Anda di halaman 1dari 12

Atraksi Angkasa

Kemari dan lihatlah, kita akan menyaksikan pertunjukkan langit yang membuat
kepala ini berdenyut-denyut.

Terlebih dahulu, kita akan membungkus penyesalan liar yang sepantas-nya tak
tersimpan dalam pikiran lama-lama.

Kita menikmati hari yang sungguh baik, karena otak telah terbakar dan
mencoba untuk melakukan perjalanan dengan hati-hati.

Kadang, kita telah tahu apa yang sedang dirancang oleh gugusan awan yang
berupaya keras mencapai tujuan keinginan diri. Dan memang benar, kini segala-
nya nampak berbeda-beda.

Hari ini, hari jumat yang sungguh baik. Hari ini, tidak satu-pun yang nyata
selain jiwa. Kita berhasil mengusir mimpi-mimpi buruk yang suka menganggu,
karena kita senang menutup mata dan merencanakan perasaan aneh yang
menghujam.

Bulan memulai percakapan-nya, kata dia kepada bintang-bintang: "Mari, hasilkan


situasi yang gila demi menyenangi mata-nya. Kita harus tertawa sebelum
tengah malam".

Kita menunggu, sesekali bersembunyi. Sayang, kita tak bisa menunggu lagi.
Hasrat yang kita bawa telah tumpah lalu mulai-lah pementasan angkasa, walau
iram.

Udara mengeluarkan suara magis-nya, sampai-sampai kita menanggapi-nya


dengan santai.
Mega-mega menghanguskan rasa depresi yang biasa mereka jalani, dan kita tak
pernah peduli.

Seluruh pengalaman ini kita catat dalam hati, lalu kita melumuri-nya dengan
ampas kopi.

Rasa pegal sudah kita injak, dan kita mencoba mengajak langit untuk beranjak
dari tempat tinggal-nya yang cukup berasak.

Dan juga, kita mengayak-ngayak cuaca sembari menyemburkan reak.

Begitu-pun dengan waktu yang telah kita koyak, walau tenaga semakin soak.

Rintik-rintik hujan terjun layak-nya pelangi seusai bintik-bintik bening


mencambuk khayalan yang telah mengelilingi ketebalan visi.

Kita terus menyatukan diri serta merebut pertengkaran kata tanya tiada arti.

Atraksi angkasa memang selalu menepati janji, belum lagi pemberian-nya yang
meninggalkan teka-teki.

Kita tak mau melewati sebagian kisah ini. Atas nama saudara tua, tinggalkan-
lah caci-maki.

Rita

Bulan tersenyum dan mulai menggoda keberadaan bintang-bintang yang menjadi


murid-nya.
Bulan tampak-nya mulai genit terhadap-ku, kata dia: "Aku tidak dapat
memberikan semuanya", karena itu dia berbentuk sabit.

Sementara bintang terlihat seperti mata-mata Tuhan yang bersemayam di


langit, kadang kala berubah menjadi malaikat yang mencatat setiap perbuatan
baik dan cacat.

Lalu, bintang memperhatikan-ku bak musuh saja, sedangkan awan bermain


aman, menolak untuk ikut campur dalam urusan godaan alam.

Tiba-tiba, datang-lah tengkorak sembari memegang dua pedang, seakan-akan


ingin menebas luas-nya langit yang melayang.

"Aku tidak ingin menyerang-mu wahai bulan", ucap kranium. "Apalagi


bersikukuh untuk membunuh-mu".

Lebih baik perhatikan mobil yang terlihat seperti mainan. Atau mengendus bau
para lalat hijau yang sedang berkeliaran.

Kini bulan kembali tersenyum, wajah-nya berubah menjadi labu-labu hallowen.


Terkadang pula beralih rupa semacam balon udara.

Buram dan menyegarkan, pelaangi kini mewarnai jiwa.

Ingin-ku geledah angkasa, membedah lentera cahaya perkasa.

Laksana tamu tak diundang, motor langsung saja melewati isi kepala-ku, dan
itu membuat-ku sedikit terganggu.
Benar juga teori Big Bang, kita adalah percikan bintang-bintang. Walaupun,
pesona alam menahan-ku untuk beraktivitas.

"Sangat egois engkau wahai kehebatan".

Aku merasa terhujani rasa kagum berlebihan.

Sedangkan keinginan-ku kini menggerutu agar menerobos sambutan burung


gereja terhadap pagi dan cerah-nya matahari.

Burung-burung menari dan menyelami pemandangan dini.

Aku-pun turut berlari mengejar kaki matahari yang merambat ke jari-jari.

Pasir bersih, bermandikan air garam yang berserakan. Memporak-porandakan


mata.

Aku-pun menolak ajakan-nya untuk ikut menyalakan api kemenangan. Karena


tanpa-ku ia sudah berkuasa.

Senang sekali bulan mengganti busana-nya menjadi cahaya merah kemilau tanpa
arah yang tak pernah salah arah.

Aku tergugah untuk berlekas pulas karena menikmati sajian-nya yang istimewa.

Panasnya sama sekali tak mengecewakan-ku. Bagaimana bisa ku-melupakan


kencan ini, oh bulan....

Sandi-ku

Dalam hidup harus ada tanggung jawab bersama.


Dan meninggalkan kisah-kisah jenaka.

Yang berada dalam dunia denging, penuh ragam warna.

Akan kuremas sembari menusuk,

sampai hancur lebuh,

tanda penderitaan.

Kamar Bawah

Hujan, hati-hati dengan kegelapan yang akan merasuki untuk merangsang rasa
kesepian.

Menusuk kemungkinan-kemungkinan yang telah terlewati. Tetap berontak secara


serentak.

Aku kini berada di kesunyian yang kelam.

Namun kudengar suara ringkih tikus yang menggelikan.

Tetesannya menambah kecakapan dalam berucap kepada seorang kekasih yang


sudi memberikan kenikmatan yang mengacakaukan khayalanku.

Usaha Tanpa Batas

Dimana aku mencarimu melainkan di tempat-tempat umum.


Dimana aku kaget terhadap hal itu.

Dimana aku mencarimu melainkan di warung-warung kumuh.


Dimana aku kaget terhadap kekuatan yang menipu dengan khayalan masa lalu.

Dimana aku mencarimu melainkan di keringat-keringat yang menimba ilmu.


Dimana aku kaget terhadap itu.

Dimana aku mencarimu melainkan di belahan-belahan tersembunyi.


Dimana aku kaget terhadap kekebalan yang mengecoh bersama bayang kanak-
kanak.

Hujan dan Menongkrong

Hujan membuatku basah, meleleh dalam percikan rahmatNya.

Kekeramatan hukum alam yang tak bisa diam, sudah sesuai untuk semua nafas
yang mengalir deras.

Berkerabat dengan khayalan kanak-kanak. Dan diam tak menjadikan-mu bernilai


tinggi.

Surga hanya bagi orang yang suka berandai-andai, pertama kali dalam setiap
hari aku bersegera menjalankan tugas yang penting.

Tahan sebentar, bagaimana-kah mengusahakan suatu kaidah-kaidah yang


melamun dengan lugu?

Aku jadi sebenar-benarnya manusia, tak pernah menghiraukan fenomena yang


dianggap membawa berkah jika dalam keadaan santai dan tentram.

Suara menjadi warna merah, lalu tak ada bunyi-nya. Mengangkut masalah yang
terasa sangat berat dan kuat.

Aku bermesraan dengan sumbatan yang memenjarakan kesadaran

Tak Harus Kaget


Melihat kadang-kadang tertutupi oleh sebuah tabir yang cukup mampu
membuat seseorang tertipu.

Bunyi telfon ku-angkat, rupanya yang menelfon seorang teman-ku yang


keparat.

Bingung, sembari termenung memikirkan ciutan burung yang berceloteh tentang


kehidupan.

Ku-ambil hape, ku-setel I Shall Be Free.

Dongeng seorang Folk Singer, bentuk wajah-nya seperti kacang mete yang
peduli setan terhadap makhluk kere.

Tatap saja wajahku dengan curiga, tak apa..

Pelajarilah makna kecukupan.

Supaya tahu mana tindakan yang menentukan.

Di tengah kencang-nya suara angin yang timbul bersama suara serak seorang
penyanyi dari Amerika, diri-nya sedang bermain gitar yang bergambar kelapa.

Aku berupaya mengemukakan sebuah persoalan, apakah kamu bersedia membaca


tulisan-ku dengan seksama?

Begini, kisah-ku bermula dari kecil di Surabaya,

latihan berjalan di halaman rumah depan pura,

belajar sebentar di pesantren yang kaya akan suara pujian kepada-Nya,

melatih mata membaca di sekolah yang penuh cerita,

dan melangsungkan perjuangan di masa-masa kuliah yang masih muda.


Kesenangan-ku adalah menelisik tulisan-tulisan gnostik yang memiliki nilai
penting.

Menggeledah angka dalam kotak magis.

Justru, kutemukan matahari dan rembulan dalam lukisan Adam dan Hawa yang
tercipta pada abad ke-16 kala itu.

Aduh, rupa-nya aku tertancap bintang Pentaculum dan Sigillum yang


menyebarkan pesan menakutkan, yakni konsep pentacle untuk semua tanda
talismatik.

Ku-matikan dengan segera lagu Baltik yang bernada sedih.

Memang tak nyaman di-ganggu oleh kecelakaan yang terjadi akibat loncat-nya
delapan instrumen musik Cina dalam penglihatan.

Babak-belur sudah, untung masih ingat karya Ramon Lull yang berhasil
menggambarkan Kota Tuhan.

Siapa juga yang takut dilempar oleh misteri plakat yang berisi pandangan
Kircher.

Schimmel menenangkan dengan memberi permulaan kalimat dalam bukunya yang


terkait dengan lingkaran tertutup, yakni "5 dan 7, angka-angka sakral.
Keduanya bersemayan di dalam 12".

Suatu saat aku akan memikirkan tentang itu saat menemukan jejak Maurice
Herzog di Annapurna.
Ahli Menyendiri

Kalian tak pernah berhak menyalahkan seseorang yang senang merenungi dunia,
tentang hidup dan seisinya.

Karena kita sudah bosan dengan segala macam tipuan yang menyajikan selera-
selera murahan.

Sementara kita senang disini bersama kemilau merah, dengan arah yang sudah
ditentukan. Masa depan yang cemerlang..

Kita menyenangi semua sandiwara ini, sungguh sangat mempesona.

Sulit dibenakkan dalam kata-kata.

Walau terkadang berubah menjadi pudar, walau meluber ke segala macam arah
yang berpencar.

Walaupun langit berputar-putar, mengikuti benang waktu yang senang


berkelakar, kita tetap memperhatikan pikiran yang dipenuhi semak belukar.

Tepatnya diatas teras tempat tinggal seorang teman, bersama mendung-nya


awan yang melindungi cahaya bulan. Kita terus bersenda gurau dengan dua
kawan yang sedang berbincang masalah-masalah kehidupan.

Dalam bayang masa depan, kita terus memendam rahasia tentang diri yang
belum terungkap. Kita membelek-nya perlahan-lahan, sembari merasakan
kegundahan akibat pengawasan dari bintang-bintang.
Kita tidak boleh melupakan kisah-kisah lalu, karena hidup terus berjalan tanpa
musti mengungkapkan segala hal yang tersimpan. Kendati kehendak kita menjadi
jalang.

Kita merasa banyak orang mengikuti ajaran Malamatiyyah. Cara terbaik guna
mengelabui sekitar adalah menampilkan kemasan leceh terhadap kejujuran.

Lengah hanya membuat-mu terus ternganga begitu jauh, hati-hati dengan itu.
Maka ganti-lah kemasan dengan sesuatu yang mengagumkan.

Salah satu hal yang mungkin tercapai ialah sebuah bentuk ideal kemesraan yang
berusaha menggoda diri-nya dalam suatu hunian.

Lalu, belajar-lah menyerang diri sendiri agar tabungan amal ibadah akan
tersingkap sesuai tempat-nya. Bukan justru bertahan namun kedodoran atas
sikap menjemukkan.

Terlintas Sejenak

Bunyi malam begitu dingin.

Seperti kipas angin.

Sekarang, semua atom berbisik-bisik. Dia sudah dilantik semenjak aku masih
bayi.

Bunyi kucing terlalu kencang.

Seperti udara siang.

Tadi, hentakan kehendak sedang bernyanyi. Untung saja sangat berisik.


Bunyi tulang sedikit remuk.

Seperti-nya kiuk.

Saat ini, aku belum usai bercerita. Mungkin nanti, ketika mata-ku mulai
kecewa.

Bunyi bulan terdengar segar.

Seperti-nya menggelegar.

Barusan, aku menertawakan suara tawa. Kata-nya, dia butuh kita.

Bunyi burung terlanjur menghasut.

Seperti rambut-ku yang kusut.

Tulisan macam apakah yang ku-buat?

Gausah serius-serius amat.

Mengapa harus suka jika terpaksa? Aku semacam mengalami dilema yang cukup
serius untuk dibicarakan, lebih baik kita lewatkan.

Aku sedikit pusing sebab tak melakukan kegiatan yang ku-usahakan. Belum
sampai malas memang, namun terlalu capek justru tidak baik.
Aku mengirimkan pesan terhadap diri-ku agar mampu melawan kesendirian yang
membawa penyesalan pada hari nanti.

Tidak lagi aku menyalahkan waktu sebagai penyebab utama kegagalan mengatasi
diri-ku kala itu. Kini, aku bukan seorang anak yang berwatak buruk, tidak juga
anak yang baik.

Sesungguhnya, memaksa sesuatu dapat menyebabkan kehancuran dan kemudahan


bagi konsentrasi kita. Tinta-ku telah membekas pada akhirnya, sedikit curiga
dengan masa depan yang masih berdiam diri.

Aku menerima semua ini berkat-Mu, pemberi segala nikmat. Dari mana saja
aku memperhatikan bahwa rezeki-Mu terdapat di segala letak, segala langkah
kaki, segala jalur udara dan laut.

Sebagai hamba, pasti-nya aku takkan pernah memahami apa di-balik semua
materi. Begitu-pun pula dengan seluruh ilmu yang Engkau tancap-kan dari
rerumputan hingga antartika, masih banyak lagi.

Anda mungkin juga menyukai