Disusun oleh :
Yudha Daud Pratama
2011730168
Pembimbing :
dr. Amelia Hidayati, Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Mata merah merupakan keluhan utama yang sering muncul pada penderita
penyakit mata. Keluhan mata merah ini bervariasi dari yang ringan sampai yang disertai
penurunan visus. Penulis akan membahaskan tentang penyakit mata merah visus menurun.
Pada mata normal sklera terlihat berwarna putih karena sklera dapat terlihat
melalui bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus sinar. Adanya dilatasi
ataupun bendungan pembuluh darah pada konjungtiva, subkonjungtiva, dan episklera dapat
menyebabkan mata akan terlihat merah. Apabila kondisi tersebut tidak di tangani dengan baik
maka akan terjadi penurunan visus mata yang akan berakhir dengan kebutaan.
Kebutaan dan low vision secara global pada tahun 2010 tercatat sebanyak 285 juta
orang atau 4,2 % populasi manusia dengan 0,58% mengalami kebutaan dan 3,65 % terdapat low
vision.6 Glaukoma menjadi penyebab tersering ketiga terjadinya low vision dan menjadi
penyebab kedua setelah katarak yang dapat menyebabkan kebutaan secara global. Di Indonesia
sendiri juga tidak jauh berbeda. Glaukoma menjadi penyebab kedua kebutaan ( 0,2% dari seluruh
kasus mata) setelah katarak pada tahun 2014.6,7
BAB II
ISI
A. MATA MERAH
Mata merah dapat terjadi karena melebarnya pembuluh darah mata. Melebarnya
pembuluh darah tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu injeksi konjungtiva dan injeksi
siliaris serta injeksi episklera.1,8,10 Meskipun begitu selain pelebaran pembuluh darah, mata
merah dapat juga diakibatkan pecahnya salah satu dari pembuluh darah diantara konjungtiva
yang dapat di sebut perdarahan subkonjungtiva.1
2.A.2Injeksi Siliaris
Melebarnya pembuluh darah perikornea (a. siliaris anterior) terjadi akibat radang
kornea, tukak kornea, benda asing, radang jaringan uvea, glaucoma, endoftalmitis maupun
panoftalmitis.1,10 Injeksi siliar mempunyai sifat :
Berwarna lebih ungu disbanding dengan pelebaran pembuluh konjungtiva.
Pembuluh darah tidak tampak.
Tidak ikut serta pergerakan konjungtiva bila digerakkan, karena menempel erat dengan
jaringan perikornea.
Ukuran sangat halus terletak di sekitar kornea, paling padat di sekitar kornea, dan
berkurang kea rah forniks.
Pembuluh darah perikornea tidak menciut bila di beri epinefrin adrenalin 1:1000
Hanya lakrimasi
Terdapat fotophobia
Sakit pada penenekanan sekitar kornea
Pupil irregular kecil pada iritis dan lebar pada glaukoma.1
Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa
cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem karena suatu
sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga
penderita akan melihat halo.
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang bersambung dengan
lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman, stroma, membran descemet dan
lapisan endotel.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini
tidak mempunyai daya regenerasi. Kerusakan pada lapisan ini akan berakhir dengan
terbentuknya jaringan parut.1,9,10
3. Stroma
Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup sekitar 90%
dari ketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas jaringan kolagen
yang tersusun atas lamel-lamel, pada permukaannya terlihat anyaman yang teratur sedang
dibagian perifer serat kolagen bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air,
kadar air diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel.
Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di
antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.1,9,10
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening, terletak
dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah.
Membran ini sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.
5. Endotel
Merupakan lapisan kornea yang penting untuk mempertahankan kejernihan
kornea, mengatur cairan didalam stroma kornea dan tidak mempunyai daya regenerasi,
sehingga endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan
seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi
dapat menjaga keseimbangan cairan akibat gangguan sistem pompa endotel, maka stroma
akan bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan hilangnya transparansi
(kekeruhan) akan terjadi. Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah,
penyakit intraokuler dan usia lanjut. Lapisan endotel berasal dari mesotalium, terdiri atas
satu lapis sel berbentuk heksagonal dengan tebal 20-40m yang melekat pada membran
descmet melalui hemi desmosom dan zonula okluden.1
KERATITIS
a. Definisi
Keratitis merupakan peradangan kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Radang
kornea biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis superficial
dan interstisial atau profunda. Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri (pneumococci,
streptococci, atau staphylococci), jamur dan protozoa.1,2
b. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:
Virus
Bakteri
Jamur
Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan ke
sumber cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur
Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata
Adanya benda asing di mata
Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara seperti
debu, serbuk sari, jamur, atau ragi
Keratitis pada umumnya didahului:
Defisiensi vitamin A
Reaksi konjungtivitis menahun
Trauma dan kerusakan epitel
Lensa kontak dapat mengakibatkan infeksi sekunder dan non infeksi keratitis
Daya imunitas yang berkurang
Musim panas dan daerah yang lembab
Pemakaian kortikosteroid
Herpes genital
c. Gejala
Gejala keratitis biasanya berupa sakit ringan sampai berat, silau, mata berair dan
kotor, lesi kornea disertai pengelihatan berkurang.1,2,3
Keratitis Epitelialis Mengenai kornea di Uji fluoresein (+) Uji plasido (+)
Superfisialis depan membran
bowman
Subepitel Mengenai kornea Uji fluoresein (-) Uji plasido (+)
dibawah epitel
kornea
Profunda/ Didalam Didalam stroma Uji fluoresein (-) Uji plasido (-)
interstisialis stroma kornea kornea
d. Patofisiologi
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan
imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami
dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan masuk ke
dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear,
limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk
garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea
dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini dapat berubah, kalau di
kornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan
nekrosis yang dapat dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara
normal kornea yang avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi
terjadi juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel.
Sindrom iskhemik dapat dimulai oleh berbagai stimuli. Bahwa pada proses
imunologik secara histologik terdapat sel plasma, terutama di konjungtiva yang berdekatan
dengan ulkus. Penemuan sel plasma merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada
keratitis herpetika yang khronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit
yang sensitif terhadap jaringan kornea.1,8,9
e. Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan lapisan yang
terkena, keratitis dibagi menjadi:
Keratitis Pungtata
Keratitis pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada
moluskum kontagiosum, akne rosasea, herpes simpleks, herpes zoster, blefaritis
neuroparalitik, infeksi virus, vaksinia, trakoma dan trauma radiasi, dry eyes, trauma,
lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin, dan bahan pengawet lainnya.
Keratitis pungtata biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala
kelainan konjungtiva, ataupun tanda akut, yang biasanya terjadi pada dewasa muda.1,2,9
Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit
infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini.
Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis.
Bersifat rekuren, dengan kemungkinan terdapatnya Streptococcus pneumonia,
Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata, dan Esrichia. Infiltrat dan tukak yang terlihat
diduga merupakan timbunan kompleks antigen-antibodi. Penderita akan mengeluh sakit,
seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme
pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrate atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral
dapat tunggal atau multiple, seringdisertai neovaskularisasi dari arah limbus.
Gambar 3. Keratitis Marginal
Keratitis Interstitial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke dalam
kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat
berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial.
Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam pada kedua mata. Pada
keratitis interstisial akibat lues kongenital didapatkan neovaskularisasi dalam, yang terlihat
pada usia 5-20 tahun pada 80% pasien lues. Keratitis interstisial dapat terjadi akibat alergi
atau infeksi spiroket ke dalam stoma kornea dan akibat tuberculosis. Keratitis interstisial
merupakan keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan neovaskularisasi. Keratitis ini juga
disebut sebagai keratitis parenkimatosa.1
Biasanya akan memberikan keluhan fotofobia, lakrimasi, kelopak meradang, sakit dan
menurunnya visus. Pada keratitis interstisial maka keluhan bertahan seumur hidup. Penyebab
dapat bakteri virus dan jamur. Keratitis profunda dapat terjadi akibat trauma dan mata
terpajan pada kornea dengan daya tahan rendah. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar
dilihat. Permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi siliar disertai dengan
serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberikan gambaran merah kusam atau disebut
“salmon patch” dari Hutchinson. Selutuh kornea dapat berwarna merah cerah.1
.Gambar 4. Keratitis Interstitial
Keratitis Bakteri
1. Faktor Risiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah potensi
penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko terjadinya keratitis bakteri
diantaranya:
Penggunaan lensa kontak
Trauma
Kontaminasi pengobatan mata
Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
Riwayat operasi mata sebelumnya
Gangguan defense mechanism
Perubahan struktur permukaan kornea
2. Etiologi1,9,10
3. Manifestasi Klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi,
penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata
eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian
tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat,
darah dan agar Sabouraud, kemudian dilakukan pengecatan dengan Gram.
Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan secara klinis
dengan menggunakan blade kornea bila
ditemukan infiltrat dalam di stroma.
5. Terapi
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri.1,5
Berikut
Tabel 2.tabel pengobatan
Terapi inisial
inisial untuk antibiotik
keratitis yang dapat diberikan:
bakteri
3. Manifestasi Klinis
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam
bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini
dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik
dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Keluhan muncul setalah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu kemudian. Pasien akan
mengeluh sakit mata yang hebat, berair, pengelihatan menurun dan silau. Pada mata akan
terlihat infiltrate kelabu, disertai hipopion, peradangan ulserasi superficial dan satelit bila
terletak dalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin endotel dengan plaque dengan
bercabang-cabang, gambaran satelit pada kornea, dan lipatan decement.
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-
abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang
tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan
berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap
ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen
jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen
dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup
parah. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama
Lesi satelit
Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa
di bawah endotel utuh
Plak endotel
Hypopyon, kadang-kadang rekuren
Formasi cincin sekeliling ulku
Lesi kornea yang indolen
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya
dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat
dilakukan pewarnaan KOH 10%, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India.
Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine
Silver.1,2
5. Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
Diberikan pengobatan natamisin 5% (keratitis jamur filamentosa, fusarium
spesies) amphoterisin B 0,15%-0,30% (keratitis yeast, asprgillus species).
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole (200-600 mg/hari),
Miconazole, flukonazol, itraconazole, econazole, dan clotrimazole.`
Bila disertai peningkatan tekanan intraocular diberikan obat oral anti glaucoma.
Keratoplasti dilakukan bila tidak ada perbaikan.
Keratitis Virus
1. Etiologi
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering pada kornea.
Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit intraselular
obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata.
Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung,
mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
2. Patofisiologi
Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk :
Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus intraepitelial mengakibatkan
kerusakan sel epitel dan membentuk tukak kornea superfisial.
Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu
reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang ini
mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak stroma
di sekitarnya.
3. Manifestasi Klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, mata berair,
mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena.
Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut
disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan kelenjar limfe regional.
Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi
jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan
tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang
stroma.
5. Terapi
Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena virus
berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi beban antigenic virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas
khusus. Obat siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam
sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72
jam.
Terapi Obat
IDU (Idoxuridine) terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam, salep
0,5% diberikan setiap 4 jam
Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif.1,5
Keratitis Alergi
1. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya penderita sering
menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.
2. Manifestasi Klinis
Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi sekret
mukoid.
Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
Gatal
Fotofobia
Sensasi benda asing
Mata berair dan blefarospasme
3. Terapi
Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
Steroid topikal dan sistemik
Kompres dingin
Obat vasokonstriktor
Koagulasi cryo CO2.
Pembedahan kecil (eksisi).
Antihistamin umumnya tidak efektif
Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak
Keratitis Sika
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan kornea dan
konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan konjungtiva dan kornea, yaitu:
Berkurangnya komponen lemak, seperti pada blefaritis
Berkurangnya airmata, seperti pada syndrome syrogen, setelah memakai obat diuretik,
atropin atau dijumapai pada usia tua.
Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan avitaminosis A, penyakit-
penyakit yang menyebabkan cacatnya konjungtiva, seperti trauma kimia, Sindrom Steven
Johnson, trakoma.
Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir, lagoftalmus, keratitis
neuroparalitika.
Adanya sikatrik pada kornea.
Gejala klinis yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada
pasir,fotopobi,visus menurun, secret lengket, mata terasa kering. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan sekret mukus dengan tanda-tanda konjungtivitis dengan xerosis konjuntiva,
sehingga konjungtiva bulbi edema, hiperemi, menebal, kering, tak mengkilat, warnanya
mengkilat. Terdapat infiltrat-infiltrat kecil,letak epiteleal,tes fluoresen (+). Terdapat juga
benang-benang (filamen) yang sebenarnya sekret yang menempel, karena itu, disebut juga
keratitis filamentosa.
Keratitis Numularis
Diduga dari virus. Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat infiltrat bulat-bulat
subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih, disebut halo (diduga terjadi karena
resorpsi dari infiltrat yang dimulai di tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini kalau sembuh
meninggalkan sikatrik yang ringan.1,10
f. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan akhirnya
perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai hilangnya penglihatan
(kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:
Gangguan refraksi
Jaringan parut permanent
Ulkus kornea
Perforasi kornea
Glaukoma sekunder.1
h. Prognosis
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika tidak diobati
dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks dan dapat mengakibatkan
hilang penglihatan selamanya.
a. Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan
kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan
diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.1,2,10
b. Epidemiologi
Di Amerika insiden ulkus kornea bergantung pada penyebabnya. Insidensi ulkus
kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, sedangkan predisposisi
terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak, dan
kadang-kadang tidak di ketahui penyebabnya. Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah
dilaporkan pada tahun 1879 tetapi baru mulai periode 1950 keratomikosis diperhatikan.
Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan
penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat imunosupresif dan lensa kontak.
Singapura melaporkan selama 2.5 tahun dari 112 kasus ulkus kornea 22 beretiologi jamur.
Mortalitas atau morbiditas tergantung dari komplikasi dari ulkus kornea seperti parut kornea,
kelainan refraksi, neovaskularisasi dan kebutaan. Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki
lebih banyak menderita ulkus kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian
yang dilakukan di India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena
banyaknya kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko terjadinya
trauma termasuk trauma kornea.
c. Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya
tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior
dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu
pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di
kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di
daerah pupil.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,
seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea,
wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear,
sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak
licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris.
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel
leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu
melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat
sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran
Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan
terjadinya sikatrik.1,8,9
d. Etiologi
a. Infeksi
Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala klinis
yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen yang bersifat
khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus,
Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah
akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila
mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster,
variola, vacinia (jarang).
Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga
biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air atau
tanah yang tercemar.
b. Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan
organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan
protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat
destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali
antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium
hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.
Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film
air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan
epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada
keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea
terpulas dengan flurosein.
Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A
dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan
oleh tubuh.
Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU
(Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
Pajanan (exposure)
Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
Granulomatosa wagener
Rheumathoid arthritis.1,8,10
e. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea , yaitu:
1. Ulkus kornea sentral
Ulkus kornea bakterialis
Ulkus kornea fungi
Ulkus kornea virus
Ulkus kornea acanthamoeba
2. Ulkus kornea perifer
Ulkus marginal
Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)
Ulkus cincin (ring ulcer).1,2
Ulkus Pneumokokus : Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi
ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran karakteristik
yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna
kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung
dan di daerah ini terdapat banyak kuman. Ulkus ini selalu di temukan hipopion yang tidak
selamanya sebanding dengan beratnya ulkus yang terlihat.diagnosa lebih pasti bila ditemukan
dakriosistitis.1,2
Gambar 5.a Ulkus Kornea Dendritik Gambar 5.b Ulkus Kornea Herpetik
Ring Ulcer
Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus. Di kornea terdapat ulkus yang berbentuk
melingkar dipinggir kornea, di dalam limbus, bisa dangkal atau dalam, kadang-kadang timbul
perforasi.Ulkus marginal yang banyak kadang-kadang dapat menjadi satu menyerupai ring ulcer.
Tetapi pada ring ulcer yang sebetulnya tak ada hubungan dengan konjungtivitis kataral.
Perjalanan penyakitnya menahun.
f. Manifestasi klinis
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :
Gejala Subjektif
Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
Sekret mukopurulen
Merasa ada benda asing di mata
Pandangan kabur
Mata berair
Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
Silau
Nyeri
Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer
kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.1,2,4
Gejala Objektif
Injeksi siliar
Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
Hipopion.1,4
g. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat
trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya
keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Hendaknya pula ditanyakan
riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang merupakan
predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek. Juga
mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan,
selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar,
kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi
iritis yang disertai dengan hipopion.
Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari dasar
dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram atau Giemsa.
Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan periodic acid
Schiff. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar sabouraud atau agar ekstrak maltosa.
Gambar 9. Pewarnaan gram ulkus kornea fungi
Gambar 10 a.Pewarnaan gram ulkus kornea Gambar 10 b.Pewarnaan gram ulkus kornea
herpes simplex herpes zoster
Gambar 11. a Pewarnaan gram ulkus kornea bakteri Gambar 11. b Pewarnaan gram ulkus kornea
bakteri akantamoeba
h. Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata
agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan pada ulkus kornea
tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus,
anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat
bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat
dan perlunya obat sistemik.
b. Penatalaksanaan medis
1. Pengobatan konstitusi
Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan umum yang kurang
dari normal, maka keadaan umumnya harus diperbaiki dengan makanan yang bergizi,
udara yang baik, lingkungan yang sehat, pemberian roboransia yang mengandung
vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C. Pada ulkus-ulkus yang disebabkan kuman
yang virulen, yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa, dapat diberikan vaksin tifoid
0,1 cc atau 10 cc susu steril yang disuntikkan intravena dan hasilnya cukup baik. Dengan
penyuntikan ini suhu badan akan naik, tetapi jangan sampai melebihi 39,5°C. Akibat
kenaikan suhu tubuh ini diharapkan bertambahnya antibodi dalam badan dan menjadi
lekas sembuh.
2. Pengobatan lokal
Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan. Lesi kornea
sekecil apapun harus diperhatikan dan diobati sebaik-baiknya. Konjungtuvitis,
dakriosistitis harus diobati dengan baik. Infeksi lokal pada hidung, telinga, tenggorok,
gigi atau tempat lain harus segera dihilangkan.
Infeksi pada mata harus diberikan :
Sulfas atropine sebagai salap atau larutan,
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu.
Efek kerja sulfas atropine :
- Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
- Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
- Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga
mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi
midriasis sehinggga sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru
Skopolamin sebagai midriatika.
Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau tetrakain
tetapi jangan sering-sering.
Antibiotik
Anti biotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum luas
diberikan sebagai salap, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus
sebaiknya tidak diberikan salap mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan
juga dapat menimbulkan erosi kornea kembali.
Anti jamur
Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi :
1. Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya : topikal amphotericin B 1,
2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml, Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole
2. Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal, Natamicin, Imidazol
3. Ragi (yeast) : amphotericin B, Natamicin, Imidazol
4. Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa, berbagai jenis anti biotik
Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid lokal untuk
mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik spektrum luas untuk infeksi sekunder
analgetik bila terdapat indikasi. Untuk herpes simplex diberikan pengobatan IDU, ARA-
A, PAA, interferon inducer.
Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi infeksi supuratif karena dapat
menghalangi pengaliran sekret infeksi tersebut dan memberikan media yang baik
terhadap perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang diperlukan pada ulkus
yang bersih tanpa sekret guna mengurangi rangsangan.
Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :
1) Kauterisasi
Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik, larutan murni
trikloralasetat
Dengan panas (heat cauterisasion) : memakai elektrokauter atau termophore.
Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang mengandung panas disentuhkan
pada pinggir ulkus sampai berwarna keputih-putihan.
2) Pengerokan epitel yang sakit
Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat tidak menunjukkan
perbaikan dengan maksud mengganti cairan coa yang lama dengan yang baru yang
banyak mengandung antibodi dengan harapan luka cepat sembuh. Penutupan ulkus
dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan konjungtiva dari sekitar limbus yang
kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi pada
ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap konjungtiva ini dapat
dilepaskan kembali.
Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi spontan berikan sulfas
atropine, antibiotik dan balut yang kuat. Segera berbaring dan jangan melakukan
gerakan-gerakan. Bila perforasinya disertai prolaps iris dan terjadinya baru saja, maka
dapat dilakukan :
Gambar 7.Ulkus kornea perforasi, jaringan iris keluar dan menonjol, infiltrat pada kornea
ditepi perforasi.
3) Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan,
kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam penglihatan, serta memenuhi
beberapa kriteria yaitu :
i. Pencegahan
Pencegahan terhadap ulkus dapat dilakukan dengan segera berkonsultasi kepada ahli
mata setiap ada keluhan pada mata. Sering kali luka yang tampak kecil pada kornea dapat
mengawali timbulnya ulkus dan mempunyai efek yang sangat buruk bagi mata.
- Lindungi mata dari segala benda yang mungkin bisa masuk kedalam mata
- Jika mata sering kering, atau pada keadaan kelopak mata tidak bisa menutup
sempurna, gunakan tetes mata agar mata selalu dalam keadaan basah
- Jika memakai lensa kontak harus sangat diperhatikan cara memakai dan merawat
lensa tersebut.1,10
j. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:
Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
Prolaps iris
Sikatrik kornea
Katarak
Glaukoma sekunder.1,3,5
k. Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapat
pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul.
Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea
bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan
serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang
lama mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada
ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan
resistensi.
Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan dengan pemberian
terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua metode; migrasi sekeliling sel
epitel yang dilanjutkan dengan mitosis sel dan pembentukan pembuluh darah dari
konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil dapat sembuh dengan cepat melalui metode yang
pertama, tetapi pada ulkus yang besar, perlu adanya suplai darah agar leukosit dan fibroblas
dapat membentuk jaringan granulasi dan kemudian sikatrik.
2. UVEA
Anatomi dan Fisiologi Uvea
Uvea merupakan lapisan vaskuler berpigmen dari dinding bola mata yang terletak
antara korneasklera dan neuroepitelium. Uvea terdiri dari tiga bagian, yaitu iris, badan
siliaris, dan koroid. (Gambar 1),1,9,10
Iris
Iris merupakan membran yang berwarna, berbentuk sirkular yang ditengahnya
terdapat lubang yang dinamakan pupil. Iris berpangkal pada badan siliar dan merupakan
pemisah antara bilik mata depan dengan bilik mata belakang. Permukaan iris warnanya
sangat bervariasi dan mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama sekitar pupil yang
disebut kripti. Jaringan otot iris terusun longgar dengan otot polos yang berjalan
melingkari pupil (sfingter pupil) dan radial tegak lurus pupil (dilator pupil). Iris menipis
di dekat perlekatannya dengan badan siliar dan menebal di dekat pupil. Pembuluh darah
di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan siliar disebut
sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari saraf cranial III yang
bersifat simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis. 1,9,10
Korpus Siliaris
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem eksresi
dibelakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid
terdiri atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar berfungsi untuk
akomodasi. 1,9,10
Koroid
Koroid merupakan bagian posterior dari uvea yang terletak antara retina dan
sklera. Terdapat tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler besar, sedang, dan kecil.
Pada bagian interna koroid dibatasi oleh membran Bruch, sedangkan di bagian luar
terdapat suprakoroidal. 1,9,10 (Gambar 2)
a. Definisi
Uveitis diartikan sebagai peradangan dari ‘uveal tract’, lapisan pembuluh darah
mata yang terdiri dari iris, korpus siliar, dan khoroid. Inflamasi dari struktur ini biasanya
diikuti oleh inflamasi jaringan sekitarnya, termasuk kornea, sklera, vitreous, retina, dan
nervus optikus.
b. Epidemiologi
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka
kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis
diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki
umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus dan uveitis
nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya berupa uveitis
anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis.
c. Klasifikasi
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi
secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis.
1) Klasifikasi anatomis
Yaitu berdasarkan seberapa besar bagian uvea yang terkena. Menurut
Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) Working Group pada tahun 2005
membuat suatu system klasifikasi secara anatomis suatu uveitis.
Tipe Fokus inflamasi Meliputi
Uveitis anterior COA Iritis
Iridosiklitis
Siklitis anterior
Uveitis Vitreus Pars planitis
intermediat Siklitis posterior
Hialitis
Uveitis posterior Retina dan koroid Koroid fokal, multifokal atau
difus
Korioretinitis
Retinokoroiditis
Retinitis
Neuroretinitis
Pan uveitis COA, vitreus, retina dan
koroid
a) Uveitis anterior
- Iritis : inflamasi yang dominan pada iris
- Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata
b) Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer
c) Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus
d) Panuveitis : inflamasi pada seluruh uvea
2) Klasifikasi klinis
Uveitis akut : onset simtomatik terjadi tiba-tiba dan berlangsung selama < 6
minggu
Uveitis kronik : uveitis yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun
tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik
3) Klasifikasi etiologis
Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar tubuh
Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
- Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis
- Infeksi: Yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus
(herpes zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm
(toksokariasis)
- Uveitis spesifik idiopatik: Yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan
penyakit sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch)
- Uveitis non-spesifik idiopatik: Yaitu uveitis yang tidak termasuk ke dalam
kelompok di atas.
4) Klasifikasi patologis
Uveitis non-granulomatosa : infiltrasi dominan limfosit pada koroid
Uveitis granulomatosa : koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa
multinukleus (Gambar 4)
d. Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu
trauma tembus okuli, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap
zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar mata.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit
ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada
perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca
nodules.8,9,10
Gambar 6. Uveitis anterior : (a) mutton-fat keratic precipitates, nodul Koeppe dan
Busacca; (b) nodul Busacca pada iris dan mutton-fat KP di bagian inferior
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara iris
dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris
dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Dapat pula terjadi
perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup
oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah
dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor
dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik
mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe.
Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma
sekunder. Pada fase akut terjadi glaukoma sekunder karena gumpalan-gumpalan pada
sudut bilik mata depan, sedangkan pada fase lanjut glaukoma terjadi karena adanya
seklusio pupil.8,9,10
Gambar 7. Iris Bombé
Pada kasus yang berlangsung kronis dapat terjadi gangguan produksi akuos
humor yang menyebabkan penurunan tekanan bola mata sebagai akibat hipofungsi badan
siliar.
e. Gejala Klinis
a. Gejala subyektif
1) Nyeri :
Uveitis anterior akut
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf
siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul. Lokalisasi nyeri bola
mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas
nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada
penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri.
Uveitis anterior kronik
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat
glaukoma sekunder.
2) Fotofobia dan lakrimasi
Uveitis anterior akut
Fotofobia disebabkan spasmus siliar bukan karena sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi
disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan
fotofobia.
Uveitis anterior kronik
Gejala subjektif ini hampir tidak ataupun ringan.
3) Penglihatan kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan-sedang, berat atau hilang timbul,
tergantung penyebab.
Uveitis anterior akut
Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan aquos dan badan kaca
depan karena eksudasi sel radang dan fibrin.
Uveitis anterior kronik
Disebabkan oleh karena kekeruhan lensa, badan kaca dan kalsifikasi kornea.
b. Gejala objektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila
diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
1) Injeksi Silier
Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar sekitar limbus, berwarna
keunguan.
Uveitis anterior akut
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas
sampai pembuluh darah konjungtiva.
Uveitis anterior hiperakut
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis.
Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar
depan dengan reflex aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar.1,9
3) Kelainan kornea
Uveitis anterior akut
Keratitis dapat bersamaan uveitis dengan etiologi tuberculosis, sifilis, lepra, herpes
simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
Uveitis anterior kronik
Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descement dan
neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea berupa lipatan Descement dan
vesikel pada epitel kornea.
4) Bilik mata
Kekeruhan dalam bilik mata depan mata disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel
dan fibrin.1,2,10
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Flouresence Angiografi
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal
dan komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk
intraokular maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat
dinilai adalah edema intraokular, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid
atau retina, N. optikus dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan
pelepasan retina
3. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan
pemeriksaan laboratorium lainnya.
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya apalagi kalau jenisnya non
granulomatosa atau jelas berespon dengan terapi non spesifik. Sedangkan pada uveitis
anterior yang tetap tidak responsive harus diusahan untuk menemukan diagnosis
etiologinya.1,2,3
g. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan uveitis adalah mengobati proses inflamasi pada
mata secara efektif serta meminimalkan komplikasi yang mungkin timbul baik dari
penyakitnya itu sendiri maupun dari terapi yang diberikan. Agar tujuan pengobatan dapat
dicapai, maka diperlukan pemeriksaan yang baik, karena, beberapa kondisi memerlukan
tindakan tertentu seperti pemberian obat kortikosteroid, sedangkan pada kondisi lain
tidak dianjurkan karena penggunaan kortikosteroid jangka panjang akan menyebabkan
pembentukan katarak dan meningkatkan tekanan intraokuler.1,4,5
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi primer pada pasien uveitis. Kortikosteroid
menekan kerja sistem imun serta memiliki efek anti-inflamasi melalui beberapa
mekanisme. Kortikosteroid dapat diberikan secara topikal, melalui injeksi periokular atau
intravitreal atau diberikan secara sistemik.
Pemberian secara topikal diutamakan pada pasien dengan uveitis anterior.
Penetrasi menuju segmen posterior pada pemberian topikal sangat buruk, kecuali bila
pasien tersebut pseudofakia atau afakia. Secara umum, kortikosteroid yang dianjurkan
pada pemberian topikal adalah prednisolon asetat. Pemakaian kortikosteroid harus
dengan indikasi yang spesifik, seperti pengobatan inflamasi aktif di mata dan mengurangi
inflamasi intra okuler di retina, koroid dan N.optikus.1,5
Imunomodulator
Terapi imunomodulator digunakan pada pasien uveitis berat yang mengancam
penglihatan yang sudah tidak merespon terhadap kortikosteroid. Imunomodulator bekerja
dengan cara membunuh sel limfoid yang membelah dengan cepat akibat reaksi inflamasi.
Indikasi digunakannya imunomodulator adalah :
1. Inflamasi intraocular yang mengancam penglihatan pasien.
2. Gagal dengan terapi kortikosteroid.
3. Kontra indikasi terhadap kortikosteroid.
Sebelum diberikan imunomodulator, harus benar-benar dipastikan bahwa uveitis
pasien tidak disebabkan infeksi, atau infeksi di tempat lain, atau kelainan hepar atau
kelainan darah. Dan sebelum dilakukan informed concent.
Analgetika
Analgetik dapat diberikan secara sistemik terutama diberikan pada kasus uveitis
non granulomatosa, karena biasanya pasien mengeluhkan nyeri.1, 5
h. Komplikasi
Komplikasi dari uveitis dapat berupa :
Glaucoma, peninggian tekanan bola mata
Katarak
Neovaskularisasi
Ablasio retina
Kerusakan N.optikus
i. Prognosis
Prognosis dari uveitis anterior ini tergantung dari etiologi atau gambaran
histopatologinya. Pada uveitis anterior non granulomatosa gejala klinis dapat hilang
dalam beberapa hari hingga beberapa minggu dengan pengobatan, tetapi sering terjadi
kekambuhan. Pada uveitis anterior granulomatosa inflamasi dapat berlangsung
berbulanbulan hingga bertahunan, kadang-kadang terjadi remisi dan eksaserbasi. Pada
kasus ini dapat timbul kerusakan permanen walaupun dengan pemberian terapi terbaik.1
GLAUKOMA AKUT
Mata merah dengan pengelihatan turun mendadak merupakan glaucoma sudut tertutup
akut. Glaukoma sudut tertutup akut ditandai dengan tekanan intraocular yang meningkat secara
mendadak, dan terjadi pada usia lanjut lebih dari 40 tahun dengan sudut bilik mata sempit.cairan
mata berada di belakang iris tidak dapat mengalir memlalui pupil sehingga mendorong iris ke
depan, mencegah keluarnya cairan mata melalui sudut bilik mata.1,2,10
Pada glaucoma primer sudut tertutup akut terdapat anamnesa yang khas sekali berupa
nyeri pada mata yang mendapat serangan yang berlangsung ber jam jam dan hilang setelah tidur
sebantar. Melihat pelangi (halo) sekitar lampu dan keadaan ini merupakan stadium prodromal.
Terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah yang kadang-kadang mengaburkan
gejala daripada serangan glaucoma akut.
Pada serangan akut sebaiknya tekanan diturunkan lebih dahulu dengan pilokarpin 2%
setiap menit selama 5 menit yang disusul setaip jam selama satu hari. Pengobatan glaucoma akut
harus segera berupa pengobatan topical dan sistemik. Tujuan pengobatan adalah merendahkan
tekanan bola mata secepatnya kemudian bila tekanan bola mata normal dan mata tenang
dilakukan pembedahan. Pengobatan topical diberikan pilokarpin 2%. Sistemik diberikan
intravena karena disertai mual. Diberikan asetazolamid 500 mg IV, yang disusul dengan 250 mg
tablet setiap 4 jam sesudah keluhan mual hilang. Intravena juga dapat diberikan manitol 1.5-2
mg/kgBB dalam larutan 20% atau urea IV mg/kgBB hati-hati dengan kelainan ginjal.1,5
ENDOFTALMITIS
Endotalmitis merupakan peradangan berat pada mata, akibat infeksi setelah trauma
bedah, atau endogen akibat sepsis. Berbentuk radang supuratif didalam rongga mata dan struktur
dilamamnya. Peradangan supuratif di dalam rongga mata akan memberikan abses di dalam
badan kaca. Penyebab endoftalmitis adalah kuman dan jamur yang masuk bersama trauma
tembus (eksogen) atau sistemik melalui peredaran darah (endogen).
Panoftalmitis merupakan peradangan seluruh bola mata termasuk skelra dan kapsul tenon
sehingga bola mata merupakan rongga abses. Infeksi ke dalam bola mata dapat melalui
peredaran darah (endogen) atau perforasi rongga mata (eksogen), dan akibat tukak kornea
perforasi.
Bila panoftalmitis merupakan akibat bakteri maka perjalan penyakit cepat dan berat,
sedang bila akibat jamur perjalanan penyakit perlahan lahan dan gejala terlihat beberapa minggu
setelah infeksi.
Panoftalmitis akan memberikan gejala kemunduran tajam pengelihatan diserati rasa sakit,
mata menonjol, edema kelopak, konjungtiva kemotik, kornea keruh, bilik mata dengan hipopion,
dan reflex putih di dalam fundus dan okuli.
Pengobatan panoftalmitis berupa antibiotika dosis tinggi dan bila gejala radang sangat
berat dilakukan segera eviserasi isi bola mata.1,2,10
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. 2014. Ilmu Penyakit Mata edisi–5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Budiono, Sjamsu et.all. (ed).2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya : Airlangga
University Press.
3. K.O. Denniston, Alastair dan Philip I. Murray. 2014. Oxford Handbook of
Ophthalmology. United Kingdom : Oxford University Press.
4. Browling, Brad. 2016. Kanski’s Clinical Ophthalmology eight edition. Australia :
Elsevier.
5. Bagheri, Nika et.all. 2017. The Wills Eye Manual : Office and Emergency Room
Diagnosis and Treatment of Eye Disease Seventh Edition. Philadelphia : Wolters
Kluwer.
6. Perdami. 2016. Vision 2020 di Indonesia. Di akses tanggal 24 Mei 2018.
https://www.perdami.id/vision-2020-indonesia/
7. KEMENKES RI. 2014. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Di akses tanggal
24 Mei 2018.
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-
penglihatan.pdf
8. K.W., Sehu danR.L., Lee. 2005. Ophthalmic Pathology. Oxford : Blackwell Publishing
Ltd.
9. C.E, jr, Ralph. 2011. Eye Pathology an Atlas and Text second edition.
Philadelphia:Wolters Kluwer.
10. Riordan-Eva, Paul et. All. 2011. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology 18th
edition. USA: Lange Medical Publications.