Anda di halaman 1dari 38

BAB I

LARINGITIS TUBERKULOSA

2.1. Anatomi Laring


Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak
setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya
kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan.4
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus
yang berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi
inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior
dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan
cavum laringofaring, serta di sebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan
lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot
sternokleidomastoideus, infrahyoid, dan lobus kelenjar tiroid.3,4
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid
dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U,
yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan
tengkorak oleh tendo dan otot-otot. 3,4,5
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis,
kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago
tiroid.3,4,5
Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan
artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah
ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum
krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum
kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial,

1
ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokal yang
menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum
tiroepiglotika.3,4
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago
tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os
Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini
merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami
osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4

Gambar 1. Anatomi Laring

Anatomi Bagian Laring Dalam


Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:4
1. Supraglotis (vestibulum superior)
Yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.
2. Glotis (pars media)
Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati
serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.

2
3. Infraglotis (pars inferior)
Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago
krikoidea.

Beberapa bagian penting dari dalam laring:4


Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis,
lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan
tepi atas m. aritenoideus.

Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu.

Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara
prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.

Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah,
dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.

Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari
kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.

Plika Pyriformis (Hipofaring)

Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago


tiroidea.

3
Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan
kiri.

Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis,
kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan
m.interaritenoidea.

Plika Ventrikularis (pita suara palsu)


Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago
aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua
lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.

Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)


Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior
dari ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita
suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis
semu bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk
melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.

Plika Vokalis (pita suara sejati)


Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh
ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua
per lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea
dan disebut intercartilagenous portion.

4
Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior
dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.4,5
1. Nn. Laringeus Superior.
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung
ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang
kemudian akan bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris,
mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian
dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang Eksterna ; bersifat motoris,
mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri
mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga
mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal
A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara
trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

Pendarahan
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan
Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.4,5
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar
sinus pyriformis.

2. Arteri Laringeus Inferior

5
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor
Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus
Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.

Gambar 2. Sistem Arteri pada Laring

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V.


Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis
Interna.

Gambar 3. Sistem Vena pada Laring


Sistem Limfatik

6
Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:4,5
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar
limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan
middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan
metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring

2.2. Fisiologi Laring


Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan
proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian
berikut:3,6,7,8
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks.
Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan
adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring

7
diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi
laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam
paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat
dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting
dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa
ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek
otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu
menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap
reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis
dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior.
Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke
atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar
lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan
masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang
sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini
dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila
pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila
pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan
obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris,
sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat
pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan
dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi.

8
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap
tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian
bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M.
Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan
kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan
faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau
minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan
orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup
aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral
menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus
esofagus.
7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai
katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara
mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan

9
laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang
merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar
berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring,
misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

2.3. Definisi
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat
terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila
gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis.
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rinofaringitis akut (common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan
radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi
septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga
disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak
atau biasa berbicara keras.9
Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan
spesifik. Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen
(rangsangan fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi
kronik saluran napas atas atau bawah, asap rokok) atau faktor endogen
(bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan laringitis kronik spesifik
disebabkan tuberkulosis dan sifilis.10
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis
tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita
suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosa.6

10
2.4. Epidemiologi
Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang
mengalami penurunan, kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami
penurunan, meskipun kecenderungan peningkatan kejadian laringitis
tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir.11
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok
usia muda yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit
ini pada penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini
tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki
dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis laring juga lebih sering terjadi
pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi
dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya adalah peminum alkohol.12

2.5. Etiologi
Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena
struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak
sebaik paru. Infeksi laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu
sebagai komplikasi tuberkulosis paru aktif, dan ini merupakan penyakit
granulomatosis laring yang paling sering.10,11,12

2.6. Patogenesis
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi
tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil
tuberkel secara langsung.10,11,12,13 Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat
terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau
penyebaran melalui darah atau limfe.9
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis
dikategorikan menjadi 2 mekanisme, yaitu:

11
1. Laringitis Tuberkulosis Primer
Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis.
Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi
Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya keterlibatan
paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis primer yang
saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel melalui
inhalasi.13,14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shin dkk (2000),
menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis tuberkulosis
memiliki paru yang normal.15

2. Laringitis Tuberkulosis Sekunder


Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring
akibat Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru.
Laringitis tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi
tuberkulosis paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat
berupa penyebaran langsung di sepanjang saluran pernapasan dari infeksi
paru primer berupa sputum yang mengandung kuman maupun penyebaran
melalui sistem darah ataupun limfatik.9

Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)


Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme
bronkogenik merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen
dalam hal ini, sputum yang mengandung bakteri M. tuberculosis
mendasari patogenesis terjadinya laringitis tuberkulosis. Terjadinya
laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya sputum yang
mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama pada struktur posterior
laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara bagian posterior
dan permukaan epiglotis yang menghadap ke laring.11,12
Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu
dibawa ke kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M.

12
Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat kembali
ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat
menghasilkan produksi IFN  dan mengaktifasi makrofag. Bila eliminasi
mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi
dimana patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi pengalihan respon
imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat membentuk granuloma.16
Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity)
dimana pengerahan makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel
epitloid berupa sel datia dalam granuloma.16
Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah
dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel
mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk nodul.
Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya mungkin hilang
dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. Proses ini pertama kali
cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan epiglotis.11,12
Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia
epitel dan jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada
daerah interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai pakiderma.
Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang menyerupai morbili.
Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan karena hanya
ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.11,12
Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai
akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di
fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis dan
jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak
edema.9,11,12
Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul
jaringan fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel.

13
Penyebaran Melalui Limfohematogen
Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada
laring dapat juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui
sistem limfohematogen biasanya mengenai laring anterior dan epiglotis.15

2.7. Gambaran Klinis


Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium
yaitu:9,10,12
1. Stadium infiltrasi
2. Stadium ulserasi
3. Stadium perikondritis
4. Stadium pembentukan tumor

Stadium Infiltrasi
Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan
hiperemis pada bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara.
Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat.
Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa
tidak rata, tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan
beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya
meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan
terbentuk ulkus.

Stadium Ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh pasien.

14
Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama
kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang
rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan
terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk dan dapat
meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut
dan msuk dalam stadium terakhir yaitu fibrotuberkulosis.

Stadium Fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior,
pita suara dan subglotik.

Berdasarkan Shin dkk (2000), temuan pada laringitis tuberkulosis


dapat dikategorikan menjadi empat grup, antara lain (a) lesi ulserasi (40,9%),
(b) lesi inflamasi non spesifik (27,3%), (c) lesi polipoid (22,7%), dan (d) lesi
massa ulcerofungative (9,1%).14

15
Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi
Ulseratif (pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior), C.
Lesi Polyploid (pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik (pada
plika vokalis kanan)

Gejala Klinis
Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai
berikut:
- Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.
- Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada stadium
lanjut dapat timbul afoni.
- Hemoptisis.
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri
karena radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk.
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses aktif
(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).

2.8. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat ditanyakan:
- Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi
gejala
- Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat
memicu timbulnya laringitis seperti debu, asap.
- Penggunaan suara berlebih

16
- Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin
yang dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada
mukosa.
- Riwayat merokok
- Riwayat makan
- Suara parau atau disfonia
- Batuk kronis terutama pada malam hari
- Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita
suara
- Disfagia dan otalgia

2. Gejala dan Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat stridor
inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung
dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan
adanya takikardi yang tidak sesuai dengan peningkatan suhu badan
merupakan tanda hipoksia.
3. Laboratorium
- Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

17
Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut.

- Kultur kuman
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih
peka terhadap OAT yang digunakan.

4. Laringoskopi direk atau indirek


Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna
merah dan tampak edema terutama di bagian atas dan bawah glotis.

Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis

5. Foto toraks
Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran
tuberkulosis paru. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan
memberikan hasil yang lebih baik. Gambaran radiologik yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.

18
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.

Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru

6. Pemeriksaan patologi anatomi


Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir kering
dan berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel
permukaan menebal dan opaque, pembentukan granuloma, sel besar
Langhans, serbukan sel radang menahun pada lapisan submukosa.

Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis

19
2.9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding laringitis tuberculosis, antara lain:9,10,12
- Laringitis luetika
Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan
laringitis tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan.
Laringitis luetika terjadi pada stadium tertier dari sifilis, yaitu stadium
pembentukan guma. Apabila gma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus
inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar
yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang
berwarna kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar
sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi
perikondritis.

- Karsinoma laring
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis
tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun
hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.

2.10. Penatalaksanaan
1. Terapi non medikamentosa
- Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak
berbicara.
- Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk
misalnya goreng-gorengan, makanan pedas.
- Konsumsi cairan yang banyak.
- Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.

2. Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT)

20
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu:
Obat primer:
- INH (isoniazid)
- Rifampisin
- Etambutol
- Streptomisin
- Pirazinamid
Obat sekunder:
- Exionamid
- Paraaminosalisilat
- Sikloserin
- Amikasin
- Kapreomisin
- Kanamisin

Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis


Obat Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)
INH 5-15 (maks. 300 mg) 15-40 (maks. 900 15-40 (maks. 900
mg) mg)
Rifampisin 10-20 (maks. 600 10-20 (maks. 600 15-20 (maks. 600
mg) mg) mg)
Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)
Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25.40maks. 1,5 g)

3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester.
Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
Trakeostomi

21
Trakeostomi adalah tindakan membuat luabang pada dinding
depan/anterior trakea untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi,
berikut:
- Mengatasi obstruksi laring
- Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas
seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
- Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang
tidak dapat mengeluarkan secret secara fisiologik.
- Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
- Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas bronkoskopi.
Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi
yaitu jika terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran
napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.

2.11. Prognosis
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup
sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium
dini maka prognosisnya baik.4,5

2.12. Komplikasi
Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka
dapat terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan
bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor baik pada periode
inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis tuberkulosis dapat terjadi
sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis subglotis, paralisis
plika vokalis, dan persisten disfonia

22
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : tn.k
Usia : 82 tahun
JK : laki laki
Alamat : Ds.Karangampel
MRS tanggal : 31-3-2016
Tanggal Pemeriksaan : 31-3-2016

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sulit Menelan
Riwayat Penyakit Sekarang

23
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan utama
Sulit menelan selama 2 bulan, keluhan disertai rasa nyeri yg hebat saat
menelan. Pasien juga mengeluhkan demam, Berat bada turun, dan batuk
berdarah. Makan dan minum tidak bisa, jika pasien makan selalu dimuntahkan
kembali.
Keluhan tidak disertai BAB cair, tidak ada riwayat trauma di daerah
leher, BAK normal, pada lingkungan sekitar dan keluarga tidak ada yang
mengalami hal seperti ini

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
 Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), penyakit hati kronis
(-) asthma (-), keganasan (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga pasien dengan keluhan keluhan seperti yang
pasien rasakan..
 Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), asthma (-), keganasan
(-), TBC ( - ).

Riwayat Pengobatan
 Riwayat alergi obat (-)

Riwayat Pribadi dan Sosial


 Pasien tinggal di rumah anaknya.
 Pasien tidak bekerja
 Pasien menggunakan asuransi BPJS
 Kesan ekonomi : menengah kebawah

24
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 80 kali per menit, reguler, kuat angkat cukup.
Pernafasan : 23 kali per menit, thorakoabdominal.
Suhu : 37,0oC.

Status Lokalis
 Kepala :
- Ekspresi wajah : normal.
- Bentuk dan ukuran : normal.
- Rambut : hitam dan tidak mudah rontok.
- Udema (-).
- Malar rash (-).
- Parese N VII (-).
- Hiperpigmentasi (-).
- Nyeri tekan kepala (-).
-
-
 Mata :
- Alis : normal.
- Exopthalmus (-/-).
- Ptosis (-/-).
- Nystagmus (-/-).
- Strabismus (-/-).
- Udema palpebra (-/-).
- Konjungtiva: anemia (-/-), hiperemis (-/-).

25
- Sclera: icterus (-/-), hyperemia (-/-), pterygium (-/-).
- Pupil : isokor, bulat, miosis (-/-), midriasis (-/-).
- Kornea : normal.
- Lensa : normal, katarak (-/-).
- Pergerakan bola mata ke segala arah : normal

 Telinga :
- Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.
- Lubang telinga : normal, secret (-/-).
- Nyeri tekan (-/-).
- Peradangan pada telinga (-)
- Pendengaran : normal.

 Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-).
- Napas cuping hidung (-/-).
- Perdarahan (-/-), secret (-/-).
- Penciuman normal.
 Mulut :
- Simetris.
- Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan
di pinggir
(-), tremor (-), lidah kotor (-).
- Gigi : caries (-)
- Mukosa : normal.
- Faring dan laring : terlihat hiperemis

 Leher :

26
- Simetris (-).
- Kaku kuduk (-).
- Scrofuloderma (-).
- Pemb.KGB (-).
- Trakea : di tengah.
- JVP : R+2 cm.
- Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-).
- Otot bantu nafas SCM tidak aktif.
- Pembesaran thyroid (-).

 Thorax
Pulmo :
Inspeksi :
- Bentuk: simetris.
- Ukuran: normal, barrel chest (-)
- Pergerakan dinding dada : simetris.
- Permukaan dada : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-),
vena kolateral (-), massa (-), sikatrik (-) hiperpigmentasi (-),
genikomastia (-).
- Iga dan sela antar iga: sela iga melebar (-), retraksi (-), iga lebih
horizontal.
- Fossa supraclavicula dan fossa infraclavicula : cekungan simetris
- Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (-), otot
intercosta(-).
- Tipe pernapasan torakoabdominal, frekuensi napas 20 kali per menit.

Palpasi :
- Pergerakan dinding dada : simetris
- Fremitus taktil :
a. Lobus superior : D/S sama

27
b. Lobus medius dan lingua: D/S sama
c. Lobus inferior : D/S sama
- Nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-).

Perkusi :
- Sonor (+/+).
- Nyeri ketok (-).
- Batas paru – jantung
a. Batas jantung kanan : ICS V Linea sternalis dextra
b. Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
c. Pinggang jantung : ICS II linea parasternaalis sinistra
- Batas paru hepar : ICS 6

Auskultasi :
- Suara napas vesikuler (+/+).
- Suara tambahan rhonki basah (-/-).
- Suara tambahan wheezing (-/-).

Cor :
Inspeksi : Ictus cordis terlihat.
Palpasi : Ictus cordis teraba (+) ICS 5, di garis medial mid klavikula
kiri
perkusi : Batas Jantung Kanan linea parasternal kanan.
Batas pinggang Jantung ICS 3.
Auskultasi : BJ I dan II ireguler, gallop (-), murmur (-)
Pulse deficit (+)
 Abdomen
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (-),
- Umbilicus : masuk merata.

28
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-), vena
kolateral (-), caput meducae (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-),
luka bekas operasi (-), hiperpigmentasi (-).
Auskultasi :
- Bising usus (+) normal.
- Metallic sound (-).
- Bising aorta (-).
Palpasi :
- Turgor : normal.
- Tonus : normal.
- Nyeri tekan (-) epigastrium
- Hepar/lien/renal tidak teraba.
Perkusi :
- Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
- Redup beralih (-)
- Nyeri ketok CVA: -/-
 Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang +/-
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-

29
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-

IV. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan utama
Sulit menelan selama 2 bulan, keluhan disertai rasa nyeri yg hebat saat
menelan. Pasien juga mengeluhkan demam, Berat bada turun, dan batuk
berdarah. Makan dan minum tidak bisa, jika pasien makan selalu dimuntahkan
kembali.
Pemeriksaan Fisik didapatkan daerah laring terlihat hiperemis,
pemeriksaan laboratorium gula darah sewaktu 61 mg/dl

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan Darah Lengkap :

22-12-2015
Parameter Normal
08.14
11,5 – 16,5
HGB 10,4
g/dL
HCT 31 40 – 50 [%]
4,0 – 11,0
WBC 5,86
[10^3/ µL]
150 – 400
PLT 192
[10^3/ µL]
150 – 400
MCHC 33,3
[10^3/ µL]
MCV 87 82,0 – 92,0 [fL]
27,0 – 31,0
MCH 29,3
[pg]
GDS 61 70-140 mg/dl
0,50 – 1,1
CREATININ 0,71
mg/dl

30
135-155
NA 140
mmol/l
KALIUM 3,7 3,5-5,5 mmol/l

CLORIDA 94 95-105 mml/l

VI. PENATALAKSANAAN
Usulan Terapi
Medikamentosa:
1. Infus RL 20 tpm
2. Ondansentron 3x1
3. Ranitidin 2x1
4. Ketorolac 2x1

31
5. Aspilet 1x1
6. ISDN
Non Medikamentosa:
1. Tirah baring.
2. Pasien dan keluarga diberi edukasi mengenai penyakit yang diderita
pasien dan penatalaksanaannya serta pencegahannya.
Usulan pemeriksaan :
1. Ro Thorax
2. Laringoskop

Rencana Monitoring :
Evaluasi kesadaran, tanda vital, keluhan, dan DL.

VII. PROGNOSA
Quo Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Quo Ad functionam : Dubia ad Bonam
Quo Ad sanationam : Dubia ad Bonam

32
FOLLOW UP

Tang Subjektive Objective Assessment Planning


gal

23/2/ Sulit menelan (+) Ku : tampak sakit 1.Infus RL 20 tpm


2.Ondansentron 3x1
2016 Berat
Batuk (+) 3.Ranitidin 2x1
4.Ketorolac 2x1
Kesadaran : 5.Aspilet 1x1
BAB(-)
Compos mentis 6.ISDN
7.Ro Thorax
Demam(-)
Vital sign :

TD : 100/60
mmHg

N : 82 x/menit

RR : 23 x/menit

T : 36,7 C

PF:

Rh +/-

24/2/ Sulit menelan (+) Ku : sakit sedang

33
2016 Batuk (+) Kesadaran : 1. Therapi lanjut
2. Diet cair
Compos mentis
BAB(-) 3. Konsul SpP
Vital sign :
Demam(-)
TD : 110/70
Hasil Ro: TB paru mmHg
aktif N : 85 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37,0 C
PF:
Rh +/-

25/2/ Sulit menelan (+) Ku : tampak sakit


Sedang
2016
Batuk (+) 1. Acc pulang
Kesadaran :
2. Rawat jalan di
Compos mentis
BAB(-) Poli Paru
Vital sign :
Demam(-)
TD : 120/80
mmHg
Makan sulit
N : 88 x/menit
Hasil konsul :
RR : 22 x/menit
Levofloxacin 1x T : 36,5 C
500mg drip

Cek SPS

34
ANALISA KASUS

I. DAFTAR MASALAH
Akalasia motorik
TB laring
Hipoglikemi
II. PENGKAJIAN
1. Akalasia motorik
Berdasarkan keluhan sulit dan nyeri pada saat menelan
2. TB laring
Berdasarkan keluhan nyeri menelan lebih dari 2 bulan , demam,
batuk berdarah, turun berat badan dan pada pemeriksaan Ro
Thoraks didapat TB paru aktif
3. Hipoglikemi
Hasil gula darah sewaktu 60 mg/dl
4. Planning Diagnosis :
Laringoskop

Terapi farmakologi :
1.Intake cairan
2. Antibiotik Parenteral
3. OAT

35
4. D10% cek GDS per 8 jam
3. Terapi non farmakologi :
Pasien dan keluarga diberi edukasi mengenai penyakit yang
diderita

DAFTAR PUSTAKA

1. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic


carcinoma: a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee
BioMed Central Ltd. 2009 [Diakses tanggal 28 April 2012]. Didapatkan dari:
http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288

2. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis.


Dalam: Bailey, Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology, edisi ke-4. Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006.
Hal 831-832.

3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung


Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 231-234

4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.

5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi


Laring. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2006. Hal 805-813.

6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi
keenam. Jakarta: EGC; 1999. Hal 369-377

36
7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747,
755-760.

8. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.


Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2001. Hal 479-486.

9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung


Teggorok Kepala Leher : Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 238-241

10. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta:


Penerbit Media Aesculapius; 2006. Hal 126-127

11. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology :


Infectious Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. Hal 354-
361

12. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, Penyakit
Granulomatosis Kronik Laring, Edisi ketigabelas. Jakarta: Penerbit Binarupa
Aksara; hal 547-558

13. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal


tuberculosis without pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1):
Winter 2012: 3(1): 397-399.

14. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine D’Costa. Primary tuberculosis of


Larynx. Ind J tub 1997. 44.211. Didapat dari: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year
%201997/Octuber%201997/OCT1997%20J.pdf

15. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical manifestations
of laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-1953s.

16. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta.
2006; h. 145, 170-173.

37
38

Anda mungkin juga menyukai