Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tingkat kesejahteraan di Indonesia berubah, sehingga pola penyakit saat ini telah

mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang

semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular

(noncommunicable disease).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit

tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini

disebabkan oleh meningkatnya usia harapan dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,

seperti faktor pejamu semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia

muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat

kerja

Data WHO tahun 2001 menunjukkan angka mortalitas PPOK adalah 4,8% dan

menduduki urutan keempat penyebab kematian di dunia. Di Indonesia, PPOK adalah salah

satu dari 10 penyebab kematian utama. Estimasi prevalensi PPOK di 28 negara adalah

7,6%.3 Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada laki-laki umur > 30 tahun sebesar

1,6% dan perempuan 0,9%.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) juga termasuk urutan

ke sepuluh sebagai penyakit yang menjadi beban dunia.

Prevalensi Ppok meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi

pada pria dari pada wanita. Kemudian prevalensi ppok lebih tinggi pada negara-negara

dimana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukan bahwa rokok merupakan faktor

resiko yang utama.

1
Dua gangguan yang terjadi pada ppok adalah bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis

kronis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus berlebihan kedalam cabang

bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap

harinya yang terjadi dalam 3 bulan setiap tahunnya.Untuk itulah,pada makalah ini akan

dibahas tentang apa itu ppok,tanda dan gejala,farmakoterapi dan penyelasaian kasus terkait

ppok.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan PPOK?

2. Bagaimana tanda dan gejala PPOK?

3. Bagaimana Patofisiologi PPOK?

4. Bagaimana cara pengobatan PPOK?

5. Obat – obat apa saja yang dapat digunakan pada PPOK?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahu pengertian dari PPOK?

2. Untuk mengetahui bagaimana tanda dan gejala PPOK?

3. Untuk mengetahui patofisiologi dari PPOK?

4. Untuk mengetahui cara pengobatan dari PPOK?

5. Untuk mengetahui obat – obat apa saja yang dapat digunakan pada PPOK?

2
BAB II

ISI

2.1. Pengertian PPOK

Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary

Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai

gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan

emfisema atau gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruktif Menahun

(PPOM) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis,

bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002).

Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary

Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai

gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2003).PPOK adalah masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab kematian no. 4 di

Indonesia pada tahun 2010 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

2.2. Klasifikasi PPOK

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai

berikut:

1. Bronkitis kronik

Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran

dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama

2 tahun berturut-turut.

2. Emfisema paru

3
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomic, yaitu suatu perubahan anatomic

paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal

bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus.

3. Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang

trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai

penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.

4. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan

oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda

asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap

tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.

Menurut GOLD 2010, PPOK digolongkan menjadi 4 tingkatan berdasarkan

keparahannya yaitu : I, II, III, dan IV (lihat tabel 7-1). Untuk memastikan tingkat obstruksi

dan reversibilitas obstruksi, sebelumnya dilakukan uji dengan spirometri. Test sebaiknya

dilakukan pada saat pasien dalam kondisi stabil dan bebas infeksi. Pasien tidak boleh

menggunakan bronkodilator aksi pendek dalam waktu 6 jam sebelum test atau teofilin lepas

lambat 24 jam sebelum test dilakukan. FEV1 harus diukur sebelum pemberian inhalasi

bronkodilator (misalnya dengan 400 µg β-agonis atau 80 µg antikolinergik, atau kombinasi

keduanya). FEV1 diukur lagi 30-45 menit setelah pemberian bronkodilator. Peningkatan

FEV1 lebih besar dari 200 ml atau 12% dianggap signifikan. Tabel 7-1 menunjukkan

klarifikasi keparahan PPOK berdasarkan hasil spirometrinya.

Tabel 7-1, Tingkat keparahan PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala menurut GOLD

2010.
4
Tingkat Nilai FEV1 dan gejala

I FEV1/FVC < 70%, FEV1 > 80% dan

Ringan umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk

kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini,

pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa

paru-parunya bermasalah.

II FEV1 /FVC < 70 %, 50% < FEV1 < 80%,

Sedang gejala biasanya mulai progresif/memburuk,

dengan nafas pendek-pendek.

III FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1 < 50%.

Berat Terjadi eksasorbasi berulang yang mulai

mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada

tahap ini pasien mulai mencari pengobatan

karena mulai dirasakan sesak nafas atau

serangan penaykit.

IV FEV1/FVC < 70%, FEV1 < 30% atau < 50%

Sangat berat plus kegagalan respirasi kronis. Pasien bisa

digolongkan masuk tahap IV jika walaupun

FEV1 > 30%, tapi pasien mengalami

kegagalan pernafasan atau gagal jantung

kanan atau cor pulmunale. Pada tahap ini,

kualitas hidup sangat terganggu dan serangan

mungkin mengancam jiwa.

2.3. Etiologi
5
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan

menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan

lingkungan antara lain adalah :

1) Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih

besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari

85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian

akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan

status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua

penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga

mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap

rokok) juga berisiko menderita PPOK.

2) Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar

debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene

diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di

tempat selain yang disebutkan di atas.

3) Polusi udara

Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan

adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap

kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam rumah misalnya asap dapur.

4) Infeksi

6
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu

inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya

kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari

peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan

penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.

Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :

1) Usia

Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang

didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan

genetik berupa defisiensi α1-antitripsin.

2) Jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan

kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK

pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.

3) Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi

Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,

misalnya Defiensi Immunoglobin A (IgA / hypogammaglubulin) atau infeksi pada

masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya

tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar

untuk mengalami PPOK.

4) Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)

Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh

hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya

ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.

2.4. Patofisiologi

7
Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung, faring,

laring, trakea, bronkus, bronkiolus2. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus

dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk rongga hidung, udara disaring,

dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa

respirasi yang terdiri dari epitel thorak bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan

epitel diliputi oleh lapisan akan menyuplai panas ke udara inspirasi2. Jadi udara inspirasi

telah disesuaikan sedemikan rupa sehingga udara yang mencapai faring sudah bebas debu,

bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabnya mencapai 100%.

Patofisiologi dari PPOK adalah bahwa hambatan aliran udara napas kronik dihasilkan

oleh suatu respon inflamasi abnormal dari partikel dan gas yang terhirup masuk ke saluran

napas, dimana reaksi inflamasi yang abnormal ini dapat juga dideteksi pada sirkulasi

sistemik1. Banyak penelitian menemukan bahwa respon inflamasi paru terhadap pajanan

gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit

T yang didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti

leukotrien B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi

asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi. Peningkatan jumlah limfosit T yang

didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar.

Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan melepaskan netrofil,

IL8 dan TNFα yang kembali menstimulasi makrofag dan netrofil mengeluarkan zat-zat

protease seperti netrofil elastase, capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang

merusak dinding alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli

terjadinya hipersekresi mucus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran

pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit khususnya CD8 yang dapat langsung membuat

kerusakan pada dinding alveoli dan juga dengan mengeluarkan berbagai macam mediator

inflamasi, salah satunya TNFα. Sel epitel yang terpapar asap rokok akan menyebabkan

8
pembentukan fibroblas meningkat sehingga menyebabkan terjadinya fibrosis. Fibroblas

akan diaktifasi oleh Growth Factor yang dilepaskan oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-

enzim ini pada kondisi normal akan diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1

antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor Metalo Protease (TIMP)2,10. Karakteristik PPOK

adalah peradangan kronik mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai struktur

vaskular pulmoner. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T

(terutama CD8) dan netrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai

mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru

dan atau mempertahankan inflamasi netrofilik. Selain proses inflamasi terdapat 2 proses

lain yang diduga berperan dalam patogenesis PPOK yaitu keseimbangan proteinase–

antiproteinase dan keseimbangan beban oksidan dan antioksidan.

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran napas besar, saluran

napas kecil, parenkim paru dan vaskular pulmoner. Sel inflamasi menginfiltrasi permukaan

epitel saluran napas sentral, mengakibatkan perubahan epitel menjadi squamous

metaplasia. Terjadi pembesaran kelenjar mucus dan peningkatan sel goblet. Perubahan

tersebut mengakibatkan terjadi hipersekresi mucus. Perubahan pada saluran napas kecil

akibat inflamasi menyebabkan airway remodelling sehingga menyempitkan lumen saluran

napas yang nonreversibel.

KONSEP PATOGENESIS PPOK

9
\

2.5. Tanda dan Gejala

Diagnosa PPOK ditegaskan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk,

produksi sputum, dispnea, dan riwayat paparan suatu faktor resiko. Selain itu adanya

obstruksi saluran pernapasa juga harus dikonfirmasi dengan spirometri. Indikator kunci

untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut :

1. Batuk kronis : terjadi berselang setiap hari, dan sering terjadi sepanjang hari (tidak

seperti asama yang terdapat gejala batuk malam ahri).

2. Produksi sputum secara kronis : semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan

adanya PPOK.

3. Bronkitis akut : terjadi secara berulang

4. Sesak napas : bersifat progresif sepanjang waktu, setiap hari, memburuk jika

berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernapasan.

5. Riwayat paparan terhadap faktor resiko : merokok, partikel dan senawa kimia, asap

dapur.

Gejala ini mungkin terjadi beberapa ahun sebelum kemudia sesak napas menjadi

semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medik.

Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah :

1. Peningkatan volume sputum

2. Perburukan pernapasan secara akut

3. Dada terasa berat

10
4. Peningkatan purulensi sputum.

5. Peningkatan kebutuhan bronkodilator

6. Lelah, lesu

7. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-engah).

Pada gejala berat, dapat terjadi :

1. Cyanosis, terjadi kegagalan respirasi

2. Gagal jantung dan oedema perifer

3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang memerah yag

disebabkan polycythemia (erytrocytosis, jumlah eryhtrosityang meningkat), hal ini

merupakan respon fisiologis normal karena kapasitas pengankutan O2 yang berlebih.

2.6. Penatalaksanaan Terapi

1. Terapi Non-Farmakologi

Diagnosa klinis terhadap PPOK perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami

sesak napas, batuk kronis atau terjadi produksi sputum dengan riwayat paparan terhadap

faktor resiko. Dignosa sebaiknya ditegakan dengan pengukuran spirometri untuk

mengukur fungsi pernapasan. Nilai FEV1 /FVC < 70% dan pasca bronkodilator

FEV1<80% menunjukan adanya gangguan pernapasan yang tidak reversibel, yang

merupakan karakteristik PPOK. Penilaia terhadap keparahan PPOK harus didasarka

kepada tingkat gejala pasien, keparahan abnormalitas, hasil uji spirometri, dan adanya

komplikasi.

Pemantauan dan assesment terhadao gejala PPOK perlu dilakukan baik pada

PPOK baru terdiagnosis, maupun PPOK yang sudah lama. Karena PPOK merupakan

penyakit yang progresif, maka pemantauan harus selalu dilakukan terus menerus

terhadap perkembangan gejala maupun kemungkinan adanya komplikasi.

11
Berikutnya termasuk dalam komponen kedua adalah mengurangi faktor resiko.

Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting untuk memperlambat

perburukan tes fungsi paru, menurunkn gejala dan meningkatkan kulaitas hidup. Selain

itu penghindaran polusi udara dan menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi.

Penatalaksanaan lainya adalah dengan rehabilitasi paru-paru secara komerhensif

termasuk fisioterapi, latihan pernapasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase

postural. Perlu diberikan hidrasi secukupnya dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya

protein dan mencegah makan makanan berat menjelang tidur. Susu dapat menyebabkan

sekeri bronkus meningkat sebaiknya dicegah.

b. Terapi Farmakologi

Karena PPOK adalah penyakit yang progresif, maka prinsip umum terapi PPOK

adalh sebagai berikut :

a. Pengobatan kecenderungan akan makin banyak karena status penyakit umumnya

akan memburuk.

b. Terapi secara reguler harus slalu dijaga pada tingkatyang asam, kecuali ada efek

samping signifikan yang terjadi, atau keparahan penyakit meningkat.

c. Setiap pasienmungkin berespon secara induvidual terhadap pengobatan maupun

dalam mengalami efek samping. Karena itu perlu dilakukan pemantauan secara hati-

hati dalam jangka waktu yang cukup untuk memastikan bahwa terapi mencapai

tujuan yang diinginkan.

Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan terapu untuk

eksaserbasi akut.

a. Penatalaksanaan PPOK Stabil

 Kriteria PPOK stabil adalah :

12
 Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

 Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah

menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg

 Dahak jernih tidak berwarna

 Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)

 Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

 Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

 Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :

 Mempertahankan fungsi paru

 Meningkatkan kualiti hidup

 Mencegah eksaserbasi

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau

dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi

 Penatalaksanaan di rumah

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.

Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri

maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita

PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.

Tujuan penatalaksanaan di rumah :

 Menjaga PPOK tetap stabil

 Melaksanakan pengobatan pemeliharaan

 Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

 Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan

 Menjaga penggunaan ventilasi mekanik

 Meningkatkan kualiti hidup


13
Penatalaksanaan di rumah meliputi :

1) Penggunakan obat-obatan dengan tepat.Pemilihan obat dalam bentuk dishaler,

nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut,

koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI

menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.

Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi, penggunaan

terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.

2) Terapi oksigen. Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK

derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan

pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada

waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis

oksigen tidak lebih dari 2 liter

3) Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita PPOK

dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah (lihat hal 25)

4) Rehabilitasi

- Penyesuaian aktiviti

- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)

- "Pursed-lipsbreathing"

- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas

5) Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :

- Tanda eksaserbasi

- Efek samping obat

- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

b. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut

14
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan

dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya

seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.

 Gejala eksaserbasi :

 Sesak bertambah

 Produksi sputum meningkat

 Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :

1. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas

2. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas

3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas

atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi

atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%

baseline

Penyebab eksaserbasi akut

1. Primer :

 Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)

2. Sekunder :

 Pnemonia

 Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia

 Emboli paru

 Pneumotoraks spontan

 Penggunaan oksigen yang tidak tepat

 Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat

 Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)


15
 Nutrisi buruk

 Lingkunagn memburuk/polusi udara

 Aspirasi berulang

 Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi

yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat)

Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah

diedukasi dengan cara :

 Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator

yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser

 Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur

 Menambahkan mukolitik

 Menambahkan ekspektoran

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter. Penatalaksanaan

eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan

dilakukan di :

 Poliklinik rawat jalan.

 Unit gawat darurat

 Ruang rawat

 Ruang ICU

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera

eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal

napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan

meliputi :

16
1. Diagnosis beratnya eksaerbas

 Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal

 Kesadaran

 Tanda vital

 Analisis gas darah

 Pneomonia

2. Terapi oksigen adekuat

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,

bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang

mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di

ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi

ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury

masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau

nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat

mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam

penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure

Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan

intubasi.

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal Obat yang diperlukan pada eksaserbasi

akut

a. Antibiotik

- Peningkatan jumlah sputum

- Sputum berubah menjadi purulen

- Peningkatan sesak.

17
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi

kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit

sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi

sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan

tunggal.

b. Bronkodilator

Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan

peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara

yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-

hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai

kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap

dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama

dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot

diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara

intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat

terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.

c. Kortikosteroid Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi.

Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama

1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih

dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak

menimbulkan efek samping.

Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK

DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN

18
Semua Hindari faktor pencetus

derajat Vaksinasi influenza

Derajat I VEP1 / KVP < 70 % a. Bronkodilator kerja singkat (SABA,

(PPOK VEP1  80% Prediksi antikolinergik kerja pendek) bila perlu

Ringan) b. Pemberian antikolinergik kerja lama sebagai

terapi pemeliharaan

Derajat II VEP1 / KVP < 70 % 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid

(PPOK 50%  VEP1  80% dengan bronkodilator: inhalasi bila uji

sedang) Prediksi dengan a.


atau Antikolinergik kerja lama steroid positif

tanpa gejala sebagai terapi pemeliharaan

b. LABA

c. Simptomatik

2. Rehabilitasi

Derajat III VEP1 / KVP < 70%; 30%


1. Pengobatan reguler Kortikosteroid

(PPOK  VEP1  50% prediksi dengan 1 atau lebih inhalasi bila uji

Berat) Dengan atau tanpa gejala bronkodilator: steroid positif

a. Antikolinergik kerja lama atau eksaserbasi

sebagai terapi pemeliharaan berulang

b. LABA

c. Simptomatik

2. Rehabilitasi

Derajat IV VEP1 / KVP < 70%;


1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih

(PPOK VEP1 < 30% prediksi bronkodilator:

sangat berat) atau gagal nafas atau


a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi

gagal jantung kanan pemeliharaan

19
b. LABA

c. Pengobatan komplikasi

d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan

respons klinis atau eksaserbasi berulang

2. Rehabilitasi

3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal nafas

pertimbangkan terapi bedah

A. OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN

Tabel 1. Obat-Obat yang Biasa Digunakan untuk Terapi PPOK (GOLD, 2009)

Obat Inhaler (µg) Larutan Oral Vial Durasi

Nebulizer injeksi (jam)

(mg/ml) (mg)

Adrenergik (β2-agonis)

Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6

Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6

0,24% (sirup)

Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 0,25 4-6

Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+

Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+

Antikolinergik

Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8

Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5 7-9

20
Tiotropium 18(DPI) 24+

Methylxanthines

Aminophylline 200-600mg 240mg 24

(pil)

Theophylline 100-600mg 24

(pil)

Kombinasi adrenergik & antikolinergik

Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8

Salbutamol/Ipatropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8

Inhalasi Glukortikosteroid

Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4

Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5

Futicason 50-500(MDI &DPI)

Triamcinolone 100(MDI) 40 40

Kombinasi β2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)

50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)

Sistemik Glukortikosteroid

Prednisone 5-60 mg(Pil)

4, 8 , 16 mg

Methy-Prednisone (Pil)

Keterangan: MDI = Metered Dose Inhaler; DPI = Dose Per Inhaler

21
Terapi farmakologi berdasarkan keparahan penyakit

Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan

dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK

berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.

Obat-obat yang digunakan

1. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini

bisa digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan,

atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat

bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek

obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera

hilang jika obat dihentikan.

Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:

a. Antikolinergik

Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini

karena persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf

kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down regulasi

dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan antikolinergik adalah

blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk golongan ini adalah ipratropium dan

oksitropium (beraksi pendek), dan tiotropium bromida (beraksi panjang).

Penghambatan terhadap reseptor M3 menyebabkan penghambatan terhadap aktivasi

enzim fosfolipase yang menguraikan senyawa fosfatidil inositol difosfat menjadi

inositol trifosfat dan diasilgliserol. Berkurangnya senyawa inositol trifosfat yang

22
beraksi memobilisasi kalsium dari tempat penyimpanannya menyebabkan relaksasi otot

polos bronkus.

b. Simpatomimetik

Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β-2

bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan

pembentukan adenosine 3’,5’ monophosphate (3’,5’-cAMP). cAMP akan menghambat

aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya

kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga mungkin meningkatkan pembersihan

mukosiliar.

Efek bronkodilatasi β-agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam,

sedangkan β-agonis aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan

durasi aksi sampai 12 jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari

atau dengan penggunaan teratur pada pasien PPOK.

c. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik

Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika

perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi dua

golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan sendiri-

sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga menurunkan potensi

efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis aksi pendek maupun panjang

dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi

paru. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi tiotropium bromida dengan

formoterol memberikan perbaikan fungsi paru yang lebih baik daripada kombinasi

salmeterol dengan flutikason.

d. Metilxantin

23
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat

phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP), menghambat

masuknya ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin, stimulasi

katekolamin endogen,antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan pelepasan

mediator dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada PPOK

menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara

subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi latihan,

dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin menyebabkan

kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi jantung dan

penurunan tekanan arteri pulmonalis.

2. Kortikosteroid

Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan

mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler

untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan

menghambat prostaglandin.

3. Terapi Oksigen jangka panjang (long term)

Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapat meningkatkan

harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan

memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan

status mental.

Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan IV

(sangat berat) jika:

a. PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau

24
b. PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda hipertensi

pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau

polisitemia.

4. Antibiotik

Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi

virus atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika

pada pasien-pasien yang:

a. Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak

nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum, atau

b. Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi sputum

merupakan salah satunya, atau

c. Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif

maupun non-invasif

Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus

parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.

Tabel 2. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK

Karakteristik pasien Patogen penyebab Terapi yang

yang mungkin direkomendasikan

Eksaserbasi tanpa S pneumoniae, H. Makrolid (azitromisin,

komplikasi Influensa, H. klaritromisin), sefalosporin

< 4 eksaserbasi Paraenfluenzae, dan generasi 2 atau 3, doksisiklin

setahun M. catarrhalis

Tidak ada penyakit umumnya tidak

penyerta resisten

25
FEV1 > 50%

Eksaserbasi H. Influensa, M. Amoksisilin/klavulanat,

kompleks Catarrhalis, S Fluorokuinolon

Umur > 65 th, pneumoniae (levofroksasin, gatiflokasin,

4 eksaserbasi pertahun penghasil moksifloksasin),

FEV1 < 50% tapi > betalaktamase, Sefalosporin generasi 2 dan 3

35% Enterobacteraceae

(K. Pneumoniae, E.

coli, Proteus,

Enterobacter, dll)

Eksaserbasi kompleks Seperti di atas, Fluorokuinolo

dengan risiko P. ditambah P. (levofroksasin, gatiflokasin,

aeruginosa aeruginosa moksifloksasin), terapi IV

jika perlu : sefalosporin

generasi 3 atau 4

5. Imunisasi

Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat

PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut

karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK sebaiknya

menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza per tahun untuk

mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi,

maka dapat digunakan obat antivirus amantadin dan rimantadin.

6. Mukolitik

26
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah

diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun mungkin

penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara keseluruhan

manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010, penggunaannya tidak

direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada.

7. Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)

Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor

risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan terapi

penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara rutin

(mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar. Regimen dosis

yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sekali seminggu

dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Saat ini,

contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira.

Terapi Pada Komplikasi PPOK : Cor Pulmonale

Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami komplikasi

akibat hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri

pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Selain

PPOK-nya harus ditangani secara tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat

penanganan agar tidak membawa akibat fatal berupa kematian. Di bawah ini dipaparkan

beberapa obat yang dapat dipakai dalam pengatasan cor pulmonale.

a. Terapi Oksigen

Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan

secara terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2)

cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan fisik

27
atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat

hipoksemia, sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan mengurangi

vasokonstriksi simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan

perfusi ginjal.

b. Diuretik

Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian

ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi. Obat

diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi

diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak digunakan secara

hati-hati.

c. Vasodilator

Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang pada

cor pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium,

terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat mengurangu

tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada hipertensi

pulmonar primer daripada sekunder.

d. Glikosida jantung

Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale masih

kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal jantung

kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis memiliki efek

sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-hati, dan tidak boleh

digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan risiko terjadinya aritmia

jantung.

e. Teofilin

28
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi

vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK dengan

cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat

meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan

dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru seperti

PPOK.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

29
Berdasarkan pembahasan makalah maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

1. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran

napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.

2. Etiologi PPOK meliputi : merokok, pekerjaan, polusi udara, dan infeksi.

3. Patofisiologi PPOK yaitu inhalasi bahan berbahaya sehingga timbul inflamasi

sehingga terjadi kerusakan jaringan paru sebabkan penyempitan saluran napas dan

fibrosis, destruksi parenkim dan hipersekresi mukus.

4. Gejala PPOK meliputi batu kronik, berdahak kronik dan sesak napas.

Sedangkan tanda fisiknya ditemukan hal-hal seperti inspeksi, palpasi, perkusi,

dan auskultasi.

5. Tatalaksana terapi PPOK meliputi terapi farmakologi yaitu menggunakan obat-obatan

(bronkodilator,antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, mukolitik dan antitusif), terapi

oksigen dan terapi pembedahan. Dan terapi non farmakologi meliputi hentikan

kebiasaan merokok, perbaikan nutrisi dan rehabilitasi PPOK.

3.2 Saran

Saran kami sebaiknya dalam melakukan terapi farmakologi bagi pasien PPOK perlu

diperhatikan algoritma terapinya dan kondisi fisiologi pasien agar diperoleh efek yang terapi

yang tepat, selain itu interaksi mungkin terjadi perlu juga diketahui pada golongan obat-obatan

tersebut.

30
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, R.M, Arif Djunyadi dan Retno Aulia Vinarti., 2013, " Deteksi Penyakit Paru-Paru

Obstruktif Kronik Menggunakan Metode Fuzzy : Studi Kasus Di Rumah Sakit XYZ Jurnal

Teknik Pomist, Vol. 2, No. 1

Ikawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa Ilmu, Yogyakarta.

Oemiati Ratih., 2013, " Kasjian Epidemologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)", Media

Litbankes, Vol.23. No.2. lkawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa

Ilmu, Yogyakarta.

Oemiati Ratih., 2013, " Kasjian Epidemologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (.PPOK)", Media

Litbankes, Vol.23. No.2.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK

) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,

ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.

Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008, ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.

Supryadi Megantara., 2013, " Faktor Genetik Penyakit Obstruktif Kronik Jurnal Zaini, Vol. 40,

No. 8.

Tjay, T.H dan Kirana, R., 2007, Obat-Obat Penting edisi Keenam, Elex Media Komputindo,

Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai