Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah dan Properti

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 yang berisikan tentang, tanah

merupakan suatu faktor sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat, terlebih-

lebih di lingkungan masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya

menggantungkan kehidupan dari tanah. Dalam rangka pembangunan nasional untuk

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik sebagai

wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk

menghasilkan omoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna

meningkatkan pendapatan nasional.

Tanah dalam arti ekonomi didefinisikan sebagai seluruh materi alam semesta

di luar produk itu sendiri dan orang-orang. Ini mencakup semua sumber daya alam,

bahan, gelombang udara, serta tanah. Semua udara, tanah, mineral dan air termasuk

dalam definisi tanah. Semuanya bebas diberikan oleh alam, dan tidak dibuat oleh

manusia, dikategorikan sebagai tanah. Tanah memegang posisi yang unik dan

penting dalam lingkungan sosial, politik, dan ekonomi. Tanah mendukung semua

kehidupan dan berdiri di tengah-tengah budaya dan lembaga-lembaga manusia.

Tanah tidak memiliki biaya produksi. Ini adalah hadiah dari alam untuk umat

manusia, yang memungkinkan kehidupan untuk melanjutkan dan makmur. Keunikan

berasal dari pasokan tetap tanah dan imobilitas. Tanah tidak dapat diproduksi atau

direproduksi. Lahan yang dibutuhkan secara langsung atau tidak langsung dalam

6
7

produksi semua barang dan jasa. Tanah adalah sumber daya yang paling dasar dan

sumber dari semua kekayaan (Putra dkk., 2013).

Hal ini sejalan dengan pengertian nilai menurut Fahirah dkk. (2010) yang

menyatakan bahwa Tanah arti Lahan (site) adalah permukaan daratan dengan

kekayaan benda adat, air dan gas, sedangkan tanah (soil) yang dimaksud dalam hal

ini adalah benda yang berwujud padat, cair dan gas yang tersusun oleh bahan organik

dan anorganik yang terdapat dalam tanah. Tanah banyak dijadikan sebagai barang

investasi yang menguntungkan dan sekaligus mendorong untuk melakukan spekulasi

karena di satu aspek ketersediaan lahan tersebut, sedangkan di aspek lain permintaan

akan lahan semakin bertambah terus, sehingga mengakibatkan nilai tanah menjadi

mahal terutama bila berdekatan dengan pusat-pusat kota.

Properti adalah konsep hukum yang mencangkup kepentingan, hak dan

manfaat yang berkaitan dengan suatu kepemilikan. Properti terdiri atas hak

kepemilikan, yang memberikan hak kepada pemilik untuk suatu kepentingan tertentu

(specific interest) atau sejumlah kepentingan atas apa yang dimiliknya. Oleh karena

itu, kita wajib memperhatikan konsep hukum dari properti yang meliputi segala

sesuatu yang merupakan segala konsep kepemilikan atau hak dan kepentingan yang

bernilai, berbentuk benda atau bukan (corporeal or non corporeal), berwujud atau

tidak bewujud, dapat dilihat atau tidak, yang memiliki nilai tukar atau yang dapat

membentuk kekayaan. Penggunaan kata properti tanpa adanya kualifikasi atau

penjelasan tambahan, dapat merujuk kepada real properti, personal properti atau jenis

properti lainnya seperti perusahaan/badan usaha KHF (segala hak yang menunjukkan

kepemilikan finansial) atau kombinasi darinya (Komite Standar Penilaian Indonesia,

2015).
8

Real Properti adalah kepemilikan atas kepentingan hukum yang melekat pada

real estate atau hubungan hukum penguasaan yuridis oleh pemilik atas real estate.

Hubungan hukum ini biasanya tercatat didalam suatu dokumen, misalnya sertifikat

kepemilikan atau perjanjian sewa. Oleh karena itu, properti merupakan suatu konsep

hukum yang berada dengan real estate, dimana real estae mewakili asset secara fisik.

Real properti meliputi semua hak, hubungan-hubungan hukum, dan manfaat yang

berkaitan dengan kepemilikan real estate. Sebaliknya, real estate meliputi tanah dan

bangunan itu sendiri, segala benda yang secara alamiah terdapat diatas tanah dan

melekat pada tanah, seperti bangunan dan bentuk pengembangan lainnya (Komite

Standar Penilaian Indonesia, 2015).

2.2. Nilai Pasar Tanah Properti

Nilai Pasar adalah representasi nilai dalam pertukaran atau sejumlah uang

yang dapat diperoleh, atas suatu aset jika aset tersebut di tawarkan untuk dijual di

pasar (terbuka) pada tanggal penilaian dan dalam kondisi yang sesuai dengan

persyaratan definisi nilai pasar. Untuk mengestimasi Nilai Pasar atas aset (kecuali

aset keuangan), seorang Penilai harus terlebih dahulu menentukan penggunaan yang

Tertinggi dan Terbaik (HBU), merujuk kepada konsep dan prinsip umum penilai.

HBU tersebut dapat berupa kelanjutan dari penggunaan aset yang ada atau alternatif

penggunaan lain. Penentuan penggunaan yang tertinggi dan terbaik ini ditentukann

berdasarkan data pasar (Komite Standar Penilaian Indonesia, 2015).

Hal ini sejalan dengan pengertian nilai pasar menurut Putra dkk. (2013) yang

menyatakan bahwa Nilai pasar didefinisikan sebagai penjualan properti dalam situasi

rata-rata, dengan asumsi bahwa kedua pihak memiliki informasi yang lengkap dan
9

kebebasan untuk membuat pilihan. Rata-rata situasi berarti bahwa tidak ada keadaan

khusus yang mempengaruhi keputusan mereka.

Serta berdasarkan gambaran konseptual menurut Putra dkk. (2015), nilai

tanah adalah fungsi dari hubungan antara harga dan kuantitas pasokan dan

permintaan lahan. Perubahan fungsi di daerah ruang karena meningkatnya

permintaan lahan, sehingga berdampak pada pasokan lahan yang disesuaikan dengan

penggunaannya.

Penerapan nilai pasar untuk penilaian real properti, mengasumsikan bahwa

properti yang dinilai harus dianggap seolah-olah diperjual belikan di pasar, tanpa

memperhitungkan keuntungan khusus tertentu sebagai bagian dari bisnis yang

berjalan (going concern) atau tujuan lainnya. Sedangkan penerapan nilai pasar untuk

jenis properti lainnya merujuk kepada standar teknik terkait (Komite Standar

Penilaian Indonesia, 2015).

Nilai tanah dalam konteks pasar properti adalah nilai pasar wajar yaitu nilai

yang ditentukan atau ditetapkan oleh pembeli yang ingin membeli sesuatu dan

penjual ingin menjual sesuatu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan kedua belah

pihak dalam kondisi wajar tanpa ada tekanan dari pihak luar pada proses transaksi

jual beli sehingga terjadi kemufakatan. Pembeli dan penjual mempunyai tenggang

waktu yang cukup atas properti yang diperjualbelikan dan bertindak untuk

kepentingan sendiri. Nilai pasar pada dasarnya mencerminkan harga yang terbaik

atas suatu properti pada suatu waktu, tempat dan keadaan atau kondisi pasar tertentu

(Fahirah dkk., 2010).

Secara definisi nilai tanah menurut Safeyah dkk. (2014) adalah kekuatan nilai

dari tanah untuk dipertukarkan dengan barang lain. Misalnya tanah padang rumput
10

yang mempunyai produktifitas rendah, memiliki nilai relatif rendah karena

keterbatasan pemanfaatannya.

Hal ini sejalan dengan pengertian nilai menurut Putra dkk. (2013)

menyatakan bahwa nilai merupakan suatu waktu yang menggambarkan harga atau

nilai uang dari properti, barang atau jasa bagi pembeli dan penjual.

2.3. Faktor-faktor Nilai Tanah Properti

Penilaian tanah dengan asumsi tanah tersebut kosong, atau tanah dengan

bangunan, berikut sarana pelengkap yang terdapat diatasnya (prasarana lingkungan,

fasilitas sosial, dan utilitas umum) merupakan konsep ekonomi. Oleh karena itu, baik

tanah kosong maupun tanah yang sudah dibangun dalam keadaan demikian disebut

sebagai real estate. Nilai ekonomi akan tercipta berdasarkan kegunaan real estate,

atau berdasarkan kapasitas untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Hal-hal yang berkaitan adalah keunikannya secara umum, ketahanan (durability),

lokasi, pasokan (supply) yang relatif terbatas, dan keunggulan spesifik dari bidang

tanah yang bersangkutan (Komite Standar Penilaian Indonesia, 2015).

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap nilai tanah menurut Putra dkk.

(2013), yaitu:

1. Tanah faktor fisik termasuk kualitas lokasi, kesuburan, iklim, kenyamanan,

sekolah, taman, air, saluran pembuangan, utilitas, transportasi umum, polusi,

penggunaan lahan, topografi, jalan dan fasilitas lainnya.

2. Faktor Hukum dan pemerintah termasuk jenis dan jumlah pajak, zonasi,

peraturan, perencanaan dan pembatasan.


11

3. Faktor sosial meliputi pertumbuhan penduduk, usia, sikap hukum, ketertiban,

martabat, tingkat kejahatan dan tingkat pendidikan.

4. Faktor ekonomi meliputi tingkat pendapatan, daerah pertumbuhan,

pembangunan dan pengembangan lahan.

Berdasarkan penelitian selanjutnya, Putra dkk. (2015) menyatakan bahwa

terjadinya perubahan penggunaan lahan di zona akan mempengaruhi nilai pasar

tanah di daerah. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan fisik yang terkait

dasarnya dapat dibagi menjadi dua perubahan, yaitu:

(1) Perubahan Penggunaan Lahan.

(2) Penggunaan Bangunan.

Perubahan penggunaan lahan di kota menunjukkan perubahan dari lahan

pertanian, lahan kosong dan sabuk hijau ke daerah perumahan, perdagangan, jasa dan

perumahan. Kondisi ini juga akan mempengaruhi perubahan nilai tanah (Putra dkk.,

2015).

Selanjutnya menurut Putra dkk. (2015), kepadatan dan pengembangan daerah

pemukiman dan area bisnis mempengaruhi nilai tanah di sekitar. Hal ini sangat

relevan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dalam studi menyatakan

bahwa nilai tanah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

(1) Aksesibilitas

(2) Jarak ke CBD (Central Business District)

(3) Penggunaan Lahan

(4) Zonasi

(5) Kepadatan

(6) Efek gradien spasial.


12

Berdasarkan realitas kondisi di atas, nilai tanah diharapkan untuk

mengakomodasi atribut pembangunan infrastruktur fisik dan perkotaan lebih

komprehensif, sehingga nilai tanah dapat mewakili kondisi yang wajar dan dapat

diperkirakan sesuai dengan perkembangan yang dipengaruhi oleh beberapa atribut

(discrete and continuous), baik spasial dan non-spasial (Putra dkk., 2015).

Selanjutnya, nilai tanah dipengaruhi dengan lokasi geografis. Kondisi kota

Surabaya relatif beragam, baik dari pengaruh geografis, sosial dan budaya. Model

analisis yang mempertimbangkan efek geografis penting untuk diterapkan dalam

penilaian tanah. Model analisis yang mempertimbangkan efek geografis, perlu lebih

memperhatikan variabel-variabel yang akan digunakan (Putra dkk., 2015).

Berdasarkan beberapa ulasan konseptual dan empiris diatas, dapat

diidentifikasi berbagai kriteria dan parameter yang dapat mempengaruhi nilai tanah.

Oleh karena itu, penelitian yang berfokus pada penentuan parameter yang

mempengaruhi nilai tanah sangat diperlukan, sehingga dapat memberikan kontribusi

positif terhadap akademis dan praktis (Putra dkk., 2015).

2.4. CBD (Central Business District)

Menurut Prasetyo dan Pigawati (2013), Pusat Kota atau yang sering disebut

juga Central Business District (CBD) terdiri dari satu atau lebih sistem pada suatu

pusat bagian kota yang mempunyai nilai lahan sangat tinggi. Daerah CBD ini

ditandai dengan tingginya konsentrasi kegiatan perkotaan disektor komersial,

perdagangan, perkantoran, bioskop, hotel, jasa, dan juga mempunyai arus lalu lintas

yang tinggi.
13

Pusat kota ini sering diidentikkan membentuk citra kolektif dan konsepsi

sebuah kota. Berdasarkan hal tersebut, fungsi utama dari pusat kota sesuai dengan

sifat-sifat perkotaan diluar dari hunian dan produksi adalah bersifat umum untuk total

populasi dalam ruang sosial kota itu sendiri. Adapun fungsi dari pusat kota sebagai

pusat pelayanan kota pada dasarnya adalah sebagai berikut: (Prasetyo dan Pigawati,

2013).

1. Supply-service (persediaan-layanan)

2. Catering-tourist (pelayanan-turis/wisatawan)

3. Financial-business (keuangan-bisnis)

Ketiga fungsi tersebut membuat grup/pola ruang yang disebut kegiatan

komersial, perdagangan eceran, kerajinan dan layanan, katering dan

pariwisata, jasa keuangan, bisnis dan beberapa kegiatan manufaktur ataupun

pasar serta kegiatan perdagangan jasa lainnya (Prasetyo dan Pigawati, 2013).

4. Communication-information (komunikasi-informasi)

Komponen dasar dari fungsi ini adalah informasi, perseptif dan lalu lintas

(transportasi). Hal ini terkait dengan pemahaman tentang struktur fisik dan

hubungan spasial. Sebagai contoh, semua informasi tentang suatu kota

sebagian besar terkonsentrasi di pusat kota. Koneksi lalu lintas (transportasi)

dari kota dan daerah yang lebih luas berada di pusat kota serta memastikan

kemudahan akses kekemungkinan jangkauan terluas untuk pengguna dan

pengunjung (Prasetyo dan Pigawati, 2013).

5. Educational-scientific (pendidikan-ilmiah)

Fungsi ini ditunjukan dengan bangunan-bangunan dari cabang pendidikan-

ilmiah adalah sekolah dan lembaga-lembaga semua jenjang pendidikan


14

(dasar, menengah, tinggi), serta ilmiah dan penelitian kegiatan yang memiliki

skala pelayanan lebih luas dari pada daerah-daerah lainnya (Prasetyo dan

Pigawati, 2013).

6. Cultural-entertainment (budaya-hiburan)

Fungsi budaya dan hiburan di suatu kota paling nyata/terang-terangan

dinyatakan dipusatnya, melalui berbagai bangunan dimana orang dapat

memenuhi tuntutan mereka terkait hal ini yakni ditunjukan dengan bangunan-

bangunan seperti bangunan peribadatan, arsip, perpustakaan, bioskop,

komunitas budayapusat, galeri, ruang konser, museum, teater, ataupun

bangunan bersejarah. Fungsi ini juga dapat berupa konservasi untuk

kawasan/bangunan yang bersejarah (Prasetyo dan Pigawati, 2013).

7. Sport-recreation (olahraga-rekreasi)

Fungsi ini dapat berbentuk arena olahraga yang di dalam ataupun di luar

ruangan. Ataupun berupa ruang terbuka hijau yang luas dan berada di tengah-

tengah pusat kota sebagai fungsi rekreasi yang biasanya digunakan oleh

massa untuk rekreasi, berjalan-jalan, bersosialisasi dan hiburan atau bahkan

bisa juga digunakan untu kolahraga (Prasetyo dan Pigawati, 2013).

8. Social-health protection (sosial-perlindungan kesehatan)

Fungsi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga yang merupakan bagian dari

pusat kota itu sendiri sebagai pelayanan khusus dengan pelayanan yang besar

seperti rumah sakit atau poliklinik layanan (Prasetyo dan Pigawati, 2013).

9. Social-political (sosial-politik)

Fungsi ini terdiri dari berbagai kegiatan dari organ sosial dan politik yang

kemudian membentuk istilah sebagai pusat pemerintahan yang ditunjukan


15

dengan bangunan-bangunan untuk kegiatan pemerintahan. Fungsi pusat kota

tersebut dapat digambarkan seperti pada diagram berikut:

Selanjutnya, dapat dijelaskan sesuai dengan gambar 2.1. dibawah ini.

Gambar 2.1. Diagram Fungsi CBD (Central Business District) (Prasetyo dan
Pigawati, 2013).

2.5. Tata Guna Tanah Perkotaan (Teori Konsentris)

Menurut Putra (2016), penjelasan mengenai teori konsentrik merupakan teori

yang menjelaskan bahwa suatu kota berkembang dari pusat ke bentuk zona

konsentrik secara berjenjang.

Berikut adalah penjelasan mengenai tiap Zona yang ada dalam teori

Konsentrik (Putra, 2016).

(1) Zona 1: Zona tersebut merupakan daerah CBD (Central Business District)

yang terdiri atas pusat kegiatan bisnis, pusat pembelanjaan, perkantoran,

perbankan, tempat hiburan, museum dan sebagainya, zona ini merupakan

wilayah pusat kota.

(2) Zona 2: Zona tersebut merupakan zona wilayah transisi, yang merupakan

wilayah yang banyak menyerap pertumbuhan dari zona 1. Karakteristik zona


16

2 ditandai dengan berdirinya industri ringan, daera perumahan yang kurang

tertata, diwarnai dengan banyak kriminalitas dan kemiskinan penduduknya.

(3) Zona 3: Zona tersebut merupakan zona wilayah yang relatif stabil ditandai

dengan banyaknya penduduk yang sukses yang menempati zona ini.

(4) Zona 4: Zona tersebut merupakan zona wilayah yang memiliki karakteristik

sebagai wilayah permukiman tingkat menengah dan atas.

(5) Zona 5: dan terahir adalah zona 5 yang merupakan zona wilayah yang

memiliki karakteristik wilayah pinggiran dan ditempati oleh penduduk yang

bekerja di pusat kota dengan didukung sistem transportasi yang baik, zona ini

disebut juga zona transportasi (commuters zone).

Selanjutnya, dapat dijelaskan sesuai dengan gambar 2.2. dibawah ini.

1. Zona Wilayah CBD.

2. Zona Wilayah Transisi.

3. Zona Wilayah Perumahan.

4. Zona Wilayah Perumahan

Menengah atas.

5. Zona Wilayah pinggiran kota

atau wilayah pertanian dan

rekreasi

Gambar 2.2. Model Zona Konsentrik (Putra, 2016).

2.6. Status Lahan

Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 yang bertuliskan tentang

kedudukan tanah dalam pembangunan nasional tentang Garis-garis Besar Haluan


17

Negara yang antara lain memberi amanat sebagai berikut: “Penataan penguasaan

tanah oleh negara diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan penataan penggunaan tanah dilaksanakan

secara berencana guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Penataan penggunaan tanah perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi

sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah, termasuk berbagai upaya

untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah yang merugikan kepentingan rakyat.

Kelembagaan pertanahan disempurnakan agar makin terwujud sistem pengelolaan

pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efesien, yang meliputi tertib administrasi

hidup. Kegiatan pengembangan administrasi pertanahan perlu ditingkatkan dan

ditunjang dengan perangkat analisis dan perangkat informasi pertanahan yang makin

baik.”

Ketentuan-ketentuan dasar mengenai tanah di Indonesia telah tercantum di

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria, yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, yang memuat

pokok-pokok dari hukum tanah nasional Indonesia. Walaupun sebagaian besar pasal-

pasalnya memberikan ketentuan mengenai hak-hak atas tanah, namun sebagai

ketentuan yang bersifat pokok banyak materi pengaturan yang bersifat pokok banyak

materi pengaturan yang bersifat lebih rinci yang masih perlu ditetapkan (Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

2.6.1. Status Lahan Surat Hijau

Surat Ijin Pemakaian Tanah (Surat Hijau) merupakan ijin yang diterbitkan

pemerintah kota Surabaya atas pemakaian tanah aset pemerintah. Dasar-dasar


18

perolehan atau penguasaan tanah dengan status surat hijau berasal dari tanah

peninggalan Kolonial Belanda yaitu hak eigendom gementee, besluit dan tanah yang

diberikan Pemerintah Indonesia dengan Hak Pengelolaan (Anastasia, 2006).

Pemerintah kota Surabaya memiliki hak untuk mengelola tanah dalam

pengawasan Negara tersebut untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah

dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan (Anastasia, 2006).

Menurut Anastasia (2006) landasan hukum terhadap penguasaan tanah negara

yang dikelola Pemerintah Kota adalah:

1. Dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UndangUndang Dasar 1945.

2. Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1953 (TLN 1953-14) tentang Penguasaan

Tanah–tanah Negara oleh Instansi Pemerintah serta penjelasannya.

3. Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1963, yang menyangkut Hak Penguasaan

yang merumuskan “Beeter Recht” tentang Jawatan Instansi, Departemen dan

Daerah Swatantra mengenai Hak Penguasaan.

4. Undang-undang No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi.

5. PMDN No.1 Tahun 1977.

6. Undang-undang No.3 Tahun 1960 jo PP 223/1961 tentang Tanah-tanah On

Bekeend.

Selanjutnya menurut Anastasia (2006), landasan hukum yang mengharuskan

setiap orang atau badan hukum yang menggunakan tanah aset pemerintah kota

Surabaya harus memiliki Ijin Pemakaian Tanah adalah:

1. Perda No.1 Tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah.

2. Perda No.21 Tahun 2003 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.


19

3. S.K. Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No.1 Tahun 1998

tentang Tata Cara Penyelesaian Ijin Pemakaian Tanah.

4. S.K. Walikota Surabaya No.21 Tahun 2002 tentang Pemutihan Ijin

Pemakaian Tanah di kota Surabaya.

5. S.K. Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No.27 Tahun 1995

tentang Tata Cara mendapatkan HGB diatas HPL (Hak Pengelolaan)

Pemerintah Daerah tingkat II Surabaya.

Tanah-tanah surat ijo itu tersebar di 26 kecamatan dari 31 kecamatan yang

ada. Kecamatan yang memiliki tanah surat ijo terluas yakni Kecamatan Gubeng

(Surabaya Selatan) seluas 1.923.767,44 m² (192,38 Ha), disusul Kecamatan

Wonokromo (Surabaya Selatan) seluas 1.147.179,30 m² (114,72 Ha). Ditingkat

kelurahan, diantara 163 kelurahan ada 88 kelurahan yang memiliki tanah surat ijo.

Kelurahan yang memiliki tanah surat ijo terluas yakni Kelurahan Ngagelrejo

(Kecamatan Wonokromo) dengan luas 683.129,51 m² (68,31 Ha), disusul kelurahan

Baratajaya (Kecamatan Gubeng) dengan luas 650.625,23 m² (65,06 Ha) (Sukaryanto,

2016).

2.6.2. Status Lahan SHM (Sertifikat Hak Milik)

Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok

Agraria adalah jenis sertifikat dengan kepemilikan hak penuh atas lahan atau tanah

oleh pemegang sertifikat tersebut.

SHM (Sertifikat Hak Milik) juga menjadi bukti kepemilikan paling kuat atas

lahan atau tanah yang bersangkutan karena tidak ada lagi campur tangan ataupun

kemungkinan kepemilikan oleh pihak lain (Tabuni, 2015).


20

Menurut Tabuni (2015) Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana

dimaksudkan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah jo Pasal 1

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sertipikat merupakan alat pembuktian

yang kuat. Hal ini mengandung makna bahwa keterangan data yuridis dan data fisik

yang termuat didalamnya, sepanjang data yuridis dan fisik tersebut sesuai dengan

data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan selama tidak

dapat dibuktikan sebaliknya, data yuridis dan data fisik yang tercantum didalamnya

harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum

sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.

Selanjutnya menurut Tabuni (2015) sehubungan dengan hal tersebut Pasal 32

ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan

bahwa:

1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang kuat mengenai data fisik dan

data yuridis yang memuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis

tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang

bersangkutan.

2. Atas suatu bidang tanah yang diterbitkan sertipikat secara sah atas nama

orang atau badan hukum, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas

tanah itu tidak dapat menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila jangka waktu

5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat tidak mengajukan keberatan secara

tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang

bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai

penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.


21

2.6.3. Status Lahan HGB (Hak Guna Bangunan)

Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 yang bertuliskan tentang

keperluan akan ketentuan-ketentuan yang lebih rinci ini selama lebih dari tiga puluh

tahun dipenuhi dengan pengaturan teknis operasional dalam bentuk yang lebih

rendah dari pada Peraturan Pemerintah. Dengan makin rumitnya masalah pertanahan

dan makin besarnya keperluan akan ketertiban di dalam pengelolaan pertanahan,

makin dirasakan keperluan akan adanya peraturan pelaksanaan Undang-Undang

Pokok Agraria yang tingkatnya lebih tinggi, yaitu dalam bentuk Peraturan

Pemerintah, yang menerapkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak atas tanah

yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria, khususnya Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Sebagai hak atas tanah yang masa

berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai memerlukan kejelasan mengenai beberapa hal, antara lain

mengenai persyaratan perolehannya, kewenangan dan kewajiban pemegangnya, dan

status tanah dan benda-benda di atasnya sesudah hak itu habis jangka waktunya.

Kejelasan itu sangat diperlukan untuk memberikan beberapa kepastian hukum, baik

kepada pemegang hak, kepada Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang Pokok

Agraria, maupun kepada pihak ketiga.

Selanjutnya menurut isi dari Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996,

Sehubungan dengan hak-hak di atas dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 50

ayat (2) UndangUndang Pokok Agraria dipandang perlu menetapkan ketentuan-

ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak

Pakai untuk melengkapi ketentuan yang sudah ada di dalam Undang-Undang Pokok

Agraria.
22

Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 yang bertuliskan tentang

tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan dalam Pasal 21, tanah yang

dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: (a) Tanah Negara; (b) Tanah

Hak Pengelolaan (c) Tanah Hak Milik. Terjadinya Hak Guna Bangunan dalam Pasal

22 yang bertuliskan tentang (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan

dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Hak

Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian

hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak

Pengelolaan. (3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan

pemberian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Selanjutnya Dalam Pasal 23 yang bertuliskann tentang (1) Pemberian Hak

Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 didaftar dalam buku

tanah pada Kantor Pertanahan. (2) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara atau atas

tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan. (3) Sebagai

tanda bukti hak kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan sertipikat hak atas

tanah. Pasal 24 (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan

pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oeh Pejabat Pembuat

Akta Tanah. (2) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. (3) Hak Guna

Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Ketentuan mengenai tata cara pemberian

dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Presiden (Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).


23

2.6.4. Status Lahan Hak Pakai

Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh

Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak Pakai atas Hak Pengelolaan diberikan

dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk

berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Ketentuan mengenai tata cara dan

syarat permohonan dan pemberian Hak Pakai atas tanah Negara dan tanah Hak

Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Peraturan Pemerintah

No. 40 Tahun 1996).

Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib didaftar dalam buku

tanah pada Kantor Pertanahan. Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak

Pengelolaan terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai tanda bukti hak

kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertipikat hak atas tanah (Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh

pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat wajib

didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Hak Pakai atas tanah Hak

Milik mengikat pihak ketiga sejak saat pendaf-tarannya sebagaimana dimaksud

dalam ayat. Ketentuan lain mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Pakai

atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

Menurut isi dari Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 bahwa Hak Pakai

yang diberikan atas tanah Negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas
24

tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain. Hak Pakai atas

tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam

perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. Peralihan

Hak Pakai terjadi karena,

1. Jual beli;

2. Tukar menukar;

3. Penyertaan dalam modal;

4. Hibah;

5. pewarisan.

Peralihan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib didaftarkan

ada Kantor Pertanahan. Peralihan Hak Pakai karena jual beli kecuali jual beli melalui

lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan

akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jual beli yang dilakukan melalui

pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang. Peralihan Hak Pakai karena

pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang

dibuat oleh instansi yang berwenang. Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus

dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang. Pengalihan Hak Pakai atas tanah

Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak

Pengelolaan. Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan

persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan (Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996).


25

2.6.5. Status Lahan Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan Atas Tanah adalah hak atas tanah di luar UU Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut

UUPA). Sekalipun para ahli banyak yang menyangsikan bahwa HPL bukanlah hak

atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 UUPA (Hak Milik, Hak

Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Guna usaha, dan lain-lain) atau hak-hak

Keperdataan atas tanah. Namun Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6

Tahun 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah telah

mengkontruksikan HPL adalah hak administrasi tanah. HPL merupakan salah satu

wujud nyata bahwa hukum pertanahan adalah bagian hukum administrasi (Rahmi,

2010).

Ketidaksingkronan perundang-undangan mendudukkan eksistensi HPL

menimbulkan pendapat bahwa telah terjadi pergeseran sifat HPL cenderung ke arah

Perdata6. Puncak dari keinginan Pemerintah untuk mengiring HPL pada ranah privat

terakumulasi pada konsep Rancangan Perubahan UUPA “pernah ada ke-inginan”

untuk memasukkan hak pengelolaan pada hak keperdataan (Pasal 16 UUPA). Apa-

bila keinginan ini terwujud maka “asas do-mein” (negara pemilik tanah) sebagai

politik penjajah akan kembali berkibar di Indonesia. Akibatnya banyak pihak yang

kontra terhadap eksistensi HPl. Diantaranya pendapat Soedjar-wo Soeromihardjo

“Hak-hak pemegang HPL meningatkan kembali pada hak-hak pertuanan dalam tanah

partikelir, sehingga hak-hak yang bertentangan dengan tujuan UUPA hidup kembali

(Rahmi, 2010).

Ke depan HPL perlu dikembalikan pada khitohnya yaitu hak publik atau

bagian dari hak menguasai dari negara, perundang-un-dangan perlu menselaraskan


26

fungsi hak penge-lolaan baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga kehadiran

HPL tidak mengacaukan sistem hukum pertanahan nasional. Pemegang HPL maupun

pihak ketiga yang memanfaatkan tanah HPL tetap dalam kerangka hukum dan moral,

bahwa tanah sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat bukan kemakmuran

kelompok pemodal dan “tuan tanah” (Rahmi, 2010).

Harus diakui bahwa sejarah HPL telah ada sejak Pemerintahan Hindia

Belanda dengan menggunakan istilah “in beheer”, yang kemudian oleh pemerintah

Indonesia diterbit-kan PP Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Pe-nguasaan Tanah Negara.

Filosofi penjajah terhadap eksistensi HPL adalah ingin menguasai tanah jajahan

sedangkan pada masa peme-rintah Indonesia eksistensi HPL adalah jawaban

terhadap kebutuhan pembangunan dan kondisi obyektif bangsa dan negara Indonesia

(Rahmi, 2010).

2.7. Analisis Statistik

Penggunaan statistik dalam penelitian berguna sebagai alat bantu untuk

menganalisis data penelitian. Secara Umum pengertian statistik meliputi dua hal.

Yang pertama adalah pengertian stattistik sebagai kumpulan angka-angka. Dan yang

kedua adalah statistik sebgai cabang ilmu pengetahuan (Santosa dan Ashari, 2005).

Berdasarkan Santosa dan Ashari (2005) mengenai kegunaan dan teknik yang

digunakan, statistik terbagi menjadi dua jenis, yaitu statistik deskriptif dan statistik

inferensial.

1. Statistik Deskriptif adalah bidang statistik yang berhubungan dengan metode

pengelompokan, peringkasan, dan penyajian data dalam cara yang lebih

informatif. Pada statistik jenis ini, dilakukan dilakukan jenis statistik yang
27

berhubungan dengan penyajian data statistik dalam bentuk gambaran angka-

angka. Teknik teknik umum yang digunakan adalah analisis deskriptif

meliputi rata-rata, median, modus, varians.

2. Statistik Inferensial adalah teknik statistik yang berhubungan dengan analisis

data untuk penarikan kesimpulan atas data. Teknik statistik inferensial

berhubungan dengan pengelolaan statistik sehingga dengan menggunakan

hasil analisis tersebut kita dapat menarik kesimpulan atas karakteristik

populasi. Teknik-teknik umum yang dipakai meliputi uji hipotesis, analisis

varians dan teknik regresi dan kolerasi.

2.8. Analisis Varians

Penggunaan uji t dan uji z guna menguji perbedaan rata-rata secara simultan

hanya dapat diterapkan pada dua variabel. Jika jumlah variabel yang diuji cukup

besar atau lebih dari dua, penggunaan uji t akan memakan waktu cukup lama karena

kita harus melakukan perhitungan secara berpasangan untuk masing-masing variabel.

Jika kita akan melakukan pengujian terhadap lima variabel, maka kita harus

melakukan pengujian dengan ujian t sebanyak sebelas kali pasangan variabel. Selain

menyita waktu, dengan semakin banyaknya proses penghitungan yang dilakukan,

maka kemungkinan terjadinya kesalahan, baik kesalahan dalam penghitungan,

perbandingan, maupun kaerna pengulangan, menjadi semakin besar (Santosa dan

Ashari, 2005).

Alternatif lain untuk pengujian terhadap rata-rata sampel adalah dengan

menggunakan uji varians. Analisis varians adalah prosedur yang mencoba

menganlisis variasi dari respons atau perlakuan dan mencoba menerapkan porsi
28

varians ini pada setiap kelompok dari varibel independen. Teknik ini

membandingkan secara simultan beberapa variabel sehingga bisa memperkecil

kemungkinan kesalahan. Keuntungan dari penggunaan analisis varians adalah

mampu melakukan perbandingan untuk banyak variabel. Keuntungan lainnya adalah

mengurangi jumlah kesalahan yang mungkin terjadi jika dibanding menggunakan uji

t. Tujuan dari analisis varians adalah untuk menemukan variabel independen dalam

penelitian dan menentukan bagaimana mereka berinteraksi dan mempengaruhi

tanggapan atau perlakuan (Santosa dan Ashari, 2005).

Analisis varians juga memiliki keunggulan dalam hal kemampuan untuk

membandingkan antar variabel dan juga antar pengulangan. Teknik analisis dengan

hanya menggunakan satu variabel perbandingan ini disebut dengan analisis varians

satu arah (Oneway ANOVA). Sedangkan teknik analisis dengan menggunakan

perbandingan baik dari masing-masing perlakuan maupun dari masing-masing

pengulangan ini disebut dengan analisis varian dua arah (Two Way ANOVA). Dengan

menggunakan analisis varians kita bisa melakukan pengujian untuk banyak variabel

(Santosa dan Ashari, 2005).

2.8.1. ANOVA Satu Arah (Oneway ANOVA)

Pada dasaranya, analisis varians satu arah digunakan melihat perbedaan satu

karakteristik atau variabel atau faktor tertentu, misalnya X, dari lebih dari dua

populasi atau dua kelompok. Misalkan dari setiap populasi atau kelompok diselidiki

diambil sebuah sampel sebesar n (banyaknya pengamatan dari setiap kelompok

adalah sama, yaitu sebanyak n pengamatan) maka format data untuk analisis varians

satu arah adalah sebagai berikut. (Catatan: Sesungghnya, banyaknya pengamatan dari
29

setiap kelompok bisa berbeda-beda, misal nj untuk populasi atau kelompok ke-j, akan

tetapi untuk penyederhana dalam pembahasan ini, diasumsikan bahwa banyaknya

pengamatan dari setiap kelompok sama besar, yaitu n) (Asra dan Rudiansyah, 2013).

Pada dasarnya, prosedur perhitungan dan tabel analisis varians dari model

efek tetap dan model efek random adalah sama. sedangkan kesimpulan yang

diperoleh dari kedua jenis model tersebut sedikit berbeda. Untuk model efek tetap,

kesimpulannya hanya berlaku unutk kelompok yang sama (misal beberapa tingkatan

penggunaan obat sata), sedangkan dalam model efek random, kesimpulannya berlaku

untuk semua kemungkinan kelompok (berbagai tingkat penggunaan obat) (Asra dan

Rudiansyah, 2013).

Tabel 2.1. ANOVA Satu Jalur.

Sumber Jumlah Derajat Rata-rata


E(RK)
Keragaman kuadrat bebas kuadrat

Kelompok RKK= ∑

Error RKK=

Total … … …
(Asra dan Rudiansyah, 2013)

Secara statistik, komponen varians tersebut dirumuskan sebagai berikut:

JKT = JKK + JKE

JKT =∑ ∑

JKK =n∑

JKE =∑ ∑

Keterangan:

JKT = Jumlah Kuadrat Total (Total Sum Square – TTS)


30

JKK = Jumlah Kuadrat Kelompok (Treatment/Group Sum Square Error – TSE)

JKE = Jumlah Kuardrat Error (Sum Square Error – SSE)

Xi = Jumlah nilai pengamatan kelompok ke-i

X.. = Jumlah semua nilai pengamatan

n = Jumlah sampel pada setiap kelompok

b = Jumlah populasi atau kelompok

(Asra dan Rudiansyah, 2013)

Setelah perhitungan dilakukan maka dapat dibuat tabel analisa varians

(ANOVA) sebagai berikut:

RKK = Rata-rata kuadrat kelompok

RKE = Rata-rata kuadrat error

2.8.2. ANOVA Dua Arah (Twoway ANOVA)

Bila ada dua jenis variabel (karakteristik atau faktor) dalam suatu penelitian.

Mislanya jenis obat dan usia pasien, jenis pupuk dan jenis bibit, atau singkatnya ada

dua variabel (karakteristik atau faktor) yang akan diamati, maka dapat dilakukan

analisis terhadap pengaruh faktor satu, pengaruh faktor dua, dan pengaruh interaksi

faktor satu dan faktor dua, terhadap respon dari unit-unit pengamatan (Asra dan

Rudiansyah, 2013).

Sebenarnya bisa dilakukan dua ANOVA Satu Jalur yang terpisah untuk

masing-masing variabel, akan tetapi terdapat keuntungan bila dilakukan secara

sekaligus, yaitu (i) variasi residu (residula variation) akan bisa diperkecil dengan

menggunakan dua variabel sekaligus, dan (ii) efek interasi dari kedua variabel
31

tersebut bisa dipelajari (respon terhadap suatu variabel independen tergantung pada

nilai spesifik darivariabel independen yang lain) (Asra dan Rudiansyah, 2013).

Dalam rancangan percobaan, analisis varians dua arah dikenal dengan

rancangan blok acak lengkap (completely randomized block design). Sedangkan

analisis varians satu arah dikenal dengan rancangan acak lengkap (completely

randomized design). Untuk ANOVA dua arah, asumsi yang digunakan adalah

beberapa SRS dengan ukutan mij dari setiap kombinasi (b x k) populasi normal (Asra

dan Rudiansyah, 2013).

Tabel 2.2. ANOVA Dua Jalur.

Sumber Varians Jum.Kuadrat Derajat Bebas Rata-rata Kuadrat

Rata-rata baris JKB b-1

Rata-rata kolom JKK k-1

Interaksi JK (BK) (k-1)(b-1)

Error JKE bk (n-1)

Total JKT n-1


(Asra dan Rudiansyah, 2013)

Secara statistik, komponen varians tersebut dirumuskan sebagai berikut:

JKT =∑ ∑ ∑


JKB =


JKK =

∑ ∑ ∑ ∑
JK(BK) =
32

JKE = JKT-JKB-JKK-JK(BK)

Keterangan:

JKT = Jumlah Kuadrat Total

JKB = Jumlah Kuadrat Baris

JKK = Jumlah Kuadrat Kolom

JK(BK) = Jumlah Kuadrat bagi interaksi Baris Kolom

JKE = Jumlah Kuardat Error

T = Total

n = Jumlah sampel pada setiap kelompok

b = Jumlah populasi atau kelompok

2.8.3. Analisis A Priori dan Uji Posteriori (Post Hoc)

Pada analisis varians dengan menggunakan uji signifikansi nilai F diatas, kita

hanya bisa menyimpulkan bahwa rata-rata populasi adalah berbeda tetapi kita tidak

mengetahui dari berbagai perlakuan tersebut mana yang berbeda antara satu dengan

lainnya. Sebagai hasilnya, analisis varians secara keseluruhan lebih banya

memunculkan pertanyaan daripada jwawaban. Pertanyaan utama yang dihadapi

sekarang adalah mempelajari perbedaan dari rata-rata secara individu untuk tujuan

mengisolasi perbedaan yang signifikan atau menguji secara khusus hipotesis

perbedaan rata-rata antar individu. Untuk menjawab permasalahan ini teknik yang

digunakan adlaah pengujian dengan berbagai perbandingan dari-rata-rata perlakuan.

Terdapat dua teknik untuk melakukan pnegujian dengan menggunakan berbagai

perbandingan dari rata-rata yaitu analisis perbandingan A Priori dan analisis Post

Hoc. Analisis perbandingan A Priori adlah analisis perbandingan yang dilakukan


33

sebelum data dikumpulkan. Sedangkan analisis perbandingan Post Hoc adalah

analisis yang dilakukan setelah data dikumpulkan (Santosa dan Ashari, 2005).

2.8.3.1.Analisis A Priori

Menurut Santosa dan Ashari (2005), analisis perbandingan A Priori adalah

teknik analisis yang diputuskan untuk dilakukan sebelum data dikumpulkan. Pada

umumnya teknik ini lebih disukai karena memberikan kekuatan yang lebih baik

dalam perbandingan untuk beberapa tingkat kepercayaan atau alpha. Beberapa teknik

dalam analisis perbandingan A Priori meliputi:

1. Prosedur Fisher Least Significant Difference (LSD)

Analisis perbandingan ini digunakna untuk mengetahui dari pasangan rata-

rata mana yang paling berbeda diantar apasangan yang ada. Metode Least

Significant Difference menggunakan perbandingan berbagai rata-rata dengan

uji t untuk mengetahui perbedaan dari pasangan rata-rata (Santosa dan Ashari,

2005).

2. Linear Contrast

Linear Contrast adalah analisis perbandingan dua pasangan rata-rata atau

sekelompok pasangan rata-rata dengan menggunakan analisis linearitas

variabel satu terhadap variabel yang lain (Santosa dan Ashari, 2005).

3. Dunn’s test (benferoni t)

Analisis Dunn’s test atau Benferoni adalah metode perbandingan dua

pasangan rata-rata. Uji ini didasarkan pada statistik t dengan melakukan

penyesuaian terhadap tingkat signifikasi untuk setiap perbandingan yang


34

dilakukan. Uji ini biasanya digunakan untuk sampel kecil (Santosa dan

Ashari, 2005).

2.8.3.2.Uji Posteriori (Post Hoc)

Analisis a priori yang diterangkan di depan digunakan untuk perbandingan di

man aasumsi sudah dibuat dimuka. Selain itu perbandingan apriori jug adigunakan

jika jumlah perbandingan variabel kecil. Dalam banyak kasus, beberapa percobaan

hanya menghasilkan hipotesis setelah data di kumpulkan dan diperiksa di awal.

Untuk melakukan pengujian dengan kondisi seperti ini, alat pengujian yang bisa

digunakan adalah pengujian posteriori atau post hoc. Kebanyakan enis pengujian

posteriori menggunakan dasar pengujian distribusi t. beberapa pengujian posteriori

yang ada meliputi Student-Newman Keuls (SNK), Tukey HSD, Tukey B, Duncan,

Scheffe’s, Sidak, Gabriel, Hochberg, REGWQ, Waller-Duncan, Tamhane, Dunnet

T3, Games-Howell, Dunet C, Dunnet t (Santosa dan Ashari, 2005).

1. Uji Student-Newman-Keuls (SNK)

Student-Newman-Keuls (SNK) test adalah pengjian rata-rata dengan

menggunakan rata-rata kelompok perlakuan yang didasarkan pada uji range

untuk kelompok homogeny. Kelompok perlakuan ini akan homogeny dalam

hal mereka tidak berbeda dalam kelompoknya tetapi berbeda dari kelompok

lain (Santosa dan Ashari, 2005).

2. Uji Range Duncan

Uji ini digunakan untuk perbandingan berpasangan antar beberapa rata-rata.

Uji ini dibangun oleh Duncan (1955) dimana model pengujian yang

dilakukan adalah hamper sama dengan model SNK. Dengan melaukukan uji
35

ini kita bisa megnetahui kelompok rata-rata man ayang berbeda dari

kelompok tersebut berisi variabel yang sama (Santosa dan Ashari, 2005).

3. Uji Tukey HSD

Kebanyakan uji perbandingan berbagai tingkat mendasarkan diri pada uji

tukey. Terdapat dua pengujian dengan menggunakan uji tukey, yaitu tukey dan

tukey’s-b. Uji tukey atau disebut juga dengan Tukey Honestly Significant

Difference (HSD) merupakan pengujian perbandingan berbagai kelompok

rata-rata. Uji biasanya digunakan pada sampel besar, uji tukey HSD

menggunakan statistic range studentized untuk membuat semua pebandingan

berpasangan antargroup dan menentukan tingkat kesalahan kelompok

percobaan untuk membuat perbandingan berpasangan (Santosa dan Ashari,

2005).

4. Uji Tukey b(WSD)

Uji berikutnya dalam uji dengan Post Hoc adalah pengujian dengan Tukey

Wholly Significant Difference atau Tukey b. Pengujian ini dilakukan dengan

menguji range dari kelompok rata-rata dan kemudian menghitung nilai dari

range tersebut. Hasil output dari pengujian dengan tukey b berupa kelompok

homogeny yang merupakan pengelompokdan dari rata-rata yang sama dalam

satu kelompok (Santosa dan Ashari, 2005).

5. Uji Sidak‟s t

Uji berikutnya adalah uji dengan menggunakan metode sidak’s. Pengujian

sidak’s bertujuan untuk melakukan perbandingan berpasangan antara variabel

dalam penelitian sehingga bisa diketahui pasangan mana saja yang berbeda.

Uji sidak’s menyesuaikan level signifikansi untuk setiap perbandingan rata-


36

rata dana memberikan batas pengujian yang lebih ketat daripada uji

bonferroni (Santosa dan Ashari, 2005).

6. Uji Scheffe‟s

Uji Scoffe‟s adalah pengujian dengan melakukan perbandingan berpasangan

antar kelompok rata-rata dan pengujian range dari kelompok rata-rata. Uji ini

memberikan panduan yang lebih konservatif dibandingkan dengan pengujian

yang lain dengan persyaratan yang lebih tinggi untuk setiap perbedaan rata-

rata (Santosa dan Ashari, 2005).

7. Uji Dunnett t

Uji perbandingan dunnet t menggunakan distribusi t sebagai dasar untuk

melakukan perbandingan berbagai rata-rata dengan menggunakan satu

variabel sebagai variabel control. Uji ini dilakukan untuk mengetahui

pengaruh suatu perlakuan terhadap suatu variabel dbandingkan dengan

variabel sebelum adanya perlakuan (Santosa dan Ashari, 2005).

8. Uji R-E-G-W F dan R-E-G-W Q

Uji R-E-G-W dibandingkan oleh Ryan, Einot, Gabriel dan Welsch sehingga

nama pengujiannya menggunakan inisial keempat orang tersebut. Uji ini

menggunakan pendekatan pengujian range dua tahap. Yang pertama untuk

mengetahui apakah semua rata-rata sama. Jika semua rata-rata tidak sama,

maka kelompok rata-rata akan diuji kesamaannya. Uji R-EG-W F

mengggunakan uji F sebagai dasar pengujian, sedangkan uji R-E-G-W Q

menggunakan range studentized. Uji ini lebih baik daripada uji duncan dan

uji SNK tetapi tidak untuk sampel yang berukuran tidak sama (Santosa dan

Ashari, 2005).
37

9. Uji Hochberg’s GT2

Uji ini merupakan uji dua jenis, yaitu pengujian homogenitas kelompok dan

pengujian perbandingan berpasangan. Uji Hochberg hamper sama dengan uji

Tukey HSD tetapi menggunakan distribusi maksimum modulus studentized

(Santosa dan Ashari, 2005).

10. Uji Gabriel

Uji Gabriel adalah pengujian rata-rata dengan menggunakan teknik

perbandingan berpasangan. Pengujian ini menggunakan distribusi maksimum

modulus studentized. Uji ini lebih baik daripada uji hochberg jika digunakan

pada sampel yang berukuran tidak sama. Pengujian ini merupakan pengujian

dengan homogenitas kelompk dan pengujian berpasangan antar kelompok

(Santosa dan Ashari, 2005).

11. Uji Waller-Duncan

Pengujian t waller-duncan menggunakan pendekatan bayesian. Pengujian ini

adalah pengujian untuk homogenitas kelompok. Uji ini digunakan

menggunakan rata-rata harmonis dan baik jika digunakan untuk sampel

berukuran tidak sama (Santosa dan Ashari, 2005).

2.9. Uji Normalitas

2.9.1. Kolmogorov-Smirnov

Menurut Razali dan Wah (2011), Kolmogorov-Smirnov (disebut sebagai KS

selanjutnya) statistik milik kelas supremum statistik EDF dan kelas ini statistik

didasarkan pada perbedaan vertikal terbesar antara hipotesis dan distribusi empiris.
38

Mengingat n memerintahkan titik data, x1 < x2 < ... < xn, hal tersebut dindefinisikan

bahwa statistik uji yang diusulkan oleh Kolmogorov sebagai,

T = sups |F∗(x) — Fn(x)|

Dimana „sup‟ singkatan supremum yang berarti yang terbesar. F*(x) adalah

fungsi distribusi hipotesis sedangkan Fn (x) adalah EDF diestimasi berdasarkan

sampel acak. Dalam uji KS normalitas, F*(x) diambil menjadi distribusi normal

dengan mean diketahui, , dan standar deviasi,  (Razali dan Wah, 2011).

KS uji statistik dimaksudkan untuk pengujian,

H0 : F (x) = F*(x) untuk semua x dari -∞ hingga ∞ (Data mengikuti distribusi

tertentu).

Ha : F (x) ≠ F * (x) untuk setidaknya satu nilai x (Data tidak mengikuti distribusi

tertentu).

Jika T melebihi kuantil 1-α seperti yang diberikan oleh tabel quantiles untuk

uji statistik Kolmogorov, maka kita menolak H0 pada tingkat signifikansi, α. studi

simulasi ini digunakan surutin KSONE diberikan dalam perpustakaan IMSL

FORTRAN (Razali dan Wah, 2011).

2.9.2. Shapiro-Wilk

Menurut Razali dan Wah (2011), Shapiro dan Wilk uji awalnya dibatasi untuk

ukuran sampel kurang dari 50. Tes ini adalah tes pertama yang mampu mendeteksi

keberangkatan dari normalitas karena baik skewness atau kurtosis, atau keduanya.

Mengingat sampel acak memerintahkan, y1 < y2 < ... < yn, asli Shapiro-Wilk uji

statistik didefinisikan sebagai,


39


di mana yi adalah urutan ke-i statistik,

̅ adalah sampel mean,

ai = (a1,⋯, an) =

dan m= (m1,…,mn)T adalah nilai-nilai yang diharapkan dari statistik urutan

independen dan terdistribusi secara identik variabel acak sampel dari distribusi

normal standar dan V adalah matriks kovarians dari mereka statistik order.

Nilai W terletak antara nol dan satu. Nilai-nilai kecil dari W mengarah pada

penolakan normalitas sedangkan nilai satu menunjukkan normalitas data. Tes SW

telah diubah dengan Royston untuk memperluas pembatasan ukuran sampel untuk

tahun 2000 dan algoritma AS181 kemudian disediakan. Kemudian, hal tersebut

mengamati bahwa pendekatan Shapiro-Wilk untuk bobot yang digunakan dalam

algoritma tidak memadai untuk n>50. Ia kemudian memberi perkiraan ditingkatkan

untuk bobot dan memberikan algoritma AS R94 yang dapat digunakan untuk setiap n

di kisaran 3 ≤ n ≤ 5000. Penelitian ini menggunakan algoritma AS R94 (Razali dan

Wah, 2011).

Anda mungkin juga menyukai