Anda di halaman 1dari 78

SENYAWA ANTIBAKTERI DARI MIKROALGA Dunaliella sp.

PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA

Oleh:
Andri Parna Yudha
C 34103057

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN

ANDRI PARNA YUDHA. C34103057. Senyawa Antibakteri dari Mikroalga


Dunaliella sp. pada Umur Panen yang Berbeda. Dibawah bimbingan
IRIANI SETYANINGSIH dan PIPIH SUPTIJAH.

Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah
menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk
dimanfaatkan, misalnya sebagai antibakteri. Salah satu mikroalga yang memiliki
aktivitas antibakteri adalah Dunaliella. Penelitian tentang produksi antibakteri dari
Dunaliella belum banyak diungkap. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan
kurva pertumbuhan Dunaliella sp., mengetahui komposisi kimia Dunaliella sp.,
mendapatkan senyawa antibakteri dari Dunaliella sp. pada umur panen yang
berbeda, mempelajari aktivitas antibakteri ekstrak Dunaliella sp. terhadap bakteri
patogen, mengetahui komponen dari ekstrak Dunaliella sp. dengan kromatografi
lapis tipis.
Mikroalga Dunaliella sp. diperoleh dari Pusat Riset Oseanografi
LIPI-Ancol, Jakarta Utara. Pelarut yang digunakan adalah pelarut heksana
(non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar). Penelitian ini terdiri dari
penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari
penentuan kurva pertumbuhan Dunaliella sp. Penelitian utama terdiri dari
kultivasi Dunaliella sp., analisis proksimat, ekstraksi senyawa antibakteri, uji
aktivitas senyawa antibakteri, dan uji kromatografi lapis tipis (KLT).
Dunaliella sp. memiliki pola pertumbuhan yang dimulai dari fase log yang
terjadi pada hari ke-0 sampai ke-8, fase penurunan laju pertumbuhan dicapai pada
hari ke-9 sampai ke-11, fase stasioner terjadi pada hari ke-12 sampai ke-29, dan
fase menuju kematian mulai hari ke-30 sampai ke-34. Kultur dilakukan pada suhu
ruang dengan intensitas cahaya 3000 lux dan penyinaran 24 jam. Kandungan air,
protein, lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp. adalah 65,22 %, 18,12 %,
1,60 %, 6,17 %, dan 8,89 %. Berat biomassa kering pada umur panen fase
stasioner adalah 1,54 gram dan pada fase log adalah 1,10 gram. Rendemen ekstrak
kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut heksana, pelarut
etil asetat, dan pelarut metanol berturut-turut sebesar 1,81 %, 4,54 %, dan 5,45 %.
Rendemen ekstrak kering pada fase stasioner yang dihasilkan dari ekstraksi
dengan pelarut heksana, pelarut etil asetat, dan pelarut metanol berturut-turut
nilainya adalah 1,29 %, 1,94 %, dan 2,59 %.
Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat
pada fase log terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,
Escherichia coli, dan Vibrio harveyi menghasilkan diameter zona bening di
sekitar paper disc berturut-turut sebesar 3, 4, 3, 5 mm, serta 2, 2, 2, 3 mm. Hasil
uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada fase stasioner
terhadap bakteri uji yang sama berturut-turut nilainya adalah 2, 2, 1, 4 mm, serta
2, 3, 2, 4 mm. Ekstrak-heksana dan etil asetat termasuk kategori yang memiliki
aktivitas lemah. Hasil pengujian KLT menunjukkan bahwa ekstrak-heksana terdiri
dari empat komponen aktif dan ekstrak-etil asetat terdiri dari tiga komponen aktif.
SENYAWA ANTIBAKTERI DARI MIKROALGA Dunaliella sp.
PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan


pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
Andri Parna Yudha
C 34103057

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul : SENYAWA ANTIBAKTERI DARI MIKROALGA
Dunaliella sp. PADA UMUR PANEN YANG
BERBEDA
Nama : Andri Parna Yudha
NRP : C34103057

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Iriani Setyaningsih, M.S Dra. Pipih Suptijah, MBA


NIP. 131 578 853 NIP. 131 476 638

Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc


NIP. 131 578 799

Tanggal lulus : 28 Januari 2008


Pernyataan Mengenai Skripsi dan Sumber Informasi

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Senyawa Antibakteri dari


Mikroalga Dunaliella sp. pada Umur Panen yang Berbeda adalah karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau kutipan dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

Andri Parna Yudha


C 34103057
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Aceh, pada tanggal 22 Februari 1985.


Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara dari
Bapak Lasper Nahampun dan Ibu Emmi Marbun. Penulis
memulai jenjang formal pada pendidikan Sekolah Dasar
Negeri 1 Gunung Sitoli, Nias (1993-1997). Kemudian penulis
melanjutkan di SLTP Katolik Fatima Sibolga (1997-2000),
dan melanjutkan di SMU Negeri 1 Sibolga (2000-2003).
Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB pada tahun
2003 dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Selama menjalani pendidikan
akademik penulis pernah mengikuti beberapa organisasi, diantaranya Himpunan
Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) pada tahun 2004/2005
sebagai anggota di Departemen Kesejahteraan Manusia dan Pengabdian
Masyarakat, dan juga sebagai Wakil Koordinator bidang Ekstern (Wakil II) UKM
Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) tahun 2006/2007. Dalam bidang
akademik penulis juga merupakan asisten dosen pada mata kuliah agama Kristen
Protestan 2004/2005 dan 2005/2006, Avertebrata Air 2005/2006 dan 2006/2007,
Fisiologi Hewan Air 2005/2006, Mikrobiologi Hasil Perairan 2006/2007 dan
2007/2008, Teknologi Proses Thermal Hasil Perairan 2006/2007, Teknologi
Refrigerasi Hasil Perairan 2006/2007, Biokimia Hasil Perairan 2006/2007, dan
Gizi Ikani 2006/2007. Penulis juga pernah melaksanakan magang
di PT. Arabikatama Khatulistiwa Fishing Industry selama 1 bulan di Denpasar,
Bali.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan,
penulis melakukan penelitian dengan judul Senyawa Antibakteri dari
Mikroalga Dunaliella sp. pada Umur Panen yang Berbeda sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Bapa di sorga atas segala rahmat dan kasih-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul Senyawa
antibakteri dari mikrolaga Dunaliella sp. pada umur panen yang berbeda.
Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini :
1. Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Ibu Pipih Suptijah, MBA selaku dosen
pembimbing atas segala bimbingan, nasihat, serta segala penjelasan yang
telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran, pengertian, kasih sayang, dan
pelajaran hidup yang luar biasa bagi penulis.
2. Ibu Desniar, SPi, MSi dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS selaku dosen
penguji tamu atas segala saran dan kritik yang diberikan demi sempurnanya
skripsi ini.
3. Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS yang telah meluangkan waktunya
sebagai moderator pada seminar hasil penelitian.
4. Dosen-dosen dan staf THP yang telah membantu, membentuk, dan
memberi ilmu yang tidak terhingga selama penulis menempuh pendidikan.
5. Lasper Nahampun dan Emmy Marbun sebagai orang tua yang telah
mendidik dan memberikan kasih sayang yang begitu besar. Adik-adik:
Riko, Wira, dan Evo yang selalu mendukung dan memberi semangat.
Terima kasih atas dukungan doa dan pengorbanannya.
6. Ibu Ema (Lab Mikrobiologi THP), Ibu Ita, Mbak Esthi, Pak Wahyu di Lab
Terpadu, FKH terima kasih atas segala pengetahuan dan bantuannya
selama melaksanakan penelitian
7. Helda, Dithya, Fitria, Astari, Lisda, Lianny, Ira, Pisuko, Angling, Johan,
Gami, Indra, Aal, Sigit, Tomy, Windo, Tenjo, Tobias, Setyo, Deden,
David, Nono, Hilman, Rama, Rudy, Finda, Ma’suf terima kasih atas segala
bantuan dan dukungannya selama seminar dan sidang. Terima kasih atas
segala persahabatan, canda, kejutan indah yang luar biasa serta pengalaman
yang mendewasakan.
8. Teman-teman THP 40: Tendi, Ghea, Merry, Dian, Riri, Wida, Yunita, Lusi,
Yulya, Irma, Nola, Eni, Dimas, Ricci, Ida, Taufik, Chacha, Po, Juhli, Udin,
Iqbal, Ahmad, Novi, Sahrul, Budi yang telah berjuang dan belajar bersama
selama menempuh pendidikan dengan segala warna kehidupan didalamnya.
Terima kasih juga untuk teman-teman THP 39, 41, 42, dan 43 atas
dukungan dan bantuannya selama ini.
9. Ari Supriyatna dan Aris Munandar yang menjadi sahabat sejak di asrama.
Terima kasih untuk persahabatan yang saling mengerti dan terjaga hingga
sekarang.
10. Teman-teman sepelayanan: Meidy, Ita, Ria, Septi. Terima kasih atas
dukungan doa, sharing, dan kasih yang selalu menguatkan. Kak Yeye, kak
Disney, kak Posma, bang Ode dan bang Leo, terima kasih untuk selalu
memberi saran, doa, dan nasihatnya.
11. Trifena Honestin, terima kasih untuk bantuannya mencari bahan pustaka.
12. Keluarga Yeremia (Stanley, Kezchia, Dita, Juni, Ivan, Ronal, Franz, Desy,
Doris), Kelompok kecil (Arnos, Ase, Stanley, Dian, Ganda), BPH 41(Prita,
Yenni, Vera, Benny, Julie), Keluarga Sibolga (Nana, Roy) yang senantiasa
mendukung dan memotivasi penulis dalam segala hal.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2008

Andri Parna Yudha


DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix


DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi
1. PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
2.1. Mikroalga .............................................................................................. 4
2.2. Pola Pertumbuhan Mikroalga................................................................ 7
2.3. Dunaliella sp. ........................................................................................ 8
2.4. Senyawa Antibakteri ............................................................................. 10
2.5. Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri................................................ 13
2.6. Ekstraksi Senyawa Antibakteri ............................................................. 15
2.7. Bakteri .................................................................................................. 17
2.7.1. Staphylococcus aureus .............................................................. 19
2.7.2. Bacillus cereus ........................................................................... 20
2.7.3. Escherichia coli ......................................................................... 21
2.7.4. Vibrio harveyi ............................................................................ 22
2.8. Kromatografi Lapis Tipis ..................................................................... 23
3. METODOLOGI ....................................................................................... 24
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................ 24
3.2. Bahan dan Alat ..................................................................................... 24
3.3. Metode Penelitian ................................................................................. 25
3.3.1. Penelitian pendahuluan ............................................................. 25
1) Pembuatan kurva pertumbuhan ........................................... 26
3.3.2. Penelitian utama ........................................................................ 26
1) Kultivasi Dunaliella sp ....................................................... 26
2) Ekstraksi senyawa antibakteri ............................................. 27
3) Uji aktivitas antibakteri........................................................ 29
4) Pengujian kromatografi lapis tipis ....................................... 29
3.4. Prosedur Analisis .................................................................................. 29
3.4.1 Penghitungan jumlah sel ............................................................ 29
3.4.2 Analisis proksimat ...................................................................... 30
1) Analisis kadar air ................................................................... 30
2) Analisis kadar abu ................................................................. 30
3) Analisis kadar protein............................................................ 31
4) Analisis kadar lemak ............................................................. 31
5) Analisis kadar karbohidrat..................................................... 32
3.4.3 Penghitungan rendemen ekstrak ................................................ 32
3.4.4 Pengujian aktivitas senyawa antibakteri .................................... 32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 35
4.1. Kurva Pertumbuhan Dunaliella sp. ...................................................... 35
4.2. Komposisi Kimia .................................................................................. 38
4.3. Ekstraksi Senyawa Antibakteri ............................................................. 40
4.4. Aktivitas Senyawa Antibakteri.............................................................. 44
4.5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)........................................................... 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 52
5.1. Kesimpulan. .......................................................................................... 52
5.2. Saran ..................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 54
LAMPIRAN ....................................................................................................... 60
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan kimia Dunaliella ........................................................................ 9


2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya................................................... 16
3. Komposisi kimia Dunaliella sp...................................................................... 39
4. Berat ekstrak Dunaliella sp. dengan jenis pelarut.......................................... 42
5. Hasil uji aktivitas antibakteri Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen ........ 45
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

6. Kurva pertumbuhan mikroalga ...................................................................... 8


7. Morfologi sel Dunaliella sp. ......................................................................... 9
8. Struktur kloramfenikol ................................................................................... 12
9. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif dan Gram positif.......................... 18
10. Bakteri Staphylococcus aureus ..................................................................... 19
11. Bakteri Bacillus cereus. ................................................................................. 20
12. Bakteri Escherichia coli ................................................................................ 21
13. Bakteri Vibrio harveyi ................................................................................... 22
14. Proses kultivasi Dunaliella sp. pada medium Guillard.................................. 26
15. Skema ekstraksi senyawa antibakteri Dunaliella sp. .................................... 28
16. Kurva pertumbuhan Dunaliella sp. ............................................................... 35
17. Warna kultur Dunaliella sp. pada hari yang berbeda .................................... 38
18. Filtrat dan biomassa kering . .......................................................................... 41
19. Ekstrak Dunaliella sp. yang diperoleh dengan menggunakan berbagai
pelarut............................................................................................................. 43
20. Aktivitas ekstrak Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen.. .......................... 49
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

21. Medium Guillard yang telah dimodifikasi ..................................................... 60


22. Medium Guillard yang belum dimodifikasi................................................... 61
23. Perhitungan nilai rendemen ekstrak ............................................................... 62
24. Perhitungan konsentrasi ekstrak..................................................................... 62
25. Nilai kepadatan sel Dunaliella sp. ................................................................. 63
26. Perhitungan Rf. .............................................................................................. 64
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keanekaragaman sumberdaya di perairan Indonesia merupakan kekayaan
alam yang kemungkinan besar masih sangat sedikit dimanfaatkan oleh manusia.
Wilayah perairan Indonesia mencapai sekitar 5,8 juta km2 serta mempunyai
garis pantai yang panjangnya sekitar 81.000 km, sehingga pemanfaatan
sumberdaya laut selayaknya dilakukan secara optimal. Wilayah pesisir dan lautan
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Tingginya
keanekaragaman hayati di laut dapat merefleksikan potensi ekonomi perairan
pesisir dan lautan tersebut, dalam artian bahwa semakin tinggi keanekaragaman
hayati yang terkandung, semakin besar potensi yang dapat dikembangkan (Dahuri
2003)
Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah
menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk
dimanfaatkan. Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan
tingkat organisasi sel termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga
dikelompokkan dalam filum Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan
daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang mampu melakukan
fotosintesis (Kabinawa 2001). Selain itu, air dan karbon dioksida dengan adanya
energi surya dari matahari dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa
organik seperti karbohidrat. Karena kemampuannya membentuk zat organik dari
zat anorganik, maka disebut sebagai produsen primer (Nontji 1993)
Seiring perkembangan bioteknologi mikroalga, sejumlah penelitian mulai
ditujukan untuk menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai tinggi diantaranya
sebagai sumber bahan kimia yang dapat menghasilkan produk seperti gliserol,
vitamin, protein, pigmen, enzim, dan bahan-bahan bioaktif lain. Bahan-bahan
bioaktif yang telah diketahui dapat dihasilkan dari mikroalga yaitu antioksidan,
toksin, bahan obat-obatan, dan zat pengatur pertumbuhan (Kabinawa 1994).
Aplikasi bioteknologi sumberdaya perairan berperan dalam mengetahui
sekaligus menghasilkan bahan aktif termasuk antimikroba sehingga diperoleh
bahan aktif yang dapat dimanfaatkan untuk manusia dan lingkungan. Spesies
biota laut yang memiliki potensi menghasilkan obat-obatan diperkirakan lebih dari
35.000 dan yang dimanfaatkan baru sekitar 5.000 spesies (Dahuri 2003). Jumlah
yang besar tersebut seyogyanya dimanfaatkan seoptimal mungkin. Potensi
sumber daya alam terutama mikroalga belum banyak diungkap dan diteliti,
sehingga informasi yang dapat diperoleh masih sangat terbatas. Penelitian tentang
aktivitas senyawa antibakteri dari mikroalga masih sedikit (Matsueda et al. 1988;
Shklar dan Schwartz 1988 diacu dalam Chang et al. 1993). Berbagai hasil
penelitian mengenai bahan aktif termasuk antimikroba dari mikroalga telah
dilaporkan oleh para pakar. Pratt (1942) menemukan bahwa Chlorella sp.
diketahui memiliki potensi sebagai antibakteri, Chlorella vulgaris mengandung
zat antibakteri yang disebut chlorellin (Hashimoto 1979 diacu dalam Indhira
2004).
Dunaliella merupakan salah satu mikroalga yang cukup banyak diteliti
terutama sebagai sumber β-karoten dan gliserol. Pemanfaatan Dunaliella cukup
beragam mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan
di negara-negara maju. Dunaliella salina juga dapat dimanfaatkan sebagai jasad
pakan yang cukup baik (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Chang et al. (1993)
telah melakukan pemurnian sebagian komponen antibiotik Dunaliella primolecta
yang memiliki aktivitas antibiotik terhadap bakteri Staphylococcus aureus,
Bacillus subtilis, Bacillus cereus, dan Enterobacter aerogenes. Ekstrak
Dunaliella tertiolecta menunjukkan hasil positif sebagai antibakteri (Becker
1994).
Spesies dari genus Dunaliella ini cukup banyak diantaranya
Dunaliella viridis, Dunaliella primolecta, Dunaliella salina, Dunaliella sp.,
Dunaliella acidophila, Dunaliella bardawil, Dunaliella parva,. Penelitian tentang
produksi antibakteri dari Dunaliella belum banyak diungkap. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang senyawa antibakteri dari
Dunaliella sp. yang dipanen pada waktu yang berbeda serta mengetahui
komponen ekstrak Dunaliella sp. dengan kromatografi lapis tipis.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1) Mendapatkan kurva pertumbuhan Dunaliella sp.
2) Mengetahui komposisi kimia Dunaliella sp.
3) Mendapatkan senyawa antibakteri dari Dunaliella sp. pada umur panen
yang berbeda.
4) Mempelajari aktivitas antibakteri ekstrak Dunaliella sp. terhadap bakteri
patogen.
5) Mengetahui komponen ekstrak Dunaliella sp. dengan metode
kromatografi lapis tipis (KLT).
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikroalga
Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat
organisasi sel termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga
dikelompokkan dalam filum Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan
daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang mampu melakukan
fotosintesis. Mikroalga memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis
dengan bantuan air, CO2 dan sinar matahari, serta menggunakan bahan anorganik
seperti NO3-, NH4-, dan PO4-, sehingga menghasilkan energi kimiawi dalam
bentuk biomassa seperti karbohidrat, lemak, protein, dan lain-lain. Kemudian
energi tersebut digunakan untuk biosintesis sel, pertumbuhan dan pertambahan
sel, bergerak dan berpindah serta reproduksi (Kabinawa 2001).
Tumbuhan ini umumnya terdiri dari satu sel atau berbentuk seperti benang.
Mikroalga dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut
sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan
terjadinya proses fotosintesis. Dominasi kelompok mikroalga tertentu dapat
menyebabkan perairan tampak berwarna indah sesuai dengan zat warna atau
pigmen yang dikandungnya. Warna hijau muda disebabkan oleh Dunaliella sp.
dan Chlorella sp. Ada juga warna kuning kecoklatan yang disebabkan oleh
Chaetoceros sp., Skletonema sp., Nitzschia sp. serta berbagai jenis lainnya.
Mikroalga mengandung bahan-bahan organik seperti polisakarida,
hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Potensi mikroalga sangat
besar sebagai sumber berbagai produk, diantaranya (1) sebagai sumber protein
yang dapat diperoleh dari Chlorella dan Dunaliella, (2) produksi pigmen, sebagai
bahan pewarna dari Spirulina, Haematococcus (Borowitzka dan Borowitzka
1988), (3) sebagai pakan larva ikan dan non ikan, diperoleh dari Tetraselmis dan
Chaetoceros (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), serta (4) produksi antimikroba,
dihasilkan Chlorella vulgaris, Chaetoceros gracilis.
Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui bahan aktif termasuk
antibakteri dari mikroalga. Chlorella sp. diketahui memiliki aktivitas antibakteri
(Pratt 1942 diacu dalam Chang et al. 1993), Chlorella vulgaris mengandung zat
antibakteri yang disebut chlorellin, zat ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri
(Hashimoto 1979 diacu dalam Indhira 2004). Dunaliella primolecta juga
diketahui memiliki potensi sebagai antibakteri (Chang et al. 1993).
Kultur mikroalga dalam skala laboratorium biasanya memerlukan kondisi
lingkungan yang terkendali. Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan
ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga,
antara lain cahaya, suhu, pH air, dan salinitas (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
a. Unsur hara
Unsur hara yang dibutuhkan mikroalga terdiri atas unsur hara makro (N, P,
K, S, Fe, Mg, Si dan Ca) dan unsur hara mikro (Mn, Zn, Co, Bo, Mo, B, Cu,
dan lain-lain.). Setiap unsur hara mempunyai fungsi-fungsi khusus yang
ditunjukkan pada pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai. Unsur N, P, dan S
penting untuk pembentukan protein. Nitrogen yang dibutuhkan untuk media
kultur dapat diperoleh dari: KNO3, NaNO3, NH4Cl, dan lain-lain. Fosfor juga
merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, enzim, dan vitamin. Unsur
fosfor dapat diperoleh dari KH2PO4, NaH2PO4, Ca3PO4 dan unsur sulfur dapat
diperoleh dari NH4SO4, CuSO4 (Tjahjo et al. 2002).
Unsur K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan juga sebagai
kofaktor untuk beberapa koenzim. Unsur kalium dapat diperoleh dari KCl,
KNO3, KH2PO4. Unsur Fe berperan dalam pembentukan klorofil dan sebagai
komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur ini dapat diperoleh dari FeCl3,
FeSO4, FeCaH5O7. Unsur Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan
dinding sel atau cangkang. Vitamin B12 banyak digunakan untuk memacu
pertumbuhan melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Unsur hara mikro dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi dalam
pertumbuhan mikroalga, misalnya Mn, Zn diperlukan untuk fotosintesis, unsur
Mo, Bo, Co diperlukan untuk metabolisme nitrogen, serta unsur Mn, B, Cu untuk
fungsi metabolik lainnya (Eyster 1964 diacu dalam Krisanti 2003). Unsur hara
mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi harus ada dan untuk menstabilkan
fungsi hara mikro biasanya ditambahkan senyawa sitrat atau EDTA (Kabinawa
1994).
b. Cahaya
Mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk
senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis. Keberadaan
cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi mikroalga yang melakukan
fotosintesis. Cahaya matahari dapat diganti dengan sinar lampu TL dan kisaran
optimum intensitas cahaya bagi mikroalga antara 2000-8000 lux. Pada mikroalga
hijau, pigmen yang menyerap cahaya adalah klorofil a, disamping pigmen lain
seperti karotenoid dan xantofil (Tjahjo et al. 2002).
c. Suhu
Suhu secara langsung mempengaruhi efesiensi fotosintesis dan faktor yang
menentukan dalam pertumbuhan. Pada kondisi laboratorium, perubahan suhu air
dipengaruhi oleh temperatur ruangan dan intensitas cahaya. Suhu optimum untuk
o
kultur mikroalga di laboratorium antara 25-32 C (Fogg 1975). Kenaikan
temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi. Umumnya setiap kenaikan
10 oC dapat mempercepat reaksi 2-3 kali lipat. Akan tetapi, temperatur tinggi
yang melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel
terganggu.
d. pH
Proses fotosintesis mengambil karbondioksida terlarut dari dalam air, yang
berakibat penurunan kandungan CO2 terlarut di air. Penurunan ini akan
meningkatkan pH berkaitan dengan kesetimbangan CO2 terlarut, bikarbonat
(HCO3-) dan ion karbonat (CO32-) dalam air. Oleh karena itu, laju fotosintesis
akan terbatas oleh penurunan karbon dalam hal ini karbondioksida. (Talling 1976
diacu dalam Krisanti 2003). Umumnya pH optimum bagi pertumbuhan mikroalga
adalah 8-8,5.
e. Salinitas
Fluktuasi salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan
osmosis di dalam sel mikroalga. Salinitas yang tinggi atau rendah dapat
menyebabkan tekanan osmosis di dalam sel juga menjadi lebih rendah atau lebih
tinggi sehingga aktivitas sel menjadi terganggu. Hal ini dapat mempengaruhi pH
sitoplasma sel dan menurunkan kegiatan enzim di dalam sel. Salinitas optimum
bagi pertumbuhan mikroalga antara 25-35 ‰ (Tjahjo et al. 2002).
2.2 Pola Pertumbuhan Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah
besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Sampai saat ini
kepadatan sel digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan mikroalga
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Pertumbuhan mikroalga dalam kultur sangat
dipengaruhi oleh kondisi cahaya, suhu, aerasi dan nutrisi.
Pertumbuhan mikroalga dibagi dalam lima fase pertumbuhan, yaitu
fase lag, fase logaritmik atau eksponensial, fase penurunan laju pertumbuhan,
fase stasioner, dan fase kematian (Fogg 1975). Kurva pertumbuhan mikroalga
dapat dilihat pada Gambar 1.
1. Fase lag
Fase ini ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak nyata. Fase ini
disebut juga sebagai fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi
terhadap media tumbuhnya. Lamanya fase lag tergantung pada umur inokulum
yang dimasukkan. Sel-sel yang diinokulasikan pada awal fase log akan
mengalami fase lag yang singkat. Inokulum yang berasal dari kultur yang sudah
tua akan mengalami fase lag yang lama, karena membutuhkan waktu untuk
menyusun enzim-enzim yang tidak aktif. Ukuran sel pada fase lag ini pada
umumnya meningkat. Organisme mengalami metabolisme, tetapi belum terjadi
pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum meningkat.
2. Fase logaritmik atau eksponensial
Fase ini diawali oleh pembelahan sel dan ditandai dengan naiknya laju
pertumbuhan hingga kepadatan populasi meningkat. Laju pertumbuhannya
meningkat dengan pesat dan selnya aktif berkembang biak. Ciri metabolisme
pada fase ini adalah tingginya aktivitas fotosintesis yang berguna untuk
pembentukan protein dan komponen-komponen penyusun plasma sel yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan.
3. Fase penurunan laju pertumbuhan
Fase ini ditandai dengan penurunan laju pertumbuhan. Selain itu terjadi
penurunan pertambahan populasi per satuan waktu bila dibandingkan dengan fase
eksponensial sehingga fase ini disebut juga fase decline.
4. Fase stasioner
Pada fase ini, pertumbuhan mengalami penurunan dibandingkan fase
logaritmik. Laju reproduksi sama dengan laju kematian. Dengan demikian
penambahan dan pengurangan jumlah mikroalga relatif sama atau seimbang
sehingga kepadatannya tetap. Jumlah sel cenderung tetap diakibatkan sel telah
mencapai titik jenuh.
5. Fase kematian
Fase ini ditandai dengan kepadatan populasi selnya yang terus berkurang.

Keterangan:
1. Fase lag
2. Fase logaritmik
Jumlah sel 3. Fase penurunan laju pertumbuhan
(sel/ml) 4. Fase stasioner
5. Fase kematian

Umur kultur (hari)


Gambar 1. Kurva pertumbuhan mikroalga (Becker 1994).

2.3 Dunaliella sp.


Secara morfologi, Dunaliella sp. merupakan mikroalga yang bersifat
uniseluler, mempunyai sepasang flagella yang sama panjangnya, sebuah
kloroplast berbentuk cangkir, dan tidak memiliki dinding sel (Borowitzka dan
Borowitzka 1988). Dunaliella sering juga disebut sebagai flagellata uniseluler
hijau (green unicellulair flagellata). Gambar morfologi sel Dunaliella sp.
ditunjukkan pada Gambar 2. Bentuk selnya juga tidak stabil dan beragam, dapat
berbentuk lonjong, bulat silindris, ellip, dan lain-lain. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan, pertumbuhan, dan intensitas sinar matahari (Isnansetyo
dan Kurniastuty 1995).
Dunaliella memiliki kisaran toleransi pH yang luas mulai dari
pH 1 (Dunaliella acidophila) sampai pH 11 (Dunaliella salina). Demikian halnya
juga dengan suhu, mulai dari -35 ºC sampai 40 ºC (Borowitzka dan Borowitzka
1988). Spesies Dunaliella sp. dapat tumbuh optimal pada pH 6-6,5 dan kisaran
suhu antara 22-25 ºC dengan salinitas air 30-35 ‰ (Redjeki dan Ismail 1993 diacu
dalam Tjahjo et al. 2002).
Dunaliella termasuk kelompok Chlorophyceae (alga hijau) yang
mengandung klorofil a dan b serta karotenoid yang umumnya berupa β-karoten
(Borowitzka dan Borowitzka 1988).

A B
Keterangan: A = Sel Dunaliella sp. (Dokumentasi pribadi)
B = Sel Dunaliella (Anonim 2007)a
Gambar 2. Morfologi sel Dunaliella sp.

Klasifikasi Dunaliella (Bougis 1979 diacu dalam Isnansetyo dan


Kurniastuty 1995), sebagai berikut:
Phylum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Volvocales
Famili : Polyblepharidaceae
Genus : Dunaliella
Genus Dunaliella banyak dimanfaatkan sebagai makanan kesehatan
seperti halnya dengan Chlorella karena kandungan proteinnya yang tinggi.
Komposisi kimia Dunaliella dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia Dunaliella


Senyawa kimia Kadar (%)
Protein 47,43
Lemak 9,06
Karbohidrat 35,11
Abu 18,12
Thn 2000, hasil analisis dalam % bk
(Sumber: Tjahjo et al. 2002)

Spesies dari genus Dunaliella ini cukup banyak dan telah dimanfaatkan
diantaranya Dunaliella viridis, D. primolecta, D. salina, D. acidophila, D.
bardawil, D. parva, dan Dunaliella sp. Pemanfaatan Dunaliella cukup beragam
mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan
di negara-negara maju, Dunaliella salina juga sebagai jasad pakan yang cukup
baik dan mendapat perhatian besar di beberapa negara seperti Australia, Amerika,
dan Israel karena menghasilkan gliserol dan β-karoten (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995). Selain itu, Chang et al. (1993) menyebutkan bahwa
Dunaliella primolecta, Dunaliella tertiolecta, Dunaliella sp. berpotensi sebagai
antibakteri.
Reproduksi dilakukan secara vegetatif dan generatif. Reproduksi secara
aseksual terjadi dengan pembelahan secara memanjang. Saat proses pembelahan
inti, maka pirenoid akan melebar melintang dan menyebabkan dua flagella saling
berjauhan. Pada pirenoid dan kloroplas akan terbentuk suatu lekukan yang
kemudian akan membelah dan menjadi individu-individu baru, masing-masing
dengan satu flagella dan satu sel anak yang belum mempunyai stigma. Stigma
yang terbentuk ini merupakan hasil proses metamorfosis dari kromatofora (Tjahjo
et al. 2002).
Reproduksi seksual terjadi dengan cara melakukan isogami melalui
konjugasi. Zigot berwarna merah atau hijau dikelilingi oleh dinding sporollenin
yang halus dan sangat tipis. Nukleus zigot akan membelah secara meiosis.
Pembelahan ini terjadi setelah tahap istrahat dan terbentuk lebih dari 32 sel yang
dibebaskan melalui retakan atau celah pada dinding sel induk (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995).

2.4 Senyawa Antibakteri


Antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antimikroba sebagai substansi dapat
berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami (Brock dan Madigan 2003).
Senyawa antibakteri merupakan salah satu senyawa antimikroba yang
didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Pelczar dan Reid 1979).
Berdasarkan aktivitasnya, senyawa antibakteri dapat dibedakan atas senyawa yang
bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) seperti penisilin, basitrasin, neomisin,
dan senyawa yang bersifat bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri)
seperti tetrasiklin, kloramfenikol, novobiosin (Pelczar dan Chan 2005).
Senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain (1) konsentrasi zat antibakteri, (2) waktu
penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba meliputi jenis, umur,
konsentrasi, dan keadaan mikroba (Frazier dan Westhoff 1988).
Aktivitas senyawa antibakteri ditandai dengan terbentuknya zona bening
di sekitar paper disc. Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran daerah
penghambatan, yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan
kecepatan difusi agar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi agar,
yaitu konsentrasi mikroorganisme, komposisi media, suhu inkubasi, dan waktu
inkubasi (Schlegel dan Schmidt 1994).
Antimikroba sebagai substansi dapat berupa senyawa sintetik atau produk
alami. Antimikroba sintetik diperoleh dengan membuat suatu senyawa yang
sifatnya mirip dengan aslinya yang dibuat secara besar-besaran, seperti penisilin,
cephalosporin, glikopeptida, tetrasiklin, kloramfenikol, aminoglikosida,
sulfonamida, dan quinolones (Brock dan Madigan 2003). Pemakaian antimikroba
sintetik diketahui cukup berbahaya karena dapat meningkatkan resistensi bakteri
terhadap zat antimikroba tersebut (Lohner dan Austria 2001). Pemberian dosis
antibiotik yang rendah dan berulang-ulang dapat menyebabkan resistensi.
Penyebab terjadinya resistensi bakteri (Brock dan Madigan 2003), antara lain:
(1) tidak adanya struktur bakteri yang menjadi sasaran antibiotik, (2) bakteri
tersebut mungkin bersifat impermeabel terhadap antibiotik, dan (3) bakteri
tersebut mampu mengubah antibiotik menjadi bentuk yang inaktif.
Antimikroba alami umumnya berasal dari tanaman, hewan, maupun
organisme dengan melakukan proses pengekstrakan misalnya pada mikroalga.
Antibakteri dari alga umumnya belum banyak teridentifikasi, namun beberapa
telah diketahui komponen penyusunnya. Ada yang terdiri dari asam lemak, asam
organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid, polisakarida, alkohol
(Metting dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000)
Senyawa antibakteri yang terkandung dalam berbagai jenis ekstrak
tanaman diketahui dapat menghambat beberapa bakteri patogen maupun perusak
pangan (Branen 1993). Senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman, sebagian
besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan
fenolik dan terpen dalam minyak atsiri dan alkaloid. Sebagian besar metabolit
sekunder dihasilkan dari metabolit primer seperti dari asam-asam amino, asetik
ko-A, asam mevalonat, dan metabolit antara (Herbert 1995). Selain itu, beberapa
senyawa yang bersifat antibakteri alami yang berasal dari tanaman diantaranya
adalah fitoaleksin, asam organik, minyak esensial (atsiri), fenolik dan beberapa
kelompok pigmen tanaman atau senyawa sejenis (Nychas dan Tassou 2000 diacu
dalam Parhusip 2006).
Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus mempunyai beberapa
kriteria antara lain tidak bersifat racun, ekonomis, tidak merubah flavor, cita rasa,
dan aroma makanan jika digunakan dalam bahan pangan, tidak mengalami
penurunan aktivitas selama proses dan penyimpanan, tidak menyebabkan galur
resisten dan sebaiknya membunuh dibandingkan menghambat pertumbuhan
mikroba (Frazier dan Westhoff 1988).
Beberapa kelompok utama bahan antibakteri kimiawi adalah fenol dan
persenyawaan fenolat, alkohol, halogen, logam berat dan persenyawaannya,
deterjen, aldehide, dan kemosterilisator gas (Pelczar dan Chan 2005).
Kloramfenikol merupakan salah satu jenis antibakteri yang banyak digunakan dan
memiliki spektrum aktivitas antibakteri yang luas karena aktif terhadap bakteri
Gram negatif dan juga bakteri Gram positif. Struktur kloramfenikol dapat dilihat
pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur kloramfenikol (Greenwood et al. 1995)

Kloramfenikol mulanya diisolasi dari Streptomyces venezuelae, tetapi saat


ini dapat disintesa secara kimia tanpa tahap biosintesa dan lebih murah (Fardiaz et
al. 1988). Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesa protein
dengan mengganggu transfer peptida ke asam amino. Resistensi bakteri terhadap
kloramfenikol terjadi karena adanya asetilasi yang membuat kloramfenikol tidak
aktif. Kloramfenikol termasuk antibiotik yang paling stabil dan dalam air dengan
pH 6 menunjukkan kecenderungan terurai yang paling rendah. Antibiotik ini
masih banyak digunakan khususnya di negara-negara berkembang karena
harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan antibiotik-antibiotik
lainnya (Fardiaz 1992).
Penggunaan kloramfenikol relatif tidak beracun bagi mamalia bila
digunakan secara terapeutik, namun antibiotik ini dapat menyebabkan efek
samping yaitu idiosyncratic aplastic anemia dan hingga saat ini belum ada
informasi tentang dosis kloramfenikol yang menyebabkan aplastic anemia.
Aplastic anemia merupakan penyakit yang menyebabkan sumsum tulang berhenti
memproduksi sel darah yang baru baik sel darah merah maupun sel darah putih.
Oleh sebab itu, pemakaiannya baru dianjurkan pada kasus-kasus yang tidak dapat
diobati secara efektif dengan antibiotik lain (Pelczar dan Chan 2005). Hal
tersebut juga menyebabkan kloramfenikol tidak diizinkan sebagai antibiotik yang
ditambahkan pada bahan makanan (FDA 2004).

2.5 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri


Cara kerja penghambatan dan kerusakan mikroba oleh senyawa
antimikroba berbeda-beda. Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat
pertumbuhan mikroba dibagi menjadi beberapa cara (Branen dan Davidson 1993),
yaitu : kerusakan pada dinding sel, perubahan permeabilitas sel, penghambatan
sintesis protein dan asam nukleat, dan menghambat enzim-enzim metabolik.
1) Kerusakan pada dinding sel
Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan
gula yaitu asam N-asetilglukosamin, asam N-asetilmuramat, dan suatu peptida
yang terdiri dari asam amino yaitu L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin
(Fardiaz 1992). Lapisan peptidoglikan merupakan suatu molekul raksasa. Bakteri
Gram positif memiliki 40 lapisan peptidoglikan yang merupakan 50 % dari bahan
dinding sel sedangkan bakteri Gram negatif hanya ada 1-2 lapisan peptidoglikan
dan merupakan 10 % dari bahan dinding sel (Pelczar dan Chan 2005).
Antimikroba dapat menghambat sintesa dinding sel mikroba yaitu dengan
menghambat pembentukan peptidoglikan yang merupakan komponen penting dari
dinding sel mikroba. Mekanisme kerusakan dinding sel dapat juga disebabkan
oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau
membran sel, sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel
(Nychas dan Tassou 2000 diacu dalam Parhusip 2006). Contohnya penisilin dan
sefalosporin
2) Perubahan permeabilitas sel
Senyawa antimikroba dapat menyerang membran sitoplasma dan
mempengaruhi integritasnya. Membran sitoplasma berperan pada keutuhan sel
dimana mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur aliran
keluar masuknya bahan-bahan lain (Pelczar dan Chan 2005). Kerusakan pada
membran ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel
yang diikuti dengan keluarnya materi intraseluler. Mekanisme minyak atsiri
(karvakrol, sitral, dan geraniol) adalah mengganggu lapisan fosfolipid dari
membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan unsur
penyusun sel (Kim et al. 1995 diacu dalam Parhusip 2006). Contoh antimikroba
ini adalah polimiksin dan golongan polien.
3) Penghambatan sintesis protein dan asam nukleat
Síntesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida dari asam-asam
amino melalui ikatan peptida. Senyawa antimikroba mampu menghambat sintesis
protein bakteri yaitu senyawa tersebut dapat bereaksi dengan komponen sel
ribosom 50 S yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya sintesis protein dan
dilanjutkan terbentuknya pasangan yang tidak tepat dan akhirnya mengganggu
pembentukan protein (Nychas dan Tassou 2000 diacu dalam Parhusip 2006).
Contohnya tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin. Senyawa antimikroba juga
dapat menghambat sintesa asam nukleat (DNA dan RNA) dengan cara
menghambat DNA girase yang berfungsi dalam penataan kromosom sel mikroba.
Contohnya enrofloksasin (Setiabudy dan Ganiswara 1995)
4) Menghambat enzim-enzim metabolik
Enzim yang berperan dalam metabolisme dan pertumbuhan sel mikroba
dapat dihambat aktivitasnya oleh komponen antibakteri yang berakibat
terganggunya aktivitas maupun pertumbuhan mikroba. Konsentrasi antibakteri
yang tinggi dapat juga menyebabkan koagulasi enzim (Brown 1962 diacu dalam
Parhusip 2006). Komponen antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau
membunuh mikrooganisme melalui inaktivasi enzim-enzim metaboliknya.
Senyawa antibakteri sulfit, nitrit, dan asam benzoat dapat menginaktivasi berbagai
enzim metabolik bakteri.

2.6 Ekstraksi Senyawa Antibakteri


Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari
suatu bahan ataupun proses pemisahan satu atau beberapa zat yang diinginkan dari
campurannya dengan bantuan pelarut. Adapun beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang
digunakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pelarut adalah
daya melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat
korosif terhadap peralatan ekstraksi (Karger et al. 1973).
Ekstraksi dapat dibedakan menjadi tiga cara pengoperasiannya yaitu
(1) ekstraksi dengan menggunakan pelarut (solvent extraction), (2) ekstraksi
dengan penekanan yang sering disebut penekanan mekanik, dan (3) ekstraksi
dengan pemanasan (rendering). Menurut jenis pelarutnya, solvent extraction
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueous phase (dilakukan dengan
menggunakan air) dan organic phase (dilakukan dengan menggunakan pelarut
organik) (Winarno et al. 1973).
Metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi
sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne 1987). Ekstraksi sederhana terdiri atas:
a) Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam bahan dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan
b) Perkolasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan
c) Reperkolasi yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk
melarutkan sampel dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan
d) Evakolasi yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara
e) Diakolasi yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas :
a) Sokletasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut yang bervariasi
b) Arus balik yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan
c) Ultrasonik yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan
frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 kHz.
Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam
pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Oleh karena itu,
pemilihan pelarut yang sesuai akan sangat penting. Gaya yang bekerja dalam
proses ekstraksi adalah perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan
cairan ekstraksi di luar sel. Bahan pelarut mengalir ke dalam ruang sel sehingga
menyebabkan protoplasma membengkak dan menyebabkan kandungan sel akan
berdifusi ke luar sel (Achmadi 1992).
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang
berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif
sama kepolarannya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka semakin polar
pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya

Pelarut Titik didih (ºC) Titik beku (ºC) Konstanta


dielektrik
Heksana 68 -94 1,8
Dietil eter 35 -116 4,3
Kloroform 61 -64 4,8
Etil asetat 77 -84 6,0
Aseton 56 -95 20,7
Etanol 78 -117 24,3
Metanol 65 -98 32,6
Air 100 0 80,2
Sumber : Nur dan Adijuwana (1989)

Prinsip metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik adalah


bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut selama waktu tertentu,
kemudian diikuti dengan pemisahan bahan yang telah diekstrak. Ekstraksi
bertingkat dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut non polar
(misalnya heksana atau kloroform) lalu dilanjutkan dengan pelarut yang
kepolarannya menengah (misalnya etil asetat atau dietil eter), kemudian
dilanjutkan dengan pelarut polar (misalnya metanol atau etanol). Pelarut
non polar akan melarutkan senyawa non polar, pelarut polar akan melarutkan
senyawa polar, sedangkan pelarut semi polar akan melarutkan senyawa antara
polar maupun non polar. Proses ekstraksi ini akan diperoleh ekstrak kasar
(crude extract) yang berturut-turut mengandung senyawa non polar, semi polar,
dan polar (Hostettmann et al. 1997)
Hasil ekstrak yang diperoleh tergantung pada beberapa faktor yaitu kondisi
alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel
sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan
jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harborne 1987).

2.7 Bakteri
Bakteri adalah sel prokariot yang bersifat uniseluler. Sel bakteri ada yang
berbentuk bulat, batang, atau spiral. Umumnya ukuran diameter bakteri yaitu
antara 0,5 sampai 1,0 µm, dan panjangnya 1,5 sampai 2,5 µm (Pelczar dan Chan
2005). Bahan sel bakteri (sitoplasma dan intinya) dikelilingi oleh membran
sitoplasma yang berfungsi mengendalikan keluar masuknya suatu bahan ke dalam
sel. Bagian luar yang menutupi membran sitoplasma ialah dinding sel yang kaku
yang mengandung peptidoglikan. Peptidoglikan ini yang memberikan bentuk dan
kakunya dinding sel (Lay dan Hastowo 1992). Berdasarkan perbedaan komposisi
dan struktur dinding selnya maka bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif
dan bakteri Gram negatif (Pelczar dan Chan 2005). Gambar 4 menunjukkan
perbedaan struktur dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif. Perbedaan
susunan dinding sel dapat menyebabkan perbedaan kesensitifan bakteri terhadap
senyawa tertentu.

Bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (15-80 nm)
dan mempunyai lapisan tunggal (mono). Peptidoglikan sebagai lapisan tunggal
yang merupakan komponen utama dimana lebih dari 50 % berat kering pada
beberapa bakteri (Pelczar dan Chan 2005). Dinding selnya mengandung lipid
yang rendah (1-4 %) dan bakteri Gram positif ini mengandung sejumlah besar
asam teikoat yang dapat merupakan 50 % dari bobot kering dinding sel. Asam
teikoat merupakan polimer yang bersifat asam yang mengandung ribitol fosfat
atau gliserol fosfat. Asam teikoat ini bermuatan negatif sehingga menyebabkan
muatan negatif pada permukaan sel bakteri Gram positif (Lay dan Hastowo 1992).
Pertumbuhan bakteri ini dapat dihambat oleh zat-zat warna dasar dan lebih rentan
terhadap penisilin. Persyaratan nutrisi relatif rumit pada banyak spesies serta
lebih resisten terhadap gangguan fisik. Contoh bakteri yang termasuk dalam
bakteri Gram positif ini adalah Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus.

Gambar 4. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif dan Gram positif
(Moat dan Foster 1988)

Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang tipis (10-15 nm)
dan berlapis tiga (multi). Peptidoglikan terdapat pada lapisan kaku sebelah dalam
dan jumlahnya sedikit, sekitar 10 % berat kering. Bakteri Gram negatif
mempunyai lapisan membran luar yang menyebabkan dinding selnya
mengandung lipid yang tinggi (11-22 %). Lapisan membran luar ini tidak hanya
terdiri dari fosfolipida saja tetapi juga mengandung lipida lainnya, polisakarida,
dan protein. Bakteri Gram negatif ini tidak memiliki asam teikoat.
Pertumbuhannya kurang dapat dihambat oleh zat-zat warna dasar dan kurang
rentan terhadap penisilin. Persyaratan nutrisi relatif lebih sederhana serta kurang
resisten terhadap gangguan fisik. Contoh bakteri yang termasuk dalam bakteri
Gram negatif ini adalah Escherichia coli dan Vibrio harveyi (Pelczar dan Chan
2005).
2.7.1 Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif anaerob fakultatif
dan termasuk famili Micrococcaceae. Bakteri ini berbentuk kokus dengan
diameter 0,5-1,5 µm, terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan atau
berkelompok membentuk anggur. Selain itu, Staphylococcus aureus bersifat
nonmotil, tidak memiliki kapsul dan tidak berspora (Fardiaz 1992). Bakteri ini
dapat tumbuh dan berkembang biak pada kisaran suhu 6,7-45,5 oC dan kisaran
pH 4,0-9,8 sedangkan suhu optimum pertumbuhan bakteri ini adalah 35-37 oC
dengan kisaran pH optimumnya 7,0-7,5 (Pelczar dan Chan 2005).
Staphylococcus aureus biasanya terdapat di berbagai bagian tubuh
manusia termasuk hidung, tenggorokan, dan kulit sehingga mudah memasuki
makanan. Bila kita memakan makanan yang tercemar bakteri ini maka dapat
menyebabkan rasa mual, muntah, pusing, dan diare. Bakteri ini bersifat patogen
yang dapat menyebabkan keracunan dan penyakit pada hewan peliharaan. Bakteri
ini banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam
penanganan pangan (Adam dan Moss 1995).

Gambar 5. Staphylococcus aureus ( Anonim 2007)b

Produk bahan pangan yang telah dimasak seperti daging dan ayam yang
dimasak, udang kupas yang dimasak, ham, bacon, lunch meats, serta
produk-produk susu seperti kue krim, keju, dan custard pies biasanya
berhubungan dengan keracunan bahan pangan yang tercemar bakteri
Staphylococcus aureus (Buckle et al. 1985). Staphylococcus aureus umumnya
sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan kloramfenikol tetapi resisten
terhadap polimiksin dan polynes (Pelczar dan Chan 2005). Bakteri ini juga relatif
resisten terhadap pengeringan, panas (tahan terhadap suhu 50 oC selama 30
menit), resisten terhadap NaCl 9 % tetapi mudah dihambat oleh zat kimia tertentu
seperti heksaklorofen 3 %.
2.7.2 Bacillus cereus
Bakteri ini berbentuk batang, bersifat aerob sampai anaerob fakultatif,
katalase positif, dan sebagian besar bersifat Gram positif. Ukuran diameter
Bacillus cereus adalah 1,0-1,2 µm dan panjang 3,0-5,0 µm (Fardiaz 1989).
o
Kisaran suhu minimum pertumbuhan bakteri ini adalah 4-5 C dan suhu
maksimumnya 48-50 oC sedangkan suhu optimumnya adalah 30-45 oC. Kisaran
pH optimumnya adalah 4,9-9,3 (Granum dan Baird Parker 2000). Bacillus cereus
mampu memproduksi spora tahan panas sehingga pemanasan tidak dapat
menghilangkan Bacillus cereus secara maksimum. Bakteri ini bersifat patogen
meskipun sebagian besar golongan Bacillus bersifat non-patogen.
Bakteri ini dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi.
Jenis toksin yang dihasilkan dapat digolongkan menjadi toksin emetik dan toksin
diargenik (Fardiaz 1989). Makanan yang berhubungan dengan gejala emetik
adalah pangan berkarbohidrat seperti nasi dan pasta, sedangkan makanan yang
berhubungan dengan diargenik adalah produk daging, sup, sayuran, puding, dan
saus (Adam dan Moss 1995). Bacillus cereus sering ditemukan pada produk
daging beku, susu pasteurisasi, dan sayur-sayuran.

Gambar 6. Bacillus cereus (Anonim 2007)c

Keracunan pangan oleh Bacillus cereus terjadi secara intoksikasi, yaitu


masuknya enterotoksin yang diproduksi oleh Bacillus cereus ke dalam tubuh.
Gejala yang muncul adalah diare atau muntah dalam jangka waktu 2-16 jam
setelah makanan dikonsumsi. Bakteri ini peka terhadap antibiotik streptomisin,
penisilin G, sedangkan beberapa antibiotik lain lebih resisten (Friedman et al.
2004 diacu dalam Parhusip 2006).
2.7.3 Escherichia coli
Escherichia coli merupakan golongan bakteri patogen Gram negatif
anaerob fakultatif. Bakteri ini termasuk famili Enterobacteriaceae yang memiliki
bentuk seperti batang dengan ukuran panjang 2,0-6,0 µm dan lebar 1,1-1,5 µm
serta tunggal dan berpasangan. Kisaran suhu pertumbuhannya adalah 10-40 ºC
dengan suhu optimum 37 ºC sedangkan kisaran pH optimumnya adalah 7,0-7,5
(Fardiaz 1992). Gambar Escherichia coli ditunjukkan pada Gambar 7.
Kemampuannya yang dapat hidup pada kisaran suhu yang luas sehingga
kemungkinan pangan tercemar bakteri ini sangat besar bila penanganan bahan
pangan kurang memadai.
Escherichia coli umumnya hidup di perairan, tanah, makanan, air seni, dan
tinja manusia (Fardiaz 1992). Keberadaan Escherichia coli dalam bahan pangan
dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi kontaminasi dari feses manusia atau
hewan. Pertumbuhan bakteri ini dalam media padat ditunjukkan dengan adanya
koloni bundar, berwarna putih, dan halus. Sedangkan dalam media cair,
pertumbuhannya berupa supernatan yang jernih dengan endapan yang tidak dapat
larut dengan pengocokan.

Gambar 7. Escherichia coli (Anonim 2007)d

Escherichia coli merupakan penghuni normal dalam usus halus bagian


bawah manusia dan mamalia termasuk burung, yang pada keadaan tertentu dapat
bersifat patogen, tetapi selama tidak memiliki elemen genetik sebagai faktor
virulensnya, bakteri ini bersifat komensal (Pelczar dan Chan 2005). Bakteri
Escherichia coli juga diketahui sebagai salah satu penyebab utama diare akut yang
sering terjadi pada pendatang baru di negara-negara asing tertentu (travelers
diarrhea) (Jay 2000). Bakteri ini sensitif terhadap antibiotik jenis kloramfenikol,
kanamisin, penisilin dan sulfonamid (Tortora et al. 1989).
2.7.4 Vibrio harveyi
Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif dan bersifat fermentatif. Bentuk
selnya adalah berbentuk batang pendek, bersel tunggal, dengan ukuran
panjangnya 1,4-5,0 µm dan lebar 0,3-1,3 µm, bersifat motil dan mempunyai
flagella untuk bergerak (Lavilla-Pitogo 1995). Vibriosis merupakan jenis
penyakit yang sering ditemukan pada budidaya windu sebagai akibat infeksi
bakteri Vibrio.
Vibrio harveyi termasuk bakteri patogen yang menempel kuat pada
dinding kulit larva dan sebagai virulensinya menggunakan protein ekstraseluler,
kondisi ini menyebabkan kematian larva udang sebelum dipanen. Bakteri patogen
dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu patogen obligat dan patogen non obligat.
Patogen obligat, yaitu patogen yang dapat menimbulkan penyakit setiap kali
kontak dengan inangnya, sedangkan patogen non obligat yaitu patogen yang dapat
hidup dan berkembang biak di dalam inang ataupun bebas di luar inang, seperti
Vibrio sp. (Boer dan Zafran diacu dalam Naiborhu 2002). Jenis bakteri ini juga
mampu menyebabkan penyakit kunang-kunang (Rukyani 1992).

Gambar 8. Vibrio harveyi (Anonim 2007)e

Bakteri Vibrio harveyi dapat tumbuh baik pada medium dengan kadar
garam 0,5 % NaCl, dan seperti halnya bakteri Vibrio berpendar lain, bakteri ini
tumbuh dan berpendar pada medium Tiosulphate-Citrate-Bile-salt (TCBS).
Pendaran ini terjadi karena bakteri ini mempunyai enzim lusiferase yang dapat
mengkatalisis reaksi yang memancarkan cahaya dengan menggunakan substrat
berupa senyawa aldehid yang disebut lusiferin (Meighen 1991 diacu dalam Lailati
2007). Vibrio harveyi sensitif terhadap antibiotik rifampisin, kloramfenikol,
oksitetrasilin, dan hampir semua antibiotik, tetapi pemakaian yang berlebihan
akan menyebabkan Vibrio harveyi menjadi resisten (Greenwood et al. 1995).
2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode kromatografi cair yang
sederhana yang mampu memisahkan senyawa-senyawa yang berbeda seperti
senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik, kompleks anorganik-
organik, dan bahkan ion anorgaik (Gritter et al. 1991). Pemakaian KLT dilakukan
dengan dua tujuan. Pertama, KLT dipakai selayaknya sebagai metode untuk
mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, KLT dipakai untuk
menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam
kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.
Kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan fase diamnya berupa lapisan
tipis dan fase geraknya mengalir karena kerja kapiler. Lapisan tipis dengan
ketebalan 0,1-2 mm terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan
penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari
pelat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan
bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati). Lapisan ini biasanya
berfungsi sebagai permukaan padat yang menjerap (cair-padat), walaupun dapat
pula dipakai sebagai penyangga zat cair (Gritter et al. 1991).
Selanjutnya ada yang disebut juga sebagai fase gerak yaitu medium angkut
dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak ini bergerak dalam fase
diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler. Pelarut yang
digunakan adalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem
pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin
yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl 1985).
Beberapa kelebihan penggunaan KLT dalam proses fraksinasi dan
pemisahan lanjut adalah waktu operasinya relatif cepat (20-40 menit), sensitif
dengan limit deteksi mencapai 10-9 g, relatif dapat diaplikasikan pada sistem
kromatografi kolom preparatif dengan kondisi yang relatif sama, peralatan yang
diperlukan cukup sederhana dan parameter-parameter percobaan mudah
divariasikan untuk mendapatkan hasil pemisahan yang maksimal (Pomeranz dan
Meloan 1994)
3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan mulai dari bulan Mei sampai Desember 2007
di laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Bioteknologi Hasil Perairan 2,
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Laboratorium Terpadu, FKH, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan terdiri dari mikroalga Dunaliella sp., bakteri Gram
positif, bakteri Gram negatif, serta bahan penunjang lainnya. Mikroalga
Dunaliella sp. diperoleh dari Pusat Riset Oseanografi LIPI-Ancol, Jakarta Utara.
Bakteri yang digunakan adalah bakteri Gram positif yaitu Staphylococcus
aureus, Bacillus cereus diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia,
PAU, IPB serta bakteri Gram negatifnya adalah Escherichia coli yang diperoleh
dari laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, PAU, IPB dan Vibrio harveyi
diperoleh dari laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan.
Bahan lain yang digunakan adalah medium Guillard yang telah
dimodifikasi, media Tryptone Soya Agar (TSA), media Mueller-Hinton Broth
(MHB), media Mueller-Hinton Agar (MHA), kertas label, kapas, aluminium foil,
paper disc berdiameter 6 mm, pelarut organik heksana (pro analyst), etil asetat
p.a, metanol p.a, kertas saring Whatman no.42, garam fisiologis, kloramfenikol,
petroleum ether, selenium, H2SO4, NaOH, asam borat, HCl.
Peralatan yang digunakan untuk kultur dan penentuan kurva pertumbuhan
mikroalga Dunaliella sp. adalah erlenmeyer 1 liter, lampu TL 40 watt, aerator,
selang udara, tabung reaksi, pipet tetes, mikroskop, mikropipet 10-100 µl,
hemasitometer, autoklaf. Peralatan yang digunakan untuk panen dan ekstraksi
Dunaliella sp. adalah sentrifuse, freeze dryer, magnetic stirrer, erlenmeyer ukuran
100 ml.
Peralatan yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain labu
kjeldahl, labu destilasi, alat FATEX-S, oven, dan desikator. Peralatan yang
digunakan untuk uji aktivitas antibakteri dari Dunaliella sp. antara lain cawan
petri, tabung reaksi, gelas piala, pinset, kompor listrik, mikropipet 10-100 µl,
inkubator, autoklaf, dan clean bench. Peralatan yang digunakan untuk pengujian
kromatografi lapis tipis adalah aluminium yang berlapiskan silika gel. Peralatan
penunjang lainnya adalah timbangan, gelas ukur, batang pengaduk, dan bunsen.

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama.

3.3.1 Penelitian pendahuluan


Penelitian pendahuluan terdiri dari penentuan kurva pertumbuhan
Dunaliella sp.

1) Pembuatan kurva pertumbuhan


Tahap penelitian ini bertujuan untuk menentukan kurva pertumbuhan serta
umur panen dari mikroalga Dunaliella sp. dalam medium Guillard. Penghitungan
jumlah sel dilakukan dengan cara kultivasi Dunaliella sp. dalam skala kecil
(1000 ml). Parameter yang diamati berupa penghitungan jumlah sel dari awal
kultivasi sampai akhir kultivasi (fase kematian). Penelitian ini dijadikan sebagai
dasar dalam melakukan penelitian utama.
Mikroalga Dunaliella sp. ditumbuhkan dalam medium Guillard sejumlah
300 ml pada suhu kamar 27-30 oC. Medium Guillard yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Sebelumnya air laut yang digunakan
sebanyak 300 ml dalam erlenmeyer disterilisasi dengan menggunakan autoklaf
pada suhu 121 oC. Dunaliella sp. sebanyak 30 ml diinokulasi ke dalam 300 ml
medium cair Guillard steril secara aseptik. Selanjutnya Dunaliella sp. dikultivasi
selama 7 hari pada suhu kamar, diaerasi secara terus menerus dengan aerator dan
menggunakan lampu neon 40 watt sebagai sumber cahaya dengan intensitas
cahaya 3000 lux serta lama penyinaran 24 jam.
Setelah dikultivasi selama 7 hari, kultur Dunaliella sp. ditingkatkan secara
bertahap dan aseptik yaitu mengambil kultur Dunaliella sp. sebanyak 100 ml
diinokulasi ke dalam 1000 ml medium Guillard dalam wadah erlenmeyer.
Kultivasi dilakukan pada suhu kamar, diaerasi dengan aerator dan dilengkapi
lampu neon 40 watt sebagai sumber cahaya dengan intensitas cahaya 3000 lux dan
penyinaran 24 jam. Proses kultivasi Dunaliella sp. dapat dilihat pada Gambar 9.

Stok Dunaliella sp.

Inokulasi 30 ml ke dalam 300 ml medium Guillard steril


(kultivasi selama 7 hari, aerasi, suhu kamar, lampu neon 40 watt)

Inokulasi 100 ml ke dalam 1000 ml medium Guillard steril


(aerasi, suhu kamar, lampu neon 40 watt)

Sampling
Gambar 9. Proses kultivasi Dunaliella sp. pada medium Guillard

Penghitungan jumlah sel mulai dari awal kultivasi sampai akhir kultivasi
(fase kematian). Sampling dilakukan setiap hari untuk mengetahui jumlah sel
Dunaliella sp.

3.3.2 Penelitian utama


Penelitian utama terbagi atas empat tahap yaitu kultivasi Dunaliella sp.,
ekstraksi senyawa antibakteri, uji aktivitas antibakteri, dan pengujian
kromatografi lapis tipis (KLT).
Kultivasi Dunaliella sp. dilakukan pada skala besar (10 liter) yang
bertujuan mendapatkan biomassa pada fase log dan fase stasioner. Ekstraksi
senyawa antibakteri Dunaliella sp. dilakukan dengan pelarut secara bertingkat
yang menggunakan pelarut yang berbeda. Pelarut heksana sebagai pelarut non
polar, etil asetat sebagai pelarut semi polar, dan metanol sebagai pelarut polar.
Pengujian aktivitas senyawa antibakteri dilakukan pada bakteri Gram positif yaitu
Staphyllococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif yaitu
Escherichia coli dan Vibrio harveyi.

1) Kultivasi Dunaliella sp.


Kultivasi ini bertujuan untuk mendapatkan biomassa pada fase log dan
fase stasioner. Kultivasi Dunaliella sp. dilakukan dalam 2000 ml medium
Guillard steril dalam wadah toples kaca. Kultur dibuat sebanyak 5 buah dengan
perlakuan yang sama seperti penelitian pendahuluan.
Penentuan umur panen dilakukan berdasarkan pola pertumbuhan yang
diperoleh dari penelitian pendahuluan. Panen dilakukan pada saat kultur berada
pada fase log dan fase stasioner.
Hasil dari kultivasi ini dilakukan analisis proksimat dan ekstraksi senyawa
antibakteri. Analisis proksimat dilakukan pada biomassa sel Dunaliella sp. yang
dipanen saat kultur berada pada fase log, meliputi analisis kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Ekstraksi senyawa antibakteri
dilakukan pada filtrat dan biomassa sel Dunaliella sp. yang dipanen saat kultur
berada pada fase log dan fase stasioner.

2) Ekstraksi senyawa antibakteri (Quinn 1988 dan Pratt 1945 diacu dalam
Setyaningsih et al. 2000)
Proses ekstraksi dilakukan pada fase log dan fase stasioner. Ekstraksi
senyawa antibakteri dari biomassa Dunaliella sp. dilakukan dengan modifikasi
metode Quinn (1988) dan ekstraksi senyawa antibakteri dari filtrat dilakukan
dengan modifikasi metode Pratt (1945)
Kultur Dunaliella sp. dipanen pada saat mencapai fase log dan fase
stasioner yang kemudian dilakukan pemisahan filtrat dan biomassa sel dengan
menggunakan sentrifuse selanjutnya filtrat (120 ml) dan biomassa
dikeringbekukan. Filtrat yang telah dikeringbekukan disebut sebagai
ekstraseluler. Biomassa dilakukan pemecahan sel menggunakan glass bead
selama 10 menit. Selanjutnya biomassa tersebut dimasukkan dalam erlenmeyer
100 ml ditambahkan heksana dengan perbandingan 1:25 (b/v) dan ditutup dengan
aluminium foil untuk dilakukan maserasi. Proses maserasi menggunakan
magnetic stirrer dan kecepatan 50 rpm selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah
itu, dilakukan penyaringan dengan kertas Whatman no 24 dan filtratnya disebut
sebagai filtrat ke-1.
Residu hasil penyaringan tersebut ditambahkan etil asetat untuk dilakukan
maserasi kembali dengan perlakuan yang sama dengan sebelumnya dan hasil
penyaringannya berupa filtrat disebut sebagai filtrat ke-2. Residu hasil
penyaringan tersebut ditambahkan metanol dan dilakukan kembali maserasi dan
penyaringan sehingga diperoleh filtrat yang disebut sebagai filtrat ke-3.
Masing-masing filtrat tersebut dievaporasi dengan menggunakan alat rotary
evaporator vacuum (Buchi) pada suhu 35 ºC dan kecepatan 100 rpm. Hasilnya
berupa ekstrak kasar intraseluler dalam heksana, etil asetat, dan metanol. Bagan
ekstraksi senyawa antibakteri dapat dilihat pada Gambar 10.

Sampel

Pemanenan

Pemisahan (sentrifuse)

Filtrat Biomassa

Freeze drying Freeze drying

Ekstraseluler Bead milling

Maserasi 24 jam dengan heksana

Filtrasi

Residu Filtrat

Maserasi 24 jam dengan etil asetat Evaporasi

Filtrasi Ekstrak heksana

Residu Filtrat

Maserasi 24 jam dengan metanol Evaporasi

Filtrasi Ekstrak etil asetat

Residu Filtrat

Evaporasi

Ekstrak metanol

Gambar 10. Skema ekstraksi senyawa antibakteri Dunaliella sp. (Quinn 1988
dan Pratt 1945 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000)
3) Uji aktivitas antibakteri
Uji aktivitas senyawa antibakteri dari ekstraseluler dan ekstrak kasar
intraseluler dalam pelarut heksana, etil asetat, dan metanol dilakukan pada bakteri
Gram positif yaitu Staphyllococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram
negatif yaitu Escherichia coli dan Vibrio harveyi.

4) Pengujian kromatografi lapis tipis


Kombinasi pelarut yang digunakan untuk uji kromatografi lapis tipis
adalah pelarut heksana dan etil asetat dengan perbandingan 2:1 (v/v). Ekstrak
dilarutkan dalam pelarutnya, kemudian ditotolkan pada plat silika gel dengan
panjang 20 cm. Kemudian diletakkan dalam wadah berisi eluen tersebut,
selanjutnya dibiarkan selama 20 menit sampai menghasilkan pengembangan spot.
Hasil pengembangan spot tersebut diamati di bawah sinar UV dengan panjang
gelombang 365 nm.

3.4 Prosedur Analisis


Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi penghitungan jumlah
sel, analisis proksimat, penghitungan rendemen ekstrak, dan pengujian aktivitas
senyawa antibakteri.

3.4.1 Penghitungan jumlah sel


Penghitungan jumlah sel dalam kultur dilakukan setiap hari dengan
pengamatan langsung menggunakan mikroskop dan hemasitometer.
Penghitungan ini dilakukan mulai dari awal kultivasi sampai mencapai fase
kematian. Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan menggunakan metode
hitungan langsung (Hadioetomo 1993), yaitu :
a. Suspensi biakan Dunaliella sp. hasil pengambilan contoh dikocok, diambil
sebanyak 10 µl dengan menggunakan mikropipet.
b. Suspensi tersebut diteteskan pada permukaan hemasitometer, kemudian
ditutup dengan kaca penutup.
c. Hemasitometer diletakkan di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat
dalam 80 kotak kecil berukuran 0,2 mm2 dihitung dengan perbesaran 40 x.
Penghitungan jumlah sel dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.
d. Formulasi yang digunakan dalam menghitung kepadatan sel adalah:
N = ( ΣN1 + ΣN2 ) x 1 x 1 mm3
2 1 mm x 0,2 mm x 0,1 mm 10-3 ml

Keterangan : N = kepadatan sel (sel/ml)


Σ N1 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1)
Σ N2 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2)
1 mm = panjang hemasitometer dalam 80 kotak kecil
0,2 mm = lebar hemasitometer dalam 80 kotak kecil
0,1 mm = tinggi hemasitometer
1 mm3 = faktor konversi dari satuan mm3 ke satuan ml
10-3 ml
e. Hasil perhitungan diplotkan pada grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan
dimana umur (hari) sebagai sumbu x dan log kepadatan sel sebagai sumbu y.

3.4.2 Analisis proksimat


Analisis proksimat yang dilakukan pada biomassa sel Dunaliella sp. untuk
mengetahui kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar
karbohidrat.

1) Analisis kadar air (AOAC 1995)


Cawan porselen dikeringkan terlebih dahulu kira-kira 1 jam dalam oven
pada suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram, dimasukkan ke dalam cawan kemudian
dikeringkan dalam oven selama 4-6 jam pada suhu 105 oC. Cawan tersebut
didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Perhitungan kadar air dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar air = (x – y) x 100 %


z
Keterangan : z = Berat sampel (gram)
x = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (gram)
y = Berat (cawan + sampel) setelah dikeringkan (gram).

2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)


Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram dan dimasukkan ke dalam cawan
porselen yang telah diketahui beratnya. Setelah itu diarangkan di atas nyala
pembakar sampai tidak berasap lagi lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan
o
suhu 400-600 C sampai pengabuan sempurna. Kemudian diangkat dan
didinginkan dalam desikator lalu ditimbang sampai konstan. Penentuan kadar abu
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar abu = (B1 – B2) x 100 %


B
Keterangan :
B = Berat sampel (gram)
B1 = Berat (sampel + cawan) sesudah diabukan
B2 = Berat cawan kosong (gram).

3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)


Sampel ditimbang seberat 0,2 gram dan dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl. Selanjutnya ditambahkan katalis campuran selenium kira-kira 3 sendok
kecil serta 20 ml H2SO4 pekat teknis secara homogen. Campuran tersebut
dipanaskan dengan alat destruksi sampai larutan berwarna jernih kehijauan.
Kemudian ditambah aquades 300 ml dan 100 ml NaOH 33 % lalu didestilasi.
Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer berisi 10 ml larutan borat lalu dititrasi
dengan HCl 0,02 N sampai berwarna merah muda. Perhitungan kadar protein:

Kadar protein = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100 %


mg sampel

4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)


Sampel sebanyak 0,2 gram dimasukkan dalam selongsong dan ditutup
dengan kapas yang bebas lemak. Selongsong dimasukkan ke dalam FATEX-S
dan ditambahkan larutan petroleum ether sebagai larutan pengekstrak. Proses
o
ekstraksi dilakukan pada suhu 60 C selama 25 menit, kemudian larutan
petroleum ether bersama lemak yang telah larut ditampung. Setelah itu, dilakukan
proses evaporasi dengan merubah suhu menjadi 105 oC sampai alat FATEX-S
berbunyi. Proses ini dilakukan sebanyak dua kali proses ekstraksi dan evaporasi.
Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 oC selama
1 jam, setelah itu didinginkan lalu ditimbang. Perhitungan kadar lemak:

Kadar Lemak = ( b – a ) x 100 %


c
Keterangan : c = Berat sampel (gram)
a = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
b = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
5) Kadar karbohidrat (Winarno 1997)
Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar
lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya.
Analisis kadar karbohidrat menggunakan rumus:

Kadar karbohidrat = 100 % - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak)

3.4.3 Penghitungan rendemen ekstrak


Rendemen ekstrak kering yang diperoleh dihitung dengan menggunakan
rumus:

A
Rendemen = x 100%
B

Keterangan: A = Berat ekstrak (gram)


B = Berat biomassa kering (gram).

3.4.4 Pengujian aktivitas senyawa antibakteri


Sebelum melakukan pengujian aktivitas antibakteri, perlu dilakukan
persiapan seperti pembuatan media tumbuh bakteri, pengkulturan bakteri, dan
penghitungan jumlah bakteri.
Media tumbuh yang digunakan antara lain media Tryptone Soya Agar
(TSA), media Mueller-Hinton Broth (MHB), dan Mueller-Hinton Agar (MHA).
Media TSA digunakan dalam bentuk agar miring untuk menyimpan stok bakteri.
Media MHB berguna untuk mengkultur bakteri sebelum dilakukan pengenceran.
Media MHA berguna untuk menumbuhkan bakteri yang akan diujikan pada
senyawa antibakteri.
Pembuatan media TSA, MHB, dan MHA yang masih berupa bubuk
dilakukan dengan cara melarutkan media TSA sebanyak 40 gram ke dalam 1 liter
aquades, media MHB sebanyak 1,05 gram dalam 50 ml aquades, media MHA
sebanyak 8,25 gram ke dalam 250 ml aquades. Setelah larut dalam aquades, lalu
medium disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 oC dan tekanan 15 psi selama
15 menit.
Penyegaran bakteri uji terlebih dahulu dilakukan sehari sebelum pengujian
aktivitas senyawa antibakteri. Kultur bakteri tersebut diambil sebanyak 1 lup dari
stok agar miring dan dimasukkan ke dalam 9 ml medium MHB steril. Selanjutnya
diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37 oC selama 18 jam untuk bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli serta menggunakan suhu 30 oC untuk
bakteri Vibrio harveyi dan Bacillus cereus. Sebelum dilakukan pengujian
antibakteri, terlebih dahulu dihitung Optical Density (OD) bakteri uji dengan
menggunakan alat spektrometer pada panjang gelombang 600 nm.
Pengujian aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak kasar intraseluler dan
ekstraseluler Dunaliella sp. dilakukan pada bakteri Gram positif yaitu
Staphyllococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif yaitu
Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Pengujian ini dilakukan berdasarkan
modifikasi metode Calibrated Dichotomous Sensitivity (CDS) (Bell 1984) yaitu :
1. Biakan bakteri pada media MHB dipipet sebanyak 20 µl dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi 15 ml MHA cair steril. Selanjutnya
dihomogenkan dengan menggunakan vorteks dan dituang ke dalam cawan
petri steril kemudian dibiarkan sampai mengering.
2. Masing-masing ekstrak sebesar 0,015 g dilarutkan dengan masing-masing
pelarut 0,5 ml. Ekstrak sebanyak 10 µl diteteskan pada paper disc steril dan
dibiarkan beberapa saat. Selain ekstrak, juga digunakan antibiotik
kloramfenikol sebagai kontrol positif. Konsentrasi ekstrak maupun
kloramfenikol pada masing-masing paper disc adalah 300 µg/disc.
Perhitungan konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 4.
3. Paper disc yang sudah kering diletakkan secara teratur di atas medium agar
yang mengandung bakteri uji dan kemudian diberi label untuk tiap-tiap jenis
perlakuan.
4. Cawan petri yang berisi bakteri uji dan ekstrak senyawa antibakteri tersebut
diinkubasi dalam inkubator selama 18 jam pada suhu 37 oC untuk bakteri
Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan suhu 30 oC untuk bakteri
Vibrio harveyi, Bacillus cereus.
5. Aktivitas senyawa antibakteri ditentukan dengan cara mengukur diameter
daerah penghambatan yang terbentuk yaitu dengan mengurangi diameter zona
bening yang terbentuk dengan diameter paper disc (6 mm).
Ketentuan kekuatan senyawa antibakteri adalah sebagai berikut: bila
memiliki daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti memiliki kekuatan antibakteri
sangat kuat; bila daerah hambatan yang dimilikinya berkisar antara 10-20 mm
berarti kuat; bila daerah hambatan 5-10 mm berarti sedang; bila daerah
hambatannya 5 mm atau kurang dari 5 mm maka dikatakan lemah (Davis dan
Stout 1971).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kurva Pertumbuhan Dunaliella sp.


Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa sel dan
disertai ukurannya oleh sintesis makromolekul yang menghasilkan struktur baru
(Becker 1994). Penghitungan jumlah sel dilakukan pada penelitian pendahuluan.
Sampling dilakukan setiap hari dengan pengamatan langsung menggunakan
mikroskop dan hemasitometer. Jumlah sel yang didapatkan kemudian diplotkan
ke dalam suatu grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan
Dunaliella sp. dapat dilihat pada Gambar 11.

Kurva pertumbuhan Dunaliella sp.

7
Log jumlah sel

6.5

5.5

5
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
Umur kultur (hari)

Gambar 11. Kurva pertumbuhan Dunaliella sp.

Pertumbuhan mikroalga dibagi dalam lima fase pertumbuhan (Fogg 1975),


yaitu fase lag, fase log, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase
kematian. Berdasarkan penelitian ini, pertumbuhan Dunaliella sp. memiliki pola
pertumbuhan yang dimulai dari fase log, fase penurunan laju pertumbuhan, fase
stasioner, dan fase menuju kematian. Kultur dilakukan pada suhu ruang dengan
intensitas cahaya 3000 lux dan penyinaran 24 jam. Gambar 11 menunjukkan
bahwa fase log dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-8, fase penurunan laju
pertumbuhan dicapai pada hari ke-9 sampai hari ke-11, fase stasioner terjadi pada
hari ke-12 sampai hari ke-29 dan fase menuju kematian mulai hari ke-30 sampai
ke-34. Tabel kepadatan sel Dunaliella sp. dapat dilihat pada Lampiran 5.
Berdasarkan pola pertumbuhan Dunaliella sp. tidak terdapat fase lag. Hal
ini terjadi karena Dunaliella sp. yang diinokulasi tersebut diambil dari kultur yang
berada pada fase log sehingga tidak mengalami fase lag. Hal ini seperti yang
dinyatakan oleh Spencer (1954) diacu dalam Fogg (1975) bahwa lamanya fase lag
tergantung dari umur inokulum, bahkan fase lag tidak terjadi bila inokulum telah
mencapai fase log. Selain itu, sel Dunaliella sp. ditempatkan dalam medium dan
lingkungan yang sama seperti medium dan lingkungan sebelumnya sehingga tidak
diperlukan waktu untuk adaptasi. Pada fase lag terjadi pemulihan konsentrasi
enzim dan komponen sel mikroalga menjelang pertumbuhan eksponensial.
Fase log dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-8 dan ditandai dengan
naiknya laju pertumbuhan yang disertai dengan meningkatnya kepadatan sel.
Kepadatan sel hari ke-0 adalah 2,8 x 105 sel/ml dan hari ke-8 adalah
3,4 x 106 sel/ml. Sel Dunaliella sp. melakukan pembelahan sel secara aktif
dengan kecepatan maksimum dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Hal ini
didukung oleh ketersediaan nutrien dan lingkungan yang baik sehingga
pertumbuhannya cukup optimal. Ciri metabolisme selama fase log adalah
aktivitas fotosintesis yang tinggi untuk pembentukan protein dan komponen
penyusun plasma sel yang dibutuhkan dalam pertumbuhan (Fogg 1975). Keadaan
ini ditandai dengan warna kultur yang semakin hijau dibandingkan pada awal
kultur.
Pertambahan jumlah sel memasuki fase penurunan laju pertumbuhan
sedikit lebih lambat dibandingkan pada fase log. Fase penurunan laju
pertumbuhan dimulai pada hari ke-9 dengan kepadatan sel 3,8 x 106 sel/ml sampai
hari ke-11 (4,5 x 106 sel/ml). Hal ini terjadi karena keterbatasan substrat,
kepadatan populasi, dan ketersediaan oksigen yang semakin rendah. Selain hal
tersebut, timbunan produk metabolisme yang toksik dapat menurunkan kecepatan
pertumbuhan sehingga akan menuju tahap stasioner (Schlegel dan Schmidt 1994).
Fase stasioner merupakan tahap pertumbuhan yang konstan dimana laju
reproduksi sama dengan laju kematian. Penambahan dan pengurangan jumlah
mikroalga relatif sama atau seimbang sehingga kepadatannya tetap (Becker 1994).
Kepadatan sel hari ke-12 adalah 4,6 x 106 sel/ml dan hari ke-29 adalah
4,6 x 106 sel/ml. Hal ini juga menunjukkan bahwa selama fase stasioner masih
terjadi pembelahan sel. Walaupun nutrien semakin berkurang, pembelahan sel
masih dapat berlangsung.
Sel memiliki cadangan energi sehingga masih dapat menggunakan
komponen tersebut untuk melakukan pertumbuhan dan mempertahankannya
walaupun kecepatannya sangat rendah (Schlegel dan Schmidt 1994). Mikroalga
mampu memanfaatkan substrat organik seperti gula dan asam-asam organik
sebagai sumber karbon untuk mempertahankan pertumbuhannya. Selama energi
yang dibutuhkan untuk mempertahankan sel masih dapat diperoleh maka sel
mikroalga mampu mempertahankan hidupnya untuk masa yang panjang.
Mikroalga dapat menghasilkan substansi toksik yang disebut autoinhibitor yang
diakumulasikan dalam medium pertumbuhan sehingga berakibat pertumbuhannya
stasioner (Fogg 1975). Selama fase stasioner, warna kultur juga lebih hijau
dibandingkan pada fase log.
Pertumbuhan Dunaliella sp. memiliki fase menuju kematian. Pola
pertumbuhan dapat dibagi menjadi tujuh (Buchanan 1918 diacu dalam
Jordan et al. 1947), yaitu fase lag, fase peningkatan laju pertumbuhan, fase log,
fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, fase menuju kematian, dan fase
kematian. Fase menuju kematian menunjukkan jumlah sel yang mati lebih
banyak daripada jumlah sel yang hidup. Hal ini disebabkan oleh nutrien dalam
medium yang telah habis sedangkan sel yang masih hidup tidak mampu untuk
tumbuh dan hanya dapat bertahan hidup. Selama fase menuju kematian terjadi
penurunan jumlah sel, dimulai pada hari ke-30 (4,2 x 106 sel/ml) sampai hari
ke-34 (3,5 x 106 sel/ml). Kematian sel disebabkan oleh kehabisan nutrien dan
akumulasi sisa metabolisme atau bahan toksik spesifik. Laju pertumbuhan
menurun sampai akhirnya tidak ada lagi pertumbuhan dan sel mengalami lisis
karena tidak mendapat suplai nutrien lagi. Sel yang lisis akan menyebabkan
perubahan warna (Clifton 1958 diacu dalam Sidabutar 1999)
Selama pertumbuhan, juga terjadi perubahan warna kultur. Perubahan
warna ini terjadi mulai dari awal sampai akhir kultivasi, yaitu mulai dari warna
hijau bening, hijau tua, sampai warna hijau bening kembali dengan terbentuknya
endapan hijau yang terdapat di dasar tempat kultur. Warna kultur Dunaliella sp.
pada hari yang berbeda selama kultivasi dapat dilihat pada Gambar 12. Perubahan
warna tersebut menandakan terjadinya peningkatan kepadatan sel mulai dari
kepadatan rendah, kemudian menjadi tinggi dan selanjutnya mengalami
penurunan kembali. Dunaliella mengandung klorofil a dan b, karotenoid dan
xanthofil termasuk β-karoten, α-karoten, cis-γ-karoten, lutein, lutein 5,6-epoxid,
antheraxanthin, violaxanthin, zeaxanthin, dan neoxanthin. Namun yang lebih
menonjol adalah lutein dan β-karoten (Borowitzka dan Borowitzka 1988).

A B C
Keterangan: A = umur kultur 0 hari
B = umur kultur 7 hari
C = umur kultur 14 hari
Gambar 12. Warna kultur Dunaliella sp. pada hari yang berbeda

Cahaya bersama klorofil berperan dalam proses fotosintesis. Pada


penelitian ini, cahaya diperoleh dari sinar lampu TL dengan intensitas cahaya
3000 lux. Proses fotosintesis membutuhkan energi yang diperoleh dari
penyerapan cahaya oleh pigmen-pigmen fotosintetik. Pigmen yang menyerap
cahaya pada Dunaliella sp. adalah klorofil a disamping pigmen lain seperti
karotenoid dan xanthofil. Klorofil a terletak pada tylakoid yang tersebar di dalam
kromoplasma. Selama penelitian ini, cahaya diberikan selama 24 jam sehingga
kandungan klorofil a pada Dunaliella sp. semakin banyak. Hal ini ditunjukkan
oleh penelitian Diharmi (2001) bahwa kandungan klorofil a pada Spirulina terus
meningkat sejalan dengan semakin lama kultur dikenai cahaya. Selain itu,
Diharmi juga menyatakan bahwa kandungan terendah klorofil a terdapat pada fase
log sebesar 3,112 mg/l dan tertinggi pada fase stasioner sebesar 6,568 mg/l
dengan intensitas cahaya 4000 lux dan lama pencahayaan selama 16 jam.

4.2 Komposisi Kimia Dunaliella sp.


Kandungan kimia tiap mikroalga berbeda-beda yang dipengaruhi oleh zat
hara, kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya, lama pencahayaan, suhu, dan
lain-lain. Kandungan kimia suatu mikroalga dapat dilihat dari kandungan protein,
lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Manfaat Dunaliella cukup beragam mulai dari sebagai antibakteri, jasad pakan
yang cukup baik, sumber gliserol dan β-karoten hingga sebagai makanan
kesehatan seperti halnya dengan Chlorella karena kandungan proteinnya yang
tinggi. Hasil analisis proksimat Dunaliella sp. dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia Dunaliella sp.


Senyawa kimia Jumlah (%)
Air 65,22
Abu 6,17
Protein 18,12
Lemak 1,60
Karbohidrat 8,89

Kandungan air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp.
adalah 65,22 %, 18,12 %, 1,60 %, 6,17 %, dan 8,89 %. Protein mempunyai
peranan penting untuk pertahanan fungsi jaringan secara normal, perawatan
jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak dan pembentukan sel-sel baru.
Komponen penyusun protein adalah asam amino. Beberapa mikroalga dianggap
sebagai sumber protein karena kandungannya yang tinggi seperti
Chlorella vulgaris (35,30 %), Tetraselmis sp. (49,75 %), Dunaliella salina (57 %)
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Kandungan protein Dunaliella sp. adalah
18,12 % dan asam amino menentukan kualitas protein. Pembentukan asam amino
Dunaliella sp. diperoleh dari unsur hara yang terdapat pada medium tumbuhnya.
Lemak merupakan sumber energi paling tinggi. Satu gram lemak dapat
menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan
4 kkal/gram (Winarno 1997). Lemak disusun atas beberapa asam lemak yang
merupakan komponen pembentuk. Kandungan lemak Dunaliella sp. senilai
1,60%. Kualitas lemak pada Dunaliella sp. juga ditentukan oleh asam lemak
pembentuknya (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Unsur hara dan faktor
lingkungan dapat mempengaruhi kandungan asam lemak. Beberapa mikroalga
seperti Dunaliella sp., Tetraselmis suecica akan menghasilkan kandungan lemak
yang rendah dan terus memproduksi karbohidrat bila lingkungannya terganggu
(Becker 1994).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan
(Sudarmadji et al. 1989). Kandungan abu yang dimiliki Dunaliella sp. sebesar
6,17 %. Peningkatan kadar abu seiring dengan meningkatnya kandungan mineral.
Mineral berperan dalam menjaga tekanan osmosis, komponen penting pembentuk
struktur tulang dan gigi, menjaga keseimbangan asam dan basa tubuh.
Kadar karbohidrat Dunaliella sp. adalah 8,89 % yang dilakukan secara
by difference. Kadar karbohidrat ini tergantung pada faktor pengurangannya yaitu
kadar air, abu, protein dan lemak. Oleh karena itu, karbohidrat sangat dipengaruhi
oleh kandungan zat gizi lainnya. Kandungan senyawa kimia Dunaliella sp.
berkaitan dengan medium tumbuhnya. Medium tumbuh Dunaliella sp. yang
digunakan dalam penelitian ini masih terdiri dari unsur teknis seperti pemakaian
vitamin B12. Unsur hara dan faktor lingkungan seperti diketahui memiliki
pengaruh terhadap kandungan senyawa Dunaliella sp.

4.3 Ekstraksi Senyawa Antibakteri


Penelitian ini menggunakan pelarut heksana, etil asetat, metanol dalam
mengekstrak senyawa antibakteri dari Dunaliella sp. Ekstraksi adalah suatu
proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan ataupun proses
pemisahan satu atau beberapa zat yang diinginkan dari campurannya dengan
bantuan pelarut. Pada fase log dihasilkan produk metabolit primer yang dapat
berpotensi sebagai antibakteri seperti asam lemak, polisakarida, dan golongan
senyawa dipeptida. Komponen penyusun antibiotik dari alga diketahui terdiri dari
asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid,
polisakarida, alkohol (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et al.
2000). Pada fase stasioner terjadi akumulasi produk toksik yang merupakan
inhibitor (Mckane dan Kandel 1985). Kultur Dunaliella sp. dipanen pada hari
ke-7 yang mewakili fase log dan hari ke-14 yang mewakili fase stasioner.
Pemisahan biomassa sel dengan filtrat dilakukan menggunakan sentrifuse.
Teknik pemisahan biomassa dan filtrat dengan menggunakan sentrifuse
merupakan salah satu cara yang sangat efisien (Vonshak 1990). Mikroalga
memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya yang disebut
metabolit intraseluler, sedangkan produk yang diekskresikan ke medium
tumbuhnya disebut metabolit ekstraseluler (Stewart 1974). Metabolit intraseluler
tersebut terdapat pada biomassa sedangkan metabolit ekstraseluler terdapat pada
filtrat.
Biomassa dan filtrat dikeringbekukan untuk menghilangkan komponen air
dan menghindari kerusakan komponen bioaktif yang terkandung dalam bahan.
Pengeringan beku dilakukan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -75 ºC
agar komponen bioaktif yang terkandung tidak rusak. Hasil dari proses
pengeringan beku tersebut berupa filtrat dan biomassa kering. Filtrat dan
biomassa kering Dunaliella sp. disajikan pada Gambar 13. Kemudian biomassa
kering dilakukan proses pemecahan sel dengan menggunakan glass bead.
Selanjutnya dilakukan pengadukan (stirring) menggunakan pengaduk
magnet (magnetic stirrer) dengan tujuan memecah sel sehingga komponen yang
diinginkan dapat keluar, memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel
sehingga komponen yang telah keluar dapat terikat dan larut dalam pelarut, serta
memperbesar pengikatan komponen dengan pelarut yang digunakan. Maserasi ini
dilakukan secara terus menerus selama 24 jam untuk memperbesar kemungkinan
reaksi antara senyawa yang diinginkan dengan pelarut.

A B
Keterangan : A = Filtrat kering fase log dan fase stasioner
B = Biomassa kering fase log dan fase stasioner
Gambar 13. Filtrat dan biomassa kering Dunaliella sp.

Tahap selanjutnya adalah evaporasi yang bertujuan menguapkan pelarut


dan memperoleh senyawa hasil ekstraksi yang diinginkan. Penguapan pelarut ini
dengan menggunakan rotary evaporator vacuum pada suhu 35 ºC. Penggunaan
rotary evaporator vacuum untuk memekatkan larutan dalam volume kecil
sebaiknya menggunakan suhu antara 30-40 ºC agar komponen bioaktif yang
terkandung tidak rusak (Harborne 1987).
Ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pelarut yang
berbeda yang diawali dari pelarut heksana (pelarut non polar), kemudian pelarut
etil asetat (pelarut semi polar), dan terakhir pelarut metanol (pelarut polar).
Penggunaan berbagai pelarut ini dilakukan agar zat aktif yang terkandung dan
belum diketahui sifatnya dapat terekstrak secara optimal sesuai kepolarannya.
Berat ekstrak Dunaliella sp. dengan jenis pelarut dapat dilihat pada Tabel 4.
Berat biomassa kering yang dihasilkan pada umur panen fase stasioner
(1,54 gram) lebih besar dibandingkan pada fase log (1,10 gram). Hal ini
disebabkan oleh jumlah sel Dunaliella sp. pada fase stasioner lebih tinggi
dibandingkan pada fase log, meskipun laju pertumbuhan pada fase stasioner
mengalami penurunan. Jumlah sel pada fase stasioner cenderung tetap karena sel
telah mencapai titik jenuh.

Tabel 4. Berat ekstrak Dunaliella sp. dengan jenis pelarut


Umur Volume Berat Berat Jenis Berat Rendemen
panen ( liter) biomassa biomassa pelarut ekstrak ekstrak
basah kering kering (%)
Heksana 0,02 gram 1,81 %
Fase log 10 liter 3,78 gram 1,10 gram Etil asetat 0,05 gram 4,54 %
Metanol 0,06 gram 5,45 %
Heksana 0,02 gram 1,29 %
Fase 10 liter 5,04 gram 1,54 gram Etil asetat 0,03 gram 1,94 %
stasioner
Metanol 0,04 gram 2,59 %

Rendemen ekstrak kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi
dengan pelarut metanol (5,45 %) lebih besar dibandingkan dengan rendemen
ekstrak dari ekstraksi pelarut etil asetat (4,54 %) dan pelarut heksana (1,81 %).
Hal yang sama juga terjadi pada fase stasioner, dimana rendemen ekstrak kering
yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut metanol (2,59 %) lebih besar
dibandingkan rendemen ekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat (1,94 %)
dan juga pelarut heksana (1,29 %). Hal ini menunjukkan bahwa Dunaliella sp.
lebih banyak mengandung senyawa yang dapat larut dalam pelarut polar. Selain
itu, pelarut metanol diketahui sebagai pelarut yang mampu mengekstraksi
kelompok senyawa gula, asam-asam amino, glikosida, juga dapat melarutkan
kelompok senyawa yang larut dalam petroleum eter, heksana, kloroform,
etil asetat, etanol, air dalam jumlah dan proporsi berbeda-beda sehingga diperoleh
hasil ekstraksi metanol cukup besar (Houghton dan Raman 1998). Contoh
perhitungan rendemen ekstrak kering dapat dilihat pada Lampiran 3.
Berat ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh
pada fase log berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,05; 0,06 gram. Pada fase log
terjadi metabolisme primer dimana polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat
merupakan produk metabolit primer. Komponen-komponen tersebut merupakan
penyusun utama suatu makhluk hidup (Manitto 1992). Berat ekstrak-heksana,
ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh pada fase stasioner
berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,03; 0,04 gram. Pada fase stasioner terjadi
metabolisme sekunder yang merupakan keseluruhan proses sintesis dan
perombakan produk metabolit primer (Herbert 1995), terjadinya penumpukan
produk beracun dan kehabisan nutrien (Pelczar dan Chan 2005), serta
menghasilkan komponen-komponen yang berfungsi untuk pertahanan hidup
Produk senyawa metabolit sekunder seperti senyawa fenol, alkaloid, terpenoid,
Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi Dunaliella sp. berbentuk
pasta dengan warna yang berbeda-beda. Ekstraksi dengan pelarut heksana
menghasilkan ekstrak-heksana berwarna coklat kekuningan, ekstraksi dengan
pelarut etil asetat menghasilkan ekstrak-etil asetat berwarna kecoklatan, dan
ekstraksi dengan pelarut metanol menghasilkan ekstrak-metanol berwarna hijau
tua. Ekstrak Dunaliella sp. yang diperoleh dengan menggunakan berbagai pelarut
dapat dilihat pada Gambar 14.

a b c a b c

A B
Keterangan: a = ekstrak-heksana
b = ekstrak-etil asetat
c = ekstrak-metanol
A = ekstrak fase log
B = ekstrak fase stasioner
Gambar 14. Ekstrak Dunaliella sp. yang diperoleh dengan menggunakan
berbagai pelarut.
Pelarut-pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi menghancurkan
membran sel dan melarutkan pigmen yang terkandung dalam bahan sehingga
menghasilkan warna tersebut (Shahidi dan Naczk 1995). Pelarut non polar
misalnya heksana mampu mengekstrak hidrokarbon, asam lemak, asetogenin, dan
terpen. Pelarut semi polar misalnya etil asetat mampu mengekstrak senyawa
fenol dan terpenoid. Pelarut polar misalnya metanol mampu mengekstrak
senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin (Harborne
1987). Ekstrak-heksana yang berwarna kuning kecoklatan diduga karena
kandungan karotenoid. Karotenoid adalah pigmen berwarna kuning, jingga, atau
merah yang terdapat di berbagai macam plastid berwarna (kromoplas) (Salisbury
dan Ross 1995). Pigmen warna ini mudah diekstraksi dalam pelarut lipid seperti
heksana, kloroform. Demikian juga ekstrak-etil asetat yang berwarna kecoklatan
diduga karena kandungan karotenoid.
Ekstrak-metanol yang berwarna hijau tua diduga disebabkan oleh klorofil
yang terekstrak. Penelitian Sugiastuti (2002) mendapatkan ekstrak-etanol daun
sirih berwarna hijau kehitaman yang juga disebabkan oleh kandungan klorofil dari
daun sirih. Klorofil merupakan zat hijau daun yang penting dalam fotosintesis
(Salisbury dan Ross 1995). Hasil dari ekstraksi tahap awal ini masih berupa
ekstrak kasar dan umumnya ekstraksi dengan pelarut tidak dapat menghasilkan
komponen yang diinginkan secara sempurna kecuali dilanjutkan dengan
pemurnian.

4.4 Aktivitas Antibakteri


Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Gram positif, yaitu
Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif, yaitu
Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
aktivitas antibakteri pada ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol dari
metabolit intraseluler (biomassa) dan metabolit ekstraseluler (filtrat).
Kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif. Konsentrasi masing-masing
ekstrak yang diteteskan pada paper disc adalah 300 µg/disc. Contoh perhitungan
konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 4. Optical Density (OD600)
masing-masing bakteri adalah Staphylococcus aureus (0,64), Bacillus cereus
(0,68), Escherichia coli (0,65), dan Vibrio harveyi (0,67). Hasil uji aktivitas
antibakteri ekstrak Dunaliella sp. disajikan pada Tabel 5.
Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri terhadap bakteri uji walaupun kemampuannya tergolong lemah.
Besarnya aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh besarnya zona bening yang
terbentuk di sekitar paper disc. Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri.

Tabel 5. Hasil uji aktivitas antibakteri Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen
Diameter zona hambat (mm) pada bakteri uji
Umur
Ekstrak
panen S. aureus B. cereus E. coli V. harveyi
Heksana 3 4 3 5
Etil asetat 2 2 2 3
Fase log
Metanol - - - -
Ekstraseluler - - - -
Heksana 2 2 1 4
Etil asetat 2 3 2 4
Fase
stasioner Metanol - - - -
Ekstraseluler - - - -
Kloramfenikol 19 20 24 26

Pengujian ekstrak-heksana pada fase log terhadap bakteri uji


Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi
menghasilkan diameter zona bening di sekitar paper disc berturut-turut sebesar
3, 4, 3, dan 5 mm. Diameter zona bening dari ekstrak-etil asetat dengan bakteri
uji tersebut, berturut-turut adalah 2, 2, 2, dan 3 mm. Berdasarkan diameter zona
hambat yang dihasilkan, ekstrak-heksana dan etil asetat termasuk kategori yang
memiliki aktivitas lemah (rata-rata diameter zona hambat < 5 mm) (Davis dan
Stout 1971).
Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada
fase stasioner terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,
Escherichia coli, dan Vibrio harveyi juga termasuk dalam kriteria lemah (rata-rata
diameter zona hambat < 5 mm) dengan diameter zona hambat masing-masing
sebesar 2, 2, 1, dan 4 mm, serta 2, 3, 2, dan 4 mm.
Komponen aktif yang dapat diekstrak dari suatu bahan tergantung pada
kepolaran pelarut yang digunakan. Senyawa yang terikat pada pelarut non polar
misalnya heksana antara lain hidrokarbon, asam lemak, asetogenin, dan terpen
(Riguera 1997). Ekstrak-heksana diduga mengandung asam lemak dan terpen.
Beberapa jenis asam lemak bebas yang terbukti memiliki daya hambat antibakteri
diantaranya linoleat, arakhidonat, linolenat terhadap Clostridium welchii (Kabara
1983). Senyawa terpen contohnya triterpenoid merupakan golongan yang
berpotensi sebagai antimikroba terutama banyak digunakan untuk menyembuhkan
penyakit kulit (Robinson 1995)
Pelarut semi polar misalnya etil asetat mampu mengekstrak senyawa
fenol dan terpenoid (Harborne 1987). Senyawa yang berperan sebagai antibakteri
dalam ekstrak-etil asetat diduga adalah fenol dan terpenoid tersebut. Sejumlah
komponen penyusun antibiotik dari alga laut diketahui diantaranya terdiri dari
terpenoid dan penghambat fenolat (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam
Setyaningsih et al. 2000). Kelompok fenolik merupakan aneka ragam senyawa
yang terdiri dari fenol, asam fenolat, fenilpropanoid, pigmen flavonoid,
antosianin, flavonol dan flavon, flavonoid minor, xanton, stilbena, tanin, serta
pigmen kuinon (Harborne 1987).
Pelarut polar misalnya metanol mampu mengekstrak kelompok senyawa
alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin (Harborne 1987).
Ekstrak-metanol pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri. Hal ini dapat diduga bahwa senyawa aktif yang terdapat pada
Dunaliella sp. adalah senyawa yang bersifar non polar dan semi polar. Selain itu,
polaritas pelarut metanol berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri.
Hiserodt et al. (1998) diacu dalam Parhusip (2006) menyatakan bahwa polaritas
suatu senyawa mempengaruhi aktivitas antibakteri seperti 6-gingerol yang
mempunyai rantai alkil lebih polar daripada 10-gingerol memberikan
penghambatan lebih rendah terhadap Mycobacterium avium. Hal ini menunjukkan
bahwa senyawa polar seperti metanol juga cenderung mempunyai aktivitas
antibakteri yang lebih rendah.
Ekstraseluler tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Hal ini diduga
bahwa metabolit ekstraseluler yang terdapat pada filtrat menguap karena
perlakuan freeze drying dan pada penelitian ini, hasil ekstraseluler tidak dilakukan
maserasi. Selain itu, Dunaliella sp. diduga tidak mensekresikan substansi organik
yang berfungsi sebagai komponen aktif ke medium tumbuhnya.
Ekstrak Dunaliella sp. yang dipanen pada umur 7 hari yang mewakili fase
log dan umur 14 hari yang mewakili fase stasioner memiliki aktivitas antibakteri
walaupun tergolong lemah. Senyawa antibakteri pada Dunaliella sp. dihasilkan
pada fase log dan stasioner. Selama fase log dihasilkan produk metabolit primer
seperti polisakarida, asam amino, asam lemak, gula, asetil koenzim, asam
mevalonat, dan nukleotida (Manitto 1992). Beberapa produk metabolit primer ini
dapat berpotensi sebagai antibakteri seperti asam lemak, polisakarida, dan
golongan senyawa dipeptida. Komponen penyusun antibiotik dari alga diketahui
terdiri dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin,
terpenoid, polisakarida, alkohol (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam
Setyaningsih et al. 2000). Produk antibakteri alami sering juga berasal langsung
dari senyawaan pembangun metabolit primer seperti golongan senyawa dipeptida
(Quinn 1988 diacu dalam Lailati 2007). Panen Dunaliella sp. dilakukan pada hari
ke-7 yang waktunya mendekati fase awal stasioner sehingga selain dihasilkan
produk metabolit primer juga mulai dihasilkan produk metabolit sekunder.
Selama fase stasioner, senyawa antibakteri diproduksi karena sel bertahan
untuk hidup dengan nutrien semakin berkurang dan populasi yang padat. Selain
itu, terjadi akumulasi produk toksik yang merupakan inhibitor. Metabolit
sekunder yang diproduksi selama fase stasioner misalnya senyawa terpen,
alkaloid, pigmen (Manitto 1992). Pigmen Dunaliella sp. juga dapat berpotensi
sebagai antibakteri. Banyak mikroorganisme berpigmen yang memiliki sifat-sifat
antibiotik (Schlegel dan Schmidt 1994). Produk antibakteri alami umumnya
berasal dari hasil senyawaan metabolit sekunder dari berbagai kelompok yaitu
senyawa fenol, alkaloid, terpenoid, flavonoid (Quinn 1988 diacu dalam Lailati
2007).
Perbedaan-perbedaan aktivitas antibakteri dapat disebabkan oleh sifat
kerentanan dari masing-masing bakteri. Bakteri memiliki kerentanan terhadap
sarana fisik dan bahan kimia yang berbeda. Resistensi mikroorganisme terhadap
beberapa jenis antibiotik dapat disebabkan oleh sifat yang dimiliki oleh
mikroorganisme itu sendiri (Pelczar dan Chan 2005). Beberapa hal yang dapat
menyebabkan mikroorganisme dapat rentan terhadap antibiotik adalah struktur sel
yang kurang lengkap, dinding sel yang impermeabel, dan jenis antibiotik (Brock
dan Madigan 2003).
Zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak heksana dan etil asetat terhadap
bakteri Escherichia coli lebih kecil bila dibandingkan dengan zona hambat
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Ketahanan
Escherichia coli diduga karena menghasilkan protease serin yang aktivitasnya
berkorelasi dengan tingkat infeksi yang ditimbulkan (Budiarti dan Suhartono
1999). Selain itu, bakteri Escherichia coli juga termasuk bakteri Gram negatif
yang memiliki susunan dinding sel lebih kompleks (berlapis tiga) dibandingkan
dengan dinding bakteri Gram positif yang berlapis satu. Menurut Nikaido dan
Vaara (1985) diacu dalam Parhusip (2006), bakteri Escherichia coli termasuk
golongan bakteri enterik dan mempunyai membran luar yang sangat efektif dalam
mempertahankan dirinya dibandingkan bakteri Gram negatif lainnya. Membran
luar sel Escherichia coli merupakan protein asam yang dibuat bila lingkungannya
tidak mendukung pertumbuhan terutama jika bakteri keluar dari saluran
pencernaan. Escherichia coli sensitif terhadap antibiotik jenis kloramfenikol,
kanamisin, penisilin, dan sulfonamid (Tortora et al. 1989).
Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif yang peka terhadap
ekstrak non polar karena bakteri ini mempunyai lapisan peptidoglikan yang
mengandung asam amino dan bersifat hidrofobik sehingga lebih mudah ditembus
senyawa non polar (Franklin dan Snow 1989 diacu dalam Parhusip 2006).
Staphylococcus aureus juga tidak memiliki molekul reseptor spesifik dan susunan
matrik sistem dinding selnya relatif terbuka sehingga penetrasi oleh senyawa
antibakteri akan lebih mudah (Russel 1991 diacu dalam Parhusip 2006).
Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin,
dan kloramfenikol tetapi resisten terhadap polimiksin dan polynes (Pelczar dan
Chan 2005)
Zona hambat yang terbentuk dari ekstrak Dunaliella sp. terhadap bakteri
uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi
disajikan pada Gambar 15.

ML ML
FL
FL
HL HL

FS ES
K
K EL EL
K
FS
ES MS
MS
HS
HS
Escherichia coli Bacillus cereus

ML
ML ML
ML
FL
FL HL
HL FL
FL HL
HL
FS
FS
K FS K
K EL
K EL
EL FS EL
ES
ES ES
MS ES MS
MS
MS
HS
HS
HS HS
Vibrio harveyi Staphylococcus aureus
Keterangan: ML = ekstrak metanol fase log MS = ekstrak metanol fase stasioner
HL = ekstrak heksana fase log HS = ekstrak heksana fase stasioner
EL = ekstrak etil asetat fase log MS = ekstrak etil asetat fase stasioner
FL = ekstrak ekstraseluler fase log FS = ekstrak ekstraseluler fase stasioner
K = kloramfenikol
Gambar 15. Aktivitas ekstrak kasar Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen

Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat memiliki aktivitas antibakteri


terhadap Bacillus cereus. Bakteri ini termasuk bakteri Gram positif yang mampu
menghasilkan enzim protease. Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat diduga
mampu menghambat aktivitas enzim protease. Senyawa antibakteri dapat
merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat sintesis
protein bakteri dan menghambat kerja enzim intraseluler (Kim et al. 1995; Rawel
et al. 2001 diacu dalam Parhusip 2006). Sistem enzim yang terpengaruh akan
mengakibatkan gangguan pada produksi energi penyusun sel dan sintesis
komponen sel secara struktural. Bacillus cereus termasuk bakteri yang peka
terhadap minyak atsiri (cinnamon, oregano, thyme, karvakrol, perilaldehyde,
resorcyclic acid dan dopamine) dan antibiotik streptomisin, penisilin G (Friedman
et al. 2004 diacu dalam Parhusip 2006)
Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat mempunyai aktivitas yang spesifik
terhadap Vibrio harveyi dengan terbentuknya zona hambat yang lebih besar
daripada bakteri lainnya. Vibrio harveyi menghasilkan enzim protease, gelatinase,
lipase, elastase, dan urease yang berperan dalam proses metabolisme (Masini
et al. 2007). Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat diduga dapat menghambat
enzim yang dihasilkan Vibrio harveyi sehingga menyebabkan metabolisme bakteri
tersebut terganggu.
Setiap enzim yang terdapat di dalam sel merupakan sasaran potensial bagi
bekerjanya suatu senyawa antibakteri yang akan bersaing dengan substrat
sehingga enzim tidak aktif. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya
metabolisme atau matinya sel (Pelczar dan Chan 2005). Vibrio harveyi sensitif
terhadap antibiotik rifampisin, kloramfenikol, oksitetrasilin, dan hampir semua
antibiotik (Greenwood et al. 1995).
Kloramfenikol sebagai kontrol positif menghasilkan diameter zona hambat
lebih besar daripada diameter zona hambat masing-masing ekstrak dengan
konsentrasi yang sama. Hal ini disebabkan kloramfenikol merupakan zat
antibakteri murni sedangkan ekstrak Dunaliella sp. masih berupa ekstrak kasar
(crude extract) yang mengandung bahan organik lain selain antibakteri. Senyawa
organik lain dapat menurunkan aktivitas zat antibakteri dengan cara
menginaktivasi dan mengganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel bakteri
sehingga dapat melindungi bakteri dari zat antibakteri tersebut (Pelczar dan Chan
2005). Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesa protein sel bakteri
yang berlangsung di ribosom (Setiabudy dan Ganiswara 1995). Ekstrak
Dunaliella sp. perlu dimurnikan untuk mendapatkan aktivitas antibakteri yang
lebih baik.

4.5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Pengujian KLT terhadap ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat
menghasilkan pemisahan spot meskipun belum terlalu baik. Kombinasi pelarut
yang digunakan terdiri dari pelarut heksana dan etil asetat dengan perbandingan
2:1 (v/v). Perbandingan pelarut tersebut didasarkan pada kandungan mikroalga
yang sebagian besar merupakan golongan asam lemak yang mudah larut dalam
pelarut non polar seperti heksana. Ekstrak-heksana menghasilkan empat spot dan
ekstrak-etil asetat menghasilkan tiga spot. Artinya bahwa jumlah komponen aktif
yang terdapat pada ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat sebanyak 4 dan
3 komponen. Tabel 6 menunjukkan nilai Rf, warna spot secara visual, dan warna
dibawah UV masing-masing fraksi yang terbentuk.

Tabel 6. Nilai Rf, warna spot secara visual, dan warna di bawah UV
masing-masing fraksi yang terbentuk.
Ekstrak Fraksi Rf Warna visual Warna UV (λ=365 nm)
1 0,027 Hijau kekuningan Kuning menyala
2 0,068 Kuning Ungu menyala
Heksana
3 0,137 kuning Kuning menyala
4 0,524 kuning Kuning menyala
1 0,034 Hijau Ungu menyala
Etil asetat 2 0,565 Hijau kekuningan Kuning menyala
3 0,951 Kuning Kuning menyala

Perbedaan nilai Rf (Retention factor) menjelaskan tentang perbedaan berat


molekul senyawa yang terkandung pada ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat
dari Dunaliella sp. Contoh perhitungan Rf dapat dilihat pada Lampiran 6.
Senyawa yang memiliki berat molekul rendah akan diadsorbsi terlebih dahulu
sehingga akan menghasilkan spot yang paling tinggi atau nilai Rf yang dihasilkan
paling besar. Warna yang tampak secara visual diduga sebagai warna pigmen
yang berikatan dengan senyawa yang terkandung pada ekstrak-heksana dan
ekstrak-etil asetat. Untuk menduga jenis komponen yang terdapat pada
masing-masing ekstrak dapat digunakan senyawa pembanding atau standar yang
telah diketahui jenisnya seperti alkaloid.
Masing-masing fraksi mempunyai nilai Rf yang berbeda-beda. Nilai Rf
ini digunakan sebagai dasar identifikasi senyawa yang terdapat pada bahan dan
untuk membedakan warna fraksi yang satu dengan yang lain pada saat
pengamatan fraksi yang terbentuk.
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini, pola pertumbuhan Dunaliella sp. dimulai dari fase log
(hari ke-0 sampai ke-8), fase penurunan laju pertumbuhan (hari ke-9 sampai
ke-11), fase stasioner (hari ke-12 sampai ke-29), serta fase menuju kematian
(hari ke-30 sampai ke-34). Berdasarkan uji proksimat, kandungan air, protein,
lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp. adalah 65,22 %, 18,12 %, 1,60 %,
6,17 %, dan 8,89 %.
Berat biomassa kering yang dihasilkan pada umur panen fase stasioner
(1,54 gram) lebih besar dibandingkan pada fase log (1,10 gram). Rendemen
ekstrak kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut heksana,
pelarut etil asetat, dan pelarut metanol berturut-turut sebesar 1,81 %, 4,54 %, dan
5,45 %. Rendemen ekstrak kering pada fase stasioner yang dihasilkan dari
ekstraksi dengan pelarut heksana, pelarut etil asetat, dan pelarut metanol berturut-
turut nilainya adalah 1,29 %, 1,94 %, dan 2,59 %.
Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat
pada fase log terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,
Escherichia coli, dan Vibrio harveyi menghasilkan diameter zona bening
di sekitar paper disc berturut-turut sebesar 3, 4, 3, 5 mm, serta 2, 2, 2, 3 mm.
Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada fase
stasioner terhadap bakteri uji yang sama berturut-turut nilainya adalah 2, 2, 1,
4 mm, serta 2, 3, 2, 4 mm. Ekstrak-heksana dan etil asetat dari Dunaliella sp. yang
dipanen pada umur 7 hari (fase log) dan umur 14 hari (fase stasioner)
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri walaupun kemampuannya tergolong
lemah. Pengujian KLT menunjukkan bahwa jumlah komponen aktif yang
terdapat pada ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat sebanyak 4 dan 3 komponen.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, beberapa saran yang perlu
dilakukan adalah:
e. Optimasi kultivasi terhadap perlakuan suhu dan medium yang digunakan.
f. Optimasi ekstraksi terhadap ekstraseluler seperti perlakuan dengan
maserasi
g. Pada tahap ekstraksi senyawa antibakteri, tiap pelarut sebaiknya
mengekstrak satu bahan sehingga diperoleh hasil ekstraksi yang optimal
h. Uji aktivitas antibakteri terhadap mikroorganisme patogen lainnya seperti
Salmonella, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas dan lain-lain sehingga
spektrum aktivitasnya dapat lebih luas.
i. Pemurnian dan identifikasi komponen aktif Dunaliella sp. yang telah
diperoleh.
j. Uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia dari Dunaliella sp.
k. Mengetahui manfaat lain dari Dunaliella sp. yang diperoleh dari perairan
Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor: Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Adam MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. Cambridge: The Royal
Society of Chemistry.

[Anonim]. 2007a. Dunaliella. http://arch.Ced.Berkeley.Edu/.../hidden


ecologied/?p=75
(29 November 2007)

[Anonim]. 2007b. Staphylococcus


aureus.http://cassiopeaonline.it/../staph_bacterium.html (29 November
2007)

[Anonim]. 2007c. Bacillus cereus.


http://biosci.sierracollege.edu/materials/4/illustrations/
images/dorner_spore.jpg (29 November 2007)

[Anonim]. 2007d. Escherichia coli. http://www.astrographics.com/Gallery Prints


Index/GP2144.html&h (29 November 2007)

[Anonim]. 2007e. Vibrio harveyi.http://images.vpro.nl/img.db%3F24240176%2B


%2Bs(200)&imgrefurl. (29 November 2007).

AOAC. 1995. Association of Official Association Analytical Chemist. Official


Methods of Analysys. Virginia: AOAC.Inc

Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. USA:


Cambridge University Press.

Borowitzka MA, Borowitzka LJ. 1988. Micro-algal Biotechnology. Great


Britain: Cambridge University Press.

Branen. 1993. Introduction to use of antimicrobials. Di dalam: Branen AL,


Davidson PM. Antimicrobial in Foods. Second edition. New York: Marcel
Dekker, Inc

Branen AL, Davidson PM. 1993. Antimicrobial in Foods. Second edition. New
York: Marcel Dekker, Inc

Brock TD, Madigan MT. 2003. Biology of Microoganisms. Sixth edition.


Mexico: Prentice Hall International.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo
H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science
Budiarti S, Suhartono MT. 1999. Peranan protease pada bakteri patogen. Makalah
dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi
Indonesia. Padang, 3-4 Agustus 1999.

Chang T, Ohta S, Ikegami N, Miyata H, Kashimoto T, Kondo M. 1993.


Antibiotic substances produced by a marine green alga, Dunaliella
primolecta. Bioresource Technology. 44: 149-153.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan


Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Darusman LK Sajuthi D, Komar, Pamungkas. 1995. Naskah seminar: Ekstraksi


komponen bioaktif sebagai obat dari kerang-kerangan, bunga karang dan
ganggang laut di perairan pulau Pari kepulauan Seribu. Buletin Kimia.
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.IPB.

Davis WW, Stout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic
assay. Journal of Microbiology. 22(4): 659-665

Fardiaz S, Suliantari, Dewanti R. 1988. Senyawa Antimikroba. Bogor: Pusat


Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Fardiaz S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Petunjuk Laboratorium.


Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan


dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

[FDA] Food and Drug Administration. 2004. FDA Seizes Adulterated Crabmeat
in Lousiana Product Contains Chloramphenicol and Poses Unacceptable
Risk. http://www.fda.gov./bhs/topics/answer/2004/AWSO1297.html [2
Novemeber 2007]

Fogg GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London: The
University of Wisconsin Press.

Frazier WC, Westhoff DC. 1988. Food Microbiology. Fourth edition.


Singapore: McGraw-Hill.

Granum PE, Baird-Parker TC. 2000. Bacillus species. Di dalam: Lund BM,
Parker TCB dan Gould GW. The microbial safety and quality of food.
Maryland: Aspen Publishers, Inc.

Greenwood D, Slack RCB, Peutherer JF, editor. 1995. Medical Microbiology.


Ed ke-14. Hongkong: ELBS.
Gritter RJ, Bobbitt JM, Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi.
Padmawinata K, penerjemah. Edisi ke-2. Bandung: ITB. Terjemahan dari:
Introduction of Chromatography.

Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Jakarta: UI Press

Harborne JB. 1987. Metode Kimia. Kosasih P, Iwang S, penerjemah. Bandung:


ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.

Herbert RB. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder. Bambang Srigandono,


penerjemah. Edisi kedua. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan
dari: The Biosynthesis of Secondary Metabolites.

Hostettman K, Wolfender JL, Rodrigue. 1997. Rapid detection and subsequent


isolation of bioactive constituens of crude plant extract. J Plant Med. 6:2-
10.

Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of


Natural Extracts. London: Chapman and Hall.

Indhira TA. 2004. Prospek Bioteknologi Sumberdaya Akuatik dalam Industri


Farmasi. Jurnal Perikanan Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan
Univ Hang Tuah Surabaya. 1(1): 27-30

Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.


Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius

Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth edition. Maryland: Aspen
Publisher, Inc.

Jordan EO, Burrows W. 1947. Text Book of Bacteriology. Fourteenth edition.


Philadelphia: WB Saunders Company

Kabara JJ. 1993. Medium-chain fatty acids and esters. Di dalam: Branen AL,
Davidson PM. Antimicrobial in Foods. Second edition. New York: Marcel
Dekker, Inc

Kabinawa INK. 1994. Kultur Mikroalga: Aspek dan Prospek. Prosiding


Seminar Nasional Bioteknologi Mikroalga. Bogor: Puslitbang-Biotek.
LIPI.

. 2001. Mikroalga Sebagai Sumber Daya Hayati Perairan Dalam


Perspektif Bioteknologi. Bogor: Puslitbang-Biotek. LIPI.

Karger BL, Synder L, Hosvarth C. 1973. An Introduction to Separation.


Brisbane: John dan Sons
Krisanti M. 2003. Peran zeolit sebagai substrat dan penyedia unsur hara bagi
mikroalga [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak
Chaetoceros gracilis [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial Disease of Penaeid Shrimps: An Asian New.


J. Disease in Asian Aquaculture. 11:107-116.

Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Lohner K, Austria G. 2001. Development of Novel Antimicrobial Agent:


Emerging Strategies. England: Horizon Scientific Press.

Manitto P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Koensoemardiyah, penerjemah.


Semarang: IKIP Press. Terjemahan dari: Biosynthesis of Natural Products.

Masini et al. 2007. Research and characterization of pathogenic vibrios from


bathing water along the conera Riviera (Central Italy). Water Research.
10:1016

Mckane, Kandel. 1985. Microbiology: Essentials and Application. New York:


Mc. GrawHill Inc.

Moat AG, Foster JW. 1988. Microbial Physiology. Second edition. Kanada: A
Wiley-Interscience Publication.

Naiborhu PE. 2002. Ekstraksi dan manfaat ekstrak mangrove (Sonneratia alba
dan Sonneratia caseolaris) sebagai bahan alami antibakterial: pada patogen
udang windu, Vibrio harveyi [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Edisi ke-2. Jakarta: Djambatan.

Novita H. 2003. Isolasi dan karakterisasi senyawa antibakteri dari ekstrak kasar
Teripang Gajah (Stichopus chloromatus) [tesis]. Bogor: Program Studi
Bioteknologi, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis.


Bogor: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, PAU Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor

Parhusip AJN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman


(Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap bakteri patogen pangan.
[disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pelczar MJ, Reid RD. 1979. Microbiology. Tokyo: Kogusha Co. Ltd.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2.
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta:
Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Elemen of Microbiology.

Pomeranz Y, Meloan CE. 1980. Food Analysis. Westport Connecticut: AVI


Book Publ. Inc.

Probert I, Klaas C. 1999. Microalga culturing.http://www.nhm.ac.uk/hosted


sites/ina/CoDENET/documents/culture.rtf (1 Desember 2007)

Riguera R. 1997. Isolating bioactive compounds from marine organisms. J


Marine Biotechnology. 5:187-193.

Robinson. 1995. Phyto-chemistry in plants. Di dalam: Naidu AS. Natural Food


Mycrobial System. USA: CRC Press

Rukyani A. 1992. Penyakit Kunang-kunang: dampak terhadap Produksi Benur


Udang Windu dan Upaya Penanggulangannya. J. Litbang Pertanian. 9(4):
32-36.

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Lukman DR, Sumaryono,
penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology.

Schlegel, Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Tedja Baskara, penerjemah.


Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Setiabudy R, Ganiswara VHS. 1995. Pengantar antimikroba. Di dalam:


Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta: FKUI

Setyaningsih I, Suptijah P, Ibrahim B, Suwandi R. 2000. Extraction of bioactive


compound from Chlorella sp. and its application on fresh fish. Di dalam:
Proceeding of International Symposium on Marine Biotechnology (ISMB).
Jakarta: Indonesia, 29-31 May 2000

Shahidi F, Naczk M. 1995. Food Phenolic. Lancester: Technomic Publishing


Co.Inc

Sidabutar EA. 1999. Pengaruh jenis medium pertumbuhan mikroalga Chlorella


sp. terhadap aktivitas senyawa pemacu pertumbuhan yang dihasilkan
[skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Stahl E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Kosasih


Padmawinata dan Iwang Sudiro, penerjemah. Bandung: ITB Press.
Terjemahan dari: Drug Analysis by Chromatography and Microscopy: a
Practical Supplement to Pharmacopoeias.
Stewart WDP. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. London: Blackwell
Scientific Publ.

Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan


Pertanian. Yogyakarta: Liberty

Sutomo. 2005. Kultur tiga jenis mikroalga dan pengaruh kepadatan awal
terhadap pertumbuhan Chaetoceros gracilis di laboratorium. Oseanologi
dan Limnologi Indonesia. 37:43-58

Tjahjo W, Erawati L, Hanung S. 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton.


Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan:
Proyek Pngembangan Perekayasaan Ekologi Balai Budidaya Laut Lampung.

Tjittrosoepomo. 1989. Taksonomi Tumbuhan I. Yogyakarta: Fakultas Biologi


Universitas Gajah Mada.

Tortora GJ, Funke DR, Case CL. 1989. Microbiology and Introduction. Third
edition. California: The Benjamin/Cumming Publisher, Co. Inc.

Vonshak A. 1990. Recent Advances in Microalgal Biotechnology.


Biotechnology adv. Vol 8. Britain: Pergamon Press

Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan


Elektroforesis. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lampiran 1. Medium Guillard yang telah dimodifikasi

Keterangan Jenis Jumlah


Larutan 1** NaNO3 8,415 g
NaH2PO4.H2O 1 g
Akuades 100 ml
Larutan 2** Na2SiO3.H2O 1,2 g
Akuades 100 ml
Larutan 3** FeCl3.6H2O 0,145 g
Akuades 100 ml
Larutan 4** Na-EDTA 1 g
Akuades 100 ml
Larutan 5** B1 (thiamin) 20 µl
Biotin 1,0 ml (dari 0,01 g per 100
B12 ml)
Akuades 1,0 ml (dari 0,01 g per 100
ml)
100 ml
Larutan 6** CuSO4.5H2O 1,95 g
Trace metal A* ZnSO4.7H2O 4,40 g
Akuades 100 ml
Trace metal B* NaMoO4.2H2O 1,26 g
(NH4)6.Mo7O24.4H2O 6,43 g
Akuades 100 ml
Trace metal C* CoCl2.6H2O 2,00 g
Akuades 100 ml
Trace metal D* MnCl2.4H2O 3,60 g
Akuades 100 ml
* masing-masing 0,1 ml/100 ml akuades
** masing-masing 1ml/1000 ml air laut
Sumber: Sutomo 2005
Lampiran 2. Medium Guillard yang belum dimodifikasi (f/2-Si (Guillard
1975))

Keterangan Jenis Jumlah


Larutan 1** NaNO3 7,5 g
Akuades 100 ml
Larutan 2** NaH2PO4.H2O 0,5 g
Akuades 100 ml
Larutan 3** B1 (thiamin) 100 g
Biotin 1,0 ml (dari 0,05 mg per 100
B12 ml)
Akuades 1,0 ml (dari 0,05 g per 100
ml)
950 ml
Larutan 4**
Trace metal A FeCl3.6H2O 3,15 g
Trace metal B Na-EDTA 4,36 g
Trace metal C * CuSO4.5H2O 0,98 g
Akuades 100 ml
Trace metal D* NaMoO4.2H2O 0,63 g
Akuades 100 ml
Trace metal E* ZnSO4.7H2O 2,2 g
Akuades 100 ml
Trace metal F* CoCl2.6H2O 1,19 g
Akuades 100 ml
Trace metal G* MnCl2.4H2O 17,82 g
Akuades 100 ml
* masing-masing 1 ml/950 ml akuades
** masing-masing 1 ml/996 ml air laut
Sumber: Probert dan Klaas 1999
Lampiran 3. Perhitungan nilai rendemen ekstrak

Perhitungan nilai rendemen ekstrak konsentrasi

A
Rendemen = x 100%
B

Keterangan: A = Berat ekstrak intraseluler (gram)


B = Berat biomassa (gram)
Contoh:
Berat biomassa = 1,10 gram
Berat ekstrak = 0,02 gram
Maka Rendemen ekstrak = 0,02 gr x 100% = 1,81 %
1,10 gr

Lampiran 4. Perhitungan konsentrasi ekstrak

Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri

[ ekstrak] = Ve x m
Vp

Keterangan:
[ekstrak] = Konsentrasi ekstrak (µg/ml)
Ve = Volume ekstrak yang diambil (µl)
Vp = Volume pelarut (µl)
m = Massa ekstrak (µg)

Volume ekstrak yang diambil (Ve) = 10 µl


Massa ekstrak yang digunakan (m) = 0,015 gram = 15000 µg
Volume pelarut (Vp) = 0,5 ml = 500 µl

[ekstrak] = 10 µl x 15000 µg = 300 µg/disc


500 µl
Lampiran 5. Nilai kepadatan sel Dunaliella sp.

Dunaliella sp. Dunaliella sp.


Hari ke- N Rata Log N
A B
0 275000 275000 275000 5.439333
1 375000 425000 400000 5.60206
2 500000 875000 687500 5.837273
3 1000000 1300000 1150000 6.060698
4 1175000 1525000 1350000 6.130334
5 1775000 2300000 2037500 6.309098
6 2500000 2675000 2587500 6.41288
7 2700000 3475000 3087500 6.489607
8 3175000 3675000 3425000 6.534661
9 3500000 4175000 3837500 6.584048
10 3950000 4250000 4100000 6.612784
11 4375000 4575000 4475000 6.650793
12 4600000 4625000 4612500 6.663936
13 4775000 4775000 4775000 6.678973
14 5025000 5425000 5225000 6.718086
15 5050000 5850000 5450000 6.736397
16 5100000 5950000 5525000 6.742332
17 5225000 6350000 5787500 6.762491
18 5625000 5825000 5725000 6.757775
19 5925000 6025000 5975000 6.776338
20 6100000 5450000 5775000 6.761552
21 5225000 5400000 5312500 6.725299
22 4600000 4625000 4612500 6.663936
23 4775000 4675000 4725000 6.674402
24 4950000 4775000 4862500 6.68686
25 4825000 4475000 4650000 6.667453
26 5375000 4300000 4837500 6.684621
27 5150000 4225000 4687500 6.670941
28 4700000 4025000 4362500 6.639735
29 4775000 4375000 4575000 6.660391
30 4250000 4075000 4162500 6.619354
31 4075000 4050000 4062500 6.608793
32 3975000 3800000 3887500 6.58967
33 3850000 3550000 3700000 6.568202
34 3550000 3525000 3537500 6.548696

Lampiran 6. Perhitungan Rf
3

14,5
2
4

13,8

8,2
7,6

2
1 1 2
0,5 1 0,4
ED HD

Keterangan: ED = ekstrak-etil asetat


HD = ekstrak-heksana
Rf = Jarak perpindahan senyawa
Jarak perpindahan eluen

Ekstrak-heksana Ekstrak-etil asetat


Rf (1) = 0,4 = 0,027 Rf (1) = 0,5 = 0,034
14,5 14,5
Rf (2) = 1 = 0,068 Rf (2) = 8,2 = 0,565
14,5 14,5
Rf (3) = 2 = 0,137 Rf (3) = 13,8 = 0,951
14,5 14,5
Rf (4) = 7,6 = 0,524
14,5

Anda mungkin juga menyukai