Pembimbing :
Disusun Oleh :
Lisa Nopiyanti
2013730149
ABSTRAK
Latar Belakang Prevalensi dari infeksi virus hepatitis B (VHB) di Indonesia masih tinggi.
Cara paling efektif untuk mengontrol penyebaran virusnya melalui imunisasi. Banyak
penelitian menemukan seroproteksi antibodi hepatitis B (anti-HBs) menurun pada anak usia
>10 tahun. Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang dapat memenpegaruhi titer anti-HBs.
Tujuan Untuk mengukur titer anti-HBs dan mengevaluasi faktor faktor yang mungkin
berhubungan dengan titer anti-HBs.
Metode Penelitian cross sectional ini dilakukan pada anak-anak usia 10-15 tahun dari 10
sekolah dari Kecamatan Tuminting,Manado, Sulawesi Utara, dari Oktober sampai November
2014. Seluruh subjek telah menuntaskan seluruh imunisasi hepatitis B. Dengan menggunakan
sampel acak, 105 anak dipilih sebagai subjek penelitian. Data dianalisa menggunakan SPSS
versi 22.
Hasil Dari 48 sekolah, kami memilih 10 sekolah untuk mendapatkan 105 anak, namun hanya
23 (21.9%) anak yang terdeteksi memiliki anti-HBs. Dari seluruh subjek, 76 (72.4%) adalah
perempuan, 78 (74.3%) memiliki status nutrisi yang baik, dan 98 (93.3%) dengan berat badan
lahir ≥2.500 gram. Data dari buku caatatan imunisasi menunjukan bahwa 26 (24.8%) subjek
menerima vaksin HB-1 pada usia ≤7 hari kelahiran dan 45 (42.9%) subjek dengan jarak
antara HB-2 dan HB-3 ≥2 bulan. Analisis multivariat menunjukan bahwa pemberian HB-1
pada usia ≤7 hari dan jarak HB-2 ke HB-3 ≥2 bulan memiliki hubungan yang signifikan
dengan seroproteksi anti-HB pada anak-anak.
Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan masalah global karena menyebabkan komplikasi
yang berat, seperti sirosis hati, hipertensi portal, dan karsinoma hepatoselular. The World
Health Organization (WHO) melaporkan 900 juta orang terinfeksi hepatitis B dan 378 juta
lainnya merupakan carrier. Setiap tahun, 620.000 orang dengan hepatitis B akan meninggal.
Indonesia dikategorikan sebagai daerah dengan prevalensi sedang-berat, dengan rata-rata 9,4%
yang artinya 1 dari 10 orang di Indonesia terinfeksi VHB. Pada daerah endemik, infeksi dapat
terjadi pada usia muda dan ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak atau horizontal dari
carrier kronik yang tinggal di satu rumah. Data dari Departemen Kesehatan RI pada tahun
2000 menunjukan bahwa penularan vertikal dari ibu ke bayi ialah 45.9% yang kebanyakan
terjadi pada saat kelahiran. Cara paling efektif untuk mengontrol penyebaran VHB ialah
2
dengan imunisasi. Walaupun seroproteksi menurun seiring bertambahnya usia, memori dari
sistem imun tidak akan berkurang. Buktinya terjadi di penelitian dari Thailand yang memberi
vaksin rekombinan HB saat masih kecil. Titer anti-HB ditemukan pada 89.8% subjek pada
usia 5 tahun. Merujuk dengan kondisi epidemiologi Indonesia yang sama dengan Thailand,
dapat disimpulkan bahwa imunisasi booster pada usia 5 tahun tidak diperlukan. Namun,
penelitian lainnya menunjukan bahwa titer anti-HB pada usia 10-12 tahun hanya 12-47.9%.
Sebagai tambahan, Depkes RI pada 2013 menunjukan cakupan dari tiga dosis imunisasi
Hepatitis B di Indonesia hanya 75.6%, yang masih dibawah tingkat level minimal (80%).
METODE
Penelitian cross sectional ini dilakukan dari Oktober hingga November 2014 pada
anak usia 10-15 tahun di SD, SMP dan SMA di Kecamatan Tuminting, Manado, Sulawesi
Utara. Subjek dipilih secara acak dengan sampel acak bertingkat. Kriteria inklusi dari
penelitian ini adalah: 1) Anak dalam kondisi sehat, 2) Menuntaskan seluruh imunisasi
Hepatitis B (3 kali) dengan jarak antara HB-1 dan HB-2 4-8 minggu dan maksimal usia 12
bulan, 3) Dengan persetujuan dari orangtua/wali untuk berpartisipasi di penelitian ini dengan
menandatangani persetujuan dari penelitian ini dan untuk menerima tindakan medis, 4)
Memiliki kartu imunisasi (Kartu Menuju Sehat/KMS). Kriteria eksklusi adalah anak dengan ;
1)HBsAg positif, 2) Penyakit maligna (Leukemia, Osteosarkoma, atau Limfoma, Penyakit
Hati Kronik (Kolestasis atau HB), diabetes melitus, penyakit imunodefisiensi (HIV), penyakit
kronik (TBC), penyakit ginjal kronik yang membutuhkan dialisis, kelainan hematologi yang
membutukan transfusi darah dan pengobatan imunosupresan atau 3) Pengguna narkotika
(Ganja, Morfin atau Methamfetamin).
Jumlah sampel minimum ialah 97 sampel. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik
Penelitian dari FK Universitas Sam Ratulangi. Status seroproteksi dikategorikan dengan titer
anti-HBs ≥ 10 mIU/mL dianggap sebagai responden (dengan seroproteksi) atau titer anti-HBs
< 10 mIU/mL sebagai bukan responden. Responden kemudian dikategorikan lagi sebagai
hiporesponden (titer anti-HBs 10-100 mIU/mL) atau responden baik (titer anti-HBs > 100
mIU/mL). Data dianalisa dengan SPSS versi 22. Data bivariat diukur dengan menggunakan
Chi-Square dan Mann Whitney, diikuti dengan analisa multivariat dengan hasil P<0.05.
Analisa multivariat digunakan untuk melihat koefisien regresi dan signifikan. Nilai P<0.05
dianggap signifikan.
3
HASIL
Penelitian ini dilakukan pada anak-anak usia 10-15 tahun di SD, SMP dan SMA
Kecamatan Tuminting, Manado, Sulawesi Utara. Dari 48 sekolah di daerah tersebut, 105
pelajar dipilih secara acak dari 10 sekolah.
Karakteristik dari subjek penelitian ditampilkan pada Tabel 1. Dari 23 anak yang
memiliki seroproteksi, hanya 2 anak yang memiliki titer anti-HBs ≥ 100 mIU/mL. Dua dari
105 subjek (1.9%) memiliki ibu dengan riwayat infeksi Hepatitis B. 23 subjek dengan
seroproteksi kemudian dikelompokan lagi berdasarkan jarak antara vaksin HB-2 dan HB-3,
<2 bulan ( 2 subjek) dan ≥2 bulan (21 subjek). Dari 21 subjek di kelompok ≥2 bulan, kami
menemukan bahwa jarak antara vaksin HB-2 dan HB-3 adalah 2 bulan untuk 10 subjek (rata-
rata titer anti-HBs 24.81 mIU/mL), 3 bulan untuk 7 subjek (rata-rata titer anti-HBs 44.78
mIU/mL), 4 bulan untuk 1 subjek (titer anti-HBs 18.54 mIU/mL), 5 bulan untuk 1 subjek
(titer anti-HBs 51.27 mIU/mL), 6 bulan untuk 1 subjek (titer anti-HBs 101.05 mIU/mL), dan
8 bulan untuk 1 subjek (titer anti-HBs 48.84 mIU/mL)(data tidak ditampilkan)
Analisa bivariat dari faktor-faktor yang memengaruhi titer anti-HBs ditampilkan pada
Tabel 2. Kami menemukan bahwa anak di kelompok reaktif memiliki status nutrisi yang
lebih baik dibandingkan anak di kelompok non-reaktif. Diantara subjek di kelompok non-
reaktif, kami menemukan lebih banyak anak-anak yang menerima vaksin HB-1 >7 hari dan
jarak antara vaksin HB-2 dan HB-3 adalah <2 bulan.
4
Tabel 2. Analisis Bivariat dari Faktor yang Berhubungan dengan Titer Anti-Hb
Variabel Nilai P
Pemberian HB-1 pada
0.02
≤7 hari atau >7 hari
Jarak antara HB-2 dan
<0.001
HB-3 <2 bln atau ≥2bln
Ekonomi keluarga 0.96
Status nutrisi 0.076
PEMBAHASAN
Kami merancang penelitian ini untuk dilakukan pada anak-anak usia 10-15 tahun,
dikarenakan kontradiksi dari European Concencus Recommendations (ECR) bahwa
seroproteksi HB bertahan paling tidak untuk 10 tahun selanjutnya. Lebih lanjut, ECR
menemukan bahwa walaupun titer anti-HBs menurun seiring bertambahnya usia, orang
tersebut masih terlindungi secara klinis dari penyakit kronik disebabkan oleh memory imun
in vitro yang masih memberikan perlindungan. Oleh sebab itu, booster tidak lagi diperlukan
5
untuk orang yang sudah menuntaskan seluruh rangkaian imunisasi Hepatitis B . Namun,
realita yang ada menunjukan walaupun imunisasi HB telah ada di Indonesia sejak 1997,
prevalensi infeksi Hepatitis B di Indonesia masih tinggi pada 9.4%. Fakta ini juga didukung
dengan jumlah penerima imunisasi HB-0 di Indonesia hanya 79.1% dan DPT-HB-3 hanya
75.6%. Maka, standar minimal proteksi pada 80% belum terpenuhi.
Pada penelitian ini, titer anti-HBs ≥ 10 mIU/mL ialah sebagai berikut: pada usia 10
tahun 5/18 (27.8%), usia 11 tahun 5/18 (26.3%), usia 12 tahun 4/15 (23.5%), usia 13 tahun
2/19 (10.5%), usia 14 tahun 4/18 (22.2%), dan usia 15 tahun adalah 3/17 (17.6%), dengan
total rata-rata seroproteksi pada usia 10-15 tahun ialah 23/105 (21.9%).
Kami juga menemukan bahwa 3/105 anak (2.8%) dengan ibu yang memiliki riwayat
infeksi HB, 2 anak diantaranya dengan titer <10 mIU/mL dan satu anak dengan titer ≥10
mIU/mL, sehingga anak tanpa seroproteksi tersebut harus diberikan booster HB secepatnya,
jarena 45.9% VHB dapat menular ke bayi.
Kami meneliti faktor-faktor berkaitan dengan titer anti-HB, seperti usia anak saat
pemeriksaan titer anti-HB, jenis kelamin, status nutrisi, berat badan lahir, pemberian HB-1
pada usia ≤7 hari atau > 7 hari, jarak antara HB-2 ke HB-3 ialah <2 bulan atau ≥2 bulan, usia
ibu saat melahirka, pendidikan ibu dan sosioekonomi. Analisa bivariat menggunakan Chi-
square menampilkan hubungan yang signifikan antara seroproteksi dan pemberian HB-1 ≤7
6
hari serta jarak antara HB-2 ke HB-3 ialah ≥2 bulan, kondisi ekonomi orangtua, dan nutrisi
anak. Analisa lebih lanjut menampilkan hubungan antara seroproteksi dan jarak antara HB-2
dan HB-3 ≥2 bulan dan pemberian HB-1 ≤7 hari, namun tidak ada hubungan signifikan
antara titer anti-HB dan kondisi ekonomi orang tua atau status nutrisi.
Kami mengamati penurunan titer anti-HB dengan bertambahnya usia, walaupun tidak
terlalu signifikan tapi memiliki hubungan. Aswati dkk juga mendapatkan hasil yaitu tidak ada
hubungan antara usia dan titer anti-HB. Berbeda dengan Whittle dkk yang menemukan titer
anti-HB berhubungan dengan usia, dimana anak yang lebih besar memiliki titer yang lebih
rendah (P<0.05). Kami tidak menemukan hubungan yang signifikan antara titer anti-HB
dengan jenis kelamin, sama dengan oenelitian yang dilakukan sebelumnya. Kontras dengan
penelitian di Iran dan China yang menampilkan bahwa perempuan memiliki titer anti-HB
yang lebih tinggi dibandingkan pria. Penelitian lainnya menunjukan penurunan jumlah
limfosit T di pria dibandingkan dengan wanita, dengan pria memiliki titer serum IgG dan
IgM lebih rendah dibandingkan dengan wanita. Perbedaan respon imun pada pria dan wanita
secara teori dipengaruhi oleh hormon seks steroid, seperti estrogen, progesteron dan
testosteron. Kami juga tidak menemukan hubungan antara titer anti-HB dan berat badan lahir.
Penelitian ini kontras dengan teori bahwa bayi berat lahir rendha dan/atau bayi prematur,
memiliki antibodi yang rendah dikarenakan imunitas pasif melalui transmisi maternal, fungsi
makrofag, dan respon kemotastis dan juga kurangnya membran. Kami tidak menemukan
hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan titer anti-HB namun ada kecenderungan ibu
dengan pendidikan rendah dan usia <20 tahun kurang pengetahuannya dan kesiapan
psikologis untuk merawat anak, yang dapat memengaruhi titer anti-HB.
Jadwal imunisasi memiliki hubungan yang signifikan dengan titer anti-HB contohnya
pemberian HB-1 pada usia ≤7 hari dan jarak antara pemberian HB-2 dan HB-3 ≥2 bulan.
Penelitian cross sectional yang dilakukan Mohammed dkk membandingkan dua jadwal
imunisassi HB dan menemukan bahwa respon imun sama pada anak yang menggunakan
jadwal 3,4,9 bulan serta 0,2,9 bulan. Sebagai tambahan, Damme dkk menilai titer anti-HB 5
tahun setelah imunisasi HB, membandingkan dua kelompok tersebut. Kelompok A menerima
vaksin pada usia 0 dan 6 bulan, sedangkan Kelompok B menerima pada usia 0,1, dan 6 tahun.
Pada kelompok usia 11-15 tahun, mereka menilai titer anti-HB ialah > 10 mIU/mL pada 79.5%
kelompok A dan 91.4% kelompok B.
Anak anak yang menerima imunisasi HB-1 segera setelah lahir memiliki seroproteksi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lainnya. Kami menemukan hubungan yang
signifikan pada titer HB seroproteksi pada anak yang diimunisasi pada ≤7 hari dibandingkan
anak yang diimunisasi pada >7 hari. Namun, ketika ditinjau dari jumlah anak yang rekatif
setelah diberikan HB-1 ≤7 hari pada 12/23 anak (52.2%) dan non-reaktif pada 14/82 anak
(17%), data ini menunjukan bahwa hampir tidak ada perbedaan pada persentase dan bahwa
titer anti-HB pada pemberian HB-1 ≤7 hari dipengaruhi oleh faktor lainnya.
Tiga dosis yang menentukan respon antibodi ialah dosis booster, lamanya jarak antara
imunisasi kedua dan ketiga (4-12 bulan), lebih tinggi titer antibodi. Kami menemukan
hubungan yang signifikan antara titer anti-HB yang lebih tinggi pada jarak imunisasi HB-2 ke
7
HB-3 ≥2 bulan. Namun, ketika dilihat dari jumlah anak yang reaktif pada jarak HB-2 dan
HB-3 ≥2 bulan pada 21/23 anak dan non-reaktif pada 24/82 anak (29.3%), data ini
menunjukan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase dan ini mengindikasikan bahwa
titer anti-HB pada jarak HB-2 dan HB-3 ≥2 bulan dipengaruhi dengan faktor lainnya.
Handayani dkk melaporkan perbedaan yang signifikan antara pemberian dosis pertama
vaksin HB pada usia ≤7 hari dan usia >7 hari pada titer anti-HB (64.92 mIU/mL vs 145.56
mIU/mL: P=0.038), namun tidak ada hubungan antara HB-2 dan imunisasi HB-3 dan pada
titer anti-HB. Imunisasi Hepatitis B pada usia kurang dari 1 minggu diharapkan dapat
mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi terutama untuk wanita dengan HBsAg positif.
Kami tidak menemukan hubungan antara titer anti-HB dan status nutrisi anak pada
analisis multivariat, walaupun analisis bivariat menunjukan hubungan yang signifikan. Hasil
ini menunjukan status nutrsisi pada waktu penelitian sehingga tidak memengaruhi
pembentukan titer anti-HB. Batasan dari penelitian ini ialah kami tidak mendapatkan data
yang cukup untuk menentukan status nutrisi dari subjek pada waktu mereka menerima
imunisasi dasar hepatitis B. Penelitian di Tanzania pada anak usia < 5 tahun menemukan 70.3%
memiliki status nutrisi yang baik namun tidaj ada hubungan yang signifikan antara status
nutrisi dan titer anti-HB. Penelitian di Mesir memeriksa hubungan antara malnutrisi dan
respon vaksin HB pada 27 anak dengan kwashiorkor atau marasmus dan 13 anak sehat pada
kelompok kontrol. Titer anti-HB lebih signifikan pada kelompok kontrol.
Persentase yang lebih tinggi dari kelompok reaktif (95.7%) memiliki status ekonomi
yang lebih tinggi dari kelompok non-reaktif (69.5%), namun penelitian ini tidak signifikan
pada analisis multivariat. Ochirbat dkk menemukan anak dengan konfisi sosioekonomi yang
rendah kehilangan seroproteksi dibandingkan anak dengan kondisi ekonomi yang baik.
Batasan dari penelitian ini ialah kami tidak melakukan penelitian HBsAg pada subjek
penelitian kami, kami tidak tahu apakah titer anti-HB meningkat sebagai akibat dari subjek
secara alami tersekspos HB atau efek dari imunisasi VHB.
Kesimpulannya, anak usia 10-15 tahun memiliki seroproteksi yang rendah (21.9%)
dan pemberian HB-1 pada ≤7 hari dan jarak antara pemberian HB-2 dan HB-3 ≥2 bulan
merupakan faktor penting berkaitan dengan seroproteksi HB yang lebih tinggi. Berdasarkan
penemuan kami, kami menyarankan untuk memberikan booster kepada remaja untuk
meningkatkan seroproteksi diri mereka dan menurunkan kemungkinan penularan VHB ibu-
bayi di masa depan.