Anda di halaman 1dari 7

Problem pendidikan muhammadiyah

Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan muhammadiyah inilah yang dengan
serta-merta diungkap oleh farid setiawan, sucipto, dan desti liana kurniati. Melalui buku
“mengokohkan spirit pendidikan muhammadiyah” ini, ketiga kader muhammadiyah itu mencoba
melakukan autokritik terhadap pergeseran orientasi dan penyelenggaraan pendidikan
muhammadiyah. Analisis demi analisis diungkapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman ke
halaman. Bahkan, untuk memperkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak “segan-
segan” menghadirkan para pakar pendidikan muhammadiyah sebagai penulis prolog dan epilog.
Boleh jadi, pelibatan para pengambil kebijakan pendidikan muhammadiyah, seperti dr. Abdul
mu’ti, m.ed selaku sekretaris majelis dikdasmen pp muhammadiyah dan dr. Tasman hamami, m.a
sebagai ketua majelis dikdasmen pwm d.i. yogyakarta, merupakan wujud dari “rekomendasi
kultural” yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Setidaknya, penulis buku ini hendak
mengingatkan para pengambil kebijakan pada khususnya, dan warga persyarikatan secara umum
agar selalu memperhatikan nasib pendidikan muhammadiyah. Partisipasi warga muhammadiyah
dan penyelenggara pendidikan muhammadiyah memang perlu sekali lagi ditingkatkan.
Mengingat, keadaan internal di sebagian institusi pendidikan muhammadiyah sudah sedemikian
kritis.
Problem pendidikan muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem ideologis, problem
paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan pendidikan. Pertama, problem
ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah penekanan aspek
profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan kependidikan muhammadiyah (hal:58).
Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang penting. Akan
tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya dibandingkan kompetensi profesional
seseorang.
Apa jadinya jika lembaga pendidikan muhammadiyah yang telah tumbuh besar dan mengurat
berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan yang mengedepankan aspek profesionalitas
semata? Bukan tidak mungkin apabila hal itu dapat menimbulkan perceraian antara pimpinan amal
usaha dengan pimpinan muhammadiyah (hal: 59). Telah banyak kasus di lapangan yang
sesungguhnya menunjukkan adanya indikasi perceraian kedua pimpinan tersebut. Meskipun
problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak faktor, namun pada umumnya keadaan
tersebut didorong oleh “miskinnya” pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha
pendidikan terhadap hakikat perjuangan muhammadiyah.
Terkait dengan persoalan di atas, para penulis buku ini mengutip pendapat abdul munir mulkhan
dalam bukunya yang berjudul “menggugat muhammadiyah (2000)”. Menurut munir: orang-orang
tersebut cenderung menjadi muhammadiyah dadakan. Dengan tanpa harus berproses,
muhammadiyah dadakan ini ironisnya justru diberi-kan kelonggaran untuk menggunakan fasilitas
yang ada. Lebih ironis lagi, para muhammadiyah dadakan tersebut justru ditempatkan sebagai
pucuk pimpinan guna mengelola lembaga pendidikan muhammadiyah, seperti halnya di sekolah-
sekolah (hal: 20).
Dengan begitu longgarnya ”kesempatan” para muhammadiyah dadakan tersebut, maka menjadi
wajar jika banyak di antara lembaga pendidikan muhammadiyah yang cenderung menjadi pasar
ideologi (hal: 60). Adapun maksud istilah pasar ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya
paham-paham keagamaan lainnya yang tidak sevisi dengan muhammadiyah. Kehadiran paham-
paham tersebut tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap
amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para muhammadiyah dadakan dapat
lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan non
muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Kedua, problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan
muhammadiyah. “kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam
memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis,
sehingga seringkali terjebak pada romantisme seja-rah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan sejarah
muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan lagi
ditempatkan sebagai epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan bekal
dalam menatap masa depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan institusi
pendidikan muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal itu ber-
dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan diri (hal: 110-111).
Di samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan
amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan muhammadiyah secara sinergis
dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara
keduanya justru berlainan, dan bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan
istilah modern misalnya, tidak sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan
pelbagai program-program masa kini, seperti sukses ujian nasional. Banyak para pimpinan amal
usaha yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ismuba di-
tempatkan sebagai pelengkap (hal: xxxii).
Ketiga, problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha
pendidikan muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass root),
seperti tokoh-tokoh muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun juga
jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan muhammadiyah sebagai
sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran islam di tengah-tengah masyarakat.
Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga
pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya
sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik. Hal
inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan
muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan
adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu upaya untuk
meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah muhammadiyah bersifat konvensional dan
dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu (hal: 108).
Keempat problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya
menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti kepala dan warga sekolah. Dalam
hal ini, problem pengembangan pendidikan muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak
penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya majelis pendidikan dasar dan menengah
(dikdasmen). Sampai saat ini, majelis dikdasmen belum memiliki blue print yang jelas mengenai
pola pengembangan pendidikan muhammadiyah (hal: 180). Kerja-kerja praktis (untuk tidak
dikatakan pragmatis) administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan
muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan.
Dalam keseharian, pihak penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban
struktural, dibanding melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai
pengembangan pendidikan muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan
pihak pelaksana pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu
pendidikan, seperti deschooling society, sekolah gratis, dan lain-lain.
Sejarah Pendidikan Muhammadiyah
Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh
faktor pendidikan.Sutarmo, Mag dalam bukunya

Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, KeagamaanModernis

mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh duafaktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan denganajaran
Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar
Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang
mendasariMuhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya
Muhammadiyah,lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok sistem pendidikan, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang dis
elenggarakan dalam pondok-
pondok pesantren dengan Kurikulum “ Sorogan “mengacu pada rujukan kitab tertentu.
Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses
penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional,
dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode sorogan (murid secara
individualmenghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai
membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (me
tode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga dud
uk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-
masingatau dalam bah
asa Arab disebut metode “Halaqah”
dalam pengajarannya. Dengan metode iniaktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat catatan
tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu
metode ini hanya mementingkan kemampuandaya hafal dan membaca tanpa pengertian dan
memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh
pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidakdiberikan.

Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikantersebut,
maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yangminder dan
terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama,sedangkan
tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri,akan
tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.Maka atas dasar
dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikanlembaga pendidikan
Muhammadiyah mencoba menggabungkan hal-hal yang posistif dari duasistem pendidikan
tersebut. KHA. Dahlan kemudian mencoba menggabungkan dua aspek yaitu,aspek yang
berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepadatujuan
pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk membentuk manusia yang berakhlak
mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki
keasadaran yang tinggiuntuk bekerja membangun masyrakat. Sedangkan aspek praktisnya adalah
mengacu kepadametode belajar, organisasi sekolah, mata pelajaran dan kurikulum yang
disesuaikan dengan teorimodern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang jikadisimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah
untuk mencetak ulama atau pemikir ya
ng mengedepankan “tajdid dan atau tanj
ih

dalam setiap pemikiran dan gerakannya
bukan ulama atau pemikir yang “
say yes”
pada kemapanan yang sudah ada (established) karenaKHA. Dahlan dalam memadukan dua
sistem tersebut mencoba untuk menciptakan ulama/pelajaryang dinamis dan kreatif serta penuh
percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.
C.

Tantangan Pendidikan Muhammadiyah

Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang
mampu tampil sebagai “ulama
-
intelek” atau “intelek
-
ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka
mengintegrasikankedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan
sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan
sekolah-sekolah sendiridi mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua
tindakan itu sekarangsudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara
dan yang kedua
sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang m
odel pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-
intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya wa
risan yang mesti kita eksplorasiterus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik
pendidikan bisa berubah sesuaidengan perkembangan ilmu pendidikan, metodologi pendidikan
dan atau psikologi perkembangan pendidikan.Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolah

sekolah yang beliau dirikan maka atassaran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan
persyarikatan Muhammadiyah tahun1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai
Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai
menjelaskan surat al-
Ma’un kepada santri
-santrinyasecara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan
supaya kitamemperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah
santri-santriitu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang
mestinyadikembangkan oleh para pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan
sistem pendidikan ala Al-
Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan waktu itu.
Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk
melakukan perombakan atau etos pembaharuan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap
api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu mem
produksiulama-intelek-profesional

gagasan Abdul Mukti Ali

menarik disimak. Menurutnya, sistem

pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidi
kan yang mengikuti

sistem pondok pesantren

karena di dalamnya diresapi dengansuasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti
sistem madrasah/sekolah, jelasnyamadrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk
sistem pengajaran dan pendidikanagama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama,
belakangan ini sekolah-sekolah Islamtengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan.
Salah satu model pendidikan terbaru adalahfull day school, sekolah sampai sore hari, tidak
terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-
benar menjangkiti seluruh wargaMuhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai
Taman Kanak-kanak (TK) hinggaPerguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk
meningkatkan kualitas pendidikanuntuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini
hampir di semua daerah kabupatenatau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, Misalnya
untuk kawasan Jawa Timur saja, diSurabaya ada SD Muhammadiyah 4 Pucang, SMAM 2
Surabaya, di Sidoarjo ada SDMuhammadiyah 2 Sidoarjo, SMK Muhammadiyah Sidoarjo, di
Malang ada SMK MuhammadiyahKepanjen dan Universitas Muhammadiyah Malang dan
hampir merata untuk setiap daerahKabupaten atau kota di Jawa Timur berdiri sekolah
Muhammadiyah unggulan. Sekolah yangdianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka
menyekolahkan anak-anak pada pendidikantersebut.Apabila Muhammadiyah benar-benar mau
membangun sekolah

sekolah unggulan makaharus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis
pendidikannya sehinggadapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga
pendidikan Muhammadiyahdihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis
sebagai pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaanor
ientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan
nasionalyang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti
menterimesti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus
adakeberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Model
“P
ondok PesanternGontor

bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampumengantarkan
peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul.

Perkembangan FilsafatDalam Pendidikan Muhmmadiyah, Syhyan
Rasyidi”
Jika menengok sekolah Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama persisdengan
sekolah negeri ditambah materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materiyang
begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak, karenanya
amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-
bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untukmerumuskan kembali Al-Islam dan
kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi umum, atau paling tidak
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasimateri ibadah dan Al-
Qur’an, serta bahasa dengan praktek
langsung tidak dengan sistem ujian tulisseperti sekarang ini.
“Perkembangan Filsafat Dalam Pendidikan Muhmmadiyah, Syhyan Rasyidi”
Perhatian dan komitmen Muhammadiyah dalam memperbarui system pendidikan tidak pernah
surut, hal ini nampak dari keputusan-keputusan persyarikatan yang dengan konsisten dalamsetiap
muktamar (sebagai forum tertinggi persyarikatan Muhammadiyah) senantiasa ada
agenda pembahasan dan penetapan program lima tahunan bidang pendidikan, sejak pendidikan d
asarsampai pendidikan tinggi. Dalam lima belas tahun terakhir (tiga kali muktamar) dapat
dilihat bahwa Muhammadiyah senantiasa memiliki agenda yang jelas berkenaan dengan program
pendidikan dalam setiap keputusan-
keputusan Muktamarnyam, akan tetapi perubahan itu masih belum menyentuh
pada sekolah- sekolah Muhammadiyah di pedesaan secara merata. Inilah yangmenjadi
tugas PR bagi Muhammadiyah kedepan.

Anda mungkin juga menyukai