Oleh:
Andri Parna Yudha
C 34103057
Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah
menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk
dimanfaatkan, misalnya sebagai antibakteri. Salah satu mikroalga yang memiliki
aktivitas antibakteri adalah Dunaliella. Penelitian tentang produksi antibakteri dari
Dunaliella belum banyak diungkap. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan
kurva pertumbuhan Dunaliella sp., mengetahui komposisi kimia Dunaliella sp.,
mendapatkan senyawa antibakteri dari Dunaliella sp. pada umur panen yang
berbeda, mempelajari aktivitas antibakteri ekstrak Dunaliella sp. terhadap bakteri
patogen, mengetahui komponen dari ekstrak Dunaliella sp. dengan kromatografi
lapis tipis.
Mikroalga Dunaliella sp. diperoleh dari Pusat Riset Oseanografi
LIPI-Ancol, Jakarta Utara. Pelarut yang digunakan adalah pelarut heksana
(non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar). Penelitian ini terdiri dari
penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari
penentuan kurva pertumbuhan Dunaliella sp. Penelitian utama terdiri dari
kultivasi Dunaliella sp., analisis proksimat, ekstraksi senyawa antibakteri, uji
aktivitas senyawa antibakteri, dan uji kromatografi lapis tipis (KLT).
Dunaliella sp. memiliki pola pertumbuhan yang dimulai dari fase log yang
terjadi pada hari ke-0 sampai ke-8, fase penurunan laju pertumbuhan dicapai pada
hari ke-9 sampai ke-11, fase stasioner terjadi pada hari ke-12 sampai ke-29, dan
fase menuju kematian mulai hari ke-30 sampai ke-34. Kultur dilakukan pada suhu
ruang dengan intensitas cahaya 3000 lux dan penyinaran 24 jam. Kandungan air,
protein, lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp. adalah 65,22 %, 18,12 %,
1,60 %, 6,17 %, dan 8,89 %. Berat biomassa kering pada umur panen fase
stasioner adalah 1,54 gram dan pada fase log adalah 1,10 gram. Rendemen ekstrak
kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut heksana, pelarut
etil asetat, dan pelarut metanol berturut-turut sebesar 1,81 %, 4,54 %, dan 5,45 %.
Rendemen ekstrak kering pada fase stasioner yang dihasilkan dari ekstraksi
dengan pelarut heksana, pelarut etil asetat, dan pelarut metanol berturut-turut
nilainya adalah 1,29 %, 1,94 %, dan 2,59 %.
Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat
pada fase log terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,
Escherichia coli, dan Vibrio harveyi menghasilkan diameter zona bening di
sekitar paper disc berturut-turut sebesar 3, 4, 3, 5 mm, serta 2, 2, 2, 3 mm. Hasil
uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada fase stasioner
terhadap bakteri uji yang sama berturut-turut nilainya adalah 2, 2, 1, 4 mm, serta
2, 3, 2, 4 mm. Ekstrak-heksana dan etil asetat termasuk kategori yang memiliki
aktivitas lemah. Hasil pengujian KLT menunjukkan bahwa ekstrak-heksana terdiri
dari empat komponen aktif dan ekstrak-etil asetat terdiri dari tiga komponen aktif.
SENYAWA ANTIBAKTERI DARI MIKROALGA Dunaliella sp.
PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA
Skripsi
Oleh:
Andri Parna Yudha
C 34103057
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Puji syukur kepada Bapa di sorga atas segala rahmat dan kasih-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul Senyawa
antibakteri dari mikrolaga Dunaliella sp. pada umur panen yang berbeda.
Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini :
1. Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Ibu Pipih Suptijah, MBA selaku dosen
pembimbing atas segala bimbingan, nasihat, serta segala penjelasan yang
telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran, pengertian, kasih sayang, dan
pelajaran hidup yang luar biasa bagi penulis.
2. Ibu Desniar, SPi, MSi dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS selaku dosen
penguji tamu atas segala saran dan kritik yang diberikan demi sempurnanya
skripsi ini.
3. Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS yang telah meluangkan waktunya
sebagai moderator pada seminar hasil penelitian.
4. Dosen-dosen dan staf THP yang telah membantu, membentuk, dan
memberi ilmu yang tidak terhingga selama penulis menempuh pendidikan.
5. Lasper Nahampun dan Emmy Marbun sebagai orang tua yang telah
mendidik dan memberikan kasih sayang yang begitu besar. Adik-adik:
Riko, Wira, dan Evo yang selalu mendukung dan memberi semangat.
Terima kasih atas dukungan doa dan pengorbanannya.
6. Ibu Ema (Lab Mikrobiologi THP), Ibu Ita, Mbak Esthi, Pak Wahyu di Lab
Terpadu, FKH terima kasih atas segala pengetahuan dan bantuannya
selama melaksanakan penelitian
7. Helda, Dithya, Fitria, Astari, Lisda, Lianny, Ira, Pisuko, Angling, Johan,
Gami, Indra, Aal, Sigit, Tomy, Windo, Tenjo, Tobias, Setyo, Deden,
David, Nono, Hilman, Rama, Rudy, Finda, Ma’suf terima kasih atas segala
bantuan dan dukungannya selama seminar dan sidang. Terima kasih atas
segala persahabatan, canda, kejutan indah yang luar biasa serta pengalaman
yang mendewasakan.
8. Teman-teman THP 40: Tendi, Ghea, Merry, Dian, Riri, Wida, Yunita, Lusi,
Yulya, Irma, Nola, Eni, Dimas, Ricci, Ida, Taufik, Chacha, Po, Juhli, Udin,
Iqbal, Ahmad, Novi, Sahrul, Budi yang telah berjuang dan belajar bersama
selama menempuh pendidikan dengan segala warna kehidupan didalamnya.
Terima kasih juga untuk teman-teman THP 39, 41, 42, dan 43 atas
dukungan dan bantuannya selama ini.
9. Ari Supriyatna dan Aris Munandar yang menjadi sahabat sejak di asrama.
Terima kasih untuk persahabatan yang saling mengerti dan terjaga hingga
sekarang.
10. Teman-teman sepelayanan: Meidy, Ita, Ria, Septi. Terima kasih atas
dukungan doa, sharing, dan kasih yang selalu menguatkan. Kak Yeye, kak
Disney, kak Posma, bang Ode dan bang Leo, terima kasih untuk selalu
memberi saran, doa, dan nasihatnya.
11. Trifena Honestin, terima kasih untuk bantuannya mencari bahan pustaka.
12. Keluarga Yeremia (Stanley, Kezchia, Dita, Juni, Ivan, Ronal, Franz, Desy,
Doris), Kelompok kecil (Arnos, Ase, Stanley, Dian, Ganda), BPH 41(Prita,
Yenni, Vera, Benny, Julie), Keluarga Sibolga (Nana, Roy) yang senantiasa
mendukung dan memotivasi penulis dalam segala hal.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Nomor Halaman
Nomor Halaman
Nomor Halaman
2.1 Mikroalga
Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat
organisasi sel termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga
dikelompokkan dalam filum Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan
daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang mampu melakukan
fotosintesis. Mikroalga memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis
dengan bantuan air, CO2 dan sinar matahari, serta menggunakan bahan anorganik
seperti NO3-, NH4-, dan PO4-, sehingga menghasilkan energi kimiawi dalam
bentuk biomassa seperti karbohidrat, lemak, protein, dan lain-lain. Kemudian
energi tersebut digunakan untuk biosintesis sel, pertumbuhan dan pertambahan
sel, bergerak dan berpindah serta reproduksi (Kabinawa 2001).
Tumbuhan ini umumnya terdiri dari satu sel atau berbentuk seperti benang.
Mikroalga dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut
sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan
terjadinya proses fotosintesis. Dominasi kelompok mikroalga tertentu dapat
menyebabkan perairan tampak berwarna indah sesuai dengan zat warna atau
pigmen yang dikandungnya. Warna hijau muda disebabkan oleh Dunaliella sp.
dan Chlorella sp. Ada juga warna kuning kecoklatan yang disebabkan oleh
Chaetoceros sp., Skletonema sp., Nitzschia sp. serta berbagai jenis lainnya.
Mikroalga mengandung bahan-bahan organik seperti polisakarida,
hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Potensi mikroalga sangat
besar sebagai sumber berbagai produk, diantaranya (1) sebagai sumber protein
yang dapat diperoleh dari Chlorella dan Dunaliella, (2) produksi pigmen, sebagai
bahan pewarna dari Spirulina, Haematococcus (Borowitzka dan Borowitzka
1988), (3) sebagai pakan larva ikan dan non ikan, diperoleh dari Tetraselmis dan
Chaetoceros (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), serta (4) produksi antimikroba,
dihasilkan Chlorella vulgaris, Chaetoceros gracilis.
Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui bahan aktif termasuk
antibakteri dari mikroalga. Chlorella sp. diketahui memiliki aktivitas antibakteri
(Pratt 1942 diacu dalam Chang et al. 1993), Chlorella vulgaris mengandung zat
antibakteri yang disebut chlorellin, zat ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri
(Hashimoto 1979 diacu dalam Indhira 2004). Dunaliella primolecta juga
diketahui memiliki potensi sebagai antibakteri (Chang et al. 1993).
Kultur mikroalga dalam skala laboratorium biasanya memerlukan kondisi
lingkungan yang terkendali. Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan
ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga,
antara lain cahaya, suhu, pH air, dan salinitas (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
a. Unsur hara
Unsur hara yang dibutuhkan mikroalga terdiri atas unsur hara makro (N, P,
K, S, Fe, Mg, Si dan Ca) dan unsur hara mikro (Mn, Zn, Co, Bo, Mo, B, Cu,
dan lain-lain.). Setiap unsur hara mempunyai fungsi-fungsi khusus yang
ditunjukkan pada pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai. Unsur N, P, dan S
penting untuk pembentukan protein. Nitrogen yang dibutuhkan untuk media
kultur dapat diperoleh dari: KNO3, NaNO3, NH4Cl, dan lain-lain. Fosfor juga
merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, enzim, dan vitamin. Unsur
fosfor dapat diperoleh dari KH2PO4, NaH2PO4, Ca3PO4 dan unsur sulfur dapat
diperoleh dari NH4SO4, CuSO4 (Tjahjo et al. 2002).
Unsur K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan juga sebagai
kofaktor untuk beberapa koenzim. Unsur kalium dapat diperoleh dari KCl,
KNO3, KH2PO4. Unsur Fe berperan dalam pembentukan klorofil dan sebagai
komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur ini dapat diperoleh dari FeCl3,
FeSO4, FeCaH5O7. Unsur Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan
dinding sel atau cangkang. Vitamin B12 banyak digunakan untuk memacu
pertumbuhan melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Unsur hara mikro dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi dalam
pertumbuhan mikroalga, misalnya Mn, Zn diperlukan untuk fotosintesis, unsur
Mo, Bo, Co diperlukan untuk metabolisme nitrogen, serta unsur Mn, B, Cu untuk
fungsi metabolik lainnya (Eyster 1964 diacu dalam Krisanti 2003). Unsur hara
mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi harus ada dan untuk menstabilkan
fungsi hara mikro biasanya ditambahkan senyawa sitrat atau EDTA (Kabinawa
1994).
b. Cahaya
Mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk
senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis. Keberadaan
cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi mikroalga yang melakukan
fotosintesis. Cahaya matahari dapat diganti dengan sinar lampu TL dan kisaran
optimum intensitas cahaya bagi mikroalga antara 2000-8000 lux. Pada mikroalga
hijau, pigmen yang menyerap cahaya adalah klorofil a, disamping pigmen lain
seperti karotenoid dan xantofil (Tjahjo et al. 2002).
c. Suhu
Suhu secara langsung mempengaruhi efesiensi fotosintesis dan faktor yang
menentukan dalam pertumbuhan. Pada kondisi laboratorium, perubahan suhu air
dipengaruhi oleh temperatur ruangan dan intensitas cahaya. Suhu optimum untuk
o
kultur mikroalga di laboratorium antara 25-32 C (Fogg 1975). Kenaikan
temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi. Umumnya setiap kenaikan
10 oC dapat mempercepat reaksi 2-3 kali lipat. Akan tetapi, temperatur tinggi
yang melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel
terganggu.
d. pH
Proses fotosintesis mengambil karbondioksida terlarut dari dalam air, yang
berakibat penurunan kandungan CO2 terlarut di air. Penurunan ini akan
meningkatkan pH berkaitan dengan kesetimbangan CO2 terlarut, bikarbonat
(HCO3-) dan ion karbonat (CO32-) dalam air. Oleh karena itu, laju fotosintesis
akan terbatas oleh penurunan karbon dalam hal ini karbondioksida. (Talling 1976
diacu dalam Krisanti 2003). Umumnya pH optimum bagi pertumbuhan mikroalga
adalah 8-8,5.
e. Salinitas
Fluktuasi salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan
osmosis di dalam sel mikroalga. Salinitas yang tinggi atau rendah dapat
menyebabkan tekanan osmosis di dalam sel juga menjadi lebih rendah atau lebih
tinggi sehingga aktivitas sel menjadi terganggu. Hal ini dapat mempengaruhi pH
sitoplasma sel dan menurunkan kegiatan enzim di dalam sel. Salinitas optimum
bagi pertumbuhan mikroalga antara 25-35 ‰ (Tjahjo et al. 2002).
2.2 Pola Pertumbuhan Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah
besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Sampai saat ini
kepadatan sel digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan mikroalga
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Pertumbuhan mikroalga dalam kultur sangat
dipengaruhi oleh kondisi cahaya, suhu, aerasi dan nutrisi.
Pertumbuhan mikroalga dibagi dalam lima fase pertumbuhan, yaitu
fase lag, fase logaritmik atau eksponensial, fase penurunan laju pertumbuhan,
fase stasioner, dan fase kematian (Fogg 1975). Kurva pertumbuhan mikroalga
dapat dilihat pada Gambar 1.
1. Fase lag
Fase ini ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak nyata. Fase ini
disebut juga sebagai fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi
terhadap media tumbuhnya. Lamanya fase lag tergantung pada umur inokulum
yang dimasukkan. Sel-sel yang diinokulasikan pada awal fase log akan
mengalami fase lag yang singkat. Inokulum yang berasal dari kultur yang sudah
tua akan mengalami fase lag yang lama, karena membutuhkan waktu untuk
menyusun enzim-enzim yang tidak aktif. Ukuran sel pada fase lag ini pada
umumnya meningkat. Organisme mengalami metabolisme, tetapi belum terjadi
pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum meningkat.
2. Fase logaritmik atau eksponensial
Fase ini diawali oleh pembelahan sel dan ditandai dengan naiknya laju
pertumbuhan hingga kepadatan populasi meningkat. Laju pertumbuhannya
meningkat dengan pesat dan selnya aktif berkembang biak. Ciri metabolisme
pada fase ini adalah tingginya aktivitas fotosintesis yang berguna untuk
pembentukan protein dan komponen-komponen penyusun plasma sel yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan.
3. Fase penurunan laju pertumbuhan
Fase ini ditandai dengan penurunan laju pertumbuhan. Selain itu terjadi
penurunan pertambahan populasi per satuan waktu bila dibandingkan dengan fase
eksponensial sehingga fase ini disebut juga fase decline.
4. Fase stasioner
Pada fase ini, pertumbuhan mengalami penurunan dibandingkan fase
logaritmik. Laju reproduksi sama dengan laju kematian. Dengan demikian
penambahan dan pengurangan jumlah mikroalga relatif sama atau seimbang
sehingga kepadatannya tetap. Jumlah sel cenderung tetap diakibatkan sel telah
mencapai titik jenuh.
5. Fase kematian
Fase ini ditandai dengan kepadatan populasi selnya yang terus berkurang.
Keterangan:
1. Fase lag
2. Fase logaritmik
Jumlah sel 3. Fase penurunan laju pertumbuhan
(sel/ml) 4. Fase stasioner
5. Fase kematian
A B
Keterangan: A = Sel Dunaliella sp. (Dokumentasi pribadi)
B = Sel Dunaliella (Anonim 2007)a
Gambar 2. Morfologi sel Dunaliella sp.
Spesies dari genus Dunaliella ini cukup banyak dan telah dimanfaatkan
diantaranya Dunaliella viridis, D. primolecta, D. salina, D. acidophila, D.
bardawil, D. parva, dan Dunaliella sp. Pemanfaatan Dunaliella cukup beragam
mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan
di negara-negara maju, Dunaliella salina juga sebagai jasad pakan yang cukup
baik dan mendapat perhatian besar di beberapa negara seperti Australia, Amerika,
dan Israel karena menghasilkan gliserol dan β-karoten (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995). Selain itu, Chang et al. (1993) menyebutkan bahwa
Dunaliella primolecta, Dunaliella tertiolecta, Dunaliella sp. berpotensi sebagai
antibakteri.
Reproduksi dilakukan secara vegetatif dan generatif. Reproduksi secara
aseksual terjadi dengan pembelahan secara memanjang. Saat proses pembelahan
inti, maka pirenoid akan melebar melintang dan menyebabkan dua flagella saling
berjauhan. Pada pirenoid dan kloroplas akan terbentuk suatu lekukan yang
kemudian akan membelah dan menjadi individu-individu baru, masing-masing
dengan satu flagella dan satu sel anak yang belum mempunyai stigma. Stigma
yang terbentuk ini merupakan hasil proses metamorfosis dari kromatofora (Tjahjo
et al. 2002).
Reproduksi seksual terjadi dengan cara melakukan isogami melalui
konjugasi. Zigot berwarna merah atau hijau dikelilingi oleh dinding sporollenin
yang halus dan sangat tipis. Nukleus zigot akan membelah secara meiosis.
Pembelahan ini terjadi setelah tahap istrahat dan terbentuk lebih dari 32 sel yang
dibebaskan melalui retakan atau celah pada dinding sel induk (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995).
2.7 Bakteri
Bakteri adalah sel prokariot yang bersifat uniseluler. Sel bakteri ada yang
berbentuk bulat, batang, atau spiral. Umumnya ukuran diameter bakteri yaitu
antara 0,5 sampai 1,0 µm, dan panjangnya 1,5 sampai 2,5 µm (Pelczar dan Chan
2005). Bahan sel bakteri (sitoplasma dan intinya) dikelilingi oleh membran
sitoplasma yang berfungsi mengendalikan keluar masuknya suatu bahan ke dalam
sel. Bagian luar yang menutupi membran sitoplasma ialah dinding sel yang kaku
yang mengandung peptidoglikan. Peptidoglikan ini yang memberikan bentuk dan
kakunya dinding sel (Lay dan Hastowo 1992). Berdasarkan perbedaan komposisi
dan struktur dinding selnya maka bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif
dan bakteri Gram negatif (Pelczar dan Chan 2005). Gambar 4 menunjukkan
perbedaan struktur dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif. Perbedaan
susunan dinding sel dapat menyebabkan perbedaan kesensitifan bakteri terhadap
senyawa tertentu.
Bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (15-80 nm)
dan mempunyai lapisan tunggal (mono). Peptidoglikan sebagai lapisan tunggal
yang merupakan komponen utama dimana lebih dari 50 % berat kering pada
beberapa bakteri (Pelczar dan Chan 2005). Dinding selnya mengandung lipid
yang rendah (1-4 %) dan bakteri Gram positif ini mengandung sejumlah besar
asam teikoat yang dapat merupakan 50 % dari bobot kering dinding sel. Asam
teikoat merupakan polimer yang bersifat asam yang mengandung ribitol fosfat
atau gliserol fosfat. Asam teikoat ini bermuatan negatif sehingga menyebabkan
muatan negatif pada permukaan sel bakteri Gram positif (Lay dan Hastowo 1992).
Pertumbuhan bakteri ini dapat dihambat oleh zat-zat warna dasar dan lebih rentan
terhadap penisilin. Persyaratan nutrisi relatif rumit pada banyak spesies serta
lebih resisten terhadap gangguan fisik. Contoh bakteri yang termasuk dalam
bakteri Gram positif ini adalah Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus.
Gambar 4. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif dan Gram positif
(Moat dan Foster 1988)
Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang tipis (10-15 nm)
dan berlapis tiga (multi). Peptidoglikan terdapat pada lapisan kaku sebelah dalam
dan jumlahnya sedikit, sekitar 10 % berat kering. Bakteri Gram negatif
mempunyai lapisan membran luar yang menyebabkan dinding selnya
mengandung lipid yang tinggi (11-22 %). Lapisan membran luar ini tidak hanya
terdiri dari fosfolipida saja tetapi juga mengandung lipida lainnya, polisakarida,
dan protein. Bakteri Gram negatif ini tidak memiliki asam teikoat.
Pertumbuhannya kurang dapat dihambat oleh zat-zat warna dasar dan kurang
rentan terhadap penisilin. Persyaratan nutrisi relatif lebih sederhana serta kurang
resisten terhadap gangguan fisik. Contoh bakteri yang termasuk dalam bakteri
Gram negatif ini adalah Escherichia coli dan Vibrio harveyi (Pelczar dan Chan
2005).
2.7.1 Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif anaerob fakultatif
dan termasuk famili Micrococcaceae. Bakteri ini berbentuk kokus dengan
diameter 0,5-1,5 µm, terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan atau
berkelompok membentuk anggur. Selain itu, Staphylococcus aureus bersifat
nonmotil, tidak memiliki kapsul dan tidak berspora (Fardiaz 1992). Bakteri ini
dapat tumbuh dan berkembang biak pada kisaran suhu 6,7-45,5 oC dan kisaran
pH 4,0-9,8 sedangkan suhu optimum pertumbuhan bakteri ini adalah 35-37 oC
dengan kisaran pH optimumnya 7,0-7,5 (Pelczar dan Chan 2005).
Staphylococcus aureus biasanya terdapat di berbagai bagian tubuh
manusia termasuk hidung, tenggorokan, dan kulit sehingga mudah memasuki
makanan. Bila kita memakan makanan yang tercemar bakteri ini maka dapat
menyebabkan rasa mual, muntah, pusing, dan diare. Bakteri ini bersifat patogen
yang dapat menyebabkan keracunan dan penyakit pada hewan peliharaan. Bakteri
ini banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam
penanganan pangan (Adam dan Moss 1995).
Produk bahan pangan yang telah dimasak seperti daging dan ayam yang
dimasak, udang kupas yang dimasak, ham, bacon, lunch meats, serta
produk-produk susu seperti kue krim, keju, dan custard pies biasanya
berhubungan dengan keracunan bahan pangan yang tercemar bakteri
Staphylococcus aureus (Buckle et al. 1985). Staphylococcus aureus umumnya
sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan kloramfenikol tetapi resisten
terhadap polimiksin dan polynes (Pelczar dan Chan 2005). Bakteri ini juga relatif
resisten terhadap pengeringan, panas (tahan terhadap suhu 50 oC selama 30
menit), resisten terhadap NaCl 9 % tetapi mudah dihambat oleh zat kimia tertentu
seperti heksaklorofen 3 %.
2.7.2 Bacillus cereus
Bakteri ini berbentuk batang, bersifat aerob sampai anaerob fakultatif,
katalase positif, dan sebagian besar bersifat Gram positif. Ukuran diameter
Bacillus cereus adalah 1,0-1,2 µm dan panjang 3,0-5,0 µm (Fardiaz 1989).
o
Kisaran suhu minimum pertumbuhan bakteri ini adalah 4-5 C dan suhu
maksimumnya 48-50 oC sedangkan suhu optimumnya adalah 30-45 oC. Kisaran
pH optimumnya adalah 4,9-9,3 (Granum dan Baird Parker 2000). Bacillus cereus
mampu memproduksi spora tahan panas sehingga pemanasan tidak dapat
menghilangkan Bacillus cereus secara maksimum. Bakteri ini bersifat patogen
meskipun sebagian besar golongan Bacillus bersifat non-patogen.
Bakteri ini dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi.
Jenis toksin yang dihasilkan dapat digolongkan menjadi toksin emetik dan toksin
diargenik (Fardiaz 1989). Makanan yang berhubungan dengan gejala emetik
adalah pangan berkarbohidrat seperti nasi dan pasta, sedangkan makanan yang
berhubungan dengan diargenik adalah produk daging, sup, sayuran, puding, dan
saus (Adam dan Moss 1995). Bacillus cereus sering ditemukan pada produk
daging beku, susu pasteurisasi, dan sayur-sayuran.
Bakteri Vibrio harveyi dapat tumbuh baik pada medium dengan kadar
garam 0,5 % NaCl, dan seperti halnya bakteri Vibrio berpendar lain, bakteri ini
tumbuh dan berpendar pada medium Tiosulphate-Citrate-Bile-salt (TCBS).
Pendaran ini terjadi karena bakteri ini mempunyai enzim lusiferase yang dapat
mengkatalisis reaksi yang memancarkan cahaya dengan menggunakan substrat
berupa senyawa aldehid yang disebut lusiferin (Meighen 1991 diacu dalam Lailati
2007). Vibrio harveyi sensitif terhadap antibiotik rifampisin, kloramfenikol,
oksitetrasilin, dan hampir semua antibiotik, tetapi pemakaian yang berlebihan
akan menyebabkan Vibrio harveyi menjadi resisten (Greenwood et al. 1995).
2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode kromatografi cair yang
sederhana yang mampu memisahkan senyawa-senyawa yang berbeda seperti
senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik, kompleks anorganik-
organik, dan bahkan ion anorgaik (Gritter et al. 1991). Pemakaian KLT dilakukan
dengan dua tujuan. Pertama, KLT dipakai selayaknya sebagai metode untuk
mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, KLT dipakai untuk
menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam
kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.
Kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan fase diamnya berupa lapisan
tipis dan fase geraknya mengalir karena kerja kapiler. Lapisan tipis dengan
ketebalan 0,1-2 mm terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan
penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari
pelat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan
bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati). Lapisan ini biasanya
berfungsi sebagai permukaan padat yang menjerap (cair-padat), walaupun dapat
pula dipakai sebagai penyangga zat cair (Gritter et al. 1991).
Selanjutnya ada yang disebut juga sebagai fase gerak yaitu medium angkut
dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak ini bergerak dalam fase
diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler. Pelarut yang
digunakan adalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem
pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin
yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl 1985).
Beberapa kelebihan penggunaan KLT dalam proses fraksinasi dan
pemisahan lanjut adalah waktu operasinya relatif cepat (20-40 menit), sensitif
dengan limit deteksi mencapai 10-9 g, relatif dapat diaplikasikan pada sistem
kromatografi kolom preparatif dengan kondisi yang relatif sama, peralatan yang
diperlukan cukup sederhana dan parameter-parameter percobaan mudah
divariasikan untuk mendapatkan hasil pemisahan yang maksimal (Pomeranz dan
Meloan 1994)
3. METODOLOGI
Sampling
Gambar 9. Proses kultivasi Dunaliella sp. pada medium Guillard
Penghitungan jumlah sel mulai dari awal kultivasi sampai akhir kultivasi
(fase kematian). Sampling dilakukan setiap hari untuk mengetahui jumlah sel
Dunaliella sp.
2) Ekstraksi senyawa antibakteri (Quinn 1988 dan Pratt 1945 diacu dalam
Setyaningsih et al. 2000)
Proses ekstraksi dilakukan pada fase log dan fase stasioner. Ekstraksi
senyawa antibakteri dari biomassa Dunaliella sp. dilakukan dengan modifikasi
metode Quinn (1988) dan ekstraksi senyawa antibakteri dari filtrat dilakukan
dengan modifikasi metode Pratt (1945)
Kultur Dunaliella sp. dipanen pada saat mencapai fase log dan fase
stasioner yang kemudian dilakukan pemisahan filtrat dan biomassa sel dengan
menggunakan sentrifuse selanjutnya filtrat (120 ml) dan biomassa
dikeringbekukan. Filtrat yang telah dikeringbekukan disebut sebagai
ekstraseluler. Biomassa dilakukan pemecahan sel menggunakan glass bead
selama 10 menit. Selanjutnya biomassa tersebut dimasukkan dalam erlenmeyer
100 ml ditambahkan heksana dengan perbandingan 1:25 (b/v) dan ditutup dengan
aluminium foil untuk dilakukan maserasi. Proses maserasi menggunakan
magnetic stirrer dan kecepatan 50 rpm selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah
itu, dilakukan penyaringan dengan kertas Whatman no 24 dan filtratnya disebut
sebagai filtrat ke-1.
Residu hasil penyaringan tersebut ditambahkan etil asetat untuk dilakukan
maserasi kembali dengan perlakuan yang sama dengan sebelumnya dan hasil
penyaringannya berupa filtrat disebut sebagai filtrat ke-2. Residu hasil
penyaringan tersebut ditambahkan metanol dan dilakukan kembali maserasi dan
penyaringan sehingga diperoleh filtrat yang disebut sebagai filtrat ke-3.
Masing-masing filtrat tersebut dievaporasi dengan menggunakan alat rotary
evaporator vacuum (Buchi) pada suhu 35 ºC dan kecepatan 100 rpm. Hasilnya
berupa ekstrak kasar intraseluler dalam heksana, etil asetat, dan metanol. Bagan
ekstraksi senyawa antibakteri dapat dilihat pada Gambar 10.
Sampel
Pemanenan
Pemisahan (sentrifuse)
Filtrat Biomassa
Filtrasi
Residu Filtrat
Residu Filtrat
Residu Filtrat
Evaporasi
Ekstrak metanol
Gambar 10. Skema ekstraksi senyawa antibakteri Dunaliella sp. (Quinn 1988
dan Pratt 1945 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000)
3) Uji aktivitas antibakteri
Uji aktivitas senyawa antibakteri dari ekstraseluler dan ekstrak kasar
intraseluler dalam pelarut heksana, etil asetat, dan metanol dilakukan pada bakteri
Gram positif yaitu Staphyllococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram
negatif yaitu Escherichia coli dan Vibrio harveyi.
Kadar karbohidrat = 100 % - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak)
A
Rendemen = x 100%
B
7
Log jumlah sel
6.5
5.5
5
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
Umur kultur (hari)
A B C
Keterangan: A = umur kultur 0 hari
B = umur kultur 7 hari
C = umur kultur 14 hari
Gambar 12. Warna kultur Dunaliella sp. pada hari yang berbeda
Kandungan air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp.
adalah 65,22 %, 18,12 %, 1,60 %, 6,17 %, dan 8,89 %. Protein mempunyai
peranan penting untuk pertahanan fungsi jaringan secara normal, perawatan
jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak dan pembentukan sel-sel baru.
Komponen penyusun protein adalah asam amino. Beberapa mikroalga dianggap
sebagai sumber protein karena kandungannya yang tinggi seperti
Chlorella vulgaris (35,30 %), Tetraselmis sp. (49,75 %), Dunaliella salina (57 %)
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Kandungan protein Dunaliella sp. adalah
18,12 % dan asam amino menentukan kualitas protein. Pembentukan asam amino
Dunaliella sp. diperoleh dari unsur hara yang terdapat pada medium tumbuhnya.
Lemak merupakan sumber energi paling tinggi. Satu gram lemak dapat
menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan
4 kkal/gram (Winarno 1997). Lemak disusun atas beberapa asam lemak yang
merupakan komponen pembentuk. Kandungan lemak Dunaliella sp. senilai
1,60%. Kualitas lemak pada Dunaliella sp. juga ditentukan oleh asam lemak
pembentuknya (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Unsur hara dan faktor
lingkungan dapat mempengaruhi kandungan asam lemak. Beberapa mikroalga
seperti Dunaliella sp., Tetraselmis suecica akan menghasilkan kandungan lemak
yang rendah dan terus memproduksi karbohidrat bila lingkungannya terganggu
(Becker 1994).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan
(Sudarmadji et al. 1989). Kandungan abu yang dimiliki Dunaliella sp. sebesar
6,17 %. Peningkatan kadar abu seiring dengan meningkatnya kandungan mineral.
Mineral berperan dalam menjaga tekanan osmosis, komponen penting pembentuk
struktur tulang dan gigi, menjaga keseimbangan asam dan basa tubuh.
Kadar karbohidrat Dunaliella sp. adalah 8,89 % yang dilakukan secara
by difference. Kadar karbohidrat ini tergantung pada faktor pengurangannya yaitu
kadar air, abu, protein dan lemak. Oleh karena itu, karbohidrat sangat dipengaruhi
oleh kandungan zat gizi lainnya. Kandungan senyawa kimia Dunaliella sp.
berkaitan dengan medium tumbuhnya. Medium tumbuh Dunaliella sp. yang
digunakan dalam penelitian ini masih terdiri dari unsur teknis seperti pemakaian
vitamin B12. Unsur hara dan faktor lingkungan seperti diketahui memiliki
pengaruh terhadap kandungan senyawa Dunaliella sp.
A B
Keterangan : A = Filtrat kering fase log dan fase stasioner
B = Biomassa kering fase log dan fase stasioner
Gambar 13. Filtrat dan biomassa kering Dunaliella sp.
Rendemen ekstrak kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi
dengan pelarut metanol (5,45 %) lebih besar dibandingkan dengan rendemen
ekstrak dari ekstraksi pelarut etil asetat (4,54 %) dan pelarut heksana (1,81 %).
Hal yang sama juga terjadi pada fase stasioner, dimana rendemen ekstrak kering
yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut metanol (2,59 %) lebih besar
dibandingkan rendemen ekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat (1,94 %)
dan juga pelarut heksana (1,29 %). Hal ini menunjukkan bahwa Dunaliella sp.
lebih banyak mengandung senyawa yang dapat larut dalam pelarut polar. Selain
itu, pelarut metanol diketahui sebagai pelarut yang mampu mengekstraksi
kelompok senyawa gula, asam-asam amino, glikosida, juga dapat melarutkan
kelompok senyawa yang larut dalam petroleum eter, heksana, kloroform,
etil asetat, etanol, air dalam jumlah dan proporsi berbeda-beda sehingga diperoleh
hasil ekstraksi metanol cukup besar (Houghton dan Raman 1998). Contoh
perhitungan rendemen ekstrak kering dapat dilihat pada Lampiran 3.
Berat ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh
pada fase log berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,05; 0,06 gram. Pada fase log
terjadi metabolisme primer dimana polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat
merupakan produk metabolit primer. Komponen-komponen tersebut merupakan
penyusun utama suatu makhluk hidup (Manitto 1992). Berat ekstrak-heksana,
ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh pada fase stasioner
berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,03; 0,04 gram. Pada fase stasioner terjadi
metabolisme sekunder yang merupakan keseluruhan proses sintesis dan
perombakan produk metabolit primer (Herbert 1995), terjadinya penumpukan
produk beracun dan kehabisan nutrien (Pelczar dan Chan 2005), serta
menghasilkan komponen-komponen yang berfungsi untuk pertahanan hidup
Produk senyawa metabolit sekunder seperti senyawa fenol, alkaloid, terpenoid,
Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi Dunaliella sp. berbentuk
pasta dengan warna yang berbeda-beda. Ekstraksi dengan pelarut heksana
menghasilkan ekstrak-heksana berwarna coklat kekuningan, ekstraksi dengan
pelarut etil asetat menghasilkan ekstrak-etil asetat berwarna kecoklatan, dan
ekstraksi dengan pelarut metanol menghasilkan ekstrak-metanol berwarna hijau
tua. Ekstrak Dunaliella sp. yang diperoleh dengan menggunakan berbagai pelarut
dapat dilihat pada Gambar 14.
a b c a b c
A B
Keterangan: a = ekstrak-heksana
b = ekstrak-etil asetat
c = ekstrak-metanol
A = ekstrak fase log
B = ekstrak fase stasioner
Gambar 14. Ekstrak Dunaliella sp. yang diperoleh dengan menggunakan
berbagai pelarut.
Pelarut-pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi menghancurkan
membran sel dan melarutkan pigmen yang terkandung dalam bahan sehingga
menghasilkan warna tersebut (Shahidi dan Naczk 1995). Pelarut non polar
misalnya heksana mampu mengekstrak hidrokarbon, asam lemak, asetogenin, dan
terpen. Pelarut semi polar misalnya etil asetat mampu mengekstrak senyawa
fenol dan terpenoid. Pelarut polar misalnya metanol mampu mengekstrak
senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin (Harborne
1987). Ekstrak-heksana yang berwarna kuning kecoklatan diduga karena
kandungan karotenoid. Karotenoid adalah pigmen berwarna kuning, jingga, atau
merah yang terdapat di berbagai macam plastid berwarna (kromoplas) (Salisbury
dan Ross 1995). Pigmen warna ini mudah diekstraksi dalam pelarut lipid seperti
heksana, kloroform. Demikian juga ekstrak-etil asetat yang berwarna kecoklatan
diduga karena kandungan karotenoid.
Ekstrak-metanol yang berwarna hijau tua diduga disebabkan oleh klorofil
yang terekstrak. Penelitian Sugiastuti (2002) mendapatkan ekstrak-etanol daun
sirih berwarna hijau kehitaman yang juga disebabkan oleh kandungan klorofil dari
daun sirih. Klorofil merupakan zat hijau daun yang penting dalam fotosintesis
(Salisbury dan Ross 1995). Hasil dari ekstraksi tahap awal ini masih berupa
ekstrak kasar dan umumnya ekstraksi dengan pelarut tidak dapat menghasilkan
komponen yang diinginkan secara sempurna kecuali dilanjutkan dengan
pemurnian.
Tabel 5. Hasil uji aktivitas antibakteri Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen
Diameter zona hambat (mm) pada bakteri uji
Umur
Ekstrak
panen S. aureus B. cereus E. coli V. harveyi
Heksana 3 4 3 5
Etil asetat 2 2 2 3
Fase log
Metanol - - - -
Ekstraseluler - - - -
Heksana 2 2 1 4
Etil asetat 2 3 2 4
Fase
stasioner Metanol - - - -
Ekstraseluler - - - -
Kloramfenikol 19 20 24 26
ML ML
FL
FL
HL HL
FS ES
K
K EL EL
K
FS
ES MS
MS
HS
HS
Escherichia coli Bacillus cereus
ML
ML ML
ML
FL
FL HL
HL FL
FL HL
HL
FS
FS
K FS K
K EL
K EL
EL FS EL
ES
ES ES
MS ES MS
MS
MS
HS
HS
HS HS
Vibrio harveyi Staphylococcus aureus
Keterangan: ML = ekstrak metanol fase log MS = ekstrak metanol fase stasioner
HL = ekstrak heksana fase log HS = ekstrak heksana fase stasioner
EL = ekstrak etil asetat fase log MS = ekstrak etil asetat fase stasioner
FL = ekstrak ekstraseluler fase log FS = ekstrak ekstraseluler fase stasioner
K = kloramfenikol
Gambar 15. Aktivitas ekstrak kasar Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen
Tabel 6. Nilai Rf, warna spot secara visual, dan warna di bawah UV
masing-masing fraksi yang terbentuk.
Ekstrak Fraksi Rf Warna visual Warna UV (λ=365 nm)
1 0,027 Hijau kekuningan Kuning menyala
2 0,068 Kuning Ungu menyala
Heksana
3 0,137 kuning Kuning menyala
4 0,524 kuning Kuning menyala
1 0,034 Hijau Ungu menyala
Etil asetat 2 0,565 Hijau kekuningan Kuning menyala
3 0,951 Kuning Kuning menyala
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini, pola pertumbuhan Dunaliella sp. dimulai dari fase log
(hari ke-0 sampai ke-8), fase penurunan laju pertumbuhan (hari ke-9 sampai
ke-11), fase stasioner (hari ke-12 sampai ke-29), serta fase menuju kematian
(hari ke-30 sampai ke-34). Berdasarkan uji proksimat, kandungan air, protein,
lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp. adalah 65,22 %, 18,12 %, 1,60 %,
6,17 %, dan 8,89 %.
Berat biomassa kering yang dihasilkan pada umur panen fase stasioner
(1,54 gram) lebih besar dibandingkan pada fase log (1,10 gram). Rendemen
ekstrak kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut heksana,
pelarut etil asetat, dan pelarut metanol berturut-turut sebesar 1,81 %, 4,54 %, dan
5,45 %. Rendemen ekstrak kering pada fase stasioner yang dihasilkan dari
ekstraksi dengan pelarut heksana, pelarut etil asetat, dan pelarut metanol berturut-
turut nilainya adalah 1,29 %, 1,94 %, dan 2,59 %.
Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat
pada fase log terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,
Escherichia coli, dan Vibrio harveyi menghasilkan diameter zona bening
di sekitar paper disc berturut-turut sebesar 3, 4, 3, 5 mm, serta 2, 2, 2, 3 mm.
Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada fase
stasioner terhadap bakteri uji yang sama berturut-turut nilainya adalah 2, 2, 1,
4 mm, serta 2, 3, 2, 4 mm. Ekstrak-heksana dan etil asetat dari Dunaliella sp. yang
dipanen pada umur 7 hari (fase log) dan umur 14 hari (fase stasioner)
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri walaupun kemampuannya tergolong
lemah. Pengujian KLT menunjukkan bahwa jumlah komponen aktif yang
terdapat pada ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat sebanyak 4 dan 3 komponen.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, beberapa saran yang perlu
dilakukan adalah:
e. Optimasi kultivasi terhadap perlakuan suhu dan medium yang digunakan.
f. Optimasi ekstraksi terhadap ekstraseluler seperti perlakuan dengan
maserasi
g. Pada tahap ekstraksi senyawa antibakteri, tiap pelarut sebaiknya
mengekstrak satu bahan sehingga diperoleh hasil ekstraksi yang optimal
h. Uji aktivitas antibakteri terhadap mikroorganisme patogen lainnya seperti
Salmonella, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas dan lain-lain sehingga
spektrum aktivitasnya dapat lebih luas.
i. Pemurnian dan identifikasi komponen aktif Dunaliella sp. yang telah
diperoleh.
j. Uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia dari Dunaliella sp.
k. Mengetahui manfaat lain dari Dunaliella sp. yang diperoleh dari perairan
Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor: Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Adam MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. Cambridge: The Royal
Society of Chemistry.
Branen AL, Davidson PM. 1993. Antimicrobial in Foods. Second edition. New
York: Marcel Dekker, Inc
Davis WW, Stout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic
assay. Journal of Microbiology. 22(4): 659-665
[FDA] Food and Drug Administration. 2004. FDA Seizes Adulterated Crabmeat
in Lousiana Product Contains Chloramphenicol and Poses Unacceptable
Risk. http://www.fda.gov./bhs/topics/answer/2004/AWSO1297.html [2
Novemeber 2007]
Fogg GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London: The
University of Wisconsin Press.
Granum PE, Baird-Parker TC. 2000. Bacillus species. Di dalam: Lund BM,
Parker TCB dan Gould GW. The microbial safety and quality of food.
Maryland: Aspen Publishers, Inc.
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Jakarta: UI Press
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth edition. Maryland: Aspen
Publisher, Inc.
Kabara JJ. 1993. Medium-chain fatty acids and esters. Di dalam: Branen AL,
Davidson PM. Antimicrobial in Foods. Second edition. New York: Marcel
Dekker, Inc
Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak
Chaetoceros gracilis [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Moat AG, Foster JW. 1988. Microbial Physiology. Second edition. Kanada: A
Wiley-Interscience Publication.
Naiborhu PE. 2002. Ekstraksi dan manfaat ekstrak mangrove (Sonneratia alba
dan Sonneratia caseolaris) sebagai bahan alami antibakterial: pada patogen
udang windu, Vibrio harveyi [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Novita H. 2003. Isolasi dan karakterisasi senyawa antibakteri dari ekstrak kasar
Teripang Gajah (Stichopus chloromatus) [tesis]. Bogor: Program Studi
Bioteknologi, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pelczar MJ, Reid RD. 1979. Microbiology. Tokyo: Kogusha Co. Ltd.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2.
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta:
Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Elemen of Microbiology.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Lukman DR, Sumaryono,
penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology.
Sutomo. 2005. Kultur tiga jenis mikroalga dan pengaruh kepadatan awal
terhadap pertumbuhan Chaetoceros gracilis di laboratorium. Oseanologi
dan Limnologi Indonesia. 37:43-58
Tortora GJ, Funke DR, Case CL. 1989. Microbiology and Introduction. Third
edition. California: The Benjamin/Cumming Publisher, Co. Inc.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lampiran 1. Medium Guillard yang telah dimodifikasi
A
Rendemen = x 100%
B
[ ekstrak] = Ve x m
Vp
Keterangan:
[ekstrak] = Konsentrasi ekstrak (µg/ml)
Ve = Volume ekstrak yang diambil (µl)
Vp = Volume pelarut (µl)
m = Massa ekstrak (µg)
Lampiran 6. Perhitungan Rf
3
14,5
2
4
13,8
8,2
7,6
2
1 1 2
0,5 1 0,4
ED HD