Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AM
Usia : 58 tahun
Tanggal lahir : 19 Juli 1959
Alamat : Tlepok Kulon 02/I Grabag, Purworejo
Pekerjaan : Petani
Tanggal ke poli : 11 Oktober 2017

B. ANAMNESIS
(Autoanamnesis pada 11 Oktober 2017 di Poli Mata RSUD Dr. Tjitrowardojo)
Keluhan Utama : Penglihatan kabur pada mata kanan
Keluhan Tambahan : Mata kanan merah, berselaput, gatal, berair, kadang
terasa pedih dan tidak tahan terlalu lama terkena
cahaya terang
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang bersama istrinya dengan keluhan mata
kanan terasa semakin kabur untuk melihat sejak 6
bulan yang lalu. Awalnya sejak kurang lebih 5 tahun
yang lalu pasien sering mengeluhkan adanya mata
merah, kemudian mulailah tumbuh selaput yang
pertama kali muncul pada sudut bagian hidung
kanan mata namun seiring waktu bertambah hingga
ke bagian tengah bola mata pasien. Keluhan disertai
gatal, berair dan pedih pada mata kanan yang sering
berulang selama pasien bekerja diluar rumah
sebagai petani. Pasien juga merasa bila keluar
rumah tidak tahan terlalu lama terkena cahaya
terang.

Riwayat Penyakit Dahulu :


2

- Riwayat penyakit mata lainnya (-)


- Riwayat pemakaian kacamata (-)
- Riwayat alergi obat (-)
- Riwayat alergi makanan ikan asin (+)
- Riwayat alergi dingin (+)
- Riwayat pengobatan steroid dan jamu jangka lama (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
- Riwayat Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat keluarga yang menderita keadaan seperti ini (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus dalam keluarga (-)
- Riwayat Hipertensi dalam keluarga (-)
- Riwayat Alergi (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Seorang laki-laki tua dapat berjalan sendiri
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : TD 110/80 mmHg Suhu 36,80C
Nadi 84x/menit RR 22x/menit
Pemeriksaan fisik : Kepala : Mesosefal
Thoraks : Cor : Tidak ada kelainan
Paru : Tidak ada kelainan
Abdomen : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Tidak ada kelainan

Status Oftalmologi
3

Oculus Dexter

Oculus Sinister
Oculi Dekstra Oculi Sinistra

Tampak selaput mata yang melewati Tampak selaput mata yang hanya
pupil. terbatas pada limbus kornea.

Pemeriksaan OD OS
Visus 2/60 5/10
4

Palpebra Simetris Simetris


Spasme (-) (-)
Oedem (-) (-)
Retraksi (-) (-)
Tremor (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Bola Mata
Pasangan Simetris Simetris
Gerakan Normal Normal
Konjungtiva
Oedem (-) (-)
Hiperemis
Jaringan Fibrovaskular (+) (+)
melewati pupil terbatas pada limbus
kornea
(+) (+)
Inj. Konjungtiva (-) (-)
Inj. Perikornea (-) (-)
Inj. Episklera (-) (-)
Sub. Konj. Bleeding
Sekret (-) (-)
Serose (-) (-)
Mukoid (-) (-)
(-) (-)
Purulen
Mukopurulen
Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
Arcus Senilis (+) (+)
Licin Licin
Permukaan
(-) (-)
Edema (-) (-)
Infiltrat (-) (-)
Defek (-) (-)
Neovaskularisasi
COA Dalam Dalam
Iris / Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 2 mm 2 mm
Sentral Sentral
Kedudukan
(+) (+)
Refleks direk (+) (+)
Refleks indirek
Lensa
Kejernihan Keruh tipis Keruh tipis
Letak Sentral Sentral
TIO N N
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
5

D. RESUME
Datang seorang pasien laki-laki bersama istrinya dengan keluhan mata kanan
terasa kabur untuk melihat sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya sejak kurang lebih 5
tahun yang lalu pasien sering mengeluhkan adanya mata merah, kemudian mulailah
tumbuh selaput yang pertama kali muncul pada sudut bagian hidung kanan mata
namun seiring waktu bertambah hingga ke bagian tengah bola mata pasien. Keluhan
disertai gatal, berair dan pedih pada mata kanan yang sering berulang selama pasien
bekerja diluar rumah sebagai petani. Pasien juga merasa bila keluar rumah tidak tahan
terlalu lama terkena cahaya terang. Dari hasil pemeriksaan tajam penglihatan
didapatkan visus pasien VOD 2/60 dan VOS 5/10. Pada konjungtiva bulbi dextra
didapatkan jaringan fibrovaskular berbetuk segitiga yang tumbuh dari bagian nasal
hingga sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. Kemudian pada
konjungtiva bulbi sinistra didapatkan jaringan fibrovaskular berbetuk segitiga yang
tumbuh dari bagian nasal ke limbus kornea melewati pupil sehingga belum
mengganggu penglihatan Terdapat injeksi konjungtiva pada mata kanan pasien serta
didapatkan adanya kekeruhan yang tipis pada lensa mata kanan dan kiri.

E. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : OD Pterygium Grade IV
OS Pterygium Grade I
Diagnosis Banding : ODS Pinguekula
ODS Pseudopterigium

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Usulan pemeriksaan penunjang:
- Refraksi
- Slit lamp

G. TERAPI
Medikamentosa
- Cendo lyteers 0.01% 15 ml ED 4 x 1 ODS
Bedah
- Ekstirpasi pterygium dan conjunctiva autograft

H. PROGNOSIS
Prognosis OD OS
Quo ad Visam Ad bonam Ad bonam
6

Quo ad Sanam Ad bonam Ad bonam


Quo ad Vitam Ad bonam Ad bonam
Quo ad Cosmeticam Ad bonam Ad bonam

I. EDUKASI
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan, serta
komplikasi yang dapat terjadi.
2. Menjelaskan perlunya kontrol.

3. Menyarankan menghindari debu, daerah kering dan berangin, dan paparan sinar
matahari.

4. Menyarankan memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktivitas di luar
rumah saat siang hari.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva
ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Konjungtiva terdiri atas tiga
bagian, yaitu (Ilyas & Yuliantini, 2014; Schwab & Dawason, 2011) :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Anatomi mata
8

Konjungtiva Beserta Kelenjar

Konjungtiva

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari aa. ciliaris anterior dan aa. palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan membentuk jaring-jaring vaskular
konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam
lapisan superfisial dan profunda dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra
membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
pertama nervus V. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit (Pendergrast,
2006).
Fungsi dari konjungtiva sendiri adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan
non-spesifik berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi dan menyuplai darah. Selain
itu, juga terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast,
9

leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa dan antibodi dalam bentuk IgA
(Sihota & Tandon, 2007).
2. Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan
avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan kornea adalah letak epitel
kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan padat,
kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea merupakan suatu
lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea melanjutkan diri sebagai
sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut limbus.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
a. Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
b. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
c. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
a. Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
b. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen
yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
10

a. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea


dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
b. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
tidak mempunyai daya regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari
50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas & Yuliantini,
2014)
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,
humor aqueous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan sebagian besar
oksigen dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ramus
oftalmicus) nervus kranialis V (trigeminus). Transparansi kornea disebabkan oleh
strukturnya yang seragam, avaskularitas, dan deturgensinya (Pendergrast, 2006).
11

Lapisan kornea

B. Definisi
Menurut Sidarta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak
pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah
kornea. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau
sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi (2014).
Pterygium umumnya berkembang pada pasien yang tinggal pada iklim panas
(iklim tropis dan subtropis), pasien dengan pinguecula, pasien yang sering terkena
paparan sinar ultraviolet (UV) atau faktor lain seperti mata kering kronis. Pterygium
merupakan suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan neoformasi fibrovaskular
berbentuk segitiga yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi
permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman (Swastika, 2008).

C. Epidemiologi
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium
cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari dan
bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau
12

kekeringan). Prevalensi pterigium di Indonesia yaitu sebanyak 13,9 %, tertinggi pada


daerah Sumatera.
Insiden tertinggi pterigium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun.
Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Rekuren lebih sering terjadi pada
pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 2
kali dari pada perempuan (Saerang & Marie, 2013).

D. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi Ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan sinar
matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan
sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan
kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat
ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Yang juga menunjukkan adanya
“pterygium angiogenesis factor“ dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis
sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium (Arif., et al 2012).

D. Patofisiologi
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap
angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor
supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan
sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
13

degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan


subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi
jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang
disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi
ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi
limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari
kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan
histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut
ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin,
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya
biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Girolamo., et al 2002).
14

E. Klasifikasi
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson) :
 Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
 Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
 Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Pterigium Grade 1 – 4
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).
b. Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.
c. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu :
a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
b. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

F. Diagnosis
Diagnosis pterygium berdasar pada anamnesis, pemeriksaan fisik (status
oftalmologi) dan dapat ditambahkan dengan pemeriksaan penunjang yang mengarahkan
pada diagnosis maupun untuk menyingkirkan diagnosis banding pterygium.
Anamnesis :
15

 Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau
kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini
mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-
lahan.
 Pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari
peradangan dan iritasi.
 Sensasi benda asing dapat dirasakan
 Mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya.
 Penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar
matahari atau partikel debu (Riwayat bekerja diluar ruangan pada daerah dengan
pajanan sinar matahari yang tinggi).

Pemeriksaan Fisik :
Pada inspeksi terlihat pterygium sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjungtiva. Pterygium memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga
sebagian pterygium yang avaskular dan flat. Pterygium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea dan juga tidak menutup kemungkinan
kejadian pterygium dari arah temporal. Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk
melihat apakah visi terpengaruh. Menggunakan slitlamp diperlukan untuk
memvisualisasikan pterygium tersebut. Menggunakan sonde di bagian limbus, pada
pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium (Ilyas & Yulianti,
2014). Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera)
pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera
dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
 Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah
kantus
 Apex (head), bagian atas pterygium
 Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterygium.
Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
16

- Progressif pterygium : Memiliki gambaran tebal dan vascular dengan beberapa


infiltrat di kornea di depan kepala pterygium

- Regressif pterygium : Dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,


membentuk membran tetapi tidak pernah hilang (Vaughan
& Asbury, 2010).
G. Diagnosis Banding
1. Pinguecula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan
limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi.
Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden
meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan
iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar
ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.

Mata dengan pinguekula

2. Pseudopterygium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring atau
Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul
pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterygium,
pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti
pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer
kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing
dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium
pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium
tidak didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari
ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium (Ilyas & Yulianti,
2014).
17

Mata dengan pseudopterigium

Perbedaan pterygium dengan pseudopterygium

Perbedaan Pterygium Pseudopterygium


Sebab Proses degeneratif Reaksi tubuh
penyembuhan dari luka
bakar, GO, difteri
Sonde Tidak dapat Dapat dimasukkan
dimasukkan dibawahnya
dibawahnya
Kekambuhan Residif Tidak
Usia Dewasa Semua usia

H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu diobati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea (Arif., et al 2012). Proteksi mata yang sakit dengan
penggunaan kacamata juga bisa mengurangi perasaan tidak nyaman pada mata dan
menghindari paparan sinar matahari, debu, dan asap.
2. Operatif
Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterygium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian konjungtiva bekas pterygium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian
18

superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan


pterygium yaitu untuk mencapai keadaan normal gambaran permukaan mata yang
licin, memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi
seminimal mungkin dan angka kekambuhan yang rendah.

Indikasi Operasi :
1. Pterygium yang telah menimbulkan tanda-tanda astigmatisma
2. Pterygium yang mengganggu aksis visual (pterygium yang menjalar ke kornea
sampai lebih 3 mm dari limbus; pterygium yang mencapai jarak lebih dari separuh
antara limbus dan tepi pupil)
3. Pterygium dengan gejala iritasi yang memberat seperti mata merah, berair, dan
gatal
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Beberapa teknik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu:


1. Bare sclera: tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu
daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure: tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya
defek konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flap: suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva
digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap: insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
5. Teknik conjungtiva autograft. Dilaporkan persentasi rekurensi nya sebanyak 2-40%
dalam beberapa penelitian prospektif. Prosedurnya dilakukan dengan mengambil
autograft dari konjungtiva superotemporal bulbi dan graft dijahit melewati dari sclera
yang terdapat pterigium setelah eksisi daripada pterigium.
6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium,
mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru
mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan fibroblas pterygium.
Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi
rekuren tetapi jarang digunakan.
19

7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru


dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

Teknik Pembedahan Pterygium

I. Pencegahan
1. Memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko berkembangnya
pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi.
2. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai
tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung
dari cahaya matahari.
3. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu
resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun,
pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja
lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.

J. Komplikasi
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut :
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena
pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada
kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri
20

belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak kornea dan
peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat
“with the rule” dan ireguler astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan menyebabkan diplopia.

K. Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi. Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas
kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan
eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.
Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi (Ilyas & Yulianti,
2014).
21

BAB III
PEMBAHASAN & KESIMPULAN

1. Pembahasan
Seorang laki-laki, usia 58 tahun, bekerja sebagai petani datang dengan keluhan mata
mata kanan terasa semakin kabur untuk melihat sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya sejak
kurang lebih 5 tahun yang lalu pasien sering mengeluhkan adanya mata merah, kemudian
mulailah tumbuh selaput yang pertama kali muncul pada sudut bagian hidung kanan mata
namun seiring waktu bertambah hingga ke bagian tengah bola mata pasien. Keluhan disertai
gatal, berair dan pedih pada mata kanan yang sering berulang selama pasien bekerja diluar
rumah sebagai petani. Pasien juga merasa bila keluar rumah tidak tahan terlalu lama terkena
cahaya terang.
Berdasarkan teori, pasien yang datang dengan keluhan mata kabur untuk melihat
kemungkinan besar dikarenakan tumbuh jaringan fibrovaskular yang menebal dan generatif
dari medial (nasal) ataupun temporal mata mengarah ke limbus hingga kornea adalah
pterigium. Biasanya faktor resiko kejadian pterigium yaitu paparan sinar matahari dan
kejadian tinggi pada daerah iklim panas. Pasien dengan pterigium biasanya memiliki
pekerjaan outdoor, sering bepergian sehingga banyak terpapar sinar matahari. Berdasarkan
teori tropik dikemukakan oleh Barraquer yang mengatakan bahwa pterigium adalah suatu
manifestasi pembentukan jaringan parut pada daerah yang mengalami iritasi yang menahun,
sehingga akan ada manifestasi mata merah dan berair. Dengan terbentuknya penonjolan di
limbus, ada daerah diskontinuitas precorneal tear film, sehingga terjadi pengeringan kornea
yang kemudian menjadi ulkus. Penyembuhan ulkus tidak dapat dilakukan oleh regenerasi
epitel kornea dan memerlukan konjungtiva yang kaya pembuluh darah dimana akan
menyebabkan terbentuknya jaringan ikat. Akibatnya terjadi perlekatan antara konjungtiva
dengan jaringan subkonjungtiva akan menjadi lebih erat yang menyebabkan pterigium.
Kejadian pterigium meningkat seiring bertambah usia dapat dikaitkan dengan lamanya
paparan sinar matahari dengan bertambah usia. Dari hasil pemeriksaan tajam penglihatan
didapatkan visus pasien VOD 2/60 dan VOS 5/10. Pada konjungtiva bulbi dextra didapatkan
jaringan fibrovaskular berbetuk segitiga yang tumbuh dari bagian nasal hingga melewati
pupil. Sedangkan pada konjungtiva bulbi sinistra didapatkan jaringan fibrovaskular berbetuk
segitiga yang tumbuh dari bagian nasal hingga terbatas di bagian limbus kornea. Berdasarkan
teori disebutkan jika pterigium mencapai kornea dan melewati pupil maka dapat
22

menyebabkan gangguan tajam penglihatan. Pada kasus pasien ini telah melewati pupil
sehingga adanya gangguan visus dapat terjadi.

2. Kesimpulan
Pterigium merupakan suatu jaringan yang berbentuk segitiga atau sayap pada
permukaan membran dasar sebagai akibat dari pertumbuhan epitel limbus yang masuk ke
kornea secara sentripetal. Proliferasi tersebut diikuti dengan terjadinya hiperplasia dari epitel
konjunctiva, proliperatif, gambaran inflamasi, serta kaya pembuluh darah.
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama
bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing
dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. Penderita juga dapat
melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu. Adanya
gangguan visus pada kasus pterigium dapat disebabkan adanya jaringan fibrovaskular yang
mencapai korena dan pupil.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan (autograft). Hal tersebut bertujuan memberikan hasil yang
baik secara kosmetik, mencegah komplikasi seminimal mungkin serta mengupayakan angka
kekambuhan yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA
23

1. Arif, Mansjoer, et al. 2012. Ilmu Penyakit Mata Dalam: Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Balai Penenrbit FKUI.

2. Saerang, Josepien Saartje Marie. Vascular Endothelial Growth Factor 'Air Mata
sebagai faktor Resiko Tumbuh Ulang Pterygium'. Indonesian Medical Association.
2013 Maret; 63(3): p. 100-105
3. Ilyas S. dan Sri Rahayu Yulianti. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
4. Schwab I.R. dan Dawason C.R. 2011. Konjungtiva Dalam Oftalmologi Umum Edisi
14. Jakarta: Widya Medika.
5. Pendergrast D. Pterygia and Pinguecula. Continuing Medical Education. 2006; 33(6).
6. Sihota R, Tandon R. Parsons's Disease of The Eye. India: Elsevier; 2007.
7. Swastika MA. Perbedaan Kekambuhan Pasca Ekstirpasi Pterygium Metode Bare
Sclera dengan Transplantasi Limbal Stem Sel [Article]. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2008.
8. Girolamo, Nick Di; Kumar, Rakesh K; Coroneo, Minas T; Wakefield, Denis. UVB-
Mediated Induction of Interleukin-6 and -8 in Pterygia and Cultured Human
Pterygium Epithelial Cells. Investigative Ophthalomogy & Visual Science 2002.

9. Vaughan dan Asbury. 2010. Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC.

10. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from :
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow
up/complications.html

11.Mata PDS. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Sagung Seto; 2002.

Anda mungkin juga menyukai