Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGITIS TB

A. Pengertian

Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab meningitis

bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cedera traumatik atau secara tidak

langsung bila dipindahkan dari tempat lain di dalam tubuh ke dalam cairan serebrospinal

(CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada meninges termasuk bakteri,

virus, jamur, dan zat kimia (Betz, 2009).

Meningitis adalah infeksi yang terjadi pada selaput otak (termasuk durameter,

arachnoid, dan piameter) (Harold, 2005). Meningitis adalah peradangan pada selaput

meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada

sistem saraf pusat (Suriadi, 2006). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa meningitis adalah suatu peradangan dari selaput-selaput (meningen)

yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (spinal cord).

B. Etiologi

Penyebab dari meningitis meliputi :

1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama

meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.

2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.

3. Organisme jamur (Muttaqin, 2008)

C. Klasifikasi

1. Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya :

a. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan

iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukimia,

atau darah di ruang subarakhnoid. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis

bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada

kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan lapisan otak.

Mekanisme atau respons dari jaringan otak terhadap virus bervariasi bergantung

pada jenis sel yang terlibat.

b. Sepsis

Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organisme

bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus influenza. Bakteri paling

sering dijumpai pada meningitis bakteri akut, yaitu Neiserria meningitdis

(meningitis meningokokus), Streptococcus pneumoniae (pada dewasa), dan

Haemophilus influenzae (pada anak-anak dan dewasa muda). Bentuk penularannya

melalui kontak langsung, yang mencakup droplet dan sekret dari hidung dan

tenggorok yang membawa kuman (paling sering) atau infeksi dari orang lain.

Akibatnya, banyak yang tidak berkembang menjadi infeksi tetapi menjadi pembawa

(carrier). Insiden tertinggi pada meningitis disebabkan oleh bakteri gram negatif

yang terjadi pada lansia sama seperti pada seseorang yang menjalani bedah saraf

atau seseorang yang mengalami gangguan respons imun.

c. Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel. Infeksi meningen

umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, yaitu melalui salah satu aliran

darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti selulitis, atau

melalui penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatik tulang wajah.

Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenik atau hasil sekunder
prosedur invasif seperti lumbal pungsi) atau alat-alat invasif (seperti alat pemantau

TIK) (Muttaqin, 2008).

2. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan

otak, yaitu :

a. Meningitis Serosa

Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang

jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab

lainnya virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

b. Meningitis Purulenta

Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula

spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokokus),

Neisseria meningitis (meningokokus), Streptococcus haemolyticuss,

Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella

pneumoniae, Peudomonas aeruginosa (Satyanegara, 2010).

D. Patofisiologi/ Pathway

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan

septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor

predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel

sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh

imunologis.

Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran

mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung

yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan

menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks yang dapat

menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami
gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat

purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke

dinding membran ventrikel serebral.

Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang

terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier otak),

edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin

bakteri sebelum terjadi meningitis.

Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan

dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen)

sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan

oleh meningokokus (Corwin, 2009).


PATHWAY
E. Tanda dan Gejala (Manifestasi Klinis)

Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan. Terdapat riwayat

kontak dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki TB aktif atau riwayat batuk

lama, berkeringat malam dan penurunan berat badan beberapa hari sampai beberapa bulan

sebelum gejala infeksi susunan saraf pusat muncul.

Gejala meningitis tuberkulosis sangat bervariasi, gejala awal biasanya mirip dengan

infeksi umum lainnya yaitu berupa kelemahan umum (malaise), demam yang tidak terlalu

tinggi, nyeri kepala yang hilang timbul dan muntah. Setelah gejala awal berlangsung

selama sekitar 2 minggu timbul gejala nyeri kepala yang persisten dan nyeri tengkuk yang

berhubungan dengan rangsang meningeal, timbul tanda-tanda peningkatan tekanan intra

kranial dan defisit neurulogik fokal (parese pada nervus kranial dan hemiparese).

Inflamasi arteri pada basis kranii disertai penyempitan dan pembentukan trombus pada

lumennya menimbulkan iskemik dan infark serebri dengan berbagai defisit neurologi

sebagai akibatnya. Saraf kranial II, III, IV, VI, VII dan VIII sering mengalami kompresi

oleh eksudat yang kental. Pada stadium lanjut terjadi gerakan involunter, hemiplegi,

kesadaran yang semakin menurun dan terjadi hidrosefalus.

Ensefalopati tuberkulosis secara klinis memberikan sindrom berupa kejang, stupor

atau koma, gerakan involunter, paralise, deserebrasi atau rigiditas dengan atau tanpa tanda

klinis meningitis atau kelainan cairan serebrospinalis.

F. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada meningitis tuberkulosis meliputi pemeriksaan Rontgent
thorax, CT-scan, MRI.
Pada klien dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran
tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgent thoraks, kadang-kadang disertai
dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan dan
MRI dapat terlihat adanya hidrosefalus, inflamasi meningen dan tuberkoloma.
Gambaran rontgent thoraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis
tuberkulosis.
b. Tes Tuberkulin
Tuberkulin hanya mendeteksi reaksi hipersensitifitas lambat, tidak menandakan
adanya infeksi aktif sehingga penggunaannya untuk mendiagnosis infeksi aktif dan
meningitis tuberkulosis masih kurang sensitif. Namun pemeriksaan tuberkulin yang
positif pada anak memiliki nilai diagnostik, sementara pada orang dewasa hanya
menandakan adanya riwayat kontak dengan antigen tuberkulosis, dan dapat
memberikan arah untuk pemeriksaan selanjutnya.
c. Cairan Serebrospinal
Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnostik yang efektif untuk
mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Gambaran cairan serebrospinal yang
karakteristik pada meningitis tuberculosis adalah:
1) Cairan jernih sedikit kekuningan atau xantocrom.
2) Pleositosis yang moderat biasanya antara 100-400 sel/mm3 dengan predominan
limfosit.
3) Kadar glukosa yang rendah 30-45 mg/dL atau kurang dari 50% nilai glukosa
darah.
4) Peningkatan kadar protein.
d. Bakteriologi
Identifikasi basil tuberkulosis pada cairan serebrospinal memiliki akurasi yang sangat
tinggi hingga 100% dalam mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Untuk
mendiagnosis basil tersebut dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan apus langsung
BTA dengan metode Ziehl-Neelsen dan dengan cara kultur pada cairan serebrospinal.
e. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan ini untuk mengukur sifat tertentu dari mycobacterium atau respon tubuh
penderita terhadap mycobacterium. Yang tergolong pemeriksaan biokimia antara lain:
1) Bromide Partition Test (BPT)
2) Adenosine Deaminase Activity (ADA)
3) Tuberculostearic Acid
f. Tes Immunologis
Yang mendeteksi antigen atau antibody mikobakterial dalam cairan serebrospinal,
metoda yang sering digunakan dalam tes imunologis antara lain:
1) ELISA (enzym linked immuno sorbent assay)
2) Polymerase Chain Reaction (PCR)

G. Penatalaksanaan Medik

Penatalaksanaan meningitis tuberkulosis terdiri dari:


a. Perawatan umum

Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan

sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan nutrisi,

posisi klien, perawatan kandung kemih, dan defekasi serta perawatan umum lainnya

sesuai dengan kondisi klien.

b. Kemoterapeutik dengan obat anti tuberkulosis

Tujuan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis adalah menyembuhkan penderita

dari penyakit tuberkulosis yang dideritanya, mencegah kematian akibat tuberkulosis,

mencegah terjadinya relaps, mencegah penularan dan sekaligus mencegah terjadinya

resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan.

Prinsip pengobatan meningitis tuberkulosis tidak banyak berbeda dengan terapi

bentuk tuberkulosis yang lain. Syarat terpenting adalah bahwa pilihan OAT harus

dapat menembus sawar darah otak dalam konsentrasi yang cukup untuk mengeliminir

basil intra dan ekstraselular. Beberapa obat yang biasa digunakan untuk meningitis

tuberkulosis adalah :

1) Isoniazida (INH) diberikan dengan dosis 400 mg / hari.

2) Rifampisin, diberikan dengan dosis 450-600 mg / hari.

3) Pyrazinamid, diberikan dengan dosis 1500 mg / hari.

4) Ethambutol, diberikan dengan dosis 25 mg / kg BB / hari sampai dengan 1500 mg

/ hari.
5) Streptomisin, diberikan intra muskular selama 3 bulan dengan dosis 30-50 mg /

kg BB / hari.

6) Kortikosteroid, biasanya digunakan dexametason secara intra vena dengan dosis

10 mg setiap 4-6 jam, pemberian dexametason ini terutama jika terdapat oedema

otak, apabila keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap.

Efek samping OAT

(a) Isoniazid (H)

Efek samping berat yaitu terjadi hepatitis dan terjadi pada kira-kira 0,5% dari kasus.

Bila terjadi maka pengobatan dihentikan, dan setelah pemeriksaan faal hati kembali

normal pengobatan dapat dilaksanakan kembali

Efek samping ringan berupa

(1) Tanda-tanda keracunan saraf tepi, kesemutan, anastesia dan nyeri otot

(2) Kelainan yang menyerupai syndroma pellagra

(3) Kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal

(b) Rifampisin (R)

Efek samping berat jarang terjadi seperti : sesak nafas yang kadang-kadang disertai

kollaps atau syok, anemia hemolitik, purpura dan gagal ginjal

Efek samping ringan seperti : gatal-gatal, kemerahan, demam, nyeri tulang, nyeri

perut, mual muntah dan kadang-kadang diare.

(c) Pyrazinamid (Z)

Efek samping utama adalah hepatitis, dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang

serangan penyakit gout.

(d) Ethambutol (E)

Dapat menyebabkan gangguan penglihatan, berkurangnya ketajaman penglihatan,

kabur dan buta warna merah dan hijau.


H. Komplikasi

a) Ketidaksesuaian sekresi ADH

b) Pengumpulan cairan subdural

c) Lesi lokal intrakranial dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian badan

d) Hidrocepalus yang berat dan retardasi mental, tuli, kebutaan karena atrofi nervus II

(optikus)

e) Pada meningitis dengan septikemia menyebabkan suam kulit atau luka di mulut,

konjungtivitis.

f) Epilepsi

g) Pneumonia karena aspirasi

h) Efusi subdural, emfisema subdural

i) Keterlambatan bicara

j) Kelumpuhan otot yang disarafi nervus III (okulomotor), nervus IV (toklearis ),

nervus VI (abdusen). Ketiga saraf tersebut mengatur gerakan bola mata

I. Fokus Pengkajian

I. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dimana pada tahap ini

perawat melakukan pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara,

pemeriksaan fisik, laporan teman sejawat, catatan keperawatan atau tim kesehatan

lainnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisa untuk mendapatkan diagnosa

keperawatan yang merupakan masalah klien. Tahap pengkajian ini terdiri dari :

a. Pengumpulan data

1) Identitas

a) Identitas klien

Identitas klien yang berhubungan dengan penyakit meningitis adalah:


- Umur : meningitis adalah penyakit sistem persarafan yang dapat terjadi pada

semua umur, dewasa maupun anak.

- Pendidikan : Pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi terhadap

pengetahuan klien tentang penyakit meningitis

- Pekerjaan : Ekonomi yang rendah akan berpengaruh karena dapat

menyebabkan gizi yang kurang sehingga daya tahan tubuh klien rendah dan

mudah jatuh sakit.

b) Identitas penanggung jawab meliputi:

Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan klien.

2) Riwayat kesehatan

a) Keluhan utama

Pada umumnya klien dengan meningitis keluhan yang paling utama adalah

adanya nyeri kepala atau penurunan kesadaran yang disertai kejang.

b) Riwayat kesehatan sekarang

Pengkajian meliputi keluhan pada saat datang ke rumah sakit dan keluhan pada

saat pengkajian, dikembangkan dengan menggunakan analisa PQRST.

P: Provokatif/paliatif

Apakah yang meyebabkan keluhan dan memperingan serta memberatkan

keluhan. Nyeri kepala pada penyakit meningitis biasanya disebabkan oleh adanya

iritasi meningen. Nyeri di rasakan bertambah bila beraktivitas dan berkurang jika

beristirahat.

Q : Quantity / Quality

Seberapa berat keluhan dan bagaimana rasanya serta berapa sering keluhan itu

muncul. Nyeri kepala dirasakan menetap dan sangat berat.

R: Region / Radasi
Lokasi keluhan dirasakan dan juga arah penyebaran keluhan sejauh mana.

S : Scale

Intensitas keluhan dinyatakan dengan keluhan ringan, sedang dan berat. Nyeri

kepala pada klien meningitis sangat berat (skala : 5), dikarenakan adanya iritasi

meningen yang disertai kaku kuduk.

T : Timing

Kapan keluhan dirasakan, seberapa sering, apakah berulang-ulang, dimana hal ini

menentukan waktu dan durasi. Keluhan nyeri dirasakan menetap/terus menerus

karena iritasi meningen.

c) Riwayat kesehatan dahulu

Kaji kebiasaan klien : merokok, minum-minuman beralkohol, riwayat batuk lama

/ infeksi saluran nafas kronis, batuk berdahak atau tanpa dahak (dahak berdarah /

tidak). Riwayat kontak dengan penderita TBC. Apakah klien punya riwayat

trauma kepala atau tulang belakang. Riwayat infeksi lain seperti Otitis media dan

mastoiditis.

d) Riwayat kesehatan keluarga.

Kaji riwayat keluarga apakah ada keluarga klien yang menderita penyakit yang

sama dengan klien, riwayat demam disertai kejang. Adanya penyakit menular

seperti TBC.

3) Pemeriksaan fisik

a) Sistem pernafasan

Gejala yang ditemukan biasanya didapatkan pernafasan cepat dan dangkal,

penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, adanya pernafasan cuping hidung,

retraksi dada positif, adanya batuk berdahak, ronkhi positif.


b) Sistem Kardiovaskuler

Suara jantung lemah, adanya peningkatan tekanan darah atau penurunan tekanan

darah dan peningkatan frekuensi denyut nadi. Pada kasus lebih lanjut akral

menjadi dingin, terjadi sianosis dan capillary refil time (CRT) lebih dari 3 detik.

c) Sistem Percernaan

Pada sistem pencernaan ditemukan keluhan mual dan muntah serta anoreksia

bahkan ditemukan adanya kerusakan nervus kranial pada nervus vagus yang

mengakibatkan penurunan reflek menelan. Pada kondisi ini akan menimbulkan

hipersekresi HCl  iskemia mukosa lambung dan kerusakan barrier mukosa 

erosi hemoragik lambung (perdarahan lambung) sehingga terjadi penurunan berat

badan dan jatuh pada kondisi kurang kalori protein (KKP).

d) Sistem Perkemihan

Pada sistem urinaria dapat terjadi retensi urine dan inkontinensia urine. Pada

kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena proses katabolisme terutama

jika dalam kondisi KKP.

e) Sistem Muskuloskeletal

Pengkajian pada sistem muskuloskeletal perlu diarahkan pada kerusakan

motorik, kelemahan tubuh, massa otot, dan perlu di kaji rentang gerak dari

ekstremitas.

f) Sistem Integumen

Penting mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh sebagai dampak infeksi

sistemik, selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi penurunan

kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi

gangguan integritas kulit sebagai dampak dari berbaring yang lama.


g) Sistem persarafan

Gangguan yang muncul pada klien meningitis yang berkaitan dengan sistem

persarafan sangat kompleks. Pada penyakit meningitis terjadi peradangan

selaput otak dan parenkim otak yang merupakan pusat sistem persarafan.

Gangguan yang muncul tersebut antara lain: kerusakan saraf pengontrol

kesadaran yang dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, pola nafas tidak

efektif akibat peningkatan tekanan intrakranial yang menekan pusat pernafasan

dan kerusakan pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan

penurunan reflek menelan, nervus kranial lain yang umum terkena adalah nervus

I, III, IV, VI, VIII. Pada penyakit meningitis terdapat tanda yang khas yaitu

tanda-tanda iritasi meningen: kaku kuduk positif, brudzinski I, II positif, kernig

dan laseque positif. Selain itu gejala awal yang sering terjadi pada meningitis

adalah sakit kepala dan demam yamg diakibatkan dari iritasi meningen, juga

didapat adanya manifestasi perubahan perilaku yang umum terjadi, yaitu letargik,

tidak responsif dan koma. Kejang sekunder dapat terjadi juga akibat area fokal

kortikal yang peka. Alasan yang tidak diketahui, klien meningitis juga mengalami

"foto fobia" atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.

4) Pola aktivitas sehari-hari

a) Nutrisi

Biasanya klien kehilangan nafsu makan, mual, muntah, anoreksia dan bila

pasien mengalami penurunan kesadaran, reflek menelan terjadi penurunan,

sehingga klien harus dipasang naso gastric tube (NGT).

b) Eliminasi

Pada umumnya klien dengan penurunan kesadaran akan terjadi inkontinensia

urine sehingga harus dipasang dower kateter.


c) Istirahat tidur

Istirahat tidur terganggu akibat adanya sesak nafas, nyeri kepala hebat akibat

peningkatan tekanan intra kranial. Hal ini merupakan mecanoreceptor terhadap

reticular activating system ( RAS ) sebagai pusat tidur jaga.

d) Personal hygiene

Bisa mengalami gangguan pemenuhan ADL termasuk personal hygiene akibat

kelemahan otot terutama pada klien dengan penurunan kesadaran.

5) Data psikologis

Pada umumnya klien merasa takut akan penyakitnya, cemas karena perawatan lama

di rumah sakit dan perasaan tidak bebas di rumah sakit akibat hospitalisasi.

Konsep diri klien: persepsi klien terhadap tubuhnya dapat berubah akibat perubahan

bentuk dan fungsi tubuh, klien merasa tidak berharga, rendah diri dan kehilangan

peran.

Ideal diri klien banyak yang tidak tercapai. Sebagian besar penyakit meningitis dapat

membatasi kehidupan klien sehari-hari.

6) Data sosial

Perlu dikaji tentang tidak tanggapnya terhadap aktifitas disekitarnya baik ketika di

rumah atau di rumah sakit. Klien biasanya menjadi tidak peduli dan lebih banyak

diam akan lingkungan sekitarnya.

7) Data spiritual

Pengkajian ditujukan terhadap harapan kesembuhan, kepercayaan dan

penerimaan mengenai keadaan sakit serta keyakinan yang dianut oleh klien ataupun

keluarga klien.

8) Data Penunjang

a) Laboratorium
(1) Pemeriksaan darah leukosit meningkat bila terjadi infeksi.

(2) Analisis cairan serebrospinalis melalui lumbal fungsi.

Karakteristik cerebro spinalis fluid (CSF) pada meningitis tuberkulosis

adalah :

(a) Warna CSF jernih

(b) Jumlah sel eritrosit dan leukosit meningkat.

(c) Biokimia:

- Kalium meningkat

- Klorida menurun

- Glukosa menurun

- Protein meningkat

b) Radiologi dengan thorak foto melihat kemungkinan adanya penyakit saluran nafas

sebagai infeksi primer.

c) Foto tulang wajah untuk melihat adanya skelet dan rongga sinus yang mengalami

sinusitis.

d) Scanning / CT Scan untuk menemukan adanya patologi otak dan medulaspinalis.

J. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitis adalah:

Menurut Doenges, 1993 : 311-319

1) Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman patogen.

2) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

oedema serebral.

3) Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran

4) Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat.

5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.


6) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf.

7) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

8) Kurang pengetahuan tentang penyebab infeksi dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurangnya informasi.

Menurut Tucker (1993:522-524).

9) Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.

10) Gangguan keseimbangan suhu tubuh, hypertermia berhubungan dengan

proses inflamasi.

11) Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

K. Fokus Intervensi

Perencanaan adalah proses penentuan tujuan merumuskan intervensi dan rasional

secara sistematis dan spesifik disesuaikan dengan kondisi, situasi dan lingkungan klien.

a. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman patogen

secara hematogen.

Tujuan : Penyebaran infeksi tidak terjadi.

Kriteria :

- Suhu tubuh normal 36-37°C

- Klien ditempatkan di ruang isolasi

No. Intervensi Rasional

1 2 3
1 Berikan Pada fase awal
. tindakan isolasi sebagai meningitis
tindakan pencegahan meningokokus atau
infeksi ensepalitis
lainnya, isolasi mungkin
diperlukan sampai
organismenya
1 2 3
diketahui/dosis
antibiotik yang cocok
telah diberikan untuk
menurunkan resiko
penyebaran pada orang
lain.

2 Pertahankan teknik Menurunkan resiko


. aseptik dan klien terkena infeksi
teknik cuci tangan yang sekunder. Mengontrol
tepat penyebaran sumber
baik klien atau pengujung infeksi, mencegah
maupun staf. Pantau dan pemajanan pada
batasi individu terinfeksi
pengunjung/staf sesuai (misalnya: individu yang
kebutuhan. mengalami infeksi
saluran pemafasan atas).

3 Pantau suhu secara Terapi obat


. teratur. Catat munculnya biasanya akan diberikan
tanda-tanda klinis dari terus selama kurang dari
proses infeksi. 5 hari setelah suhu turun
(kembali normal) dan
tanda-tanda klinisnya
jelas. Timbulnya tanda
klinis yang terus
menerus merupakan
indikasi perkembangan
dari meningokosemia
akut yang dapat
bertahan sampai
berminggu-
minggu/berbulan-bulan
atau terjadi
penyebaran patogen
secara
hematogen/sepsis.
4 Teliti adanya keluhan Infeksi
. dari dada, berkembangnya sekunder seperti
nadi yang tidak miokarditis/perikarditis
teratur/disritmia atau dapat
demam yang terus berkembang dan
menerus. memerlukan intervensi
lanjut.

5 Auskultasi suara Adanya


. nafas. Pantau kecepatan rorchi/mengi, takhipne
pernafasan dan usaha dan peningkatan kerja
pernafasan. pernafasan mungkin
1 2 3
mencerminkan adanya
akumulasi sekret dengan
resiko terjadinya infeksi
pernafasan.

6 Ubah posisi klien Mobilisasi sekret


. dengan teratur dan dan meningkatkan
anjurkan untuk melakukan kelancaran sekret yang
nafas dalam. akan menurunkan resiko
terjadinya komplikasi
terhadap pernafasan.

7 Catat karakteristik Urine statis,


. urine, seperti warna, dehidrasi dan kelemahan
kejernihan dan bau umum meningkatkan
resiko terhadap infeksi
kandung
kemih/ginjal/awitan
sepsis.

8 Kolaborasi Obat yang dipilih


. Berikan terapi tergantung pada tipe
antibiotik IV sesuai infeksi dan sensitifitas
indikasi: penisilin G, individu. Catalan: Obat
Ampisilin, Kloramfenikol, intratekal mungkin
Gentamisin, diindikasikan untuk
Amfoterisin B. basilus Gram-negatif,
jamur, amuba.

b. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

oedema serebral.

Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi serebral

Kriteria :

- Tingkat kesadaran membaik

- Tanda-tanda vital stabil

- Tidak adanya nyeri kepala

- Tidak adanya tanda peningkatan TIK


No. Intervensi Rasional
1 2 3
1 Tentukan faktor- Menentukan pilihan
. faktor yang berhubungan intervensi. Penurunan
dengan keadaan tertentu tanda/gejala neurologis atau
atau yang menyebabkan kegagalan dalam
koma / penurunan pemulihannya setelah
perfusi jaringan otak dan serangan awal menunjukan
potensial peningkatan klien itu perlu dipindahkan ke
TIK perawatan intensif untuk
mementau tekanan TIK atau
pembedahan.

2 Pantau status Mengkaji adanya


. neurologis secara teratur kecenderungan pada tingkat
dan bandingkan dengan kesadaran dan potensial
nilai standar (misalnya: peningkatan TIK dan
GCS) bermanfaat dalam
menentukan, lokasi,
perluasan dan perkembangan
kerusakan SSP.

3 Pantau tanda-tanda Peningkatan tekanan


. vital meliputi TD, Nadi, darah sistemik yang diikuti
Respirasi oleh penurunan tekanan darah
diastolik merupakan tanda
adanya peningkatan TIK
nafas yang tidak teratur dapat
menunjukan lokasi gangguan
serebral dan tanda adanya
peningkatan serebral.

4 Bantu klien untuk Aktivitas ini akan


. menghindari manuver meningkatkan tekanan intra
valsava, seperti batuk, thoraks yang akan
mengejan. meningkatkan TIK

5 Perhatikan adanya Petunjuk non verbal ini


gelisah yang meningkat, menunjukan adanya
peningkatan keluhan dan peningkatan TIK atau adanya
tingkah laku yang tidak nyeri kepala.
sesuai.

6 Kaji adanya Merupakan indikasi dari


peningkatan rigiditas, iritasi meningeal yang dapat
regangan, peka terjadi sehubungan dengan
rangsang, serangan kerusakan dari duramater atau
kejang. perkembangan infeksi.
7 Tinggikan kepala Meningkatkan aliran
klien 15-45 derajat balik vena dari kepala
sesuai indikasi yang sehingga akan mengurangi
dapat ditoleransi. kongesti dan oedema atau
resiko peningkatan TIK.

8 Kolaborasi untuk Menurunkan inflamasi


pemberian obat sesuai yang selanjutnya menurunkan
indikasi seperti oedema jaringan.
dexametason

c. Resiko tinggi terhadap injuri / trauma berhubungan dengan adanya kejang akibat

iritasi korteks serebral.

Tujuan : Trauma / injuri tidak terjadi.

Kriteria : Tidak mengalami kejang / kejang dapat diatasi.

No. Intervensi Rasional


1 2 3
1 Monitor adanya kejang/ Mencerminkan
. kedutan pada tangan, kaki adanya iritasi SSP secara
dan mulut atau otot wajah umum yang memerlukan
yang lain. evaluasi segera dan
intervensi yang mungkin
untuk mencegah
komplikasi.

2 Berikan keamanan Melindungi klien jika


. pada klien terjadi kejang. Catatan:
dengan memberi bantalan Memasukan jalan nafas
pada buatan/ gulungan lunak
penghalang tempat tidur, hanya jika rahangnya
pertahankan relaksasi, jangan dipaksa,
penghalang memasukan ketika giginya
tempat tidur tetap terpasang mengatup karena dapat
dan pasang jalan nafas merusak jaringan lunak.
buatan
plastik atau gulungan lunak
dan alat penghisap.

3 Kolaborasi dengan Merupakan indikasi


. medik untuk pemberian untuk penanganan dan
obat sesuai indikasi, pencegahan kejang.
seperti Fenitoin (dilantin), Catatan: Fenobarbital
diazepam (valium), dapat menyebabkan
fenobarbital (luminal) depresi pernafasan dan
sedatif serta menutupi
tanda/ gejala dari
peningkatan TIK.

L. DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6.
Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Depkes RI : Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai