Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary

Artery Disease (CAD) merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika arteri

yang mensuplai darah untuk dinding jantung mengalami pengerasan dan

penyempitan (Lyndon, 2014). Arteri yang mensuplai miokardium

mengalami gangguan, sehingga jantung tidak mampu untuk memompa

sejumlah darah secara efektif untuk memenuhi perfusi darah ke organ vital

dan jaringan perifer secara adekuat. Pada saat oksigenisasi dan perfusi

mengalami gangguan, pasien akan terancam kematian. Kedua jenis

penyakit jantung koroner tersebut melibatkan arteri yang bertugas

mensuplai darah, oksigen dan nutrisi ke otot jantung. Saat aliran yang

melewati arteri koronaria tertutup sebagian atau keseluruhan oleh plak,

bisa terjadi iskemia atau infark pada otot jantung ( Ignatavicius &

Workman, 2010).

Penyakit jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di

dunia. Tahun 2010 penyakit jantung koroner mengakibatkan kematian

pada pria sebanyak 13,1 %, di prediksi tahun 2020 menjadi 14,3 % dan

14,9% pada tahun 2030. Untuk wanita kematian akibat penyakit jantung

koroner pada tahun 2010 mencapai 13,6%, dan diprediksi pada tahun 2020

mencapai jadi 13,9 % dan 14,1% pada tahun 2030 (Rilantono, 2012).
2

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama di

Amerika Serikat, Negara Eropa, Jepang dan Singapura (Rao, 2011).

Di negara Amerika Serikat diperkirakan 16.300.000 orang atau 7%

dari populasi penduduk Amerika Serikat yang berumur lebih dari 20 tahun

terdiagnosa penyakit jantung koroner. Dari angka tersebut 18,3% adalah

pria dan 6,1% adalah wanita. Di prediksi tahun 2030, 8 juta warga

Amerika serikat lainnya akan terdiagnosa penyakit jantung koroner yang

merupakan presentasi dari peningkatan sebesar 16,6% dari tahun 2010 dan

pada tahun 2011 terdapat 785.000 kasus baru penyakit jantung koroner,

sementara 470.000 merupakan kasus serangan berulang (Roger dkk.,

2011).

Berdasarkan laporan WHO (2008) Penyakit jantung menjadi

penyebab utama kematian di negara – negara Asia pada tahun 2010. Untuk

wilayah Asia Tenggara ditemukan 3,5 juta kematian penyakit

kardiovaskuler, 52% diantaranya disebabkan oleh penyakit infark miokard

(Indrawati, 2012). Di negara berkembang seperti Indonesia tingkat

kejadian terus meningkat setiap tahun. Hasil survei dari Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas, 2013) menunjukkan prevalensi penyakit jantung

koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala

adalah sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Angka

penyakit jantung koroner di wilayah Sumatera Barat mendekati prevalensi

Nasional, yaitu mencapai 1,2%.

Diantara penyakit kardiovaskuler, penyakit jantung koroner

merupakan penyebab utama kematian, kecacatan, penderitaan dan


3

kerugian materi, serta menyebabkan keterbatasan fisik dan sosial yang

memerlukan penataan kehidupan pasen, komplikasi – komplikasi yang

ditimbulkan oleh penyakit jantung koroner tidak hanya masalah bagi

pasien tapi juga pada keluarga. Jika pasien bertahan dalam serangan

pertama, masalah berikutnya kemungkinan peningkatan serangan akan

lebih besar lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan agar tidak

terjadi serangan berulang dan terjadi komplikasi, proses penyembuhan

bisa lebih cepat lagi dan meningkatkan kualitas hidup, pencegahan

dilakukan dalam bentuk pencegahan sekunder (Vandanjani, 2013).

Menurut WHO (2007) upaya pencegahan sekunder PJK terdiri dari

perubahan gaya hidup dan medikamentosa. Perubahan gaya hidup meliputi

penghentian merokok, perubahan pola makan, pengontrolan berat badan,

aktivitas fisik, dan kurangi konsumsi minuman beralkohol. Tindakan

medikamentosa terdiri dari pemberian obat antihipertensi, obat

menurunkan kadar kolesterol, antiplatelet / antikoagulan, beta bloker, obat

menurunkan gula darah. Untuk itu pencegahan sekunder sangat diperlukan

walaupun pasien telah mendapat penanganan medis terlebih dahulu.

Rekomendasi WHO (2007) mengenai tindakan pencegahan

sekunder PJK menjadi acuan dalam penanganan pasien PJK rawat jalan,

khususnya yang melakukan kontrol berkala. Mereka tidak saja

mendapatkan terapi obat – obatan yang harus teratur mereka konsumsi,

tetapi juga dianjurkan untuk melakukan tindakan pengaturan gaya hidup

secara mandiri yang bertujuan untuk meminimalisir faktor resiko yang ada

pada pasien. Pasien yang perokok aktif disarankan untuk berhenti, pasien
4

yang obesitas dan kelebihan berat badan dianjurkan untuk menurunkan

dan mengontrol berat badannya. Pasien juga harus mengubah pola makan

menjadi lebih sehat dengan mengkonsumsi makanan rendah lemak. Pasien

yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol

disarankan untuk menguranginya. Aktivitas fisik yang kurang juga harus

ditingkatkan.

Pencegahan sekunder sangat penting dilakukan seseorang dengan

riwayat pernah mendapat serangan jantung. Hal ini berhubungan dengan

kemungkinan berulangnya serangan. Penelitian Framingham yang dimuat

dalam American Heart Association tahun 2000 memprediksi resiko

kejadian serangan berulang pada pasien PJK dengan menggunakan

variabel umur, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol, status merokok,

dan ada atau tidak adanya penyakit diabetes melitus. Senada dengan

Framingham, WHO juga telah memetakan dalam sebuah grafik yang

memprediksi resiko seseorang yang terkena PJK dalam rentang waktu 10

tahun ke depan dengan variabel umur, jenis kelamin, tekanan darah, kadar

kolesterol, status merokok dan penyakit diabetes melitus.

Upaya pencegahan sekunder meliputi berbagai aktivitas atau upaya

yang dilakukan oleh penderita guna mencegah perburukan kondisi

jantungnya atau mencegah terjadinya serangan berulang. Rehabilitasi

jantung bukan hanya menjadi bagian integral dalam menangani penderita

penyakit jantung, tetapi juga merupakan aktivitas penting dalam

melaksanakan pencegahan sekunder. Secara umum konsep rehabilitasi

jantung merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup evaluasi medik,


5

penyusunan program latihan, modifikasi faktor resiko, edukasi dan

konseling disertai intervensi terhadap pola hidup tidak sehat yang dijalani

selama ini (Sani, 2012).

Pada kenyataanya upaya pencegahan tersebut belum berjalan

secara optimal terutama pada pencegahan sekunder. Kurangnya perilaku

sehat dalam hal pencegahan sekunder faktor resiko PJK menjadi salah satu

faktor penyebab berulangnya kembali pasien terkena serangan jantung.

Angka kekambuhan di Indonesia mencapai angka 29% (Kemenkes RI,

2011).

Menurut Shahsavari (2012) dalam penelitiannya mengatakan,

meskipun semua upaya dan penatalaksanaan telah dimasukkan pada

program pencegahan oleh para profesional perawatan kesehatan, ada

beberapa hambatan yang membatasi keberhasilan program, salah satunya

adalah perilaku sehat masih sangat rendah. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi perilaku pasien yaitu persepsi pasien tentang penyakitnya,

kurangnya motivasi internal yang dapat merubah perilaku tertentu. Faktor

– faktor yang mempengaruhi perilaku pasien adalah motivasi, pasien harus

diberitahu oleh sumber yang terkait, dan melibatkan dukungan keluarga

pasien dalam melakukan program rehabilitasi, salah satu upaya perubahan

perilaku dapat dilakukan dengan motivasi lewat pendidikan kesehatan.

Menurut Mattias (2014), pengetahuan tentang penyakit jantung

koroner merupakan faktor yang sangat penting dimiliki oleh pasien

penyakit jantung koroner dalam melaksanakan tindakan pencegahan

sekunder. Sangat penting bagi pasien PJK untuk memiliki pengetahuan,


6

sikap yang positif mengenai penyakit jantung koroner dan bagaimana

upaya pencegahannya (Dalusung,2010). Persepsi seseorang terhadap suatu

penyakit dapat memprediksi sejumlah perilaku sehat pada pasien dengan

penyakit kronik seperti PJK. Untuk pasien PJK, persepsi terhadap sakitnya

menunjukkan adanya hubungan dengan jumlah perilaku mencari solusi

penyembuhan. Pada pasien infark miokard dengan sejumlah gejala yang

khas akan berusaha mencari pertolongan untuk mengatasi gejalanya.

Setelah menyadari bahwa penyakitnya merupakan suatu hal yang serius,

pasien akan melakukan perubahan gaya hidup dan mengikuti program

rehabilitasi jantung (Byrne & Murphy, 2005).

Faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap tindakan

pencegahan sekunder penyakit jantung koroner adalah dukungan keluarga,

Menurut Tziallas (2010), seseorang yang mengalami infark miokard yang

dikategorikan sebagai penyakit yang berat, dapat mempengaruhi sistem

keluarga secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh peran keluarga yang

berubah karena ada anggota keluarga yang sakit. Pada saat pasien PJK

harus menjalani program rehabilitasi jantung, keluarga memainkan peran

yang dominan. Menurut Indrawati (2012) dalam penelitiannya mengatakan

bahwa pengetahuan, sikap, persepsi diri, motivasi, dan dukungan keluarga

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terlaksananya perilaku sehat

salah satunya tindakan pencegahan sekunder penyakit jantung koroner..

Rumah Sakit Umum Daerah Dr Adnan WD Payakumbuh.

merupakan RS rujukan tipe C yang setiap tahunnya terus mengalami

perkembangan dan perubahan pelayanan ke arah yang lebih baik.


7

Berdasarkan data rekam medik RSUD Dr Adanand WD Payakumbuh

diperoleh angka kunjungan pasien PJK dari tahun ke tahun. Angka

kunjungan pasien jantung koroner tahun 2014 sebanyak 988, tahun 2015

mengalami peningkatan menjadi 1.100 dan data terakhir yang didapat

bulan januari sampai Agustus 2016 adalah sebanyak 860 kunjungan

pasien.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti tanggal 14

Agustus 2016 kepada 8 orang pasien di poliklinik jantung RSUD Dr.

Adnand WD Payakumbuh. Sebelumnya pasien mengatakan telah

mendapatkan pendidikan kesehatan dari perawat mengenai penyakitnya,

Sebagian dari mereka sudah mengetahui apa itu penyakit jantung, gejala,

dan faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner, tapi walaupun

sebagian dari mereka sudah mengetahui bahaya penyakit jantung koroner,

dalam hal menerapkan perilaku sehat dalam hal ini tindakan pencegahan

masih jauh dari yang diiginkan. Keadaan tersebut dapat dilihat dari hasil

wawancara yang dilakukan kepada mereka, diketahui bahwa 5 orang

pasien laki – laki yang mempunyai riwayat merokok sebelum didiagnosa

PJK, dua orang mengatakan telah berhenti merokok, tiga orang

mengatakan belum bisa berhenti total. Data lain yang didapat, lima dari

delapan pasien mengungkapkan tidak melakukan olah raga, tiga orang

pasien mengaku berolahraga teratur 1x setiap minggunya. Dua orang

pasien mengatakan bahwa mereka sebisa mungkin mengatur pola makan

dengan menghindari konsumsi makanan yang tidak dianjurkan, sisanya


8

enam orang pasien mengaku masih mengkonsumsi makanan yang tidak

dianjurkan.

Berdasarkan fenomena di atas, dengan beragamnya tindakan pasien

PJK dalam usaha pencegahan masih jauh dari yang diinginkan. Untuk itu

peneliti tertarik untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan

dengan tindakan pencegahan sekunder Penyakit jantung koroner di

poliklinik jantung RSUD Dr Adnand WD Payakumbuh pada tahun 2016.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas yang menjadi rumusan masalah pada

penelitian ini dan pertanyaan penelitian yang ingin di cari jawabannya

adalah faktor - faktor yang berhubungan dengan tindakan pencegahan

sekunder pada pasien PJK di poliklinik jantung di RSUD Dr Adnand WD

Payakumbuh tahun 2016.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan tindakan

pencegahan sekunder penyakit jantung koroner di poliklinik jantung

RSUD Dr. Adnand WD Payakumbuh.

2. Tujuan Khusus
9

a. Mengetahui distribusi frekuensi tindakan pencegahan sekunder

pasien penyakit jantung koroner di poliklinik jantung RSUD Dr.

Adnand WD Payakumbuh.

b. Mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan pasien penyakit

jantung koroner terhadap pencegahan sekunder di poliklinik

jantung RSUD Dr Adnan WD Payakumbuh.

c. Mengetahui distribusi frekuensi sikap pasien penyakit jantung

koroner terhadap pencegahan sekunder di poliklinik jantung RSUD

Dr. Adnand WD Payakumbuh.

d. Mengetahui distribusi frekuensi persepsi pasien penyakit jantung

koroner terhadap pencegahan sekunder di poliklinik jantung RSUD

Dr. Adnand WD Payakumbuh.

e. Mengetahui distribusi frekuensi dukungan kelarga pasien penyakit

jantung koroner terhadap pencegahan sekunder di poliklinik

jantung RSUD Dr. Adnand WD Payakumbuh.

f. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan tindakan pencegahan

sekunder pada pasien penyakit jantung koroner di poliklinik

jantung RSUD Dr. Adnand WD Payakumbuh.

g. Mengetahui hubungan sikap dengan tindakan pencegahan sekunder

pada pasien PJK di poliklinik jantung RSUD Dr Adnand WD

Payakumbuh.

h. Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tindakan

pencegahan sekunder pada pasien penyakit jantung koroner di

poliklinik jantung RSUD Dr. Adnand WD Payakumbuh.


10

i. Mengetahui hubungan persepsi diri dengan tindakan pencegahan

sekunder pada pasien penyakit jantung koroner di RSUD Dr.

Adnand WD Payakumbuh.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Kesehatan

a. Untuk pengembangan srategi program deteksi dini faktor – faktor dan

edukasi secara terstruktur yang melibatkan multidisiplin ilmu

sehingga morbiditas penyakit jantung koroner dapat diturunkan,

misalnya sosialisasi penggunaan KMS-FR (Kartu menuju Sehat –

Faktor Resiko).

b. Sebagai salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan rumah sakit

dalam program promosi kesehatan terkait dengan upaya preventif

primer maupun sekunder dari faktor resiko penyakit jantung koroner.

2. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan

a. Diharapkan hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan rujukan

atau perbandingan untuk penelitian selanjutnya, tentang upaya

peningkatan pemahaman dan perubahan perilaku dalam melakukan

tindakan pencegahan sekunder penyakit jantung koroner.

b. Sebagai masukan bagi ilmu keperawatan serta meningkatkan wawasan

pengetahuan dan sikap dalam memberikan pendidikan kesehatan serta

memotivasi pasien penyakit jantung koroner agar melakukan

pencegahan sekunder penyakit jantung koroner.

3. Bagi Peneliti
11

Penelitian ini merupakan sarana untuk melatih diri dan berfikir secara

ilmiah serta aplikasi ilmu tentang riset keperawatan.

4. Bagi pasien Penyakit jantung koroner

Untuk meningkatkan kewaspadaan Pasien Penyakit jantung koroner,

supaya tidak terjadi kekambuhan dan terhindar dari komplikasi penyakit

jantung koroner yang dapat berdampak buruk terhadap pasien tersebut.


12

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Penyakit Jantung Koroner

1. Definisi

Penyakit jantung koroner adalah penyakit yang ditimbulkan ketika

arteri yang mensuplai darah untuk dinding jantung mengalami pengerasan

dan penyempitan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya pasokan oksigen

dan zat gizi ke jaringan miokard karena terbatasnya aliran darah koroner.

Berkurangnya aliran darah dapat mengakibatkan terjadinya sindrom

koroner yang meliputi angina dan miokard infark (Lyndon, 2014).

Menurut WHO (2007) penyakit jantung koroner adalah

ketidaksanggupan jantung, akut maupun kronik yang timbul akibat

kekurangan suplai darah pada miokardium sehubungan dengan proses

penyakit pada sistem nadi koroner. Menurut American Heart Assosiation

(2000) penyakit jantung koroner merupakan kelainan pada satu atau lebih

pembuluh darah arteri koroner dimana terdapat penebalan dinding dan

pembuluh darah disertai adanya plak yang akan mengganggu aliran darah

ke otot jantung, kemudian terjadi kerusakan yang mengakibatkan

gangguan fungsi jantung.

Arteri yang mensuplai miokardium mengalami gangguan, sehingga

jantung tidak mampu untuk memompa sejumlah darah secara efektif untuk

memenuhi perfusi darah ke organ vital dan jaringan perifer secara adekuat.

Pada saat oksigenisasi dan perfusi mengalami gangguan, pasien akan


13

terancam kematian. Penyakit jantung koroner meliputi angina stabil kronik

dan sindrom koroner akut. Kedua jenis penyakit jantung koroner tersebut

melibatkan arteri yang bertugas mensuplai darah, oksigen dan nutrisi ke

otot jantung. Saat aliran yang melewati arteri koronaria tertutup sebagian

atau keseluruhan oleh plak, bisa terjadi iskemia atau infark pada otot

jantung ( Ignatavicius & Workman, 2010).

2. Patofisiologi

Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol berlemak tertimbun di

intima arteri besar. Timbunan ini, dinamakan ateroma atau plak yang akan

mengganggu absorbsi nutrien oleh sel – sel endotel yang menyusun lapisan

dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah karena

timbunan ini menonjol ke lumen pembuluh darah. Endotel pembuluh darah

yang terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut,

selanjutnya lumen akan menjadi semakin sempit dan aliran darah

terhambat. Pada lumen yang menyempit dan berdinding kasar, akan

cendrung terjadi pembekuan darah. Pembentukan trombus pada

permukaan plak; konsolidasi trombus akibat efek febrin; perdarahan ke

dalam plak; dan penimbunan lipid terus – menerus. Bila fibrosa

pembungkus plak pecah, maka debris lipid akan mengalir dalam aliran

darah dan menyumbat arteri dan kapiler disebelah distal plak yang pecah.

Struktur anatomi arteri koroner membuatnya rentan terhadap mekanisme

aterosklerosis. Arteri tersebut berpilin dan berkelok – kelok saat memasuki

jantung, menimbulkan kondisi yang rentan untuk terbentuknya ateroma

(Urden, et al. 2013).


14

3. Manifestasi klinis

Kerusakan sel akibat iskemia terjadi dalam berbagai tingkat.

Manifestasi utama iskemia miokardium adalah nyeri dada, perubahan pola

Elekro Kardiografi (EKG), aneurisma ventrikel, disritmia, dan kematian

mendadak. Manifestasi lain dari penyakit jantung koroner adalah sesak

nafas, kelelahan, adanya perasaan berdebar – debar, pusing dan pingsan,

kebiru – biruan pada bibir, jari tangan dan kaki, dan keringat dingin secara

mendadak, dan lainnya seperti mual dan perasaan cemas (Smeltzer &

Bare, 2002).

Interpretasi hasil tes yang dapat dilihat pada pasien penyakit

jantung koroner adalah kimia darah dan elektrokardiogram selama sakit.

Hasil tes kimia darah meliputi; total kolesterol naik, lipoprotein jenuh

(HDL) turun, lipoprotein tak jenuh (LDL) naik. Hasil gambaran

elektrokardiogram selama sakit meliputi; intervensi T-wave sebagai tanda

– tanda ischemia, ST segment depressed sebagai tanda – tanda cedera pada

otot, dan Waves tertekan karena cedera jaringan (DiGiulio, 2014).

4. Etiologi

Penyakit aterosklerosis disebabkan akibat kelainan metabolisme

lipid, koagulasi darah, dan keadaan biofisika serta biokimia dinding arteri.

Kajian epidemiologis menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang

mendahului atau menyertai penyakit jantung koroner. Kondisi tersebut

dinamakan faktor resiko karena satu atau beberapa diantaranya dapat

meningkatkan resiko seseorang untuk mengalami penyakit jantung

koroner. Faktor resiko ada yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang
15

tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi dapat

dikontrol dengan mengubah gaya hidup atau kebiasaan pribadi. Faktor

resiko yang tidak dapat dimodifiksi merupakan konsekuensi genetik yang

tidak dapat dikontrol (Smeltzer & Bare, 2002).

5. Klasifikasi

Penyakit jantung koroner meliputi angina stabil kronik dan

sindrom koroner akut. Kedua jenis penyakit jantung koroner tersebut

melibatkan arteri yang bertugas mensuplai darah, oksigen dan nutrisi ke

otot jantung. Saat aliran yang melewati arteri koronaria tertutup sebagian

atau keseluruhan oleh karena plak, bisa terjadi iskemia atau infark pada

otot jantung ( Ignatavicius & Workman, 2010).

Literatur terbaru mulai mengkategorikan angina tidak stabil, infark

miokardium non elevasi segmen ST, dan infark miokardium elevasi

segmen ST secara bersamaan. Perubahan ini disebabkan oleh modalitas

terapi umum yang ditetapkan untuk kondisi tersebut. Secara kolektif

kondisi tersebut disebut Sindrom Koroner Akut. Ingat hal ini ketika

membaca dua bagian (angina dan infark miokardium) karena istilah ini

sering digunakan dalam tatanan klinis (Stillwell, 2012).

a. Angina stabil kronik

Angina stabil kronik adalah nyeri dada yang terjadi sebentar

dalam periode lama dengan frekuensi, durasi dan intensitas gejalanya

sama dengan nyeri dada yang dirasakan sebelumnya. Nyeri yang


16

dirasakan didada atau rasa tidak enak di dada, rahang, bahu, punggung

atau lengan yang berkaitan dengan kurangnya aliran darah ke jantung,

tanpa disertai kerusakan sel – sel jantung. Biasanya angina stabil

kronik dicetuskan oleh suatu aktivitas fisik atau stress emosi dan

hilang dengan obat nitrat dan istirahat (Ignatavicius & Workman,

2010).

Angina pektoris adalah nyeri dada yang timbul karena iskemia

miokard, terjadi bila suplai oksigen tidak dapat memenuhi

kebutuhan.Angina pektoris stabil merupakan sindrom klinik yang

ditandai dengan rasa tidak nyaman di dada atau substernal agak ke

kiri, yang menjalar ke leher, rahang, bahu atau punggung kiri, sampai

dengan lengan kiri dan jari – jari bagian luar. Kualitas nyeri pada

angina pektoris stabil biasanya tumpul seperti rasa tertindih atau berat

didada yang terjadi karena ketidak seimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen akibat sumbatan kronis plak ateroma

(aterosklerosis) pada arteri koroner. Nyeri tidak berhubungan dengan

gerakan dada ke kiri dan ke kanan. Keluhan khas nyeri dada

berlangsung kurang dari 20 menit (Rilantono, 2012).

Penatalaksanaan angina pektoris berupa penanganan faktor –

faktor resiko dengan perbaikan pola hidup serta pengobatan

farmakologis yang meliputi aktivitas fisik, kontrol berat badan,

berhenti merokok dan hindari paparan asap rokok, kendalikan tekanan

dara dengan modifikasi gaya hidup, manajemen lipid. Pengobatan

farmakologis berupa obat antiplatelet, penyekat beta, inhibitor ACE


17

dan Angiotensin-resceptor bloker (ARB), dan nitrat – nitroglicerin

sublingual atau spray (Rilantono, 2012).

b. Sindrom koroner akut

Sindrom koroner akut digunakan untuk menggambarkan pasien

yang memiliki angina tidak stabil atau infark miokard akut. Pada

sindrom koroner akut plak aterosklerosis didalam arteri koroner pecah

yang akan mengakibatkan agregasi platelet, pembentukan trombus,

dan terjadi vasokontriksi. Jumlah gangguan dari plak aterosklerosis

menentukan derajat obstruksi arteri koroner dan proses penyakit

tertentu. Akumulasi plak pada arteri minimal 40% dapat menghambat

aliran darah (Ignatavicius & Workman, 2010).

Sindrom koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG, yaitu

dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST

(NSTEMI), dan angina pektoris tidak stabil. Klasifikasi ini akan

mempercepat dan mempermudah identifikasi pasien stemi, oklusi total

arteri koroner, yang memerlukan revaskularisasi segera.

1) Angina Pektoris Tidak Stabil

Angina pektoris adalah nyeri dada atau rasa

ketidaknyamanan yang terjadi saat istirahat ataupun beraktivitas

yang menyebabkan keterbatasan aktivitas. Peningkatan jumlah

serangan dan intensitas nyeri menunjukkan angina tidak stabil

(Ignatavicius & Workman, 2010).


18

Manifestasi klinis dari angina pektoris tidak stabil adalah

iskemia otot jantung yang akan menyebabkan nyeri dengan derajat

yang berbeda, mulai dari rasa tertekan pada dada atas sampai nyeri

hebat yang disertai rasa takut atau rasa akan menjelang ajal. Nyeri

tersebut sangat terasa pada dada di daerah belakang sternum atau

sternum ketiga tengah, dapat menyebar ke leher, dagu, bahu, dan

aspek dalam ekstremitas atas. Sakit dada biasanya timbul saat

melakukan aktivitas dan hilang saat istirahat dengan lama serangan

berlangsung satu sampai lima menit (Muttaqin. 2012).

Faktor – faktor yang Dapat Menimbulkan Nyeri pada

Angina (Smeltzer & Bare, 2002, dalam Muttaqin, 2012) adalah

latihan fisik, pajanan terhadap dingin, makan makanan berat, stress

atau berbagai emosi akibat situasi yang menegangkan.

Penatalaksanaan angina yaitu untuk menurunkan kebutuhan

oksigen jantung dan untuk meningkatkan suplai oksigen. Adapun

penatalaksanaan medisnya adalah; Pengobatan serangan akut

nitrogliserin sublingual yang berfungsi melebarkan vena dan

arteri sehingga mempengaruhi sirkulasi perifer; Pencegahan

serangan lanjutan seperti long acting nitrat, yaitu ISDN 3x10-40

mg oral, Beta bloker; proanolol; Pemberian oksigen dua sampai

empat liter; Aspirin untuk efek antiplatelet; Pemberian analgesik,

umumnya morfin melalui urat nadi selama sakit akut, yang

bertindak sangat cepat jika diberikan dengan cara ini dan akan

menurunkan permintaan oksigen otot jantung dan mengurangi


19

sakit. Berdasarkan rekomendasi AHA/ACC Guideline, 2006 untuk

pasien PJK diberikan ACE inhibitor. Beta blokers diberikan pada

pasien ACS (Acut Coronary Syndrome), infark miokard atau

gangguan ventrikel kiri; Tindakan invasif: PTCA ( Percutaneus

Transluminal Coronary Angioplasty), Laser coronary angioplasty,

dan CABG (Coronary Artery Bypass Grafting); Perubahan gaya

hidup dan aktivitas, Pasien yang sudah pernah dirawat denga

gangguan vaskularisasi seperti angina atau infark miokard harus

melakukan perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok,

mengontrol tekanan darah, kontrol diit untuk mengendalikan kadar

kolesterol dan melakukan aktivitas latihan serta manajemen stress.

2) Infark Miokardium

Infark miokardium akut (IMA) adalah proses rusaknya

jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga

aliran darah koroner berkurang dan terjadi nekrosis miokard (Perki,

2004 dalam Muttaqin, 2012).

Menurut Ridwan (2009), penyebab infark miokard terdiri

dari faktor penyebab dan faktor predisposisi sebagai berikut;

Faktor pembuluh darah (aterosklerosis, spasme dan arttritis);

Faktor sirkulasi (hipotensi, stenosis aorta dan insufisiensi);

Faktor darah: anemia, hipoksemia, dan polisitemia; Curah jantung

meningkat akibat aktifitas berlebihan, emosi, makan terlalu

banyak dan hipertiroidisme; Kebutuhan oksigen di miokardium

meningkat pada kerusakan miokardium, hipertropi miokard dan

hipertensi diastolik.
20

Gejala utama infark miokard adalah nyeri dada yang tiba –

tiba dan berlangsung terus – menerus, terletak dibagian bawah

sternum dan perut atas. Nyeri akan terasa semakin berat sampai

tidak tertahankan dan nyeri akan menyebar ke bahu dan lengan,

biasanya lengan kiri. Nyeri disertai dengan nafas pendek, pucat,

berkeringat dingin, pusing, mual serta muntah. Nyeri berlangsung

lebih lama dibandingkan dengan nyeri angina, biasanya lebih dari

30 menit.

Menegakkan diagnosis infark miokardium adalah ; EKG

yaitu gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan inversi

gelombang T; Mioglobin dan troponin I meningkat, dan fraksi CK-

MB positif. Penatalaksanaan pada serangan akut yang terbaik

adalah di ruang intensive cardiac care unit (ICCU). Aritmia

mungkin akan dapat dideteksi oleh perawat yang terampil dalam

membaca EKG, sehingga penanganan yang tepat dapat diberikan.

Jalur intravena di pasang untuk memudahkan akses dalam

memberikan obat – obatan emergensi.

Penanggulangan rasa nyeri harus dilakukan sedini

mungkin untuk mencegah aktivasi saraf simpatis, karena aktivasi

saraf simpatik ini dapat menyebabkan takikardi, vasokintriksi dan

peningkatan tekanan yang dapat memperberat beban jantung.

Penatalaksanaan medis pada fase serangan akut (Muttaqin, 2012)

sebagai berikut; Penanganan nyeri dapat berupa terapi farmakologi

yaitu morphin sulfat, nitrat dan beta bloker; Penanganan untuk


21

membatasi ukuran infark miokardium yang dilakukan dengan

meningkatkan suplai darah dan oksigen ke jaringan miokardium

dan untuk memelihara, mempertahankan, dan untuk memulihkan

sirkulasi. Keempat golongan utama terapi farmakologi yang

diberikan adalah antikoagulan, trombolitik, antilipemik dan

vasodilator perifer; Pemberian oksigen; Pembatasan aktivitas fisik.

Penatalaksanaan pada jangka panjang (Muttaqin, 2012)

meliputi; Pemberian diuretik, biasanya menggunakan derivat

Chlorodiatiazide 50mg setiap pagi; Pemberian Nitrat secara

sublingual sangat efektif untuk pencegahan serangan angina;

Memperpanjang masa istirahat; Cardiac catherization; Percutaneus

Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA).

B. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Faktor resiko tersebut terdiri dari faktor resiko yang dapat

dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang

dapat dimodifikasi antara lain merokok, dislipidemia, obesitas, kurang

aktivitas fisik, pola makan, dan stress. Faktor resiko yang tidak dapat

dimodifikasi berupa pertambahan usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dan

ras (Terry & Weaver, 2013).

1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Riwayat PJK dalam keluarga


22

Faktor keturunan yang tidak bisa diubah dapat memberikan

gambaran klinis awal, misalnya pada penyempitan koroner 50% sudah

dapat menyebabkan serangan akut pada unur muda (Djusi, 2008).

Riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga (yaitu saudara laki

– laki atau orang tua yang menderita penyakit itu sebelum usia 50

tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur.

Keturunan dari seorang penderita penyakit jantung koroner prematur

diketahui menyebabkan perubahan dalam penanda aterosklerosis

awal, misal reaktivitas arteri brakhialis dan peningkatan tunika intima

arteri karotis dan penebalan tunika media. Adanya hipertensi,

peningkatan homosistein dan peningkatan lipid, ditemukan pada

individu tersebut. Penelitian yang sudah ada dilakukan mengatakan

bahwa adanya riwayat dalam keluarga mencerminkan suatu

predisposisi genetik terhadap disfungsi endotel dalam arteri koronaria

(Brown dalam Price, Wilson, 2005).

b. Peningkatan Usia

Kerentanan terhadap arterosklerosis koroner meningkat dengan

bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia

40 tahun. Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin

hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap

faktor – faktor arteriogenesis (Muttaqin, 2012). Prevalensi PJK

meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada

kelompok 65 – 74 tahun yaitu 2 % dan 3,6%, dan menurun sedikit

pada kelompok umur ≥ 75 tahun (Riskesdas 2013).


23

c. Jenis kelamin

Penyakit jantung koroner terjadi tiga kali lebih sering pada pria

dibanding wanita (Smeltzer & Bare, 2002). Wanita memiliki resiko

yang lebih rendah terhadap penyakit jantung koroner sampai setelah

menopause dan kemudian memiliki resiko yang sama besar dengan

pria. Estrogen dianggap sebagai hormon yang memberikan imunitas

pada wanita sebelum menopause (Price & Wilson,1995 dalam

Muttaqin, 2012).

2. Faktor resiko yang dapat di modifikasi

a. Peningkatan Tekanan Darah

Terjadinya peningkatan tekanan darah yang melebihi

normal adalah faktor resiko yang paling membahayakan karena tidak

menunjukkan gejala sampai menjadi lanjut. Tekanan darah yang

tinggi menyebabkan tingginya gradien tekanan yang harus dilawan

oleh ventrikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus

menerus menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat

dan mulailah terjadi nyeri sehubungan dengan penyakit arteri koroner

(Smeltzer & Bare, 2002).

b. Merokok
24

Resiko penyakit jantung koroner pada perokok dua sampai

empat kali lebih besar dari pada yang bukan perokok. Kandungan zat

racun dalam rokok antara lain tar, nikotin dan karbonmomoksida.

Rokok dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung,

peningkatan tekanan darah dan nadi, penurunan kadar darah kolesterol

HDL, peningkatan penggumpalan darah dan kerusakan endotel

pembuluh darah koroner (Smeltzer & Bare, 2002).

Orang yang telah berhasil menghentikan kebiasaan

merokok dapat menurunkan resiko penyakit jantung koroner sampai

50% pada tahun pertama. Pajanan terhadap rokok secara pasif

sebaiknya dihindari karena tetap dapat memperberat penyakit jantung

paru yang sudah ada (Smeltzer & Bare 2002).

c. Hiperglikemia

Hubungan antara tingginya kadar glukosa dan meningkatnya

penyakit jantung koroner telah terbukti. Hiperglikemia menyebabkan

peningkatan agregasi trombosit, yang dapat menyebabkan

pembentukan trombus (Smeltzer & Bare, 2002).

d. Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai kelebihan berat badan 20% di atas

berat badan normal. Obesitas abdominal dengan kriteria lingkar

pinggang ˃ 94 cm untuk pria dan ˃ 80 cm untuk wanita. Seseorang

yang mengalami kegemukan kemungkinan menjadi penderita PJK

dua kali lipat dari pada seseorang yang memiliki berat badan normal,

selain itu obesitas juga berhubungan dengan peningkatan kadar low


25

density lipoprotein (LDL) yang mempercepat terjadinya aterosklerosis

(Soeharto, 2001).

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)

merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi

orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan

kelebihan berat badan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat

dihitung dengan rumus berikut :

Berat Badan (Kg)

IMT = -----------------------------------

(Tinggi Badan (cm) / 100)²

Tabel 2.2. Batas ambang IMT untuk Indonesia sebagai berikut:

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat ˂ 17,0

Kurus Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat berat ˃ 27,0

Sumber : Depkes (2003)

e. Inaktivitas Fisik

Inaktivitas fisik menaikkan resiko terjadinya penyakit

jantung koroner melalui berbagai mekanisme. Kebugaran yang rendah

dapat menyebabkan lipoprotein densitas tinggi atau High Density

Lipoprotein (HDL) plasma yang menurun, tingkat tekanan darah yang


26

lebih tiggi, dan retensi insulin, serta obesitas. Tingkat kebugaran yang

sedang hingga tinggi berkaitan dengan penurunan mortalitas penyakit

jantung koroner (Aaronson & Ward, 2010). Latihan telah diketahui

dapat meningkatkan HDL, yang pada gilirannya membantu proses

metabolisme dan membantu penentuan kadar lipoprotein densitas

rendah atau Low Density Lipoprotein (LDL), stress dan perilaku

tertentu diyakini mempengaruhi patogenesis penyakit jantung koroner

(Smeltzer & Bare, 2002).

f. Stress

Stress dan perilaku tertentu dapat mempengaruhi

patogenesis penyakit jantung koroner. Penelitian psikologis dan

epidemiologis menunjukkan perilaku seseorang yang rentan terhadap

penyakit jantung koroner; ambisius, kompetitif, selalu tergesa, agresif,

dan kejam. Orang yang menunjukkan kepribadian ini diklasifikasikan

sebagai rentan koroner tipe A. Selain menurunkan faktor resiko lain

(merokok, lemak), orang seperti ini harus berusaha merubah gaya

hidup dan kebiasaanya dalam jangka panjang (Smeltzer & Bare,

2002).

C. Pencegahan Penyakit Jantung Koroner


27

Tujuan utama dalam mengidentifikasi dan mengurangi faktor

resiko adalah untuk mencegah penyakit jantung koroner. Pencegahan bisa

bersifat primer dan bisa bersifat sekunder (Urden, et al. 2012).

1. Pencegahan Primer

Yaitu dengan melakukan promosi dan prevensi primer dalam

mendeteksi dan mengendalikan faktor – faktor resiko kardiovaskuler.

Tenaga kesehatan harus aktif menjelaskan kepada masyarakat tentang

pola hidup sehat, yang meliputi stop merokok, mendorong pola hidup

aktif, serta mengkonsumsi makanan sehat dan seimbang. Hal yang

menguntungkan pada pencegahan primer adalah kemampuan untuk

memberi pengobatan pada individu dengan resiko tinggi sebelum

timbulnya gejala klinis pada indiviu tersebut.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah tindakan untuk mengurangi faktor

resiko bagi mereka yang mengidap PJK, ada plak diarteri atau telah

mengalami serangan jantung. Orang dengan pnyakit jantung ataupun

setelah tindakan revaskularisasi berisiko untuk serangan berulang (Urden

et al. 2012).

Pencegahan sekunder penting dilakukan karena hal berikut ini

(Majid,2007):

a) Individu yang sudah pernah, atau sudah terbukti menderita PJK,

cendrung untuk mendapat sakit jantung lagi, lebih besar

kemungkinannya dibandingkan orang yang belum pernah.


28

b) Proses aterosklerosis yang mendasari PJK, bisa saja terjadi pada

pembuluh darah organ lain di otak yang menimbulkan

cerebrovaskular disease (stroke), pada aorta atau arteri karotis, arteri

perifer. Oleh sebab itu pencegahan sekunder untuk PJK merupakan

pencegahan primer untuk penyakit aterosklerosis lainnya.

c) Pencegahan sekunder belum sepenuhnya mendapatkan perhatian dari

kalangan praktisi kesehatan.

Rekomendasi yang dikeluarkan WHO (2007) untuk mencegah hal

tersebut dengan mengurangi faktor resiko yang meliputi penghentian

merokok, pengaturan diet, aktivitas fisik, pengontrolan berat badan,

terapi obat – obatan. Ringkasan tindakan pencegahan dan

rekomendasi ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 2.3 Tindakan Pencegahan Sekunder

Tindakan Pencegahan Rekomendasi

Penghentian merokok Semua pasien PJK harus diupayakan berhenti


merokok baik dengan bantuan tenaga
kesehatan maupun dengan metode lainnya.
Terapi penggantian nikotin disarankan bagi
pasien yang tetap merokok 10 batang rokok
perhari atau lebih yang menandai
ketergantungan nikotin, penggunaan obat
antidepresan untuk menghentikan kebiasaan
merokok secara umum tidak dianjurkan untuk
pasien PJK. Pasien PJK yang tidak merokok
sedapat mungkin harus menghindari paparan
asap rokok.
Pengaturan diit Pasien disarankan untuk mengubah pola
asupan makanannya untuk mengurangi resiko
berulangnya serangan. Total asupan lemak
total harus diturunkan < 30% kalori.
Konsumsi lemak jenuh < 10%, dan asam
lemak trans sedapat mungkin dihindari.
Konsumsi lemak yang dianjurkan adalah
lemak tak jenuh berganda ( 10% kalori).
29

Mengurangi penggunaan garam menjadi ,5%


gr atau 90 mmol perhari. Meningkatkan
konsumsi sayur dan buah sekurang kurangnya
400 gr setiap harinya.
Aktivitas fisik Aktivitas fisik dengan intensitas ringan
sampai sedang direkomendasikan. Jika
memungkinkan adanya program latihan yang
terstruktur.
Pengontrolan berat Pasien dengan berat badan berlebih atau
badan obesitas harus menurunkan berat badannya.
Pasien dengan berat badan normal harus
dikontrol.
Kurangi konsumsi Untuk yang mempunyai kebiasaan
alkohol mengkonsumsi alkohol, kurangi (berhenti)
konsumsi alkohol....
Terapi Obat – obatan Antihipertensi, penurunan lipid, penurunan
gula darah, anti platelet, ACE inhibitor, dan
Beta blokers
Sumber : Worid Health Organization (2007)

Tabel 2.4 Rekomendasi Terapi Obat - Obatan Pasien PJK

Tipe Obat Obat Dosis Harian

ACEI Captopril Dosis awal 6,25 mg - 12,5 mg


(Angiotensin 3x/hari ditingkatkan 25 – 50
Converting Enalapril mg 3x/hari
Enzym Inhibition) Dosis awal 2,5 mg – 5,0 mg
2x/hari ditingkatkan menjadi
10 – 20 mg 2x/hari
CCBs (Calsium Nifedipin Dosis awal 30 mg,
Chanel Blokers) ditingkatkan menjadi 120 mg
perhari
Thiazide diuretics Hydrocholorothiazide Mulai 12,5 mg yang
ditingkatkan menjadi 25 mg
1x/hari
Bendrofluazide 2,5 mg dosis harian
Beta Blokers Propanolol 80 mg 2x/hari
Atenolol Mulai 50 mg, yang
ditingkatkan menjadi 100 mg
1x/hari.
Metoprolol 50 – 100 mg 2x/hari

Terapi Simvastatin Dosis awal 10 mg 1x/ hari


menurunkan lipid dimalam hari, ditingkatkan
menjadi 40 mg
Terapi anti Aspirin Mulai 75 – 100 mg/hari
platelet
30

Obat penurun Glibenclamid Mulai dari 2,5 mg,tingkatkan


gula darah menjadi 5 mg 2x/hari sebelum
makan
Metformin Mulai dari 0,5 tingkatkan
menjadi 1,0 gr 3x/ hari
Sumber : World Health Organization (2007)

Pencegahan penyakit jantung koroner menurut Ignatavicius (2010)

meliputi menghentikan merokok bagi yang tidak merokok, dan yang tidak

merokok tidak boleh untuk memulainya, mengkonsumsi kalori yang cukup

untuk tubuh, mengurangi makanan lemak jenuh kurang dari 7%,

menghindari asam lemak trans, membatasi asupan kolesterol kurang dari

200 mg, membatasi asupan natrium yang sudah ditentukan oleh petugas

kesehatan, jika lipid meningkat diperiksa secara teratur, mengikuti saran

dokter jika kadar kolesterol dan LDL tinggi, jika umur lebih 50 tahun atau

memiliki riwayat masalah kesehatan sebaiknya memeriksakan kondisi

kesehatan ke dokter sebelum memulai program latihan, olah raga yang

tepat harus menyenangkan dan dapat membakar 400 kalori setiap sesi, dan

mempetahankan denyut jantung 120 – 150 kali permenit, memperhatikan

periode latihan dengan waktu 20 – 30 menit dengan 10 menit pemanasan

dan 5 menit pendinginan, jika tidak berolah raga, cukup 3 -5 kali setiap

minggu berjalan setiap hari selama 30 menit pada kecepatan yang nyaman,

mengelola diabetes dengan dokter, memeriksa tekanan darah secara

teratur, jika darah meningkat ikuti saran dokter, monitor tekanan darah

secara berkelanjutan secara berkala, bagi yang obesitas dianjurkan untuk

diet ketat dan membatasi asupan lemak jenuh, gula sedang, membatasi

makanan tinggi kolesterol, dan meningkatkan aktivitas fisik.


31

D. Konsep Perilaku

1. Defenisi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2012) menerangkan bahwa perilaku

manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain ; berjalan, berbicara,

menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.

Dengan kata lain perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas

manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati

oleh pihak luar.

Tribowo dan puspandani (2015) menjelaskan bahwa perilaku

merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang dalam

melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan

karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada hakikatnya

adalah tindakan atau aktivitas dari manusia baik yang diamati langsung

maupun tidak dapat diamati oleh interaksi manusia dengan

lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan

tindakan.

Perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang berasal dari dua

faktor utama yakni : faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) dan

faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Faktor

eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik,

dan nonfisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan

sebagainya. Faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku

seperti perhatian, motivasi, persepsi, inteligensi, fantasi, dan sebagainya.


32

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk

dibatasi karena perilaku mencakup berbagai faktor, baik internal maupun

eksternal (lingkungan). Dari berbagai determinan perilaku manusia,

banyak ahli telah merumuskan teori – teori atau model – model

terbentuknya perilaku. Dari berbagai teori dapat ditarik kesimpulan

bahwa perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai

gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,

motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010)

2. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang

baik yang diamati maupun yang tidak dapat dapat diamati yang berkaitan

dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan

kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan

masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari

penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.

Perilaku pencegahan sekunder terhadap faktor resiko penyakit

jantung koroner merupakan salah satu bentuk upaya perilaku sehat.

Perilaku sehat atau kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan upaya

mempertahankan dan meningkatkan kesehatan menurut Becker (1979)

dalam Notoatmodjo (2012) antara lain :

a. Makan dengan menu seimbang, menu seimbang di sini adalah pola

makan sehari – hari yang memenuhi kebutuhan nutrisi yang

memenuhi kebutuhan tubuh baik secara jumlah maupun jenisnya.


33

b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup, kegiatan fisik disini tidak

harus olahraga. Bagi seseorang yang pekerjaannya memang sudah

memenuhi gerakan – gerakan fisik secara rutin dan teratur,

sebenarnya sudah dapat dikategorikan berolahraga. Bagi seseorang

yang pekerjaannya tidak melakukan kegiatan fisik seperti manajer,

administrator, sekretaris, dan sebagainya memerlukan olahraga

secara teratur.

c. Tidak merokok dan minum – minuman keras serta menggunakan

narkoba. Merokok adalah kebiasaan yang tidak sehat, namun di

Indonesia jumlah perokok cendrung meningkat.

d. Istirahat yang cukup, istirahat cukup bukan saja berguna untuk

memelihara kesehatan fisik, tetapi juga untuk kesehatan mental.

Dengan berkembangnya iptek dewasa ini, juga memacu orang untuk

meningkatkan kehidupannya.

e. Pengendalian atau manajemen stres, stres adalah bagian dari

kehidupan setiap orang, tanpa pandang bulu. Stress tidak dapat

dihindari oleh siapa saja, namun yang dapat dilakukan adalah

mengatasi, mengendalikan atau mengelola stres tersebut agar tidak

mengakibatkan gangguan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun

kesehatan mental.

f. Perilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan, yang

intinya adalah tindakan atau perilaku seseorang agar dapat terhindar

dari berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan.


34

3. Faktor – Faktor yang berhubungan dengan tindakan pencegahan

sekunder faktor resiko PJK

Menurut Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010)

terdapat tiga ranah domain perilaku, yakni kognitif, affektive, dan

psikomotor. Kemudian oleh ahli pendidikan Indonesia diterjemahkan ke

dalam tiga domain perilaku yaitu pengetahuan, sikap, dan perilaku /

tindakan.

Perilaku pencegahan sekunder terhadap faktor resiko yang dapat

diubah merupakan sebuah perilaku atau tindakan untuk mengubah gaya

hidup yang tidak sehat ke gaya hidup yang sehat. Menurut Green (2000)

terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor – faktor

predisposisi yaitu faktor – faktor yang mempermudah terjadinya perilaku

seseorang, faktor – faktor pemungkin yaitu faktor – faktor yang

memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan, dan

faktor – faktor penguat yaitu faktor – faktor yang mendorong atau

memperkuat terjadinya perilaku.

Faktor predisposisi mencakup pengetahuan individu, sikap,

kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur – unsur lain yang terdapat

dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung ialah tersedianya

sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya,

sedangkan faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan

serta keluarga, motivasi dan persepsi

1. Pengetahuan Pasien Penyakit Jantung Koroner

a. Definisi Pengetahuan
35

Menurut Notoatmodjo (2010), Pengetahuan adalah hasil

dari tahu da terjadi setelah orang melakukan penginderaan pada

suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,

dan raba. Pengetahuan adalah domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari

pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan.

Lebih lanjut Notoatmodjo (2012) menjelaskan pengetahuan

dapat diukur melalui wawancara atau angket yang menanyakan

tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau

kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan – tingkatan seperti

tahu (Know), memahami (comprehension), aplikasi (application),

analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).

Menurut Crouch (2008) menyatakan bahwa pasien PJK

yang belum terinformasikan secara adekuat akan mempengaruhi

pemahaman dan pengetahuan tentang PJK.

b. Tingkat Pengetahuan

Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan dalam

domain kognitif mencakup enam tingkatan yaitu :

1) Tahu (Know)
36

Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah,

yang diartikan sebagai mengingat hal yang sudah dipelajari

sebelumnya.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan

dan menginterpretasikan secara benar tentang objek yang

diketahui.

3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi

atau hal yang telah kita pelajari pada situasi atau kondisi yang

sebenarnya.

4) Analisis (Analisis)

Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan suatu

objek ke dalam komponen – komponen.

5) Sintesis (Sinthesis)

Sintesis merupakan suatu kemampuan meletakkan atau

menghubungkan bagian – bagian ke suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu objek.

2. Pengukuran Pengetahuan
37

Menurut Skinner dalam Budiman & Riyanto (2013), bila

seseorang mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara

lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang mengetahui

bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut

dinamakan pengetahuan. Pengukuran bobot pengetahuan seseorang

ditetapkan menurut hal – hal sebagai berikut :

1) Bobot I : tahap tahu dan pemahaman

2) Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, dan analisis

3) Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,

dan evaluasi.

Menurut Arikunto (2006) dalam Budiman & Riyanto (2013)

kategori tingkat pengetahuan bisa dikelompokkan menjadi dua

kelompok, yaitu sebagai berikut :

1. Tingkat pengetahuan kategori baik jika nilainya > 75%

2. Tingkat pengetahuan kategori kurang baik jika nilainya ≤ 75%.

2. Sikap

a. Definisi Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap stimulasi atau objek. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi

tindakan suatu perilaku dan merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap suatu objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap suatu objek tersebut (Notoatmodjo, 2012).


38

Menurut Azwar (1995) dalam Notoatmodjo (2010)

menyatakan Sikap dikategorikan menjadi tiga orientasi pemikiran

yaitu berorientasi pada respons, berorientasi pada kesiapan respon,

dan berorientasi pada skema triadik. Sikap berorientasi pada respons

adalah perasaan mendukung atau memihak atau tidak memihak

pada suatu objek. Sikap berorientasi pada kesiapan respon adalah

kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara – cara

tertentu.

b. Sifat sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif

adalah sikap yang menunjukkan penerimaan, pengakuan,

menyetujui, menyenangi suatu objek tertentu. Hasil akhir dari

sikap positif adalah sikap yang mengarah pada tindakan yang

benar. Sikap negativ adalah sikap yang menunjukkan penolakan

atau tidak menyetujui suatu objek tertentu, yang mengarah pada

tindakan yang salah.

c. Komponen Sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) sikap

itu terdiri dari tiga komponen pokok, yakni:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek,

artinya bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran

seseorang terhadap objek. Sikap pasien terhadap perilaku

pencegahan sekunder faktor resiko misalnya, berarti


39

bagaimana pendapat atau keyakinan pasien PJK terhadap

perilaku pencegahan supaya tidak terjadi kekambuhan dan

serangan berulang.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek,

artinya bagaimana penilaian (terkandung didalamya faktor

emosi) orang tersebut terhadap objek. Seperti contoh

bagaimana Pasien PJK menilai terhadap perilaku pencegahan

sekunder, apakah pencegahan sekunder penting dilakukan

atau tidak.

3. Kecendrungan untuk bertindak, artinya sikap adalah

komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka

atau ancang – ancang untuk bertindak atau berperilaku

terbuka. Misalnya tentang contoh sikap terhadap pencegahan

sekunder, apa yang akan dilakukan oleh pasien.

d. Tingkatan sikap

Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai

tingkatan berdasarkan intensitasnya, yaitu (Notoatmodjo, 2010) :

1. Menerima

Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau

menerima stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap

pasien terhadap perilaku pencegahan, dapat diketahui atau

diukur dari kehadiran pasien untuk mendengarkan penyuluhan

tentang pola hidup sehat dilingkungannya.

2. Menanggapi
40

Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau

tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

Misalnya pasien PJK yang mengikuti penyuluhan tentang

pencegahan PJK tersebut ditanya atau diminta menanggapi

oleh penyuluh, kemudian ia menjawab atau menanggapinya.

3. Menghargai

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan

nilai yang positif atau seseorang memberikan nilai yang positif

terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan

orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau

menganjurkan orang lain merespon. Pasien mendiskusikan

dengan keluarganya, atau bahkan mengajak tetangganya untuk

mendengarkan penyuluhan pencegahan berulangnya serangan

PJK.

4. Bertanggung jawab

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah

bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya.

Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan

keyakinannya, dia harus berani mengambil resiko.

e. Cara pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun

tidak langsung. Secara langsung dapa dinyatakan bgaimana

pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek, secara

tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis,


41

kemudian ditanyakan pendapat responden sepeti setuju dan tidak

setuju (Notoatmodjo, 2010).

Sunaryo (2010) menjelaskan bahwa sikap dapat diukur

dengan menggunakan skala Likert yang dikenal dengan teknik

Summated Ratings. Responden diberikan pernyataan dengan

kategori jawaban yang telah dituliskan dan umumnya terdiri dari 1

himgga 5 kategori jawaban. Jawaban yang disediakan adalah

sangat setuju (5), setuju (4), ragu – ragu (3), tidak setuju (2), dan

sangat tidak setuju (1).

3. Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau

hubungan – hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

dan menafsirkannya (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010).

Rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini untuk

pencegahan penyakit masih sangat tinggi. Di dalam masyarakat terdapat

beraneka ragam konsep sehat sakit yang tdak sejalan dan bahkan tidak

sejalan dengan konsep sehat sakit dari pihak penyelenggara pelayanan

kesehatan.

Penelitian Allen. et al, (2010), menyatakan bahwa persepsi

pasien akan penyakit jantung koroner menjadi salah satu faktor

dominan yang paling berhubungan dengan perubahan perilaku untuk

mengurangi faktor resiko PJK. Menurut Crouch (2008, kebanyakan

wanita berfikir bahwa PJK bukan suatu penyakit yang mematikan


42

dibandingkan dengan kanker payudara. Hal ini dikarenakan mereka

tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang PJK.

4. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal

yang melindungi seseorang dari efek stress yang buruk (Kaplan dan

Sadock, 2002). Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah

sikap, tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga berupa

dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental,

dan dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk

hubungan nterpersonal yang meliputi sikap, tindakan, dan penerimaan

terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang

memperhatikan.

seseorang yang mengalami infark miokard yang dikategorikan

sebagai penyakit yang berat, dapat mempengaruhi sistem keluarga

secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh peran keluarga yang

berubah karena ada anggota keluarga yang sakit. Berdasarkan penelitian

tersebut, 10,8% pasien post infark miokard terdiagnosa menderita

depresi akibat meningkatnya strssor dari lingkungan dan kurangnya

dukungan keluarga, terutama saat pasien di rawat di rumah sakit atau

saat hospitalisasi.

Menurut Notoatmodjo (2010), peranan baru orang sakit harus

mendapat pengakuan dan dukungan dari anggota masyarakat dan

anggota keluarga yang sehat. Setelah pasien dari rumah sakit dan harus

menjalani program rehabilitasi jantung, keluarga memainkan peran


43

yang dominan untuk keberhasilan program tersebut. Hal ini sangat

mendukung sekali keberhasilan upaya pencegahan sekunder yang

dilakukan pasien penyakit jantung koroner untuk mengubah

perilakunya terkait dengan faktor resiko penyakit jantung koroner yang

dapat diubah.

Dukungan keluarga diukur dengan pertanyaan yang

berhubungan dengan keaktifan keluarga dalam memotivasi pasien

dengan penyakit jantung koroner.

Anda mungkin juga menyukai