Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Tingkat kesejahteraan di Indonesia berubah, sehingga pola penyakit saat ini telah
mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang
(noncommunicable disease).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti faktor pejamu semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia
muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja
Data WHO tahun 2001 menunjukkan angka mortalitas PPOK adalah 4,8% dan
menduduki urutan keempat penyebab kematian di dunia. Di Indonesia, PPOK adalah salah
satu dari 10 penyebab kematian utama. Estimasi prevalensi PPOK di 28 negara adalah
7,6%.3 Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada laki-laki umur > 30 tahun sebesar
1,6% dan perempuan 0,9%.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) juga termasuk urutan
Prevalensi Ppok meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi
pada pria dari pada wanita. Kemudian prevalensi ppok lebih tinggi pada negara-negara
dimana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukan bahwa rokok merupakan faktor
1
Dua gangguan yang terjadi pada ppok adalah bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis
kronis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus berlebihan kedalam cabang
bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap
harinya yang terjadi dalam 3 bulan setiap tahunnya.Untuk itulah,pada makalah ini akan
dibahas tentang apa itu ppok,tanda dan gejala,farmakoterapi dan penyelasaian kasus terkait
ppok.
5. Untuk mengetahui obat – obat apa saja yang dapat digunakan pada PPOK?
2
BAB II
ISI
Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary
gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruktif Menahun
(PPOM) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis,
Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary
gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2003).PPOK adalah masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab kematian no. 4 di
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai
berikut:
1. Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran
dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama
2 tahun berturut-turut.
2. Emfisema paru
3
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomic, yaitu suatu perubahan anatomic
paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal
3. Asma
4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan
oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda
asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap
keparahannya yaitu : I, II, III, dan IV (lihat tabel 7-1). Untuk memastikan tingkat obstruksi
dan reversibilitas obstruksi, sebelumnya dilakukan uji dengan spirometri. Test sebaiknya
dilakukan pada saat pasien dalam kondisi stabil dan bebas infeksi. Pasien tidak boleh
menggunakan bronkodilator aksi pendek dalam waktu 6 jam sebelum test atau teofilin lepas
lambat 24 jam sebelum test dilakukan. FEV1 harus diukur sebelum pemberian inhalasi
keduanya). FEV1 diukur lagi 30-45 menit setelah pemberian bronkodilator. Peningkatan
FEV1 lebih besar dari 200 ml atau 12% dianggap signifikan. Tabel 7-1 menunjukkan
Tabel 7-1, Tingkat keparahan PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala menurut GOLD
2010.
4
Tingkat Nilai FEV1 dan gejala
paru-parunya bermasalah.
serangan penaykit.
2.3. Etiologi
5
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan
1) Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih
besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari
85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian
akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan
status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua
penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga
mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap
2) Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar
debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di
3) Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan
adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
4) Infeksi
6
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya
kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
1) Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
2) Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK
masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh
2.4. Patofisiologi
7
Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung, faring,
laring, trakea, bronkus, bronkiolus2. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus
dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk rongga hidung, udara disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa
respirasi yang terdiri dari epitel thorak bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan
epitel diliputi oleh lapisan akan menyuplai panas ke udara inspirasi2. Jadi udara inspirasi
telah disesuaikan sedemikan rupa sehingga udara yang mencapai faring sudah bebas debu,
Patofisiologi dari PPOK adalah bahwa hambatan aliran udara napas kronik dihasilkan
oleh suatu respon inflamasi abnormal dari partikel dan gas yang terhirup masuk ke saluran
napas, dimana reaksi inflamasi yang abnormal ini dapat juga dideteksi pada sirkulasi
sistemik1. Banyak penelitian menemukan bahwa respon inflamasi paru terhadap pajanan
gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit
leukotrien B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi
asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi. Peningkatan jumlah limfosit T yang
didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar.
Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan melepaskan netrofil,
IL8 dan TNFα yang kembali menstimulasi makrofag dan netrofil mengeluarkan zat-zat
protease seperti netrofil elastase, capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang
merusak dinding alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli
terjadinya hipersekresi mucus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran
pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit khususnya CD8 yang dapat langsung membuat
kerusakan pada dinding alveoli dan juga dengan mengeluarkan berbagai macam mediator
inflamasi, salah satunya TNFα. Sel epitel yang terpapar asap rokok akan menyebabkan
8
pembentukan fibroblas meningkat sehingga menyebabkan terjadinya fibrosis. Fibroblas
akan diaktifasi oleh Growth Factor yang dilepaskan oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-
enzim ini pada kondisi normal akan diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1
antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor Metalo Protease (TIMP)2,10. Karakteristik PPOK
adalah peradangan kronik mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai struktur
(terutama CD8) dan netrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai
mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru
dan atau mempertahankan inflamasi netrofilik. Selain proses inflamasi terdapat 2 proses
lain yang diduga berperan dalam patogenesis PPOK yaitu keseimbangan proteinase–
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran napas besar, saluran
napas kecil, parenkim paru dan vaskular pulmoner. Sel inflamasi menginfiltrasi permukaan
metaplasia. Terjadi pembesaran kelenjar mucus dan peningkatan sel goblet. Perubahan
tersebut mengakibatkan terjadi hipersekresi mucus. Perubahan pada saluran napas kecil
9
\
produksi sputum, dispnea, dan riwayat paparan suatu faktor resiko. Selain itu adanya
obstruksi saluran pernapasa juga harus dikonfirmasi dengan spirometri. Indikator kunci
1. Batuk kronis : terjadi berselang setiap hari, dan sering terjadi sepanjang hari (tidak
2. Produksi sputum secara kronis : semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan
adanya PPOK.
4. Sesak napas : bersifat progresif sepanjang waktu, setiap hari, memburuk jika
5. Riwayat paparan terhadap faktor resiko : merokok, partikel dan senawa kimia, asap
dapur.
Gejala ini mungkin terjadi beberapa ahun sebelum kemudia sesak napas menjadi
10
4. Peningkatan purulensi sputum.
6. Lelah, lesu
3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang memerah yag
1. Terapi Non-Farmakologi
sesak napas, batuk kronis atau terjadi produksi sputum dengan riwayat paparan terhadap
mengukur fungsi pernapasan. Nilai FEV1 /FVC < 70% dan pasca bronkodilator
kepada tingkat gejala pasien, keparahan abnormalitas, hasil uji spirometri, dan adanya
komplikasi.
Pemantauan dan assesment terhadao gejala PPOK perlu dilakukan baik pada
PPOK baru terdiagnosis, maupun PPOK yang sudah lama. Karena PPOK merupakan
penyakit yang progresif, maka pemantauan harus selalu dilakukan terus menerus
11
Berikutnya termasuk dalam komponen kedua adalah mengurangi faktor resiko.
perburukan tes fungsi paru, menurunkn gejala dan meningkatkan kulaitas hidup. Selain
itu penghindaran polusi udara dan menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi.
termasuk fisioterapi, latihan pernapasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase
postural. Perlu diberikan hidrasi secukupnya dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya
protein dan mencegah makan makanan berat menjelang tidur. Susu dapat menyebabkan
b. Terapi Farmakologi
Karena PPOK adalah penyakit yang progresif, maka prinsip umum terapi PPOK
akan memburuk.
b. Terapi secara reguler harus slalu dijaga pada tingkatyang asam, kecuali ada efek
dalam mengalami efek samping. Karena itu perlu dilakukan pemantauan secara hati-
hati dalam jangka waktu yang cukup untuk memastikan bahwa terapi mencapai
Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan terapu untuk
eksaserbasi akut.
12
Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan di rumah
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri
koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI
menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.
2) Terapi oksigen. Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK
derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada
waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis
4) Rehabilitasi
- Penyesuaian aktiviti
- "Pursed-lipsbreathing"
- Tanda eksaserbasi
14
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline
1. Primer :
2. Sekunder :
Pnemonia
Emboli paru
Pneumotoraks spontan
Aspirasi berulang
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat)
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah
Menambahkan mukolitik
Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter. Penatalaksanaan
eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan
dilakukan di :
Ruang rawat
Ruang ICU
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal
napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan
meliputi :
16
1. Diagnosis beratnya eksaerbas
Kesadaran
Tanda vital
Pneomonia
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi
ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury
masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau
nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat
intubasi.
akut
a. Antibiotik
- Peningkatan sesak.
17
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi
tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara
yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-
intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih
dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak
18
Semua Hindari faktor pencetus
terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
(PPOK VEP1 50% prediksi dengan 1 atau lebih inhalasi bila uji
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
19
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
2. Rehabilitasi
Tabel 1. Obat-Obat yang Biasa Digunakan untuk Terapi PPOK (GOLD, 2009)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (β2-agonis)
0,24% (sirup)
Antikolinergik
20
Tiotropium 18(DPI) 24+
Methylxanthines
(pil)
Theophylline 100-600mg 24
(pil)
Inhalasi Glukortikosteroid
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
4, 8 , 16 mg
Methy-Prednisone (Pil)
21
Terapi farmakologi berdasarkan keparahan penyakit
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan
dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK
1. Bronkodilator
bisa digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan,
atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat
bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek
obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera
a. Antikolinergik
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini
kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down regulasi
blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk golongan ini adalah ipratropium dan
22
beraksi memobilisasi kalsium dari tempat penyimpanannya menyebabkan relaksasi otot
polos bronkus.
b. Simpatomimetik
aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya
kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga mungkin meningkatkan pembersihan
mukosiliar.
Efek bronkodilatasi β-agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam,
durasi aksi sampai 12 jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari
Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika
golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan sendiri-
sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga menurunkan potensi
efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis aksi pendek maupun panjang
dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi
formoterol memberikan perbaikan fungsi paru yang lebih baik daripada kombinasi
d. Metilxantin
23
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat
mediator dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK
menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara
kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi jantung dan
2. Kortikosteroid
untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan
menghambat prostaglandin.
harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan
memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan
status mental.
Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan IV
a. PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau
24
b. PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda hipertensi
pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau
polisitemia.
4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi
virus atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika
a. Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak
b. Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi sputum
maupun non-invasif
setahun M. catarrhalis
penyerta resisten
25
FEV1 > 50%
35% Enterobacteraceae
(K. Pneumoniae, E.
coli, Proteus,
Enterobacter, dll)
generasi 3 atau 4
5. Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat
PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut
karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK sebaiknya
menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza per tahun untuk
mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi,
6. Mukolitik
26
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah
diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun mungkin
manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010, penggunaannya tidak
Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor
penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara rutin
(mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar. Regimen dosis
yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sekali seminggu
dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Saat ini,
Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami komplikasi
akibat hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri
pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Selain
PPOK-nya harus ditangani secara tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat
penanganan agar tidak membawa akibat fatal berupa kematian. Di bawah ini dipaparkan
a. Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan
secara terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2)
cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan fisik
27
atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat
perfusi ginjal.
b. Diuretik
Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian
ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi. Obat
diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi
diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak digunakan secara
hati-hati.
c. Vasodilator
cor pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium,
tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada hipertensi
d. Glikosida jantung
Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale masih
kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal jantung
kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis memiliki efek
sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-hati, dan tidak boleh
digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan risiko terjadinya aritmia
jantung.
e. Teofilin
28
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK dengan
cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat
meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan
dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru seperti
PPOK.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
29
Berdasarkan pembahasan makalah maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
sehingga terjadi kerusakan jaringan paru sebabkan penyempitan saluran napas dan
4. Gejala PPOK meliputi batu kronik, berdahak kronik dan sesak napas.
dan auskultasi.
oksigen dan terapi pembedahan. Dan terapi non farmakologi meliputi hentikan
3.2 Saran
Saran kami sebaiknya dalam melakukan terapi farmakologi bagi pasien PPOK perlu
diperhatikan algoritma terapinya dan kondisi fisiologi pasien agar diperoleh efek yang terapi
yang tepat, selain itu interaksi mungkin terjadi perlu juga diketahui pada golongan obat-obatan
tersebut.
30
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, R.M, Arif Djunyadi dan Retno Aulia Vinarti., 2013, " Deteksi Penyakit Paru-Paru
Obstruktif Kronik Menggunakan Metode Fuzzy : Studi Kasus Di Rumah Sakit XYZ Jurnal
Ikawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Oemiati Ratih., 2013, " Kasjian Epidemologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)", Media
Litbankes, Vol.23. No.2. lkawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa
Ilmu, Yogyakarta.
Oemiati Ratih., 2013, " Kasjian Epidemologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (.PPOK)", Media
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK
) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008, ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
Supryadi Megantara., 2013, " Faktor Genetik Penyakit Obstruktif Kronik Jurnal Zaini, Vol. 40,
No. 8.
Tjay, T.H dan Kirana, R., 2007, Obat-Obat Penting edisi Keenam, Elex Media Komputindo,
Jakarta.
31