Anda di halaman 1dari 5

Pola Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa Sudah Dilupakan ?

Oleh: Marjohan, M.Pd


Guru SMAN 3 Batusangkar

Setiap kali saya ikut makan bersama teman atau saya lagi berada di sebuah restoran
dengan sajian aneka bentuk kuliner, mata saya sering tertuju pada piring- piring dan
memperhatikan tentang kualitas menu yang disantap oleh pengunjung restoran. Entahlah
kenapa kebiasaan saya ini bisa terjadi dan saya sendiri juga bukan orang yang tumbuh dan
dibesarkan oleh keluarga- ayah dan ibu- yang begitu peduli dan mengerti dengan nilai gizi
dan gaya makan yang sehat.
Saya malu mengungkapkan tentang siapa saya, namun tidak mengapa selagi pembaca
artikel ini bisa mengambil manfaat atas pengalaman yang kurang enak. Bahwa sewaktu kecil
saya dan juga saudara- saudara saya tubuh dalam kondisi gizi buruk. Masih terngiang dalam
pendengaran saya tentang suara ibu yang mendeskripsikan “saya sebagai anak kecil dengan
perut buncit, dengan kulit kering dan tulang-tulang tubuh yang menonjol”.
Saudara saya yang lebih tua baru mau menyantap nasi yang diberi lauk terbuat dari
jengkol bakar- sebuah hidang yang jauh dari standar sehat buat pertumbuhan seorang balita.
Untunglah beberapa waktu kemudian ayah saya memboyong kami pindah ke kota
Payakumbuh dan dia telah memperoleh pekerjaan yang lebih baik hingga mampu membeli
lauk- pauk sekedarnya untuk memperbaiki pola nutrisi kami.
Untuk tumbuh sehat sangat diperlukan ilmu pegetahuan (kecerdasan). Namun saya
merasa aneh setiap kali makan bareng teman yang walaupun lulusan perguruan tinggi namun
tetap “tidak mau menjamah sayuran untuk makan siangnya”. Mereka tidak mengenal
bagaimana mengkonsumsi pola makanan sehat. Piringnya hanya penuh dengan taburan
bumbu-bumbu pedas dan lauk pauk yang kaya dengan kolestrol. Sekali lagi bahwa mereka
tidak pernah tertarik untuk menyentuh sayur-mayur dan mengkonsumsi buah untuk sekedar
cuci mulut- seperti sepotong pepaya, salak, pisang, jeruk atau buah tropis yang kaya vitamin
lainnya sebelum atau setelah selesai makan.
“Mengapa anda makannya tidak pake sayur ?”, sapaan saya pada seorang teman untuk
mencari tahu.
“Maaf saya tidak suka sayur”. Jawabnya. Dan jawaban yang sama juga sudah saya
peroleh dari banyak orang setiap kali saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saya bisa
membuat generalisasi bahwa begitu banyak orang-orang yang hidup di sekitar kita- sekalipun
mereka tercatat sebagai orang yang terdidik- namun kurang tertarik buat mengkonsumsi
sayuran dan juga amat jarang makan buah-buahan yang kaya dengan vitamin dan berguna
sebagai pelindung tubuh mereka.
Parenting di negara Australia, Singapura, Jepang, Amerika, dll sudah sangat bagus
sehingga mampu mengatarkan negara mereka menjadi negara berkualitas tinggi. Namun
parenting di Indonesia punya banyak kekurangan. Banyak orang tua yang berusia masih
muda yang kurang memahami pola makanan sehat buat balita mereka.
Sebuah LSM internasional “Humanium” yang berdiri di Jenewa- ibu kota negara
Swiss tahun 2008, yang punya visi “Together For Children’s Right- bersama
memperjuangkan hak azazi anak-anak” menulis: Bahwa Indonesia kaya dengan sumber daya
alam dan terbentang luas pada lebih dari 13.000 pulau, Indonesia saat ini sedang giat-giatnya
pada periode pembangunan besar. Sayangnya, keunggulan ekonomi negara belum bermanfaat
bagi banyak penduduknya. Karena banyak anak-anak yang masih hidup dalam kondisi tubuh
yang kurang sehat, sehingga anak-anak tersebut tidak bisa menikmati hak azazi untuk
menjadi sehat.
Ditambahkan bahwa Indonesia dihadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan
dengan kesehatan. Misalnya, data pada tingkat kematian anak-anak yang merupakan suatu
bencana adalah sekitar 40% dari anak-anak Indonesia yang meninggal sebelum usia 5. Bayi
yang baru lahir sering menjadi korban dari beberapa penyakit seperti berat badan rendah atau
kurang gizi (http://www.humanium.org/en/asia-pacific/indonesia).
Saat melewati perkampungan penduduk, saya sering menjumpai ibu-ibu muda yang
kurang peduli dan mungkin kurang tahu tentang makna hidup sehat. Mereka dengan
entengnya menyuguhkan makanan-makanan yang miskin gizi dan kaya dengan zat-zat kimia
dalam bentuk bumbu penyedap dan bahan pengawet untuk anak mereka yang masih berusia
bayi hingga berumur lima tahun. Mereka membiarkan balita mereka untuk menjangkau
jajanan yang bergelantungan di etalase warung- warung penduduk. Bagi mereka yang penting
asal perut balita bisa kenyang atau asal anak- anak mereka bisa tidak rewel dan berhenti
menangis.
Kalau anak- anak hingga remaja yang punya daya tahan tubuh yang lemah adalah
produk dari parenting rumah mereka yang kurang mengenal dengan pola hidup sehat yang
tecermin melalui pola makan. Kemudian diperparah lagi kepada pedagang kaki lima-
pedagang keliling yang telah meracik makanan murah meriah dan bernilai gizi rendah yang
berjejer di sekeliling pagar sekolah untuk disuguhi buat murid-murid sebagai jajanan
penyumpal perut- perut mereka yang selalu lapar. Lengkap sudah bunga- bunga bangsa ini
diracuni oleh makanan rongsokan buat memangkas kesehatan mereka.
Bila kita berkunjung ke bangsal anak-anak di ruah sakit maka akan terlihat tiap
sebentar kita arus masuk pasien berusia muda belia yang jatuh sakit gara-gara salah
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. Mereka berasal dari rumah yang orang tua mereka
rajin menyediakan makanan cepat saji, seperti: mie instan, dan aneka makanan yang bertabur
bumbu-bumbu penyedap rasa. Dibalik itu cukup banyak orang tua yang juga malas
menghidangkan sayuran dan buahan. Sebuah artikel dalam portal tempo online menulis
tentang “Serious Risks When Parents Don`t Cut Small Fruits for Children” – adalah cukup
beresiko buat kesehatan anak-anak mereka bila orang orang tua malas menghidangkan
potongan-potongan kecil buah-buahan buat anak mereka. Judul ini perlu diingat bagi orang
tua yang mendambakan kesehatan anak mereka (https://en.tempo.co/read/news/201).
Cukup fenomena bahwa masyarakat kita lebih peduli dengan rasa ketimbang nilai gizi
makanan. Pergilah ke pasar dan mampirlah ke warung kuliner. Maka kita akan menyaksikan
tumpukan orang-orang yang tengah menikmati aneka makanan yang belum tentu
menyehatkan. Ada yang lagi menikmati makanan yang serba dibakar, dengan warna coklat
hingga kehitaman. Warna hitam terjadi oleh tumpukan belerang pada makanan.
Mengkonsumsi makanan yang serba dibakar dan banyak arangnya, juga kuliner yang
pegolahannya serba digoreng hingga mengandung kolesterol tinggi, telah memicu cukup
banyak populasi penderita pasien kanker yang rajin mengunjungi rumah sakit dan juga
tempat prakter dokter.
Bangsa Jepang adalah bangsa yang memiliki usia rata- rata lebih panjang di dunia. Itu
semua berasal dari kualitas dan pola makan mereka. Memang diakui bahwa cita rasa santapan
orang Jepang kalah lezat dibandingkan dengan cita rasa kuliner orang kita. Itu karena mereka
telah membudayakan menghindari pengolahan kuliner yang banyak mengandung minyak,
gula dan zat-zat kimia sebagai penyedap. Kuliner dan santapan orang Jepang lebih banyak
yang bercorak serba “direbus” dan dan banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan.
Maka inilah pola makanan yang lebih sehat itu.
Apakah kita sebagai orang Indonesia kurang mengenal gaya dan pola makanan sehat ?
Ternyata ketika masih kecil- duduk di bangku sekolah dasar, kita telah tahu bahwa pola
makanan sehat bangsa Indonesia adalah “Empat Sehat- Lima Sempurna”. Namun pola hidup
sehat ini hanya sebatas hafalan buat diujikan saat ujian bagi anak-anak SD. Seharusnya pola
makan “Empat Sehat-Lima Sempurna” lebih dipahami, diketahu dan diamalkan oleh orang
tua mereka di rumah.
Saat masih di SD, saya dan hampir semua murid (teman-teman saya) sangat
memahami komposisi pola makan “empat sehat lima sempurna” yaitu musti ada
“karbohidrat, protein, sayuran, vitamin atau buah-buahan. Dan itupun baru dikatakan dengan
sebutan “empat sehat”, kemudian ditambah dengan meminum “satu gelas susu” agar bisa
menjadi “lima sempurna”.
Nah setelah tahu dengan pola makanan sehat ala Indonesia, apalagi yang bisa saya
perbuat ? Tidak begitu banyak, paling hanya sekedar menjawab ujian dalam kelas. Sementara
di rumah ibu saya yang hanya sempat belajar hingga kelas 3 Sekolah Rakyat (atau Sekolah
Dasar) tidak pernah tahu dengan istilah “empat sehat lima sempurna, apa itu karbohidrat dan
protein”. Dia hanya menyajikan pola makanan sebagamana yang ia tiru dari nenek saya atau
generasi sebelumnya.
Bila waktu untuk makan tiba, ibu sering menitip pesan “makanlah nasinya tetapi
berhemat untuk makan lauk-pauk”. Ya kami harus makan lauk- pauk dengan gigitan yang
kecil-kecil, karena harganya mahal dan gaji ayah yang terbatas. Keluarga lain juga
mengalami hal yang sama. Jadinya banyak anak-anak saat itu yang menderita kurang gizi,
karena lauk pauk adalah sumber gizi yang kaya dengan protein.
Selain itu kalau ibu sempat menghidangkan “buahan dan juga segelas susu” maka itu
adalah sebuah keajaiban dan suprised bagi pertumbuhan kami. Dan keajaiban ini-
menghidangkan buahan dan susu hampir-hampir tidak pernah terjadi. Kalau ibu pulang dari
pasar, kadang-kadang buah tangan yang ibu beli adalah dalam bentuk salak, duku, rambutan,
dan rebus kacang. Ibu mungkin membeli materi tersebut sebanyak satu kilo maka begitu
sampai di rumah langsung dibagi rata menurut jumlah anggota keluarga. Buah-buahan yang
dibagi rata buat kami langsung ludes kami saat pada saat itu juga.
Melihat foto-foto kami saat masih kecil, wow sungguh tidak begitu membahagiakan.
Terlihat fisik kami tidak terawat, model pakaian yang terkesan tertinggal, kulit kami kering
dan bersisik dan juga berat badan yang kurang dari ukuran standar, sebagai pertanda bahwa
kami mengalami kekurangan gizi di saat kami membutuhkan gizi buat pertumbuhan.
Pola makan yang kurang sehat dan kondisi orang tua yang juga miskin dengan ilmu
parenting bukan hanya terjadi pada keluarga saya. Hampir merata pada banyak teman-teman
saya, mereka juga berasal dari keluarga yang buta dengan nilai gizi makanan dan kondisi
orang tua mereka juga minus ilmu pengetahuannya.
Tulisan yang berjudul: Pola Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa Sudah
Dilupakan ? Saya tulis karena saya sedang bersimpati dengan seorang anak kecil, anak dari
teman saya. Dia sedang dirawat di rumah sakit karena menderita bentuk penyakit yang tidak
jelas namanya. Namun gejala yang terpantau sebelum sakitnya datang adalah pengalaman
pola makannya yang juga kurang sehat: tidak mengenal konsumsi sayuran dalam pola
makannya, juga tidak terbiasa memperoleh potongan buahan segar yang kaya vitamin untuk
melindungi tubuhnya. Yang banyak saya lihat adalah dia sering mengkonsumsi jajanan yang
kaya zat kimia yang bergelantungan di kedai- kedai- dimana jajanan tersebut tidak layak
dikonsumsi oleh balita, apalagi oleh seorang bayi. Tumpukan residu bahan kimia yang
dikonsumsinya selama berbulan-bulan dari rentang usia kehidupannya telah mengotori
(merancuni) organ percernaakannya, dari mulut hingga usus, juga ginjal dan empedunya.
Sudah berhari-hari dan malah juga berminggu-minggu balita ganteng ini terbaring di
rumah sakit. Tubuhnya dijejali oleh pipa-pipa kecil untuk memasukan bahan infus, penyedot
cairan tubuh dan buat pernafasan. Moga- moga Tuhan (Allah Swt) mengulurkan tanganNya
untuk kesembuhan dan juga memberi ketabahan serta kesabaran terhadap ayah dan bundanya
yang sepanjang hari- selama 24 jam- telah menjadi malaikatnya penjaganya.
Namun untuk mencegah bertambahnya populasi pasien balita- yang terbaring
bergelimpangan di rumah sakit maka marilah kita raih kembali dan kita praktikan bagaimana
bentuk pola makan sehat ala bangsa Indonesia, yaitu “Empat Sehat Lima Sempurna”. Mohon
frase “Empat Sehat Lima Sempurna” tidak lagi sekedar hafalan bagi anak-anak kita, namun
sangat perlu ditindak lanjut oleh orang tua mereka di rumah. Tulislah frase “Empat Sehat
Lima Sempura ini” pada dinding ruang makan kita dan betul-betul hidangkanlah sajian
“Empat Sehat Lima Sempurna” buat anak-anak dan semua anggota keluarga. Janganlah ini
hanya sekedar semboyan untuk dihafal, namun semboyan ini harus diwujudkan untuk
perbaikan kesehatan kita.

Anda mungkin juga menyukai