Anda di halaman 1dari 2

Kebangkrutan Pemda

Dr. Muhadam Labolo

Apakah pemerintah daerah bisa bangkrut? Jawabannya bergantung pada standar apa yang
akan digunakan dalam menentukan collaps tidaknya sebuah organisasi birokrasi
seukuran pemerintah daerah. Kalau standarnya pemerintah daerah hanya mampu membayar gaji
pegawai dari total APBD setiap tahun tanpa belanja pembangunan sama sekali, maknanya harus
diakui bahwa Pemda sebenarnya sedang berada di ujung tanduk kebangkrutan. Bukankah
demikian gejala yang terjadi pada sejumlah perusahaan swasta yang sedang menuju keruntuhan.
Kemungkinan mereka hanya mampu membayar gaji pegawai, menutupi kebutuhan rutin tanpa
mampu melunasi hutang, apalagi belanja macam-macam. Di Inggris, Perdana Menteri
Margareth pernah membubarkan Pemda yang dinilai mengalami kebangkrutan. Di Indonesia,
potret tersebut dapat ditemukan pada sejumlah daerah seperti Kabupaten Ciamis, Jawa Barat,
yang menghabiskan 85 persen belanjanya untuk gaji 19 ribu pegawai
(Republika,Juli,2011:1). Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Banten, menguras 78,8 persen
belanja untuk menggaji 13 ribu pegawainya. Defisit nyata terlihat pada Kabupaten Tasikmalaya
yang menghabiskan 76 persen untuk belanjanya. Kondisi ini membuat sejumlah Pemda hanya
mampu bertahan hidup sehari-hari (survival), tanpa mampu melakukan banyak kebijakan yang
berpeluang menimbulkan resiko pengeluaran kalau tidak hutang. Mengambil istilah dalam
hukum Islam, sejumlah Pemda sebenarnya berada dalam kelompok mustahiq, yaitu kelompok
yang mesti mendapatkan zakat, shodaqohmaupun infaq darimanapun agar keluar dari
penderitaan hidup. Tanpa strategi penganggaran baru, saya yakin status daerah semacam itu
masuk dalam kategori miskin atau mungkin fakir. Bagi Pemda yang cerdas, saatnya menghitung
kembali berapa pendapatan sekaligus pengeluaran dalam setahun jika tidak ingin benar-benar
dikatakan bangkrut. Yang saya maksudkan adalah menghitung kembali seberapa besar
kemampuan kita untuk berotonomi, sehingga kita tidak dianggap sebagai daerah otonom
gagal. Menyandarkan total sumber pendapatan sebesar 70 sampai dengan 80 persen pada
pemerintah pusat sama artinya memperlihatkan kegagalan Pemda berotonomi. Ini sama saja
dengan mengulang kembali sejarah implementasi otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang
No.22 Tahun 1948, dimana 90 persen daerah pada akhirnya bergantung penuh pada kebijakan
anggaran pemerintah pusat. Kegagalan otonomi daerah pada saat itu mendorong perubahan
pengelolaan pemerintahan daerah menjadi sentralistik dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selama ini, sumber pendapatan daerah berasal dari empat saluran utama,
yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), dan Dana Bagi Hasil. Ironisnya, PAD kebanyakan daerah rata-rata hanya memberikan
kontribusi dibawah 10 persen dari total APBD. Sebut saja kontribusi PAD Kabupaten Ciamis
yang hanya Rp.52,3 milyar dari total APBD sebesar Rp.1,157 triliun pada tahun
2010. Dibanding dana perimbangan yang mencapai 1,019 triliun, nilai PAD Kabupaten Ciamis
sebenarnya hanya memberi kontribusi sebesar 4 persen dari total pendapatan. Bahkan masih
lebih kecil dibanding defisit anggaran yang dialami daerah tersebut sebesar Rp.140,7
milyar. Sekarang, kalkulasi sendiri apakah Pemda kita memiliki penyakit yang sama sehingga
berkecendrungan bangkrut, atau kita termasuk daerah dengan tingkat stabilitas anggaran relatif
mapan. Kalau lebih separuh daerah otonom tak mampu berdiri diatas kaki sendiri, bergantung
pada belas kasihan pemerintah pusat, maka seyogyanya kita mesti menemukan obat mujarab
untuk segera menyembuhkannya sebelum kebijakan radikal dilakukan. Obat mujarab itu berupa
kebijakan puasa belanja konsumtif bagi kepentingan aparatur semata, guna mendorong
terciptanya efisiensi dan efektivitas Pemda. Pada sisi lain, diperlukan pengurangan beban urusan
yang terlalu banyak disikat habis dengan alasan desentralisasi tanpa perhitungan kapasitas
Pemda. Menghapus sebagian urusan pilihan agar fokus pada urusan wajib jauh lebih bijak
daripada kelebihan muatan urusan tanpa alternatif pembiayaan. Mengurangi urusan yang tak
perlu setidaknya mengurangi beban organisasi pemda baik personil, pembiayaan dan
perlengkapan. Jumlah personil Pemda yang berkelebihan semestinya dapat didistribusikan pada
daerah otonom yang mengalami kelangkaan di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan
Gorontalo. Dengan jumlah PNS sebesar 4,7 juta, selayaknya personil Pemda di seluruh
Indonesia relatif tersedia secara merata. Kalau 2 persen rata-rata jumlah pegawai
negeri di setiap daerah otonom, saya pikir sudah lebih dari cukup. Pengurangan personil tentu
saja mendorong pengurangan belanja aparatur. Itulah mengapa kebijakan pensiun dini menjadi
alternatif dalam upaya mengurangi belanja aparatur. Pada akhirnya, semua perlengkapan yang
mengikuti konsekuensi dari setiap jabatan yang dibentuk mulai tunjangan jabatan hingga
perlengkapan AC, meja, kursi, fasilitas kenderaan dinas, rumah dinas, baju dinas, SPPD, sopir
dan lain-lain dapat dikurangi dengan sendirinya. Ini jelas mampu mengurangi belanja aparatur.
Pada tahap selanjutnya, Pemda selayaknya mampu mengembangkan potensinya untuk
menyuburkan sumber pendapatan asli yang selama ini tak juga memperlihatkan hasil optimal.
Kalau lebih banyak daerah yang bergantung pada pemerintah pusat, artinya sebagian besar
daerah sebenarnya bergantung pada sebagian kecil daerah yang berpotensi menyumbang
kontribusi terbesar pada pemerintah pusat, yang kemudian dibagi kembali menurut formula
perimbangan keuangan pusat-daerah. Potensi daerah yang semestinya digali adalah kekayaan
yang terkandung dalam perut bumi seperti emas, tembaga, mangan, batubara, nikel, biji besi,
minyak dan gas. Seyogyanya, setiap daerah yang hanya memberikan kontribusi kecil memiliki
rasa malu pada daerah yang memberikan kontribusi besar dari aspek pendapatan asli. Rasa malu
tersebut sebaiknya diperlihatkan dengan tak menghambur-hamburkan uang daerah lewat belanja
aparatur yang kelewatan. Melalui strategi tersebut, saya yakin Pemda tidak mungkin akan
bangkrut, kecuali benar-benar keterlaluan pandir dan konsumtif, seperti wong deso dilepas di
sebuah pertokoan mewah di Jakarta, rasanya semua yang dilihat ingin diborong habis, padahal
belum tentu sesuai dengan kebutuhannya. Demikianlah gelagat Pemda kita dewasa ini.

Anda mungkin juga menyukai