Anda di halaman 1dari 11

Kasus Degradasi-Agradasi Sungai

dan Penanganannya
Transportasi sedimen merupakan fenomena yang terjadi secara alamiah pada aliran sungai.
Faktor morfologi sungai seperti tikungan, perubahan tampang aliran menjadi penyebab
perubahan angkutan sedimen di alur sungai. Tak hanya itu, perubahan suplai sedimen di hulu
baik yang terjadi dari proses alam maupun akibat campur tangan manusia juga turut berperan
dalam proses perubahan pola angkutan sedimen yang terjadi yang berdampak pada dinamika
konfigurasi dasar sungai. Fenomena ini menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam
manajemen sumber daya air karena tak jarang memberikan dampak negatif pada bangunan air
maupun ekosistem yang ada di sekitar aliran sungai.

Tulisan ini merupakan rangkuman dari kegiatan kuliah lapangan mahasiswa S2 Keairan Jurusan
Teknik Sipil dan Lingkungan UGM pada tanggal 16 Juni 2014 dengan arahan beberapa Dosen
pengampu mata kuliah Teknik Sungai Lanjut. Kuliah lapangan ini menyoroti masalah fenomena
perubahan dasar sungai akibat perubahan angkutan sedimen yang terjadi di wilayah DIY serta.
Pada kuliah lapangan ini, para mahasiswa diajak untuk mengamati fenomena yang diakibatkan
oleh perubahan angkutan sedimen seperti gerusan pada pilar jembatan, perubahan alur muara
sungai, degradasi pada saluran pengambilan air irigasi, dan beberapa kasus lainnya. Kegiatan
ini menjadi sebuah kesempatan bagi mahasiswa untuk memahami permasalahan-permasalahan
yang banyak terjadi di aliran sungai serta penanganan sedimen yang tepat dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut.

 Check Dam BOD7 Turgo, Sleman

Gunung Merapi yang terletak di 30 km sebelah utara Yogyakarta merupakan salah satu gunung
berapi teraktif di Indonesia. Sepanjang sejarah, Gunung Merapi telah mengalami beberapa kali
erupsi yang menyebabkan kerusakan ekosistem, kerugian ekonomi hingga korban jiwa di daerah
sekitar dusun Merapi. Tercatat pada tahun 2010, erupsi Merapi yang merupakan letusan terbesar
sejak 1872 menelan 386 korban jiwa (Sutikno dkk, 2007).

Bahaya sekunder dari bencana erupsi merapi adalah terjadinya banjir lahar akibat curah hujan
yang sangat deras yang terjadi di hulu yang membawa jutaan partikel deposit lahar, meluncur
dengan deras. Apabila pergerakan aliran lahar ini tidak diantisipasi dengan benar, dapat
membahayakan kehidupan manusia di sekitarnya dan dapat merusak fasilitas di sekitar Gunung
Merapi. Oleh karena itu, dibangun sistem pengendalian banjir lahar dingin yaitu sabo dam.

Check Dam atau Dam Pengendali Sedimen merupakan salah satu bangunan yang termasuk ke
dalam rangkaian pengendalian lahar sabo dam. Bangunan berbentuk bendung yang melintang
sungai ini berfungsi untuk mengendalikan sedimen, debit dan arah sedimen.

Check Dam Turgo yang terletak di hulu Kali Boyong ini dibangun pada tahun 2007. Kemudian
pada tahun 2010, Gunung Merapi mengalami erupsi yang mengarah ke Kali Boyong. Curah
hujan yang tinggi di awal musim penghujan 2011 menyebabkan terjadinya banjir lahar yang
membawa deposit erupsi di hulu hingga memenuhi check dam ini.

Gambar II.1 Check Dam BOD 7 Turgo

Prinsip desain check dam adalah mengurangi kecepatan aliran dan energi kinetik aliran lahar.
Oleh karena itu, kemiringan dasar sungai dan kemiringan permukaan endapan sedimen menjadi
parameter penting dalam mendesain bangunan check dam dan juga dalam menentukan perkiraan
volume sedimen yang mampu ditampung.

Volume tampungan check dam dibagi menjadi dua macam yaitu tampungan mati (dead storage),
tampungan total. Terdapat pula istilah tampungan kontrol, yaitu tampungan yang berubah
menurut musim, dimana saat musim kemarau sedimen terendapkan di atas tampungan mati
kemudian saat musim hujan tampungan tersebut terbawa arus banjir.

Gambar II.2 Volume Tampungan Check Dam (bbwspemali.pdsda.net)


Check Dam Turgo merupakan check dam dengan tipe terbuka (slit). Tipe ini memungkinkan
aliran banjir dengan kemiringan dinamis (Id) untuk membawa kembali deposit sedimen yang
menumpuk sehingga check dam masih memiliki kemampuan tampungan jika nantinya mendapat
kiriman sedimen kembali dari hulu dengan kemiringan statis perkiraan Is. Ditinjau dari
mekanisme pengendalian aliran lahar, check dam dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe terbuka dan
tertutup. Tipe terbuka dapat berupa slit ataupun kisi-kisi. Contoh tipe check dam dapat dilihat
pada Gambar II.2

Gambar II.3 Tipe Check Dam (www.jcpoweryogyakarta.blogspot.com)

Bangunan check dam didesain dengan fondasi tipe floating atau mengapung di atas deposit
sedimen. Hal inilah yang menyebabkan tahanan gesernya kecil meskipun daya dukung yang
dimiliki besar. Agar mampu menahan tegangan geser yang terjadi, check dam dibangun dengan
struktur jepit dimana sayap kanan dan kiri check dam tertanam ke dalam tebing. Tinggi tebing
menjadi dasar penentuan desain tinggi puncak check dam sehingga semakin ke hilir tinggi check
dam semakin rendah. Bagian bangunan check dam dapat dilihat pada Gambar II. 4 dan
Gambar II.5
Gambar II.4 Potongan Memanjang Struktur Check Dam
(www.jcpoweryogyakarta.blogspot.com)

Gambar II.6 Struktur Check Dam


Check Dam BOD7 juga dilengkapi dengan stasiun AWLR (Automatic Water Level Recorder)
dan kamera untuk memantau ketinggian muka air. Stasiun AWLR ini merupakan satu bagian
dari sistem mitigasi bencana banjir lahar dingin. Stasiun ini diintegrasikan dengan alat Data
Logger untuk menyimpan data serta pengirim sinyal untuk pemantauan secara realtime.

Gambar II.7 Stasiun AWLR Rejodani

 Kerusakan Groundsill di Hilir Jembatan Kebon Agung

Jembatan Kebon Agung terletak di Sendang Agung, Minggir, Sleman. Jembatan ini
menghubungkan Minggir, Sleman dan Kalibawang, Kulonprogo yang melintasi Kali Progo dan
merupakan jembatan paling vital di antara dua kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada
hilir jembatan terdapat groundsill yang bertujuan menjaga agar elevasi dasar sungai tidak
mengalami penurunan atau degradasi sehingga pilar jembatan yang berada di bagian hulu sungai
tetap dalam keadaan aman. Struktur groundsill berupa tumpukan batu yang diberi selimut beton.

Sayangnya, pada tahun 1997, groundsill tersebut mengalami kerusakan di sisi kanan. Akibatnya,
aliran sungai yang melintasi groundsill cenderung ke sisi yang rusak sehingga dapat memicu
erosi tebing sungai di sisi kanan serta degradasi dasar sungai di bagian hulu groundsill yang
berisiko terhadap turunnya pilar jembatan. Penanganan awal dilakukan dengan meletakkan
tumpukan blok beton berbentuk tetrapod di bagian yang mengalami kerusakan. Akan tetapi,
tetrapod tersebut ternyata tidak mampu menahan debit aliran Kali Progo yang besar saat kondisi
banjir hingga terbawa beberapa meter ke hilir. Kegagalan penanganan dengan blok beton
tersebut makin memperparah kerusakan groundsill.
Gambar II.8 Kondisi Hilir Jembatan Kebon Agung

Degradasi di pilar Jembatan Kebon Agung pada saat itu sudah mencapai ketinggian di bawah
pile cap. Hal tersebut sangat membahayakan 2 pondasi sumuran di bawahnya. Untuk
menghindari kerusakan struktur lainnya, dilakukan pembangunan groundsill baru di hilir
groundsilll yang rusak. Selama pelaksanaan pembuatan groundsill, dilakukan perlindungan
sementara untuk melindungi pilar jembatan yaitu dengan perlindungan rip rap batuan di dalam
bronjong di bawah pile cap. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa ketinggian rip rap tersebut
jangan sampai melebihi pile cap karena justru akan memicu terjadinya gerusan lokal pada pilar.

Gambar II.9 Perlindungan Rip Rap pada Pilar Jembatan

 Degradasi Dasar Pintu Pengambilan Air Irigasi

Bendung Sapon terletak di Dukuh Sapon, Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten
Kulonprogo. Bendung Sapon melayani irigasi tiga Kecamatan, yaitu Panjatan, Galur dan Temon.
Sebelum bendung ini dibangun, irigasi dilakukan melalui free intake dari Kali Progo yang dibuat
pada tahun 1986. Akan tetapi, akibat maraknya penggalian sumber bahan galian C di Kali Progo
yang merupakan endapan material erupsi Merapi, terjadi penurunan dasar sungai di daerah intake
mengalami penurunan pada tahun 1990-an. Turunnya dasar sungai mengakibatkan pada debit-
debit tertentu terutama pada saat musim kering, air tidak mampu masuk ke saluran intake
sehingga tidak mampu melayani irigasi ribuan Ha sawah pada saat itu. Oleh karena itu, agar
tetap mampu beroperasi, dibangun bendung Sapon dengan tipe bendung tetap selebar 153,15 m.
Bendung ini diharapkan mampu mengendalikan dasar Kali Progo di bagian hulu.
(www.pustaka.pu.go.id). Model Bendung dibuat di Pusat Studi Ilmu Teknik (PSIT) UGM pada
tahun 2003 – 2004.

Gambar II.10 Pintu Intake Bendung Sapon

Gambar II.11 Kantong Lumpur (Sand Trap)

Gambar II.11 merupakan foto sand trap atau kantong lumpur yang bertujuan untuk
mengendapkan sedimen agar tidak masuk ke saluran irigasi. Sebelum adanya Bendung Sapon,
kantong lumpur belum dilengkapi dengan adanya saluran pembilas. Endapan sedimen diambil
dengan cara dikeruk pada periode-periode tertentu. Saat ini, kantong lumpur telah dilengkapi
dengan saluran pembilas yang mampu menggelontorkan sedimen kembali ke alur sungai semula.

 Turunnya Pilar Jembatan Srandakan Lama

Jembatan Srandakan merupakan jembatan jalur lintas selatan yang menghubungkan kabupaten
Bantul dengan kabupaten Kulon Progo. Jembatan yang melintasi Kali Progo ini dibangun pada
tahun 1925 dengan panjang 531 m yang pada saat itu merupakan jembatan terpanjang di Pulau
Jawa. Pada mulanya, jembatan Srandakan berfungsi sebagai jembatan lori angkutan tebu
kemudian berkembang untuk angkutan umum pada tahun 1950. Alih fungsi jembatan diikuti
dengan perubahan struktur yang ada dimana struktur bangunan atasnya diganti gelagar baja
dengan lantai kayu, sedangkan struktur bawahnya berupa pilar ganda dengan pondasi tiang
pancang 8 buah, terdiri dari 59 bentang dengan jarak antar pilar 8 m. Seiring perkembangan
zaman, lantai kayu berubah menjadi lantai beton.

Pada tahun 1990-an, mulai terjadi penurunan dasar pilar jembatan akibat gerusan lokal, bahkan
hingga ketinggian air berada di bawah pile cap (tiang pancang terlihat). Karena upaya
penanganan dengan groundsill dirasa terlalu mahal, dilakukan upaya perlindungan pilar jembatan
dengan memberikan selimut bronjong di sekeliling pile cap pada tahun 1997. Akan tetapi, upaya
tersebut ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah yang terjadi, bahkan justru memperparah
kedalaman gerusan. Hal ini dikarenakan oleh selimut bronjong yang terlampau lebar sehingga
alur semakin sempit, akibatnya kecepatan di sekitar pilar membesar dan gerusan pun semakin
dalam. Kondisi ini diperparah dengan rusaknya bronjong saat banjir sehingga memicu turunnya
pilar jembatan ke-25 dan ke-26 pada tahun 2000.

Gambar II.12 Turunnya Pilar Jembatan Srandakan


Gambar II.13 Perlindungan Awal dengan Bronjong (www.istiarto.staff.ugm.ac.id)

Upaya selanjutnya yang dilakukan pasca penurunan dua buah pilar jembatan adalah dengan
membangun groundsill sekitar 500 m di hilir jembatan untuk mengembalikan ketinggian dasar
sungai hingga sejajar pile cap pada tahun 2002-2003. Penurunan dasar sungai yang terjadi saat
itu sudah mencapai 2,7 m sehingga groundsill yang dibangun menjadi sangat tinggi dimana
mercu groundsill didesain sama dengan tinggi pile cap. Selain itu, dibangun pula lantai hilir dari
blok beton tetrapod dan bronjong.

Gambar II.14 Perlindungan dengan Lantai Hilir Beton (www.istiarto.staff.ugm.ac.id)

Pada tahun 2005-2007, dimulai proyek pembuatan jembatan Srandakan. Mulanya, kontrak
pembangunan jembatan baru akan diikuti dengan pembongkaran jembatan lama karena
dikhawatirkan gerusan pada pilar jembatan lama terus terjadi hingga menyebabkan gerusan
lokal di jembatan baru. Kekehawatiran lain yaitu jika terjadi banjir dan pilar jembatan collapse,
dapat membahayakan jembatan baru yang ada di sebelah hilirnya. Akan tetapi, karena biaya
pembongkaran yang diperkirakan sangat besar, dilakukan analisis terhadap struktur jembatan
lama dengan bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, sebagai dasar pertimbangan perlu
tidaknya dilakukan pembongkaran.
Setelah dilakukan analisis ulang, dibuktikan bahwa dengan perkiraan beban arus lalu lintas yang
ada, kapasitas struktur atas dan fondasi masih cukup kuat untuk menahan beban tersebut. Upaya
penanganan gerusan lokal yang sebelumnya telah dilakukan juga diperkirakan telah mampu
mengatasi ancaman gerusan lokal di Jembatan Srandakan Baru. Oleh karena itu, diambil
keputusan bahwa pembongkaran Jembatan Srandakan Lama tidak jadi dilakukan.

 Perubahan Alur Muara Kali Progo

Muara atau estuari merupakan tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut dari laut.
Adanya pertemuan dua arus ini menyebabkan kondisi muara sangat dinamis. Permasalahan yang
sering dijumpai akibat pengaruh kondisi muara yang dinamis adalah terjadinya pengendapan di
muara sungai sehingga tampang aliran berkurang yang dapat mengganggu pembuangan debit
sungai ke laut.

Permasalahan sedimentasi juga terjadi di Muara Kali Progo. Pada saat musim kering dimana
debit dari sungai kecil, arus dari sungai tidak mampu menahan suplai sedimen yang berasal dari
laut. Akibatnya, timbul gundukan pasir di muara. Pengurangan tampang sungai menyebabkan
kapasitas tampungan sungai berkurang sehingga pada awal musim penghujan aliran sungai
meluap. Dari Gambar II.16 terlihat bahwa sedimentasi tidak hanya berdampak pada muara Kali
Progo tetapi juga Kali Galur yang bermuara di Kali Progo. Untuk mengantisipasi hal ini,
dibangun tanggul sungai.

Gundukan pasir atau biasa disebut lidah pasir (sand spit) dibawa oleh gelombang air laut yang
dominan ke arah barat sehingga lama-kelamaan terjadi perubahan alur pada mulut muara sungai
ke arah barat. Pantai di sisi timur mengalami pertambahan panjang akibat tumpukan sedimen
sedangkan pantai di sisi barat semakin tererosi. Berikut ini adalah gambar perubahan mulut
muara Kali Progo. Apabila melihat kondisi di lapangan dimana pengaruh angin cukup
signnifikan, pengaruh dari gaya angkat angin yang mampu membawa butiran sedimen menutupi
mulut muara perlu dipertimbangkan, di samping efek gelombang terhadap transpor sedimen.

Gambar II.15 Foto Udara Muara Kali Progo Tahun 2001 (www.istiarto.staff.ugm.ac.id)
Gambar II.16 Foto Udara Muara Kali Progo Tahun 2004 (www.istiarto.staff.ugm.ac.id)

Demi mengatasi erosi yang terjadi serta mengantisipasi adanya penutupan muara oleh lidah
pasir, dibangun Jetty yang terbuat dari blok beton dan tumpukan batu ke arah laut. Dengan
adanya Jetty ini, diharapkan dapat menjaga stabilitas alur muara Kali Progo.

REFERENSI

Istiarto. Teknik Sungai Lanjut.(www.istiarto.staff.ugm.ac.id)

Joko Cahyono. Bab 4 Sabo Dam. (www.jcpoweryogyakarta.blogspot.com)

Kementrian Pekerjaan Umum. Pembangunan Bendung Sapon. (www.pustaka.pu.go.id).

Sutikno, Langgeng S, dkk. 2007. Kingdom of Merapi Volcano : Potential of Natural Resources
and Its Carrying.

Anda mungkin juga menyukai