Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak merupakan sumber pemasukan utama APBN yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Pajak bertujuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat melalui
perbaikan dan peningkatan pelayanan publik. Alokasi pajak tidak hanya untuk
rakyat pembayaran pajak, tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang tidak wajib
membayar pajak. Dengan demikian, pajak berfungsi mengurangi kesenjangan antar
penduduk sehingga pemerataan kesejahteraan bisa tercapai. Untuk lebih
mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan, berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari pajak penghasilan?
2. Apa sajakah dasar hukum pajak penghasilan?
3. Apa sajakah subjek pajak penghasilan?
4. Apa sajakah yang menjadi objek pajak penghasilan?
5. Apa sajakah yang menjadi objek pajak bentuk usaha tetap?
6. Apa sajakah yang menjadi pengurang penghasilan?
7. Bagaimana menghitung pajak penghasilan ?
8. Bagaimana pelunasan pajak penghasilan ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari pajak penghasilan
2. Untuk mengetahui dasar hukum pajak penghasilan
3. Untuk mengetahui subjek pajak penghasilan
4. Untuk mengetahui objek pajak penghasilan
5. Untuk mengetahui objek pajak bentuk usaha tetap
6. Untuk mengetahui pengurangan penghasilan
7. Untuk mengetahui cara menghitung pajak penghasilan
8. Untuk mengetahui pelunasan pajak penghasilan

1
BAB II
PEMBAHASAN
PENDAHULUAN

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak


Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang- Undang Nomor 7
Tahun 1983. Sebelum tahun 1983, pengenaan pajak yang berhubungan dengan
penghasilan diistilahkan dengan nama Pajak Perseroan (Ord. PPs 1925),
PajakKekayaan (Stb. 1932), PajakPendapatan (Ord. PPd 1944), dan Pajak
Penjualan (UU No. 19 Drt. Th. 1951).
Semakin pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan
nasional, globalisasi, dan reformasi di berbagai bidang, perlu dilakukan perubahan
undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka
mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali diubah
dan disempurnakan, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-
Undang Nomor lOTahun 1994,Undang-UndangNomor 17Tahun 2000, dan yang
terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan tetap
berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan,
kemudahan/efisiensi administrasi, dan produktivitas penerimaan negara serta tetap
mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, tujuan dan arah
penyempurnaan Undang- Undang Pajak Penghasilan tersebut adalah:
1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
2. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
3. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
4. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi;
5. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing
dalam menarik investasi langsung di Indonesia, baik penanaman modal asing
maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan
daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Pokok-pokok perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah:
1. dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan
Subjek dan Objek Pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau
pembebasan pajak dalam hal lainnya;
2. dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negara-negara lain, mengedepankan
prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan
bagi berkembangnya usaha-usaha kecil maka struktur tarif pajak yang berlaku juga
perlu diubah dan disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap,
terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk
memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib
Pajak tersebut; dan

2
3. untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem selfassessment
tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem
pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak
mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang
akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran
bruto untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Peningkatan batas peredaran bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan
realitas dunia usaha saat ini yang semakin berkembang tanpa melupakan usaha dan
pembinaan Wajib Pajak agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat
asas.

2.1 DEFINISI

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Direktorat Jenderal


Pajak, 2008), Pajak Penghasilam adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

2.2 DASAR HUKUM

Peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU


Nomor 7 Tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan UU Nomor 7 Tahun 1991, UU
Nomor 10 Tahun 1994, UU Nomor 17 Tahun 2000, UU Nomor 36 Tahun 2008,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.

2.3 SUBJEK PAJAK

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 subjek pajak meliputi:


1. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak.
3. Badan
Badan adalah adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a) tempat kedudukan manajemen;
b) cabang perusahaan;
c) kantor perwakilan;
d) gedung kantor;
e) pabrik;
f) bengkel;
g) gudang;
h) ruang untuk promosi dan penjualan;
i) pertambangan dan penggalian sumber alam;
j) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan;
n) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o) agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.

 SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DAN SUBJEK PAJAK LUAR


NEGERI
Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008, subjek
pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
A. SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial

4
politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
reksadana. Kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD.
c. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau
pemerintah daerah.
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

B. SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI


1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia.
2. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

 PERBEDAAN WAJIB PAJAK DALAM NEGERI DAN WAJIB PAJAK


LUAR NEGERI
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan,
atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi
maupun badan sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau yang melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Perbedaan wajib pajak dalam dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara
lain adalah:

5
Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri
 Dikenakan pajak atas penghasilan  Dikenakan pajak hanya atas
baik yang diterima atau diperoleh penghasilan yang berasal dari
dari Indonesia dan dari luar sumber penghasilan di Indonesia.
indonesia.  Dikenakan pajak berdasarkan
 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto.
penghasilan netto.  Tarif pajak yang digunakan adalah
 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal
tarif umum (tarif UU PPh pasal 17). 26).
 Wajib menyampaikan SPT.  Tidak wajib menyampaikan SPT.

 KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF


Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai
subjek pajak dalam negeri maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan table
mulai dan berakhirnya pajak subjektif.

MULAI BERAKHIR

Subjektif pajak dalam negeri orang Subjektif pajak dalam negeri orang
pribadi: pribadi:
 Saat dilahirkan  Saat meninggal
 Saat berada di indonesia atau  Saat meninggalkan indonesia untuk
bertempat tinggal di indonesia selama-lamanya
Subjektif pajak dalam negeri badan: Subjektif pajak dalam negeri badan:
 Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia kedudukan di indonesia

Subjek pajak luar negeri melalui BUT: Subjek pajak luar negeri melalui BUT:
 Saat menjalankan usaha atau  Saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di melakukan kegiatan melalui BUT di
indonesia indonesia

Subjek pajal luar negeri tidak melalui Subjek pajal luar negeri tidak melalui
BUT: BUT:
 Saat menerima atau memperoleh  Saat tidak lagi menerima atau
penghasilan dari Indonesia memperoleh penghasilan dari
indonesia

6
Warisan belum terbagi: Warisan belum terbagi:
 Saat timbulnya warisan yang belum  Saat warisan telah selesai dibagikan
terbagi

 TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK


Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaiamana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah:
1. Kantor perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. bukan warga Negara Indonesia; dan
b. di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut; serta
c. negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
b. tidak menjalankan usaha; atau
c. kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang sebagaimana dimaksud
pada butir 3 dengan syarat :
a. bukan warga negara Indonesia; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak ditetapkan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
166/PMK.011/2012.

7
2.4 OBJEK PAJAK PENGHASILAN

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau utnuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
1. Pergantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
grafitasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pegambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali, yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagai atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

8
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia.

 OBJEK PAJAK YANG DIKENAKAN BERSIFAT FINAL


Pajak penghasilan bersifat inal adalah pajak penghasilan yang tidak dapat
dikreditkan (dikurangkan) dari total pajak penghasilan terutang pada akhir tahun pajak.
Berdasarkan Pasal 4ayat (2) Undang-Undang PPh, penghasilan yang dapat dikenai
pajak bersifat final, yaitu:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi.
2. Penghasilan berupa hadiah undian.
3. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura.
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
5. Penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

 TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang PPh penghasilan yang dikenakan
PPh atau yang dikecualikan dari objek pajak tertera dibawah ini:
1. a. Bantuan atau sumbangan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dan instansi lainnya
seperti: badan pendidikan, badan sosial,koperasi dll
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham.

9
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa
6. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
b. Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen
paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh keuangan,baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh
menteri keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi.
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama
5(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha
tersebut.
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan
menteri keuangan, dan,
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penilitian dan
pengembangan ,yang telah terdaftar pada instansi yang membandingkan yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan ,dalam jangka waktu paling lama 4(
empat ) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,yang ketentuannya lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan ;
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada wajib Pajak tertentu,yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

10
2.5 OBJEK PAJAK PENGHASILAN BENTUK USAHA TETAP

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Objek Pajak Bentuk


Usaha Tetap adalah:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan
dari aset yang dimiliki atau dikuasai oleh Bentuk Usaha Tetap;
Penghasilan kantor pusat dari objek di atas berdasarkan pertimbangan logis
bahwa transaksi antara kantor pusat dan perusahaan lain di Indonesia harus ada
bantuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Ditinjau dari segi barang yang
diperdagangkan atau jasa yang diberikan tentu sama dengan barang atau jasa
yang diberikan BUT. Dasar inilah yang sering disebut dengan Force of
Attraction Concept, dengan asumsi hukum apabila barang atau jasa dalam
transaksi yang diselenggarakan kantor pusat sama dengan transaksi yang
diselenggarakan BUT. Oleh karena itu, transaksi yang dilakukan langsung oleh
kantor pusat BUT dianggap sebagai penghasilan dari BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, dan
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang dan pemberian jasa, dan sejenis dengan yang dilakukan oleh Bentuk
Usaha Tetap dianggap sebagai penghasilan Bentuk Usaha Tetap karena pada
hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha
atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap. Usaha atau
kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap, misalnya
terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk
Usaha Tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh BentukUsaha
Tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap
di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh Bentuk
Usaha Tetap tersebut secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetapnya
kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang
diberikan oleh Bentuk Usaha Tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan
di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang
dilakukan Bentuk Usaha Tetap tersebut secara langsung tanpa melalui Bentuk
Usaha Tetapnya kepada klien di Indonesia.
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh oleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara
Bentuk Usaha Tetap dan aset atau kegiatan yang memberikan penghasilan
tersebut.
Sebagái contoh, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk
mempergunakan merek dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut, X Inc.

11
menerima imbalan berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian
tersebut, X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y yang
mempergunakan merek dagang tersebut. Jika demikian, pengguxraan merek
dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia sehingga penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut
diperlakukan sebagai penghasilan Bentuk Usaha Tetap. Jadi, dianggap sebagai
penghasilan BUT asalkan terdapat hubungan efektif antara BUT dan aset atau
kegiatan yang memberikan penghasilan termasuk juga penghasilan yang
dikenakan withholding berdasarkan pada PPh Pasal 26. Konsep hubungan
efektif ini berasal dari effectively connected income yang berasal dari Undang-
Undang Pajak Domestik Amerika Serikat (Internal Revenue Code). Undang-
Undang Pajak Penghasilan di Indonesia tidak mempunyai ketentuan yang
mengatur dalam hal sebagaimana menentukan suatu penghasilan kantor pusat
mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia.

Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap

Dalam menentukan besarnya laba suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu diperhatikan hal-hal
berikut.
1. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis
dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia, serta biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dan aset atau kegiatan
yang memberikan penghasilan tersebut, diperbolehkan untuk dibebankan
sebagai biaya bagi Bentuk Usaha Tetap.
2. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah
biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap, yang
besarnya ditetapkan oleh direktur jenderal pajak.
3. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah:
a) royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan aset, paten,
atau hak-hak lainnya;
b) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
c) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
4. Pembayaran sebagaimana tersebut pada nomor 3 yang diterima atau diperoleh
dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang
berkenaan dengan usaha perbankan.

12
Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang Ditanamkan Kembali di Indonesia
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia dikenakan pajak sesuai Ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen). Apabila atas Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak, dengan syarat:
1. penanaman kembali dilakukan atas seluruh Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi Pai,ak Pea^ha.sdau dalaca hentuk penyertaau raodal pada perusahaan
yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendiri;
2. penanaman kembali dilakukan dalam Tahun Pajak berjalan atau selambat-
lambatnya Tahun Pajak berikutnya dari Tahun Pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan tersebut;
3. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan berproduksi secara komersial.
Contoh penghitungan:
Penghasilan Kena Pajak Bentuk Usaha:
Tetap di Indonesia tahun 2012 Rp. l7.500.000.000
Pajak Penghasilan: 25% x Rp 17.500.000.000 Rp. 4.375.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp. l3.125.000.000

Pajak Penghasilan yang dipotong: 20% x Rp. l3.125.000.000 = Rp2.625.000.000

Apabila Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak tersebut (sebesar


Rp.l3.125.000.000) ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak
dipotong pajak.

13
2.6 PENGURANGAN PENGHASILAN

Pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan penghasilan kena pajak.
Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan pengurangan atau
pengeluaran tertentu. Pengeluaran tersebut dinamakan juga biaya atau beban.
Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi
dalam 2 (dua) golongan, yaitu:
1. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu tahun
yang merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya;
2. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi, misalnya aset tetap
atau aset berwujud, aset tak berwujud, dan sebagainya.
Pengeluaran/beban/biaya dalam perpajakan tidak sepenuhnya sama dengan
akuntansi komersial. Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible
expense), adalah pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai hubungan langsung
dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan
dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat atas pengeluaran tersebut.
2. Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible
expenses), adalah pengeluaran/beban/biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak atau pengeluaran
dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan
pedagang yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran yang melampaui batas kewajaran
yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto.

Biaya yang Diperkenankan sebagai Pengurang (Deductible Expense)


Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan termasuk;
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
a) biaya pembelian bahan;
b) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang;
c) bunga, sewa, dan royalti;

14
d) biaya perjalanan;
e) biaya pengolahan limbah;
f) premi asuransi;
g) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
h) biaya administrasi; dan
i) pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun;
pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan aset tak berwujud
serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Pengeluaran yang
menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa
tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri
keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan aset yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
kerugian karena penjualan atau pengalihan aset yang dimiliki, tetapi tidak
digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
a) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b) wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pcngadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
d) syarat pada huruf c tidak berlaku untuk menghapuskan piutang tak tertagih
debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di

15
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah;

2.7 MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN

 DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG


PENGHASILAN KENA PAJAK.
Dasar pengenaan Pajak
Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi dasar
pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar
negeri adalah penghasilan bruto.
Besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan
netto. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Secara singkat dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Penghasilan kena pajak (WP badan ) = Penghasilan netto

Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = Penghasilan netto- PTKP


Cara menghitung penghasilan kena pajak
Penghitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak didalam negeri dan
badan usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto
 MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK DENGAN
MENGGUNAKAN PEMBUKUAN .
Untuk wajib pajak badan besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan
netto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh
Undang-Undang PPh. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi besarnya penghasilan
kena pajak sama dengan penghasilan netto dikurangi dengan PTKP.
Penaghasilan Kena pajak ( WP orang pribadi)
= Penghasilan Netto-PTKP
= (Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP

Penaghasilan Kena pajak ( WP badan)


= Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh

16
Menurut ketentuan Undang-Undang PPh, biaya-biaya (pengeluaran) dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2. Yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Biaya-biaya (pengeluaran) yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
sebagai berikut :
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk
upah,gaji,honorarium,bonus,grafikasi,dan tunjangan yang di berikan dalam bentuk
uang, bunga sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi
asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun.
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan menteri keuangan.
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk mendapatkan,menagih, dan memelihara penghasilan.
5. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
7. Biaya beasiswa,magang, dan pelatihan.
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat tertagih, dengan syarat:
a) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan keuangan komersial.
b) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau badan
urusan piutang dan lelang negara (bupln) atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan.
c) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
d) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
direktorat jendral pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
keputusan Direktur Jenderal Pajak.
9. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan berupa cadangan piutang tak tertagih
untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha
asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan
dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
10. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa yang dibayar oleh peberi kerja dan premi asuransi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi(pekerja) yang
bersangkutan.
11. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan berupa penyediaan makanan dan minunan bagi
seluruh pegawai.
12. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan:
a) Didaerah tertentu (misalnya: daerah terpencil)

17
b) Berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan
menteri keuangan.
13. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya(maksimal 5 tahun)
14. Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Sedangkan biaya-biaya(pengeluaran) yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan


bruto menurut undang-undang PPh adalah :
1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk
usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai.
6. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan:
a) Didaerah tertentu (misalnya:daerah terpencil)
b) Berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan
menteri keuangan.
7. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
8. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk
agama islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
9. Pajak penghasilan.
10. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
11. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

18
12. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
13. Biaya-biaya(pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang :
a) Dikenakan pph yang bersifat final.
b) Bukan objek PPh.
14. Biaya-biaya(pengeluaran untuk mendapatkan,menagih, dan memelihara penghasilan
yang PPh-nya dihitung dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan netto.

 MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK DENGAN


MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETTO
Apabila dalam menghitung penghasilan kena pajak wajib pajak menggunakan
norma perhitungan penghasilan netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya
dengan besarnya (persentase) norma perhitungan penghasilan netto dikalikan dengan
jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahu.
Pedoman untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus
menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak berdasarkan pegangan yang
ditetapkan oleh menteri keuangan.
Wajib pajak yang boleh menggunakan norma perhitungan penghasilan netto adalah
wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Peredaran bruto kurang dari Rp. 4,800.000.000,00 Per tahun
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun buku
3. Menyelenggarakan pencatatan
Berikut ini adalah contoh perhitungan pajak yang terutang dengan menggunakan norma
perhitungan penghasilan netto :
Wajib pajak anto kawin (istri tidak bekerja) dan memiliki 3 orang anak. Ia
seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta juga memiliki industri rotan di Cirebon.
Misalnya besar presentase norma untuk industri rotan dicirebon 12,5% , dan dokter
jakarta 45%.
Peredaran usaha dari industri rotan dicirebon setahun Rp.400.000.000,00
Penerimaan bruto seorang dokter di Jakarta setahun Rp.100.000.000,00
Perhitungan netto dihitung sebagai berikut :
Dari industri rotan: 12,5% x Rp.400.000.000 Rp. 50.000.000
Sebagai seorang dokter: 45% x Rp.100.000.000 Rp. 45.000.000
Jumlah penghasilan netto Rp. 95.000.000
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (Rp. 21.120.000)
Penghasilan kena pajak Rp. 73.880.000
 PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Besarnya PTKP setahun yang berlaku mulai tahun 2006 adalah ;
1. Rp 15.840.000 untuk wajib pajak orang pri badi
2. Rp 1.320.000 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
3. Rp 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di gabung dengan
penghasilan suami, dengan syarat :

19
o Penghasilan istri tidak semata-mata di terima atau diperoleh dari satu pemberi
kerja yang telah di potong pajak berdasarkan ketentuan dalam UU PPh pasal 21,
dan
o Pekerjaan istri tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lain.
4. Rp 1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat menjadi tanggungan
sepenuhnya (maksimal 3 orang ).
Contoh perhitungan PTKP :
1. Joko sudah menikah dengan mempunyai seorang anak. PTKP Joko adalah :
PTKP setahun:
Untuk wajib pajak sendiri Rp 15.840.000,00
Tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
Tambahan 1 anak Rp 1.320.000,00
Jumlah Rp 18.480.000,00
2. John (warga negara asing) bekerja di Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2009
dengan kontrak kerja 2 tahun. John mempunyai 3 anak, PTKP John untuk tahun
2006 adalah :
PTKP setahun :
Untuk WP sendiri Rp 15.840.000,00
Tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
Tambahan 3 anak Rp 3.960.000,00
Jumlah Rp 21.120.000,00

 TARIF PAJAK
Sesuai dengan pasal 17 UU PPh, besarnya tarif pajak penghasilan adalah sebagai
berikut :
1. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Tarif
Lapisan penghasilan kena pajak
pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15%
Diatas R p250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 25%
Diatas Rp500.000.000,00 30%

2. Wajib pajak badan usaha dalam negri dan bentuk usaha tetap(BUT)
Sedangkan tarif pajak diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib pajak badan
dalam negeri dan usaha tetap adaalah sebesar 28%. Tarif pajak bagi wajib pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap,mulai berlaku sejak tahun pajak 2010,diturunkan menjadi
25%. Wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka ynag paling
sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan dibursa efek
di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
5% lebih rendah daripada tarif yang berlaku.

20
Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang
dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00.

 CARA MENGHITUNG PAJAK.


Pajak penghasilan (bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap) setahun
dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan kena pajak dengan tarif pajak
sebagaimana diatur dalam UU PPh pasal 17. Untuk menghitung PPh dapat digunakan
rumus sebagai berikut:
Rumus menghitung wajib pajak badan
Pajak penghasilan ( wajib pajak badan)
= penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
= penghasilan netto x tarif pasal 17
= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) x tarif pasal 17

Rumus menghitung WP orang pribadi


Pajak penghasilan ( WP orang pribadi)
= penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
= (penghasilan netto – PTKP ) x tarif pasal 17
= [(penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) –PTKP] x tarif pasal 17
Catatan: untuk keperluan menghitung PPh yang terutang pada akhir tahun, penghasilan
kena pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh.
Contoh:
1. PT Cahaya sepanjang pada tahun 2010 mempunyai penghasilan kena pajak sebesar
Rp 4.500.000.000,00 dengan penghasilan kena pajak sebesar
Rp500.000.000,00 besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar atau terutang
oleh PT Cahaya adalah:

Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai
tarif sebesar 50% dari tarif Pajak penghasilan badan yang berlaku karena jumlah
peredaran bruto PT Cahaya tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 .
Pajak Penghasilan yang terutang :
(50% x 25%) X Rp500.000.000,00 = Rp62.500.000,00

2. Gunawan pada tahun 2010 mempunyai penghasilan kena pajak sebesar


Rp241.850.000,00. Besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar atau terutang
oleh Gunawan adalah :
Penghasilan kena pajak Rp 241.850.000
(dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh)
Pajak penghasilan yang harus dibayar :
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000

21
15% x Rp191.850.000 Rp 28.777.500
Jumlah Rp 31.277.500

2.8 CARA MELUNASI PAJAK

Cara melunasi pajak ada 2 cara:


1. Pelunasan pajak tahun berjalan,yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang melip
a. Pembayaran sendiri oleh WP ( PPh pasal 25 ) untuk setiap masa pajak.
b. Pembayaran pajak melalui pemotongan / pemungutan pihak ketiga berupa kredit
pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak yang terutang selama
tahun pajak, yaitu:
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan (PPh pasal
21)
 Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan
pemerintah(PPh pasal 22)
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang
lain,jasa, hadiah , dan penghargaan ( PPh pasal 23)
 Pelunasan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri( PPh pasal 24)
 Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas WP luar negeri ( PPh pasal
26)
 Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan serta penghasilan
tertentu lainnya(PPh pasal 4 ayat (2) . untuk PPh Pasal 4 ayat (2)ntidak dapat
dikredit.
2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun.
pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
a. Membayar pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung sendiri jumlah
pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurangi dengan jumlah
kredit pajak tahun yang bersangkutan.
b. Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau
surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak, apabila terdapat
bukti bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.

22
BAB III
PENUTUP

1.1.Kesimpulan

Dari bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan Umum


adalah pajak yang mengatur ketentuan umum subjek pajak dalam maupun luar
negeri, baik itu untuk wajib pajak orang pribadi, warisan yang belum terbagi,
badan, maupun BUT.
Dengan objek pajak maupun pengecualiannya, semuanya telah diatur pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang kemungkinan juga akan
diperbaharui lagi dimasa mendatang, disesuaikan dengan kemajuan tingkat
ekonomi masyarakat.
Telah disebutkan bahwa cara penghitungan pajak terutang adalah dengan
mengetahui penghasilan netonya terlebih dahulu, yaitu penghasilan bruto yang
telah dikurangi biaya-biaya yang boleh dikurangkan, kemudian untuk wajib pajak
orang pribadi, penghasilan neto tersebut dapat dikurangi terlebih dahulu dengan
PTKP, dan setelahnya dapat ditetapkan tarif pajaknya yang dikenal dengan Tarif
PPh Umum Pasal 17.

1.2. Saran

Untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang sadar pajak, atau taat bayar
pajak, sebaiknya tatacara perpajakan selalu diperbaharui sedemikian rupa agar
tidak menyulitkan masyarakat Indonesia dalam pengurusannya, dan sebanyak
mungkin diadakan seminar-seminar tentang perpajakan, sehingga perpajakan
bukan hanya menjadi materi didalam perkuliahan, atau di sekolah menengah
tingkat atas.

23
DAFTAR PUSTAKA

Resmi,Siti.2017.Perpajakan:Teori dan Kasus.Edisi 10 tahun 2017.Jakarta:Salemba


empat.

http://thoifahasriandini.blogspot.co.id/2015/10/ringkasan-mata-kuliah-rmk-
pajak_59.html

http://kampusmaroon.blogspot.co.id/2013/12/pajak-penghasilan-umum.html

24

Anda mungkin juga menyukai