Anda di halaman 1dari 6

25.

Mengkonsumsi Junk-Food Dengan Bijak


Oleh: Marjohan M.Pd

Saya merasa terkesan membaca tulisan Desi Anwar (2015: 85-86), dalam artikelnya
yang berjudul ”makan dengan bijak”. Dia mengatakan bahwa makan itu bukan sekedar
memasukan makanan apapun yang kita suka ke dalam mulut untuk memuaskan rasa lapar.
Namun kita perlumakan dengan bijak. Makan dengan bijak adalah mengetahui apa yang
sedang kita makan. Kita memahami bagaimana makanan itu diproses dan bagaimana
pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh.
Kita telah berada di zaman moderen dan kita sering berbelanja di kedai-kedai
moderen yang bernama supermarket, swalayan atau mart. Di sana bertebaranan makanan
yang telah dikemas dalam kaleng. Setiap kotak, kaleng, stoples, bungkus, kemasan dan
botol yang ditemukan di kedai moren ini memiliki label. Kita selalu melihat label tersebut,
hanya saja kita kurang peduli buat membacanya. Lihatlah pada daftar bahan-bahan
pembuatnya. Sungguh menakjubkan namun di sana juga tertera angka dan nama yang
sungguh asing bagi kita. Itu semua adalah zat pewarna, zat tambahan, zat pengawet, an
berbagai tambahan zat kimia sehingga makanan tersebut terlihat, terasa seperti adanya dan
tahan lama.
“Makin panjang daftar bahan-bahannya, makin tidak alami makanan yang kita makan
itu dan makin sedikit kandungan alaminya. Makan tersebut mungkin terlihat lebih bagus,
lebih mengkilap dan lebih manis, tetapi tidak terlalu menyehatkan”.
Makanan ringan yang dijual di warung-warung milik warga sekitar 30 tahun yang lalu
masih serba alami. Yang ada kue lopi, nasi ketan, lemper bugis, jagung bakar, goreng ubi,
goreng singkong, dan ada lusinan nama jajanan yang lain. Jajanan ringan tersebut cukup
sehat dan aman untuk kesehatan. Saya sendiri sering mengkonsumsi jajanan ini (pisang
goreng dan nasi ketan) sebagai pengganti sarapan pagi, dan jajanan ini cukup
mengenyangkan.
Tiga puluh tahun lalu jarang saya mendengar orang yang menderita sakit berat
akibat salah konsumsi makanan atau mengkonsumsi makanan/ jajanan yang kurang sehat.
Ukuran rumah sakit tidak sebesar sekarang dan jumlah pasien juga tidak begitu ramai. Di
perkotaan juga belum banyak tersedia klinik-klinik kesehatan untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit langka dan saat itu jumlah orang yang sakit serius juga tidak sebanyak.
Di luar warung juga tidak banyak jajanan yang bisa dibeli. Anak-anak belum kenal
dengan buah-buahan import. Mereka sangat doyan dengan buahan tropis yang tumbuh di
seputar rumah seperti: jambu, pepaya, manggis, mangga, alpukat, dll. Buah-buahan ini
sangat menyehatkan orang-orang yang hidup di daerah tropis.
Namun di tahun 2000-an ini apa yang terjadi ? Saya susah payah buat menemukan
jajanan alami yang biasa saya konsumsi saat saya remaja dulu. Cukup susah menemukan
sepiring rujak, lopi dengan kuah gula aren, nasi ketan campur srikaya, dll. Yang lebih adalah
buat menjumpai makanan cepat saji, penuh zat pewarna dan zat penambah ras lainnya.
Jumlah kuliner memang tumbuh pesat, namun butuh ketelitian dan ejelian buat
mendapatkan makanan sehat. Saya merasa lapar dan setelah saya menkonsumsi
semangkok makanan cepat saji, aneh kerongkonan saya terasa kering. Itu semua adalah
efek dari zat-zat kimia yang bertaburan dalam kuiner yang tidak sehat dan setiap detik akan
menghancurkan kualitas kesehatan kita.
Makanan-makan cepat saji yang indah bentuknya dan sangat sedap rasanya.
Setelah saya intip ternyata rasa sedap itu terbentuk dari taburan zat-zat kimia yang bernama
“bumbu kimia”. Dalam istilah internasional makanan-makan ini bernama “junk-food” atau
makanan rongsokan, dan sungguh minim dengan nilai kesehatan. Saya bukan menteror
anda (para pembaca) untuk memboikot makanan ini, namun konsumsilah dengan bijak.
Saya pun masih mengkonsumsi junk-food, tetapi bukan sebagai makaan utama dan juga
bukan sebagai buat gaya hidup. Saya hanya mengkosumsi junk food sekali-sekali dan
setelah itu saya lebih rajin mengkosumsi sayur dan buahan segar, agar efek zat kimia yang
jahat kembali netral dalam lambung saya.
Setiap kali saya ikut makan bersama teman atau saya lagi berada di sebuah restoran
dengan sajian aneka bentuk kuliner, mata saya sering tertuju pada piring- piring dan
memperhatikan tentang kualitas menu yang disantap oleh pengunjung restoran. Entahlah
kenapa kebiasaan saya ini bisa terbentuk dan saya sendiri juga bukan orang yang tumbuh
dan dibesarkan oleh keluarga- ayah dan ibu- yang begitu peduli dan mengerti dengan nilai
gizi dan gaya makan yang sehat.
Saya malu mengungkapkan tentang siapa saya, namun tidak mengapa selagi
pembaca artikel ini bisa mengambil manfaat atas pengalaman buruk saya. Bahwa sewaktu
kecil saya dan juga saudara- saudara saya tubuh dalam kondisi gizi buruk. Masih terngiang
dalam pendengaran saya tentang suara ibu yang mendeskripsikan “saya sebagai anak kecil
dengan perut buncit, kulit kering dan bersisik, serta tulang belulang pada tubuh yang
menonjol”.
Abang saya baru mau menyantap nasi kalau ada lauk-pauk yang terbuat dari jengkol
bakar. Ini adalah menu yang jauh dari standar sehat buat seorang balita. Untunglah
beberapa waktu kemudian ayah saya memboyong kami pindah ke Payakumbuh dan
memperoleh pekerjaan, sehingga mampu membeli lauk- pauk yang lebih bergizi yang
sangat baik bagi pola nutrisi kami. Untuk tumbuh sehat sangat diperlukan ilmu pegetahuan
(kecerdasan).
“Ya kita harus bisa mengkonsumsi makanan dengan cerdas dan bijak”.
Namun saya merasa aneh setiap kali makan bareng teman yang walaupun lulusan
perguruan tinggi namun mereka “tidak terbiasa menjamah sayuran untuk makan siangnya”.
Sepertinya mereka tidak mengenal bagaimana mengkonsumsi pola makanan yang sehat.
Piringnya hanya penuh dengan taburan bumbu-bumbu pedas dan lauk pauk yang kaya
dengan kolestrol. Sekali lagi bahwa mereka tidak pernah tertarik untuk menjamah sayur-
mayur dan mengkonsumsi buah untuk sekedar cuci mulut.
“Padahal sepotong pepaya, salak, pisang, jeruk atau buah tropis yang kaya vitamin
lainnya sebelum atau setelah selesai makan, sungguh sangat menyehatkan tubuh”.
“Mengapa anda makannya tidak pake sayur ?”, Tiba-tiba saya menyapa seorang
teman untuk mencari tahu.
“Maaf saya tidak terbiasa makan sayu dan juga kurang suka dengan sayur”.
Jawabnya.
Jawaban yang sama juga sudah saya peroleh dari banyak orang setiap kali saya
mengajukan pertanyaan yang sama. Saya bisa membuat generalisasi bahwa begitu banyak
orang-orang yang hidup di sekitar kita- sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang
terdidik- namun kurang tertarik buat mengkonsumsi sayuran dan juga amat jarang makan
buah-buahan yang kaya dengan vitamin dan berguna sebagai pelindung tubuh mereka. Apa
penyebabnya ?
Salah satu penyebabnya adalah kualitas parenting (pengetahuan untuk menjadi
orangtua) di negara kita yng masih rendah. Parenting di negara maju, seperti di Australia,
Singapura, Jepang, Amerika, dll sudah sangat bagus sehingga mampu mengatarkan negara
mereka menjadi negara berkualitas tinggi. Namun, sekali lagi, bahwa parenting di Indonesia
punya banyak kekurangan. Banyak orangtua yang kurang memahami pola makanan sehat
buat keluarga dan juga balita mereka.
Sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) internasional yang bernama
“Humanium” yang berdiri di Jenewa, dengan visi “Together For Children’s Right- bersama
memperjuangkan hak azazi anak-anak” melaporkan bahwa Indonesia kaya dengan sumber
daya alam dan terbentang luas pada lebih dari 13.000 pulau, Indonesia saat ini sedang giat-
giatnya pada periode pembangunan besar. Sayangnya, keunggulan ekonomi negara belum
bermanfaat bagi banyak penduduknya. Karena banyak anak-anak yang masih hidup dalam
kondisi tubuh yang kurang sehat, sehingga mereka tidak bisa menikmati hak-hak hidup
untuk bisa tumbuh menjadi lebih sehat.
Ditambahkan pula bahwa Indonesia dihadapkan dengan berbagai masalah yang
berkaitan dengan kesehatan. Misalnya, data pada tingkat kematian anak-anak yang
merupakan suatu bencana adalah sekitar 40% dari anak-anak Indonesia, meninggal
sebelum usia 5 tahun. Bayi yang baru lahir sering menjadi korban akibat beberapa penyakit
seperti berat pertumbuhan berat badan yang rendah atau mengalami gejala kurang gizi.
Saat jalan-jalan melalui komplek perumahan penduduk, saya sering menjumpai
banyak orangtua yang berusia muda sangat kurang peduli “tentang makna hidup sehat”.
Mereka dengan entengnya memberi jajanan tidak sehat (miskin gizi), karena kaya dengan
zat-zat kimia buat anak mereka yang masih berusia “balita”. Bila balitanya rewel maka
mereka membawa balitanya ke kedai sekitar dan membiarkan balita mereka untuk
menjangkau jajanan yang bergelantungan di etalase kedai
“Bagi mereka yang penting asal perut balita bisa kenyang dan asal balita mereka
tidak rewel lagi”.
Andaikata seorang anak punya daya tahan tubuh yang lemah, itu adalah akibat dari
jeleknya kualitas parenting dari orangtua mereka. Karena orangtua tidak mengenal dengan
pola hidup sehat dan berimbang yang tecermin melalui pola makan. Kemudian menjadi lebih
parah lagi dengan kehadiran pedagang kaki lima.
Para pedagang kaki lima (pedagang keliling) kualitas jajan yang mereka jual harus
disikapi dengan bijak: sehat atau kurang sehat bagi anak. Karena meracik jajanan yang
berharga murah meriah dan bernilai gizi rendah yang berjejer di sekeliling pagar sekolah.
Bila dikonsumsi apakah siswa asal kenyang saja dan apa efek kesehatanya ada
diperhitungkan ?
Bila kita berkunjung ke bangsal anak-anak di sebuah rumah sakit maka akan kita
jumpai arus masuk pasien berusia masih anak-anak karena jatuh sakit. Sebagian penyebab
adalah gara-gara salah mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. Orangtua mereka
ternyata rajin menyediakan makanan cepat saji (junk food) buat mereka, seperti: mie instan,
dan aneka makanan yang bertabur bumbu-bumbu penyedap rasa. Dibalik itu cukup banyak
orangtua yang juga malas menghidangkan sayuran dan buahan. Sebuah artikel dalam
portal tempo online menulis artikel dengan judul:
“Serious Risks When Parents Don`t Cut Small Fruits for Children” – adalah cukup
beresiko buat kesehatan anak-anak, bila orang orangtua malas menghidangkan potongan-
potongan kecil buah-buahan buat anak mereka. Judul ini perlu segera direspon oleh semua
orangtua dan terutama bagi orangtua yang mendambakan kesehatan bagi anak mereka
(https://en.tempo.co/read/news/201).
Cukup fenomena bahwa masyarakat kita lebih peduli dengan citarasa makanan
ketimbang nilai gizinya. Pergilah ke pasar dan mampirlah ke warung kuliner. Maka kita akan
menyaksikan tumpukan orang-orang yang tengah menikmati aneka makanan yang belum
tentu menyehatkan. Ada yang lagi menikmati makanan yang serba dibakar, dengan warna
coklat hingga kehitaman. Warna hitam terjadi oleh tumpukan belerang pada makanan.
Mengkonsumsi makanan yang serba dibakar dan banyak arangnya, juga pegolahan yang
serba digoreng (mengandung kolesterol tinggi), telah membuat meningkatnya populasi
penderita pasien kanker.
Bangsa Jepang adalah bangsa yang memiliki usia rata- rata lebih panjang di dunia.
Itu semua berasal dari kualitas dan pola makan mereka. Memang diakui bahwa cita rasa
santapan orang Jepang kalah lezat dibandingkan dengan cita rasa kuliner orang kita. Itu
karena mereka telah membudayakan menghindari pengolahan kuliner yang banyak
mengandung minyak, gula dan zat-zat kimia sebagai penyedap. Kuliner dan santapan orang
Jepang lebih banyak yang bercorak serba “direbus” dan dan banyak mengkonsumsi sayuran
dan buah-buahan. Maka inilah pola makanan yang lebih sehat itu.
Apakah kita sebagai orang Indonesia kurang mengenal gaya dan pola makanan
sehat ? Ternyata ketika masih kecil- duduk di bangku sekolah dasar, kita telah tahu bahwa
pola makanan sehat bangsa Indonesia adalah “Empat Sehat- Lima Sempurna”. Namun pola
hidup sehat ini hanya sebatas hafalan buat diujikan saat ujian bagi anak-anak SD.
Seharusnya pola makan “Empat Sehat-Lima Sempurna” lebih dipahami, diketahu dan
diamalkan oleh orangtua mereka di rumah.
Saat masih di SD, saya dan hampir semua murid (teman-teman saya) sangat
memahami komposisi pola makan “empat sehat lima sempurna” yaitu musti ada
“karbohidrat, protein, sayuran, vitamin atau buah-buahan. Dan itupun baru dikatakan
dengan sebutan “empat sehat”, kemudian ditambah dengan meminum “satu gelas susu”
agar bisa menjadi “lima sempurna”.
“Namun dalam kebijakan tentang makan yang sehat sekarang, bahwa kita harus
mengkonsumsi gizi makanan yang berimbang”. Namun pola makan yang sehat jarang hadir
di meja kita.
Melihat foto-foto kami saat masih kecil, wow sungguh tidak begitu membahagiakan.
Terlihat fisik kami tidak terawat, model pakaian yang terkesan tertinggal, kulit kami kering
dan bersisik dan juga berat badan yang kurang dari ukuran standar, sebagai pertanda
bahwa kami mengalami kekurangan gizi di saat kami membutuhkan gizi buat pertumbuhan.
Pola makan yang kurang sehat dan kondisi orangtua yang juga miskin dengan ilmu
parenting bukan hanya terjadi pada keluarga saya. Hampir merata pada banyak teman-
teman saya, mereka juga berasal dari keluarga yang buta dengan nilai gizi makanan dan
kondisi orangtua mereka juga minus ilmu pengetahuannya.
Sekali lagi bahwa kita kurag peduli dan malah tidak peduli dengan bagaimana
makanan yang bijak. Saat menulis artikel ini saya sedang bersimpati dengan seorang anak
kecil, yang saya bezuk di rumah sakit. Dia sedang menderita bentuk penyakit yang tidak
jelas namanya. Namun gejala yang terpantau sebelum sakitnya datang adalah pengalaman
pola makannya yang juga kurang sehat: sejak bayi mengkonsumsi junk food, juga tidak
mengenal konsumsi sayuran dalam pola makannya, juga tidak terbiasa memperoleh
potongan buahan segar yang kaya vitamin untuk melindungi tubuhnya. Yang banyak saya
lihat adalah dia sering mengkonsumsi jajanan yang kaya zat kimia yang bergelantungan di
kedai- kedai- dimana jajanan tersebut tidak layak dikonsumsi oleh balita, apalagi oleh
seorang bayi. Tumpukan residu bahan kimia yang dikonsumsinya selama berbulan-bulan
dari rentang usia kehidupannya telah mengotori (merancuni) organ percernaakannya, dari
mulut hingga usus, juga ginjal dan empedunya. Moga- moga banyak orang yang membaca
artikel ini dan kemudian menjadi peduli dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan
bijaksana dengan junk food.
Catatan: Desi Anwar (2015). Hidup Sederhana. Jakarta: Pt. Gramedia
Bayi yang baru lahir sering menjadi korban akibat beberapa penyakit seperti berat
pertumbuhan berat badan yang rendah atau mengalami gejala kurang gizi
(http://www.humanium.org/en/asia-pacific/indonesia).

Anda mungkin juga menyukai