Anda di halaman 1dari 7

Nama : Tri Rizki Handayani

NIM : P17335116043
Tingkat : 2B
Tugas PBAK “Strategi Pemberantasan Korupsi”

STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI

Tidak ada cara lain, korupsi harus diberantas. Selain merusak sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara, korupsi juga merusak sistem perekonomian. Imbasnya, apa lagi kalau
bukan membuat negeri kita yang kaya raya itu masih belum juga bisa mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan. Segala potensi yang dimiliki pun seakan tidak berarti. Layanan publik masih
buruk, tingkat kesehatan rendah, pendidikan yang tidak terjamin, tingkat pendapat masyarakat
yang masih memprihatikan, dan banyak lagi indikator negara makmur yang belum bisa dicapai.
Dengan kata lain, harapan untuk mewujudkan indonesia sebagaimana negeri impian pun, bak
jauh panggaang dari api. Maka itu, korupsi memang harus dimusnahkan antara lain dengan cara;
Represif, perbaikan sistem dan edukasi dan kampanye. Agar berjalan lebih efektif, ketiganya
harus dilakukan.

A. Represif
Melalui strategi represif, KPK menyeret koruptor kemeja hijau, membacakan tuntutan, serta
menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan. Beberapa tahap yang dilakukan :
1) Penanganan laporan pengaduan masyakarakat
Bagi KPK, pengaduan masyarakat merupakan salah satu sumber informasi yang sangat
penting. Hampir sebagian besar kasus korupsi terungkap, berkat adanya pengaduan masyarakat.
Sebelum memutuskan apakah suatu pengaduan bisa dilanjutkan ke tahap penyelidikan, KPK
melakukan proses verifikasi dan penelaahan.
2) Penyelidikan
Kegiatan yang dilakukan KPK dalam rangka menemukan alat bukti yang cukup. Bukti
permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang- kurangnya 2 alat
bukti*. Jika tidak diketemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik menghentikan
penyelidikan. Dalam hal perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri
atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. Jika
penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan, kepolisian atau kejaksaan wajib
melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
3) Penyelidikan
Tahap ini, salah satunya ditandai dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka.
Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan
penyitaan tanda izin Ketua Pengadilan Negeri. Ketentuan juga membebaskan penyidik KPK
untuk terlebih dahulu memperoleh izin untuk memanggil tersangka atau menahan tersangka
yang berstatus pejabat negara yang oleh undang- undang, tindakan kepolisian terhadapnya harus
memerlukan izin terlebih dahulu.
Untuk kepentingan penyidikan, seorang tersangka wajib memberikan keterangan kepada
penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diketahui atau diduga mempunyai hubungan dengan korupsi
yang dilakukan oleh tersangka. KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Artinya sekali KPK
menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka proses harus berjalan terus hingga ke
penuntutan.
4) Penuntutan
Kegiatan penuntutan dilakukan dilakukan penuntut umum setelah menerima berkas
perkara dari penyidik. Paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas tersebut,
wajib melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, Penuntut
Umum KPK dapat melakukan penahanan terhadap tersangka selama 20 hari dan dapat
diperpanjang lagi dengan izin pengadilan untuk paling lama 30 hari. Pelimpahan ke Pengadilan
Tipikor disertai berkas perkara dan surat dakwaan. Dengan dilimpahkannya ke pengadilan,
kewenangan penahanan secara yuridis beralih ke hakim yang menangani.
5) Pelaksanaan penuntutan pengadilan (eksekusi)
Eksekusi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh jaksa. Untuk itu,
panitera mengirimkan salinan putusan kepada jaksa.
B. Perbaikan Sistem
Tak dimungkiri, banyak sistem di Indonesia yang justru membuka celah terjadinya
tindak pidana korupsi. Misalnya, prosedur pelayanan publik menjadi rumit, sehingga
memicu terjadinya penyuapan, dan sebagainya. Lainnya tentu masih banyak. Tidak saja
yang berkaitan dengan pelayanan publik, tetapi juga perizinan, pengadaan barang dan jasa, dan
sebagainya. Tentu saja harus dilakukan perbaikan. Karena sistem yang baik, bisa
meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi. Misalnya melalui pelayanan publik
yang serba online, sistem pengawasan terintegrasi, dan sebagainya.
KPK pun sudah banyak melakukan upaya perbaikan sistem. Dari berbagai kajian
yang dilakukan, KPK memberikan rekomendasi kepada kementerian/lembaga terkait
untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. Selain itu, juga dengan penataan layanan publik
melalui koordinasi dan supervisi pencegahan (korsupgah), serta mendorong transparansi
penyelenggara negara (PN). Sementara, guna mendorong transparansi penyelenggara negara
(PN), KPK menerima pelaporan LHKPN dan gratifikasi. Untuk LHKPN, setiap penyelenggara
negara wajib melaporkan harta kekayaan kepada KPK. Sedangkan untuk gratifikasi, penerima
wajib melaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya
gratifikasi atau pegawai negeri bersangkutan dianggap menerima suap.

C. Edukasi dan Kampanye


Salah satu hal penting dalam pemberantasan korupsi, adalah kesamaan pemahaman
mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan adanya persepsi yang sama,
pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan terarah. Sayangnya, tidak semua
masyarakat memiliki pemahaman seperti itu. Contoh paling mudah, adalah pandangan mengenai
pemberian “uang terima kasih” kepada aparat pelayan publik, yang dianggap sebagai hal
yang wajar. Contoh lain, tidak semua orang memiliki kepedulian yang sama terhadap korupsi.
Hanya karena merasa “tidak kenal” si pelaku, atau karena merasa “hanya masyarakat biasa,”
banyak yang menganggap dirinya tidak memiliki kewajiban moral untuk turut berperan serta.
Itulah sebabnya, edukasi dan kampanye penting dilakukan. Sebagai bagian dari pencegahan,
edukasi dan kampanye memiliki peran strategis dalam pemberantasan korupsi. Melalui edukasi
dan kampanye, KPK membangkit kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak
masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta membangun
perilaku dan budaya antikorupsi. Tidak hanya bagi mahasiswa dan masyarakat umum, namun
juga anak usia dini, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar.
Dengan sasaran usia yang luas tersebut, KPK berharap, pada saatnya nanti di negeri ini
akan dikelola oleh generasi antikorupsi, pencegahan korupsi harus dilakukansejak dini agar
terbentuk generasi pelurusan berintegritas tak heran jika KPK sangat serius melakukan
penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini kepada pelajaran dari jenjang PAUD/TK hingga
SMA. Selain menerbitkan buku dalam permainan, KPK juga melakukan beragam aktifitas yang
ditujukan kepada pelajar. Selain anak dan pelajaran, KPK juga tak lupa melakukan pendidikan
antikorupsi yang ditujukan untuk mahasiswa, pns, dan perempuan. Alasannya karena mereka
berperan penting dalam pemberantasan korupsi. Mahasiswa adalah agen perubahan, perempuan
adalah tiang negra, dan pns adalah pelayanan masyarakat. KPK sepenuhnya menyadari bahwa
dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi merupakan salah saru faktor
penting keberhasilan. Dalam setiap kesempatan menyelenggarakan event kampanye antikorupsi,
KPK selalu mengajak partisipasi masyarakat. Dan masyarakat pun menunjukan dukungannya
kepada pemberantasan korupsi dengan berbagai aksi kreatif (KPK 2014).
Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka
panjang (2012-2025) adalah: “terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan
didukung nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi
“terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas
pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan
menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas,
masyarakat sipil, hingga dunia usaha. Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 6 strategi
yaitu:
a. Pencegahan
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung
dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi
seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui
strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi
perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada
pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini
dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya,
pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara
sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks
Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of
Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan
oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi
pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
b. Penegakan Hukum
Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi
masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara
adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya
tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat
terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring
ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik.
Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri
yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum
demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-
tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga
hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam
rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri.
Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu
dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks
Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam
proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor
hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum
Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.
c. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia
untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam
UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa
klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam
regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang
masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini
diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul
UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait
pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan
common practice yang terdapat pada negara-negara lain.
d. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor
Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar
negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung
sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur
pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap
perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi
(confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan
aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor
dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari
persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan
persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan
permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi.
Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional,
khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden Republik Indoneisa Nomor 55 Tahun 2012 Tentang "Strategi Nasional
Pencegahan & Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang (2012-2025) Dan Jangka
Menengah (2012-2014)"
KPK. (2014). Panduan Modul Pencegahan korupsi berbasis keluarga. Jakarta: Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan masyarakat kedeputian Bidang Pencegahan Komisi
pemberantasan Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai