAN;

2. Meningkatkan dan mengembangkan kerja sama pertukaran informasi antar


profesi medis;

3. Meningkatkan mutu kualifikasi dan standar layanan dan;

4. Kerjasama pendidikan dan pelatihan profesi medis.


Rumah Sakit

1. Pengertian

Ada beberapa pengertian rumah sakit yang dikemukakan oleh para


ahli, yaitu:

a. Menurut Assosiation of Hospital Care (1947) Rumah sakit adalah


pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta
penelitian kedokteran diselenggarakan.
b. Menurut American Hospital Assosiation (1947) Rumah sakit adalah
suatu alat organisasi yang terdiri atas tenaga medis profesional yang
terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen
menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan
yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang
diderita oleh pasien.
c. Menurut Wolper dan Pena (1997) rumah sakit adalah tempat
dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran
serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa
kedokteran, perawat dan tenaga profesi kesehatan lainnya
diselenggarakan.
d. Menurut UU No. 44 Tahun 2009 rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakn pelayanan rawat
inap, rawat jalan dan gawat darurat.

2. Fungsi Rumah sakit

Menurut UU No. 44 Tahun 2009 fungsi rumah sakit adalah:

a. Penyelengaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan


sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidkan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperlihatkan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan.

Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Mutu pelayanan rumah sakit adalah derajat kesempurnaan rumah sakit


untuk memenuhi permintaan konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi
sumber daya yang tersedia di rumah sakit dengan wajar, efisien dan efektif serta
diberikan secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan
sosio budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah
dan masyarakat konsumen.

Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan,


maka fungsi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan dalam rumah sakit secara
bertahap perlu terus ditingkatkan agar menjadi efektif dan efisien serta memberi
kepuasan terhadap pasien, keluarga maupun masyarakat. Dengan latar belakang
diatas, maka program pengendalian / peningkatan mutu pelayanan merupakan
prioritas utama di semua rumah sakit.

Faktor-faktor yang menentukan mutu pelayanan rumah sakit yaitu:


1. Keandalan yang mencakup dua hal pokok yaitu konsistensi kerja dan
kemampuan untuk dipercaya.
2. Daya tangkap yaitu sikap tanggap para karyawan melayani saat
dibutuhkan pasien.
3. Kemampuan yaitu memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan aagar dapat memberikan jasa tertentu.
4. Mudah untuk dihubungi dan ditemui
5. Sikap sopan, respek dan keramahan para pegawai.
6. Komunikasi yaitu memberikan informasi kepada pelanggan dalam
bahasa yang dapat mereka pahami serta selalu mendengaran saran dan
keluhan pelanggan.
7. Dapat dipercaya dan jujur
8. Jaminan keamanan
9. Usaha untuk mengerti dan memahami kebutuhan pelanggan
10. Bukti langsung yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik,
peralatan yang digunakan, representasi fisik dan jasa.

Dalam perkembangan selanjutnya, Parasuraman mengemukakan bahwa 10


faktor yang mempengaruhi mutu tersebut dapat dirangkum menjadi 5 faktor
pokok yaitu:

1. Tangibles; bukti langsung berupa fasilitas fisik, perlengkapan, sarana


dan penampilan pegawai.
2. Realibility; kehandalan yaitu kemampuan memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
3. Responsiveness; daya tanggap yaitu keinginan para karyawan dalam
memberikan pelayanan dengan tanggap.
4. Assurance; jaminan mencakup pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, kesopanan dan sikap dapat dipercaya dari para
karyawan, bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan.
5. Empathy yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi
yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.
Pelayanan yang bermutu sulit didefinisikan, definisi pelayanan yang
bermutu diadopsi dari IoM yang sering digunakan sebagai kerangka operasional.
Definisi tersebut adalah derajat sejauh mana pelayanan kesehatan untuk individu
dan populasi meningkatkan kemungkinan hasil kesehatan yang diinginkan dan
konsisten dengan arus pengetahuan yang profesional.
Dimensi pertama indikator mutu pelayanan klinis adalah safety yaitu
meminimalkan medical error dan kejadian yang tidak diharapkan (adverse events).
Dimensi kedua yaitu effectiveness merupakan usaha memaksimalkan hasil
kesehatan yang diharapkan. Dimensi ketiga merupakan kunci gagasan yang sesuai
untuk meningkatkan kualitas sistem perawatan kesehatan patient participation dan
patient-centeredness. Patient-centeredness dapat diartikan bahwa pelayanan
kesehatan berfokus pada pasien dan pemahaman keluarga, preferensi, tujuan, dan
prioritas dalam membuat keputusan pengobatan.
Dimensi keempat adalah timeliness yaitu meminimalkan keterlambatan
antara penyakit dan pengobatan awal. Efficiency diartikan bahwa pelayanan
kesehatan harus dapat menyediakan pelayanan dengan biaya yang hemat
semaksimal mungkin. Dimensi keenam adalah equity yaitu pelayanan kesehatan
harus menyediakan mutu yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, etnis,
daerah, status ekonomi sosial, atau penjaminan asuransi.
Keputusan kebijakan sehubungan dengan mutu pelayanan kesehatan harus
mencerminkan sifat multi-dimensi dari indikator mutu pelayanan kesehatan. Dari
keenam dimensi mutu IoM tersebut, safety, effectiveness, dan efficiency banyak
menarik fokus perhatian pada peneliti untuk melakukan penelitian sedangkan
patient-centeredness, timeliness, dan equity kurang mendapat perhatian.
Peningkatan dari satu dimensi akan didapatkan melalui pengorbanan dimensi yang
lain misalnya peningkatan efektivitas menghasilkan penurunan ketepatan waktu,
atau peningkatan keselamatan akan didapatkan dengan kehilangan efisiensi biaya.
Oleh karena itu perubahan dalam berbagai dimensi harus dipertimbangkan dalam
menimbang dampak perubahan kebijakan.
Rumah sakit (RS) harus memperbaiki pelayanan kesehatan secara terus
menerus, oleh karena itu peningkatan mutu pelayanan kesehatan harus semakin
tinggi setiap periodenya. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai macam alat yaitu menggunakan quality
management systems (QMS) atau sistem manajemen mutu (SMM) seperti gugus
kendali mutu (GKM), total quality management (TQM), dan akreditasi. Rumah
sakit yang sudah menjalankan SMM diharapkan terjadi continuous quality
improvement (CQI) yaitu perbaikan terus menerus atau berkesinambungan dengan
cara melakukan pengawasan secara berkala.
Kebijakan dan komitmen untuk peningkatan mutu berhubungan dengan
sasaran mutu masing-masing RS yang sudah direncanakan. Sasaran mutu
merupakan suatu indikator yang harus diukur untuk mengetahui apakah RS telah
dapat mencapai tujuannya. Sasaran mutu yang disusun RS dapat sesuai dengan
indikator kinerja RS. Dari hasil penelitian oleh Maharani dkk, didapatkan bahwa
indikator kinerja dari RS yang diteliti antara lain kepuasan pasien, program
pendidikan dan pelatihan, kecepatan penanganan pasien gawat darurat, Lenght of
Stay (LOS), angka infeksi nosokomial, waktu tunggu sebelum operasi, indikator
keuangan, mortalitas, lingkungan, dan promosi keuangan.
Karakteristik dari SMM yang diadopsi oleh penyedia layanan kesehatan
diteliti dengan menggunakan instrumen penelitian yang dirancang oleh Saraph
dkk7 yang disusun menjadi beberapa elemen inti (core element). Terdapat 7 elemen
inti dari SMM tersebut antara lain 1) pengembangan pelayanan kesehatan
profesional dan partisipasi, 2) pelatihan, 3) informasi dan data untuk perbaikan
mutu, 4) keberadaan dan peranan departemen mutu, 5) kepemimpinan manajemen
dan komitmen kualitas, 6) proses manajemen, 7) penyedia manajemen mutu
(supplier quality management).
Konsep dan pedoman SMM telah secara luas diterima oleh RS, namun
terdapat beberapa laporan kesuksesan dan kegagalan dalam mengimplementasikan
SMM yang sangat bervariasi. Secara umum, kegagalan implementasi bukan
dikarenakan oleh prinsip SMM itu sendiri melainkan disebabkan oleh langkah-
langkah dan strategi implementasi yang tidak efektif. Hasil systematic review oleh
Wardhani et al, terdapat 6 faktor yang mempengaruhi implementasi SMM yaitu
organization culture, organization design, leadership for quality, physician
involvement, quality structure, and technical support.
Faktor pertama yaitu organization culture (budaya organisasi) yang
merupakan keyakinan bersama, nilai, norma dan perilaku organisasi yang
berkontribusi pada implementasi manajemen mutu organisasi secara luas. Secara
keseluruhan review oleh Wardhani et al mengidentifikasi bahwa budaya organisasi
merupakan faktor yang paling berpengaruh pada implementasi SMM. Terdapat 4
tipe budaya organisasi yaitu group, developmental, rational, dan hierarchy.
Berdasarkan Malcolm Baldrige National Quality Award Criteria
(MBNQAC) terdapat 7 dimensi dalam kriteria manajemen mutu organisasi
pelayanan kesehatan untuk mencapai keunggulan kinerja organisasi yaitu 1)
leadership (menetapkan visi, komunikasi secara langsung, membuat perbaikan visi
secara terus menerus), 2) strategic planning (meluruskan kembali perencanaan
strategik diseluruh organisasi), 3) focus on patient, other consumers and markets
(mengidentifikasi pelanggan, menentukan hal yang penting bagi mereka, konsisten
menerapkan model proses perbaikan dalam rangka meningkatkan hal yang penting
untuk pelanggan), 4) measurements, analysis, and knowledge management
(berhubungan dengan bagaimana informasi digunakan bersama oleh seluruh
organisasi), 5) staff work-force focus, 6) process management, 7) organizational
performance results.
Faktor kedua adalah organization design (desain organisasi). Hasil review
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara struktur organisasi dan kepemilikan
RS pada tipe/ tahap implementasi SMM. Selain itu ukuran/ besar RS, kompleksitas
RS (status dan kepemilikan), dan pendekatan strategik (defender, prospector,
analyzer, reactor), serta birokrasi (birokrasi yang profesional atau birokrasi mesin)
juga merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan budaya organisasi.
Publikasi lain mengatakan bahwa budaya memberdayakan karyawan, paradigma
pengambilan keputusan berbasis ilmiah, dan keterlibatan konsumen merupakan
karakteristik budaya yang diperlukan pada implementasi SMM.
Leadership for quality (mutu kepemimpinan) merupakan faktor ketiga yang
mempengaruhi implementasi SMM. Mutu kepemimpinan melibatkan upaya
kepemimpinan senior dan manajemen dalam memimpin dengan cara memberi
contoh untuk mengintegrasikan peningkatan kualitas, proses perencanaan strategis
organisasi, mempromosikan nilai-nilai mutu dan teknik peningkatan mutu dalam
praktik kerja. Sebagian besar teori kepemimpinan dan teori mutu mengacu pada
top manajemen, namun para peneliti lain mengidentifikasi berbagai sumber mutu
kepemimpinan, yaitu top manajemen, manajemen menengah, pemerintahan, dokter
senior, atau perawat senior yang dihormati.8 Semua anggota staf dari manajemen
penting dilibatkan dalam rangka menciptakan kesadaran dan komitmen terhadap
mutu.
Faktor keempat adalah physician involvement (keterlibatan dokter) yang
diidentifikasi sebagai peran dominan di rumah sakit yang menjadi strategi yang
penting dalam mensukseskan implementasi SMM. Pada organisasi kesehatan,
dokter memiliki kekuatan dominan yang mempengaruhi budaya organisasi serta
proses pengambilan keputusan di RS. Keterlibatan dokter diukur melalui jumlah
dokter yang aktif dalam pemerintahan yang memiliki pengaruh signifikan pada
keberhasilan penerapan SMM dan peningkatan mutu. Konflik kekuasaan antara
manajemen dan dokter menjadi penghalang dalam implementasi SMM di rumah
sakit.8 Serupa dengan negara-negara lain, penyebaran tenaga kesehatan di
Indonesia didasarkan pada target kuantitas fasilitas kesehatan dan tidak
berhubungan dengan peningkatan kualitas atau outcome. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kenaikan jumlah tenaga dokter dan perawat dapat
memprediksi tercapainya pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi.
Quality structure (struktur mutu) merupakan faktor kelima yang
mempengaruhi implementasi SMM di rumah sakit. Implementasi SMM perlu
didukung dengan struktur organisasi untuk mutu dan kemampuan teknis. Faktor
struktural (adanya peningkatan mutu dokter dan perawat), SMM, atau jaminan
mutu yang didukung dengan staf SMM purna waktu dan alokasi anggaran untuk
SMM dinyatakan dapat mendukung implementasi SMM. Selain itu pendidikan dan
pelatihan semua staf di luar tim SMM sangat penting untuk mensukseskan
implementasi SMM. Daftar tanggung jawab yang jelas dan deskripsi pekerjaan
untuk setiap anggota staf dan prosedur yang jelas mengenai program SMM sangat
penting untuk ditekankan kepada seluruh staf. Oleh karena itu terdapat hubungan
yang signifikan antara proses manajemen mutu dan jaminan mutu dokter/ perawat
berkaitan dengan peran faktor struktural.
Faktor keenam yang mempengaruhi implementasi SMM di rumah sakit
adalah technical support (dukungan teknis). Faktor ini mencerminkan kemampuan
organisasi untuk menggunakan alat manajemen mutu. Terdapat hubungan positif
antara faktor-faktor teknis dan pelaksanaan SMM. Beberapa faktor yang paling
penting yaitu sistem informasi rumah sakit, kemampuan analisis data dan informasi
tentang proses input dan output organisasi serta kemampuan pegawai dalam
melakukan pendekatan pemecahan masalah ilmiah.
Terdapat berbagai alat yang dapat digunakan untuk peningkatan mutu antara
lain 1) alat untuk pengumpulan data seperti kuesioner dan checklist untuk penilaian
mutu pelayanan, panduan topik untuk wawancara dan diskusi, dan checklist
observasi/ survei, 2) alat untuk menggambarkan proses perawatan seperti algoritma
klinis dan checklist observasi, cause-effect analysis, self-assessment guides, 3) alat
untuk kerja kolaboratif seperti teknik grup nominasi, supervisi suportif, SWOT
analysis, analisis kekuatan-lapangan (force-field analysis) dan analisis akar
masalah (root-cause analysis).
Tipe birokrasi, jenis budaya, tingkat pemberdayaan karyawan, dan faktor-
faktor desain pendekatan strategis, ukuran dan kepemilikan, fokus pelanggan, dan
paradigma dalam memecahkan masalah dilaporkan dan diidentifikasi sebagai
faktor utama dalam implementasi SMM. Pelaksanaan SMM akan meningkat
sebanding dengan derajat pemberdayaan karyawan, lingkungan yang bebas risiko
dan penekanan inovasi. Namun penelitian lain menemukan bahwa tidak ada
keterkaitan antara kompleksitas rumah sakit atau faktor desain (ukuran, status,
kepemilikan) dan struktur pada tingkat implementasi SMM. Rumah sakit dengan
struktur yang lebih kompleks dan ukuran yang lebih besar menghadapi tekanan
yang lebih tinggi untuk peningkatan mutu dan membutuhkan lebih banyak
dukungan, tapi pada saat yang sama mereka membutuhkan lebih banyak usaha
untuk sosialisasi sistem baru karena adanya kompleksitas struktural.

Anda mungkin juga menyukai