Anda di halaman 1dari 14

Pengertian Neoliberalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh

kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang,
manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah hanya
menjalankan fungsi deregulasi bagi mekanisme pasar dan hanya untuk memastikan kelancaran dan
keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan”. Coen Husain Pontoh, Malapetaka
Demokrasi Pasar, Yogyakarta, Resist Book, 2005, Hal. 67

Definisi Neoliberalisme

Mansour Fakih menyebutkan bahwa saat ini adalah saat berakhirnya era developmentalism, suatu
proses perubahan sosial pasca Perang Dunia II yang dibangun diatas landasan paham modernisasi.
Namun di negara-negara pusat kapitalisme, jawaban untuk mempercepat laju kapitalisme telah lama
disiapkan bahkan sejak krisis kapitalisme di tahun 1930-an. Jawaban itu adalah globalisasi
kapitalisme (neoliberalisme) Mansour Fakih. Jalan Lain ; Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta:
Insist Press, 2002. Halaman 184

Kata Neo dalam neoliberalisme sebenarnya merujuk kepada bangkitnya kembali bentuk aliran
ekonomi liberalisme lama yang cikal bakalnya dipicu oleh karya Adam Smith yang menumental, The
Wealth of Nations, di tahun 1976. Filsuf moral asal Inggris itu, yang juga bapak mazhab ekonomi
klasik atau yang lebih populer disebut dengan perumus kapitalisme modern, mempropagandakan
pentingnya penghapusan intervensi negara atau pemerintah dalam mekanisme ekonomi, Sebagai
gantinya Smith, menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan
logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan segala bentuk hambatan (tarif dan
non tarif) dan restriksi. Kompetisi dan kekuatan individu yang bekerja dalam mekanisme pasar akan
menciptakan keteraturan ekonomi. Smith menggunakan teorinya tentang “tangan-tangan
tersembunyi” (invisible hand) yang menurutnya bakal mengatur dan mengorganisir seluruh relasi
dan kehidupan ekonomi dan juga mendorong setiap individu untuk mencari sebanyak-banyaknya
keuntungan ekonomi. (Khudori, Neoliberalisme menumpas petani, Yoyakarta, Resist Book, 2004, Hal
16 )

Negara yang menganut sistem demokrasi-menurut pemahaman neoliberalisme, daya tahan sebuah
negara ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat pendapatan per kapita penduduk. Seperti yang
telah menjadi perdebatan teori-teori pembangunan bahwa kemakmuran hanya dapat dicapai hanya
jika membebaskan pasar dari intervensi negara sehingga tercipta kompetisi dan akhirnya akan
menghasilkan efisiensi dan produktifitas ekonomi yang tinggi. Sehingga terciptanya masyarakat yang
lebih terdiferensiasi, dan perluasan kearah pluralisme sosial dan pluralisme politik. Oleh sebab itu
menurut ideologi neoliberalisme, persamaan kebebasan ekonomi setara dengan kebebasan politik.

Dengan kata lain, kebebasan dan pluralisme politik hanya mungkin terjadi dalam sistem ekonomi
pasar bebas. Inilah yang disebut Przeworski sebagai tarnsisi yang mengambil strategi
“Modernizatioan via internationalization”. Menurut strategi ini, demokrasi menjadi stabil jika
negara-negara yang mengalami transisi mengintegrasikan diri kedalam sistem ekonomi dunia, yang
dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik, dan pola budaya negara-negara kapitalis
maju.(Log. cit, Coen Husain Pontoh Hal. 20: menurut hipotesis ini kemakmuran atau kelimpahan
ekonomi merupakan syarat kunci keberadaan kehidupan dmokasi. )

Baca Praktik Neoliberalisme di Indonesia dan Dampaknya Terhadap Petani

Menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kebenaran dari tesis bahwa demokrasi bisa berjalan
semestinya dan bertahan jika bersanding dengan kebijakan neoliberalisme? Faktanya hampir
seluruh negara yang menjalankan kebijakan “Modernizatioan via internationalization” mengalami
bencana krisis ekonomi dan politik yang akut. Kebijakan neoliberalisme yang dijalankan secara
agresif ternyata menjerumuskan negara-negara yang mengalami transisi ke tingkat yang lebih
rendah. Dengan demikian politik liberal yang dijalankan gagal karena membawa negara kepada
kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang tinggi.

Ciri Neoliberalisme

Beberapa ciri neoliberalisme yang menyebabkan kekuatan negara di reduksi oleh kekuatan modal,
seperti:

Pasar yang berkuasa, bukan pemerntah atau negara. Membebaskan kegaiatan swasta dari peraturan
dan kebijakan pemerintah, walaupun kegiatan membawa dampak yang buruk terhadap rakyat dan
kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat dari gencarnya tekanan swasta terhadap pemerintah
untuk memperlemah serikat buruh serta perlunya penurunan upah buruh, bebasnya swasta
membeli dan menggunakan tanah selama-lamanya dan seluas-luasnya.

Mengurangi biaya untuk fasilitas dan pembangunan umum. Umpamanya dana untuk pendidikan,
kesehatan, Penyediaan air bersih, dan pembangunan daerah secara umum harus dikurangi.

Mencabut peraturan-peraturan yang menngganggu keuntungan ekonomi. Misalnya dengan


menghapus atau mengganti peraturan tentang melestarikan lingkungan, jaminan kondisi kerja, atau
peaturan tentang kesehatan makanan dan lain-lin.

Privatisasi/swastanisasi dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas dan eisiensi pelayanan


kepada rakyat, maka perusahaan milik negara harus dijual, termasuk penjualan jenis-jenis usaha
yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya perusahaan air, listrik, sekolah, rumah sakit,
Bank, dan perkeretaapian.

Mencabut bantuan sosial. Bantuan negara/ pemerintah untuk orang miskin harus dicabut.

Pasar bebas. Di tingkat internasional, paham neoliberalisme berusaha untuk memudahkan


perdagangan antar negara. Salah satu untuk mencapai kondisi ini maka diperlukan untuk mencabut
semua konrtol yang dianggap menghalangi pasar bebas. Misalnya tentang bea/cukai, halangan
investasi dan aliran lalulintas modal.

Monopoli teknologi yang hanya dapat dikuasai dan dikelola oleh pemilik modal untuk produksi
masal.

Cendrung menggunakan militer dan kekerasan sebagai alat untuk mengintervensi disamping pasar
bebas.

Apabila dorongan untuk mencari keuntungan individual adalah kapasitas yang alamiah, maka tidak
boleh ada intervensi pemerintah atau monopoli negara karena hal itu hanya akan mengganggu
kebebasan individu dalam berkompetisi. Dari gagasan inilah lahir apa yang kemudian disebut
dengan pasar bebas (free markets), sebagaimana yang kita kenal saat ini.konsep lainnya dari
neoliberalisme adalah comparative advantage (keunggulan komparatif). Menurutnya, setiap bangsa
harus memaksimalkan kekayaannya bukan atas dasar surplus perdagangan, malainkan mengambil
keuntungan dari pambagian kerja (division of labour) internasional berdasarkan perdagangan bebas.
Smith berkata “bila sebuah negara asing dapat mensuplai kita dengan komoditi yang lebih murah
dibanding yang kita buat sendiri, maka lebih baik kita membelinya dari mereka, dari sebagian hasil
industri kita sendiri yang punya kelebihan-kelebihan dari yang lain”. Inilah hukum comparative
advantage yang masih hidup dan banyak dipraktekan serta diamalkan di banyak negara hingga
sekarang.

Neoliberalisme kemudian dikenal sebagai sebuah kendaraan yang mengusung satu proyek besar
dunia; globalisasi pasar, dengan cara-cara seperti bagaimana yang disebutkan oleh Manfred B.
Steger, bahwa kelompok globalis neoliberal berupaya menyemaikan pengertian yang tidak kritis
mengenai “globalisasi” kealam pikir masyarakat dengan klaim yang mereka sebut sebagai
keuntungan universal dari liberalisasi pasar, yaitu : peningkatan standar hidup global, efisiensi
ekonomi, kebebasan individu dan demokrasi, serta kemajuan teknologi yang belum pernah ada
sebelumnya (Manfred B. Steger. GLOBALISME; Bangkitnya Ideologi Pasar, Jogjakarta: Lafadl Pustaka,
2005. Halaman 17 )

Menurut Mansour Fakih, Globalisasi pada dasarnya merupakan proses pesatnya perkembangan
kapitalisme, yang ditandai dengan globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari Perusahaan
Transnasional (Trans National Corporations-TNCs) dengan dukungan Lembaga-lembaga Keuangan
Internasional (International Financial Institutions-IFIs) yang diatur oleh Organisasi Perdagangan
Global (World Trade Organization-WTO) Log. Cit,.Mansour Fakih. Jalan Lain ; Manifesto Intelektual
Organik. Hal. 192
Dengan demikian, proses neoliberalisme yang diwacanakan berakibat pada monopoli negara-negara
kaya terhadap negara berkembang di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Di
Asia, Indonesia merupakan contoh yang paling baik untuk menggambarkan bagaimana dampak dari
hegemoni neoliberalisme tersebut khususnya bagi para petani. Pengkerdilan peran negara
menyebabkan negara tidak mampu melindungi petani, nelayan, dan rakyatnya secara maksimal.

Dengan monopoli yang demikian maka irama permainan pertanian global akan sepenuhnya
ditentukan oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama koorporasi-koorporasi transnasional (TNC).
Dengan kekuatannya TNC-TNC ini menghisap surplus yang besar dari negara-negara dunia ketiga dan
subsidi dari negara-negara tempat TNC beroperasi. Perkembangan-perkembangan ini akan
meluncur seiring dengan tersingkirnya dan marjinalisasi petani-petani kecil, baik yang ada di negara
maju dan yang tersebar di negara sedang berkembang dan miskin di belahan selatan dunia. Dengan
kekuatan lobynya untuk menyetir dan mempengaruhi setiap keputusan penting dalam berbagai
kesepakatan-kesepakatan multilateral serta institusi-institusi keuangan global penyebar ideologi
neoliberalisme, pertanian dunia akan berada dalam cengkraman neoliberalisme. Inilah yang
dinamakan neoliberalisme pertanian.

Neoliberalisme dan Lembaga Pendukungnya

1. WTO (World Trade Organization)

Salah satu strategi untuk melancarkan agenda Neoliberalisme tersebut diantaranya melalui lembaga
WTO. GATT (General Agreement on Trade and Tariff) merupakan suatu kesepakatan multilateral
yang menciptakan kerangka kerja sama perdagangan internasional. GATT dibentuk pada tahun 1948
dengan tujuan untuk menghapuskan proteksi perdagangan melalui penghapusan tarif dan kuota.
Semakin lama GATT semakin berpengaruh pada beberapa perundingan perdagangan yang kemudian
menghasilkan pemotongan tarif. Ada beberapa putaran perundingan yang dilakukan berturut-turut
mulai di Jenewa (1947), Annecy (1948), Kennedy (1964-1067), Tokyo (1973-1979) dan putaran
Uruguay (1986-1994). Log. Cit, Irma Yanni, Melawan Neoliberalisme, Petani Press, Hal. 52

Putaran Uruguay merupakan perundingan yang komprehensif. Sampai dengan masa berakhirnya
pada tahun 1994 dalam suatu pertemuan tingkat menteri di Marakesh, Maroko. Putaran Uruguay
telah menghasilkan suatu reformasi global di bidang perdagangan dan hasilnya juga semakin luas
termasuk memasukan sektor pertanian dan tekstil di dalam kesepakatannya. Di putaran Uruguay ini
juga cakupan perdagangan dunia telah diperluas dengan memasukan hal-hal lain seperti GATS
(kesepakatan umum tentang perdagangan dan jasa), TRIPS (kesepakatan tentang HAKI atau hak milik
intelektual), TRIMS (kesepakatan tentang ketentuan investasi). Yang pada akhirnya putaran Urugay
ini mencapai kesepakatan untuk membentuk organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade
Organization).

WTO secara formal terbentuk pada tanggal 1 januari 1995, dimana satu per lima anggotanya adalah
negara yang sedang berkembang. Tidak lama setelah putaran Uruguay berlalu beberapa anggotanya
mengkritik WTO dan menyatakan WTO hanya mengakomodir kepentingan negara-negara maju saja.
Satu kritik pedas yang disampaikan oleh Luis Fernando Jaramillo yang mengatakan: Ibid, Hal. 54. Luis
Fernando Jaramillo adalah ketua dari kelompok G77 di New York dan utusan tetap Colombia di PBB.

”Cukup jelas bahwa hasil putaran Uruguay tidak dilaksanakan untuk kepentingan negara-negara
yang berkembang.....dan tidak diragukan lagi, negara yang berkembang merupakan pihak yang
kalahbaik secara perorangan ataupun kolektif.”

WTO merupakan suatu arena konflik politik-ekonomi guna mengembangkan kompetisi dan
menciptakan kesempatan untuk melakukan kompetisi dan menciptakan kesempatan monopoli dan
ekspansi usaha. Intinya adalah untuk meliberalisasi pasar guna memenuhi ambisi negara-negara
kapitalis agar pasar Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dapat terbuka bebas. Negara-negara maju ini
sangat membutuhkan pasar untuk menjual surplus produksinya dan mengeluarkan modalnya
sehingga bisa mendapat bahan baku yang murah dan upah buruh yang sangat murah guna
mengembangkan monopoli usahanya agar berkembang dan tidak bangkrut. Bukan hanya barang
yang bisa bergerak bebas tapi juga termasuk jasa dan investasi juga harus bebas bergerak.

Negosiasi-negosiasi perdagangan dunia banyak dilakukan di forum WTO. Negosiasi tersebut akan
mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan
menguntungkan satu pihak dan membebani pihak yang lain. Contohnya, perjanjian perdagangan
melarang hampir semua subsidi termasuk juga untuk sarana produksi pertanian. Kondisi tersebut
menekan pendapatan petani di negara-negara berkembang yang tidak mendapatkan subsidi seperti
yang terjadi di Indonesia.

Perjanjian perdagangan tersebut menggariskan tentang perlunya keseragaman sistem perdagangan


dunia. Langkah ini diyakini akan meningkatkan efisiensi perdagangan. Hal tersebut akan
mengakibatkan negara anggota WTO suka atau tidak suka, mau tidak mau harus melakukan
penyesuaian berdasarkan komitmen yang disepakati. Di sektor pertanian, akan merubah sistem
pertanian di negara-negara berkembang secara radikal.

Padahal kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya negara-negara berkembang jelas tidak sama
dengan kondisi negara-negara maju. Akibatnya praktek perdagangan tersebut cederung menjadi
perdagangan yang yang tidak adil, dan bahkan menghisap akibat level playing field yang berbeda
antara negara maju dengan negara-negara berkembang. Hal ini terlihat pada termarjinalisasikanya
posisi petani berlahan sempit (gurem) dengan melakukan praktek pertanian dengan teknologi
sederhana yang menghuni negara-negara berkembang. Dan di sisi lain, petani di negara maju selain
mendapat dukungan penuh dari pemerintah, dengan penguasaan lahan yang luas dan menggunakan
teknologi modern. Sudah sangat jelas yang terjadi kemudian adalah ketidak adilan akibat peraturan
yang unfair.

a. AoA (Agreement on Agriculture)

Sebelum putaran Uruguay, pertanian tidak termasuk dalam negosiasi perdagangan multilateral.
Putaran Uruguay memasukan perdagangan hasil-hasil pertanian termasuk tekstil dan sandang
kedalam kesepakatan perdagangan internasional.

Secara tradisional, suatu negara selalu mengenakan tarif ( bea dan cukai), hal ini guna mengontrol
import produksi hasil pertanian dan sebagai suatu instrumen untuk melindungi dan
mengembangkan pertaniannya. Beberapa negara maju terutama USA dan Eropa memberikan
subsidi pada produksi pertaniannya sehingga ekspor yang dilakukan menjadi berharga sangat
murah, sehingga merusak pasar di tingkat internasional. (Ibid, Hal. 55 )

Ketentuan tentang pertanian (AoA) berusaha menciptakan sistem perdagangan hasil pertanian yang
berorientasi pasar. Menghapuskan subsidi dan proteksi terhadap hasil pertanian, sehingga
menghasilkan kehancuran di pasar produksi pertanian dunia. AoA juga mengharuskan pengurangan
subsidi terhadap produk-produk pertanian dan ekspor hasil pertanian.

Wilayah kerja AoA terdiri dari:

Akses pasar(pengurangan tarif dan pembatasan impor)

Pengurangan subsidi terhadap pertanian

Pengurangan subsidi ekspor hasil pertanian.

AoA juga mengatur ketentuan tentang kesehatan termasuk juga stadar pangan higiensi dan
ketentuan inspeksi. Setiap angota harus membuat komitmen dalam wilayah kerja ini menurut jadwal
tertentu.

b. TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights)


Selain perjanjian pertanian, perjanjian WTO lain yang membawa perubahan mendasar pada sektor
pertanian adalah persetujuan mengenai hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan
perdagangan (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights/TRIPs). Sejak januari tahun 2000,
negara-negara berkembang anggota WTO berkewajiban melakukan harmonisasi undang-undang
nasionalnya agar sejalan dengan kesepakatan TRIPs. Hasil putaran Uruguay, TRIPs meurpakan salah
satu hasil utama yang paling kontroversial dan memicu perdebatan di seluruh dunia. Sebab,
perjanjian itu dianggap tidak konsisten dengan tujuan WTO.

Untuk sektor petanian, pasal 27 merupakan pasal yang paling sering dipermasalahkan, yaitu yang
berisi antara lain 1, Paten diberikan untuk semua penemuan, baik dalam bentuk produk atau
proses,tanpa melihat tempat dari mana asal dan pembuatan suatu penemuan dan dalam semua
bidang teknologi. 2, Negara anggota WTO dapat menetapkan penemuan yang tidak diberikan paten,
sepanjang penemuan tersebut tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. 3, Negara-negara
anggota WTO dapat menetapkan penemuan yang tidak dapat diberikan hak paten, seperti metode
pemeriksaan, pengobatan dalam rangka penanganan manusia dan hewan. (Log Cit, Hudori,
Neoliberalisme menumpas petani, Yogyakarta, Resist, Hal 94 )

Bila dicermati isi dari TRIPs dapat memunculkan beberapa implikasi pematenan atas mahluk hidup
pada masyarakat tradisional dan petani, seperti halnya masyarakat petani tidak lagi dapat
menjalankan aktifitas yang biasa mereka lakukan- yang terkait erat dengan perlindungan dan
pelestarian keanekaragaman hayati tanpa seijin pemegang paten.

Bila perlindungan paten diberlakukan, seyogyanya petani dan masyarakat tradisional juga unya hak
untuk mendapatkan paten atas benihnya, persoalannya, ketentuan TRIPs mengatakan paten hanya
dapat diberikan bagi inovasi yang dapat digunakan dalam skala industri. Padahal poses-proses
bioteknologi yang menghasilkan bibit unggul tidaklah berdiri sendiri, tetapi perlu kearifan
masyarakat tradisional.

Akhirnya TRIPs memunculkan sejumlah implikasi serius, yang dalam konteks pertanian, terutama
keragaman hayati. TRIPs akan mendorong terjadinya privatisasi keragaman hayati yang berada
dalam kancah publik. Padahal sejarah mengajarkan, privatisasi sumber daya publik selalu berakhir
dengan kerusakan atau penipisan sumber daya tersebut melalui monopoli kepemilikan keragaman
hayati beserta pengetahuannya, menegasikan inovasi tradisional masyarakat adat/lokal, membuka
peluang pembajakan sumber daya hayati yaitu pengambilan dan pemanfaatan bahan hayati,
terutama sumber daya genetika beserta kearifan tradisional masyarakat adat tanpa sepengetahuan
dan persetujuan masyarakat setempat, dan mendorong erosi keragaman hayati.

2. International Monetary Fund (IMF)


Kehancuran dunia khususnya kehancuran ekonomi dunia sebagai akibat Perang Dunia II telah
mendasari pertemuan diBretton Woods Hampshire Amerika Serikat pada 1-22 Juli 1944 yang
dihadiri oleh 45 perwakilan pemerintahan. Pertemuan ini memunculkan pembentukan

International Monetary Fund (IMF). IMF dibentuk oleh 29 negara dengan menandatangani artikel
perjanjian guna mengatasi depresi yang sangat besar yang dialami Amerika Serikat pada tahun
1930-an yang berdampak pada perekonomian negara-negara dunia ketiga.

Adapun tujuan pembentukan IMF melalui promosi kerjasama moneter/keuangan internasional


(Bank Dunia/World Bank) adalah untuk peningkatan perdagangan internasional dengan memberikan
hutang kepada negara-negara yang telah menjadi anggotanya. Menurut IMF agar hutang tersebut
bisa dikembalikan maka negara-negara yang diberikan bantuan tersebut harus menjalankan
Structural Adjusment Program (SAP). Termasuk didalamnya adalah penurunan nilai tukar mata uang
suatu negara terhadap Dolar, pertumbuhan yang berorientasi ekspor, privatisasi, dan peningkatan
praktek-praktek yang mendukung pasar bebas.

Dengan kata lain negara yang ingin meminjam kepada IMF harus dengan syarat yang berakibat pada:
(1), dipinggirkannya peran pemerintah sebagai badan publik dalam penyediaan berbagai layanan
dasar untuk publik, (2) menjadikan berbagai jasa layanan dasar penunjang hidup sebagai barang
dagangan (komoditas) yang dikuasai swasta, dan (3) sebagai konsekuensi dari keduanya, terjadinya
pergeseran berbagai interaksi sosial dan kultural yang semula berorientasi pada partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan jasa layanan dasar untuk diri mereka sendiri direduksi secara implisit
menjadi hubungan antara konsumen dan produsen atau justru antara penjual dan pembeli. Pada
kondisi rendahnya akses publik terhadap modal/kapital, hal ini akan mengakibatkan akses
masyarakat kepada berbagai jasa layanan dasar serta politik menjadi sangat rendah.

Di Indonesia, pelaksanaan pembangunan dengan menggunakan dana bantuan (pinjaman) kepada


IMF dengan syarat yang ditentukan IMF tersebut telah mendesak pelaksanaan konsep
pembangunan di bidang industri dan berorientasi ekspor. Pada gilirannya mau-tidak mau akan
mengurangi jumlah perluasan lahan pertanian di Indonesia. Pengurangan luas lahan pertanian ini
dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi pengembangan lokasi atau kawasan industri
baik itu industri pabrik, perkebunan, pariwisata, perumahan dan pembangunan skala besar lainnya.

Pada dasarnya kebijakan oleh IMF tersebut dikemas di dalam sebuah dokumen yang disebut dengan
Memorandum of Economic and Financial Policy (MEFP), yang lebih poluler disebut dengan Letter of
Intent(LoI). LoI tersebut harus disetujui dan dilaksanakan pemerintah Indonesia. Untuk
merealisasikan langkah-langkah dalam LoI, melalui Bank Dunia maupun ADB (Bank Pembangunan
Asia) telah menyediakan dana pinaman yang harus digunakan untuk melaksanakan sejumlah langkah
mandat reformasi yang berbentuk penyesuaian struktural.Ibid, Hal. 194

Salah satu dampak penyesuaian struktural IMF dan Bank Dunia tersebut bisa disaksikan pada sektor
pertanian, dimana penyesuaian ini pada gilirannya berpengaruh langsung terhadap ketahanan
pangan kita. Penyesuaian yang tertuang dalam LoI tersebut direspon oleh pemerintah dangan
mengeluarkan kebijakan, antara lain penghapusan monopoli import berbagai komoditas pangan
pokok dan strategis (beras, gula, terigu dan gandum), penetapan tarif bea masuk, penghapusan
subsidi pangan, penghapusan subsidi pupuk dan berbagai sarana produksi pertanian kepada petani.

3. Multi National Coorporations (MNCs)

Dari uraian tentang implikasi neoliberalisme terhadap petani diatas, kita dapat memahami
bagaimana sesungguhnya ”perang” yang terjadi antara negara khususnya dunia ketiga dengan
MNCs dalam perebutan kekuasaan ekonomi. Negara dilucuti peran dan kekuasaanya sebagai alat
untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dipaksa untuk tunduk pada kepentingan perusahaan-
perusahaan raksasa MNCs tersebut.

Perkembangan peragangan yang terjadi dewasa ini adalah berkembangnya pertanian bioteknologi
lewat rekayasa genetika yang menghasilkan tanaman transgenik. Lewat rekayasa genetika pertanian
transgenik telah meluas. Keberhasilan komersialisasi produk transgenik didukung oleh
kemampuannya dalam posisi yang acceptable dalam ranah sosio-politik, dan ini sangat disadari oleh
perusahaan multi nasional. Pelipatgandaan model tersebut sangat progresif dengan penambahan
jumlah luasan tanaman transgenik yang sangat fantastis. Misalnya sebesar 46% kedelai yang
ditanam di seluruh dunai saat ini adalah merupakan kedelai transgenik. Ibid, Hal. 49, rekayasa
genetika merupakan teknologi untuk mengubah susunan materi genetic sel hidup untuk
menghasilkan senyawa yang diinginkan atau bahkan mengubah fungsi-fungsi secara berbeda dengan
sel-sel yang lain yang tidak mengalami manipulasi.

Singkatnya adalah terjadi monopoli teknologi dan beserta globalisasi paradigma monokultural.
Karena benih dipatenkan, petani yang semula bisa menangkarkan bibit untuk keperluannya sendiri,
kini mereka dipaksa untuk membeli benih produk MNC dengan harga yang sangat mahal dan tidak
bisa di benihkan kembali oleh petani. Saat ini Monsanto memiliki hak paten pertama untuk teknologi
rekayasa genetika yang berhubungan dengan riset tanaman transgenik (Monsanto merupakan
perusahaan penelitian produk transgenic yang tidak lain adalah sponsor utama MNC. ). Maka semua
pengguna bioteknologi dasar tersebut harus meminta ijin dan membeli dari Monsanto. Ini memicu
kontroversi karena ide dasar hak paten adalah publik mendapatkan akses ke produk yang aman.

Respon kebijakan pemerintah


Selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis beras yang
paling parah. Akibat krisis pangan yang akut di pedesaan, terjadi penjarahan terhadap perkebunan,
hutan, bahkan tambak. Krisis ekonomi ini diyakini punya andil besar terhadap kejatuhan Preisden
Soeharto. Kelangkaan pangan merupakan persitiwa politik yang mengguncangkan, kala ”warga
berulangkali menunjukan kemampuannya untuk menjatuhkan pemerintahan yang gagal dalam
kebijakan pangan ini”. Sejauh sebuah rezim mampu mengontrol sumber-sumber dasar tersebut,
menjaganya dari ancaman kelangkaan, dan yang jauh lebih penting adalah menstabilkan harga
dikalangan konsumen dan konstituen strategis maka sejauh itu pula stabilitas politik dapat dijamin
dengan mantap. Bagitu juga sebaliknya, kekuasaan politik dapat terguncang karena gagal menjaga
stabilitas harga pangan. Hal ini akan lebih nyata lagi terlihat di berbagai negara berkembang dan
miskin, seperti di Indonesia khususnya Sumatera Utara. Dalam masyarakat politik seperti itu,
persoalan pangan dapat menjadi ancaman bagi stabilitas politik yang laten dan bisa menyebabkan
keguncangan sewaktu-waktu.

Untuk mengantisipasi kekacauan politik dan ekonomi yang kian memburuk, Pemerintah Indonesia
merepone dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang kooperatif dengan lembaga-lembaga
ekonomi internasional. Hal tersebut menghasilkan beberapa kebijakan yang tertuang dalam
Undang-Undang publik, seperti keluarnya:

1. Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 (tentang perkebunan)

Sejarah penguasaan tanah agraria di Indonesia sejak jaman feodal dikuasai oleh raja-raja secara
mutlak. Feodalisme adalah sistem perekonomian dimana raja dan keluarganya merupakan tuan dan
rakyat adalah abdi. Jadi dalam sistem feodalisme, alat produksi seperti tanah merupakan milik raja,
bangsawan. Juga rakyat adalah milik raja yang tenaganya dapat diserahkan demi kepentingan
penguasa tersebut.

Begitu juga pada masa kolonial dapat digambarkan secara umum bahwa penguasaan tanah dikuasasi
oleh para penjajah kapitalisme kolonoalis Belanda dengan berbagai kesepakatan dengan para Raja.
Sistem kolonial ini ditandai dengan 4 ciri pokok yaitu: dominasi, eksploitasi dan depedensi. Prinsip
dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi
yang mayoritas. Dominasi ini pada umumnya didukun oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam
menguasai dan memerintah penduduk pribumi. Dengan demikian pribumi dikenakan ”tanam paksa”,
kerja rodi dan dipaksa untuk tidak memiliki modal produksi sendiri seperti tanah.

Dengan tuntutan perkembangan kapitalisme tersebut pada tahun 1602 mereka membentuk
gabungan perseorangan Belanda atau disebut dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
VOC diberi oleh pemerintah Belanda hak eksklusif dalam melakukan monopoli perdagangan di
daerah jajahannya demi memenuhi kebutuhannya. Noer Fauji Rachman, Dinamika Perjalanan Politik
Agraria, Bandung, 1994 hal 12.
Demikian hal ini berlangsung selama berabad-abad, yang menimbulkan penindasan dan penderitaan
bagi penduduk pribumi yang berkepajanjangan. Hal ini terlihat dari pengembangan usaha pertanian
perkebunan dengan satuan-satuan berskala besar.

Akibat sosial dari penguasaan dari tanah sebagai alat produksi pertanian oleh kolonial adalah
hubungan kelas sosial antara kelas sosial yang terlibat adalah buruh dengan pemilik modal: buruh
adalah mayoritas manusia yang menjual tenaga kerja yang dipertukarkan dengan upah

Hak rakyat atas tanah merupakan hak dasar dari setiap manusia dan rakyat mempunyai hak
pengelolaan yang bersifat mandiri dan mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
pengelolaanya. Demikian juga hubungan antara manusia dengan tanah merupakan hubungan yang
bersifat sosio religius sehingga tanah tidak dapat hanya dipandang sebagai aset produksi semata.

Hak rakyat atas tanah sebagai hak dasar manusia harus dijamin ketersediaanya oleh negara untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat semesta. Penguasaan tanah secara terpusat pada individu
maupun kelompok dengan skala besar tidak dibenarkan dan negara sebagai penjamin harus
melaksnakan fungsinya untuk melakukan distribusi tanah untuk pemenuhan hak dasar tersebut.

Udang-Undang perkebunan tetap memandang tanah sebagai asset produksi semata. Tanah yang
mempunyai hubungan sosial religius apabila dibutuhkan untuk usaha perkebunan dan di atas tanah
tersebut terdapat masyarakat atau hak rakyat terlebih dahulu ada mereka wajib dilakukan
musyawarah. Prinsip musyawarah pada dasarnya memang merupakan sebuah prinisip yang sangat
diharapkan dalam setiap pengambilan keputusan bersama. Undan-Undang perkebunan tidak
menerapkan prinsip-prinsip dasar musyawarah karena musyawarah diarahkan untuk memperoleh
kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

2. Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 (tentang sumber daya air)

Air merupakan potensi yang ada di alam, menjadi kebutuhan yang mendasar bagi semua mahluk
hidup yang ada di bumi. Oleh karena itu air menjadi bagian syarat terpenuhinya hak azasi manusia.
Hak yang setara atas air bagi setiap individu merupakan hak dasar manusia. Privatisasi pengelolaan
air dan komersialsiasi sebagaimana terdapat dalam undang-undang no.7 tahun 2004 bertentangan
dengan hak dasar tersebut. Sementara hak ini dijamin oleh UUD 1945. Undang-undang sumber daya
air no.7 tahun 2004 ini membatasi peran negara semata sebagai pembuat dan penguawas regulasi.
Negara sebagai regulator dan swasta sebagai penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan
penjabaran dari penerapan sistem ekonomi liberal.
Negara sebatas regulator akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk
memastikan terjaminya keselamatan dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Negara tidak
dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok tidak mampu dan rentan
dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau.

Atas dasar itulah, substansi yang mendorong privatisasi dan komersialisasi air dalam undang-
undang no.7 tahun 2004 akan membahayakan kepentingan dan kesejahteraan seluruh laspisan
masyarakat. Air menjadi salah satu contoh upaya pemilik modal global untuk menguasai sumber
daya negara berkembang dan bertujuan untuk menarik keuntungan. Agenda libealisasi yang
dititipkan pada sejumlah undang-undang merupakan pola umum yang dijalankan lembaga kapitalis
global.

Undang-undang ini mendapat penolakan dari kelompok-kelompok masyarakat. Terdapat pasal-pasal


yang memberikan peluang pengelolaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air kepada
swasta yang tidak dibatasi.

Dengan demikian privatisasi tidak sebatas penyerahan penyediaa air minum, namun juga
pengelolaan air untuk berbagai kepentingan, khususnya irigasi pertanian, energi dan industri.
Undang-undang yang baru ini lebih didominasi oleh kepentingan ekonomis. Pengaruh Bank Dunia
ikut menentukan substansi dan kepentingan yang diperjuangkan oleh undang-undang ini.

Hadirnya undang-undang no. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air merupakan bagian dari
persyaratan pinjaman Bank Dunia untuk program WATSAL (Water resources sector adjusment loan)
sebesar USD 300 juta yang ditandatangani pada april 1998. sejak tahun 1998 kebijakan tentang air
yang baru tersebut dirumsukan dengan ketelibatan Bank Dunia, Bapenas dan Kimpraswil. Seak awal
Bank Dunia telah menyatakan bahwa lembaga tersebut tidak akan memberikan pinjaman baru
apabila kebijakan pengelolaan air, khususnya untuk irigasi pertanian tidak diubah.

Undang-undang ini memberi ruang yang luas bagi swasta untuk menguasai air (air tanah, segala
bentuk air permukaan dan sebagian badan sungai). Instrumen Hak Guna Usaha dalam pasal 7,8, dan
9 (35 UU Sumber Daya air No.7 Tahun 2004 pasal 7: (1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air, (2) Hak guna air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya.,
Pasal 8: (1) Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi.,(2) Hak guna pakai
air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila, (a) cara menggunakannya
dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air; (b) ditujukan untuk keperluan kelompok yang
memerlukan air dalam jumlah besar; atau (c) digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi
yang sudah ada.(3) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk
mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.
Pasal 9: (1) Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin
dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang hak guna
usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan.(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi) menjadi dasar alokasi dan penguasaan sumber-
sumber air kepada swasta. Instrument Hak Guna Usaha ini menjadi dasar pengelolaan air dan
menjiwai sebagian besar pasal-pasal dalam undang-undang seumber daya air. Undang-undang ini
juga membatasi bentuk dan jumlah penggunaan air oleh masyarakat. Di luar batasan kriteria
penggunaan sehari-hari dan pertanian rakyat yang ditentukan pemerintah, akan dikategorikan
sebagai kepentingan komersial. Oleh karena itu maka penggunaan air di luar batasan tersebut akan
diwajibkan mendapatkan izin dan tentunya akan dikenakan biaya. Begitu banyak aktivitas
masyarakat yang selama ini dilakukan tanpa nuansa komersial akan terhambat terhadap akses air
tersebut. Dengan adanya batasan penggunaan air kepada masyarakat, maka alokasi air bagi
kepentingan akan semakin besar. Pengaturan ini membuat pemanfaatan air mengalir kepada
kepentingan komersial semakin besar dan yang mampu dari sisi eknomi.

Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang air tersebut, swasta memiliki peluang yang
cukup besar untuk menguasai sumber-sumber air milik bersama masyarakat. Sumber-sumber air
bersama masyarakat dapat dikuasakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah kepada swasta
atau perorangan untuk mengelolanya.

Walaupun dalam isi undang-undang tentang air no. 7 tahun 2004 tidak menyebutkan ”privatisasi”
namun jelas pelibatan swasta dalam berbagai bentuk dan tahap pengelolaan air menunjukan
adanya agenda privatisasi.

Privatisasi atas penyediaan air minum, pengelolaan sumber daya air, dan irigasi pertanian
dimungkinkan oleh undang-undang sumber daya air ini, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 40
(ayat 4 dan 5). Pasal 40 ayat 4: Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta
dalam

penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. Ayat 5: Pengaturan terhadap

pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan untuk:

a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau;

b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan; dan

c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.


Pertanian akan menjadi mahal oleh karena mendapatkan air akan membutuhkan biaya yang lebih
besar ditengah tingginya biaya produksi tani seperti pupuk, bibit dan pemasaran hasil pertanian yang
tidak menentu. Petani yang mendapatkan air dari pengelola swasta akan membayar biaya
pengelolaan air. Beban ini menjadi bertambah besar karena menurut undang-undang sumber daya
air (pasal 41 ayat 3) maka pembangunan dan pemeliharaan irigasi menjadi tangungan petani dan
tidak lagi disubsidioleh pemerintah. Petani khususnya petani sawah , tidak akan mampu bertahan di
sektor pertanian dengan kondisi seperti ini. Dan agenda kedaulatan pangan akan semakin jauh dari
harapan rakyat Indonesia.

Disamping itu juga beberapa undang-undang yang dihasilkan seperti undang-undang no.25 tahun
2007 tentang penanaman modal asing, undang-undang no.22 tahun 2001 tentang minak dan gas
bumi, dan undang-undang no.11 tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan terdapat
muatan yang meliberalisasi sumber-sumber pertanian. Secara tidak langsung, lahirnya undang-
undang ini akan merugikan pertanian dan mementingkan kekuatan modal asing.

Anda mungkin juga menyukai