Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan akan air bersih di daerah pedesaan dan pinggiran kota untuk air
minum, memasak, mencuci dan sebagiannya harus diperhatikan. Air adalah materi
esensial di dalam kehidupan. Tidak ada satu pun mahluk hidup yang berada di
planet bumi ini, yang tidak membutuhkan air. Di dalam sel hidup, baik pada
tumbuh–tumbuhan ataupun pada hewan (termasuk di dalam nya manusia) akan
terkandung sejumlah air, yaitu lebih dari 75 % kandungan sel tumbuh–tumbuhan
atau lebih dari 67 % kandungan sel hewan terdiri dari air. Jika kandungan tersebut
kurang, misalnya dehidrasi pada manusia yang di akibatkan muntaber, kalau tidak
cepat di tanggulangi akan mengakibatkan kematian, tanaman yang lupa tidak di
siram pun akan layu dan kalau di biarkan akan mati (Suriawiria, 2005).
Air merupakan kebutuhan yang paling utama bagi makhluk hidup.
Manusia dan makhluk hidup lainnya sangat bergantung dengan air demi
mempertahankan hidupnya. Air yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari harus
memenuhi standar kualitas air bersih. Kualitas air bersih dapat ditinjau dari segi
fisik, kimia, mikrobiologi dan radioaktif. Namun kualitas air yang baik ini tidak
selamanya tersedia di alam sehingga diperlukan upaya perbaikan, baik itu secara
sederhana maupun modern. Jika air yang digunakan belum memenuhi standar
kualitas air bersih, akibatnya akan menimbulkan masalah lain yang dapat
menimbulkan kerugian bagi penggunanya. Air juga banyak mendapat
pencemaran. Berbagai jenis pencemar air berasal dari :
a. Sumber domestik (rumah tangga), perkampungan, kota, pasar, jalan, dan
sebagainya.
b. Sumber non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan,
serta sumber-sumber lainnya.
Semua bahan pencemar diatas secara langsung ataupun tidak langsung
akan mempengaruhi kualitas air. Berbagai usaha telah banyak dilakukan agar
kehadiran pencemaran terhadap air dapat dihindari atau setidaknya diminimalkan.
Masalah pencemaran serta efisiensi penggunaan sumber air merupakan masalah
2

pokok. Hal ini mengingat keadaan perairan-alami di banyak negara yang


cenderung menurun, baik kualitas maupun kuantitasnya.

1.2 Tujuan Percobaan


Adapun tujuan dari percobaan ini adalah:
1. Menjelaskan proses pengolahan air bersih (sedimentasi).
2. Menghitung efesiensi penyisihan bahan pencemar dari sumber air.
3. Menganalisa hubungan variabel perlakuan terhadap penyisihan bahan
pencemar.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air
Air merupakan kebutuhan yang paling utama bagi makhluk hidup.
Manusia dan makhluk hidup lainnya sangat bergantung dengan air demi
mempertahankan hidupnya. Air yang digunakan untuk konsumsi sehari -hari
harus memenuhi standar kualitas air bersih. Kualitas air bersih dapat ditinjau dari
segi fisik, kimia, mikrobiologi, dan radioaktif. Namun kualitas air yang baik ini
tidak selamanya tersedia di alam sehingga diperlukan upaya perbaikan, baik itu
secara sederhana maupun modern. Jika air yang digunakan belum memenuhi
standar kualitas air bersih, akibatnya akan menimbulkan masalah lain yang dapat
menimbulkan kerugian bagi penggunanya.
Menurut Peraturan Pemerintah no 82 tahun 2001 tentang pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air bahwa yang dimaksud dengan air
adalah semua air yang terdapat pada, diatas, ataupun di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut
yang berada di darat. Air adalah salah satu di antara pembawa penyakit yang
berasal dari tinja untuk sampai kepada manusia. Supaya air yang masuk ketubuh
manusia baik berupa makanan dan minuman tidak menyebabkan penyakit, maka
pengolahan air baik berasal dari sumber, jaringan transmisi atau distribusi adalah
mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya kontak antara kotoran sebagai
sumber penyakit dengan air yang diperlukan (Sutrisno, 2004).
Semua bahan pencemar diatas secara langsung ataupun tidak langsung akan
mempengaruhi kualitas air. Berbagai usaha telah banyak dilakukan agar kehadiran
pencemaran terhadap air dapat dihindari atau setidaknya diminimalkan. Masalah
pencemaran serta efisiensi penggunaan sumber air merupakan masalah pokok. Hal
ini mengingat keadaan perairan-alami di banyak negara yang cenderung menurun,
baik kualitas maupun kuantitasnya.
4

2.2 Karakteristik Air


Menurut Effendi (2003) air memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh
senyawa kimia lain, karakteristik tersebut antara lain :
1. Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0°C (32°F) - 100°C,
air berwujud cair.
2. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat
sebagai penyimpan panas yang sangat baik.
3. Air memerlukan panas yang tinggi pada proses penguapan. Penguapan
adalah proses perubahan air menjadi uap air.
4. Air merupakan pelarut yang baik.
5. Air memiliki tegangan permukaan yang tinggi.
6. Air merupakan satu-satunya senyawa yang merenggang ketika membeku.

2.3 Kualitas Air


Kelayakan air dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Kualitas air
adalah sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain
dalam air yang mencakup kualitas fisik, kimia dan biologis (Effendi, 2003).

2.3.1 Kualitas Fisik Air


Menurut Tim Penyusun (2017) beberapa kualitas fisik air diantaranya:
a. Kekeruhan
Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan anorganik dan
organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh
buangan industri.
b. Temperatur
Kenaikan temperatur air menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut.
Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak
sedap akibat degradasi anaerobic ynag mungkin saja terjadi.
c. Warna
Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan
tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta
tumbuh-tumbuhan.
5

d. Solid (Zat padat)


Kandungan zat padat menimbulkan bau busuk, juga dapat meyebabkan
turunnya kadar oksigen terlarut. Zat padat dapat menghalangi penetrasi sinar
matahari kedalam air.
e. Bau dan rasa
Bau dan rasa dapat dihasilkan oleh adanya organisme dalam air seperti
alga serta oleh adanya gas seperti H2S yang terbentuk dalam kondisi anaerobik,
dan oleh adanya senyawa-senyawa organik tertentu

2.3.2 Kualitas Kimia Air


Menurut Tim Penyusun (2017) beberapa kualitas kimia air diantaranya:
1. pH
Pembatasan pH dilakukan karena akan mempengaruhi rasa, korosifitas air
dan efisiensi klorinasi. Beberapa senyawa asam dan basa lebih toksid dalam
bentuk molekuler, dimana disosiasi senyawa-senyawa tersebut dipengaruhi oleh
pH.
2. DO (dissolved oxygent)
DO adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa
dan absorbsi atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah DO maka kualitas air
semakin baik. Satuan DO biasanya dinyatakan dalam persentase saturasi.
3. BOD (biological oxygent demand)
BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorgasnisme
untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat pencerna) yang terdapat di dalam air
buangan secara biologi. BOD dan COD digunakan untuk memonitoring kapasitas
self purification badan air penerima.
4. COD (chemical oxygent demand)
COD adalah banyaknya oksigen yang di butuhkan untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik secara kimia.
5. Kesadahan
Kesadahan air yang tinggi akan mempengaruhi efektifitas pemakaian
sabun, namun sebaliknya dapat memberikan rasa yang segar. Di dalam pemakaian
6

untuk industri (air ketel, air pendingin, atau pemanas) adanya kesadahan dalam air
tidaklah dikehendaki. Kesadahan yang tinggi bisa disebabkan oleh adanya kadar
residu terlarut yang tinggi dalam air.
6. Senyawa-senyawa kimia yang beracun
Kehadiran unsur arsen (As) pada dosis yang rendah sudah merupakan
racun terhadap manusia sehingga perlu pembatasan yang agak ketat (± 0,05 mg/l).
Kehadiran besi (Fe) dalam air bersih akan menyebabkan timbulnya rasa dan bau
ligam, menimbulkan warna koloid merah (karat) akibat oksidasi oleh oksigen
terlarut yang dapat menjadi racun bagi manusia.

2.4 Sumber Air


Air dapat bersumber dari air hujan yaitu air yang berasal dari proses
evaporasi, kondensasi, dan presipitasi, sehingga air tersebut benar-benar murni
sebagai H2O, dengan demikian tidak terlarut sebagai mineral. Sifat air yang
demikian itu, disebut dengan air lunak (soft water) dan bila di minum rasanya
relatif kurang segar. Derajat kekotoran air hujan sangat dipengaruhi oleh derajat
pencemaran dari udara dimana hujan terjadi. Semakin tinggi tingkat pencemaran,
maka akan semakin banyak pula zat-zat pencemar yang dibawa turun oleh air
hujan. Hal ini tidak berlangsung lama, karena beberapa menit setelah hujan, maka
air hujan tersebut relatif bersih dari zat-zat pencemar. Dengan kurangnya zat
mineral yang terkandung di dalamnya maka tambahan garam mineral dalam
makanan sangat dibutuhkan, yaitu untuk mengurangi akibat kekurangan zat
mineral tertentu seperti sakit gondok.
Penggunaan air hujan sebagai sumber air minum dalam masyarakat
maupun secara perorangan adalah merupakan jalan terakhir, apabila sumber air
lain tidak bisa dimanfaatkan. Selain itu air juga bersumber dari air permukaan,
yaitu berupa air sungai, air danau maupun waduk adalah merupakan air yang
kurang baik untuk langsung di konsumsi oleh manusia, karena itu perlu adanya
pengolahan terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan (Sanropie, 1984).
7

2.5 Proses Pengolahan Air


Menurut Rahmat (2010) proses pengolahan air menjadi air bersih harus
melalui beberapa tahapan-tahapan, yaitu:
1. Screening
Screening berfungsi untuk memisahkan air dari sampah-sampah dalam
ukuran besar.
2. Tangki sedimentasi
Tangki sedimentasi berfungsi untuk mengendapkan kotoran-kotoran
berupa lumpur dan pasir. Pada tangki sedimentasi terdapat waktu tinggal. Ke
dalam tangki sedimentasi ini diinjeksikan klorin yang berfungsi sebagai oksidator
dan desinfektan. Sebagai oksidator klorin digunakan untuk menghilangkan bau
dan rasa pada air.
3. Klarifier (clearator)
Klarifier berfungsi sebagai tempat pembentukan flok dengan penambahan
larutan Alum (Al2(SO4)3 sebagai bahan. Pada klarifier terdapat mesin agitator
yang berfungsi sebagai alat untuk mempercepat pembentukan flok. Pada klarifier
terjadi pemisahan antara air bersih dan air kotor. Air bersih ini kemudian
disalurkan dengan menggunakan pipa yang besar untuk kemudian dipompakan ke
filter. Klarifier terbuat dari beton yang berbentuk bulat yang dilengkapi dengan
penyaring dan sekat.
Dari inlet pipa klarifier, air masuk ke dalam primary reaction zone.
Prymary reaction zone dan secondary reaction zone di dalamnya terdapat, air dan
bahan kimia (koagulan yaitu tawas) diaduk dengan alat agitator blade agar
tercampur homogen. Maka koloid akan membentuk butiran-butiran flokulasi.
Air yang telah bercampur dengan koagulan membentuk ikatan flokulasi,
masuk melalui return floc zone dialirkan ke clarification zone. Sedimen yang
mengendap dalam concentrator dibuang. Hal ini berlangsung secara otomatis
yang akan terbuka setiap satu jam sekali dalam waktu 1 menit. Air yang masuk ke
dalam clarification zone sudah tidak dipengaruhi oleh gaya putaran oleh agitator,
sehingga lumpurnya mengendap. Air yang berada dalam clarification zone adalah
air yang sudah jernih.
8

4. Sand Filter
Penyaring yang digunakan adalah rapid sand fliter (filter saringan cepat).
Sand filter jenis ini berupa bak yang berisi pasir kwarsa yang berfungsi untuk
menyaring flok halus dan kotoran lain yang lolos dari klarifier. Air yang masuk ke
filter ini telah dicampur terlebih dahulu dengan klorin dan tawas.
Media penyaring biasanya lebih dari satu lapisan, yaitu pasir kwarsa dan
batu dengan mesh tertentu. Air mengalir ke bawah melalui media tersebut. Zat-zat
padat yang tidak larut akan melekat pada media, sedangkan air yang jernih akan
terkumpul di bagian dasar dan mengalir keluar melalui suatu pipa menuju
reservoir.
5. Reservoir
Reservoir berfungsi sebagai tempat penampungan air bersih yang telah
disaring melalui filter, air ini sudah menjadi air yang bersih yang siap digunakan
dan harus dimasak terlebih dahulu untuk kemudian dapat dijadikan air minum.
2.6 Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan
secara gravitasi untuk menyisihkan suspense. Pada umumnya sedimentasi
digunakan pada pengolahan air minum, pengolahan air limbah, dan pada
pengolahan air limbah tingkat lanjutan (Yulianti, 2012). Pada pengolahan air
minum, terapan sedimentasi khususnya untuk:
1. Pengendapan air permukaan, khususnya untuk pengolahan dengan filter
pasir cepat.
2. Pengendapan flok hasil koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum disaring
dengan filter pasir cepat.
3. Pengendapan flok hasil penurunan kesadahan menggunakan soda-kapur.
4. Pengendapan lumpur pada penyisihan besi dan mangan. Pada pengolahan
air limbah, sedimentasi umumnya digunakan untuk :
a. Penyisihan grit, pasir, atau silt (lanau).
b. Penyisihan padatan tersuspensi pada clarifier pertama.
c. Penyisihan flok/lumpur biologis hasil proses activated sludge pada
clarifier akhir.
9

d. Penyisihan humus pada clarifier akhir setelah trickling filter. Pada


pengolahan air limbah tingkat lanjutan, sedimentasi ditujukan untuk
penyisihan lumpur setelah koagulasi dan sebelum proses filtrasi.
Selain itu, pada prinsip sedimentasi juga digunakan dalam pengendalian
partikel di udara. Prinsip sedimentasi pada pengolahan air minum dan air limbah
adalah sama, demikian juga untuk metoda dan peralatannya.

Gambar 2.1 Bak sedimentasi


Bak sedimentasi umumnya dibangun dari bahan beton bertulang dengan
bentuk lingkaran bujur sangkar atau segi empat. Bak berbentuk lingkaran
umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter dan kedalaman 3 hingga 4,3 meter.
Bak berbentuk bujur sangkar umumnya mempunyai lebar 10 hingga 70 meter dan
kedalaman 1,8 hingga 5,8 meter. Bak berbentuk segi empat umumya mempunyai
lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang bak sampai 76 meter, dan kedalaman lebih dari
1,8 meter. Klasifikasi sedimentasi didasarkan pada konsentrasi partikel dan
kemampuan partikel untuk berinteraksi. Menurut Lopez dkk (2008) klasifikasi ini
dapat dibagi kedalam empat tipe,yaitu :
a. Settling tipe I: pengendapan partikel diskrit, partikel mengendap secara
individual dan tidak ada interaksi antar-partikel.
b. Settling tipe II: pengendapan partikel flokulen, terjadi interaksi antar-
partikel sehingga ukuran meningkat dan kecepatan pengendapan
bertambah.
10

c. Settling tipe III: pengendapan pada lumpur biologis, dimana gaya antar
partikel saling menahan partikel lainnya untuk mengendap.
d. Settling tipe IV: terjadi pemampatan partikel yang telah mengendap yang
terjadi karena berat partikel.

Gambar 2.2 Empat Tipe Sedimentasi

1. Sedimentasi Tipe 1/Plain Settling/Discrete particle


Merupakan pengendapan partikel tanpa menggunakan koagulan. Yang
dimaksud dengan discrete particle adalah partikel yang tidak mengalami
perubahan bentuk, ukuran maupun berat selama partikel tersebut mengendap.
Proses pengendapan partikel berlangsung semata-mata akibat pengaruh gaya
partikel atau berat sendiri partikel. Pengendapan akan berlangsung sempurna
apabila aliran dalam keadaan tenang (aliran laminar). Tujuan dari unit ini adalah
menurunkan kekeruhan air baku dan digunakan pada grit chamber. Pengendapan
sebuah discrete particle di dalam air hanya dipengaruhi oleh karakteristik air dan
partikel yang bersangkutan. Dalam perhitungan dimensi efektif bak, faktor-faktor
yang mempengaruhi performance bak seperti turbulensi pada inlet dan outlet,
pusaran arus lokal, pengumpulan lumpur, besar nilai G sehubungan dengan
penggunaan perlengkapan penyisihan lumpur dan faktor lain diabaikan untuk
menghitung performance bak yang lebih sering disebut dengan ideal settling
basin.
11

Gambar 2.3 Sedimentasi Tipe 1


Partikel yang mempunyai rapat masa lebih besar dari rapat masa air akan
bergerak vertikal ke bawah. Gerakan partikel di dalam air yang tenang akan
diperlambat oleh gaya hambatan akibat kekentalan air (drag force) sampai dicapai
suatu keadaan dimana besar gaya hambatan setara dengan gaya berat efektif
partikel di dalam air. Setelah itu gerakan partikel akan berlangsung secara konstan
dan disebut terminal settling velocity. Gaya hambatan yang dialami selama
partikel bergerak di dalam air dipengaruhi oleh kekasaran, ukuran, bentuk, dan
kecepatan gerak partikel serta rapat masa dan kekentalan air.
2. Sedimentasi Tipe 2 (Flocculant Settling)
Partikel yang berada dalam larutan encer sering tidak berlaku sebagai
partikel mandiri (discrete particle) tetapi sering membentuk gumpalan (flocculant
particle) selama mengalami proses sedimentasi. Bersatunya beberapa partikel
membentuk gumpalan akan memperbesar rapat masanya, sehingga akan
mempercepat pengendapannya.
Proses penggumpalan (flocculation) di dalam kolam pengendapan akan
terjadi tergantung pada keadaan partikel untuk saling berikatan dan dipengaruhi
oleh beberapa variabel seperti laju pembebanan permukaan, kedalaman kolam,
gradient kecepatan, konsentrasi partikel di dalam air dan range ukuran butir.
Pengaruh dari variabel-variabel tersebut dapat ditentukan dengan percobaan
sedimentasi.
Pengendapan material koloid dan solid tersuspensi terjadi melalui adanya
penambahan koagulan, biasanya digunakan untuk mengendapkan flok-flok kimia
setelah proses koagulasi dan flokulasi. Pengendapan partikel flokulen akan lebih
12

efisien pada ketinggian bak yang relatif kecil. Karena tidak memungkinkan untuk
membuat bak yang luas dengan ketinggian minimum, atau membagi ketinggian
bak menjadi beberapa kompartemen, maka alternatif terbaik untuk meningkatkan
efisiensi pengendapan bak adalah dengan memasang tube settler pada bagian atas
bak pengendapan untuk menahan flok–flok yang terbentuk. Faktor-faktor yang
dapat meningkatkan efisiensi bak pengendapan adalah:
 Luas bidang pengendapan;
 Penggunaan baffle pada bak sedimentasi;
 Mendangkalkan bak;
 Pemasangan plat miring.
3. Sedimentasi Tipe III dan IV
Sedimentasi tipe III adalah pengendapan partikel dengan
konsentrasi yang lebih pekat, dimana antar partikel secara bersama-sama saling
menahan pengendapan partikel lain di sekitarnya. Karena itu pengendapan terjadi
secara bersama-sama sebagai sebuah zona dengan kecepatan yang konstan. Pada
bagian atas zona terdapat interface yang memisahkan antara massa partikel yang
mengendap dengan air jernih. Sedimentasi tipe IV merupakan kelanjutan dari
sedimentasi tipe III, di mana terjadi pemampatan (kompresi) massa partikel
hingga diperoleh konsentrasi lumpur yang tinggi. Sebagai contoh sedimentasi tipe
III dan IV ini adalah pengendapan lumpur biomassa pada final clarifier setelah
proses lumpur aktif. Tujuan pemampatan pada final clarifier adalah untuk
mendapatkan konsentrasi lumpur bomassa yang tinggi, keperluan resirkulasi
lumpur ke dalam reaktor lumpur aktif.

Gambar 2.4 Pengendapan pada Final Klarifier untuk Proses Lumpur Aktif
13

Menurut Bhupalaka (2010) proses sedimentasi terbagi atas tiga macam


berdasarkan konsentrasi dan kecenderungan partikel berinteraksi:
a. Aliran melalui bak terdistribusi merata melintasi sisi melintang bak.
b. Partikel terdispersi merata dalam air.
c. Pengendapan partikel yang dominan terjadi pada dasar bak sedimentasi.
Terdapat beberapa bentuk bak sedimentasi yaitu:
1. Segi empat (rectangular)
Pada bak ini air mengalir horizontal dari inlet menuju outlet, sementara
partikel mengendap ke bawah.

(a) (b)

Gambar 2.5 Bak Sedimentasi Berbentuk Segiempat: (a) Denah, (b) Potongan
Memanjang
2. Lingkaran (circular)-center feed
Pada bak ini air masuk melalui pipa menuju inlet bak dibagian tengah bak,
kemudian air mengalir horizontal dari inlet menuju outlet disekeliling bak,
sementara partikel mengendap ke bawah. Secara tipikal bak persegi mempunyai
rasio panjang : lebar antara 2:1 – 3:1.

(a) (b)
Gambar 2.6 Bak Sedimentasi Berbentuk Lingkaran-center feed (a) Denah,
(b) Potongan Melintang
14

3. Lingkaran (circular) – periferal feed


Pada bak ini air masuk melalui sekeliling lingkaran dan secara horizontal
mengalir menuju ke outlet dibagian tengah lingkaran, sementara partikel
mengendap ke bawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe periferal feed
menghasilkan short circuit yang lebih kecil dibandingkan tipe center feed,
walaupun center feed lebih sering digunakan. Secara umum pola aliran pada bak
lingkaran kurang mendekati pola ideal dibanding bak pengendap persegi panjang.
Meskipun demikian, bak lingkaran lebih sering digunakan karena penggunaan
peralatan pengumpul lumpurnya lebih sederhana.

(a) (b)

Gambar 2.7 Bak Sedimentasi Berbentuk Lingkaran–periferal feed: (a) Denah,


(b) Potongan Melintang
Sebuah bak sedimentasi ideal dibagi menjadi 4 zona, yaitu:
a. Zona inlet
Dalam zona ini aliran terdistribusi tidak merata melintasi bagian melintang
bak. Aliran meninggalkan zona inlet mengalir secara horisontal dan langsung
menuju bagian outlet.
b. Zona pengendapan
Dalam zona ini, air mengalir pelan secara horisontal ke arah outlet. Dalam
zona ini terjadi proses pengendapan. Lintasan partikel diskret tergantung pada
besarnya kecepatan pengendapan.
c. Zona lumpur
Dalam zona ini lumpur terakumulasi. Sekali lumpur masuk area ini ia akan
tetap disana.
15

d. Zona outlet
Dalam zona ini, air yang partikelnya telah terendapkan terkumpul pada
bagian melintang bak dan siap mengalir keluar bak.

Gambar 2.8 Sedimentation Basin Zones

2.7 Parameter TDS, TSS, dan TS


Total suspended solid atau padatan tersuspensi total (TSS) adalah residu
dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal
2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Yang termasuk TSS adalah
lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri dan jamur. TSS
umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan
kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi cahaya untuk
fotosintesis dan visibilitas di perairan. Sehingga nilai kekeruhan tidak dapat
dikonversi ke nilai TSS.
Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel untuk menyebarkan
cahaya. Sementara hamburan diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi dalam
sampel. Kekeruhan adalah murni sebuah sifat optik. Pola dan intensitas sebaran
akan berbeda akibat perubahan dengan ukuran dan bentuk partikel serta materi.
Sebuah sampel yang mengandung 1.000 mg/L dari fine talcum powder akan
memberikan pembacaan yang berbeda kekeruhan dari sampel yang mengandung
1.000 mg/L coarsely ground talc. Kedua sampel juga akan memiliki pembacaan
yang berbeda kekeruhan dari sampel mengandung 1.000 mg/L ground pepper.
Meskipun tiga sampel tersebut mengandung nilai TSS yang sama.
16

Perbedaan antara padatan tersuspensi total (TSS) dan padatan terlarut total
(TDS) adalah berdasarkan prosedur penyaringan. Padatan selalu diukur sebagai
berat kering dan prosedur pengeringan harus diperhatikan untuk menghindari
kesalahan yang disebabkan oleh kelembaban yang tertahan atau kehilangan bahan
akibat penguapan atau oksidasi (Yayan dkk, 2009).
Prinsip analisa TSS sebagai berikut: Contoh uji yang telah homogen
disaring dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada
saringan dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai
dengan 105ºC. Kenaikan berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS).
Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan,
diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume contoh uji.
Untuk memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara padatan terlarut total
dan padatan total.
(A−B)
TSS (mg/L) = x1000 ...................................... (1)
V

Dengan:
A = berat kertas saring + residu kering (mg)
B = berat kertas saring (mg)
V = volume (mL)
17

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Bahan-Bahan yang Digunakan


1. Air Waduk LPPM UR
2. Akuades
3. Alum/Tawas

3.2 Alat-Alat yang Digunakan


1. Tangki rerata
2. Pompa
3. Corong gelas
4. Bak equalisasi
5. Bak sedimentasi
6. Cawan penguap
7. Gelas ukur 2000 ml
8. Kertas saring
9. Neraca analitik
10. Oven
11. TDS meter

3.3 Prosedur Percobaan


3.1.1 Tahap Persiapan
Alat diperiksa sehingga aliran air dapat mengalir, mudah diamati, dan
mudah dioperasikan. Skema/susunan alat dapat dilihat pada gambar:

Bak Bak sedimentasi


Equalisasi/Tangki

Sampel air dari waduk LPPM UR dimasukkan ke dalam tangki penampungan.


Kemudian sampel diperiksa dengan parameter TDS, TSS, dan TS sebelum
dialirkan ke bak equalisasi. Selanjutnya tawas dimasukkan kedalam tangki yang
berisi sampel dan diaduk selama 20 menit.
18

Air dialirkan ke dalam bak equalisasi dan diperiksa dengan parameter


TDS, TSS, dan TS. Untuk perobaan pertama dipakai 8 plate settler dengan waktu
tinggal 2½ jam dan pada percobaan kedua dipakai 6 plate settler dengan waktu
tinggal 1 jam.

3.3.2 Pengukuran TDS, TSS, dan TS


Air yang telah dialirkan kedalam bak equalisasi diambil sebanyak 200 ml.
Kemudian sampel air tersebut disaring menggunakan kertas saring. Kertas saring
yang terdapat endapan kemudian dioven selama 5 menit pada suhu 1050C hingga
beratnya konstan setelah ditimbang. Selanjutnya endapan yang telah dioven
dengan kertas saring dihitung berat dari TSS nya. Kemudian filtrat hasil saringan
air dilakukan pemeriksaan TDS dengan menggunakan TDS meter. Setelah itu
dihitung TS nya dengan menjumlahkan TDS dan TSS.

3.4 Rangkaian Alat


Rangkaian alat yang digunakan pada percobaan ini dapat dilihat pada
gambar 3.1.

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Proses Sedimentasi pada Pengolahan Air


19

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan
Tabel 4.1 Data Hasil Pengukuran TDS, TSS, dan TS
Jumlah Waktu TDS Efisiensi TSS Efisiensi TS Efisiensi
Plate Detensi (gr) (gr) (%) (gr) (%)
(%)
(menit)
6 60 0,156 35 0,46 57,79 0,459 39,77
8 150 0,171 28,87 0,63 42,20 0,801 65,48

4.2 Pembahasan
Pada percobaan ini, digunakan sampel air dari waduk LPPM UR sebagai
bahan dalam pengolahan air. Langkah yang pertama harus dilakukan adalah
menghitung TDS dan TSS dari sampel air waduk LPPM UR. TDS dapat diukur
menggunakan alat TDS meter, sedangkan TSS diukur menggunakan metode
gravimetri. Berdasarkan hasil pengukuran, didapatkan TDS dan TSS dari sampel
air waduk LPPM UR adalah sebesar 1200 mg/L dan 1,09 gram.
Setelah itu sampel air yang sudah berada di tangki ditambahkan tawas
sebanyak 1 kg dan diaduk selama 20 menit. Tawas ini digunakan sebagai bahan
koagulan yang bertujuan untuk menjernihkan air dan mengikat partikel-partikel
air hingga menggumpal dan mengendap. Kemudian sampel air yang telah
ditambahkan tawas diukur TDS dan TSS nya, sehingga didapatkan TDS nya
sebesar 858 mg/L dan TSS nya sebesar 0,82 gram.
Percobaan ini menggunakan proses sedimentasi dengan variabel jumlah
plate dan waktu detensi. Percobaan ini menggunakan bak sedimentasi dan bak
equilisasi. Sampel air mengalir horizontal dari inlet menuju outlet sementara
partikel mengendap ke bawah.
Pada percobaan pertama dengan menggunakan 8 plate dan waktu detensi
selama 150 menit, didapatkan TDS sebesar 854 mg/L dengan efisiensi 28,87%
dan TSS sebesar 0,63 gram dengan efisiensi 42,20%. Sedangkan pada percobaan
kedua dengan menggunakan 6 plate dan waktu detensi selama 60 menit,
20

didapatkan TDS sebesar 782 mg/L dengan efisiensi 35%dan TSS sebesar 0,46
gram dengan efisiensi 57,79%.
70
60
50
40
Efisiensi

30
TDS
20 TSS
10
0
0 2 4 6 8 10
Jumlah Plate

Gambar 4.1 Hubungan Jumlah Plate dengan Efisiensi TDS dan TSS

70
60
50
40
Efisiensi

30 TDS

20 TSS

10
0
0 50 100 150 200
Waktu Detensi

Gambar 4.2 Hubungan Waktu Detensi dengan Efisiensi TDS dan TSS

Pada Gambar 4.1 dan 4.2 dapat dilihat bahwa waktu detensi dan jumlah
plat berpengaruh terhadap efisiensi dari TDS dan TSS. Gambar 4.1 menunjukkan
semakin banyak jumlah plat maka nilai efisiensi dari TDS dan TSS menurun.
Untuk jumlah plate 6 buah efisiensi TDS dan TSS nya sebesar 35% dan 57,79%.
Sedangkan untuk jumlah plate 8 buah efisiensi TDS dan TSS nya sebesar 28,87%
dan 42,20%. Hal ini berarti proses sedimentasi akan efektif jika jumlah plate
yang digunakan semakin banyak karena plate akan memperluas bidang
21

pengendapan sehingga proses fisika dari sedimentasi dapat berlangsung lebih


efektif. Berdasarkan teori, plate dapat menghasilkan luas area pengendapan 1/4
sampai 1/6 dari yang dihasilkan bak sedimentasi konvensional (Husnaeni dkk,
2010).
Pada Gambar 4.2 menunjukkan semakin lama waktu detensinya maka
semakin naik nilai dari efisiensi TDS dan TSS-nya. Untuk waktu detensi nya 60
menit efisiensi TDS dan TSS nya sebesar 35% dan 57,79%. Sedangkan untuk
waktu detensi nya 150 menit sebesar 28,87% dan 42,20%. Hal ini dikarenakan
waktu detensi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengendapnya partikel
padatan, sehingga semakin lama waktu detensinya maka semakin banyak partikel
padat yang akan mengendap sehingga proses pengolahan air tersebut berjalan
cukup efektif (
22

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Proses sedimentasi merupakan proses pemisahan solid-liquid
menggunakan pengendapan secara gravitasi untuk menyisihkan suspensi.
2. Semakin banyak jumlah plate detensi maka nilai efisiensi dari TDS dan
TSS menurun, karena plate akan memperluas bidang pengendapan
sehingga proses fisika dari sedimentasi dapat berlangsung lebih efektif.
3. Semakin lama waktu detensinya maka semakin naik nilai dari efisiensi
TDS dan TSS nya, karena semakin banyak partikel padat yang akan
mengendap sehingga proses pengolahan air tersebut berjalan cukup
efektif.
4. Efisiensi pengendapan pada proses pengolahan air dengan jumlah plate 8
dan waktu detensi 150 menit yaitu sebesar 39,77%%, dengan efisiensi
pengendapan TSS sebesar 42,20% dan TDS 28,75%, sedangkan efisiensi
pengendapan pada proses pengolahan air dengan jumlah plate 6 dan waktu
detensi 60 menit yaitu sebesar 65,48%, dengan efisiensi pengendapan TSS
sebesar 57,79% dan TDS 35%.

5.2 Saran
1. Sebaiknya praktikan lebih teliti saat memeriksa alat dan bahan dalam
proses pengolahan air.
2. Sebaiknya praktikan lebih memahami prosedur pengolahan air sehingga
tidak terjadi kesalahan pada saat proses berlangsung.
23

DAFTAR PUSTAKA

Bhupalaka. 2010. Sedimentasi.


http://bhupalaka.files.wordpress.com/2010/12/sedimentasi.pdf. Diakses
pada tanggal 29 Oktober 2017.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengolahan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogyakarta. Kanisius.
Hanum, Farida. 2002. Proses Pengolahan Air Sungai untuk Keperluan Air
Minum. Diakses tanggal 29 Oktober 2017.
Lopez, P.R., Lavin, A.G., Lopez, M.M., dan Heras, J.L. 2008. “Flow Models for
Rectangular Sedimentation Tanks”. Chemical Engineering and Processing:
Process Intensification 47, 9-10: 1705-1716.
Rahmat. 2010. Pengolahan Air dengan Sedimentasi. http://dc346.4shared.com/
doc/tSg9MBKW/preview.html. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2017.
Sanropie, Djasio, dkk. 1984. Buku Pedoman Studi Penyediaan Air Bersih.
Akademi Pemilik Kesehatan Teknologi Sanitasi. Pusdiknakes. Jakarta.
Sutrino, T. 2004. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta . Jakarta
Suriawiria, U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Jakarta. Papar Sinar Sinanti.
Tim Penyusun. 2017. Penuntun Praktikum Laboratarium Teknik Kimia I.
Pekanbaru: Universitas Riau.
Yayan, subagyo. 2009. Proses Pengolahan Air. yayan-industri.blogspot.com/
2009/11/proses-pengolahan-air.html Diakses pada tanggal 29 Oktober
2017.
Yulianti, PC. 2012. Studi Literatur Desain Unit Prasedimentasi Instalasi
Pengolahan Air Minum. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
24

LAMPIRAN A
PERHITUNGAN

A.1 Nilai TSS, TDS dan TS dari Air Waduk LPPM (Cin/Awal)
 Volume 200 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,10 gr
 Berat kertas saring + sampel = 2,19 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring+ sampel) – Berat kertas saring kosong
= 2,19 gr − 1,10 gr
= 1,09 gr
 TDS
𝑚𝑔 1𝑔 1 𝑙𝑖𝑒𝑡𝑟
= 1200 mg/liter = 1200𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 × 1000 𝑚𝑔 × 200 ml × 1000 𝑚𝑙

= 0,24 gr
 TS
= TSS + TDS = 1,09 gr + 0,24 gr = 1,33 gr
A.2 Nilai TSS, TDS dan TS dari Air Waduk LPPM + Tawas (Cin/Awal)
 Volume 200 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,08 gr
 Berat kertas saring + sampel = 1,9 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring + sampel) – Berat kertas saring kosong
= 1,9 gr − 1,08 gr
= 0,82 gr
 TDS
𝑚𝑔 1𝑔 1 𝑙𝑖𝑒𝑡𝑟
= 858 mg/liter = 858𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 × 1000 𝑚𝑔 × 200 ml × 1000 𝑚𝑙

= 0,172gr
 TS
= TSS + TDS = 0,82 gr + 0,172 gr = 0,992 gr
25

A.3 Variabel Perlakuan dengan Waktu Tinggal 2 ½ jam (8 plat) (CoutI)


 Volume 200 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,06 gr
 Berat kertas saring + sampel = 1,69 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring + sampel) – Berat kertas saring kosong
= 1,69 gr – 1,06 gr
= 0,63 gr
 TDS
𝑚𝑔 1𝑔 1 𝑙𝑖𝑒𝑡𝑟
= 854 mg/liter = 854𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 × 1000 𝑚𝑔 × 200 ml × 1000 𝑚𝑙

= 0,171gr
 TS
= TSS + TDS = 0,63 gr + 0,171 gr = 0,801 gr
A.4 Variabel Perlakuan dengan Waktu Tinggal 1 jam (6 plat) (CoutII)
 Volume 200 ml
 Berat kertas saring kosong = 1,07 gr
 Berat kertas saring + sampel = 1,53 gr
 Berat sampel (TSS)
= (Berat kertas saring + sampel) – Berat kertas saring kosong
= 1,53 gr − 1,07 gr
= 0,46 gr
 TDS
𝑚𝑔 1𝑔 1 𝑙𝑖𝑒𝑡𝑟
= 782 mg/liter = 782𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 × 1000 𝑚𝑔 × 200 ml × 1000 𝑚𝑙

= 0,156gr
 TS
= TSS + TDS = 0,46 gr + 0,156 gr = 0,459 gr
26

A.5 Efisiensi
C in−C out
1. Efisiensi Cout I = x 100%
C in
1,33−0,801
= X 100%
1,33

= 39,77%
C in−C out
2. Efisiensi Cout II = x 100%
C in
1,33−0,459
= X 100%
1,33

= 65,48%
C in−C out
3. Efisiensi TSS pada 2 ½ Jam = x 100%
C in
1,09−0,63
= X 100%
1,09

= 42,20%
C in−C out
4. Efisiensi TTS pada 1 Jam = x 100%
C in
1,09−0,46
= X 100%
1,09

= 57,79%
C in−C out
5. Efisiensi TDS pada 2 ½ Jam = x 100%
C in
0,24−0,171
= X 100%
0,24

= 28,75%
C in−C out
6. Efisiensi TDS pada 1 Jam = x 100%
C in
0,24−0,156
= X 100%
0,24

= 35%
27

LAMPIRAN B
DOKUMENTASI

Gambar B.1 Tangki Air Gambar B.2 Campuran Tawas + Air

Gambar B.3 Bak Sedimentasi 8 Gambar B.4 Bak Sedimentasi 6


Plate settler Plate settler

Gambar B.5 TDS meter Gambar B.6 Pengambilan Hasil


Sedimentasi
28

Gambar B.7 Penyaringan Gambar B.8 Pengukuran TDS

Gambar B.9 Pengovenan Gambar B.4 Hasil Pengovenan

Anda mungkin juga menyukai