Anda di halaman 1dari 8

Tafsir Surat Al-Mujadilah

#2. Hukum Dzihar & Kafaratnya (Ayat 1 – 4)

َ‫﴾ الهذِين‬١﴿ ‫ير‬ ٌ ‫ص‬ ِ َ‫س ِمي ٌع ب‬ ‫او َر ُك َما ِإ هن ه‬


َ َ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َي ْس َم ُع ت َ َح‬ ‫َّللاُ قَ ْو َل الهتِي ت ُ َجا ِدلُكَ فِي زَ ْو ِج َها َوت َ ْشت َ ِكي ِإلَى ه‬
‫َّللاِ َو ه‬ ‫س ِم َع ه‬ َ ‫قَ ْد‬
ْ ُ ُ
‫سائِ ِهم هما ُه هن أ هم َهاتِ ِه ْم إِ ْن أ هم َهات ُ ُه ْم ِإاله الالهئِي َولَ ْدنَ ُه ْم َو ِإنه ُه ْم لَ َيقُولُونَ ُمن َكرا ً ِمنَ القَ ْو ِل َو ُزورا ً َوإِ هن‬ َ ِ‫ظاه ُِرونَ ِمن ُكم ِمن ن‬ َ ُ‫ي‬
‫ير َرقَ َب ٍة ِمن قَ ْب ِل أَن يَت َ َما ه‬
‫سا ذَ ِل ُك ْم‬ ُ ‫سائِ ِه ْم ث ُ هم َيعُود ُونَ ِل َما قَالُوا فَتَحْ ِر‬ َ ِ‫ظاه ُِرونَ ِمن ن‬ َ ُ‫﴾ َوالهذِينَ ي‬٢﴿ ‫ور‬ ٌ ُ‫غف‬ َ ‫َّللاَ لَ َعفُ ٌّو‬
‫ه‬
‫سا فَ َمن له ْم َي ْست َِط ْع‬ ‫ش ْه َري ِْن ُمتَت َا ِبعَي ِْن ِمن قَ ْب ِل أَن يَت َ َما ه‬َ ‫ص َيا ُم‬ِ َ‫﴾ فَ َمن له ْم َي ِج ْد ف‬٣﴿ ‫ير‬ ٌ ‫َّللاُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِب‬
‫ظونَ بِ ِه َو ه‬ ُ ‫ع‬ َ ‫تُو‬
﴾٤﴿ ‫عذَابٌ أ َ ِلي ٌم‬ َ َ‫َّللاِ َو ِل ْل َكافِ ِرين‬
‫سو ِل ِه َوتِ ْلكَ ُحدُودُ ه‬ ‫ط َعا ُم ِستِينَ ِم ْس ِكينا ً ذَلِكَ ِلتُؤْ ِمنُوا بِ ه‬
ُ ‫اَّللِ َو َر‬ ْ ِ ‫فَإ‬
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara
kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang
menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.
Dan sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah
yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh
orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-
hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. Al-Mujadilah : 1 – 4)

Makna Mufradat

Ayat #1
Menjawab & menerima, sebagaimana dalam baca’an tasmi’
‫ سمع هللا‬: ‫ كما في التسميع‬،‫أجاب وقبل‬
‫سمع هللا‬ ‘Sami’allahu liman hamidahu’, maknanya Allah menjawab/
‫ أجابه‬: ‫لمن حمده أي‬ mengistijabahinya.
‫تراجعك الكالم أيها النبي في أمرها وأمر‬ Ia menuntut (menggugat) kembali apa yang telah
‫التي تجادلك‬ ‫زوجها الذي ظاهر منها وهي خولة بنت‬ dikatakannya kepadamu wahai Nabi SAW dalam urusan
suaminya yg mendziharnya. Ia adalah Khaulah binti
‫في زوجها‬ ‫ زوجة أوس بن‬،‫ثعلبة الخزرجية‬ Tsa’labah, istri dari Aus bin Shamit.
‫الصامت‬
،‫ثبت شكواها وغمها وهمها إلى هللا‬ Telah (jelas) pengaduannya, kesedihan dan kegelisahannya
‫وتشتكي إلى‬ kepada Allah SWT, dengan harapan Allah mendengarkan
،‫متوقعة أن هللا يسمع محادلتها وشكواها‬
‫هللا‬ pengaduannya dan melapangkan dari kesempitan2nya.
‫ويفرج عنها كربها‬
‫وهللا يسمع‬ Allah menjawab perkataan kalian berdua, dengan jalan
‫ بطريق تغليب الخطاب‬،‫ تراجعكما الكالم‬pemberian khitab secara menyeluruh.
‫تحاوركما‬
Maha Mendengar thd segala perkataan & semua keadaan. Ini
‫إن هللا سميع‬ ‫ وهذا يدل على إثبات‬،‫لألقوال واألحوال‬ menunjukkan dua sifat Allah SWT, yaitu Maha Mendengar
‫بصير‬ ‫صفتي السمع والبصر هلل تعالى‬ dan Maha Melihat.
Ayat #2
Orang-orang yang mengatakan kepada istrinya (misalnya);
‫ أنت علي‬: ‫الذين يقولون لنسائهم مثال‬ ‘kamu seperti punggung ibuku’, yaitu dalam keharaman
‫ وكاألم‬،‫ أي في الحرمة‬،‫كظهر أمي‬ (untuk menggaulinya), juga seperti ibu-ibu wanita yang
‫الذين يظاهرون‬ ‫ وقد كان هذا أشد طالق‬،‫سائر المحارم‬ menjadi mahramnya (spt mertua dsb). Hal seperti ini (dzihar)
‫منكم‬ ‫ تشبيه المرأة أو‬: ‫ والظهار‬.‫في الجهاهلية‬ di zaman jahiliyhah lebih berat daripada thalaq. Dzihar adalah
‫عضو منها بأحد محارمه نسبا أو‬ menyerupakan istri atau salah satu bagian tubuh istri dengan
salah seorang muhrimnya secara nasab, saudara sesusuan
.‫رضاعا أو مصاهرة يقصد التحريم‬ dengan tujuan pengharaman untuk menggaulinya.
‫ فإنه كان من أيمان‬،‫تهجن لعادتهم فيه‬ Merendahkan adat kebiasaan mereka dalam hal tsb (dzihar).
‫منكم‬ Krn perbuatan tersebut termasuk dalam sumpah jahiliyah.
‫الجاهلية‬
‫ فال‬،‫أن ما أمهاتهم إال اللتي ولدن األوالد‬ Bukanlah ibu mereka kecuali wanita-wanita yang telah
melahirkan mereka. Maka tidak bisa dipersamakan dengan
‫إن أمهاتك إال‬ ‫تشبه بالمحارم في الحرمو إال من ألحقها‬ wanita-wanita yang haram dinikahi (mahram), kecuali yang
‫الالئي ولدنهم‬ ‫ كالمرضعات وأزواج الرسول‬،‫هللا بهن‬ memang telah Allah haramkan, seperti wanita sesusuan, istri-
‫صلى هللا عليه وسلم‬ istri Nabi SAW, dsb.
Yaitu perkataan yang munkar yang diingkari oleh syari’at.
‫ليقولون منكرا‬ ‫ والمنكر كل‬،‫أي قوال منكرا أنكره الشرع‬ Munkar adalah segala yang dianggap buruk oleh syariat, oleh
‫من القول‬ ‫ما استقبحه الشرع والعقل والطبع‬ akal dan oleh kebiasaan manusia.
Kebohongan dan kedustaan. Karena istri tidak bisa
‫وزورا‬ ‫ فإن الزوجة ال تشبه باألم‬،‫ كذبا وبهتانا‬dipersamakan dengan ibu.
Memaafkan dari segala perbuatan (dzihar) dan
‫يعفو عن المظاهر ويغفر له إذا تاب‬ mengampuninya apabila ia bertaubat dan menjalankan
‫وإن هللا لعفو‬ kafarah. Sebagaimana Allah SWT juga Maha Pengampun
‫ كما أنه سبحانه غفور لكل‬،‫وأدى الكفارة‬
‫غفور‬ terhadap setiap orang yang berdosa dan berbuat maksiat
‫من أذنب وعصى مطلقا إذا تاب وأناب‬ secara mutlak, apabila ia bertaubat dan menyesali
perbuatannya.
Ayat #3
‫ وذلك عند‬،‫أي عدلوا عن قصد التحريم‬ Yaitu mereka yang menyimpang dari tujuan pengharaman.
‫الشافعي بإمساك المظاهر منها في‬ Maka menurut Syafi’i dengan menahan wanita yang dizhihar
selama periode thalak, Menurut Abu Hanifah dengan
‫ وعند‬،‫الزواج زمانا يمكنه مفارقتها فيه‬
‫ثم يعودون لما‬ menganggap boleh bersenang-senang dengannya walaupun
‫أبي حنيفة بإستباحة استمتاعها ولو بنظرة‬ dengan pandangan. Sedangkan menurut Imam Malik, dengan
‫قالوا‬
‫ بالعزم على‬: ‫ وعند مالك‬،‫الشهوة‬ azam untuk berjima’. Sedangkan menurut Hasan Al-Bashri
: ‫ وعند الحسن البصري وأحمد‬،‫الجماع‬ dan Ahmad, yaitu dengan berjima’.
‫بالجماع‬
Yaitu , wajib bagi mereka. Maka, wajib bagi mereka untuk
: ‫ أو فالواجب إعتاق رقبة‬،‫أي فعليهم‬ memerdekakan hamba sahaya, baik laki-laki maupun
‫ فالفاء للسببية الدالهة على‬.‫عبد أو أمة‬ perempuan. Huruf “fa’ di sini adalah fa’ sababiyah yang
،‫تكرر وجوب التحرير بتكرر الظهار‬ menunjukkan pengulangan, yaitu wajibnya memerdekakan
‫فتحرير رقبة‬
‫ويجب أن تكون الرقبة مؤمنة عند‬ budak setiap kali pengulangan dzihar. Budak yang dibebaskan
‫الجمهور غير الحنفية قياسا على كفارة‬ haruslah budak yang muslim menurut jumhur ulama, kecuali
Hanafiah. Dikiaskan dengan kafarah pembunuhan karena
‫القتل الخطأ‬ kesalahan (tidak sengaja).
،‫أي من قبل استمتاع أحدهما باألخر‬ Yaitu sebelum saling bersenang-senang (menggauli) antara
‫من قبل أن‬ satu dengan yang lainnya, karena keumumuan lafadznya. Hal
‫ وفيه دليل على حرمة‬،‫لعموم اللفظ‬
‫يتماسا‬ ini juga merupakan dalil haramnya bersenagn-senang atau
‫المتعة أو الزواج قبل التكفير‬ kawin sebelum melakukan kafarat.
Ayat #4
‫فمن لم يجد‬ ‫ الرقبة أو ثمنها‬Budak atau uang senilai membebaskan budak
Maka wajib untuk puasa dua bulan secara berturut-turut. Jika
berbuka tanpa udzur, maka wajib mengulang dari awal. Jika
‫ فإن‬،‫أي فالواجب صوم شهرين متواليين‬ berbuka karena udzur, maka terdapat khilaf (ada yang
‫فصيام شهرين‬ ‫ وإن‬،‫أفطر بغير عذر لزمه اإلستئناف‬ mengharuskan mengulang dari awal, ada juga yang tidak perlu
‫متتابعين من‬ ‫ وإن جامع‬،‫أفطر بعذر ففيه خالف‬ mengulang. Namun jika orang yang mendzihar berjima’
‫قبل أن يتماسا‬ ‫المظاهر منها ليال لم ينقطع التتابع عند‬ dengan istrinya pada malam hari, maka urutan puasa dua
bulan tidak terputus menurut Syafi’i, berbeda dengan
‫ خالفا ألبي حنيفة ومالك‬،‫الشافعية‬ pandangan Abu Hanifah dan Imam Malik. (menurut mereka
harus mengulang puasa dari awal).
‫أي الصوم لهرم أو مرض مزمن أو شبق‬ Yaitu (tidak sanggup) berpuasa karena tua, sakit menanun,
‫فمن لم يستطع‬ atau nafsu yang tinggi terhadap wanita.
‫مفرط إلى النساء‬
Bagi tiap orang miskin; (menurut Syafi’i) satu mud menurut
‫ مد من غالب‬: ‫لكل مسكين عند الشافعية‬ makanan pokok negrinya. Yaitu satu setengah ritl, seukuran
،‫ وهو رطل وثلث كالفطرة‬،‫قوت البلد‬ zakat fitrah. Sedangkan (menurut Hanafiah); setengah sha’
‫وعند الحنفية نصف صاع من بر أو‬ gandum atau satu sha’ kurma. Dan hal tersebut ditunaikan
‫فإطعام ستين‬
‫ وذلك من قبل‬،‫صاع من تمر أو شعير‬ sebelum keduanya bersentuhan atau bersenang-senang.
‫مسكينا‬
‫ وإنما لم يذكر‬،‫التماس أو اإلسمتمتاع‬ Adapun tidak disebutkannya saling bersentuhan pada
penyebutkan memberikan makan, karena sudah cukup
‫التماس مع اإلطعام أكتفاء بذكره مع‬ penyebutannya pada dua poin sebelumnya, yaitu
‫ العتق والصيام‬: ‫الخصلتين اآلخرين‬ memerdekakan budak dan puasa.
‫البيان أو التعليم لألحكام والتخفيف في‬ Penjelasan atau pengajaran terhadap hukum dzihar dan
‫ذلك‬ keringanan dalam kafarah.
‫الكفارة‬
‫أي فرض ذلك لتصدقوا باهلل تعالى‬ Yaitu Allah mewajibkan hal tersebut supaya kalian
‫لتؤمنوا باهلل‬ membenarkan (lebih yakin) terhadap Allah dan Rasulullah
‫ورسوله صلى هللا عليه وسلم في قبول‬ SAW dalam menerima syar’at-Nya serta menolak kebiasaan-
‫ورسوله‬
‫ ورفض أعراف الجاهلية‬،‫شرائعه‬ kebiasaan jahiliyah.
‫وتلك حدود هللا‬ ‫ ال يجوز تعديها‬،‫أحكام شريعته‬ Hukum-hukum syariah-Nya, tidak boleh melanggarnya.
‫وللكافرين‬ ‫أي الذين ال يقبلون تلك األحكام‬ Yaitu orang-orang yang tidak menerima hukum tersebut.
Adzab yang menyengsarakan sebagaimana firman Allah
‫ كما قال تعال ﴿ومن كفر فإن‬،‫عذاب مؤلم‬ SWT, ‘Barang siapa yang mengingkari, maka sesungguhnya
‫عذاب أليم‬
﴾‫هللا غني عن العالمين‬ Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam
semesta.

Asbabun Nuzul
Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul ayat pertama surat Al-Mujadilah ini,
dimana antara satu riwayat melengkapi riwayat-riwayat lainnya. Riwayat-riwayat tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Riwayat Imam Al-Hakim dalam Al-Mustradraknya dan dishahihkan oleh beliau, dari Aisyah ra
berkata, ‘Maha Suci Allah yang Maha luas pendengarannya meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya
aku benar-benar mendengar perbincangan Khaulah binti Tsa’labah, namun beberapa
perkataannya tidak bisa aku dengarkan, dia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW
dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW, sungguh ia (suamiku) telah mengambil masa mudaku,
dan aku banyak melahirkan anak darinya. Hingga ketika usiaku sudah menua dan aku tidak bisa
melahirkan lagi, ia mendziharku. Ya Allah aku mengadu padamu. Maka sebelum keesokan harinya,
Malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu ayat tersebut. Suaminya adalah Aus bin Shamit.’
2. Riwayat Imam Bukhari dan Imam Ahmad bin Hambal, dari Aisyah ra bahwasanya beliau
berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang Maha Luas Pendengaran-Nya meliputi segala suara.
Sungguh telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Nabi SAW, ia berbicara
kepada Nabi SAW sedangkan aku berada di salah satu sisi rumah, aku tidak mendengar apa yang
ia bicarakan. Lalu Allah SWT menurunkan firmannya, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
3. Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya, dan Imam Baihaqi, bahwasanya Aus bin Shamit berkata
kepada istrinya Khaulah binti Tsa’labah bin Malik, ‘Engkau bagiku seperti punggung ibuku’.
Padahal dulu di zaman Jahiliyah apabila seorang suami berkata kepada istrinya ungkapan seperti
itu maka ia menjadi haram baginya. Lalu ia menyesal pada waktu tersebut, dan memanggil istrinya
(untuk menggaulinya), namun istrinya menolak dan berkata, ‘Demi Dzat yang jiwa Khaulah berada
di tangannya, jangalah kamu menyentuhku, karena kamu telah mengungkapkan perkataan seperti
yang kamu ungkapkan, hingga Allah dan Rasul-Nya memberikan keputusan hukum.’ Lalu ia
mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya Aus telah
menikahiku ketika aku masih muda dan disukainya. Namun ketika usiaku telah lanjut dan aku
banyak melahirkan anak darinya, ia menjadikanku seperti ibunya (mendziharku) dan
meninggalkanku seorang diri. Maka apakah engkau memberikan rukhsah (keringanan) yang bisa
memberikan keputusan kepadaku dan dia, maka beritahukanlah kepadaku.’ Lalu Nabi SAW
bersabda, ‘Aku belum mendapatkan wahyu terkait dengan apa yang menimpamu hingga sekarang’.
(Dalam riwayat lain disebutkan) bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Aku tidak melihat melainkan engkau
menjadi haram baginya.’ Ia berkata, ‘Ia tidak menyebutkan kata thalaq Wahai Rasulullah.’ Ia terus
menggugat Rasulullah SAW berkali-kali, lalu berkata, ‘Ya Allah sesungguhnya aku mengadu pada-
Mu keadaan dan kesulitanku….’ Ia terus menerus meminta hingga akhirnya turunlah ayat Al-
Qur’an berkenaan dengan keadaannya. Lalu Nabi SAW bersabda, ‘Wahai Khaulah, terimalah
berita gembira’. Ia berkata, ‘suatu kebaikan’. Kemudian Nabi SAW membacakan firman-Nya (QS.
Al-Mujadilah : 1).
4. Riwayat Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
‘…..bahwa Rasulullah SAW bersabda (setelah beberapa kali Khaulah mengajukan gugatan ke
Rasulullah SAW berkenaan dengan perlakuan suaminya kepadanya), ‘Hai Khaulah, putra
pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang sudah tua. Bertakwalah kamu mengenai dirinya.”
Khaulah berkata, ‘Demi Allah, aku terus menerus mendesak beliau hingga turunlah ayat itu
mengenai diriku.”… (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4 hal 617 – 618)

Tafsir ayat #1 :
﴾١﴿ ‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ َ‫س ِمي ٌع ب‬ ‫او َر ُك َما ِإ هن ه‬
َ َ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َي ْس َم ُع ت َ َح‬ ‫َّللاُ قَ ْو َل اله ِتي ت ُ َجا ِدلُكَ ِفي زَ ْو ِج َها َوت َ ْشت َ ِكي ِإلَى ه‬
‫َّللاِ َو ه‬ َ ‫قَ ْد‬
‫س ِم َع ه‬
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara
kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Ayat pertama surat Al-Mujadilah menjelaskan bahwa Allah SWT benar-benar telah mendengar
perkataan seorang wanita yang berkali-kali datang kepada Nabi SAW untuk mengajukan gugatan
perihal suaminya yang telah mendziharnya, dan (karena tidak puas dengan jawaban Nabi SAW), ia
pun mengadu kepada Allah SWT, dengan mengucapkan ungkapan, ‘Ya Allah sesungguhnya aku
mengadu pada-Mu keadaan dan kesulitanku….’. Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini, sebagai
sebuah pernyataan bahwa Allah benar-benar telah mendengar dan memperhatikan kejadian rumah
tangga wanita tersebut, (yaitu Khaulah binti Tsa’labah), dan juga Allah SWT benar-benar
mendengar dan memperhatikan peristiwa diskusi yang dilakukan antara wanita ini dengan
Rasulullah SAW.
Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Daud disebutkan (sebagaimana yang dikutip
oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya), bahwa Khaulah binti Tsa’labah berkata, ‘Demi Allah, mengenai
diriku dan suamiku Aus bin Shamit lah Allah telah menurunkan ayat yang terdapat di permulaan
surat Al-Mujadilah.”
Katanya, ;Aku berada di sisinya, dia adalah seorang laki-laki yang sudah tua renta, akhlaknya
sangat buruk sekali.’ Dia melanjutkan, ‘Pada suatu hari, dia menemuiku, namun aku menolak
keingainannya. Dia pun marah seraya mengatakan, ‘Kamu bagiku seperti punggung ibuku.” Dia
melanjutkan, ‘Kemudian dia keluar dan duduk-duduk di kedai kawan-kawannya sebentar, kemudian
masuk lagi menemuiku. Ternyata dia ingin bersetubuh denganku. Kataku, ‘Tidak, Demi yang diri
Khaulah berada di dalam genggaman-Nya, kamu tidak layak lagi hingga Allah dan Rasul-Nya
memberikan putusan mengenai urusan kita dengan hukum.-Nya. Lalu di menerkamku, namun aku
tetap bertahan. Aku pun melumpuhkannya dengan suatu cara yang dapat digunakan mengalahkan
laki-laki yang sudah tua renta. Akupun menjauhkan diri darinya. Lalu aku keluar untuk bertemu
dengan sebagian tetanggaku. Aku meminjam daripadanya beberapa potong pakaian. Setelah itu aku
keluar untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Akupun duduk di hadapan beliau. Aku ceritakan
kepada beliau tentang perlakuan yang aku terima dari suamiku itu. Mulailah aku mengadukan
kepada beliau tentang akhlaknya yang jelek itu.’ Rasulullah SAW kemudian mengatakan, ‘Hai
Khaulah, putra pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang sudah tua. Bertakwalah kamu mengenai
dirinya.’”
Khaulah berkata, ‘Demi Allah, aku terus medesak beliau sehingga turunlah ayat ini mengenai
diriku. Seketika itu Rasulullah SAW pun pingsan dantidak sadarkan diri. Setelah sadar, beliau
sangat bergembira sekali. Lalu beliau mengatakan kepadaku, ‘Hai Khaulah, sungguh Allah telah
menurunkan ayat mengenai dirimu dan suamimu… kemudian beliua membacakan ayat itu,
‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu
berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” sampai firman Allah SWT,
‘…dan bari orang-orang kafir ada siksa yang sangat pedih.” (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4
Hal. 617 – 618)

Terdapat beberapa catatan terkait dengan riwayat sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya tersebut :
1. Bahwa telah terjadi pengaduan seorang wanita kepada Rasulullah SAW akibat perlakukan
suaminya terhadap dirinya. Wanita tersebut adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Malik, sedangkan
suaminya adalah Aus bin Shamit, saudara sahabat Nabi SAW Ubadah bin Shamit.
2. Pengaduan tersebut dilakukan karena perlakuan yang tidak semestinya yang dilakukan oleh
suaminya Aus bin Shamit, ketika ia mengatakan kepada Khaulah, ‘Engkau bagiku seperti punggung
ibuku.’ Dimana pada masa jahiliyah, ungkapan tersebut memiliki dampak yang lebih dahsyat
daripada thalak. Dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir, bahwa ungkapan
tersebut (baca ; dzihar) memiliki konsekwensi haram untuk digauli selamanya dan tidak dapat
diruju’ kembali selamanya (hurmah mu’abbadah la raj’ata fiihi). Oleh karena itulah, ia mengadu
kepada Rasulullah SAW atas perlakuan suaminya terhadapnya, yang dilakukannya ketika usianya
sudah mulai menua dan telah banyak melahirkan anak darinya.
3. Bahwa riwayat di atas mengatakan bahwa Khaulah berkali-kali datang kepada Rasulullah SAW
untuk mengadukan hal tersebut. Dan Rasulullah SAW hanya mengatakan kepadanya ‘Hai Khaulah,
putra pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang sudah tua. Bertakwalah kamu mengenai dirinya.’
Oleh karena itulah ia disebut sebagai “al-mujadilah” yang secara bahasa berarti seorang wanita
yang mendebat, atau menggugat kepada Nabi SAW dengan datang kepada beliau berkali-kali untuk
mengadukan permasalahan tersebut kepada Nabi SAW.
4. Bahwa Allah SWT benar-benar mendengar dan melihat dengan sejelas-jelasnya peristiwa rumah
tangga yang dialami oleh Khaulah binti Tsa’labh dengan suaminya Aus bin Shamit, juga peristiwa
pengaduan Khaulah kepada Rasulullah SAW, serta pengaduan Khaulah kepada Allah SWT atas apa
yang menimpanya. Maka oleh karenanya, Allah SWT menurunkan ayat-ayat ini kepada Rasulullah
SAW sebagai jawaban atas peristiwa yang menimpa Khaulah.

( ‫ )المجادلة‬Al-Mujadilah dalam ayat ini bermakna tahawur ( ‫( )تحاور‬berdebat, bertanya jawab atau
berdiskusi), yaitu berulang-ulangnya perbincangan untuk mendapatkan penjelasan dan jalan keluar
dari permasalahan yang dihadapi oleh Khaulah. Karena Khaulah memang beberapa kali datang
kepada Nabi SAW untuk mendiskusikan masalah ini. Oleh karena itulah, Al-Qur’an
mengungkapkannya dengan lafadz ( ‫ )تحاوركما‬atau hiwar yaitu atau perdebatan kalian berdua,
antara Nabi SAW dengan Khaulah binti Tsa’labah.
Sedangkan kata syakwa ( ‫ )شكوى‬yang dalam Al-Qur’an diibaratkan dengan ( ‫ )وتشتكي‬berarti
keluhan, adalah memberitahukan kepada Nabi Muhammad SAW perihal sesuatu yang tidak disukai
yang menimpanya. Jika dilihat dari teks ayatnya, keluhan tersebut disampaikan Khaulah kepada
Allah SWT sebagaimana firman-Nya ( ‫‘ )وتشتكي إلى هللا‬dan ia mengadukan halnya kepada Allah
SWT’.
Sementara kata sam’u ( ‫ )السمع‬mendengar, yang diibaratkan dalam ayat di atas ( ‫وهللا يسمع‬
‫ )تحاوركما‬adalah sifat Allah SWT yang dapat mendengarkan segala suara, termasuk suara diskusi
antara Khaulah dengan Rasulullah SAW, juga suara kejadian yang terjadi di rumah tangganya
Khaulah.
Sementara wanita ( ‫ )المرأة‬dalam ayat ini ia adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Malik dan
suaminya ( ‫ )الزوج‬adalah Aus bin Shamit, salah seorang dari suku Anshar.
Sebagian mufasir mengatakan bahwa kata ( ‫ )قد‬pada permulaan ayat ini bermakna ( ‫)التوقع‬
‘mengharapkan’. Karena baik Nabi Muhammad SAW dan wanita yang mengajukan gugatan kepada
beliau sama-sama mengharapkan bahwa Allah SWT mendengarkan perdebatan diantara mereka,
lalu menurunkan ayat yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Firman Allah ( ‫)سمع هللا‬
‘Allah mendengar’ merupakan kiasan dari diterima dan dijawabnya perbincangan atau pengajuan
gugatan wanita tersebut. Kata ( ‫ )قد‬tersebut juga bisa berarti “sungguh”, sebagai bentuk ungkapan
bahwa Allah sungguh-sungguh mendengar peristiwa tersebut.

Tafsir Ayat #2
‫سائِ ِهم هما ُه هن أ ُ هم َهاتِ ِه ْم إِ ْن أ ُ هم َهات ُ ُه ْم إِاله الالهئِي َولَ ْدنَ ُه ْم َوإِنه ُه ْم لَيَقُولُونَ ُمن َكرا ً ِمنَ ْالقَ ْو ِل‬ َ ُ‫الهذِينَ ي‬
َ ِ‫ظاه ُِرونَ ِمن ُكم ِمن ن‬
﴾٢﴿ ‫ور‬ َ ‫َّللاَ لَعَفُ ٌّو‬
ٌ ُ ‫غف‬ ‫َو ُزورا ً َوإِ هن ه‬
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan
yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.

Ayat kedua menjelaskan Allah SWT benar-benar memandang buruk perbuatan dzihar, sebagaiama
sudah menjadi kebiasaan masyarakat jahiliyah khususnya yang dilakukan oleh Aus bin Shamit
terhadap istrinya, yaitu Khaulah binti Tsa’labah. Allah SWT bahkan mengatakannya bahwa hal
tersebut merupakan perkataan yang mungkar dan dusta. Karena pada hakekatnya, ibu mereka
adalah wanita yang telah melahirkan mereka.

Hukum Dzihar di Masa Jahiliyah


Pada zaman jahiliyah, dzihar berlaku sebagai thalaq (perceraian) yang mengharamkan suami untuk
menggauli istri dengan pengharaman yang mu’abbad (selamanya) yang tidak dapat diruju’ kembali.
Pada zaman Jahiliyah, semua wanita yang bisa dithalak, bisa pula di dzihar. Dalam thalaq seorang
istri masih bisa dirujuk sedangkan dalam dzihar tidak dapat dirujuk kembali. Oleh karena itulah,
Islam mengharamkan dzihar.
Dzihar berasal dari kata ‘dzahr’ yang berarti punggung. Dalam hal ini adalah menyamakan seorang
istri dengan punggung atau anggota tubuh ibunya. Digunakan istilah punggung, karena ungkapan
yang sering disebutkan oleh suami yang mendzihar istrinya adalah dengan menyamakan istrinya
dengan punggung (dzhar). Sementara dari segi istilah, dzihar adalah menyerupakan istri atau salah
satu bagian tubuh istri dengan salah seorang muhrimnya secara nasab atau saudara sesusuan dengan
tujuan pengharaman untuk menggaulinya. Dzihar ada dua jenis; sharih (jelas atau terang-terangan)
dan kinayah (kiasan).
1. Dzihar Sharih
Yaitu dzihar yang diungkapkan dengan bahasa yang jelas, seperti seorang suami berkata kepada
istrinya dengan ungkapan sebagai berikut :
a. Engkau bagiku seperi punggung ibuku.
b. Engkau haram bagiku seperti punggung ibuku.
c. Engkau bagiku seperti perut ibuku (atau bagian tubuh ibu lainnya, seperti kepala, kemaluan, kaki,
dsb)
2. Dzihar Kinayah
Yaitu ungkapan yang dicupakan seorang suami kepada istrinya dengan ungkapan-ungkapan yang
mengandung makna seperti dzihar. Diantaranya adalah ungkapan ‘Engkau seperti ibuku’. Mengenai
hal ini, para ulama berpendapat bahwa apabila ungkapan tersebut dimaksudkan dzihar maka
hukumnya adalah dzihar. Namun apabila tidak dimaksudkan dzihar, maka hukumnya bukan dzihar.
Dzihar hanya bisa dilakukan oleh suami terhadap istrinya dan tidak bisa seorang istri mendzihar
suaminya. Ayat kedua di atas menggambarkan hal seperti itu, ‘Orang-orang yang mendzhihar
isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka
itu ibu mereka…’ Sehingga apabila seorang istri mengatakan kepada suaminya, ‘Engkau bagiku
seperti punggung ibuku’, maka hukumnya adalah kafarat sumpah (berpuasa tiga hari). Sedangkan
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan ‘Wajib baginya untuk kafarat dzihar, karena telah
mengucapkan perkataan mungkar dan dusta.’
Hukum dzihar (berupa kafarat yang harus dilakukan oleh suami yang mendzihar istrinya) hanya
dikhususkan bagi kaum muslimin saja. Kata ( ‫ )منكم‬pada ayat ini menunjukkan bahwa hukum ini
berlaku khusus bagi kaum muslimin. Karena konsekewnsi dzihar untuk membebaskan budak,
berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberikan makan terhadap 60 orang miskin menunjukkan
bahwa hukum dzihar hanya berlaku untuk kaum muslimin.

Tafsir Ayat #3 & #4


‫ظونَ بِ ِه َو ه‬
‫َّللاُ بِ َما‬ ُ ‫ع‬ َ ‫سا ذَ ِل ُك ْم تُو‬‫ير َرقَبَ ٍة ِمن قَ ْب ِل أَن يَت َ َما ه‬ ُ ‫سائِ ِه ْم ث ُ هم يَعُودُونَ ِل َما قَالُوا فَتَحْ ِر‬ َ ِ‫ظاه ُِرونَ ِمن ن‬ َ ُ‫َوالهذِينَ ي‬
ْ ِ ‫سا فَ َمن له ْم يَ ْست َِط ْع فَإ‬
َ‫طعَا ُم ِستِينَ ِم ْس ِكينا ً ذَلِك‬ ‫ش ْه َري ِْن ُمتَت َابِعَ ْي ِن ِمن قَ ْب ِل أ َن يَت َ َما ه‬
َ ‫صيَا ُم‬ِ َ‫﴾ فَ َمن له ْم يَ ِج ْد ف‬٣﴿ ‫ير‬
ٌ ِ‫ت َ ْع َملُونَ َخب‬
﴾٤﴿ ‫عذَابٌ أ َ ِلي ٌم‬ َ َ‫َّللاِ َو ِل ْل َكافِ ِرين‬
‫سو ِل ِه َوتِ ْلكَ ُحدُودُ ه‬ ‫ِلتُؤْ ِمنُوا بِ ه‬
ُ ‫اَّللِ َو َر‬
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri
itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih.

Ayat ketiga dan keempat dari surat Al-Mujadilah ini menjelaskan tentang kafarat yang harus
dilakukan bagi seseorang yang telah mendzihar istrinya. Dalam kedua ayat ini terdapat beberpa
hukum terkait dengan kafarat dzihar :
1. Terdapat perbedaan perndapat dari makna firman Allah ( ‫“ )يعودون لما قالوا‬kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan”, yaitu :
a. Jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah membatalkan dziharnya dan kembali
seperti semula kepada istrinya seperti untuk berjima’, bersenang-senang dsb, maka bagi mereka
harus membebaskan budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan
kepada 60 orang miskin.
b. Ad-Dzhariyah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah pengulangan kata dzihar. Artinya orang
yang mengulangi perkataan dzihar kepada istrinya. Maksudnya tidak perlu membayar kafarat
kecuali apabila melakukan pengulangan kata dzihar kepada istrinya. Namun pendapat ini
merupakan pendapat yang bathil dan tidak bisa diterima.
c. Sementra Syafii berpendapat bahwa yang dimaksud adalah menahan istri setelah mendziharnya,
sementara ia mampu untuk menthalaqnya.
2. Berkenaan dengan kafarat yang harus dilakukan oleh orang yang mendzihar istrinya.Kafaratnya
adalah sebagai berikut :
a. Membebaskan budak.
Yang dimaksud dengan membebaskan budak adalah membebaskan budak secara sempurna hingga
menjadi orang yang merdeka. Ulama berbeda pendapat, apakah yang dimaksud harus budak
mu’min atau boleh juga budak yang kafir?
 Hanafiyah dan Dzahiriyah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah budak secara mutlaq, tidak
disyaratkan harus budak yang mu’min. Karena jika disyaratkan iman, tentu Allah SWT akan
menjelaskan sebagaimana disyarakatkan dalam diyat pembunuhan.
 Namun jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah budak yang beriman. Ayat yang
menjelaskan keharusan membebaskan budak yang beriman menjadi penjelas bagi umumnya ayat
pembebasan budak dalam ayat ini. Dan hal ini juga dikuatkan dengan riwayat dari Imam Malik ra
dengan sanadnya dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami tentang kisah seorang budak hitam,
dimana Rasulullah SAW bersabda, ‘Bebaskanlah (merdekakanlah ia) karena sesungguhnya ia
seorang mu’minah’ (HR. Malik & Ahmad).
b. Berpuasa dua bulan secara berturut-turut
Yaitu apabila tidak terdapat budak yang memungkinkan untuk dimerdekakan, seperti di zaman
sekarang ini, maka ia harus menggantinya dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut yang
tidak terputus diantaranya. Karena jika terputus satu hari saja, maka ia harus mengulanginya dari
awal menurut jumhur ulama. Kecuali apabila terputusnya karena ada udzur, seperti sakit, haid, nifas
dsb.
c. Memberi makan kepada 60 orang miskin.
Jka tidak mampu untuk melaksanakan puasa selama dua bulan terturut-turut, karena sudah tua atau
sakit menahun atau halangan berat lainnya yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa berturut-
turut, maka ia harus memberi makan kepada 60 orang miskin.
Jumlah 60 orang miskin merupakan jumlah yang harus diberikan kepada 60 orang miskin, sehingga
tidak bisa memberikan satu orang miskin selama 60 hari menurut jumhur ulama. Namun Hanafiyah
memperbolehkannya. Tentu pendapat jumhur ulama adalah yang lebih tepat.
Ulama sepakat, bahwa urutan kafarat dzihar harus sesuai sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat.
Pertama-tama haruslah membebaskan budak terlebih dahulu, apabila tidak memungkinkan baru
berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan apabila tidak memungkinkan maka memberi makan
kepada 60 orang miskin.
3. Terkait dengan permasalahan melakukan jima’ (antara suami yang mendzihar dengan istrinya yang
didiziharnya), secara dzahir ayat menjelaskan bahwa harus melakukan kafarat terlebih dahulu
sebelum saling bersentuhan ( ‫)من قبل أن يتماسا‬. Bersentuhan dalam ayat tersebut adalah ibarat
untuk melakukan jima’. Ulama sepakat bahwa siapa yang melakukan jima’ sebelum selesai
kafaratnya maka ia berdosa karena menyalahi ketentuan Allah SWT. Adapun hukum kafaratnya
apabila di tengah-tengah kafarat ia melakukan jima’
a. Maliki, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa jima’ pada saat proses kafarat diharamkan dan
membatalkan kafarat yang sedang dilakukannya dan ia harus memulainya kembali dari awal.
Namun menurut Hanafi dan Hambali, apabila kafaratnya berbentuk memberi makan 60 orang fakir
miskin dan belum selesai prosesnya lalu ia berjima’, maka tidak perlu mengulanginya lagi dari awal
sebagaimana puasa.
b. Syafii berpendapat bahwa ia berdosa karena jima sebelum usai kafaratnya namun tidak
membatalkan urutan puasa kafarat dua bulan secara berturut-turut. Ia bisa meneruskan kafarat
puasanya.
4. Sedangkan dalam melakukan muqaddimah jima’, ulama juga berbeda pendapat sebagai berikut :
a. Jumhur ulama berpendapat, haram melakukan jima’ sebelum selesai kafaratnya, termasuk di
dalamnya semua bentuk “muqaddimah” jima’ seperti mencium, memeluk, dsb. Karena jalan
menuju kepada yang haram adalah haram.
b. Sementara Syafi’I berpendapat bahwa muqaddimah jima’ boleh dilakukan sebelum usai kafaratnya.
Karena haramnya jima’ tidak berarti haramnya muqaddimah jima’, seperti wanita yang sedang haid,
boleh dilakukan muqadimah jima’ tanpa jima’ atau seperti orang yang sedang berpuasa, haram
untuk jima’ namun boleh saja melakukan muqadimah jima’.
5. Bahwa semua hukum dan ketentuan dzihar ini ditetapkan Allah SWT agar kita membenarkan
kepada hukum dan syariat Allah SWT dan Rasul-Nya serta tidak melanggarnya, khusuanya dalam
masalah dzihar yang merupakan perilaku jahiliyah yang sangat bertentangan dengan hukum Allah
SWT. Dan bagi orang-orang yang mengingakari hukum Allah SWT tersebut akan mendapatkan
azab yang pedih. Disebutkan kata kafir dalam ayat ke 4, sebagai bentuk celaan bagi orang-orang
yang melanggar syariat Allah SWT.

Hikmah Tarbawiyah
1. Bahwa Allah SWT Maha Mendengan dan Maha Melihat, bahkan hingga apa yang terjadi dalam
kehidupan yang paling pribadi bagi setiap muslim; yaitu hubungan suami istri. Oleh karenanya,
hendaknya setiap muslim tidak boleh menganggap remeh kehidupan rumah tangga, khususnya yang
terkait dengan hukum Allah. Tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Allah SWT
dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
2. Antusias seorang shahabiyah untuk mendapatkan kepastian hukum kepada Rasulullah SAW dalam
masalah rumah tangga yang dihadapinya. Ia tidak mau ketika diajak berhubungan jima’ oleh
suaminya yang telah mendziharnya, hingga adanya kepastian hukum. Ini menunjukkan kehati-
hatian shahabiyah tersebut, untuk tidak berbuat sesuatu sebelum adanya kepastian hukum syariat.
Tentu hal ini berbeda dengan kebanyakan orang-orang sekarang yang cenderung “merasa aman”
kalau belum ada ketentuan syariahnya.
3. Segala perilaku jahiliyah hendaknya dijauhi oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan
yang menyalahi ketentuan Allah dan Rasul-Nya, tidak terkecuali dalam masalah kehidupan rumah
tangga seperti dzihar yang dilakukan oleh Aus bin Shamit kepada istrinya Khaulah binti Tsa’labah.
Karena dzihar merupakan perbuatan mungkar dan dusta. Mungkar karena menyalahi aturan Allah
dalam kehidupan rumah tangga, dan dusta karena menyamakan istri dengan ibu. Sementara ibu
adalah wanita yang telah melahirkan kita.
4. Bahwa setiap hukum dan aturan syariah yang dibuat Allah SWT adalah untuk menguji kita; apakah
kita membenarkan hukum tersebut dengan melaksanakannya atau mendustakannya dengan tidak
melaksanakannya bahkan mengabaikannya. Maka hendaklah kita berusaha untuk senantiasa
melaksanakan segala hukum Allah SWT. Karena dalam ayat yang ke 4 dikatakan bahwa “bagi
orang kafir azab yang pedih” sebagai bentuk celaan terhadap orang yang melanggar syariat Allah
SWT ia sama seperti orang kafir atau sama seperti sifat orang kafir yang mengabaikan hukum Allah
SWT dan Rasul-Nya.

Wallahu A’lam bis Shawab


By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Anda mungkin juga menyukai