Anda di halaman 1dari 80

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FACHRY ALI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Diajukan Oleh:
Rif’at
NIM: 106033201192

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
vii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………….i

HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………………….ii

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….iii

ABSTRAKSI ………………………………………………………………………vi

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………vii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………..1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………..3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………3

D. Metode Penelitian ………………………………………………4

E. Sistematika Penulisan …………………………………………..5

BAB II KAJIAN TEORI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM …………….7

A. Definisi Politik Islam …………………………………………..8

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam ……………………………...10

C. Beberapa Konsep dalam Pemikiran Politik Islam: ……………19

1. Islam dan Demokrasi ………………………………………..19

2. Islam dan Politik ……………………………………….........21

BAB III BIOGRAFI POLITIK FACHRY ALI …………………………...26

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan ……………….27

B. Karya Tulis Ilmiah ………………………………………..........31

vii
viii

BAB IV TEMA-TEMA PENTING DALAM PEMIKIRAN POLITIK

ISLAM FACHRY ALI …………………………………………….37

A. Islam dan Transformasi Masyarakat …………………………...37

B. Islam dan Masyarakat Madani …………………………………42

C. Islam dan Ideologi Negara ……………………………………..45

D. Islam dan Budaya Lokal ……………………………………….50

E. Islam dan Aktualisasi Politik ……………………………….....53

F. Analisis Pemikiran Politik Islam Fachry Ali ………………….55

BAB V PENUTUP …………………………………………………………57

A. Kesimpulan …………………………………………………….58

B. Saran-Saran …………………………………………………….59

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….....60

LAMPIRAN-LAMPIRAN

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian politik Islam yang diterapkan di Indonesia telah banyak

mengadopsi berbagai pemikir politik di dunia, khususnya Islam sendiri dan telah

banyak melahirkan tokoh politik dalam berbagai bidang. Di antara tokoh politik

itu adalah Fachry Ali, dia dikenal sebagai tokoh pemikir pembaruan Islam,

pengamat politik, penulis buku, peneliti serta menjabat staf ahli dalam

pemerintahan di Indonesia, dia yang memulai kuliah pembaruan pada 1974-1977

di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta dengan gelar sarjana muda. Lalu, kemudian

melanjutkan kembali studinya pada 1982 dalam bidang Sejarah dan Kebudayaan

Islam di Fakultas Adab, dan melanjutkan studi S2 untuk memperdalam ilmu

pengetahuannya dalam bidang Sejarah di Monash University, Melbourne,

Australia pada 1994.

Tanpa menafikan peran para pemikir muslim lainnya, Fachry Ali telah

meletakkan dengan kokoh dasar-dasar pemikiran pembaruan Islam dan Politik

Islam di Indonesia dengan bingkai teori ilmu-ilmu sosial. Dia telah membentuk

dan mempengaruhi proses integrasi keislaman dengan kemodernan (kekinian).1

Banyak karya dan buku telah diterbitkannya sebagai bagian kepedulian

dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan

mengenai politik Islam. Seperti yang dijelaskan Fachry Ali dan Bahtiar Effendy

dalam bukunya Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam


1
Bahtiar Effendy, “Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial,”Kompas Rabu, 16
Desember 2009.

1
2

Indonesia Masa Orde Baru, dia memetakan empat gerbong yang tengah

berkembang kala itu, yakni neo-modernisme Islam, sosialisme demokrasi Islam,

universalisme Islam, dan modernisme Islam2. Dari keempat gerbong tersebut

pembaruan dimulai dengan dua tindakan yang saling erat kaitannya, yakni

melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang

berorientasi ke masa depan.3 Dan masih banyak lagi karya-karya dia dari awal

terbit sampai saat ini masih dipergunakan dan masih sangat relevan untuk

mengkomparasikan perpolitikan nasional.

Ini menunjukkan, pentingnya ilmu sosial dalam memahami soal sosial

keagamaan dan politik Islam di Indonesia. Jadi bagi penulis tokoh Fachry Ali ini

penting untuk dikaji sebab dari karya-karya dia mempunyai pengaruh besar

terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai

fenomena keagamaan Islam dan dia juga mengkritik dan meneliti sejumlah

persoalan sosial-politik yang berkembang di Tanah Air. Selain itu, dia juga

mengajak dan mempengaruhi mahasiswa dan koleganya seperti, Komaruddin

Hidayat dan Bahtiar Effendy untuk terlibat dalam penelitian empiris dan

mendiskusikan banyak hal: riset perdamaian, filsafat, sosial-politik, tafsir, dan

pesantren. Karena, Fachry mampu membicarakan persoalan Islam, baik dalam

dimensi normatif maupun historis, yang melibatkan isu-isu sosial-budaya,

ekonomi, dan politik yang lebih bersifat praktis.

Dari pandangan kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk

memahami lebih tajam mengenai Islam, ideologi negara dan masyarakat serta

2
Hanifudin Mahfuds, ”Mengharap Demokrasi di Indonesia Ditata Ulang,” Majalah
Dinamika, Edisi 05/tahun II, (Mei 2009), h. 9.
3
Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi Dalam
Islam Indonesia, (Jakarta: Risalah Gusti, 1996), h. 339.
3

aktualisasi politik Islam menurut Fachry Ali. Di samping itu, penulis juga akan

mencoba mencari letak berdirinya Fachry Ali dalam pemikiran politik Islam.

Untuk itu, penulis tertarik mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: ”Pemikiran

Politik Islam Fachry Ali.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan mengenai tema pemikiran politik Islam tidak terlalu

melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsep pemikiran politik

Islam yang ditawarkan Fachry Ali dengan mengurai beberapa teori dan perspektif

yang diajukannya yang mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan

politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena terkait keagamaan Islam

dan sejumlah persoalan sosial-politik yang berkembang di Tanah Air.

Dengan pembatasan masalah seperti itu, maka permasalahan yang akan

menjadi rumusan penulisan ini adalah bagaimana pola pikiran politik mengenai

Islam khususnya dan bagaimana cara melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional

dan mencari nilai-nilai kemodernan (kekinian) yang berorientasi ke masa depan?.

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas

rumusan ideal yang ditawarkan Fachry Ali soal politik Islam. Serta melakukan

analisis kritis terhadapnya. Sementara itu, manfaat penelitian ini adalah untuk

mengetahui hal-hal sebagai berikut :

1.Mengetahui latar belakang Fachry Ali dalam merumuskan pemikiran

politik Islam.
4

2.Mengetahui pemikiran Fachry Ali mengenai politik Islam dan

pengaruhnya dalam hal melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan

mencari nilai-nilai kemodernan (kekinian) yang berorientasi ke masa

depan.

Selain itu, tujuan penulisan skripsi Pemikiran Politik Islam Fachry Ali ini

juga sebagai upaya menghargai karya tokoh intelektual yang lahir dari kalangan

internal Fakultas Adab dan Humaniora dan Fakultas Tarbiyah UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Fachry Ali merupakan salah satu sosok yang layak

dikategorikan sebagai tokoh intelektual yang konsen terhadap pembahasan teori

sosial dan politik.

D. Metode Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan suatu metodologi

penelitian, yaitu:

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data melalui sumber

bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis Fachry Ali. Selain itu,

studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan sejumlah data yang ada di

media massa seperti koran, majalah, dan jurnal yang berkaitan dengan

pemikiran Fachry Ali soal politik Islam.

2. Wawancara Tokoh

Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan

melakukan wawancara langsung dengan Fachry Ali selaku tokoh yang

diangkat dalam skripsi ini. Dari wawancara ini diharapkan mampu


5

menemukan pemikiran orisinil Fachry Ali terkait dengan pemikiran politik

Islam.

Sementara teknik penulisan dalam penelitian ini, analisis data yang

digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analisis yang

bertujuan menggambarkan konsep ideal pemikiran politik Islam menurut Fachry

Ali. Pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam skripsi ini

disesuaikan dengan standar penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi)

yang diterbitkan Center For Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini berjudul: Pemikiran Politik Islam Fachry Ali, pada bab I

dipaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan, metode, serta

sistematika penulisan. Uraian pada bab II, disajikan pemaparan dengan jelas

tentang perspektif hingga tipologi pemikiran politik Islam, selanjutnya beberapa

konsep dalam pemikiran politik Islam seperti, Islam dan negara, Islam dan politik.

Pada bab III, disajikan dengan jelas tentang riwayat hidup, latar belakang

pendidikan serta karya tulis ilmiah Fachry Ali. Di bab IV, penulis mengawali

dengan mendeskripsikan dan menganalisis tema penting pemikiran Fachry Ali

Seperti: Islam dan Transformasi Masyarakat, Islam dan Masyarakat Madani,

Islam dan Ideologi Negara, Islam dan Aktualisasi Politik.

Selain itu, pada bab IV ini penulis akan mengakhiri dengan analisis

terhadap pemikiran politik Islam Fachry Ali. Terutama dalam kehidupan

bernegara saat ini di Indonesia, khususnya pandangan Fachry Ali mengenai


6

melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai kemodernan

(kekinian) yang berorientasi ke masa depan.

Pada bab V, penulis menyimpulkan dari seluruh bahasan dan tema-tema

yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran terkait dengan

pemikiran politik Islam khususnya mengenai bagaimana melepaskan diri dari

nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai kemodernan (kekinian) yang

berorientasi ke masa depan.


BAB II

KAJIAN TEORI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik

secara umum adalah adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-

pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis. Jika fenomena

itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang

pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik

Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini, terutama pada fase-fase

pertumbuhan pertamanya berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah

Islam. Hingga hal itu harus di lihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi

dari satu mata uang atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain.1

Karena adanya hubungan antara dua segi, yaitu segi teoretis dan realistis,

maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa

keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah

dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang

berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan

historisnya yang sekaligus merupakan runtutan alami dan secara logis. Sehingga

dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi tersebut,

maka dapat memperjelas pendapat-pendapat dan dapat menunjukkan bumi yang

menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah dan

mencapai kematangannya.2

Fachry Ali, merupakan salah satu tokoh yang turut meramaikan dunia

perpolitikan di Indonesia. Walaupun dia terlahir dari latar belakang pendidikan

1
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 1.
2
Ibid., h. 2.

7
8

yang terkonsentrasi pada bidang sejarah, tetapi dia berjasa besar dalam

mengaitkan Islam dan politik dengan menggunakan sudut pandang pemikiran

ilmu sosial. Oleh karena itu, melalui pemikiran politiknya penulis akan mencoba

menguraikan satu persatu arah pikiran Fachry, yang tidak hanya memusatkan

perhatiannya pada masalah-masalah keagamaan, tetapi juga membicarakan

kehidupan sosial politik masyarakat Muslim di Indonesia.

A. Definisi Politik Islam

Politik berkaitan dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan

pengelolaan negara beserta ruang lingkupnya. Pengaitan pengelolaan negara

bertujuan agar fungsi-fungsi kenegaraan berjalan dengan baik. Pengelolaan

tersebut pada akhirnya tidak hanya berkaitan dengan sistem negara, tetapi juga

berkaitan pada prilaku politik dan institusi politik dalam negara. Jadi hakekat

politik adalah prilaku manusia, baik berupa aktifitas ataupun sikap, yang bertujuan

mempengaruhi dan mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan

menggunakan kekuasaan.3

Seringkali kita tidak peduli dengan apa yang dimaksud dengan politik

Islam dan Islam politik. Kedua istilah tersebut seringkali diidentifikasikan sama

padahal ketika orang berbicara tentang istilah politik Islam, kalau menurut Ahmad

Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa politik Islam adalah upaya untuk menjadikan

“prinsip-prinsip dasar” (doktrin) Islam sebagai acuan dalam membuat kebijakan

politik, yaitu untuk kepentingan seluruh bangsa tanpa melihat perbedaan agama

3
Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 37.
9

dan keyakinan hidup.4 Sedangkan islam politik tidak lain sebagai bagian dari

fragmen (peristiwa) politik yang dilakukan oleh orang atau suatu komunitas

Muslim dengan segenap perilaku dan capaian-capaian politik yang dihasilkannya. 5

Oleh karenanya, sintesa di antara keduanya tidak lain berkaitan dengan

rangkaian upaya epistimologis dengan mencari titik pertemuan. Politik Islam

berkaitan dengan sebuah rangkaian doktrin Islam yang bersifat universal dan

Islam politik yang lebih bersifat profan karena dapat berubah sesuai dengan

konteks ruang dan waktu. Dalam kasus Indonesia sebagaimana upaya

mempertemukan antara keislaman dan keindonesiaan, yaitu keislaman yang

bersifat universal dan keindonesiaan yang bersifat lokal, sintesa di antara

keduanya kemudian menghasilkan format Islam yang khas Indonesia tanpa

kemudian menghilangkan ciri keuniversalitasan Islam.

Melihat kondisi politik dan kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas

Islam, maka menurut Fachry Ali, definisi politik Islam dalam arti keIndonesian

adalah adanya nilai-nilai Islam yang direfleksikan di dalam demokrasi pancasila,

agar tercipta kolaborasi antara nilai-nilai Islam yang dapat mengokohkan

demokrasi pancasila sehingga terciptalah masyarakat yang adil dan makmur.6

Melalui paradigma politik Islam tersebut, Fachry Ali telah meletakkan

dengan kokoh dasar-dasar pemikiran pembaruan Islam dan politik Islam di

4
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam& Politik: Upaya Membingkai Peradaban (Cirebon:
Pustaka Dinamika, 1999), h. 70.
5
M. Alfan Alfian, “Islam Politik PPP,” Republika, 17 Desember 1998.
6
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan
Pemikiran Islam Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 167.
10

Indonesia dengan bingkai teori ilmu-ilmu sosial. Ia telah membentuk dan

mempengaruhi proses integrasi keislaman dengan kemodernan (kekinian). 7

Istilah politik Islam berarti siyasah shar’iyyah yang diartikan sebagai

ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan

syariat Islam. siyasah shar’iyyah diartikan sebagai pengelolaan masalah-masalah

umum bagi pemerintah Islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan dan

terhindarnya kemudaratan dari masyarakat Islam, dan tidak bertentangan dengan

ketentuan syariat Islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak sejalan

dengan pendapat para ulama mujtahid.8 Definisi ini dipertegas lagi oleh

Abdurrahman Taj yang merumuskan siyasah shar’iyyah sebagai hukum-hukum

yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai

dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi

terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak

ditegaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.

Dari beberapa definisi di atas, maka menurut Munawir Sjadzali definisi

politik Islam yang dikemukakan oleh para tokoh Islam terbagi menjadi beberapa

bagian yaitu Islam substantif dan Islam fundamental. Di mana aliran substantif

mendefinisikan bahwa perlunya nilai-nilai politik Islam diterapkan dalam sebuah

negara, meskipun negara itu berasaskan selain Islam. Sedangkan, aliran

7
Bahtiar Effendy, “Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial,” Kompas Rabu, 16
Desember 2009.
8
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), h. 5.
11

fundamental mendefinisikan politik Islam dalam arti penerapan asas dan nilai-

nilai Islam secara keseluruhan dalam sebuah negara.9

Dengan demikian, di dalam praktik politik Islam tidak lain adalah

mengimplementasikan prinsip-prinsip universalitas Islam ke dalam bingkai

praksis politik terkait dengan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam

Banyak konstruk pemikiran yang melahirkan berbagai pandangan tentang

bagaimana kita, sebagai kaum muslimin menyikapi politik. Tentang bentuk

kenegaraan yang seperti apa yang harus dipakai oleh suatu negara. Dari beberapa

pemikiran para tokoh itu semua yang akhirnya mengarah pada karakter dan

tipologi politik Islam itu sendiri. Namun secara umum para pemikir membaginya

dalam tripologi. Dalam pandangan A. Djazuli, beliau membagi kerangka berpikir

dunia Islam dewasa ini menjadi tiga tipe pertama, liberal (sekuler) yaitu negara

menolak hukum Islam secara penuh, kedua, fundamental (integralistik) yaitu

negara melaksanakan hukum Islam secara penuh, ketiga, moderat (simbiotik)

yaitu negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan struktural (dalam

sektor politik), tetapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural, atau mencari

kompromi.10 Sedangkan menurut Din. Syamsuddin, paradigma pemikiran politik

Islam modern dibagi atas tradisionalis, modernis, fundamentalis.11

9
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:
UI-Press, 1990), h. 1-2.
10
A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syari’ah (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 39.
11
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik: Era Orde Baru (Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 2001), h. 116.
12

1. Tipologi Liberal

Secara harfiah istilah liberal berarti bebas, yang menghendaki adanya

kebebasan individu. Masyarakat liberal adalah representasi (perwakilan) dari

sebuah komunitas yang didalamnya setiap individu mempunyai kebebasan untuk

bertindak, dalam kebebasan untuk berbeda pendapat, kebebasan untuk memeluk

agama, dan berbagai bentuk kebebasan yang berkaitan dengan terpenuhinya

tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi.

Paradigma liberal, sesuai dengan maknanya yang sederhana, adalah bebas,

merdeka dan tidak terikat. Apabila diletakkan dalam konteks pemikiran, maka

seorang yang memiliki tipikal berfikir liberal adalah mereka yang bebas untuk

berfikir dan mengeluarkan pendapat serta merdeka tanpa harus terikat pada segala

bentuk pengetahuan dan otoritas manapun. Model demikian biasanya menjunjung

tinggi martabat pribadi manusia dan kemerdekaannya. Manusia sebagaimana yang

pernah menjadi diktum (keputusan) awal renaissance (lahir kembali) adalah

subyek otonom. Subyek yang memiliki kesadaran berfikir, berbuat dan

bertindak.12

Pola liberal ini menekankan pemisahan antara agama dan negara, yang

menyatakan bahwa Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan

masalah politik atau kenegaraan. Islam hanyalah mengatur hubungan antara

manusia dan Tuhan. Para penganut tokoh ini beranggapan bahwa agama itu

bersifat universal sedangkan politik itu portikular (individu), maka dari itu antara

agama dan politik tidak bisa bersatu. Kelompok yang memisahkan agama dan

negara ini menekankan agrumentasi bahwa tidak ada ayat yang secara tegas

12
Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Jogjakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta, 2004), h.
89.
13

mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan

bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang di wahyukan

Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau hanya rasul yang membawa risalah

agama saja, tidak termasuk printah membentuk negara.

Tipologi seperti ini, tidak sejalan dengan apa yang dikonsepkan oleh

Fachry Ali, karena dalam salah satu karyanya yaitu Islam Pancasila dan

Pergulatan Politik, dia menulis bahwa paham liberal tidak sesuai dengan kondisi

sosial kultural masyarakat Indonesia yang bersifat ketimur-timuran, sehingga

paham liberal dalam arti kebebasan, yang dijadikan oleh orang-orang barat

sebagai pola kehidupan mereka dalam berbagai bidang termasuk didalamnya

politik, tidak sejalan dengan pola pikir masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, Islam di Indonesia menurut Fachry lebih baik sesuai

dengan cita-cita kemerdekaan bahwa pancasila sebagai asas negara bisa

mengkordinir masyarakat Indonesia yang bersifat plural yang memiliki

kepercayaan terhadap agamanya masing-masing, di mana paham liberal yang

diajarkan oleh orang-orang barat tidak sesuai dengan agama-agama atau

kepercayaan masyarakat Indonesia. Dia memiliki asumsi bahwa kehadiran agama

di Indonesia dengan masyarakat yang majemuk tidak bisa dielakkan dan tidak bisa

lepas dari kepercayaan masyarakat yang menimbulkan fanatisme bagi

pengikutnya. Dan inilah yang memperjelas bahwa tipologi liberal tidak sesuai

dengan keyakinan serta asas pancasila. 13

13
Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),
h. 189-191.
14

2. Tipologi Fundamental

Secara harfiah istilah fundamental berarti mendasar, yang digunakan untuk

menunjuk sikap politik suatu kelompok yang ekstrim, fanatik dan keras kepala.

Golongan mengungkapkan bahwa Islam mencakup semua aturan kehidupan,

termasuk urusan politik atau kenegaraan. Argumen yang diberikan oleh kelompok

ini, bahwa nabi telah selesai dan telah memberikan garis panduan yang jelas

seperti ketika nabi berada di Madinah.

Fundamentalisme dalam Islam mempunyai akar sejarah yang panjang. Ia

muncul secara tiba-tiba seperti disinyalir oleh para penulis di barat, yaitu sejak

Revolusi Iran, Afghanistan dan Lebanon. Berangkat dari sudut pandang diatas,

melihat akar-akar historis dan perkembangan gerakan fundamentalisme Islam

kontemporer dimulai pada fase awal sejarah perkembangan Islam klasik.14

Mula-mula gerakan ini muncul dipelopori oleh seorang fuqoha’ Imam

Ahmad Ibn Hanbal atau yang dikenal dengan pendiri madzhab Hanbali (780-855

M). Kemunculannya sebagai reaksi atas kecendrungan menguatnya aliran

rasionalis yang dipelopori oleh Mu’tazilah dan didukung oleh pemerintahan Bani

Abbas. Pemikiran rasionalis dinilai tidak Islami, karena terpengaruh oleh filsafat

Yunani, yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk itu, Imam

Ahmad berusaha membangun dasar-dasar teologis, dan berhasil meletakkan

pondasi gerakan salafi.15

Sekitar tahun 1970-an, ada dua arus besar fundamentalisme Islam. Salah

satunya adalah nada dan organisasinya bercorak tradisional, yang merupakan

14
Mohammad Nurkhaim, “Islam Responsif: Agama di Tengah Pergulatan Idiologi
Politik dan Budaya Global,” (Skripsi S1Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), h. 102.
15
Ibid., h. 103.
15

kelangsungan dari garis yang terdahulu, yaitu berupa gerakan-gerakan

fundamentalis militan. Bentuk fundamentalisme ini sangat jelas dalam monarki

Saudi, tetapi sejumlah asosiasi fundamentalis juga terus berlanjut dalam format-

format yang terlembaga dan mempertahankan pandangan-pandangan ideologis

yang sejak lama didefinisikan dan ditegaskan. Pergeseran penekanan kembali

pada tema-tema Islam yang murni selama dekade tersebut memberikan

kemungkinan pada kelompok-kelompok ini untuk mendapatkan visibilitas

(keadaan) dan prestise (masalah) yang lebih besar, dan dibeberapa wilayah,

kelompok-kelompok fundamentalis tradisional menjadi kekuatan-kekuatan sosio-

politik yang penting.16

Di samping garis perkembangan fundamentalisme tersebut, tahun 1970-an

merupakan suatu periode dimana bentuk fundamentalis juga memiliki bentuk

radikal. Fundementalisme radikal terikat dalam suatu reorientasi tentang tradisi

Islam. Radikalisme ini merupakan sintesis dari radikalisme yang telah

ditransformasikan pada tahun 1960-an dan semangat fundementalisme Islam.

Fundamentalis radikal menekankan partisipasi masa, kontrol partisipatori,

identitas unit yang kecil dan menghilangkan perbedaan-perbedaan sosio-politik

lama.17

Pada perkembangan berikutnya, di India muncul seorang pemikir yang

cukup radikal, yakni Abul A’la al-Maududi. Ia tidak hanya seorang pemikir, tetapi

sekaligus aktifis partai politik yang mencita-citakan berlakunya negara berdasar

Islam. Partai yang didirikannya adalah Jema’at Islami. Oleh para pengamat barat

16
John Obert Voll, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern
(Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 90.
17
Ibid., h. 356.
16

ia digolongkan sebagai pemikir fundamentalis. Pemikir di Mesir yang juga radikal

adalah Hasan al-Bana dan Sayyid Qutb. Dua tokoh ini adalah pemimpin tertinggi

Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islam yang mencita-citakan berlakunya

syari’at Islam di Mesir yang memiliki jaringan luas di berbagai dunia Islam.18

Menurut Fachry Ali tipologi fundamental yang memiliki akar sejarah

bahwa dalam sebuah negara itu harus sesuai dengan syariat Islam baik dalam segi

politik, ekonomi, hukum, kultur, hubungan sosial, dan sampai kepada ranah

birokrasi kenegaraan pun harus sesuai dengan nash (ayat) yang dituliskan dalam

al-Qur’an dan al-Sunnah.19 Hal ini senada dengan pemahaman para cendikiawan

muslim Indonesia bahwa Islam fundamental ini bersifat tekstual sehingga dalam

mempraktekan Islam yang sesuai dengan kitab sucinya tidak dipahami secara

kontekstual atau diselaraskan dengan kondisi politik saat ini yang sudah

berkembang pesat.20

Pancasila yang memiliki tujuan bersama dan menyatukan berbagai ras,

suku bangsa, dan adat istiadat, dan kepercayaan yang beragam, akan hancur bila

tipologi fundamentalisme ini diterapkan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan

realitas saat ini yang disebutkan oleh Fachry bahwa isu terorisme, dan kekerasan-

kekerasan yang terjadi dan menimpa Indonesia saat ini justru menjadikan kondisi

politik di Indonesia menjadi kurang stabil, bahkan masyarakat Indonesia dihantui

oleh rasa takut dan ancaman (teror).21

18
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT. Grasindo,
2003), h. 6.
19
Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),
h. 5-7.
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:
UI-Press, 1990), h. 1.
21
Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 2011.
17

3. Tipologi Moderat (Reformis dan Sintesis)

Pemikiran ini mengutarakan bahwa dalam Islam tidak ada aturan yang

pasti tentang masalah politik atau tata negara, namun ada prinsip atau asas yang

harus ditegakkan. Memang Rasulullah SAW bukan diutus sebagai pemimpin

politik, tetapi sebagai rasul. Perlu diketahui, konsep kerasulan beliau tidak sebatas

menyampaikan pesan Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh

dari suri-tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara hidup (way of life).

Dalam masa yang singkat, beliau telah berhasil membuat perubahan dan reformasi

kesesuaian dimana budaya, pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan

gemilang. Semua perubahan ini berlaku karena beliau telah membuat perancangan

dan program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah,

membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial, membangun ekonomi, politik,

dan sosial umat Islam Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan

pendapat Muhammad Hamidullah yang mengatakan piagam Madinah yang

dirumuskan oleh Rasulullah adalah satu perlembagaan pertama di dunia karena

dicipta di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak berperlembagaan

dan tidak mengenal kedaulatan undang-undang (supremacy of law). Ini tentunya

bukan suatu kebetulan.22

Dari ketiga tipologi pemikiran politik Islam itu, Fachry Ali sebagai tokoh

intelektual Islam dia lebih condong kepada tipologi moderat reformis, karena hal

itu menurutnya lebih cocok untuk kondisi politik keIndonesiaan. Seperti apa yang

diungkapkan dalam salah satu karyanya Merambah Jalan Baru Islam, dia

mengatakan bahwa penganut sistem ini memandang bahwa sistem politik Islam

22
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003), h. 257.
18

sebagian besarnya merupakan ijtihad, al-Qur’an tidak menjabarkan secara detail

tentang bentuk pemerintahan, mekanisme, dan pelaksanaan lapangan. Tetapi

cukup banyak prinsip-prinsip pemerintahan perlu dijadikan pedoman dalam

berpolitik. Dan ini sudah cukup untuk mewarnai sistem politik Islam untuk

membedakannya dengan sistem politik sekular atau sistem pemerintahan yang

despotik dan teokratik.23

Fachry Ali, menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam

dalam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan

pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an.24 Gerakan ini

lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di

Indonesia. Akan tetapi dia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi

maupun aplikasi ide-ide. Begitu juga dalam pemikiran modernisme, lebih banyak

mengadopsi gagasan barat dalam perspektif pemikiran barat. Sehingga ada kesan

orisinalitas pemikiran Islam telah terbaratkan dalam wacana modernisme. Jadi

pemikiran neo-modernisme mengambil bentuk paling mutakhir baik dalam terma-

terma keIslaman maupun metodologisnya.25

Modernisasi dengan developmentalisme seperti yang dikutip Fachry Ali

dan Bahtiar Effendy mengatakan telah melahirkan persoalan-persoalan baru

seperti sentralisasi kekuasaan ditangan pemerintah, lemahnya posisi rakyat dalam

tawar menawar dengan pemerintah, semakin tingginya tingkat kesenjangan sosial

dan ekonomi antara pusat dan daerah, kota dan desa, kaya dan miskin, kaum

23
Despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja dan teokratik
adalah negara merupakan kepanjangan tangan dari otoritas Tuhan dalam mewujudkan kehendak-
Nya di muka Bumi ini.
24
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, h. 17.
25
Sani, Lintasan Sejarah, h. 258.
19

terdidik dan tak terdidik, sektor modern dan tradisional dan lain-lain. Tesis

Nurcholish Madjid dianggap oleh sekelompok generasi muda belum mampu

berfungsi sebagai ideologi yang berdasar nilai-nilai Islam yang dapat digunakan

dalam memberikan solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan tersebut,26

karena masih berupa kemewahan (luxury) intelektual belum menyentuh konteks

riil kemasyarakatan yang sedang mengalami perubahan akibat proses-proses

ekonomi-politik yang sedang berlangsung selama ini (Orde Baru-sekarang).27

Kondisi inilah yang mendorong untuk mengkonstruksi pemikiran-

pemikiran ideologi yang lebih jelas keberpihakannya, seperti Adi Sasono dan

Dawam Rahardjo yang lebih menekankan pada upaya merefleksikan perubahan

sosial ekonomi dan politik menuju terciptaya masyarakat yang adil dan

demokratis dengan memadukan nilai-nilai Islam dan teori-teori pembangunan. 28

C. Beberapa Konsep dalam Pemikiran Politik Islam

Dalam perkembangan politik Islam, banyak pemikir Islam, yang

membahas tentang relevansi antara Islam dan politik, Islam dan demokrasi. Begitu

pula Fachry Ali, dia memetakan antara kaitan Islam dengan demokrasi, dan Islam

dengan politik.

1. Islam dan Demokrasi

Hubungan islam dengan demokrasi yang menjadi tema kajian cendikiawan

muslim, dibahas dalam dua pendekatan: normatif dan empiris. Pada dataran

normatif mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut pandangan

26
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, h. 160-161.
27
Ibid., h. 167.
28
Ibid., h. 161-162.
20

islam. Sementara dari dataran empiris, mereka menganalisis implementasi

demokrasi dalam praktek poliltik dan ketatanegaraan.

Memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya sangat

aksiomatis (yang sudah jelas kebenarannya). Karena Islam merupakan agama dan

risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat

manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan

mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak

nilai-nilai positif.29

Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama, memberikan penjelasan lain

tentang sikap banyak pihak untuk tidak memasukkan sebagian negara-negara

islam dalam analisis mereka tentang demokratisasi. Penekanan analisis atas

kehidupan politik islam terutama yang berkembang di sebagian besar dunia Arab

di atas” persyaratan-persyaratan sosial sebuah sistem demokrasi” bagi masyarakat

manapun, telah mendorong mereka untuk berpendapat bahwa islam secara inheren

tidaklah sesuai dengan demokrasi. Bahkan, oleh sementara pihak, islam telah

dipandang sebagai “ ancaman besar terhadap kegiatan-kegiatan liberal”.30

Dikatakan seperti itu karena kebanyakan pandangan pengamat Barat

tentang islam yang monolitis itu berasal dari pemahaman mereka yang terbatas

tentang sifat dan esensi islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam

Qur’an dan Sunnah) ataupun historis (sebagaimana tercermin dalam pengalaman

kesejarahan umat islam).

29
Eko Taranggono, “IslamDemokrasi” artikel di akses pada 6 Juli 2011 dari
http://jurnalushuluddin.files.wordpress.com/2008/03/islamdemokrasi.pdf
30
Bahtiar Effendy, dkk, Agama Dan Dialog Antar Peradaban ( Jakarta: Paramadina.
1996), H. 87-91.
21

Islam sebagaimana dilihat, dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah

untuk memahami dunia. Jika pendapat ini bisa dibenarkan, maka islam

dibandingkan dengan agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling

mudah untuk menerima premis ini. Dasar utamanya terletak pada ciri islam yang

paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana” kehadiran islam

memberikan”panduan moral yang benar bagi manusia.”

Berdasarkan penjelasan tentang unsur-unsur dasar sebuah sistem

demokrasi, dapat dikatakan bahwa pada tataran normatif, prinsip-prinsip islam

sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Huntington sendiri (terlepas dari

pandangannya yang negatif tentang hubungan islam demokrasi) sebenarnya

percaya bahwa nilai-nilai islam “pada umumnya sesuai dengan persyaratan-

persyaratan demokrasi.”31

Sebagaimana dikatakan Masykuri Abdilah, 32 sesungguhnya tidak ada

aturan yang jelas dalam al-qur’an maupun hadis yang menyebutkan bantuk dan

sistem negara yang harus dijalankan masyarakat muslim. Begitu pula, tidak ada

aturan bagaimana mekanisme kekuasaan yang ada, apakah mesti ada pemisahan

kekuasaan (separation of power), pembagian kekuasaan (distribution of power)

atau penyatuan kekuasaan (integration of power) antara kekuasaan legislatif,

eksekutif dan yudikatif. Pada masa Rasul semua kekuasaan, baik eksekutif,

legislatif maupun yudikatif berada ditangan Rasul. Sebab, semua yang dilakukan

rasul lebih untuk melaksanakan dan melindungi eksistensi risalah dan agama yang

dibawanya dari pada untuk mempertahankan kekuasaannya.

31
Ibid., h. 91-98.
32
Masykuri Abdilah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif
Sejarah dan Demokrasi Modern,” dalam jurnal Taswirul Afkar, no. 7 (Jakarta, 2000), h. 98.
22

Dengan demikian, menurut Fachry Ali menghadapkan atau

membandingkan Islam dengan demokrasi dalam arti sebagai sistem dan bentuk

pemerintahan adalah sesuatu yang tidak tepat. Sebab, Islam sendiri tidak pernah

berbicara tentang negara tertentu sebagaimana isi dan makna demokrasi.33

2. Islam dan Politik

Dalam kondisi kultur umat Islam sangatlah mempengaruhi kekuatan

Politik. Di mana antara Islam dan politik sulit untuk dipisahkan kalaupun

dipisahkan, justru hal ini akan mematikan kedua variabel itu, meskipun anggapan

ini hanya terbatas pada negara-negara berkembang saja, namun kenyataannya

adalah negara-negara berkembang itu selalu mengaitkan antara variabel agama

dan politik. Sehingga pantas bila perkembangan politik di Indonesia selalu

dikaitkan dengan Islam. Hal ini, dikarenakan negara-negara berkembang sulit

untuk menerima suatu tatanan politik dengan pendekatan rasional. 34 Relevansi

antara Islam dan politik ini, tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga

negara-negara lain.

Perkembangan Islam muncul sebagai kekuatan global yang kuat dalam

politik muslim pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ruang lingkup kebangkitan

politik Islam mencakup seluruh dunia, dari Sudan sampai Indonesia. Kini, para

pemimpin pemerintahan Islam dan oposisi lebih suka menggunakan agama untuk

melegitimasi dan menggerakkan dukungan rakyat. Bahkan, para aktifis Islam kini

banyak pula yang menduduki posisi-posisi ditingkat kabinet. Organisasi-

organisasi banyak pula yang merupakan partai-partai oposisi dan ada yang

33
Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 2011.
34
Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),
h. 2.
23

menjadi organisasi terkemuka di Mesir, Tunisia, Maroko serta Indonesia. Mereka

umumnya sedapat mungkin berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk lebih

meningkatkan peranan mereka dalam parlemen.

Maraknya politik Islam ini banyak disoroti oleh Barat sebagai tumbuhnya

fundamentalisme Islam. Istilah ini kurang pas bila diterapkan pada fenomena

kebangkitan politik Islam. Istilah fundamentalisme terlalu dibebani oleh praduga

Kristen dan Stereotip barat dan juga menyiratkan ancaman monolitik yang tidak

pernah ada.35 Muncul dan maraknya politik Islam ini tidak luput dari usaha

kalangan Islamis yang ingin menyelamatkan dunia dari kemerosotan martabat

manusia dengan cara kembali kepada nilai-nilai luhur Islam.

Berkembangnya sekularisme dan sejenisnya yang juga telah melanda

dunia Islam memang telah mencemaskan kalangan Islamis tentang kemungkinan

kian kuatnya semangat pemisahan antara praktek keberagamaan dan praktek

keduniaan. Mereka menganggap pemisahan tersebut tidak sesuai dengan ajaran al-

Qur’an yang mngajarkan pengikut Islam untuk berislam secara kaffah, yakni tidak

memisahkan antara kehidupan beragama dan kehidupan berpolitik. Ketika

masyarakat telah dikotak-kotak ke dalam agama, politik, sosial dan seterusnya,

mereka tidak lagi melihat keterkaitan bahwa manusia adalah multi dimensional.

Pemisahan telah menyebabkan manusia dalam satu dimensi dan dapat diartikan

telah merendahkan martabatnya sebagai manusia. Atas dasar pemahaman itu,

maka kaum Islamis berusaha mengembalikan martabat manusia yang tidak

terpisah-pisah dalam memandang hidup. Kaffah (totalitas) dalam ajaran Islam

itulah yang dijadikan acuan mereka.

35
Jhon. L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas (Bandung: Mizan, 1984), h.
18.
24

Indonesia sebagai satu negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia

tampaknya tidak luput dari fenomena serupa. Fenomena itu telah mempengaruhi

pola pembangunan, termasuk khususnya dalam konstelasi pembangunan politik

dan ekonomi. Fenomena tersebut tentunya menarik untuk dikaji lebih mendalam.

Keberhasilan pembangunan sering kali di nilai berdasarkan tolok ukur modernitas

yang berasal dari barat.36 Ajaran seperti ini juga diberlakukan di dunia yang

mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam. Akibatnya, dalam teori

modernisasi, seringkali pembangunan disamakan dengan westernisasi dan

sekularisasi masyarakat. Bahkan, sekularisasi dianggap sebagi syarat penting

sebagai syarat modernisasi. Smith misalnya, secara jelas mengatakan sebagai

salah satu proses dasarnya, pembangunan politik mencakup: sekularisasi politik,

pemisahan agama dari sistem politik secara progresif.37

Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan dengan Islam

kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang

ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik,

atau Islam berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi (eksekutif dan

legislatif). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di

bidang dakwah, pendidikan, seni dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam

politik.

Mempersoalkan Islam dan politik tidak lepas dari wacana pemikiran

tentang hubungan agama dan negara. Dalam Islam sudah ada kesepakatan bahwa

sumber ajarannya adalah al-Qur’an, yang intinya memuat dua intisari ajaran yaitu

36
Ibid., h. 19.
37
Donald Eguene Smith, Agama dan Modernisasi (New Heaven: Yale University Press,
1974), h. 4.
25

aqidah dan syariah. Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Tidak ada aqidah

tanpa syariah, begitu juga sebaliknya. Aqidah yang menghubungkan manusia

dengan Allah, yang disebut ibadah. Sedangkan syariah juga menghubungkan

manusia dengan manusia, yang disebut muamalah. Sedangkan hubungan antara

yang memerintah dengan yang diperintah disebut siyasah. Disinilah Islam dan

politik berada.

Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam tidak

pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-Ghazali

yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama. Karena

pegangan dari Nabi dan ucapan-ucapan yang ditingalkan oleh orang-orang yang

suci.38

38
Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam al-Ghazali ( Jakarta:
Bulan-Bintang, 1975 ), h. 120.
BAB III

BIOGRAFI POLITIK FACHRY ALI

Fachry Ali adalah termasuk salah satu tokoh nasional Indonesia paling

berpengaruh di panggung politik nasional saat ini dan diprediksi akan mempunyai

peran yang cukup signifikan dalam menentukan konfigurasi politik bangsa di masa-

masa yang akan datang.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Fachry Ali diakui kapasitas,

kapabilitas dan ketokohannya oleh publik baik di bidang pemikiran ataupun sepak

terjang politiknya. Sehingga Fachry Ali yang lebih akrab dengan panggilan abang

Fachry ini menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia saat

ini. Tentunya hal itu tidak semata-mata karena ia pernah menjadi mahasiswa IAIN

(Institut Agama Islam Negeri) kini UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif

Hidayatullah Jakarta, akan tetapi karena ia berjasa dalam komitmen dan kontribusi

ide-ide kebangsaan dan pergulatan panjangnya dalam sejarah perpolitikan yang

diawali sejak masih muda.

Untuk mengurai dan membaca karakter pemikirannya secara detail diperlukan

penelusuran yang mendalam atas latar teoritis dan latar belakang sosio-kultural,

pendidikan dan pengalaman dibidang organisasi, serta tokoh-tokoh yang berpengaruh

dalam membentuk gugusan pengetahuan personalnya yang nantinya banyak

menyumbangkan dan mengilhami pandangan-pandangannya dalam bidang politik.

26
27

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan

Fachry Ali adalah seorang tokoh pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, ia

yang meletakkan dan memanfaatkan pondasi pendekatan ilmu-ilmu sosial ketika

mengkaji masalah-masalah keagamaan. Dalam hal ini, ia menjelaskan pentingnya

pembaharuan Islam dengan kerangka dasar teori-teori ilmu sosial, seperti

rasionalisasi, modernisasi, sekularisasi, teori perubahan sosial, dan teori

ketergantungan.1

Semenjak duduk dibangku kuliah, ia mulai mengenal berbagai tokoh politik

mulai dari tokoh-tokoh politik dunia hingga tokoh politik nasional, dari yang klasik

sampai kontemporer. Pada fase ini, Fachry berkenalan dengan beragam pemikiran

politik mulai dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.

Keterlibatan Fachry dalam medan politik dimulai sejak ia menginjakkan kaki

di bangku kuliah di UIN Ciputat, kemudian ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI) Komisariat Ciputat. HMI2 adalah Organisasi mahasiswa yang mempunyai

kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan

inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan

penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan

1
Bahtiar Effendy, “Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial,”Kompas Rabu, 16
Desember 2009.
2
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu
pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan
kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta
jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk
mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan
mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi
yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah.
28

terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus

turut mempertahankan negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut

memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat. Di organisasi inilah Fachry

mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan dan terlibat langsung dalam

konfrontasi gerakan mahasiswa dengan Orde Lama yang sedang harmonis dengan

kelompok komunis.

Gerakan intelektual yang dilakukan HMI berfungsi merumuskan strategi-

strategi yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan melancarkan

gerakannya lewat demontrasi-demontrasi di jalan. Sehingga HMI melahirkan gerakan

pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, telah menunjukkan

karakternya sebagai the agent of control.3

Fachry Ali dilahirkan di Susoh, Blang Pidie, Aceh Selatan pada 23 November

1954. Fachry memulai pendidikan pada 1960-1965, ia belajar di Sekolah Rakyat

Islam (SRI) Banda Aceh sampai dengan kelas IV, kemudian dia hijrah ke kota Jakarta

kemudian melanjutkan kembali di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda, Ragunan, Pasar

Minggu, Jakarta Selatan pada 1966-1968.

Tahun-tahun berikutnya, setelah tamat dari Madrasah Ibtidaiyah, ia

bersekolah di Madrasah Tsanawiyah, Rawa Bambu, Pasar Minggu (tamat 1971) dan

melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi ke Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) yang

ditamatkan pada 1973. Kemudian pada 1974-1977, ia melanjutkan studi ke Fakultas

Tarbiyah, Jurusan Bahasa Inggris, IAIN Jakarta, kini UIN Jakarta dengan

3
Mahasiswa sebagai agent of control, yaitu mahasiswa berfungsi sebagai kapten dari kapal
pemerintahan yang mengawasi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh nahkoda
pemerintahan.
29

memperoleh gelar sarjana muda pada 1977. setelah itu, ia tidak melanjutkan

pendidikan lebih dan memilih berkerja di LP3ES sebagai Tenaga Pembina Lapangan

(TPL) di Jepara, Jawa Tengah tahun 1977-1978.4

Sekembalinya dari Jepara, Jawa Tengah, pada 1981-1985 ia melanjutkan

studinya di universitas yang sama, namun ia mengambil jurusan yang berbeda yaitu

Sejarah dan Kebudayaan Islam di Fakultas Adab dengan memperoleh gelar

doktoralnya pada 1985. Setelah memperoleh gelar doktoralnya dalam bidang Sejarah

dan Kebudayaan Islam, ia mulai meniti karirnya dengan berkerja menjadi Staf

Peneliti Program Penelitian LP3ES pada 1983-1987, berkat semangat dan usaha ia

dalam berkerja di LP3ES memberikan hasil yang memuaskan, sehingga pada 1987-

1989, ia dipercaya kembali oleh LP3ES kemudian menjabat sebagai Kepala Program

Penelitian LP3ES.

Di 1991, dengan dibantu oleh Prof. M. C. Ricklefs, ketua jurusan sejarah di

Universitas Monash, Australia, ia kembali melanjutkan studi S2 untuk memperdalam

ilmu pengetahuannya dalam bidang Sejarah di Monash University, Melbourne,

Australia. Dari universitas inilah, pada tahun 1994, ia meraih gelar Master of Arts

(MA) dalam bidang Sejarah dengan menulis tesis yang berjudul "The Revolts of the

Nations-State Builders : A Comparative Study on the Acehnese Darul Islam and the

West Sumatran PRRI Rebellions, 1953-1964".

Selain itu, tahun 1994-1995 Fachry memulai kembali karirnya kali ini, ia

mencoba menjadi penulis pemula bersama Prof. Fuad Hasan dan Prof. Nurcholish

Madjid tentang kebudayaan, di tahun 1996, Fachry menjabat Direktur Lembaga Studi

4
Biografi Fachry Ali yang ditulis dalam bukunya Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik.
30

dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia) hingga sekarang, dan anggota

Penasehat Ahli Kapolri dalam bidang Politik tahun 1998 hingga sekarang. Ia juga

menjabat anggota Komite Nasional Corporate Governance tahun 1998-2004, dalam

bidang sejarah, ia juga menjabat anggota Perhimpunan Sejarawan Indonesia tahun

2003 hingga sekarang, di tahun 2005, ia juga menjadi anggota dan pengurus

perhimpunan Lembaga Penelitian Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial

(LP3ES) hingga sekarang. Tidak hanya itu, ia juga menjabat ketua Komite Kebijakan

Publik (KKP) kementrian BUMN, tahun 2006 hingga sekarang.

Selain aktif menjadi narasumber talkshow dibeberapa stasiun televisi, ia juga

aktif menulis berbagai makalah yang disajikan didalam maupun luar negeri serta

berbagai artikel dan kolom dibeberapa media massa Indonesia, ia juga telah

mempublikasikan sejumlah buku yang dikarangnya, dari buku yang ia karang, hanya

beberapa buku yang berbicara mengenai politik, di antaranya yaitu : (1) Islam

Pancasila Dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984); (2) Islam,

Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural (Bandung: Mizan, 1985); (3) Mahasiswa,

Negara dan Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985); (4)

Merambah Jalan Baru Islam : Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru

(Bandung: Mizan, 1986), bersama Bahtiar Effendy; (5) Refleksi Paham Kekuasaan

Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1987); (6) Golongan Agama dan

Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia (Surabaya:


31

Risalah Gusti, 1996), kemudian buku lainnya lebih membicarakan soal sejarah,

ekonomi, dan budaya, namun kajian tersebut selalu terkait dengan politik.5

Hampir semua buku mengenai politik yang ditulis Fachry Ali cakupan

bahasannya tidak jauh dari isu seputar sosial politik Islam di Indonesia. Dalam buku-

bukunya itu, dengan gamblang Fachry menjelaskan fluktuasi (perubahan) antara

politik Islam dengan masalah-masalah keagamaan maupun masalah sosial dalam

negara Indonesia sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan hingga munculnya

kekuasaan rezim orde baru di pentas politik nasional. Ini menunjukkan, pentingnya

ilmu sosial dalam memahami soal sosial keagamaan dan politik Islam. Hingga sampai

saat ini, Fachry mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran Islam dan politik di

Indonesia. Maka dari itu, ia selalu mengamati dan mengkritisi kinerja pemerintahan

di Indonesia.

B. KARYA TULIS ILMIAH

Sebagai seorang intelektual, Fachry tergolong sebagai tokoh yang produktif

menulis karya tulis ilmiah, baik yang berbentuk buku maupun yang berbentuk artikel

yang disajikan dalam sejumlah seminar nasional maupun internasional. Karya-karya

tulis ilmiah Fachry pada umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia dan sedikit saja

yang menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa inggris. Sampai saat ini, Fachry

5
(1) Essai Politik Tentang Habibie (Jakarta: Balai Pustaka, 1998); (2) Gobel, Budaya dan
Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 2001), bersama dengan Imam Ahmad dan kawan-kawan; (3) The Politics of
Central Bank (Jakarta: Lspeu Indonesia, 2003); (3) Defying the Cultural Logic: A Long Story about
Indonesian Democracy (Jakarta: Manuskrip tidak diterbitkan, 2006); (4) Membalik Logika Publik:
Sejarah Sosial CMNP (Jakarta: Lspeu Indonesia, 2007), bersama dengan Kholid Novianto, Budi
Santosa, dan Tawaf T. Irawan; (5) Kalla dan Perdamaian Aceh (Jakarta: Lspeu Indonesia, 2008),
bersama Suharso Monoarfa dan Bahtiar Effendy.
32

sedikitnya telah mempublikasikan sembilan buku karya ilmiahnya dalam bahasa

Indonesia dan dua buku berbahasa inggris dan hanya bebarapa buku saja yang

membicarakan soal politik.

Semua buku tersebut hampir bisa dipastikan sebagian besarnya merupakan

kumpulan tulisan-tulisan Fachry yang dimuat di sejumlah media massa nasional

maupun internasional. Dan hanya beberapa buku saja yang bukan merupakan

kumpulan tulisan. Berikut ini ada beberapa buku yang penulis miliki terkait dengan

politik.

Pada 1984 Fachry Ali menulis buku berjudul Islam, Pancasila dan

Pergulatan Politik. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah ditulisnya

sejak 1970-an sampai dengan 1980-an. Karena merupakan kumpulan tulisan, tidak

mengherankan bila pembaca akan menemukan pikiran dan analisa yang tidak terlalu

konsisten satu sama lain. Meskipun demikian, secara umum terdapat garis konsistensi

tema-tema dari berbagai tulisan ini.

Dalam buku ini semua tulisan berusaha memaparkan masalah-masalah politik

yang dihubungkan dengan agama (Islam) dan Pancasila di Indonesia. Maka dari itu,

kumpulan tulisan ini punya sedikit alasan diterbitkan dalam bentuk buku. Terutama

bila buku ini dikaitkan dengan masalah-masalah politik Indonesia dalam dekade

1980-an, karena pada waktu itu, Pancasila, dasar dan ideologi negara, dijadikan satu-

satunya asas bagi seluruh organisasi sosial dan politik.

Tentu saja kemudian, kadar kualitas dari tulisan yang dibuat pada waktu itu

relatif sukar untuk dipertanggungjawabkan, itu semua dikarenakan hasil refleksi dari

lingkungan kemahasiswaan melalui sebuah forum diskusi. Lagi pula informasi


33

ataupun teori politik yang di peroleh pada waktu itu lebih bersifat sekunder. Dengan

dasar lingkungan yang semacam itu, serta tanpa latar belakang teoritikal sama sekali

penulis mencoba menelaah masalah-masalah politik.

Yang menarik dari buku ini adalah penjelasan di bab ketiga yaitu Pancasila

dan Politik dalam bab ini Fachry menjelaskan masalah yang terkait dengan interaksi

antara Pancasila, agama dan politik di negara Indonesia. Menurutnya, pancasila

sebagai sebuah sistem pemikiran bahkan juga sistem kepercayaan politis, namun di

Indonesia pada kenyataannya saling berhadapan dengan realitas kelompok ataupun

instistusi lain yang mempunyai latar belakang sistem pemikiran yang secara formal

relatif berbeda.

Dalam hal ini, kemudian timbulah masalah-masalah politik ketika pihak

pemerintah yang memiliki kekuasaan dominan berusaha menjadikan satu-satunya

dasar kenegaraan dan asas bagi setiap kelompok masyarakat ataupun organisasi sosial

politik lainnya. Pada bab ini, Fachry berusaha memberikan penjelasan menganai

betapa amat ruginya dunia politik Indonesia, jika peran agama didalamnya menjadi

hilang sama sekali akibat program Pancasilaisasi dunia politik secara menyeluruh.

Padahal nilai tersebut bisa di manfaatkan bagi program pembangunan politik yang

lebih akrab dengan niali-nilai dasar umum yang dikenal masyarakat Indonesia.

Pada 1985, Fachry Ali menulis buku berjudul Mahasiswa, Sistem Politik Di

Indonesia Dan Negara. Buku ini berusaha mendiskusikan beberapa masalah yang

selama ini dianggap krusial: gerakan-gerakan politik mahasiswa, dunia pendidikan,

sistem politik dan negara serta proses pembentukan sosialnya. Pembahasan-

pembahasan di sini berasal dari berbagai makalah-makalah yang disampaikan dalam


34

beberapa kesempatan diskusi dan belum pernah dipublikasikan secara meluas, kecuali

dibeberapa kalangan terbatas.

Meskipun demikian, walau makalah-makalah ini dibuat secara terpisah,

namun, karena masalah yang dibahas secara terpisah dilihat dari perspektif kesadaran

yang realitf sama, maka sedikitnya, konsistensi keseluruhan pembahasan bisa

dipertahankan. Buku ini disajikan dalam tiga bagian utama. Bagian pertama adalah

Gerakan Mahasiswa, Politik dan Pendidikan. Dan bagian kedua adalah

Pembangunan dan sistem Politik. Sedangkan bagian ketiga adalah Posisi Negara dan

Pembentukan Sosial. Ketiga bagian ini saling berinteraksi satu sama lain. Gerakan-

gerakan mahasiswa dipengaruhi oleh sistem politik, selanjutnya sistem politik

dipengaruhi oleh corak negara. Dan perkembangan negara yang "khas"

mempengaruhi semua proses sosial-kemasyarakatan, yang pada ujungnya dalam

konteks dunia mahasiswa, mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa. Dengan

demikian, ketiga bagian yang disajikan dalam buku ini merupakan suatu penjelasan

deskriptif: sekedar sebuah refleksi untuk mengugah atau menyentak kesadaran

proporsional kita bersama dalam gerak perkembangan tak terhentikan ini.

Selanjutnya pada 1986, Fachry Ali bersama Bahtiar Effendy menulis buku

berjudul Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstrusi Pemikiran Islam Indonesia Masa

Orde Baru. Buku ini merupaka analisis sosial-historis mengenai kondisi masyarakat

Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya Islam hingga munculnya dinamika

pemikiran Islam Indonesia. Penyelidikan dilakukan secara hait-hati mulai dari awal

pertautan antara Islam dengan kultur dan kepercayaan masyarakat pribumi sampai

perkembangan selanjutnya di mana muncul pemikiran keagamaan yang menempati


35

mainstream modernis-tradisionalis. Kedua mainstream gerakan pemikiran ini cukup

lama mewarnai perjalanan Indonesia- disertai konflik dan pertentangannya di bidang

sosial, budaya, dan politik baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya

kemerdekaan.

Baru pada masa Orde Baru diketengahkan arah pemikiran Islam Indonesia

dengan melihat para tokoh seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Raharjo,

Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, dan sejumlah tokoh lainnya yang dinilai telah

memudarkan dikotomi kaku antara modernis-tradisionalis. Hal ini disebabkan

kesamaan subtabsial di mana keduanya tidak lagi terjebak pada aspek kecabangan

(furu'iyyah) ajaran Islam tetapi masalah universal kemanusiaan.6

Walaupun pengelompokan pemikiran konvesional seperti di atas masih cukup

terasa, paling tidak, perhatian sejumlah pemikir muda masa Orde Baru menunjukan

kecendrungan yang sama terhadap pertautan pemikiran kemanusiaan universal yang

sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang,

Indonesia dihadapkan pada arus modernisasi, industrialisasi, dan demokratisasi yang

menuntut agar melihat kembali nilai-nilai lama untuk dinyatakan urgensi dan

relavansinya.

Arah pemikiran mereka diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan apakah

pemahaman tentang Islam selama ini telah mampu menjawab berbagai persoalan

kemanusiaan universal, antara dunia yang terus berubah dengan hukumnya yang

profan dengan agama yang suci dan sakral? Bagaimana dampak positif jawaban

6
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 297.
36

mereka terhadap bangsa Indonesia yang ikut merasakan persoalan tersebut? Melalui

pertanyaan ini, para pemikir muda masa Orde Baru mencari fomulasi pemikiran yang

tepat untuk memproyeksikan masa depan umat Islam Indonesia.7

Kemudian pada 1987, Fachry Ali menulis buku berjudul Refleksi Paham

Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Sebuah buku yang menjadi obsesi

penulis, yang dipersiapkan dalam waktu yang lama secara perlahan-lahan, yang

diinspirasikan oleh penulis dalam tulisannya ”Sistem Kekuasaan Jawa dan Stabilitas

Politik” yang dimuat dalam harian Kompas tanggal 2 dan 3 Maret 1984. Buku ini

menjelaskan tentang proses-proses kultural-politik yang bersumber pada sebuah

sistem politik dan kekuasaan tradisional.

Penulis menjelaskan sebuah sistem politik dan kekuasaan yang dominan

adalah sistem kekuasaan Jawa. Setidak-tidaknya dalam konteks pelaksanaan

pembangunan mengandung integrasi dan disintegrasi nilai, sistem politik dan

kekuasaan Jawa. Dalam hal ini, penulis menjelaskan bahwa sistem kekuasaan Jawa

berfungsi sebagai alat untuk mereintegrasikan sistem sosial dan nilai-nilai yang

mengalami disintegrasi, malah menjadi penting di mata elite penguasa. Dalam

konteks pandangan penguasa inilah, kajian yang dibahas dalam buku ini. Suatu usaha

untuk memahami pandangan para elite dan pemegang kontrol politik Orde Baru

terhadap relitas politik di Indonesia.

7
Adi Prayitno, “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy” (skripsi S1 Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 15.
BAB IV

TEMA-TEMA PENTING DALAM PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FACHRY ALI

Indonesia sebagai negara maritim memiliki penduduk yang hampir

80%nya adalah umat Islam, akan tetapi hal ini bukan berarti mengindikasikan

Indonesia sebagai negara Islam. Fachry Ali justru melihat kondisi Islam di

Indonesia sebagai agama yang mudah di terima oleh rakyat Indonesia, karena

melihat sejarah rakyat Indonesia, dimana rakyatnya yang lemah lembut, ramah

tamah, dan cinta akan perdamaian sehingga Islam sebagai agama rahmatan lil

alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang memiliki prinsip-prinsip perdamaian bagi

segenap rakyat Indonesia. 1

Sikap inilah yang menjadi salah satu tolak ukur Fachry Ali dalam

memandang umat Islam Indonesia, Indonesia sebagai negara dengan azas

pancasila dengan sikap yang plularisme. Maka dia, memberikan asumsi bahwa

dengan banyaknya umat Islam di Indonesia tidak perlu menjadikan Indonesia

sebagai negara Islam, akan tetapi yang diperlukan adalah menerapkan nilai-nilai

Islam dalam negara Republik Indonesia.

Kontribusi pemikiran politik Islam Fachry Ali ini telah dipaparkan secara

gamblang dalam karya-karyanya sehingga pemikirannya dapat dibagi menjadi

tema-tema penting terhadap Islam dan kaitanya dengan sosial-politik, diantaranya:

A. Islam dan Transformasi Masyarakat

Transformasi dalam masyarakat terjadi melalui pengenalan unsur baru.

Unsur-unsur baru ini diperkenalkan kepada masyarakat dalam dua cara, yaitu

1
Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 2011.

37
38

dengan penemuan baru (invensi) yang terjadi dalam masyarakat itu dan masuknya

pengaruh dari masyarakat lain.2 Transformasi masyarakat dapat terjadi dengan

sengaja dan memang dikehendaki oleh masyarakat. Sebagai contoh,

diprogramkannya untuk pembangunan supaya yang tidak menyenangkan menjadi

keadaan yang disenangi; kemiskinan diubah menjadi kesejahteraan; budaya

pertanian diubah menjadi budaya industri. Dengan direncanakannya bentuk

transformasi yang disengaja ini manajemennya lebih jelas, karena dapat

diprogramkan dengan melihat perubahan-perubahan yang terjadi.

Sementara itu, transformasi msyarakat yang tidak disengaja dapat terjadi

karena pengaruh dari dalam masyarakat itu sendiri ,maupun pengaruh dari luar

masyarakat. Misalnya dengan masuknya teknologi baru selalu mempunyai

pengaruh tidak disengaja terhadap masyarakat. Untuk transformasi yang tidak

disengaja maka sulit ditentukan manajemennya, karena jalannya proses tidak bisa

diantisipasi, juga tidak jelas proses transformasi itu akan berakhir dan berapa

cepat atau lama. Perubahan-perubahan akibat dari transformasi tidak disengaja

menimbulkan kegoncangan sosial dalam masyarakat. Namun pada akhirnya

masyarakat akan sampai pada suatu stabilitas sosial baru, karena masyarakat tidak

bisa dalam keadaan ragu terus menerus.

Kata transformasi berasal dari bahasa latin “transformare”, yang artinya

mengubah bentuk. Transformasi adalah “perubahan bentuk atau struktur,

(konversi dari suatu bentuk kebentuk yang lain)”.3 Terjadinya transformasi itu

timbul dari kajian historis, yang menyimpulkan bahwa selama kurang lebih dua

2
Adham Nasution, Sosiologi (Bandung: Pustaka Alumni, 1983), h. 155.
3
Kamus besar bahasa Indonesia
39

atau tiga abad terakhir telah terjadi perubahan fundamental dari masyarakat

agraris-tradisional ke masyarakat industrial modern.

Perkembangan yang menarik buat masyarakat Nusantara adalah bahwa

lambat laun ciri agrarisnya menjadi jauh lebih menonjol dibandingkan dengan ciri

baharinya. Menonjol atau dominanya ciri agraris ini besar sekali pengaruhnya

terhadap bentuk kerajaan, sistem kekuasaan, dan corak keagamaan

masyarakatnya. Dan dengan sendirinya pula mempengaruhi struktur sosial yang

berkembang di masa itu.4 Proses transformasi ini menjadikan situasi politik

Indonesia berpengaruh juga terhadap Islam karena masyarakat Indonesia yang

mayoritas Islam.

Bahkan Menurut Fachry Ali, pengaruh agama Hindu-Budha di masa itu

terhadap pengorganisasian politik, ekonomi, sosial dan keagamaan ini merupakan

aspek terpenting proses internasionalisasi.5 Karena dari sinilah kita melihat

munculnya berbagai bentuk organisasi kekuasaan politik, sosial, ekonomi yang

diwujudkan dengan lahirnya kerajaan-kerajaan. Mulai dari kerajaan Kutai di

Kalimantan, Tarumanegara, kerajaan-kerajaan Melayu dan Sriwijaya, Mataram

lama dan bergabagai kerajaan di Bali, sampai lahirnya kerajaan Majapahit. Atau

bisa dikatakan bahwa, pada dasarnya, agama-agama itulah yang memberi dasar

bagi pembentukan sistem sosial politik dan ekonomi di Nusantara.6 Sehingga

keadaan geografis dan wilayah yang dimiliki oleh bangsa ini, telah membentuk

keragaman dan perbedaan struktur masyarakatnya.

4
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran
Islam Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1990), h. 17.
5
Masuknya agama-agama itu memang telah mentransformasikan aspek keagamaan
masyarakat Nusantara. Dari ajaran-ajaran animisme dan dinamisme yang tidak berbentuk atau
berstruktur ke arah ajaran-ajaran agama yang lebih berbentuk dan berstruktur.
6
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, h. 19.
40

Namun dalam hal lain antara Islam dan transformasi masyarakat tidak

terlepas dari hukum Islam di Indonesia misalnya, diundangkannya UU No.1/1974

tentang Perkawinan, peranan elite Islam cukup dominan dalam melakukan

pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan

No.1/1974 dapat dikodifikasikan,7 yang telah mengalami pasang surut seiring

dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik

semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses

pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami

perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik

maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman

pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam

sudut aplikasinya. M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara pandang yang

berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat

jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan

Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.8

Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam

proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam

sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana

stigma hukum yang beriaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan

hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum

Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam

7
Amak F.Z, Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976), h. 35-
48.
8
M. Atho Muzhar. Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum
Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: A1-Hikmah dan Ditbinbapera Islam,
1991), h. 21-30.
41

struktur hukuin nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni

hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi

Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam

supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga

terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara

yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adat rechts

politiek).9 Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite

politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik

Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang

bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.

Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij

al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elit politik

Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan

elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara.

Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi masyarakat Indonesia,

serta menjadikannya agama utama bangsa ini, merupakan suatu prestasi yang luar

biasa. Hal itu, terutama, jika dilihat dari segi geografis, di mana jarak Indonesia

dengan negara asal Islam, jazirah Arab, cukup jauh. Kini Islam relatif telah

berkembang di seluruh kepulauan Indonesia. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa

masyarakat Indonesia sepenuhnya menerima Islam.10 Sebagaimana di dunia Islam

9
Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika
Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang
mempunyai konsekwensi hukum, lihat Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat
Di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 38.
10
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, h. 28.
42

pada umumnya, proses Islamisasi tetap berlanjut dan pada kenyataannya hal itu

merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai.

Sehingga Fachry Ali pun mengatakan adanya transformasi ini

mempengaruhi pola sosial-politik bahkan hukum di Indonesia, sehingga banyak

perundang-undangan yang didalamnya berupa aturan untuk umat Islam Indonesia.

Adanya transformasi ini menjadikan kaum intelektual Islam di Indonesia mencita-

citakan sebuah tatanan mayarakat Islam Indonesia, menjadi masyarakat madani.

Maka Fachry Ali sebagai salah satu intelektual Islam sering menulis kaitan antara

Islam dan masyarakat madani.

B. Islam dan Masyarakat Madani

Masyarakat madani merupakan bentuk Indonesia dari istilah bahasa

Inggris civil society yang memiliki kandungan makna bagaimana sebuah negara

itu harus berlaku kepada masyarakat yang dinaunginya. Secara umum cita-cita

ideal dari masyarakat madani adalah memberikan sesuatu yang terbaik kepada

warga masyarakat yang berada di dalamnya.

Namun istilah madani sendiri diterjemahkan dari bahasa Arab yaitu, al-

mujtama’ al-madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas, seorang ahli

sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Institute of Islamic

Thought and Civilization). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab).

Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari,

tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada

hal-hal yang ideal dalam kehidupan.11

11
Ismail SM, Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani,
dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),h. 180-181.
43

Sebelumnya, pada zaman Yunani kuno sudah dikenal dengan societies

civilis, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Civil society

dimaksudkan mencegah lahirnya pemerintahan otoriter melalui kontrol dari

masyarakat.12 Sementara itu, umat Islam menerjemahkan kata civil society dengan

masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad

SAW di Madinah. Karena ciri-ciri kehidupan yang ideal pada masa Nabi

Muhammad SAW dianggap sebagai proto-masyarakat modern.13 Hal tersebut

merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas sesuai dengan hukum

dialektika. Dialog tersebut bersifat aktif karena Barat mengembangkan konsep

civil society tersebut berdasarkan sejarah awal Islam.

Fachry Ali juga menambahkan, bahwa konsep masyarakat madani ini telah

dikenalkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri dimana beliau menampilkan

peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan

batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. 14

Menarik diperhatikan keterlibatan para tokoh15 dalam diskursus tentang

civil society yang berkembang di tanah air belakangan ini. Seperti kita ketahui,

wacana civil society berkembang di Indonesia sepanjang tahun 90-an. Hal ini

12
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan(Civic Education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 243.
13
Hamim Thoha, Islam dan Civil society (Masyarakat Madani): Tinjauan tentang Prinsip
Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance, dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti,
Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
115-127.
14
. Wawancara pribadi dengan Fachry Ali, Jakarta, 10 Mei 2011
15
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy bersama M. Dawam Rahardjo, M. Amin Rais,
Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Maarif, Adi Sasono, AM. Saefuddin, Endang
Saifuddin Anshari dan Imaduddin Abdurrahim. Termasuk Nurcholis Madjid dan Abdurrahman
Wahid mereka masing-masing intelektual muslim tersebut oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy
dikelompokkan ke dalam empat tipologi pemikiran, yaitu: neo-modernisme, sosialisme-demokrasi,
internasionalisme-universalisme, dan modernisme Islam yang mana dari keempat tipologi
pemikiran itu membicarakan diskursus tentang civil society, lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,
Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru
(Bandung: Mizan, 1986), h. 297.
44

dibuktikan dengan maraknya forum-forum ilmiah seperti seminar, diskusi, dan

lokakarya yang memperbincangkan konsep civil society. Menariknya lagi, konsep

ini tidak hanya dibicarakan oleh masyarakat, melainkan juga oleh kalangan

birokrat. Padahal, munculnya konsep ini justru dimaksudkan sebagai kritik

terhadap otoritas realisme kekuasaan birokrasi seperti terjadi pada zaman Orde

Baru.

Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim

mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya

mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada

abad ke-18 dengan pelopornya Jhon Locke atau Thomas Hobbes. Konsep

masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good

government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa

Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.

Salah satu buktinya adalah saat reformasi. Menurut Fachry Ali, runtuhnya

negara Orde Baru lebih disebabkan kekuatan civil society, dalam hal ini NU dan

Muhammadiyah. Rontoknya Orde Baru karena peran besar NU dan

Muhammadiyah. Saat itu, kata Fachry, dua kekuatan tersebut menyatu melawan

kekuatan negara. NU yang merupakan kelompok santri dan masyarakat pedesaan,

memunculkan tokoh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kemudian

Muhammadiyah yang merupakan kalangan kelas menengah ke bawah perkotaan

memunculkan Amien Rais. Mereka bersatu sebagai kekuatan extra state melawan

kekuasaan negara, terangnya.16

16
Fachry Ali, “Pendidikan Kunci Utama Kebangkitan Bangsa Indonesia,” artikel diakses
pada 6 Juli 2011 dari
http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/4484/Warta/Pendidikan_Kunci_Utama_Kebangkitan_Bang
sa_indonesia.html
45

Terlepas adanya kelemahan sebagai suatu kewajaran dari proses transisi

menuju real democracy, perlu ditegaskan sekaranglah momen yang tepat bagi

bangsa Indonesia untuk mengkonstruksi kembali dasar-dasar atau paradigma

dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, gagasan

civil society patut mendapatkan apresiasi dan elaborasi secara memadai, karena

dilihat dari kandungan maknanya yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam

merekonstruksi relasi antara masyarakat (society) dengan negara (state).

Hampir semua kalangan yang terlibat dalam diskursus intelektual

mengenai civil society sepakat terhadap adanya potensi tersebut. Tidak

mengherankan bila belakangan terjadi perkembangan yang cukup menarik, yakni

civil society tidak lagi sekedar dijadikan sebagai bahan perbincangan yang bersifat

teoritik, tetapi juga ditindaklanjuti melalui pembentukan institusi-institusi sosial

yang berbasis Lembaga sosial Masyarakat (LSM).

C. Islam dan Ideologi Negara

Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1)

ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi

dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.17 Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu

sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan

ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada

kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya.

Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang

berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

17
Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta: Kanisius, 1992), h. 230.
46

Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah

keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial

atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara

yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti

netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.

Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya

digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran

yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu

ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-

pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.

Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan

ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai

dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya

dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan

Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.

Perjalanan sejarah pembentukan ideologi dan wawasan kebangsaan

Indonesia (Keindonesiaan) yang mengalami dinamika cukup pelik dan rumit,

betapa ramainya arus lalu lintas di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,

pancasila sebagai nilai tunggal yang universal serta mewakili setiap nilai-nilai

yang ada pada setiap suku bangsa Indonesia harus mendapat prioritas utama untuk

dikembangkan. Akan tetapi agama dan nilai-nilai masyrakat harus juga

diperkembangkan, bersamaan dengan memperkembangkan nilai-nilai pancasila

itu sendiri.18

18
Fachry Ali, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), h.
191.
47

Menurut hemat penulis, telah berhasil melahirkan suatu sintesis ideologi

negara yang khas Indonesia, yaitu nasionalisme yang berketuhanan. Maksudnya,

nasionalisme yang dapat hidup dalam taman sari internasionalisme, yang

mengakui adanya kedaulatan rakyat dan mencita-citakan terwujudnya sebuah

keadilan sosial. Itulah, wujud dari relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan

kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang

dihadapi negara-bangsa Indonesia.19

Ada beberapa asumsi dasar yang melandasai pemikiran ini. Pertama,

filsafat pancasila dan ideologi pancasila pada dasarnya mengandung hal-hal

mendasar dan principal tentang peri kehidupan bangsa. Oleh karena itu sifat

pemikirannya bersifat abstrak. Kedua, karena pancasila harus direalisasikan dalam

kehidupan yang sebenarnya, maka dengan sendirinya ia harus terbuka dengan

kenyataan-kenyataan kehidupan. Ketiga, oleh karena itulah, filsafat dan ideologi

pancasila harus di fahami dan dihayati dalam dua dimensi dasar. Yaitu, disamping

bersifat abstraktif ia juga bersifat reflektif dan pragmatis. Dalam konteks ini titik

tekan pembahasan pada asumsi kedua.20

Menurut Fachry Ali, refleksi merupakan suatu metode yang tepat, untuk

merealisasikan pancasila dalam kehidupan yang sebenarnya dan dapat dipakai

sebagai cara dan sarana meninjau kenyataan-kenyataan budaya dalam usaha

menjabarkan norma-norma yang mampu melandasi serta mengarahkan kehidupan

bernegara, dengan menyajikan nilai-nilai fundamental yang tepat dan relevan

untuk diintergrasikan ke dalam kesatuan ideologis pancasila, terutama dalam

mengadapi tantangan zaman sekarang. Dengan refleksi semacam itu diharapkan


19
J. Kartini Soedjendro, "Kebangsaan dalam Arus Liberalisme," Suara Merdeka, 18 Juli
2006.
20
Fachry Ali, Islam, Pancasila, h. 192.
48

pancasila benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai dasar ideologi

negara.21

Karena Fachry Ali telah mengamati, mengkritik dan mencoba memberikan

solusi terhadap perjalanan ideologi negara ini sejak zaman Orde Lama, Orde Baru

hingga era Reformasi sampai saat ini, menurutnya masalah yang dihadapi bangsa

Indonesia adalah sesuatu yang dinamis. Dinamika ini ditandai oleh terdapatnya

hubungan erat antara agama dan pancasila yang selalu berbenturan dewasa ini

dengan permasalahan yang terjadi di masa lalu.

Secara historis ketegangan Pancasila dan Agama terjadi sejak negara ini

berdiri. Distorsi (penyimpangan) Pancasila pada waktu itu lebih pada dominasi

multitafsirnya. Demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin yang bertentangan itu,

sama-sama bernaung dalam demokrasi Pancasila. Pada masa Orde Baru Pancasila

banyak mengalami inkonsistensi, cenderung menggeser peran agama (pseudo

agama) dan berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan. Asas-tunggal yang diterapkan

pada tahun dekade 80-an, telah berhasil mengakhiri “ketegangan” hubungan

antara Agama dan Pancasila. Sayangnya karena prosesnya bersifat indoktrinasi

dan bukan atas dasar adanya “kebutuhan bersama”, membuat relasi harmoni itu

sangat pendek umurnya. Pada masa pasca-reformasi merupakan periode yang

paling rentan terhadap eksistensi Pancasila. Pancasila telah kehilangan energi

untuk mensosialisasikan dirinya. Pancasila telah kehilangan kesaktiannya sebagai

referensi tindakan bernegara dan berbangsa. Bahkan dalam kadar yang terbatas,

Pancasila telah kehilangan dukungan.

21
Ibid., h. 201.
49

Pancasila memang telah lahir pada 1 Juni 1945. Akan tetapi, menurut

Fachry Ali gagasan-gagasan yang tumbuh dalam kecamuk dan dinamika revolusi

nasional 1945-1949 hingga saat ini yang mengukuhkan kedaulatan Indonesia

secara politik? Menurutnya, lebih menekankan pada ide sosialisme,

antiimperialisme dan nasionalisme. Dan, dengan berharap saya yang keliru

(Fachry Ali), kata pancasila baru muncul, kembali dalam pidato Presiden

Soekarno pada 17 Agustus 1951, seperti yang dikompilasikan Herbeth Faith dan

Lance Castles dalam Indonesian Political Thinking.22

Jadi menurutnya, perekat kuat keindonesiaan dalam revolusi nasional yang

decisive itu adalah keterpesonaan rakyat Nusantara terhadap Indonesia sebagai

sebuah konsep kebangsaan yang ditebar Soekarno-Hatta dan disosialisasikan lebih

lanjut oleh organisasi sosial-politik dan keagamaan.23

Dengan pengalaman sejarah ini, sebelum mampu menciptakannya sebagai

wahana efektif dan fungsional bagi kehidupan modern Indonesia, yang pertama

harus dilakukan terhadap Pancasila adalah memberikan unsur religiositas ke

dalam pemahamannya. Bukan sebaliknya, dengan membuatnya kian “sekuler”.

Mengambil perbandingan dengan aliran-aliran agama, semangat religiositas inilah

yang menyebabkan mengapa nilai-nilai kemuhammadiyahan dan ke-NU-an

survive hingga kini.24

Fachry Ali juga menyatakan bahwa Islam tidak identik dengan ideologi

tapi ajaran Islam sebagai nilai-nilai yang patut untuk direalisasikan. Sedangkan

22
Fachry Ali, “Religiositas Pancasila,” Republika, 3 Mei 2011.
23
Ibid.
24
Ibid.
50

posisi Islam bila dikaitkan dengan ideologi, maka akan banyak terjadi benturan-

benturan dengan azas negara kita.25

C. Islam dan Budaya Lokal

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima

akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan

norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain.

Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu

diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas

budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan

great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut

dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi lokal) atau juga

Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam. 26Budaya

menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil

kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia

dengan belajar.27

Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari

proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif

pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu

faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.28

Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang

berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu

25
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam : Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung : Mizan, 1988), h. 178.
26
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 13.
27
Koentjaraningrat, Pokok-Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Penerbit Universitas,
1980), h. 170.
28
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 13.
51

agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di

Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara

pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam

yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuat dengan

yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan

Hinduisme di India, Buddhisme di Thailand dengan yang ada di Indonesia. Jadi

budaya juga mempengaruhi agama.

Jadi ada pluralisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi

karena manusia sebagai homoreligiosus29 merupakan insan yang berbudidaya dan

dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata

nilai baru berdasarkan inspirasi agama. Jika kita teliti budaya Indonesia, maka

budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi,

Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.30 Dalam hal ini penulis akan menjelaskan

budaya agama Islam.

Agama Islam telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib

kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima

waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan

yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada

pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam

pembentukan budaya bangsa.

29
Istilah ini dikemukakan oleh bapak Mircea Eliade — seorang antropolog sekaligus
filsuf yang pertama kali mengetengahkan gagasan tentang manusia sebagai “makhluk religius”
(Homo religiosus). Disebut seperti itu karena manusia sejak zaman purba cenderung mengikatkan
diri pada kesakralan. Mulai dari menetapkan tempat sakral; waktu-waktu sakral, sampai ritual
yang juga sakral.
30
Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1998), h. 77-79.
52

Proses akulturasi antara Islam dan Budaya lokal ini kemudian melahirkan

apa yang dikenal dengan lokal genius, yaitu kemampuan menyerap sambil

mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing,

sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di

wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain lokal genius

memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar;

mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai

kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki

kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya

selanjutnya.31

Sementara itu, pernyataan Fachry Ali mengenai hubungan antara Islam

dan budaya lokal dalam hal ini budaya Betawi telah memperkuat pernyataan-

pernyataan sebelumnya yang diajukan para peneliti budaya (Betawi) maupun

budaya yang lain dan mengukuhkan Islam sebagai identitas tunggal dan total

masyarakat Betawi. Menurutnya, Islam dan mayarakat Betawi yang tidak dapat

dipisahkan. Membahas masyarakat Betawi berarti membahas Islam. Ia

menyatakan, apa jadinya masyarakat Betawi tanpa Islam?. 32

Karena, Islam sebagai sumber utama dan rujukan bagi pembentukan

kebudayaan (Betawi). Fachry Ali kembali menegaskan, identiknya dengan Islam

telah menjadi ciri khas budaya lokal (Betawi) yang dikenali dan diakui bahkan

amat ditekankan dan ditegaskan oleh para penulis ataupun pengamat budaya

Betawi baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

31
Soerjanto Poespowardoyo, Pengertian Lokal Genius dan Relevansinya Dalam
Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (lokal genius)”(Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 28.
32
Fachry Ali, Arti Islam Bagi Masyarakat Betawi, pada Semiloka Kebudayaan Betawi,
Sabtu, 26 Juni 2010.
53

D. Islam dan Aktualisasi Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam

masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya

dalam negara.Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai

definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.33

Islam dan politik adalah dua suku kata yang sangat familiar. Dalam diskusi

dan kajian politik keduanya sering hadir secara bersamaan. Kedua istilah ini

mampu menyedot perhatian para intelektual untuk membahasnya. Sebagian orang

malah melabelkan Islam untuk dipasangkan dengan kata politik Islam. Kedua

variabel ini tampak saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Seperti

ungkapan Fachry Ali ini seorang politikus non agama akan melihat agama sebagai

sarana dan instrument untuk mencapai maksud-maksudnya. Sebaliknya seorang

agamawan berpendapat bahwa politik adalah sarana potensil pengembangan

agama.34

Sudah saatnya sekarang, modus baru struktur politik harus diciptakan

supaya tidak mengalami paradoksiasi (pertentangan) dengan pertumbuhan

agama-agama yang ada. Seperti yang dikatakan Fachry Ali, bahwa kebangkitan

bangsa adalah sebuah unfinished noble project (proyek mulia yang belum

terselesaikan). Penamaan proyek mulia menurut Fachry Ali demi untuk semangat

kebangkitan bangsa ini justru berangkat dari kesederhanaan hidup dan pemikiran

Wahidin Sudiro Husodo, pendiri Budi Utomo. Jika kita simak dari harapan-

harapan sederhana tokoh pendiri Budi Utomo ini, maka sesunguhnya makna dari

33
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 8-9.
34
Fachry Ali, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984),
h. 2.
54

kebangkitan nasional adalah pembangunan sistem demokrasi secara total: secara

politik, ekonomi, sosial dan budaya. Apa yang telah berhasil kita raih hingga hari

ini masih merupakan bagian kecil dari tujuan itu, yaitu demokrasi politik.

Sementara gejala demokrasi ekonomi dan sosial-budaya masih sangat jauh dari

mata. Dan dilihat dari konteks ini, Fachry Ali tidak terlalu keliru jika ia

menganggap bahwa kebangkitan nasional adalah the unfinished noble project

(proyek mulia yang belum selesai).35

Fachry Ali melihat hubungan antara Islam dan aktualisasi politik ditandai

dengan adanya sebuah gerakan mahasiswa yang sangat erat terkait dengan suatu

sistem politik, menurutnya semakin longgar suatu sistem politik, akan semakin

pasang pula gerakan mahasiswa, khususnya gerakan politiknya. Sebaliknya,

semakin ketat suatu sistem politik, biasanya selalu diikuti oleh surutnya gerakan-

gerakan politik mahasiswa. Dengan demikian, hubungan antara gerakan-gerakan

mahasiswa dan sistem politik terjalin dengan erat. Akan tetapi, sistem politik itu

sendiri amat ditentukan oleh corak sebuah negara. 36

Karena, dalam masyarakat-masyarakat pluralis, di mana negara dianggap

sebagai lapangan kekuasaan yang terbuka. Dan karena itu setiap orang yang bisa

memiliki akses untuk masuk kedalamnya—sebuah negara bukanlah suatu faktor

yang sangat menentukan. Karena negara berperan sebagai faktor yang paling

utama dalam mempengaruhi corak dan bentuk masyarakatnya. Dalam konteks ini,

faktor negara meliputi seluruh proses-proses politik. Di sini aktualisasi artikulasi

politik massa tidak selalu signifikan. Sebab negara menjadi lebih kuat

35
Fachry Ali, The Unfinished Noble Project: Kebangkitan Bangsa, Politik – Ekonomi
Negara dan Globalisasi, dalam kuliah umum Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang 5 Juni
2008.
36
Fachry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara (Jakarta: PT. Inti
Sarana Aksara, 1985), h. x.
55

dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan yang berada diluarnya. Karena itu, ia

bisa mempengaruhi sistem politik dalam masyarakatnya. Makanya dalam konteks

ini sistem politik menjadi ketat. Dalam arti, unsur regulasi yang monoton, Fachry

Ali pun memberikan solusi yaitu, harus ada penekanan daripada refleksi dan

proses. Refleksi dan proses, sebenarnya menandai adanya gejala aktualisasi

politik dan kekuasaan dari kekuatan-kekuatan di luar negara.37

Dengan demikian, penekanan yang kuat atas regulasi politik yang

monoton—untuk gejala ini dikenal di negara kita sebagai “stabilitas politik dan

keamanan”—meniadakan wadah bagi refleksi dan proses perkembangan politik.

Dari perspektif inilah kita memahami mengapa suatu sistem politik di dalam

masyarakat yang semacam ini relatif gagal menciptakan sistem politik yang

refleksif.

Oleh karena itu, kebijaksanaan rancangan sistem politik yang ada di

Indonesia harus dijalankan sejajar dengan perkembangan/pertumbuhan

keagamaan di Indonesia. Bukan saja perkembangan/pertumbuhan Islam, akan

tetapi juga mencakup agama-agama lainnnya. Tanpa ketinggian kesadaran

berpolitik dan beragama, maka perancangan sistem politik serta

penggelembungan jargon-jargon politik justru mematikan pertumbuhan agama di

Indonesia. Sudah saatnya sekarang, modus baru struktur politik harus diciptakan

supaya tidak mengalami paradoksiasi dengan pertumbuhan agama-agama yang

ada. Jadi, struktur politik yang diharapkan adalah struktur politik murni dan

bersifat kekinian untuk proyeksi masa depan. Tidak sebaliknya, yang melulu

37
Ibid, h. xi.
56

bertumpu pada nostalgia peristiwa yang dipolitisir, sehingga memberikan image

solah-olah kondisi politik sekarang adalah perwujudan dosa turunan.38

F. Analisis Pemikiran Politik Islam Fachry Ali

Pandangan-pandangan Fachry Ali cukup memberikan harapan bagi

bersemainya pemikiran politik Islam secara ringkas, padat dan jelas. Yaitu sebuah

pemikiran politik yang tidak memposisikan Islam dengan melihat berbagai

fenomena terkait keagamaan Islam dan sejumlah persoalan sosial-politik yang

berkembang di Tanah Air, tetapi terintegrasi melalui nilai-nilai universal Islam

dan bukan melalui legal-formalnya (hukum Islam). Gagasan-gagasanya dengan

analisis yang tajam dan didukung dengan data yang akurat membuat ia layak

ditempatkan sebagai pemikir terkemuka di negeri ini mengenai pemikiran politik

Islam.

Namun demikian, sebagaimana layaknya seorang pemikir, bukan berarti

gagasannya tanpa kelemahan. Kelemahannya terletak pada penjelasannya yang

kurang tegas antara politik, Islam dan masalah sosial lainnya. Di hampir semua

kesempatan dalam karya-karyanya, ia jarang sekali membatasi kesemuanya secara

tegas, terutama menyangkut definisi dan sering menempatkan posisi terhadap

kasus-kasus sosial-politik yang terjadi sebagai entitas yang sama. Padahal,

ketepatan analisa ataupun kecenderungan ideologis atau apapun yang mempunyai

peran dan fungsi yang berbeda. Di atas segalanya itu, Fachry Ali telah

memperlihatkan kesungguhan seorang pengamat dan pemikir muda dalam

mengerti dinamika masyarakat bangsanya. Maka dalam hal ini, kelihatan pulalah

bahwa ia sama sekali tidak melapaskan dirinya dari kesemuanya itu. Dengan jelas

38
Fachry Ali, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), h.
2-7.
57

pula terlihat bahwa ia dengan sadar menempatkan dirinya sebagai seorang pemikir

yang bertanggungjawab dari masyarakat bangsa yang kini tengah mengalami

proses perubahan.

Tidak hanya itu, dari kompleksitas kepribadian inilah, Fachry Ali

terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari

kritik pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi

Islam, penjagaan budaya, sistem politik demokratis. Oleh karena itu, di sinilah

sebenarnya letak relevansi perdebatan berbagai fenomena terkait keagamaan

Islam dan sejumlah persoalan sosial-politik yang terus dibicarakan.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penjelajahan secara singkat dan padat terhadap

pemikiran Fachry Ali di bab-bab terdahulu, pada momen ini sudah saatnya untuk

menarik kesimpulan dari berbagai gagasan Fachry Ali menyangkut sosial-politik

Islam. Dari eksplorasi yang cukup jauh, namun ringkas itu, memang tidak secara

eksplitif (tegas) ditemukan pemikiran Fachry Ali tentang hubungan yang ideal

antara Islam dan sejumlah persoalan sosial-politik yang berkembang di Tanah Air.

Walaupun Fachry Ali memang bukan pembuat kerangka politik Islam yang

konkrit, namun ia telah menunjukkan tekadnya untuk memasukkan politik Islam

dalam kehidupan politik Indonesia. Apa yang dikemukakan dalam bab-bab

sbelumnya merupakan item-item yang diambil dari sari-sari pemikiran Fachry Ali

dalam politik Islam. Memang selalu saja ada kritik, tetapi sebetulnya Fachry Ali

adalah seorang pemikir yang konsisten.

Ada dua hal penting yang bisa disampaikan dari pemikiran Fachry Ali

tentang berbagai fenomena terkait keagamaan Islam dan sejumlah persoalan

sosial-politik yang berkembang di Tanah Air, dan keduanya saling terkait satu

sama lain. Pertama, pemikiran Fachry Ali dilahirkan adalah era

developmentalisme (sebagai paham pembangunan yang bermula dari ideologi

kapitalisme) yang merupakan varian ekonomi-politik seperti pada rezim Soeharto

dari agenda modernisasi. Kondisi politik saat itu memang dilematis, akibat

strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba). Namun, kondisi tersebut

ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah tersembunyi), yakni

58
59

terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan

pemikiran Islam.

Kedua, Pemikiran politik Fachry Ali juga berangkat dari paradigma

pembaruan sosial. Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan

modernisasi, bukan dari ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari

potensi internal rakyat. Satu hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan

pembangunan yang memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi

masyarakat. Makanya, dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang

sering muncul adalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai

modernitas yang hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah,

serta siapa agen perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai

proyek kemajuan.

Dengan demikian, Fachry Ali melalui keberanian dan kejujurannya

sebelum orang bisa bicara tentang kemampuan teori dan teknis dalam

mempelajari serta menganalisa berbagai gejala dan peristiwa politik di saat sistem

politik sedang berada dalam tahap pemantapannya. Namun, pada posisi itulah

Fachry Ali menunjukan kemampuan intelektualnya dalam menganalisa sosial

politik yang terjadi di Indonesia.

Dalam konteks yang lebih spesifik, hubungan yang mulai integratif ini

setidaknya ditunjukan oleh landasan teologis politik Islam; tujuan politik Islam;

dan pendekatan politik Islam yang sudah diformat. Secara baru dengan

memperluas basis perjuangannya. Basis perjuangannya tidak hanya

diperioritaskan pada parlemen sebagai panggung artikulasi, tetapi mulai diperluas

ke seluruh ranah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.


60

B. Saran-saran

Di penghujung studi ini, sepertinya perlu juga untuk melampirkan

sekelumit saran-saran dalam rangka memperbaiki pola pemikiran Islam tentang

berbagai fenomena terkait keagamaan Islam dan sejumlah persoalan sosial-politik

di masa depan. Hal ini penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan

antara fenomena keagamaan Islam dengan persoalan-persoalan politik yang

tentunya hanya membuat komunitas politik Islam semakin tidak produktif.

Dan tentunya, berkaitan dengan skripsi ini penulis mengharapkan saran

dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada.

Selain itu penulis sendiri sadar bahwa karya ini merupakan buah pertama dari

proses panjang pendewasaan intelektual penulis, sehingga masih sangat

dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.

Sebaliknya, kini dan nanti, komunitas politik Islam perlu memelihara dan

menggembangkan hubungan dengan sejumlah persoalan sosial-politik terkait

dengan fenomena kegamaan Islam. Agar komunitas politik Islam bisa

berkontribusi secara menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan kenegaraan dan

kebangsaan yang sekarang sedang dipertaruhkan. Wallahu ’alam.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry. Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi


Dalam Islam Indonesia. Jakarta: Risalah Gusti, 1996.

---------., Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik. Jakarta: Pustaka Antara, 1984.

---------., Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara. Jakarta: PT. Inti
Sarana Aksara, 1985.

---------., “Religiositas Pancasila,” Republika, 3 Mei 2011.

---------., “Pendidikan Kunci Utama Kebangkitan Bangsa Indonesia,” artikel


diakses pada 6Juli 2011 dari
http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/4484/Warta/Pendidikan_Kunci_Uta
ma_Kebangkitan_Bangsa_indonesia.html

Alfian, M. Alfan. “Islam Politik PPP,” Republika, 17 Desember 1998.

Andito. Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta:


Paramadina, 1999.

Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan
Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986.

Abdilah, Masykuri. “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah


Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern.” Taswirul Afkar, no. 7
(Jakarta, 2000), h. 98.

61
62

Ahmad, Zainal Abidin. Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam al-Ghazali.


Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Biografi Fachry Ali yang ditulis dalam bukunya Islam, Pancasila, dan Pergulatan
Politik.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama, 2006.

Djazuli, Ahmad. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-


rambu Syari’ah. Bogor: Prenada Media, 2003.

Effendy, Bahtiar, dkk. Agama Dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina.
1996.

Effendy, Bahtiar. “Integrasi Studi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial.”Kompas,16


Desember 2009.

Esposito, Jhon. L. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas. Bandung: Mizan, 1984.

Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:


Gaya Media Pratama, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Koentjaraningrat, Pokok-Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbit Universitas,


1980.

Latno, Rukito. Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia. Jakarta:
INIS, 1998.
63

Mahfuds, Hanifudin. ”Mengharap Demokrasi di Indonesia Ditata Ulang,”


Majalah Dinamika, Edisi 05/tahun II, Mei 2009.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam& Politik: Upaya Membingkai Peradaban.


Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999.

Muzhar, M. Atho. Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran


Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II. Jakarta: A1-
Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991.

Nasution, Adham. Sosiologi. Bandung: Pustaka Alumni, 1983.

Nurkhaim, Mohammad.” Islam Responsif: Agama di Tengah Pergulatan Idiologi


Politik dan Budaya Global.” Skripsi S1 Universitas Muhammadiyah
Malang, 2005.

Prayitno, Adi. “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy.” skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.

Poespowardoyo, Soerjanto. Pengertian Lokal Genius dan Relevansinya Dalam


Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (lokal genius)”. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986.

Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani, 2002.

Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003.

Salim, Abdul Muin. Fiqih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
64

Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam. Jakarta: PT.


Grasindo, 2003.

Suseno, Franz Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius, 1992.

SM, Ismail. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat


madani, dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.

Soejendro, J Kartini. , "Kebangsaan dalam Arus Liberalisme," Suara Merdeka, 18


Juli 2006.

Santoso, Listiono. Teologi Politik Gus Dur. Jogjakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta, 2004.

Smith, Donald Eguene. Agama dan Modernisasi. New Heaven: Yale University
Press, 1974.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Jakarta: UI-Press, 1990.

Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik: Era Orde Baru. Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 2001.

Taranggono, Eko. “Islam dan Demokrasi,” artikel ini diakses pada pada 6 Juli
2011 dari
http://jurnalushuluddin.files.wordpress.com/2008/03/islamdemokrasi.pdf

Thoha, Hamim. Islam dan Civil society (Masyarakat Madani): Tinjauan tentang
Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance, dalam Ismail
65

SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan


Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan(Civic Education): Demokrasi,


Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media,
2005.

Voll, John Obert. Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern.
Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

Wawancara pribadi dengan Fachry Ali.


Jakarta, 10 Mei 2011.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1

DAFTAR ISTILAH

Integrasi Penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh.


Kontribusi Sumbangan.

Perspektif Pendapat; peninjauan; pengharapan.


Fenomena Suatu fakta atau gejala-gejala; peristiwa yang di nilai lewat kacamata
ilmiah.
Fase Tingkatan; periode; tahap.
Institusi Pendirian suatu lembaga.

Identifikasi Pengenalan; Pembuktian sama.


Doktrin Ajaran.

Fragmen Bagian pengalaman manusia; penggalan cerita.

Sintesa Paduan berbagai pengertian atau hal supaya semuanya merupakan satu
kesatuan yang selaras.
Epistimologis Cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran
pengatahuan.
Universal Sifat yang umum.

Profan Melanggar kesucian (agama); tidak berhubungan dengan agama.

Kolaborasi Berkerja sama.

Paradigma Contoh; tasrif; teladan; pedoman; dipakai untuk menggunakan gugusan


sistem pemikiran; bentuk kasus dan pola pemecahannya.
Tipologi Ilmu pembagian menurut tipe (hal; manusia; bahasa).

Konstruk Konsepsi; rancang; menyusun; membangun melukiskan; memasang.

Representasi Mewakili.

Diktum Ucapan; pernyataan resmi; keputusan.

Plural Banyak. Pluralisme : Beragam.

Sinyalir Menyidik; menyoroti.

Kontemporer Pada masa kini; sekarang; dewasa ini.

Rasionalis Orang yang mengutamakan rasio dalam bertindak atau dalam menghadapi
suatu masalah.
2

Teologis Menurut; berdasarkan teori.

Radikal Keras; tajam (dalam berfikir).

Reorientasi Peninjauan kembali; peninjauan ulang.

Reformis Penggerak perubahan atau pembaharuan.

Sekuler Bersifat keduniaan.

Ideologi Dipakai untuk menunjukan kelompok ide-ide yang teratur menangani


bermacam-macam masalah politik; ekonomi; dan sosial.
Relevansi Hubungan; keterkaitan.

Entitas Eksistensi; wujud/keadaan.

Tiran Penguasa yang memerintah dengan zalim.

Rezim Pemerintahan.

Aspirasi Cita-cita; tuntutan; kehendak.

Progresif Berhasrat maju.

Yuridis Hukum; perundang-undangan.

Konstitusi Undang-undang dasar.

Variabel Sesuatu yang dapat berubah nilainya.

Rasional Masuk akal.

Legitimasi Pembenaran/ pengakuan menurut hukum.

Oposisi Golongan penentang.

Setreotip Gambaran atau anggapan yang bersifat mengejek.

Monolotik Bercorak.

Westernisasi Penyerapan kebudayaan asing.

Sakral Keramat; suci (keagamaan).

Prediksi Ramalan.

Signifikan Mengandung arti penting.


3

Konfigurasi Bentuk wujud.

Krusial Penting sekali.

Konsistensi Ketepatan; kesepakatan; kesesuaian.

Deskriptif Suatu pernyataan atau ungkapan yang mengandung penjelasan.

Urgensi Keperluan yang amat penting dan mendesak.

Konversi Perubahan sistem/pendapat; penukaran.

Interpretasi Penafsiran; perkiraan.

Yuridis Pengadilan; wilayah hukum.

Dialektika Cara berpikir sesuai dengan kenyataan yang ada.

Elaborasi Pengerjaan dengan teliti.

Relasi Hubungan.

Pelik Jarang ada; langka; aneh; ganjil; unik; sukar; rumit; penting; dan patut
diketahui.
Refleksi Praduga; renungan/pemikiran/pertimbangan.

Referensi Rujukan (buku); penunjukan; perintah.

Survive Menyelamatkan; hidup lebih lama.

Akomodasi Persediaan; penyesuaian diri.

Akulturasi Proses pencampuran dua budaya atau lebih.

Adagium Pepatah; peribahasa.

Paradoksiasi Pertentangan makna/arti.

Varian Bermacam-macam.

Depolitisasi Penghapusan kegiatan politik.

Homo religiosus Istilah ini dikemukakan oleh bapak Mircea Eliade — seorang antropolog
sekaligus filsuf yang pertama kali mengetengahkan gagasan tentang
manusia sebagai “makhluk religius” (Homo religiosus). Disebut seperti itu
karena manusia sejak zaman purba cenderung mengikatkan diri pada
kesakralan. Mulai dari menetapkan tempat sakral; waktu-waktu sakral,
sampai ritual yang juga sakral.
4

Anda mungkin juga menyukai