Anda di halaman 1dari 25

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1.

Pengertian Cemas merupakan reaksi

emosional terhadap individu yang subjektif, dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan

tidak diketahui penyebabnya secara khusus (Stuart & Sundeen, 1998). Kecemasan

adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif dialami dan

dikomunikasikan secara interpersonal ( Perry & Potter, 2005). Kecemasan adalah

kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak

jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya dan

kecemasan tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari ( Suliswati, 2005 ).

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat disimpulkan

kecemasan adalah reaksi emosional terhadap penilaian individu yang subjektif,

dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui penyebabnya secara khusus

yang disertai perasaaan takut dan gelisah, ketidakpastian, tidak tentram, khawatir dan

juga menimbulkan berbagai keluhan fisik. 2. Faktor predisposisi Kecemasan Menurut

Stuart dan sundeen (1998, dalam Nursalam, 2005), menyatakan bahwa faktor

predisposisi yang mempengaruhi kecemasan antara lain: a. Dalam pandangan

Psikoanalitik ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen

kepribadian-id dan superego. b. Menurut pandangan interpersonal ansietas timbul dari

perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan

kehilangan, yang menimbulkan kelemahan fisik. Sebagai contoh kecemasan anak yang

dirawat di rumah sakit (hospitalisasi). 10 c. Menurut pandangan perilaku ansietas

merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan

seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. d. Kajian keluarga menunjukkan

bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. e.

Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk


benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu ansietas. 3. Faktor Pencetus

Kecemasan Menurut Kaplan dan sadock (1997, dalam Nursalam, 2005), menyatakan

bahwa faktor pencetus kecemasan meliputi : a. Faktor Psikososial Anak kecil, imatur dan

tergantung pada tokoh ibu, adalah terutama rentan terhadap kecemasan yang

berhubungan dengan perpisahan, sebagai contoh anak yang dirawat di rumah sakit

(hospitalisasi) karena anak mengalami urutan ketakutan perkembangan yaitu takut

kehilangan ibu, takut kehilangan cinta ibu, takut cidera tubuh, takut akan impulsnya dan

takut akan cemas hukuman (punishing unxiety) dari superego dan rasa

bersalah.Sebagian besar anak mengalami cemas perpisahan didasarkan pada salah satu

atau lebih ketakutan – ketakutan tersebut. b. Faktor Belajar Kecemasan fobik dapat di

komunikasikan dari orang tua kepada anak– anak dengan modeling langsung. Jika orang

penuh ketakutan, anak kemungkinan memiliki adaptasi fobik terhadap situasi baru,

terutama pada lingkungan baru. Beberapa orang tua tampaknya mengajari anak–

anaknya untuk cemas dengan melindungi mereka secara berlebihan (overprotecting)

dari bahaya yang diharapkan atau dengan membesar– besarkan bahaya. c. Faktor

Genetik Intensitas mana cemas perpisahan dialami oleh anak individual kemungkinan

memiliki dasar genetik. Penelitian keluarga telah menunjukkan bahwa keturunan

biologis dari orang dewasa dengan 11 gangguan kecemasan adalah rentan terhadap

gangguan pada masa anak–anak. 4. Tanda dan Gejala Kecemasan Menurut Carpenito

(2007), menyatakan bahwa tanda dan gejala kecemasan antara lain: a. Fisiologis

Peningkatan frekuensi denyut jantung, peningkatan tekanan darah, peningkatan

frekwensi pernafasan dioferesis, dilatasi pupil, suara tremor perubahan nada, gelisah,

gemetar, berdebar – debar sering berkemih, diare, gelisah, insomnia, keletihan dan

kelemahan, pucat, atau kemerahan, pusing, mual, anoreksia. b. Emosional Ketakutan,

ketidak berdayaan, gugup, kurang percaya diri, kehilangan kontrol. Ketegangan individu
juga sering memperlihatkan marah berlebihan, menangis, cenderung menyalahkan

orang lain, kontak mata buruk, kritisme pada diri sendiri, menarik diri, kurang inisiatif,

mencela diri reaksi baku. c. Kognitif Tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa, penurunan

kemampuan belajar, terlalu perhatian, orientasi pada masa lalu daripada kini atau masa

depan. 5. Kecemasan pada Anak akibat Hospitalisasi Derajat kecemasan yang tinggi,

terjadi pada anak usia antara tiga sampai lima tahun. Dalam jumlah tertentu kecemasan

adalah sesuatu yang normal. Stres utama dari masa bayi pertengahan sampai usia

prasekolah adalah kecemasan akibat perpisahan (Wong, 2003). Kecemasan yang timbul

pada anak tidak selalu bersifat patologi tetapi dapat juga disebabkan oleh proses

perkembangan itu sendiri atau karena tingkah laku yang salah satu dari orang tua.

Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau

darurat, mengharuskan anak harus tinggal di rumah sakit, 12 menjalani terapi dan

perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Supartini, 2004). Reaksi anak

terhadap hospitalisasi bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia

perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang

tersedia dan kemampuan koping yang dimilikinya. Menurut Supartini (2004), berbagai

perasaan yang muncul pada anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi yaitu

kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri, marah,

sedih, takut serta rasa bersalah. Menurut Wong (2003), manifestasi cemas akibat

perpisahan pada anak antara lain: a. Fase Protes (Phase of Protest) Pada fase ini anak

menangis, menjerit / berteriak, mencari orang tua dengan pandangan mata, memegangi

orang tua, menghindari dan menolak bertemu dengan orang yang tidak dikenal secara

ferbal menyerang orang yang tidak dikenal, berusaha lari untuk mencari orang tuanya,

secara fisik berusaha menahan orang tua agar tetap tinggal. Sikap protes seperti

menangis mungkin akan berlanjut dan akhirnya akan berhenti karena keletihan fisik.
Pendekatan orang yang tidak dikenal akan memicu meningkatnya sikap protes. b. Fase

putus asa (Phase of Despair) Perilaku yang harus diobservasi pada fase ini adalah anak

tidak aktif, menarik diri dari orang lain, depresi, sedih, tidak tertarik terhadap

lingkungan, tidak komunikatif, perilaku memburuk, dan menolak untuk makan, minum

atau bergerak. c. Fase menolak (Phase of Denial) Pada fase ini secara samar-samar anak

menerima perpisahan, tertarik pada lingkungan sekitar, mulai berinteraksi secara

dangkal dengan orang yang tidak dikenal atau perawat dan terlihat gembira. Fase ini

biasanya terjadi setelah berpisah dengan orang tua dalam jangka waktu yang lama. 13 6.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan pada Anak Menurut Perry dan

Potter (2005), faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan pada anak yang

mengalami hospitalisasi antara lain: a. Jenis kelamin Anak pada umur 3-6 tahun,

kecemasan lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini

karena laki-laki lebih aktif dan eksploratif sedangkan perempuan lebih sensitive dan

banyak menggunakan perasaan. Selain itu perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh

tekanan-tekanan lingkungan daripada laki- laki, kurang sabar dan mudah mengggunakan

air mata. b. Umur Semakin tua seseorang semakin baik seseorang dalam mengendalikan

emosinya. c. Lama hari rawat Lama hari rawat dapat mempengaruhi seseorang yang

sedang dirawat juga keluarga dari klien tersebut (Utama, 2003). Kecemasan anak yang

dirawat di rumah sakit akan sangat terlihat pada hari pertama sampai kedua bahkan

sampai hari ketiga, dan biasanya memasuki hari keempat atau kelima kecemasan yang

dirasakan anak akan mulai berkurang. Kecemasan yang terjadi pada pasien dan orang

tua juga bisa dipengaruhi oleh lamanya seseorang dirawat. Kecemasan pada anak yang

sedang dirawat bisa berkurang karena adanya dukungan orang tua yang selalu

menemani anak selama dirawat, teman-teman anak yang datang berkunjung kerumah

sakit atau anak sudah membina hubungan yang baik dengan petugas kesehatan
(perawat, dokter) sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan anak. d. Lingkungan

rumah sakit Lingkungan rumah sakit dapat mempengaruhi kecemasan pada anak yang

mengalami hospitalisasi. Lingkungan rumah sakit merupakan lingkungan yang baru bagi

anak, sehingga anak sering merasa takut dan terancam tersakiti oleh tindakan yang akan

dilakukan kepada dirinya. 14 Lingkungan rumah sakit juga akan memberikan kesan

tersendiri bagi anak, baik dari petugas kesehatan (perawat, dokter), alat kesehatan, dan

teman seruangan dengan anak juga mempengaruhi kecemasan pada anak karena anak

merasa berpisah dengan orang tuanya. Menurut Moersintowarti (2008), faktor-faktor

yang mempengaruhi kecemasan pada anak yang dirawat dirumah sakit antara lain : a.

Lingkungan rumah sakit b. Bangunan rumah sakit c. Bau khas rumah sakit d. Obat-

obatan e. Alat-alat medis f. Tindakan – tindakan medis g. Petugas kesehatan 7. Reaksi

Kecemasan pada Anak yang Mengalami Hospitalisasi Suliswati (2005) menyatakan

bahwa kecemasan yang timbul pada anak yang mengalami hospitaalisasi dapat

menimbulkan reaksi konstruktif maupun destruktif bagi individu: a. Konstruktif Reaksi

kecemasan kontruktif karena individu termotivasi untuk belajar mengadakan perubahan

terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan terfokus pada kelangsungan

hidup. Reaksi ini timbul pada anak yang mengalami hospitalisasi karena sudah adanya

rasa percaya pada anak terhadap pemberi pelayanan kesehatan baik perawat maupun

dokter. Reaksi kecemasan konstruktif dapat digambarkan atau diwujudkan dalam

bentuk anak mau menuruti perintah atau mau dilakukan inervensi guna penangan

masalah kesehatanya, seperti anak mau dilakukan injeksi, dipasang infus, minum obat

dan lain sebagainya. b. Destruktif Reaksi kecemasan destruktif merupakan respon

individu terhadap kecemasan yang dimanifestasikan degan bertingkah laku maladaptif

dan disfungsional. Reaksi ini timbul karena anak merasa tidak percaya 15 dan

berpersepsi bahwa orang lain akan melukai dirinya. Respon kecemasan destruktif pada
anak yang mengalami hospitalisasi dapat diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap

tindakan yang akan dilakukan pada anak, bahkan anak merasa ketakutan dan menangis

jika pemberi pelayanan kesehatan mendekat pada anak. 8. Upaya yang Dilakukan untuk

Mengatasi Kecemasan Anak Menurut Wong (2003), menyatakan bahwa intervensi yang

penting dilakukan perawat terhadap anak yang mengalami kecemasan akibat

hospitalisasi pada dasarnya untuk meminimalkan stressor, memaksimalkan manfaat

hospitalisasi memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga, mempersiapkan

anak sebelum masuk rumah sakit. Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak antara

lain yaitu : a. Melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam perawatan

anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam. Jika

tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan

maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka. b. Modifikasi lingkungan rumah

sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. c. Peran

dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana diharapkan petugas

kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena selain orang tua

perawat adalah orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di rumah sakit.

Sekalipun anak menolak orang asing (perawat), namun perawat harus tetap

memberikan dukungan dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak

mengajak bermain sesuai dengan tahap perkembangan anak untuk kepentingan terapi.

9. Cara mengukur kecemasan pada anak Pengukuran kecemasan dapat menggunakan

suatu alat ukur kecemasan yaitu Hospital Anxiety Depression Scale (HADS)

dikembangkan oleh Zigmond dan Snaith (1983) yang berisi 10 pertanyaan 16 tentang

kecemasan dan depresi pada anak yang mengalami hospitalisasi. HADS adalah skala

yang digunakan untuk menilai kecemasan dan depresi pada anak dengan skala data

ordinal/interval. Lima item pernyataan berhubungan dengan kecemasan dan lima item
yang lain berhubungan dengan depresi. Zigmond dan Snaith menciptakan ukuran hasil

khusus untuk menghindari ketergantungan pada aspek kondisi gejala somatik, maupun

gejala penyakit, misalnya untuk kelelahan dan insomnia atau hipersomnia. Hal ini,

diharapkan akan menciptakan alat untuk mendeteksi kecemasan dan depresi pada anak

terhadap hospitalisasi. Masing-masing pernyataan dalam kuesioner ini masing-masing

item diberi penilaian angka (score) antara 0-1, yang artinya: Nilai 0 = tidak dialami oleh

responden Nilai 1 = dialami oleh responden Dari masing-masing nilai angka ( score ) dari

ke 10 pernyataan tersebut dijumlahkan sehingga dari penjumlahan tersebut dapat

diketahui bentuk kecemasan seseorang, yaitu : a. Konstruktif ( 0-5 ) b. Destruktif ( 6-10 )

kuesioner ini telah diuji kembali validitas reliabilitasnya sebagai alat ukur kecemasan dan

depresi oleh Wong & Hockenberry et. al. (2009) dengan hasil HADS valid dengan

koefisien α cronbach 0.884 (0.829 untuk cemas dan 0.840 untuk depresi) serta stabil

dengan test-retest intraclass correlation coefficient 0.944). B. Konsep Dasar Bermain 1.

Pengertian Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan

sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain,

anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan

lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak serta

17 suara (Wong, 2003). Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau

tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi,

memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak (Sudono, 2000). 2.

Fungsi Bermain Soetjiningsih (2001), menyatakan bahwa fungsi utama bermain adalah

merangsang perkembangan sensoris-motorik, perkembangan intelektual,

perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri,

perkembangan moral dan bermain sebagai terapi. a. Perkembangan Sensoris – Motorik

Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensoris-motorik merupakan komponen


terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembangan

fungsi otot. Misalnya, alat permainan yang digunakan untuk bayi yang mengembangkan

kemampuan sensoris-motorik dan alat permainan untuk anak usia toddler dan

prasekolah yang banyak membantu perkembangan aktivitas motorik baik kasar maupun

halus. b. Perkembangan Intelektual Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan

manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama

mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain

pula anak akan melatih diri untuk memecahkan masalah. Pada saat anak bermain mobil-

mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat memperbaikinya maka ia telah

belajar memecahkan masalahnya melalui eksplorasi alat mainannya dan untuk

mencapai kemampuan ini, anak menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal

mungkin. Semakin sering anak melakukan eksplorasi seperti ini akan semakin terlatih

kemampuan intelektualnya. 18 c. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial ditandai

dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak

akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain membantu anak untuk

mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan

tersebut. Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan

teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial yang ada pada

kelompoknya. Hal ini terjadi terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Meskipun

demikian, anak usia toddler dan prasekolah adalah tahapan awal bagi anak untuk

meluaskan aktivitas sosialnya dilingkungan keluarga. d. Perkembangan Kreativitas

Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan mewujudkannya kedalam

bentuk objek dan/atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak

akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan

membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang reativitas anak
untuk semakin berkembang. e. Perkembangan Kesadaran Diri Melalui bermain, anak

mengembangkan kemampuannya dalam mengatur mengatur tingkah laku. Anak juga

akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan

menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak

tingkah lakunya terhadap orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya

sehingga temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri bahwa

perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang tua untuk menanamkan

nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk memahami

dampak positif dan negatif dari perilakunya terhadap orang lain. 19 f. Perkembangan

Moral Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari orang

tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapatkan

kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di

lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kelompok yang ada

dalam lingkungannya. Melalui kegiatan bermain anak juga akan belajar nilai moral dan

etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta belajar

bertanggung-jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya. Misalnya, merebut

mainan teman merupakan perbuatan yang tidak baik dan membereskan alat permainan

sesudah bermain adalah membelajarkan anak untuk bertanggung-jawab terhadap

tindakan serta barang yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan kognitifnya, bagi

anak usia toddler dan prasekolah, permainan adalah media yang efektif u ntuk

mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan memberikan nasihat. Oleh karena

itu, penting peran orang tua untuk mengawasi anak saat anak melakukan aktivitas

bermain dan mengajarkan nilai moral, seperti baik/buruk atau benar/salah. g. Bermain

sebagai terapi Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai

perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan
nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena

menghadapi beberapa stressor yang ada dilingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan

melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan stress yang dialaminya

karena dengan melakukan permainan anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada

permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan permainan.

Hal tersebut terutama terjadi pada anak yang belum mampu mengekspresikannya

secara verbal. Dengan demikian, permainan adalah media komunikasi antar anak

dengan orang lain, termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan 20 dirumah sakit.

Perawat dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi nonverbal yang

ditunjukkan selama melakukan permainan atau melalui interaksi yang ditunjukkan anak

dengan orang tua dan teman kelompok bermainnya. Kegiatan bermain dirumah sakit

juga efektif dilakukan umtuk memantau tingkat perkembangan anak. Selain itu, apabila

ditujukan untuk meningkatkan sosial anak, permainan akan dapat menjalin hubungan

interpersonal antara anak dan perawat, anak dan orang tua, orang tua dengan perawat.

Perawat harus memfasilitasi terjalinnya hubungan interpersonal tersebut selama

permainan. Permainan yang dilaksanakan di rumah sakit dapat membantu anak

mengekspresikan perasaan cemas, takut, sedih, dan stres. 3. Faktor–faktor yang

Mempengaruhi Aktifitas Bermain. Menurut Suhendi (2001), ada 5 (lima) faktor yang

mempengaruhi aktivitas bermain pada anak, yaitu : a. Tahap perkembangan anak

Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan pertumbuhan

dan perkembangan anak. Tentunya permainan anak usia bayi tidak lagi efektif untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Demikian juga sebaliknya karena

pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Berdasarkan hal tersebut, orang tua dan perawat harus mengetahui dan memberikan

jenis permainan yang tepat untuk setiap tahap pertumbuhan dan pekembangan anak. b.
Status kesehatan anak Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi, walaupun

demikian, bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan

bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa. Yang

penting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak terkena sakit, bahkan

dirawat di rumah sakit, orang tua dan perawat harus jeli memilihkan permainan yang

dapat 21 dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang dirawat

di rumah sakit. c. Jenis kelamin anak Ada bebarapa pandangan tentang konsep gender

dalam kaitannya dengan permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak

membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Semua alat permainan dapat

digunakan oleh anak laki-laki atau perempuan untuk mengembangkan daya pikir,

imajinasi, kreativitas dan kemampuan sosial anak. Akan tetapi, ada pendapat lain yang

meyakini bahwa permainan adalah salah satu alat untuk membantu anak mengenal

identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak dianjurkan untuk

digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini di latarbelakangi oleh alasan adanya tuntutan

perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan hal ini dipelajari melalui

media permainan. d. Lingkungan yang mendukung Terselenggaranya aktivitas bermain

yang baik untuk perkembangan anak salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya

dan lingkungan fisik rumah. Fasilitas bermain tidak selalu harus yang dibeli di toko atau

mainan jadi, tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulus imajinasi dan kreativitas

anak, bahkan sering kali mainan tradisional yang dibuat sendiri atau berasal dari benda-

benda di sekitar kehidupan anak akan lebih merangsang anak untuk kreatif,

keyakinankeluarga tentang moral dan budaya juga mempengaruhi bagaimana anak

dididik melalui permainan. Sementara lingkungan fisik sekitar lebih banyak

mempengaruhi ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik dan motorik.

Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak mempunyai
cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan, mondar-mandir, berlari, melompat dan

bermain dengan teman sekelompoknya. 22 e. Alat dan jenis permainan yang cocok atau

sesuai bagi anak Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk

anak. Pilih yang sesuai dengan tahap tumbuh kembang anak. Label yang tertera pada

mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan tersebut

sesuai dengan usia anak. Alat permainan tidak selalu harus yang dibeli di toko atau

mainan jadi, tetapi lebih diutama mainan tradisional yang dibuat sendiri dari atau

berasal dari benda-benda di sekitar kehidupan anak, akan lebih dimanipulasi, akan

mangajarkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan koordinasi alat gerak.

Permainan membantu anak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengenal norma

dan aturan serta interaksi sosial dengan orang lain. 4. Klasifikasi Bermain Soetjiningsih

(2001), menyatakan bahwa ada beberapa jenis permainan, baik ditinjau dari isi

permainan, karakter sosial dan kelompok usia anak, antara lain: a. Berdasarkan isi

permainan 1) Social affective play Inti permainan ini adalah adanya hubungan

interpersonal yang menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan

mendapatkan kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang menyenangkan dengan

orang tuanya atau orang lain. Permainan yang yang biasa dilakukan adalah “Cilukba”,

bercerita sambil tersenyum, tertawa, atau sekadar memberikan tangan pada bayi untuk

menggenggamnya , tetapi dengan diiringi bercerita sambil tersenyum dan tertawa. Bayi

akan mencoba berespons terhadap tingkahlaku orang tuanya atau orang dewasa

tersebut misalnya dengan tersenyum, tertawa, atau mengoceh. 2) Sense of pleasure

play Permainan ini menggunakan alat yang dapat menimbulkan rasa senang pada anak

dan biasanya mengasyikkan. Misalnya, dengan 23 menggunakan pasir, anak akan

membuat gunung - gunungan atau benda - benda apa saja yang dapat dibentuknya

dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air anak akan melakukan macam-macam
permainan, misalnya memindah-mindahkan air ke botol, bak, atau tempat lain. Ciri khas

permainan ini adalah anak akan semakin asyik bersentuhan dengan alat permainan ini

dan dengan permainan yang dilakukannya sehingga susah dihentikan 3) Skill play Sesuai

dengan sebutannya, permainan ini akan meningkatkan ketrampilan anak, khususnya

motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan terampil memegang benda-benda kecil,

memindahkan benda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan anak akan terampil naik

sepeda. Jadi, keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan

yang di lakukan. Semakin sering melakukan latihan, anak akan semakin terampil. 4)

Games (permainan) Games atau permainan adalah jenis permainan yang menggunakan

alat tertentu yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa dilakukan

oleh anak sendiri atau dengan temannya. Banyak sekali jenis permainan ini mulai dari

yang sifatnya tradisional maupun yang modern. Misalnya, ular tangga, congklak, dan

lainlain. 5) Unoccupied behaviour Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-

mandir, tersenyum, tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau

apa saja yang ada di sekelilingnya. Jadi, sebenarnya anak tidak memainkan alat

permainan tertentu, dan situasi atau obyek yang ada di sekelilingnya yang di

gunakannya sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira, dan asyik dengan

situasi serta lingkungannya tersebut. 24 6) Dramatic play Sesuai dengan sebutannya,

pada permainan ini anak memainkan peran sebagai orang dewasa, misalnya ibu guru,

ibunya, ayahnya, kakaknya, dan sebagainya yang ingin di tiru. Apabila anak bermain

dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang yang

mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran

tertentu. b. Berdasarkan Karakter Sosial 1) Onlooker play Pada jenis permainan ini, anak

hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut

berpartisipasi dalam permainan. Jadi, anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses
pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya. 2) Solitary play

Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok permainan, tetapi anak

bermain sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya, dan alat permainan tersebut

berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya, tidak ada kerja sama,

ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya 3) Parallel play Pada permainan ini,

anak dapat menggunakan alat permainan yang sama, tetapi antara satu anak dengan

anak lainnya tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak satu dengan anak

lain tidak ada sosialisasi satu sama lain. Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak usia

toddler. 4) Associative play Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu

anak dengan anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin atau yang

memimpin permainan, dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh permainan jenis ini

adalah bermain boneka, bermain hujanhujanan dan bermain masak-masakan. 25 5)

Cooperative play Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada permainan

jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan. Anak yang memimpin permainan

mengatur dan mengarahkan anggotanya untuk bertindak dalam permainan sesuai

dengan tujuan yang diharapkan dalam permainan tersebut. Misalnya, pada permainan

sepak bola, ada anak yang memimpin permainan, aturan main harus dijalankan oleh

anak dan mereka harus dapat mencapai tujuan bersama, yaitu memenangkan

permainan dengan memasukkan bola ke gawang lawan mainnya. c. Berdasarkan

kelompok usia anak 1) Anak usia bayi. Permainan untuk anak usia bayi dibagi menjadi

bayi usia 0 – 3 bulan, usia4 – 6 bulan, dan usia 7 – 9 bulan. 2) Anak usia toddler (>1

tahun sampai 3 tahun) Anak usia toddler menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu

banyak bergerak, tidak bisa diam dan mulai mengembangkan otonomi

dankemampuannya untuk mandiri. Oleh karena itu, dalam melakukan permainan, anak

lebih bebas, spontan, dan menunjukkan otonomi baik dalam memilih mainan maupun
dalam aktivitas bermainnya. Anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Untuk itu

harusdiperhatikan keamanan dan keselamatan anak dengan cara tidak memberikan alat

permainan yang tajam dan menimbulkan perlukaan. Jenis alat permainan yang tepat

diberikan adalah boneka, pasir, tanah liat dan lilin warna-warni yang dapat dibentuk

benda macam-macam. 3) Anak usia prasekolah (>3 tahun sampai 6 tahun) Sejalan

dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak usia prasekolah mempunyai

kemampuan motorik kasar dan halus yang lebih matang dari pada anak usia toddler.

Anak sudah lebih aktif, kreatif dan imajinatif. Demikian juga kemampuan berbicara dan

berhubungan sosial dengan temannya semakin meningkat. 26 Untuk itu, jenis alat

permainan yang tepat diberikan pada anak misalnya, puzzle, membacakan

cerita/dongeng, alat gambar dan permainan balok-balok besar. Ada beberapa macam

permainan anak prasekolah sebagaimana disebutkan Ahmadi (1977, dalam Yusuf, 2005),

yaitu : a) Permainan fungsi (permainan gerak) seperti: meloncat-loncat, naik, dan turun

tangga, berlari-lari, naik dan turun tangga , bermain tali dan bermain bola. b) Permainan

fiksi seperti: menjadikan kursi sebagai kuda, main sekolah-sekolahan, dagang-dagangan,

perang-perangan dan masak-masakan. c) Permainan membentuk ( konstruksi ), seperti

membuat kue dari tanah liat, membuat kue dari tanah liat membuat gunung pasir,

membuat kapal-kapalan dari kertas, membuat gerobak dari kulit jeruk, membentuk

bangunan rumah-rumahan dari potonganpotongan kayu dan membuat senjata dari

pelepah daun pisang. d) Permainan prestasi, seperti sepak bola, bola voli, tenis meja dan

bola basket. e) Permainan reseptif dan apresiatif, seperti mendengarkan cerita atau

dogeng, melihat gambar, atau melihat orang melukis. 4) Anak usia sekolah (> 6 tahun

sampai 12 tahun) Kemampuan sosial anak usia sekolah semakin meningkat. Mereka

lebih mampu bekerja sama dengan teman sepermainannya. Seringkali pergaulan dengan

teman menjadi tempat belajar mengenal norma baik atau buruk. Dengan demikian,
permainan pada anak usia sekolah tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan

ketrampilan fisik atau intelektualnya, tetapi juga dapat mengembangkan sensitivitasnya

untuk terlibat dalam kelompok dan bekerja sama dengan sesamanya. Mereka belajar

norma kelompok sehingga dapat diterima dalam kelompoknya. Sisi lain manfaat

bermain bagi anak usia sekolah adalah mengembangkan kemampuannya untuk bersaing

27 secara sehat. Bagaimana anak dapat menerima kelebihan orang lain melalui

permainan yang ditunjukkannya. Karakteristik permainan untuk anak usia sekolah

dibedakan menurut jenis kelaminnya. Anak laki-laki lebih tepat jika diberikan mainan

jenis mekanik yang akan menstimulasi kemampuan kreativitasnya dalam berkreasi

sebagai seorang laki-laki, misalnya mobil-mobilan. Anak perempuan lebih tepat

diberikan permainan yang dapat menstimulasinya untuk mengembangkan perasaan,

pemikiran dan sikapnya dalam menjalankan peran sebagai seorang perempuan,

misalnya alat untuk memasak dan boneka. 5) Anak usia remaja (13 tahun sampai 18

tahun) Merujuk pada proses tumbuh kembang anak remaja, dimana anak remaja berada

dalam suatu fase peralihan, yaitu disatu sisi akan meninggalkan masa kanak-kanak dan

disisi lain masuk pada usia kewasadan bertindak sebagai individu. Oleh karena itu,

dikatakan bahwa anak remaja akan mengalami krisis identitas dan apabila tidak sukses

melewatinya, anak akan mencari kompensasinya pada hal yang berbahaya, seperti obat-

obatan terlarang dan lain-lain. Melihat karakteristik anak remaja perlu mengisi kegiatan

yang konstruktif, misalnya dengan melakukan permainan berbagai macam olah raga,

mendengarkan atau bermain musik serta melakukan kegiatan organisasi remaja yang

positif, seperti kelompok basket, sepak bola, karang taruna dan lain-lain. Prinsip

kegiatan bermain bagi anak remaja tidak hanya sekedar mencari kesenangan dan

meningkatkan perkembangan fisio-emosional, tetapi juga lebih juga ke arah

menyalurkan minat, bakat dan aspirasi serta membantu remaja untuk menemukan
identitas pribadinya. Untuk itu alat permainan yang tepat bisa berupa berbagai macam

alat olah raga, alat musik dan alat gambar atau lukis. 28 C. Terapi Bermain. 1. Pengertian

Terapi bermain adalah media komunikasi antara anak dengan orang lain, termasuk

dengan perawat atau petugas kesehatan di rumah sakit (Supartini, 2004). Sedangkan

menurut Betz dan Sowden (2006) terapi bermain merupakan terapi untuk

mengembangkan mental anak dan untuk mengobati anak yang sedang dalam

perawatan. 2. Tujuan terapi bermain Menurut Supartini (2004), bermain sebagai terapi

mempunyai tujuan sebagai berikut : a. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan

perkembangan yang normal pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam

pertumbuhan dan perkembangannya. Walaupun demikian, selama anak dirawat di

rumah sakit, kegiatan sitimulasi pertumbuhan dan perkembangan masih harus tetap

dilanjutkan untuk menjaga kesinambungannya. b. Mengekspresikan perasaan,

keinginan, dan fantasi serta ide-idenya. Permainan adalah media yang sangat efektif

untuk mengekspresiksn perasaan yang tidak menyenangkan selama dirumah sakit. c.

Mengembangkan kreativitas dan kemampuannya memecahkan masalah. Permainan

akan menstimulasi daya pikir, imajinasi dan fantasinya untuk menciptakan sesuatu

seperti yang ada dalam pikirannya. d. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress

karena sakit dan dirawat di rumah sakit. Bermain dapat mengalihkan rasa sakit sehingga

dapat menurunkan rasa cemas, takut, nyeri, dan marah. 3. Manfaat bermain untuk anak

yang dirawat di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman

yang penuh dengan stres, baik bagi anak maupun orang tua. Beberapa bukti ilmiah

menunjukkan bahwa lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stres bagi

anak dan orang tuanya, baik lingkungan fisik rumah sakit, petugas kesehatan, maupun

lingkungan sosial. Perasaan seperti takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan yang tidak

menyenangkan lainnya, 29 sering kali dialami anak. Untuk itu, anak memerlukan media
yang dapat mengekspresikan perasaan tersebut dan mampu bekerjasama dengan

petugas kesehatan selama dalam perawatan. Media yang paling efektif adalah melalui

kegiatan bermain. Permainan yang terapetik didasari oleh pandangan bahwa bermain

bagi anak merupakan aktifitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan tumbuh

kembang anak dan memungkinkan untuk dapat menggali dan mengekspresikan

perasaan pikiran anak, mengalihkan perasaan nyeri dan relaksasi. Dengan demikian,

kegiatan bermain harus menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan anak dirumah

sakit (Ahmadi, 2008). Anna (2000), menyatakan bahwa aktifitas bermain yang dilakukan

perawat di rumah sakit akan memberi manfaat sebagai berikut : a. Meningkatkan

hubungan antara klien ( anak dan keluarga ) dan perawat karena dengan melaksanakan

kegiatan bermain, perawat mempunyai kesempatan untuk membina hubungan yang

baik dan menyenangkan dengan anak dan keluargannya. Bermain merupakan alat

komunikasi yang efektif antara perawat dan klien. b. Perawatan di rumah sakit akan

membatasi kemampuan anak untuk mandiri. Aktivitas bermain yang terprogram akan

memulihkan perasaan mandiri pada anak. c. Permainan pada anak di rumah sakit tidak

hanya memberikan rasa senang pada anak, tetapi juga akan membantu anak

mengekspresikan perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang dan nyeri. d.

Permainan yang terapeutik akan dapat meningkatkan kemampuan anak untuk

mempunyai tingkah laku yang positif. e. Permainan yang memberi kesempatan pada

beberapa anak untuk berkompetisi secara sehat, akan dapat menurunkan ketegangan

pada anak dan keluarganya. 4. Prinsip terapi bermain pada anak yang dirawat di rumah

sakit Menurut Supartini ( 2004 ), terapi bermain yang dilaksanakan di rumah sakit tetap

harus memperhatikan kondisi kesehatan anak. Adapun 30 beberapa prinsip permainan

pada anak di rumah sakit, yaitu: a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan

pengobatan yang sedang dijalankan pada anak. Apabila anak harus tirah baring, harus
dipilih permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak

bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada di ruangan rawat. b.

Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan sederhana. Pilih jenis

permainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan alat permainan yang ada pada

anak atau yang tersedia diruangan. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu

alat permainan, pilih yang sederhana supaya tidak melelahkan anak. c. Permainan harus

mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak

tajam, tidak merangsang anak untuk berlari – lari dan bergerak secara berlebihan

misalnya: bercerita atau membacakan cerita yang sifatnya menghibur. d. Permainan

harus melibatkan kelompok umur yang sama. e. Melibatkan orang tua, satu hal yang

harus diingat bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan

upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit,

termasuk dalam aktifitas bermain anaknya. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator

sehingga apabila permainan diinisiasi oleh perawat, orang tua harus terlibat secara aktif

dan mendampingi anak mulai dari awal permainan sampai mengevaluasi hasil

permainan anak bersama dengan perawat dan orang tua anak lainnya D. Tehnik Cerita

Cerita memang menyenangkan anak sebagai penikmatnya, karena bercerita

memberikan bahan lain dari sisi kehidupan manusia, dan pengalaman hidup. Pada saat

menyimak cerita, sesungguhnya anak-anak memutuskan hubungan dengan dunia nyata

untuk sementara waktu, masuk kedalam dunia imajinasi yang bersifat pribadi, cerita

secara lisan yang 31 disampaikan pencerita memiliki karakteristik tertentu. Semakin

pandai seseorang bercerita semakin kuat pengaruh kata-katanya pada anak. Untuk

dapat melakukan pengaruh pada anak seorang pencerita harus memahami bagaimana

cara anak berfikir menurut pandangan psikologis dan bagaimana memandang diri dari

dunianya secara realita. menyampaikan agar menarik dan anak dapat berkonsentrasi
dalam mendengarkan cerita yaitu dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti

dan suara yang keras, memberi penugasan kepada anak setelah medengarkan cerita,

menggunakan metode dalam bercerita, selingi dengan hiburan atau bernyanyi. Cerita

yang menarik adalah cerita mengenai diri dan imajinasi pendengarnya, oleh karena itu

penceritaan terhadap anak perlu menggabungkan kemampuan melihat realita dan

kemampuan berfikir yang bebas, imajinasi yang ditambah dengan kelucuan dan hiburan

dalam cerita yang disampaikan sehingga anak tidak bosan mendengarnya dan dapat

membangkitkan imajinasi mereka (Soetjiningsih, 2001). 1. Konsep cerita Bercerita

adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian

dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan

kepada orang lain (Bacrtiar, 2005). Sedangkan menurut Mustakim (2005), bercerita

adalah upaya untuk mengembangakan potensi kemampuan berbahasa anak melalui

pendengaran dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih

ketrampilan anak dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan.

Dengan kata lain bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang

perbuatan atau suatu kejadian secara lisan dalam upaya untuk mengembangkan potensi

kemampuan anak. Berdasarkan ciri-cirinya cerita dibagi menjadi 2, yaitu: a. Cerita lama

Cerita lama pada umumnya mengisahkan kehidupan klasik yang mencerminkan struktur

kehidupan manusia di zaman lama. Jenis-jenis cerita lama menurut Desy (2002) adalah

sebagai berikut: 32 1) Dongeng Cerita tentang sesuatu yang tidak masuk akal, tidak

benar terjadi dan bersifat fantasis atau khayal. Macam-macam dongeng antara lain: a)

Mite adalah cerita atau dongeng yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat

setempat tentang adanya makhluk halus b) Legenda adalah dongeng tentang kejadian

alam yang aneh dan ajaib c) Fabel adalah dongeng tentang kehidupan binatang yang

diceritakan seperti kehidupan manusia d) Saga adalah dongeng yang berisi kegagah
beranian seorang pahlawan yang terdapat dalam sejarah, tetapi cerita bersifat khayal. e)

Hikayat adalah cerita yang melukiskan raja atau dewa yang bersifat khayal f) Cerita

berbingkai adalah cerita yang didalamnya terdapat beberapa cerita sebagai sisipan g)

Cerita panji adalah bentuk cerita seperti hikayat tapi berasal seperti kesusastraan jawa.

h) Tambo, adalah cerita mengenai asal-usul keturunan, terutama keturunan raja-raja

yang dicampur dengan unsur khayal. Dengan kata lain jenis cerita yang tepat untuk anak

prasekolah adalah jenis cerita fabel karena mereka sedang senang-senangnya dengan

hewan peliharaan. Jenis cerita tersebut, dalam penyampaiannya dikaitkan dengan

kehidupan sehari-hari. b. Cerita baru Cerita baru adalah bentuk karangan bebas yang

tidak berkaitan dengan sistem sosial dan struktur kehidupan lama. Cerita baru dapat

dikembangkan dengan menceritakan kehidupan saat ini dengan keanekaragaman

bentuk dan jenisnya 33 2. Manfaat bercerita Menurut Musfiroh (2005) ditinjau dari

beberapa aspek, manfaat bercerita adalah: Membantu pembentukan pribadi dan moral

anak, menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi memacu kemampuan verbal anak,

merangsang minat menulis anak, merangsang minat baca anak,membuka cakrawala

pengetahuan anak. Sedangkan menurut Bachtiar (2005), manfaat bercerita adalah dapat

memperluas wawasan dan cara berfikir anak, sebab dalam bercerita anak mendapat

tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru baginya. Manfaat bercerita

dengan kata lain adalah menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi sehingga dapat

memperluas wawasan dan cara berfikir anak. Cerita adalah kisah fiksi yang diceritakan

pendongeng kepada para pendengar secara lisan yang di dalamnya terdapat pesan

moral positif yang mendidik. Cerita biasanya didongengkan kepada anak-anak yang

masih kecil, oleh orangtua, kakek, nenek, paman, bibi dan lain sebagainya. Dongeng bisa

disampaikan kepada anak sebelum tidur hingga si anak tertidur pulas dengan cara

bercerita langsung maupun dengan membaca buku dongeng. Walaupun terlihat


sederhana, namun anak-anak biasanya sangat serius mendengarnya jika ceritanya

menarik. Dengan begitu maka alangkah baik jika cerita dongeng yang disampaikan

memiliki efek positif yang tinggi bagi perkembangan mental anak-anak kita. Sebelum

dibacakan kepada anak, sebaiknya kita baca dahulu agar kita bisa mengetahui apakah

cerita itu layak untuk dibacakan kepada anak atau tidak. Menyampaikan cerita yang

menarik kepada anak memang membutuhkan keterampilan khusus. Mulai dari cara

menyampaikan cerita, kontrol volume dan intonasi suara, hingga menirukan suara

maupun perilaku tiap-tiap karakter yang ada dalam cerita perlu diperhatikan. Jika anak

bisa memahami pesan di baliknya dan menikmati cerita yang kita bawakan, maka itu

tandanya bahwa kita sudah berhasil (Soetjiningsih, 2001). Berikut ini adalah beberapa

manfaat kebaikan dari bercerita bagi Anak-Anak : 34 a. Mengajarkan nilai moral yang

baik Dengan memilih dongeng yang isi ceritanya bagus, maka akan tertanam nilai-nilai

moral yang baik. Setelah mendongeng sebaiknya pendongeng menjelaskan mana yang

baik yang patut ditiru dan mana-mana saja yang buruk dan tidak perlu ditiru dalam

kehidupan sehari-hari. Berbagai tindak kenakalan dapat dikurangi dari menanamkan

perilaku dan sifat yang baik dari mencontoh karakter ataupun sifat-sifat perilaku di

dalam cerita dongeng. Mendongeng mungkin memiliki efek yang lebih baik daripada

mengatur anak dengan cara kekerasan (memukul, mencubit, menjewer, membentak,

dan lain-lain). b. Mengembangkan daya imajinasi anak Pada pendidik dan ahli jiwa

sepakat bahwa masa anak-anak berimajinasi dan berfantasi adalah sebuah proses

kejiwan yang sangat penting. Imajinasi dan fantasi akan mendorong rasa ingin tahu

anak, rasa ingin tahu ini sangat penting bagi perkembangan intelektual anak. Imajinasi

dan fantasi anak yang kaya juga akan sangat berfaedah bagi pahami bersama. Cerita-

cerita dalam bentuk suara dapat membuat anak berimajinasi membayangkan

bagaimana jalan cerita dan karakternya. Anak-anak akan terbiasa berimajinasi untuk
memvisualkan sesuatu di dalam pikiran untuk menjabarkan atau menyelesaikan suatu

permasalahan. c. Menambah wawasan anak-anak Anak-anak yang terbiasa mendengar

dongeng dari pendongengnya biasanya akan bertambah perbendaharaan kata,

ungkapan, watak orang, sejarah, sifat baik, sifat buruk, teknik bercerita, dan lain

sebagainya. Berbagai materi pelajaran sekolah pun bisa kita masukkan pelan-pelan di

dalam cerita dongeng untuk membantu buah hati kita memahami pelajaran yang

diberikan di sekolah. d. Menghilangkan ketegangan / stress Jika anak sudah hobi

mendengarkan cerita dongeng, maka anak-anak akan merasa senang dan bahagia jika

mendengar dongeng. Dengan 35 perasaan senang dan mungkin diiringi dengan canda

tawa, maka berbagai rasa tegang, mood yang buruk dan rasa-rasa negatif lain bisa

menghilang dengan sendirinya. Sedikit waktu kita sebagai orangtua untuk memberikan

dongeng yang mendidik kepada anak-anak Dari begitu banyak manfaat dongeng, tidak

ada salahnya bila kita sisihkan waktu kita. Mendongeng bisa dilakukan oleh salah satu

maupun dua atau lebih orangtua (dengan suami, istri, kakek, nenek, paman, bibi, kakak,

dari si kecil) serta dapat diberikan kepada satu, dua atau bahkan banyak anak sekaligus.

Pendongengan tidak harus diberikan pada malam hari, namun juga pada waktu-waktu

lain e. Membantu proses indentifikasi diri dan perbuatan. Melalui cerita, anak-anak akan

dengan mudah memahami sifat-sifat perbuatan-perbuatan mana yang baik dan mana

yang buruk, dengan melalui cerita kita dapat memperkenalkan akhlak dan figure

seseorang yang baik dan pantas diteladani. f. Meningkatkan kreativitas anak Kreatifitas

anak bisa berkembang dalam berbagai bidang jika dongeng yang disampaikan dibuat

sedemikian rupa menjadi berbobot. Kita pun sah-sah saja apabila ingin menambahkan isi

cerita selama tidak merusak jalan cerita sehingga menjadi aneh tidak menarik lagi. g.

Mendekatkan anak-anak dengan orangtuanya Terjadinya interaksi tanya jawab antara

anak-anak dengan orangtua secara tidak langsung akan mempererat tali kasih sayang.
Selain itu tertawa bersama-sama juga dapat mendekatkan hubungan emosional antar

anggota keluarga. Apabila sering dilakukan maka bisa menghilangkan hubungan yang

kaku antara anak dengan orangtua yang mendongengkan. h. Pendidikan emosi Dengan

melalui cerita, emosi anak selain perlu disalurkan juga perlu dilatih, emosi dapat diajak

mengarungi berbagai perasaan manusia, ia dapat dididik untuk menghayati

kesedihan,kemalangan, derita dan 36 nestapa.Anak bisa diajak untuk berbagi

kegembiraan, kebahagiaan, keberuntungan, keceriaan. Melalui cerita, perasaan atau

emosi anak dapat dilatih untuk merasakan dan menghayati berbagai lakon kehidupan

manusia. i. Hiburan dan penarik Perhatian. Bercerita adalah sarana hiburan yang murah

dan meriah. Ditengahtengah kepenatan dan kejenuhan anak yang dirawat dirumah

sakit, tentu anak membutuhkan hiburan untuk menghilangkan cemas agar anak tidak

trauma hospitalisasi, bercerita dapat dimamfaatkan untuk menarik kembali keceriaan

dan kebahagiaan anak. Secara psikologis membaca atau bercerita merupakan salah satu

bentuk bermain yang paling sehat. Bercerita menjadi sesuatu yang penting bagi anak

karena beberapa alasan: 1) Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang

paling mudah dicerna anak 2) Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat di

integrasikan dengan dasar ketrampilan lain, yakni berbicara, membaca dan menulis. 3)

Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangan

kemampuan bersimpati dan berempati 4) Bercerita memberikan “pelajaran” budaya dan

budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat dari pada “pelajaran” budi pekerti yang

diberikan melalui penuturan atau perintah langsung. 5) Bercerita memberi contoh pada

anak bagaimana menyikapi suatu permasalan dengan baik, sekaligus memberi

“pelajaran” pada anak bagaimana cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai

negatif oleh masyarakat. 37 E. Kerangka Teori Gambar 2.1 Kerangka teori (Sumber:

Kaplan&Sadock, 1997 dalam Nursalam, 2005, Perry&Potter, 2005, Stuart&Sundeen,


1998, Wong, 2003) F. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian dimaksudkan untuk

membatasi ruang lingkup dan mengarahkan penelitian yang akan dilakukan. Kerangka

konsep dalam penelitian ini adalah Faktor yang berhubungan dengan kecemasan pada

anak 1. Jenis kelamin 2. Umur 3. Lama hari rawat Faktor pencetus kecemasan pada anak

1. Faktor psikososial (Hospitalisasi) 2. Faktor belajar 3. Faktor genetik Kecemasan pada

anak prasekolah akibat hospitalisasi Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak 1.

Melibatkan orang tua dalam perawatan 2. Modifikasi lingkungan rumah sakit 3. Peran

dari petugas kesehatan (dokter/perawat) - Terapi bermain dengan bercerita Manifestasi

cemas pada anak: 1. Fase protes 2. Fase putus asa 3. Fase menolak Dilakukan terapi

bermain dengan bercerita Tidak dilakukan terapi bermain kecemasan 38 G. Variable

Penelitian Variabel penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu : Variabel tunggal yaitu

kecemasan akibat hospitalisasi pada anak us

ia prasekolah yang diberikan terapi bermain dengan bercerita dan tidak diberikan terapi.

Anda mungkin juga menyukai