Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

Demam rematik adalah penyebab paling umum dari penyakit jantung dapatan pada
anak dan dewasa muda yang hidup di kondisi sosial ekonomi rendah. Demam Rematik Akut
(DRA) terjadi setelah infeksi tonsilofaringeal Streptokokus Grup A yang tidak tertangani dan
bermanifestasi setelah tiga minggu periode laten. Demam Rematik Akut (DRA) secara primer
berdampak pada jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Fokus utama dari DRA adalah
kemampuannya dalam menyebabkan fibrosis katup jantung, yang berakibat pada penyakit
katup jantung yang melumpuhkan sistem hemodinamik, gagal jantung dan kematian.1
Beban global akibat penyakit yang disebabkan oleh demam rematik dan Penyakit
Jantung Rematik (PJR) saat ini menimpa anak-anak dan dewasa muda secara tidak
proporsional yang hidup di negara berpendapatan rendah dan bertanggung jawab pada sekitar
233.000 kematian tiap tahunnya. Setidaknya 15.6 juta orang diduga saat ini terjangkit penyakit
jantung rematik (PJR) dengan jumlah signifikan dari mereka membutuhkan hospitalisasi
berulang dan sering pembedahan jantung yang tidak terjangkau pada 5 sampai 20 tahun yang
akan datang dan 1.9 juta penderita lain dengan riwayat DRA, namun tidak karditis serta
470.000 kasus baru DRA tiap tahunnya. Hampir seluruh kasus dan kematian terjadi di Negara
berkembang. Beberapa angka DRA dan PJR dokumentasi tertinggi di dunia ditemukan di
Australia daerah Aborigin, Maoris, Kepulauan Pasifik dan Selandia Baru. Prevalensi PJR juga
tinggi di Afrika bagian Sahara, Amerika Latin, beberapa bagian India, Timur Tengah dan
Afrika Utara.1,2
Pencegahan penyakit ini dilakukan pada sejumlah level berbeda. Pencegahan primer
dicapai dengan pengobatan infeksi tenggorokan akut oleh Streptokokus Grup A. Pencegahan
primer digunakan setelah sebuah serangan Demam Rematik Akut (DRA) untuk mencegah
progresi ke penyakit jantung dan dilanjutkan untuk beberapa tahun. Pembedahan sering
dibutuhkan untuk memperbaiki atau mengganti katup jantung pada pasien dengan kerusakan
katup jantung yang parah, biayanya sangat tinggi dan sangat terbatas terutama dari segi biaya
pada sumber pelayanan kesehatan di negara miskin.1,2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
 Nama : An. D
 Umur : 10 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Pekerjaan : Pelajar
 Orang tua : Tn.T & Ny.M
 Suku : Jawa
 Agama : Islam
 Status Perkawinan : Belum Menikah
 Alamat : Tangkit lama, Lr. Merpati RT 13
 Tanggal : 2 Februari 2017

2.2 Anamnesis (Alloanamnesis dari orang tua Os)


 Keluhan Utama
Sesak Nafas
 Riwayat Penyakit Sekarang
(27-10-15) Os datang ke Poli RSUD Raden Mattaher untuk kontrol ulang
dengan riwayat PJR ditambah keluhan sesak nafas kurang lebih 5 hari SMRS. Sesak
nafas makin berat jika aktivitas meningkat dan membaik saat beristirahat. Riwayat
pingsan (-), riwayat warna kulit berubah menjadi kebiruan (-). Os. juga mengeluh
batuk. Batuk yang dialami sedikit berdahak. Pada dahak berwana putih dan tidak
terdapat darah. Intensitas keparahan batuk tidak dipengaruhi cuaca dan aktivitas.
Demam (-), mual (-), muntah (-), suara ngorok (-) dan mengi (-). Riwayat Trauma (-).
Berat badan turun (-)
 Riwayat Penyakit Dahulu
Sekitar 2 bulan sebelum gejala, awalnya Os demam setelah seharian bermain
kelereng bersama teman-teman di sekitar rumahnya. Demam berlangsung selama 5
hari dimana demam bersifat terus menerus tanpa naik turun dan tidak diselingi periode
bebas demam, menggigil maupun berkeringat. Demam disertai dengan nyeri sendi
tungkai bawah, terutama kedua sendi lutut. Batuk, pilek dan sakit tenggorokan saat

2
maupun sesaat sebelum awitan demam disangkal, hanya mengaku pernah sakit
tenggorokan seperti pada umumnya. Selama demam, riwayat ruam pada batang tubuh,
pembengkakan pada tonjolan-tonjolan tulang disangkal dan timbulnya gerakan-
gerakan aneh disangkal.
Akibat demam tersebut, pada hari ke 5 demam Os. dibawa ke seorang dokter
anak (dr.X) di daerah Jelutung, dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter
menyatakan terdapat gangguan berupa “jantung bocor” pada jantung Os. Lalu dr.X
menganjurkan Os. untuk berobat ke RSUD Raden Mattaher untuk dirawat dan
dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut berupa ekokardiografi. Namun karena
dengan pemberian obat sementara oleh dokter demam dirasa membaik, Os. menunda
anjuran dokter untuk dibawa ke RSUD Raden Mattaher.
Sekitar 15 hari setelah Os berobat ke dr. X, pihak keluarga membawa Os ke
RSUD Raden Mattaher melalui IGD dengan keluhan utama sesak. Sesak napas telah
berlangsung kurang lebih selama seminggu SMRS Sesak semakin hari memberat
dirasakan terutama ketika terdapat peningkatan aktivitas dan membaik saat
beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi kondisi cuaca. Selama sesak mulai timbul,
riwayat pingsan dan kebiruan saat sesak terjadi disangkal. Saat di IGD keluhan
demam, mual dan muntah disangkal. Buang air kecil dan buang air besar lancar. Lalu
Os. dirawat di RSUD Raden Mattaher selama 14 hari. Os. keluar dari rumah sakit pada
tanggal 5-10-2015 dengan diagnosis Decompensatio Cordis ec. Penyakit Jantung
Rematik dan wajib kontrol rutin tiap 3 minggu.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Penyakit keturunan (-), Riwayat alergi (-) Riwayat penyakit dengan keluhan
serupa (-), laporan orang sekitar yang batuk dan minum obat lama (-)
 Riwayat Tumbuh Kembang
Os. lahir spontan dengan bantuan bidan di klinik bersalin dengan BBL 4 kg.
Tidak terdapat penyulit sebelum saat atau sesudah proses persalinan. Selama proses
tumbuh kembang Os diberikan ASI eksklusif selama 2 tahun dan riwayat imunisasi
lengkap. Saat proses tumbuh kembang tidak terdapat suatu keterlambatan atau
kegagalan mencapai pertumbuhan ataupun perkembangan sesuai usia seperti
keterlambatan bicara, merangkak, berdiri, ataupun berjalan dll.
 Lingkungan & Sosioekonomi

3
Os. merupakan anak terakhir dari empat bersaudara yang saat ini duduk Sekolah
Dasar, Ayah Os bekerja sebagai petani dan Ibu Os seorang ibu rumah tangga. Os.
hidup dalam kesan kondisi sosial ekonomi yang kurang.

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum : Sakit Sedang,
 Kesadaran : Komposmentis, GCS: 15 ( E4 M6 V5 )
 Status Gizi BB/TB : 23 kg/125 cm (sesuai)
BB/U : 23 kg/ 8 th (normal)
TB/U : 23 kg/ 8 th (normal)
 Tanda-tanda Vital
- TD : 110/70 mmHg
- Suhu : 36.20C
- Nadi : 101 x/menit, reguler, isi & tegangan cukup.
- RR : 26 x/menit regular
- SpO2 : 99%
 Kulit
Warna cokelat, hiperpigmentasi (-), pertumbuhan rambut merata, warna hitam dan
tidak mudah dicabut, keringat/ kelembapan menurun, turgor kembali cepat (+), ikterus
(-), lapisan lemak normal.
 Kepala
Normochepal, ekspresi muka normal, muka simetris, deformitas (-), sianosis (-)
 Mata
Edema palpebral (-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor, pandangan kabur (-)
 Telinga :
Normotia, fungsi pendengaran baik, otorrhea (-), nyeri (-)
 Hidung :
Deviasi septum (-), napas cuping hidung (-), rinore (-), pembesaran konka (-),
perdarahan (-), sumbatan (-), fungsi penciuman baik.
 Mulut dan faring :
Sariawan (-), tonsil T1-T1, gusi berdarah (-), lidah kotor (-), atrofi papil (-), disfagia(-
)

4
 Leher :
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5+2 cm H2O, kaku kuduk(-
)
 Kelenjar
Pembesaran kelenjar getah bening submandibula (-), submental (-), jugularis superior
(-), jugularis interna (-)
 Paru-paru
- Inspeksi
Simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal, bentuk rongga dada dalam batas
normal, otot bantu pernafasan (-), pelebaran sela iga (-), hipertrofi otot pernafasan (-
), permukaan kulit tidak ditemukan kelainan dan dalam batas normal.
- Palpasi
Fremitus taktil simetris, krepitasi (-), nyeri tekan (-), sela iga melebar(-)
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (+/+), wheezing (+/+),
 Jantung
- Inspeksi : Ictus kordis ICS V 1 jari lateral linea midklavicula sinistra
- Palpasi : Ictus kordis teraba pada sela iga V di linea midklavicula sinistra, thrill
(+)
- Perkusi : Batas kiri pada ICS V 1 jari lateral linea midklavicula sinistra
Batas kanan pada ICS IV linea parasternal dextra
- Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (+), gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Kontur datar, abdomen kiri dan kanan simetris, sikatrik (-), vena
kolateral
(-), spider nevi (-), massa (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : defense muscular (-), soepel, asites (-), nyeri tekan (-) , nyeri lepas (-),
massa (-), lebar hati 1/3 proksimal linea MCD dan ½ proksimal Linea
Mid sternal dari umbilikus , limpa tidak teraba, ginjal sulit dinilai,
turgor baik.
- Perkusi : timpani(+), pekak (-), asites (-), shifting dullness (-)
 Punggung

5
- Inspeksi : bentuk simetris
- Palpasi : nyeri tekan (-/-), vocal fremitus simetris
- Perkusi : sonor (+/+)
 Ekstremitas
- Superior : deformitas (-), sianosis (-), edem (-/-), palmar eritem (-), pucat (-),
gerakan aktif, CRT< 2s, hangat.
- Inferior : deformitas (-), sianosis (-), edem (-/-) , pucat (-), gerakan aktif, CRT
< 2s, hangat

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Darah Rutin (27/10/15)
PARAMETER HASIL SATUAN NILAI NORMAL

Darah Rutin

WBC 17,0 103/mm3 3.5-10.0

RBC 5,14 106/mm3 3.80-5.80

HGB 10.2 g/dl 11.0-16.5

HCT 36 % 35.0-50.0

PLT 388 103/mm3 150-390

PCT 0.327 % 0.100-0.500

MCV 70 µm3 80-97

MCH 21,7 Pg 26.5-33.5

MCHC 31 g/dl 31.5-35

RDW 19,5 % 10-15

MPV 7.4 µm3 6.5-11

PDW 12,1 % 10-18

Diff count

6
LYM 29,2 % 17-48

MON 2.8 % 4.0-10.0

GRA 68,5 % 43.0-76.0

Elektrolit ((21/07/15)
Natrium (Na) : 130.85 mmol/L
Kalium (K) : 3.75 mmol/L
Chlorida (Cl) : 108.19 mmol/L
Calcium (Ca) : 1.17 mmol/L

Pemeriksaan Imunologi (23/09/15)


CRP : Positif (+)
ASTO kualitatif : Positif (+)

Faal Hemostasis (23/09/15)


LED : 78 mm/jam
DDR : negatif (-)
Faal Hemostasis (27/10/15)
LED : 69 mm/jam
Faal Hemostasis (2/11/15)
LED : 63 mm/jam

Pemeriksaan Kimia Darah


Faal Ginjal (21/09/15)
Ureum : 51.1 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 1.8 mg/dl (15-39)
Faal Ginjal (23/09/15)
Ureum : 36. mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0.5 mg/dl (0.9-1.3)

7
Urinalisis (23/09/15)
Warna : Kuning Muda pH :6
Berat Jenis : 1015 Albumin :-
Glukosa :- Sel Leukosit : 1-2 LPB
Sel Eritrosit : 0-1 LPB

Kultur Mikrobiologi (28-09-15)


Hasil Kultur dengan sampel dari Swab Tenggorok : Klebsiella Pneumoniae

8
Pencitraan
Rontgen Thoraks (21-09-15)

Kesan
Mediastinum : deviasi trakea (-)
Cor : CTR > 50 % = Kardiomegali
Paru : Corakan bronkovaskular meningkat
Sudut Costophrenicus Lancip

9
Ekokardiografi (30/9/15)

10
Kesimpulan Ekokardiografi
: Regurgitasi Mitral Berat & Regurgitasi Aorta Moderate

11
Elektrokardiografi (02/02/17)

Interpretasi EKG
Sinus Rhythm (Gel. P diikuti Kompleks QRS)
Laju 100x/menit (Normal)
Reguler (Interval P-P sama)
Aksis normal (Hasil resultan di I dan aVF (+))
Morfologi
Gelombang P : dbn (P pulmonal (-); P mitral (-))
Interval PR : dbn (Interval PR 0.16 s)
Kompleks QRS : dbn (lebar kompleks QRS 0.12 s)
Segmen ST : dbn (Segmen ST di garis isoelektrik)
Gelombang T : dbn (Tinggi < 2/3 gel R)

12
2.5 Diagnosis
Penyakit Jantung rematik
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Endokarditis Infektif

2.6 Tatalaksana
Farmakologi
Rawat Bangsal : O2 nasal 2L/menit (27/10/15)
IVFD D5 ¼ NS 10 tpm
Nebulisasi NaCl 3% 2cc + Ventolin
Cetirizine 2 x 2.5 mg
Ambroxol 3 x 5 mg
Inj. Ampicillin 3 x 50 mg IV
Inj. Gentamisin 2 x 30 mg IV
Inj. BPG 600.000 IM
Kontrol Poli : Inj. BPG 600.000 IM/ 3mgg (02-02-17)

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

13
Follow Up
Tanggal S O A P
02/02/17 Sesak (-) Keadaan umum : baik PJR Inj BPG
Batuk (-) Kesadaran : CM 600.000
TD : 100/60 mmHg; RR : 20 x/i; T : 36,6 ‘C
Demam (-) IU (i.m)
HR : 103 x/i; Sp(O2) : 99%, BB : 25kg TB : 125cm
Kepala & Wajah : Normocephal, CA (+/+), SI (-/-), mata
cekung (-), pupil isokor, sianosis (-)
Mulut dan Leher : T1/T1, Kgb (-)
Thoraks
Cor : Simetris, bentuk dada dbn, Ictus cordis 2 jari di lateral
linea MCS ICS 5, Thrill (+), Batas Jantung Kanan Linea 2
jari lateral linea PSD, Batas Jantung Kiri melebar 2 jari
lateral linea MCS, S1 S2 regular, M (+) pansistolik, G (-)
Pulmo : Sonor (+/+), Vesikuler (+/+),rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : Supel, BU (+), Massa (-), Nyeri Tekan (-), Timpani
(+), turgor baik.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 dtk

24/02/17 Sesak (-) Keadaan umum : baik PJR Inj BPG


Kesadaran : CM 600.000
TD : 110/60 mmHg; RR : 21x/i; T : 36,2 ‘C
IU (i.m)
HR : 98x/i; Sp(O2) : 98%, BB : 25kg TB : 125cm
Kepala & Wajah : Normocephal, CA (+/+), SI (-/-), mata
cekung (-), pupil isokor, sianosis (-)
Mulut dan Leher : T1/T1, Kgb (-)
Thoraks
Cor : Simetris, bentuk dada dbn, Ictus cordis 2 jari di lateral
linea MCS ICS 5, Thrill (+), Batas Jantung Kanan Linea 2
jari lateral linea PSD, Batas Jantung Kiri melebar 2 jari
lateral linea MCS, S1 S2 regular, M (+) pansistolik, G (-)
Pulmo : Sonor (+/+), Vesikuler (+/+),rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : Supel, BU (+), Massa (-), Nyeri Tekan (-), Timpani
(+), turgor baik.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 dtk

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Demam Rematik Akut (DRA) adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi imunologis
terhadap infeksi bakteri Streptokokus Grup A (SGA). Infeksi ini menyebabkan respon
inflamasi yang bersifat akut dan umum, dan merupakan penyakit yang berdampak pada
beberapa bagian tubuh tertentu, umumnya jantung, sendi, otak dan kulit. Individu dengan DRA
sering mengalami sakit parah dengan nyeri yang hebat dan membutuhkan perawatan rumah
sakit. Disamping gejalanya yang hebat saat episode akut, DRA tidak meninggalkan cedera
yang permanen pada otak, sendi atau kulit. Namun, kerusakan terhadap jantung atau lebih
spesifik pada katup mitral dan atau katup aorta, mungkin akan menyisakan kerusakan sekalipun
episode akut telah teratasi. Keadaan ini dikenal sebagai Penyakit Jantung Rematik (PJR). PJR
adalah bentuk paling umum dari penyakit jantung anak secara global dan pada banyak negara
merupakan penyebab tersering mortalitas akbiat penyakit jantung anak-anak dan dewasa
berusia kurang dari 40 tahun.2,3

Etiologi
Katup-katup jantung rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan
infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Group A β-hemolytic streptococcus
(GABHS) (contoh: Streptococcus pyogenes), bakteri yang bisa menyebabkan demam rematik.
Streptococcus merupakan bakteri gram-positif berbentuk bulat, yang mempunyai karakteristik
dapat membentuk pasang atau rantai selama pertumbuhannya Streptococcus termasuk
kelompok bakteri yang heterogen. Sebagian besar dari streptococcus group A,B, dan C
memiliki kapsul yang terdiri dari asam hialuronat, yang menghalangi fagositosis. Dinding sel
terdiri dari protein ( antigen M, T, dan R ), karbohidrat (kelompok spesifik), dan peptidoglikan.
Pili terdapat pada grup A, yang berisi sebagian dari protein M dan dilindungi oleh asam
lipoteichoic, merupakan komponen penting untuk perlekatan streptococcus pada sel epithelial.4
Protein M merupakan faktor utama S.pyogenes grup A, yang menjadikan bakteri
virulen dan akan menolak fagositosis oleh PMN. Terdapat lebih dari 80 jenis protein M,
sehingga menyebabkan seseorang dapat terinfeksi berkali-kali. Memilik molekul berbentuk
seperti batang yang menggulung yang memisahkan fungsi utamanya. Struktur seperti ini
memungkinkan terjadinya perubahan urutan yang besar ketika mempertahankan fungsinya,
dengan 2 kelas struktur utama pada protein M yaitu kelas I dan kelas II. Protein M dan antigen
15
dinding sel bakteri streptococcus yang lain memiliki peranan penting dalam patogenesis pada
demam rematik. Komponen dinding sel pada jenis M tertentu yang dapat mengakibatkan
antibodi bereaksi dengan jaringan otot jantung.4

16
Epidemiologi
Demam rematik jarang terjadi sebelum usia 5 tahun dan setelah usia 25 tahun, paling
banyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidens tertinggi terdapat pada anak
usia 5-15 tahun dan di negara tidak berkembang atau sedang berkembang dimana antibiotik
tidak secara rutin digunakan untuk pengobatan faringitis. Baik pada negara maju dan negara
berkembang, faringitis dan infeksi kulit (impetigo) adalah infeksi yang paling sering
disebabkan oleh Group A β-hemolytic streptococcus (GABHS), yang merupakan bakteri yang
paling sering menyebabkan faringitis. Faringitis streptokokal jarang terjadi pada 3 tahun
pertama kehidupan dan diantara orang tua. Diperkirakan sebagian besar anak-anak mengalami
1 episode faringitis per tahun, dimana 15-20% disebabkan oleh Group A β-hemolytic
streptococcus (GABHS) dan hampir 80% oleh virus patogen.5
Pada tahun 1994, diperkirakan terdapat 12 juta individu menderita DRA dan PJR di
seluruh dunia dan setidaknya 3 juta diantaranya mengalami gagal jantung kongestif/ Congestif
Heart Failure (CHF) yang membutuhkan hospitalisasi berulang. Proporsi dalam jumlah besar
dari individu dengan CHF membutuhkan pembedahan katup jantung dalam 5 sampai 10 tahun.
Angka mortalitas PJR bervariasi dari 0.5 per 100.000 populasi di Denmark, 8.2 per 100.000
populasi di China dan diperkirakan jumlah kematian per tahun dari PJR pada tahun 2000 adalah
sekitar 332.000 di seluruh dunia. Angka mortalitas per 100.000 populasi bervariasi dari 1.8 di
regio WHO Amerika, hingga 7.6 di regio WHO Asia Tenggara. Data dari negara berkembang
menunjukkan bahwa mortalitas akibat DRA dan PJR masih menyisakan masalah dimana anak-
anak dan dewasa muda dapat meninggal akibat DRA.5
Data terpercaya pada insiden DRA masih cukup langka. Pada beberapa negara,
bagaimanapun juga data lokal yang didapat dari registrasi DRA anak sekolah menyajikan
informasi yang berguna sesuai tren. Insiden tahunan dari DRA di Negara berkembang mulai
menurun di abad ke 20, dengan penurunan bermakna mulai terjadi setelah 1950an, saat ini
penurunan terjadi hingga dibawah 1 per 100.000. Sebagian kecil studi yang dilakukan di
Negara berkembang melaporkan insidensi dari 1 per 100.000 anak usia sekolah di Costa Rica,
72.2 per 100.000 di Polynesia, 100 per 100.000 di Sudan hingga 150 per 100.000 di Cina.5
Prevalensi PJR juga diperkirakan dalam survey, umumnya pada anak usia sekolah.
Hasil survey tersebut memperlihatkan bahwa terdapat variasi yang luas antara negara, berjarak
antara 0.2 per 1000 anak usia sekolah d Havana, Cuba, hingga 77.8 per 1000 di Samoa.
Prevalensi DRA dan PJR dan angka mortalitas bervariasi secara luas antara negara dan grup
populasi di beberapa negara, seperti antara Maoris dan non Maoris di Selandia Baru, Samoa
dan Cina di Hawai, Aborigin dan non Aborigin di Australia Utara.5
17
Tabel 2.1 Perkiraan Kematian dan Kesakitan akbibat PJR di beberapa Wilayah WHO

Berdasarkan beberapa contoh data, PJR terhitung sekitar 12-65% dari pendaftar rumah
sakit berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Terdapat penurunan bermakna dari mortalitas,
insidensi, prevalensi, morbiditas rumah sakit dan keparahan dari DRA dan PJR di beberapa
wilayah yang menerapkan program pencegahan seperti Havana, Cuba, Costa Rica, Cairo,
Martinique dan Guadeloupe.5
Prevalensi DR di Indonesia belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa penelitian
yang pernah dilakukan di Indonesia setiap tahunnya rata-rata ditemukan 55 kasus dengan
demam reumatik akut (DRA) dan PJR dengan prevalensi PJR berkisar antara 0,3 - 0,8 per 1.000
anak sekolah. Data di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir belum terdapat penurunan berart:i kasus demam
reumatik dan penyakit jantung reumatik. Berdasarkan laporan menurut pola etiologi penyakit
jantung yang dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 1973-
1977 didapatkan 31,4% pasien DR/PJR pada usia 10-40 tahun, dengan mortalitas 12,4%. 6

18
Tabel 2.2 Prevalensi PJR pada Anak Usia Sekolah

19
Gambar 2.2 Epidemiolgi DRA dan PJR di Dunia

20
Faktor Risiko
DRA dan PJR terjadi sebagian besar di negara yang sedang berkembang, lingkungan
padat, sosial ekonomi rendah, keadaan malnutrisi, dan fasilitas kesehatan terbatas dimana
insiden puncak terjadi pada usia 8 tahun (rentang usia 6 – 15 tahun). Sebagaimana diketahui
bahwa social ekonomi dan faktor lingkungan memainkan sebuah peran penting secara tidak
langsung dalam perbesaran dan keparahan DRA dan PJR. Faktor seperti keterbatasan sumber
pelayanan kesehatan, keahlian penyedia layanan kesehatan yang tidak adekuat dan tingkat
kepedulian yang rendah terhadap penyakit di komunitas dapat menimbulkan ekspresi penyakit
di populasi.5,7

Tabel 2.3 Determinan dan Efeknya pada DRA & PJR

21
Patogenesis
Hubungan secara epidemiologi antara infeksi streptokokus grup A dengan
perkembangan DRA setelahnya telah dijelaskan dengan baik. DRA adalah respon autoimun
terhadap faringitis Streptokokus Grup A (SGA) dan manifestasi klinis dari respon dan
keparahannya pada seorang individu dijelaskan dengan keterdugaan genetik pejamu, virulensi
organisme yang menginfeksi dan lingkungan tempat berlangsung. Walaupun streptokokus dari
serogrup B, C, G dan F dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon imun pejamu, hal
tersebut belum dihubungkan dengan etiologi DRA atau PJR.5
Meskipun peningkatan substansial telah dibuat dalam rangka memahami DRA sebagai
sebuah penyakit autoimun, mekanisme patogenetik yang tepat belum dapat dijelaskan. Antigen
Histokompatibilitas Mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibody berkembang
selama dan segera setelah infeksi streptokokus telah diinvestigasi sebagai faktor risiko
potensial dalam pathogenesis penyakit. Bukti saat ini menunjukkan bahwa limfosit T
memainkan peran penting dalam pathogenesis karditis rematik. Hal juga telah diduga bahwa
tipe khusus M pada streptokokus grup A memiliki sifat potensial rematogenik. Beberapa
serotype biasanya berkapsul tebal dan membentuk koloni mukoid yang luas yang kaya akan
protein M. Karakteristik ini meningkatkan kemampuan bakteri untuk melekat ke jaringan,
sebaik kemampuan mereka untuk tahan terhadap fagositosis di tubuh pejamu. Bagaimanapun
juga enkapsulasi bukan sesuatu yang eksklusif pada strain ini dan banyak data mendukung ide
rematogenisitas selektif adalah sesuatu yang bersifat anekdot.5
Protein M Streptokokus
Protein M merupakan salah satu determinan terbaik dari virulensi bakteri. Protein M
Streptokokus terbentang dari permukaan sel streptokokus sebagai sebuah dimer heliks alfa, dan
memiliki kesamaan homologi struktur dengan myosin kardiak dan molekul heliks alfa lainnya,
seperti tropomiosin, keratin dan laminin. Hal ini menunjukkan bahwa homologi ini
bertanggung jawab pada temuan patologis di karditis rematik akut. Laminin sebagai contoh,
adalah sebuah protein matriks ekstraseluler yang diskresikan oleh sel endothelial yang melapisi
katup jantung dan merupakan bagian integral dari struktur katup. Laminin juga merupakan
sebuah target bagi antibody polireaktif yang mengenali protein M, myosin dan laminin itu
sendiri.5
Molekul protein M memiliki sebuah region terminal N hipervariabel, sebuah region
terminal C yang terlindungi, dan terbagi ke dalam regio A, B dan C pada basis periodisitas
urutan peptide. Epitop yang bereaksi silang di miokardium, synovial dan otak berlokasi
diantara region u B dan C, jauh dari epitope tipe spesifik di region terminal N. Regio C
22
mengandung epitop yang sangat terlindungi dan streptokokus sering diklasifikasikan ke dalam
kelas I atau II berdasarkan apakah protein M mereka bereaksi dengan antibody monoclonal
(10B6) yang menargetkan epitope di region C dari molekul M6. Mayoritas strain Kelas I
(dengan Protein M reaktif) terimplikasi pada DRA. Dari lebih 130 protein M yang
teridentifikasi, tipe M seperti 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 telah diasosiasikan dengan DRA.
Namun, tidak semua serotype protein M diasosiasikan dengan DRA dan serotype 2, 49, 57, 59,
60 dan 61 sebagai contoh, dihubungkan dengan pioderma dan glomerulonephritis akut. Strain
kelas II, disisi lain memiliki protein M non reaktif dan memproduksi sebuah apoliproteinase
yang disebut faktor opasitas. Individu mungkin memiliki infeksi streptokokus multiple selama
masa hidup mereka, namun reinfeksi dengan tipe serologis M yang sama relatif tidak umum
karena individu mendapatkan antibodi anti-M homolog yang bersirkulasi setelah infeksi.5
Superantigen Streptokokus
Superantigen adalah grup glikoprotein unik yang disintesis oleh bakteri dan virus yang
dapat menjembatani molekul kompleks histokompatibilitas mayor Kelas II ke rantai Vb non
polimorfik dari reseptor sel T, yang mensimulasikan pengikatan antigen. Sel T yang mengikat
rantai Vb yang sesuai diaktivasi, tanpa mempertimbangkan spesifitas antigeniknya. Beberapa
Sel T yang diaktivasi pada keadaan ini dapat memiliki spesifitas autoreaktif, karena bagian sel
T yang diberi energi sebelumnya rentan terhadap stimulasi superantigen. Pada kasus
streptokokus, banyak usaha ditujukan pada peran aktivitas menyerupai superantigen dari
fragmen protein M (Pep M5) sebaik eksogen pirogenik streptokokus dalam pathogenesis
DRA.5
Aktivasi superantigen tidak dibatasi pada kompartemen sel T saja. Toksin eritrogenik
Streptokokus mungkin bersifat seperti superantigen bagi sel B, sehingga mengarahkan pada
produksi antibody autoreaktif, namun seperti diterangkan diatas bahwa banyak bukti yang
masih disajikan secara tidak langsung. Peningkatan pada studi genetic dan identifikasi produk
ekstraseluler dan komponen dinding sel menggambarkan kemajuan dalam pengetahuan tentang
virulensi SGA. Peran dari GRAB (protein pengikat macroglobulin alfa 2 yang diekspresikan
oleh streptokokus pyogen), Protein pengikat fibronektin 1 (sfb 1) yang memediasi perlekatan
dan inavasi streptokokus pada sel epitel manusia dan peptidase C5a streptokokus (SCPA), yang
menginaktivasi komplemen kemotaksin C5a dan memungkinkan streptokokus untuk melekat
pada jaringan, semua merupakan subjek penelitian aktif dalam pathogenesis infeksi
streptokokus. Penelitian-peneltian ini juga telah memfasilitasi karakterisasi genotipik dan
fenotipik dari strain SGA.5
Peran pejamu manusia dalam perkembangan DRA dan PJR
23
Tidak setiap orang rentan terhadap DRA dan tidak semua strain SGA mampu
menyebabkan DRA pada pejamu yang rentan. Hal ini sepertinya 3-5% orang dalam populasi
tertentu memiliki kerentanan yang melekat terhadap DRA, walaupun dasar dari kerentanan ini
masih belum diketahui. Jelas bahwa hanya beberapa strain dari SGA bersifat rematogen,
walaupun dasar dari rematogenisitas juga belum diketahui. Pemahaman klasik mengatakan
bahwa hanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dengan SGA memiliki potensi untuk
menyebabkan DRA. Namun, terdapat bukti sirkumtansial bahwa pada populasi tertentu (seperti
orang aborigin), infeksi SGA pada kulit mungkin memainkan peran pada pathogenesis DRA.
Ketika pejamu yang rentan diinfeksi dengan strain SGA yang rematogenik, terdapat periode
laten sekitar 3 minggu sebelum gejala DRA mulai muncul. Seiring waktu gejala berkembang,
strain SGA yang menginfeksi biasanya dieredikasi oleh respon imun.2
Terdapat bukti yang kuat bahwa sebuah respon autoimun terhadap antigen streptokokus
memediasi perkembangan DRA dan PJR pada pejamu yang rentan. Determinan program secara
genetik dari kerentanan pejamu terhadap DRA telah dipelajari secara ekstensif, dalam sebuah
percobaan untuk menjelaskan kenapa hanya 0.3- 3 % dari individu dengan faringitis
streptokokus mengalami perkembangan ke DRA. Penelitian silsilah keluarga menunjukkan
bahwa respon imun ini dikontrol secara genetic, dengan responsivitas tinggi terhadap antigen
dinding sel streptokokus yang diekspresikan melalui gen resesif tunggal, dan responsivitas
rendah melalui gen dominan tunggal. Data lebih jauh menunjukkan bahwa gen pengontrol
respon tingkat rendah terhadap antigen streptokokus berkaitan erat terhadap antigen leukosit
manusia kelas II (HLA). Namun penelitian mengenai lokus HLA-DR berbeda dan etnisitas
lebih jauh menunjukkan bahwa kaitan antara kerentanan terhadap DRA dan HLA kelas II
sangat berbeda dan tidak dikaitkan pada suatu alel khusus namun terhadap gen kerentanan yang
tampak pada atau dekat lokus HLA-DR. Sebagai contoh, DR4 tampak lebih sering pada pasien
DRA kaukasia; DR2 lebih sering pada populasi afrika-amerika; DR1 dan DRw6 pada pasien
DRA dari afrika selatan dan HLA-DR3 tampal lebih sering pada pasien DRA di India
(yangjuga memiliki frekuensi rendah dari DR2). Sebagai tambahan, DQW2 tampak lebih
sering pada pasien DRA asia. Setelah itu, dilaporkan bahwa alloantigen yang dikenali oleh
antibody monoclonal D8/17 dan molekul 70-kD lain, penanda genetic bawaan dari sebuah
respon imun yang berubah terhadap antigen streptokokus yang tak teridentifikasi pada subjek
yang rentan. Implikasi dari sebuah alloantigen pada sel B dari pasien dnegan DRA saat ini
masih diteliti.5
Interaksi Pejamu-Patogen

24
Infeksi oleh streptokokus dimulai dengan pengikatan ligan permukaan bakteri pada
reseptor spesifik pada sel pejamu, dan setelahnya terlibat suatu proses spesifik dari ikatan,
kolonisasi dan invasi. Ikatan ligan permukaan bakteri pada reseptor permukaan pejamu adalah
kejadian paling krusial dalam kolonisasi pejamu dan hal tersebut diinisiasi oleh fibronectin dan
oleh protein pengikat fibronektin. Asam lipoteikoat dan protein M juga memainkan peran besar
dalam pengikatan bakteri. Respon pejamu terhadap infeksi streptokokus termasuk diantaranya
produksi antibody tipe spesifik, opsonisasi dan fagositosis.5
Peran Faktor Lingkungan pada DRA Dan PJR
Tren sekuler pada DRA dan PJR di satu setengah abad terakhir, baik pada Negara maju
dan berkembang, semua poin terhadap faktor lingkungan seperti kondisi hidup yang kurang,
kepadatan penduduk dan akses ke pelayan kesehatan adalah faktor paling signifikan dari
distribusi penyakit. Distribusi global DRA dan PJR masih dipengaruhi oleh indeks sosio
ekonomi. Kondisi hidup padat penduduk dengan kontak interpersonal yang erat berkontribusi
pada penyebaran yang cepat dan persistensi virulensi strain streptokokus. Variasi musiman
pada insiden DRA (insiden tinggi pada awal musim gugur, akhir musim dingin dan awal musim
semi) merupakan variasi infeksi streptokokus. Variasi ini khususnya terjadi pada iklim sedang,
namun tidak signifikan pada iklim tropis.5
Kesimpulan Patogenesis
Patogenesis DRA dan PJR adalah pristiwa imunologis yang kompleks, signifikan
secara patologis dan sangat berdampak buruk bagi pasien. Ironis bahwa sakit tenggorokan yang
tidak terlalu berbahaya dibayar dengan sebuah harga yang tinggi oleh pasien. Seiring dengan
penelitian yang berkembang, diharapkan jarak dalam pemahaman kita mengenai hal ini dapat
terpenuhi dan menciptakan strategi yang lebih baik untuk profilaksis dan pengobatan yang
terjangkau. Berikut ini merupakan rangkuman pemahaman mengenai pathogenesis karditis
rematik.5
Infeksi awal streptokokus pada pejamu yang berpresdiposisi secara genetic pada
lingkungan yang berisiko tinggi mengarahkan sebuah aktivasi Sel Limfosit T dan B oleh
antigen dan superantigen streptokokus, yang menghasilkan suatu produksi sitokin dan antibody
yang secara diarahkan kepada karbohidrat dan myosin streptokokus. Hal tersebut dapat
berakibat pada cederanya endothelium katup jantung oleh antibody anti-karbohidrat yang
menginisiasi peningkatan regulasi VCAM1 dan molekul adesif lain. Ekspresi VCAM1 adalah
sebuah penanda kuat inflamasi yang menginisiasi infiltrasi selular. VCAM1 berinteraksi
dengan VLA4 pada limfosit yang teraktivasi dan mengarahkan ke suatu influx dari sel T CD4+
dan CD8+ yang teraktivasi. Sebuah kerusakan pada kontinuitas endothelial dari katup jantung
25
akan menyingkap struktur subendotelial (vimentin, laminin dan sel interstisial katup) dan
mengarahkan ke sebuah rantai reaksi perusakan katup. Sekali lembaran katup mengalami
inflamasi melalui endothelium permukaan katup dan neovaskularisasi terjadi, struktur
miikrovaskular yang baru terbentuk akan memungkinkan infiltrasi sel T dan melangsungkan
perusakan katup jantung. Penampakan infiltrasi sel T, bahkan pada lesi mineral tua, adalah
indikasi penyakit katup yang persisten dan progresif. Sel interstitial valvular dan kontituen
valvular lain dibawah pengaruh sitokin inflamasi melangsungkan proses perbaikan yang
menyimpang.5
Meskipun hal sebelumnya menawarkan sebuah penjelasan yang sangat layak mengenai
data eksperimental, pertanyaan yang masih tersisa adalah mengenai implikasi yang signifikan
dalam pemilihan vaksin streptokokus. Sebagai contoh, tidak terdapat bukti yang langsung dan
konklusif bagi sebuah peran patogenetik dari antibody in vivo reaktif silang dan juga tidak
terdapat model binatang untuk studi tentang demam rematik. Kebutuhan akan pemahaman
yang lebih baik tentang epidemiologi streptokokus digarisbawahi oleh sebuah laporan bahwa
satu serotype Streptokokus grup A dapat dengan cepat dan lengkap digantikan oleh serotype
lain di dalam populasi yang stabil dengan akses yang adekuat ke pelayanan kesehatan.
Perubahan serotype ini masih belum secara adekuat dijelaskan dan hal tersebut menimbulkan
pertanyaan tentang efikasi beberapa vaksin streptokokus spesifik yang disintesis dengan
mengkombinasikan urutan protein-M dari serotype streptokokus yang virulen. Terlebih lagi
kemampuan streptokokus untuk menginfeksi pejamu setelah infeksi sebelumnya oleh
streptokokus dengan strain yang berbeda menunjukkan tidak terdapat penyebaran, imunitas
non spesifik terhadap epitope protein M yang diawetkan atau produk ekstraselulernya yang
menyulitkan perkembangan vaksin DRA terutama yang berasal dari urutan protein M yang
diawetkan.5

26
Gambar 2.3 Patogenesis DRA & PJR

Manifestasi Klinis
Secara umum, manifestasi mayor paling umum selama episode awal DRA adalah
karditis (50-70%); artritis (35-66%); korea (10-30%) yang dominan terjadi pada perempuan;
nodul subkutan (0-10%) dan eritema marginatum (<6%). Disamping konsistensi umum dari
masing-masing manifestasi mayor klasik tersebut, data saat ini menunjukkan variabilitas
substansial dari manifestasi pada keadaan dan populasi tertentu. Sebagai contoh pada populasi
yang sangat berisiko tinggi seperti pada populasi Australia asli, variabilitas daro manifestasi
kriteira Jones tipikal telah digambarkan seperti penampakan monoartritis aseptic, poliatralgia
dan demam yang tidak terlalu tinggi.8
Karditis

27
Meskipun endocardium, miokardium dan pericardium dipengaruhi bergantung
berbagai derajat, karditis rematik hampir selalu berhubungan dengan murmur valvulitis.
Karenanya, miokarditis dan pericarditis dengan sendirinya seharusnya tidak dicap berasal dari
proses rematik ketika tidak berhubungan dengan sebuah murmur dan etiologi lain harus
dipertimbangkan.5

Tabel 2.4 Gejala Klinis Rheumatic Carditis

Valvulitis/endocarditis
Episode awal karditis rematik harus tetap diwaspadai pada pasien yang tidak memiliki
riwayat yang mengarah ke DRA atau PJR sebelumnya, dan pasien yang memiliki murmur
sistolik apeks dari regurgitasi mitral (dengan atau tanpa murmur mid-diastolik) dan atau
murmur awal basal dari regurgitasi aorta. Disisi lain, pada individu dengan riwayat PJR
sebelumnya, perubahan nyata pada karakter murmur ini atau penampakan murmur baru yang
signifikan menunjukan adanya karditis.5
Endokarditis adalah bentuk paling tipikal dari PJR, dicirikan dengan inflamasi daun
katup mitral dan atau aorta; katup tricuspid dan pulmonal lebih jarang terlibat. Temuan
histologis pada endocarditis rematik dapat dibagi ke tahap pertama, yaitu inflitrasi seluler dan
edema jaringan valvular atau korda tendinea dan tahap kedua, inflamasi persisten yang
mengarahkan ke fibrosis atau kalsifikasi dengan stenosis katup. Insufiensi mitral terjadi sekitar

28
92-95% kasus, yang mana sekitar 20-25 % nya juga insufiensi aorta. Insufiensi aorta terisolasi
terjadi pada sekitar 5-8% pasien. Penampakan insufisiensi mitra; dicirikan dengan murmur
holosistolik apeks berfrekuensi tinggi dengan intensitas maksimal di apeks dan menjalar ke
aksila sinistra. Ketika insufisiensi mitral timbul secara akut, dimungkinkan untuk menyadari
terdapatnya murmur Carey-Coombs dari stenosis terkait. Insufisiensi aorta dicirikan dengan
murmur diastolic, paling baik didengar di atas ICS 3 sinistra. Regurgitasi aorta atau mitral yang
parah mungkin mengarahkan ke gagal jantung kiri dengan bunyi jantung pertama yang halus,
bunyi jantung ketiga (gallop) dan kardiomegali. Pada pendekatan diagnostik penilaian
ekokardiografi demam rematik sangat sensitive dalam mengenali keparahan endocarditis
khususnya derajat regurgitasi aorta dan mitral dalamm hubungannya dengan kriteri Jones.
Sangat dimungkinkan untuk mendiagnosis DRA dengan probabilitas yang tinggi ketika 2
kriteria mayor atau ketika 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor terpenuhi, setelah menemukan
tanda infeksi sebelumnya dari SGA dengan kultur dari apusan tenggorok.9
Myocarditis
Miokarditis yang terjadi tanpa valvulitis kemungkinan bukan berasal dari suatu proses
rematik dan tidak bisa digunakan sebagai dasar bagi suatu diagnosis. Miokarditis harus selalu
dihubungkan dengan murmur sistolik apeks atau murmur diastolik basal. Penampakan klinis
Gagal jantung kongestif dan pembesaran jantung pada radiografi menunjukkan bahwa
miokardium kemungkinan terlibat pada episode primer DRA, walaupun peran CHF yang tak
terjelaskan dalam diagnosis karditis rematik rekurens dipertanyakan. Tampaknya aman untuk
merekomendasikan bahwa perburukan CHF yang tak terjelaskan pada kasus dugaan DRA
rekurens mengindikasikan penampakan karditis aktif, jika didukung oleh manifestasi minor
yang adekuat dan bukti dari infeksi streptokokus yang mendahuluinya. Jika temun klinis
sebelumnya diketahui, hal-hal tersebut dapat dibandingkan dengan data keterlibatan
miokardium saat ini memungkinkan untuk berujung pada pembesaran jantung mendadak yang
akan dapat dideteksi secara radiografi. Endocarditis infektif juga mungkin akan menyamarkan
sebagai sebuah DRA rekurens. Pasien dengan CHF dipertimbangkan menderita karditis berat.
Walaupun CHF selalu berkaitan secara langsung dengan keterlibatan miokardial pada DRA,
kerusakan pada fungsi sistolik ventrikel kiri tidak terjadi pada DRA dan tanda dan gejala dari
CHF berasal dari inkompetensi valvular berat.5
Diagnosis miokarditis rematik dapat disokong berdasarkan bunyi jantung pertama yang
halus, suara gallop ketiga (atau gallop protodiastolik), kardiomegali, murmur Carey Coombs
atau CHF. Tanda klinis ini tidak spesifik karena juga berhubungan dengan kelebihan
hemodinamik pada ventrikel kiridari regurgitasi mitral dan atau aorta akut atau subakut.
29
Evaluasi ekokardiografi menyediakan informasi berkaitan dengan derajat kontraktilitas
miokardium, fraksi ejeksi, pengukuran ukuran ventrikel dan penampakan regurgitasi katup.
Biopsi miokardial dilakukan saat DRA telah gagal untuk meningkatkan diagnosis klinis demam
rematik karena perubahan histologis mungkin minimal pada tahap awal dan tidak terlalu
berhubungan dengan keparahan gambaran klinis yang khas. Temuan histologis yang
berhubungan dengan miokarditis rematik dapat dibagi ke dalam dua tahap: Tahap pertama,
adalah dimana reaksi proliferatif dan eksudatif dengan inflitrasi limfosit CD4 dan beberapa
granulosit bersifat predominan pada subendokardial, subepikardial dan jaringan ikat
perivascular dan Tahap kedua dimana nodul Ashcoff dapat terlihat di area perivascular 9
Nodul Aschoff mengandung sel vimentin positif yang banyak yang berasal dari
mesenkim dengan nucleus polimorfik dan sitoplasma basofilik disekeliling pusat yang
fibrinoid dan dapat dipertimbangkan sebagai penanda patognomonik miokarditis rematik.
Penanda laboratorium dari kerusakan miokardial menghasilkan nilai normal pada pasien
dengan DRA, sementara pada pasien dengan DRA dan CHF yang tidak berespon dengan terapi
medis, penggantian katup mungkin dapat menyelamatkan nyawa; pengamatan ini membiarkan
kita menduga bahwa kerusakan miokardium akibat DRA memainkan peran yang kurang
signifikan dalam morbiditas dan mortalitas berkaitan DRA.9
Perikarditis
Keterlibatan pericardium adalah manifestasi klinis yang kurang umum pada PJR dan
tampak pada sekitar 15% pasien. Perikarditis merupakan inflamasi permukaan pericardium
viseral dan parietal yang dapat berakibat pada munculnya suara jantung yang jauh, friction rub
dan nyeri dada. Pada waktu tertentu friction rub dapat menyamarkan murmur regurgitasi katup
mitral, yang menjadi jelas hanya setelah pericarditis reda. Karena pericarditis terisolasi bukan
merupakan petunjuk yang baik dari karditis rematik tanpa bukti pendukung dari murmur
regurgitasi katup, maka akan sangat membantu jika dapat memiliki ekokardiografi Doppler
pada beberapa keadaan untuk melihat tanda regurgitasi mitral. Ekokardiografi juga dapat
menguatkan temuan efusi perikardial ringan hingga sedang yang kemungkinan berkaitan
dengan pericarditis; efusi yang luas dan tamponade jantung jarang ditemui. Walaupun tidak
spesifik, elektrokardiogram dapat memperlihatkan voltase rendah kompleks QRS dan
perubahan ST-T dan jantung dapat tampak membesar pada gambaran X-ray. Pasien dengan
kondisi pericarditis seperti ini biasanya diterapi sebagai suatu karditis yang parah.5,9
Karditis : Diagnosis di Era Ekokardiografi
Karditis adalah manifestasi mayor DRA dari diagnosis klinis berdasarkan auskultasi
murmur tipikal yang mengindikasikan regurgitasi aorta atau mitral baik salag satu maupun
30
keduanya. Lalu meskipun karditis pada DRA dipertimbangkan menjadi karditis dan dapat
melibatkan endocardium, miokardium dan pericardium, valvulitis adalah ciri paling konsisten
dari DRA dan pericarditis terisolasi atau miokarditis juga, namun jarang sekalipun ada,
pertimbangkan berasal dari proses rematik. Karditis klinis masih diterima secara universal
sebagai manifestasi mayor di semua populasi namun berdasarkan bukti yang muncul, beberapa
isu mengerucut bahwa membutuhkan setidaknya beberapa modifikasi terhadap sudut pandang
klasik. Sebagai tambahan, pada era ketika kemampuan auskultasi klinis ditolak pada saat yang
sama ketersediaan yang luas akan ultrasound jantung yang terpercaya pun meningkat,
ekokardiografi digunakan semakin sering untuk mendiagnosis karditis. Lalu konsep tentang
karditis subklinis menjadi tergabung ke dalam panduan pernyataan consensus lain sebagai
sebuah manifestasi mayor demam rematik. Karditis subklinis mengacu secara eksklusif pada
keadaan dimana tidak terdapat temuan auskultasi klasik pada disfungsi katup oleh pemeriksan
namun ekokardiografi/ Doppler mengungkap adanya valvulitis mitral atau aorta.
Perkembangan temuan ekokardiografi ini dan rasionalisasi dari penggunaannya untuk
membantu menemukan perubahan pada status katup berkaitan dengan hubungannya dengan
DRA dibahas pada beberapa studi dimana secara umum lebih dari 25 studi melaporkan bukti
ekokardiografi/Doppler pada regurgitasi katup mitral atau aorta pada pasien DRA disarming
tidak adanya temuan auskultasi klasik.8
Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada anak-anak. Karditis
adalah satu satunya komplikasi DRA yang bisa menimbulkan efek jangka panjang.
Kelainannya berupa pankarditis, yaitu mengenai perikardium, epikardium, miokardium dan
endokardium. Pada DRA sering terjadi pankarditis yang ditandai dengan perikarditis,
myokarditis dan endocarditis.8

Tabel 2.5 Pembagian Karditis menurut Decourt

Karditis Ringan Karditis Sedang Karditis Berat


Takikardia, murmur Tanda – tanda karditis Ditandai dengan gejala
ringan pada area mitral, ringan, bising jantung sebelumnya ditambah
jantung normal, EKG yang lebih jelas pada area gagal jantung kongestif.
normal. mitral dan aorta, aritmia,
kardiomegali, hipertropi
atrium kiri, dan ventrikel
kiri.

31
Arthritis
Artritis pada DRA adalah poliartritis migrans dan sendi yang paling sering terkena
adalah sendi besar, termasuk lutut, ankle, siku dan telapak tangan. Riwayat perbaikan yang
cepat dengan salisilat atau NSAID juga merupakan karakteristiknya. Secara umum artritis pada
DRA merupakan self limited bahkan tanpa terapi, setidaknya selama 4 minggu. Tidak terdapat
deformitas jangka panjang. Keterlibatan sendi kecil pada kaki dan tangan dan juga tulang
punggung sangat jarang terjadi pada PJR disbanding pada sakit sendi lainnya.8
Artritis Reaktif
Pasien dengan infeksi SGA dan penyakit articular yang tidak memenuhi kriteria Jones
klasik untuk diagnosis DRA terkadang diklasifikasikan sebagai atritis/atralgia reaktif pos
streptokokal dan saat ini terdapat kontroversi mengenai profilaksis sekunder pada pasien ini.
Terkadang pasien anak dengan artritis reaktif memiliki episode perkembangan selanjutnya
sebagai DRA atau PJR yang mengindikasikan bahwa diagnosis inisial seharusnya
kemungkinan merupakan DRA. Disisi lain, sebuah studi prospektif pada dewasa kulit putih
risiko rendah di belanda menunjukkan bahwa artritis reaktif tidak dikaitkan dengan sekuel
jantung jangka panjang.8
Monoartritis Aseptik
Studi dari India, Australia dan Fiji menunjukkan bahwa monoartritis aseptic penting
sebagai manifestasi klinis pada DRA di populasi risiko tinggi terpilih. Pada populasi Australia
asli risiko tinggi, monoartritis aseptic ditemukan 16%-18% pada kasus DRA terkonfirmasi.
Pada populasi ini, berdasarkan studi, 36.55% kasus yang akan memenuhi kriteria Jones jika
monoartritis dipertimbangkan sebagai kriteria mayor setelahnya berkembang DRA atau PJR.8
Poliatralgia
Poliatralgia sangat umum terjadi dan merupakan manifestasi non spesifik dari sejumlah
gangguan rematologi. Hingga 1956, poliatralgia dipertimbangkan sebagai kriteria diagnosis
mayor dari DRA namun kriteria Jones dimodifikasi selama beberapa decade untuk memenuhi
niat dr Jones untuk tidak overdiagnosis DRA, poliatralgia diklasifikasikan kembali sebagai
manifestasi minor. Belum ditemukan bukti kuat untuk mengubah kesimpulan ini pada populasi
risiko rendah. Seperti dijelaskan sebelumnya, artritis yang disebabkan DRA sangat responsive
terhadap salisilat dan NSAID, yang sekarang tersedia diseluruh dunia dank arena itu sering
digunakan sebelum evaluasi klinis. Menggunakan obat sebelum diagnosis mungkin akan
menyamarkan perkembangan sifat perpindahan klasik secara alamiah dari poliartritis dan
menggarisbawahi kebutuhan akan penggalian riwayat secara hati-hati pada semua pasien
terduga DRA. Pasien yang rentan terhadp perkembangan DRA sering meningkatkan risiko bagi
32
penyakit infeksi dan inflamasi lain yang mungkin berkaitan dengan atralgua atau artritis. Untuk
itu, klinis harus peduli terhadap diagnosis diferensial yang luas untuk masalah sendi dan harus
cermat secara khusus untuk mengeksklusi penyebab artritis lain, khususnya artritis septik.
Anak dengan poliatralgia lebih mungkin memiliki DRA jika mereka berasal dari populasi
dengan insiden DRA yang tinggi dibanding anak-anak dari populasi insiden rendah.8
Chorea (Sydenham Chorea)
Korea pada DRA dikarakterisasikan dengan pergerakan tubuh atau ekstrimitas tanpa
tujuan, involunter dan non stereotip. Korea sering dikaitkan dengan kelemahan otot dan
ketidakstabilan emosi. Pada beberapa pasien, korea dapat predominan terjadi secara unilateral
dan membutuhkan pemeriksaan neurologis yang cermat untuk mengkonfirmasi bahwa hal
tersebut bukan merupakan gangguan neurologis lain. Korea Huntington, SLE, penyakit Wilson
dan reaksi obat adalah hal yang harus dieksklusi dan pergerakan harus dapat dibedakan dari
tics, athetosis, reaksi konversi dan hiperkinesis. Bukti infeksi SGA saat ini mungkin sulit untuk
didokumentasikan karena periode laten yang panjang antara infeksi SGA dan onset korea.
Perburukan bentuk pergerakan korea pada anak dengan korea residual tingkat rendah
sebelumnya mungkin sulit untuk dibedakan dari serangan baru korea.8
Temuan pada Kulit (Eritema Marginatum dan Nodul Subkutan)
Eritema margnatum ruam merah muda dengan tengah pucat dan dikelilingi oleh batas
serpiginosa. Ruam biasanya muncul pada batang badan dan ekstrimitas proksimal dan tidak
pada wajah. Panas dapat memicu penampakannya dan ruam ini pucat jika ditekan. Seperti ruam
lain, eritema marginatum mungkun lebih sulit untuk dideteksi pada individu berkulit gelap.
Nodul subkutan merupakan tonjolan tegas dan tidak nyeri yang ditemukan di permukaan
ekstensor pada sendi spesifik seperti lutut, siku dan telapak tangan dan juga teerlihat pada
oksipital dan sepanjang prosesus spinosus pada vertebrae torakal dan lumbal. Nodul subkutan
tidak ditemukan memiliki variabilitas ras ataupun populasi. Nodul subkutan lebih sering
tampak pada pasienyang memiliki karditis dan juga eritema marginatum, nodul subkutan
hampir tidak pernah muncul sendiri sebagai manifestasi mayor dari DRA.8

33
(A) (B)
Gambar 2.4 (A) Eritema Marginatum & (B) Nodul Subkutan

Manifestasi Minor
Demam dengan kriteria titik potong >37.5 C memungkinkan diagnosis demam pada
90% kasus terduga DRA. Hal ini merupakan kepentingan yang potensial karena 41% individu
pada populasi khusus yang tidak terdiagnosis DRA karena tidak adanya demam ketika
didefinisikan sebagai suhu melebihi 38oC atau 39oC yang setelahnya berkembang DRA atau
PJR. Namun pada kebanyakan keadaan termasuk populasi risiko rendah, demam berkaitan
dengan DRA umumnya melebihi 38.5oC secara oral. Sama dengan artritis, karena penyebaran
agen antipiretik yang luas, sehingga membutuhkan penegakan riwayat yang detail untuk
mendapatkan konteks demam yang semestinya.8
Secara umum tidak tampak ada perbedaan dibanding manifestasi minor lain (kenaikan
CRP, LED, pemanjangan interval PR pada EKG, riwayat DRA atau PJR) antara populasi risiko
rendah dan tinggi serta secara geografi. Bagi kebanyakan populasi, LED > 60mm pada jam
pertama dan CRP> 3.0 mg/dL dianggap tipikal DRA. Pada DRA, nilai CRP harus selalu lebih
tinggi dibanding batas atas normal untuk setiap laboratorium spesifik dan umumnya >7.0
mg/dL atau bahkan lebih tinggi, bergantung pada metode laboratorium yang digunakan.
Beberapa ahli, mempertimbangkan LED >30 mm/h sebagai sesuatu yang konsisten dengan
diagnosis DRA. Level LED dan CRP normal mendorong pengkajian pada diagnosis DRA,
karena kecuali pasien dengan korea terisolasi, nilai ini hampir tidak pernah normal pada DRA.8
Nyeri abdomen, laju nadi tidur yang cepat, takikardia tidak sesuai demam, malaise,
anemia, leukositosis, epistaksis dan nyeri prekordial juga tercatat pada pasien DRA. Walaupun
klinis dan fitur laboratorium ini bukan bersifat diagnostik, hal tersebut sering cocok dengan
penampakan DRA. Karena tanda dan fitur laboratorium sering tercatat pada banyak penyakit,
kegunaannya berkurang dibanding manifestasi minor pokok.8

34
Diagnosis
Diagnosis Demam Rematik
Penegakan diagnosis dahulu berdasarkan Kriteria Jones, tetapi kriteria diperbaharui oleh AHA
dan WHO tahun 2002-2003, dimana melalui kriteria yang terlah diperbaharui ini dapat
dilakukan diagnosis: 5
1. Episode pertama demam rematik
2. Serangan berulang demam rematik pada pasien tanpa PJR
3. Serangan berulang demam rematik pada pasien dengan PJR
4. Reumatik Chorea
5. Onset awal Karditis Rematik
6. PJR Kronik

Tabel 2.6 Kriteria WHO untuk Diagnosis DRA dan PJR

35
Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria tersebut
dibagi menjadi tiga bagian: (1) Lima gejala mayor, (2) Empat gejala minor, dan (3) bukti
pemeriksaan yang mendukung adanya infeksi GABHS sebagaimana tertera pada tabel berikut:5

Tabel 2.7 Gejala Mayor & Minor DRA

36
Setelah dijelaskan berbagai manifestasi klinis DRA sebelumnya, berikut Revisi kriteria
Jones oleh yang saat ini membawa ke arah kesegarisan yang lebih dekat dengan panduan
internasioanl dalam diagnosis DRA dengan mendefinisikan populasi risiko tinggi, mengenali
variabilitas presentasi klinis pada populasi risikoo tinggi dan termasuk ekokardiografi Doppler
sebagai alat untuk mendiagnosis keterlibatan jantung. Berikut pada tabel merupakan kriteria
Jones untuk diagnosis Demam Rematik Akut.9

Tabel 2.8 Revisi Kriteria Jones

37
Diagnosis Banding
Penting untuk memiliki diagnosis banding ketika mempertimbangkan tiap kriteria
mayor dari diagnosis DRA. Pada Tabel berikut memberikan daftar diagnosis alternative dalam
mempertimbangkan evaluasi pasien dengan artritis, kardits atau korea. Penerimaan kriteria
berdasarkan ekokardiografi untuk mendiagnosis karditis dalam tidak adanya temuan klinis,
membutuhkan pengetahuan terhadap temuan lain yang dapat menyerupai karditis rematik,
khususnya pada populasi risiko rendah.9

Tabel 2.9 Diagnosis Banding DRA Berdasarkan Keluhan

38
Diagnosis Penyakit Jantung Rematik
Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat
demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit katup jantung rematik kronis merupakan dampak
jangka panjang dari DRA. Penyakit ini terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%),
jarang mengenai katup tricuspid dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.6
Regurgitasi Mitral (MR)
MR adalah lesi valvular paling sering pada PJR dan khususnya sering pada pasien muda
yang belum berkembang menjadi katup yang berparut dan stenosis dari valvulitis persisten atau
rekurens. Riwayat alamiah MR rematik terisolasi didokumentasikan pada era sebelum penisilin
dan ekokardiografi oleh Bland dan Duckett jones. Mereka mengobservasi 87 pasien DRA
dengan tanda klinis MR terisolasi untuk 20 tahun. Mereka menemukan bahwa pada sepertiga
pasien mereka MR teratasi, sepertiga lainnya bertahan dan sisa sepertiganya lagi makin parah,
menjadi stenosis mitral atau kematian. Pada era penisilin, Tompkins et al melaporkan bahwa
70% pasien mereka dengan MR tidak memiliki bukti klinis penyakit jantung pada 9 tahun
setelah diagnosis inisial. Resolusi klinis MR pada dua pertiga pasien ini pada profilaksis
sekunder dalam 5-10 dari diagnosis juga didukung oleh temuan Kassem dan Lue. Progresi MR
atau PJR dan kebutuhan untuk intervensi setelahnya dikaitkan pada keparahan penyakit saat
diagnosis dan penampakan DRA rekurens.2
Pada MR kronis, overload volume pada ventrikel kiri dann atrium kiri terjadi. Ukuran
ruangan ventrikel (LV) dan atrium kiri (LA) meningkat sebagai respon untuk volume
signifikan dari regurgitasi aliran darah mitral. Fungsi sistolik LV mungkin bersisa dalam batas
normal untuk beberapa tahun, disamping penampakan MR parah. Akhirnya, derajat overload
volume ini berujung pada sebuah penurunan progresif pada fungsi kontraktil sistolik. Pada MR,
resistensi aliran keluar (afterload) LV dikurangi oleh ejeksi ke atrium kiri yang bertekanan
rendah, sehingga fungsi LV tampak normal atau dibawah normal ketika kontraktilitas
miokardial terganggu secara actual. Untuk itu, disfungsi LV kurang mungkin reversible setelah
pembedahan katup mitral disbanding pembedahan katup aorta pada AR. Perkembangan
penyakit vascular pulmonal dan hipertensi pulmonal yang signifikan kurang umum terjadi pada
MR dibanding MS.2
Gejala
Pasien dengan MR ringan hingga sedang masih asimtomatik untuk beberapa tahun.
Pasien dengan MR sedang hingga berat mungkin juga asimtomatik atau hanya simtomatik
ringan. Gejala inisial termasuk dyspnea pada olah raga, kelelahan dan kelemahan, dan hal ini
meningkat perlahan seiring waktu. Pasien dapat asimtomatik jika terjadi Fibrilasi Atrium,
39
khususnya dengan laju ventrikel yang cepat. Perburukan gejala dapat terjadi dari rekurensi
endokaridtis infeksi DRA artau rupture chordae, hal tersebut yang dapat menyebabkan
perburukan akut dalam keparahan regurgitasi.2
Pemeriksaan
Pada pasien dengan MR sedang hingga berat, apeks LV tidak akan berpindah, dan akan
terdapat murmur mid atau pan sistolik yang paling baik terdengar di apeks, yang akan menjalar
secara lateral atau medial bergantung pada arah pancaran regurgitasi. Pasien dengan MR
sedang tau parah akan memiliki perpindahan detak apeks ke linea aksilaris anterior atau
aksilaris medial dan murmur pansistolik keras maksimal di apeks. Terdapat murmur diastolic
berkaitan MS atau murmur mid-diastolik dari peningkatan aliran transmitral.2

Tabel. 2.10 Poin Kunci Regurgitasi Mitral

40
Mitral Stenosis
Riwayat alamiah MS bervariasi. Pada beberapa populasi, sering terdapat periode laten
20-40 tahun antara episode DRA dan penampakan MS. Pada populasi aborigin, MS memiliki
progresi lebih cepat, dan pasien menjad simtomatik pada usia lebih muda, walaupun hal ini
jarang terjadi dibawah usia 10 tahun. MS yang secara klinis sebelumnya tenang dapat menjadi
simtomatik ketika Cardiac Output dan volume darah meningkat seperti terjadi pada kehamilan.
Hampir 30% pasien PJR aborigin di wilayah utara berusia 10-19 tahun menderita MS, dan usia
rata-rata dari seluruh populasinya adalah 33 tahun. Di India tren ini lebih kentara dimana MS
lumrah pada anak usia kurang 10 tahun. Progresi yang cepat ini berkenaan dengan DRA
rekuren yang tidak terdeteksi. Dengan progresi MS, hipertensi pulmonal sekunder yang timbul
dari tekanan yang naik pada bantalan vascular pulmonal, mengarahkan ke hipertensi, hipertrofi
dan dilatasi ventrikel kanan, serta regurgitasi tricuspid. Sekali MS simtomatik berkembang,
prognosis jangka panjang tanpa adanya intervensi jantung akan kurang, dengan rentang angka
harapan hidup 10 tahun dari 34 hingga 61%. Bagi MS dengan Atrial Fibrilasi, oedem pulmonal
atau gagal jantung kanan bahkan memiliki prognosis yang lebih buruk.2
Gejala
Obstruksi progresif terhadap aliran masuk ventrikel kiri berkembang, mengarahkan ke
gradient diastolic antara atrium kiri dan ventrikel. Gradien ini ditandai dengan detak jantung
yang lebih cepat, sebagai contoh selama olah raga atau pada penampakan atrial fibrilasi dengan
laju ventrikel yang cepat. Pasien biasanya tidak memiliki gejala hingga muara katup mitral
bekurang hingga < 2 cm2. Gejala awal adalah dyspnea saat aktivitas meningkat, yang
diperburuk seiring waktu, dengan fibrosis dan penyempitan progresif dari lubang katup mitral.
Gejala gagal jantung (ortopnea, dyspnea paroksisimal dan terkadang hemoptysis) berkembang
seiring pengurangan lubang katup mitral hingga <1-1.5cm2. lebih jarang lagi, pasien mengkin
memeperlihatkan tanda emboli sistemik dari atrium kiri, seperti strike atau oklusi arteri perifer.
Kejadian emboli tidak berhubungan dengan keparahan MS, namun berhubungan dengan
penampakan atrial fibrilasi.2
Pemeriksaan Fisik
Pada palpasi dapat teraba kuat angkat ventrikel kanan pada daerah parasternal sinistra
berkaitan dengan hipertensi sistolik ventrikel kanan. Murmur MS bernada rendah, bising
diastolik paling terdengar di apeks dengan posisi pasien condong ke lateral kiri. Mungkin sulit
untuk mendengar, khususnya jika laju ventrikel cepat. Pemeriksa yang berpengalaman
mungkin melewati murmur ini pada psien istirahat. Hal ini dapat ditandai dengan peningkatan
detak jantung melalui olah raga intensitas ringan. Durasi murmur berkaitan dengan keparahan
41
MS. Jika pasien berada pada sisnus ritem, akan terdapat tanda presistolik namun hal ini akan
sulit dikenali sekali atrial fibrilasi terjadi.2

Tabel 2.11 Poin Kunci Stenosis Mitral

42
Aortic Regurgitation (AR)
Regurgitasi katup aorta terisolasi jarang, namun merupakan manifestasi PJR dan terjadi
pada 2.8% orang dewasa dan 4.5 % anak-anak dengan PJR. Lebih sering, terdapat penyakit
katup mitral dan atau tricuspid secara bersamaan. AR sedang hingga parah berujung pada
overload ventrikel kiri, dengan peningkatan volume diastolik akhir ventrikel kiri yang
membantu mempertahankan peningkatan stroke volume total. Saat keparahan regurgitasi
meningkat, ventrikel kiri mengalami dilatasi dan hipertrofi progresif. Pada AR kronis, sering
terdapat fase panjang kompensasi dengan fungsi sistolik yang dipertahankan, disamping
overload tekanan dan volume. Namun sepanjang waktu, disfungsi kontraktilitas terjadi pada
kasus yang lebih parah. Angka progresi ke gejala dan atau disfungsi sistolik hampir 6% per
tahun. Penyakit katup aorta mungkin berkenaan dengan kondisi lain sebagai tambahan pada
PJR, dan kemungkinan kejadian ini (termasuk penyakit jaringan ikat, aortitis dan hipertensi)
meningkat seiring usia.2
Gejala dan Temuan Pemeriksaan
Pada keadaan kronis, banyak pasien yang masih asimtomatik, disamping memiliki
regurgitasi sedang atau parah. Alhasil, dyspnea saat aktivitas meningkat pun terjadi, kadang
dibarengi dengan ortopnea, dan pada kasus yang lebih kompleks, gejala gagal jantung kongestif
yang nyata seperti dyspnea nocturnal paroksisimal dan oedema. Pasien juga mungkin
mengalami episode angina, disamping memiliki arteri koronaria yang normal, kemungkinan
berkenaan dengan hipotensi pada diastole, ketika hampir seluruh aliran koronaria terjadi,
sebagaimana juga iskemia subendokardial pada penampakan hipertrofi ventrikel kiri. Pada AR
yang parah, tekanan nadi melebar, dan bunyi korotkoff terdengar hampir ke tekanan nol.
Pemeriksaan biasanya menemukan impuls kuat ventrikel kiri di bagian apeks yang mungkin
akan berpindah secara lateral dan ke bawah. Pulsasi Water-Hammer pada a. brachialis dan
pulsasi karotis yang kolaps adalah indikasi klinis pada setidaknya AR derajat sedang. Murmur
tipikal adalah murmur diastolic, murmur yang seperti berhembus secara gradual yang paling
baik didengar pada batas kiri sternal, dengan pasien duduk tegak pada akhir ekspirasi. Secara
umum, panjang murmur berhubungan dengan keparahan, kasus yang makin parah
memproduksi murmur pan-diastolik. Biasanya terdapat murmur sistolik yang berkaitan,
bahkan pada tidak adanya AS, berkenaan dengan peningkatan aliran anterograde terhadap
katup aorta, dan pada kasus tertentu, murmur diastolic mitral (Austin Flint)2

43
Tabel 2.12 Poin Kunci Regurgitasi Aorta

44
Aortic Stenosis (AS)
Stenosis Aorta jarang disebabkan oleh PJR. AS terisolasi merupakan manifestasi yang
sangat jarang dari PJR. AS hampir selalu terjadi pada penampakan yang berhubungan dengan
penyakit katup mitral rematik. Seperti AR, penyebab non rematik dari AS harus
dipertimbangkan, termasuk penyakit degenerative (kadang dipercepat oleh kelainan kongenital
katup aorta dan bicuspid yang berdampingan) dan riwayat endocarditis infektif sebelumnya.
Sebagaimana MS rematik, AS merupakan akibat dari fibrosis progresif dan gabungan
komisural dari daun katup, dengan kalsifikasi yang mungkin terjadi. Obstruksi terhadap jalur
aliran keluar ventrikel kiri berakibat pada gradient sistolik signifikan antara ventrikel kiri dan
aorta. Reduksi 50% pada lubang katup aorta hanya berakibat pada gradient yang kecil terhadap
katup aorta, namun reduksi >50% berakibat pada peningkatan subtansial pada gradient,
overload tekanan ventrikel kiri dan perkembangan hipertrofi ventrikel kosentris untuk
mengkompensasi terhadap peningkatan tekanan dinding sistolik. Riwayat alamiah AS
bervariasi pada individu pasien namun secara umum progresif.2
Gejala
Gejala klasik AS adalah dyspnea pada peningkatan aktivitas, angina dan sinkop. Gejala
beronset gradual, namun biasanya berprogresi secara lambat seiring waktu, khususnya jika
terdapat kaitan dengan penyakit katup mitral.2
Temuan Pemeriksaan
Karakteristik temuan klinis pada AS adalah murmur ejeksi midsistolik yang keras
bernada rendah, paling baik didengar di area aorta, menjalar ke leher dan apeks. Pada pasienn
dengan AS yang hemodinamik secara signifikan, tanda fisik yang sangat berguna adalah
pulsasi upstroke karotis yang lamban dan berkurang dan kemunculan thrill pada incisura
suprasternal. 2

45
Tabel 2.13 Poin Kunci Stenosis Aorta

46
Penyakit Katup Trikuspid
Penyakit katup tricuspid jarang terjadi dan hampir selalu berkaitan dengan penyakit
katup rematik sisi kiri khususnya mitral. Namun terdapat laporan tertentu tentang penyakit
katup tricuspid tersiolasi berkaitan dengan inflamasi rematik. Lesi katup trikuspid rematik
paling sering adalah regurgitasi tricuspid dengan tingkat keparahan beragam. Penting untuk
dibedakan PJR berkaitan dengan regurgitasi tricuspid dari regurgitasi tricuspid fungsional yang
lebih umum ditemui sebagai akibat sekunder dari hipertensi pulmonal akibat panyakit katup
sisi kiri khususnya MS. Regurgitasi tricuspid fungsional merupakan akibat dari dilatasi dan
disfungsi ventrikel kanan, dilatasi anular tricuspid dan perpindahan M. Papilaris. Regurgitasi
tricuspid cenderung meningkat, karena overload volume ventrikel kanan mengarahkan ke
disfungsi dan dilatasi sistolik ventrikel kanan yang mungkin bisa terjadi. 2

Stenosis Trikuspid
Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis regurgitasi tricuspid adalah gelombang V yang menonjol pada pulsasi vena
jugular, dengan turunan yang curam; murmur mid atau pansistolik pada batas kiri sternal yang
akan meningkat saat inspirasi. Pada kasus yang parah, juga terdapat murmur diastolic dan
pulsasi hepatic sistolik dengan hepatomegaly. 2

Regurgitasi Trikuspid
Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis stenosis katup tricuspid adalah gelombang ‘a’ raksasa, pada denyut vena
jugular, murmur presistolik dan midiastolik pada sisi kiri sternal, yang meningkat dengan
inspirasi. Sulit untuk memisahkan ciri auskultasi dari stenosis tricuspid rematik dari hal yang
sering berkaitan dengan stenosis katup mitral. 2

47
Tabel 2.14 Poin Kunci Stenosis Trikuspid

48
Tabel 2.15 Poin Kunci Regurgitasi Trikuspid

49
Pemeriksaan Penunjang

Tabel 2.16 Pemeriksaan Penunjang lain pada DRA

Laboratorium
Kultur tenggorok
Standar baku emas untuk mendeteksi streptokokus masih berupa usap tenggorok pada
agar darah, meskipun membutuhkan 24-48 jam untuk memperlihatkan hasil, dengan
konsekuensi menunda mulainya pemberian terapi antibiotic inisial. Penemuan SGA pada
kultur tenggorok biasanya negatif pada saat gejala demam rematik atau PJR terlihat. Organisme
harus di isolasi sebelum terapi antibiotik inisiasi.
Tes deteksi cepat antigen
Tes ini memungkinkan deteksi cepat antigen GABHS dan memungkinkan diagnosis
faringitis streptokokal dan inisiasi terapi antibiotik ketika pasien masih berada di ruang periksa.
Karena spesifitasnya lebih dari 95% tetapi sensitivitasnya hanya 60- 90%, kultur tenggorok
harus dilakukan menambahkan hasil tes ini.
Antibodi Antistreptococcal
Gejala klinis demam rematik dimulai saat antibodi berada pada tingkat puncaknya, oleh
karena itu, tes antibodi antistreptococcal berguna untuk mengkonfirmasi infeksi GABHS

50
sebelumnya. Peningkatan antibodi sangat berguna terutama untuk pasien dengan gejala klinis
yang ada hanya chorea. Titer antibbodi harus di cek interval 2 minggu untuk mendeteksi
kenaikan. Tes antibodi terhadap ekstraselular antistreptococcal yang paling sering adalah
antistreptolisin O ( ASO ), antideoxyribonuklease (DNAse) B, antihyaluronidase,
antistreptokinase, antistreptococcal esterase dan anti-DNA. Tes antibodi untu komponen
selular antigen SGA meliputi antistreptococcal polisaccharida, antiteichoic acid antibodi, dan
anti M-protein antibodi.
Secara umum, rasio antibodi terhadap antigen ekstraselular streptococcal meningkat
selama bulan pertama setelah terinfeksi dan setelah itu menurun dalam 3-6 bulan sebelum
kembali ke kadar normal setelah 6-12 tahun. ASO memiliki titer puncak 2-3 minggu setelah
onset demam rematik dengan sensitivitas tes ini 80-85%. Anti DNAse B sedikit lebih sensitif
(90%) untuk mendeteksi demam rematik atau glomerulonefritis akut.
Antihyaluronidase biasanya abnormal pada pasien demam rematik dengan titer ASO
normal dan meningkat lebih awal dan bertahan lebih lama dari peningkatan titer ASO selama
demam rematik.
Reaktan Fase Akut (CRP & ESR)
C-reactive protein (CRP), laju endap darah (ESR) dan leukosit meningkat pada demam
rematik dikarenakan inflamasi dan infeksi yang merupakan perjalanan dari penyakit. Memiliki
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifsitas yang rendah. CRP dan ESR merupakan uji yang
mendeteksi kondisi peradangan, mendeteksi tingkat protein reaktif yang dihasilkan oleh hati
dimana CRP darah yang tinggi berarti menandakan ada peradangan.Sedangkan ESR adalah
pemeriksaan dimana darah ditempatkan dalam tabung uji cairan, dimana laju pengendapan
diukur. Jika laju lebih cepat dari normal bisa mengindikasikan pasien memiliki kondisi
inflamasi.

Pencitraan
X-ray
Regurgitasi Mitral
 X-Ray thoraks memperlihatkan pembesaran ventrikel kiri dan tanda radiologis berupa
kongesti paru pada beberapa kasus yang kompleks.
Stenosis Mitral

51
 X-ray thoraks memperlihatkan pembesaran atrial kiri dan redistribusi dari aliran darah
pulmonal ke lapangan atas paru. Kalsifikasi dari apparatus katup mitral mungkin dapat
dilihat pada proyeksi lateral. Jika pasien mengalami gagal jantung, kongesti pulmonal
akan terlihat pada X-ray thoraks.
Regurgitasi Aorta
 X-ray thoraks memperlihatkan pembesaran ventrikel kiri dan dilatasi aorta asenden
Stenosis Aorta
 X-ray thoraks biasanya memperlihatkan ukuran jantung normal kecuali jika berkaitan
dengan regurgitasi mitral. Kalsifikasi pada katup aorta mungkin dapat terlihat pada x-
ray thoraks lateral. 2

Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah sebuah teknik pencitraan yang secara cepat berkembang dan
matang dan saat ini merupakan komponen kunci pada diagnosis penyakit jantung. Teknik
pemeriksaan ini termasuk ekokardiografi transtorakal, transesofageal dan intrakardiak.
Ekokardiografi 3D atau bahkan 4D juga telah dikembangkan. Untuk mendiagnosis karditis
rematik dan menilai penyakit katup, Mode M, 2D, 2D echo Doppler dan Ekokardiografi
Doppler berwarna cukup sensitive dan menyediakan informasi spesifik yang sebelumnya tidak
tersedia. Dari semua ini, ekokardiografi mode M menyediakan parameter untuk menilai fungsi
ventrikel, sementara ekokardiografi 2D menyediakan gambaran berdasarkan waktu yang
realistik dari struktur anatomik. Echo-Doppler 2D dan Echo-Doppler berwarna adalah yang
paling sensitive untuk mendeteksi aliran darah abnormal dan regurgitasi valvular.5
Penggunaan ekokardigrafi echo-Doppler 2D dan echo-Doppler berwarna mungkin
mencegah overdiagnosis dari murmur fungsional sebagai penyakit katup jantung. Hampir
serupa, interpretasi berlebihan dari regurgitasi fisiologis atau trivial mungkin menghasilkan
sebuah misdiagnosis dari penyakit jantung iatrogenik. Interpretasi akurat dari tanda
ekokardiografi juga penting. 5
Ekokardiografi dan Regurgitasi Valvular Fisiologis
Echo-Doppler 2D dan berwarna memungkinkan semua regurgitasi valvular yang
terdengar untuk dideteksi, bahkan gangguan aliran normal fisiologis, fungsional dan trivial
mungkin terjadi ketika katup menutup. Penggunaan echo-doppler berwarna, regurgitasi
fisiologis dicirikan berlokasi di region tepat dibawah atau diatas lampiran daun katup (atau
berkisar 1 cm) dan tandanya juga pendek dan area regurgitasi maksimal yang kecil.

52
Penampakan regurgitasi katup fisiologis pada subjek yang sehat dengan jantung yang normal
secara struktur bervariasi tergantung dengan alat, sensitivitas kekuatan penetrasi dan teknik
yang digunakan, dengan perubahan tekanan dan resistensi vascular sistemik dan pulmonal dan
dengan kebiasaan tubuh dan usia. Prevalensi regurgitasi valvular fisiologis pada orang normal
bervariasi tergantung katup: regurgitasi mitral tampak pada 1.4-45% individu normal,
regurgitasi aorta 0-33%, regurgitasi tricuspid 6.3 95% dan regurgitasi pulmonal 21.9-92%
individu normal. 5

Tabel 2.17 Temuan Morfologis Ekokardiografi pada DRA

Peran Ekokardiografi pada Diagnosis DRA dan dalam Menilai Regurgitasi Valvular pada
Karditis Rematik Klinis
Gambaran ekokardiografi menyediakan informasi mengenai ukuran atrium dan
ventrikel, penebalan katup, prolapse daun katup, kegagalan penyesuaian, penyempitan
motalitas daun katup dan disfungsi ventrikel. Pada 25% pasien dengan DRA, nodul fokal
ditemukan pada tubuh dan ujang daun katup, namun nodul menghilang saat follow up. CHF
pada pasien karditis rematik tampak kurang selalu berkaitan dengan insufisiensi parah aorta

53
dan atau mitral. Faktor miokardium atau disfungsi miokardium tampak bukan merupakan
penyebab utama CHF, sebagaimana pemendekan fraksional ventrikel kiri pada pasien dengan
gagal jantung ditemukan sebagai sesuatu yang normal, dan hal tersebut membaik dengan cepat
setelah pembedahan. Patogenesis regurgitasi mitral parah ditemukan terkait pada kombinasi
dari valvulitis, dilatasi annular mitral dan prolapse daun katup dengan atau tanpa elongasi
chordae. Ruptur chordae pada beberapa pasien dengan demam rematik membutuhkan sebuah
perbaikan katup mitral segera. Pencitraan Echo-Doppler dan Doppler warna juga memberikan
bukti pendukung untuk diagnosis karditis rematik pada pasien dengan murmur yang samara
tau dengan poliatritis dan manifestasi minor yang samar.5

Klasifikasi Keparahan Regurgitasi Valvular Menggunakan Ekokardiografi


Umumnya keparahan regurgitasi valvular diklasifikasikan berdasarkan skala lima poin
(0+, 1+, 2+, 3+ and 4+) berdasarkan temuan ekokardiografi dengan korelasi angiokardiografi.
Namun berdasarkan pemetaan Doppler warna, menunjukkan bahwa keparahan regurgitasi
aorta dan mitral mungkin diklasifikasin ke enam poin sebagai berikut: 5
0 : Termasuk fisiologis atau pancaran regurgitasi trivial <1 cm, sempit, kecil durasi
pendek sistol lebih awal pada katup mitral atau diastolik lebih awal pada katup aorta.
0+ : Pancaran regurgitasi yang sangat ringan, > 1 cm, terlokalisasi tepat di atas atau bawah
katup, melalui sistol pada katup mitral atau diastolic pada katup aorta (secara klinis, murmur
tidak terdengar)
1+ : Pancaran regurgitasi ringan.
2+ : Pancaran regurgitasi sedang, panjang dan pada area yang lebih lebar.
3+ : Pancaran regurgitasi parah sedang, mencapai seluruh atrium kiri (regurgitasi mitral)
atau ventrikel kiri (regurgitasi aorta)
4+ : Pancaran regurgitasi parah, secara difus kedalam atrium kiri yang membesar, dengan
aliran balik sistol ke vena pulmonal (katup mitral); ditandai dengan pembesaran ventrikel kiri
terisi dengan pancaran regurgitasi (katup aorta)

Pada tahun 2011, dibawah bantuan World Heart Federation (WHF), Serangkaian
kriteria yang terstandarisasi dan berdasarkan bukti untuk diagnosis ekokardiografi PJR
dikembangkan. Panduan WHF mengkhususkan bahwa ekokardiogram harus diinterpretasikan
dalam hubungan dengan temuan klinis individu dan kemungkinan risiko PJR. Pada individu
tanpa riwayat DRA, diagnosis PJR pada ekokardiografi adalah diagnossi eksklusi. Untuk itu,

54
etiologi lain (kongenital, dapatan atau degenerative) untuk patologi valvular harus disingkirkan
pertama oleh ekokardiografi dan oleh konteks klinis.2
WHF merekomendasikan dua kategori ekokardiografi dari PJR pada individu ≤ 20
tahun : ‘definite RHD’ and ‘borderline RHD’, berdasarkan bukti yang didapatkan dari sejumlah
studi. Kategori Borderline RHD dibangun untuk meningkatkan sensitivitas dari tes untuk
individu dari wilayah dengan prevalensi PJR yang tinggi. Dan individu yang berkenaan dengan
usia muda, tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan manifestasi
ekokardiografi yang penuh dari PJR. Kategori ini tidak bisa diterapkan pada pasien yang
dipertimbangkan berisiko rendah PJR, dan untuk itu dengan kemungkinan pretes yang rendah.
Individu yang berusia lebih dari 20 tahun dan kurang berhubungan dengan perubahan karena
usia atau degenerative mungkin melebihi apa yang dimaksud sebagai borderline RHD pada
ekokardiografi. Sehingga penggunan kategori ini tidak disarankan pada dewasa melebihi 20
tahun. 2
Kriteria regurgitasi patologis dan ciri morfologis PJR disebutkan secara rinci pada tabel
dan tabel. Regurgitasi trivial dari katup mitral dan bahkan aorta (yang tidak memenuhi keempat
kriteria regurgitasi patologis) umum terjadi, dan harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang
normal atau fisiologis. Hal yang sama dapat dikatakan pada perubahan morfologis terisolasi,
seperti penebalan katup yang terjadi tanpa regurgitasi atau stenosis patologis. Temuan
ekokardiografi yang dianggap normal disebutkan pada tabel 5.1 . Pengaturan mesin
ekokardiografi yang akan membantu penilaian yang objektif terdapat pada tabel 5.4.2

55
Tabel 2.18 Kriteria WHF untuk Diagnosis PJR secara Ekokardiografi

56
Tabel 2.19 Kriteria Regurgitasi Patologis

Tabel 2.20 Ciri Morfologis PJR

57
Pencitraan Radionuklida
Teknik radionuklida bersifat sederhana dan modalitas yang noninvasif yang telah
umum digunakan untuk menilai variasi penyakit kardiovaskular. Patologi miokarditis rematik
dikarekterisasikan secara predominan oleh adanya inflamasi miokardium, dengan beberaa
kerusakan terhadap sel miokardium. Galium-67, leukosit dan antibody antimiosin yang
ditandai secara radiologi, semuanya telah digunakan untuk menggambarkan inflamasi
miokardium. Walaupun pencitraan radionuklida telah digunakan secara sukses untuk
mengidentifikasi karditis rematik melalui cara yang non invasif, tidak terdapat pengalaman
yang cukup dengan beberapa metode untuk memungkinkannya untuk digunakan bagi diagnosis
rutin DRA. Namun, hasil dari studi mengungkapkan bahwa pencitraan gallium-67 memiliki
karakteristik diagnostic yang ebih baik disbanding skintigrafi antimiosin dan hasil tersebut juga
mengkonfirmasi bahwa karditis rematik bersifat predominan infiltratif dibanding degeneratif
secara alami.5

Pemeriksaan Penunjang Lain


EKG
Regurgitasi Mitral
Temuan pada EKG kurang spesifik pada PJR, namun dapat memperlihatkan pembesaran
atrium kiri atau ventrikel kiri dan renggangan ventrikel. Pada derajat MR yang parah,
khususnya pada pasien usia tua, dapat muncul AF. Pada mitral insufisuensi berat terlihat
gelombang P bifasik prominen, disertai tanda hipertrofi ventrikel kiri dan berhubungan dengan
hipertrofi ventrikel kanan.2
Stenosis Mitral
EKG tidak membantu secara khusus dalam diagnosis MS, meskipun dapat memperlihatkan
bukti pembesaran atrium kiri. Namun, EKG memperlihatkan apakah jantung sinus rhythm atau
AF. Pada mitral stenosis seiring dengan berat penyakit, terdapat gel P notched dan hipertrofi
ventrikel kanan menjadi terlihat. Pada EKG insufisiensi aorta mungkin normal, tetapi pada
kasus lanjutan terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang P prominen. 2
Regurgitasi Aorta
Dengan AR yang parah, EKG sering memperlihatkan perubahan gelombang ST-T dengan atau
tanpa peningkatan voltase LV. 2
Stenosis Aorta

58
EKG biasanya memperlihatkan sinus rhythm dan mungkin memperlihatkan hipertrofi ventrikel
kiri. Terkadang ada abnormalitas repolarisasi sekunder. Dan juga EKG tidak sensitive dan
spesifik untuk menilai murmur ejeksi sistolik2
Atrioventrikular (AV) blok derajat satu, yaitu dengan adanya perpanjangan PR interval
harus diperhatikan pada beberapa pasien dengan PJR. Abnormalitas ini mungkin berhubungan
dengan inflamasi miokardial lokal yang meliputi nodus AV atau vaskulitis yang meliputi arteri
di nodus AV. Bila demam rematik akut berhubungan dengan perikarditis, dapat terjadi ST
elevasi yang biasa terlihat pada lead II, III, aVF, and V4 -V6. Pasien dengan PJR mungkin
mengalami atrial flutter, mutltifokal atrial takikardia atau atrial fibrilasi dari penyakit katup
mitral kronik dan dilatasi atrium. Hanya pada 30% studi serial EKG membantu diagnosis
demam rematik dengan temuan nonspesifik seperti pemanjangan interval PR, AV blok,
perubahan ST-T dengan pelebaran sudut QRS-T dan gelombang inversi T.9

Biopsi Endomiokardial

Gambar 2.5 Nodul Aschoff pada Jaringan Miokardium


Karena miokarditis merupakan sebuah komponen wajib dari keterlibatan jantung pada
demam rematik, nilai biopsi endomiokardial diinvestigasi untuk diagnosis karditis rematik.
Untuk membangun karakteristik histologis karditis, biopsi endomiokardial dari pasien yang
menunjukan episode pertama demam rematik dibandingkan dengan biopsi dari pasien dengan
PJR kronis tenang. Hasilnya menunjukan bahwa miokarditis hampir tidak ada (didefinisikan
oleh kriteria Dallas mengenai fokal atau difus nekrosis miositik berkaitan dengan infiltrasi
selular limfosit mononuclear). Terlebih lagi terdapat bukti inflamasi interstisial yang berkisar
dari infiltrasi selular mononuclear perivascular hingga agregat histiositik dan formasi nodul
Aschoff. Agregat histiositik dan nodul Aschoff teridentifikasi hanya pada 30% pasien. Dan

59
disisi lain, nodul Aschoff terlihat pada 40 % biopsi endomiokardial yang diambil dari pasien
dengan PJR yang sudah ada dan yang berkembang kearah kemungkinan karditis rematik
berulang dengan CHF. Hasil ini menunjukkan bahwa biopsi endomiokardial tidak
memungkinkan menyediakan informasi diagnostik tambahan untuk pasien dengan klinis
karditis pada episode primer demam rematik. Hasil ini juga menunjukkan bahwa onset CHF
yang tak terjelaskan pada pasien dengan PJR dan yang tampak hanya dengan manifestasi minor
demam rematik dan peningkatan titer antistreptolisin O, dapat mengindikasikan kemungkinan
tinggi dari karditis rematik dan tes invasif mungkin tidak dibutukan untuk diagnosis.5

Tatalaksana
Eradikasi Kuman Fase Akut/Pencegahan Primer
Pencegahan primer dari demam rematik akut didefinisikan sebagai terapi antibiotik
adekuat terhadap infeksi streptokokus pada saluran napas atas untuk mencegah serangan awal
demam rematik akut, selain itu juga dapat berperan untuk eradikasi kuman streptokokus pada
saat serangan demam rematik dan diberikan pada fase awal serangan.Rekomendasi untuk
pencegahan streptokok dari tonsil dan faring sama dengan rekomendasi yang dianjurkan untuk
pengobatan faringitis streptokokus.5,7
Untuk eradikasi infeksi SGA, penisilin oral (Penisilin V atau G) harus diberikan untuk
10 hari penuh. Injeksi tunggal Benzatin Penisilin G dapat digunakan untuk mengatasi infeksi
yang bersifat antisipatif pada pasien yang akan tidak mematuhi regimen pengobatan antibiotic
oral. Sefalosporin generasi pertama juga dapat digunakan dengan cukup berhasil. Di sisi lain,
obat golongan tetrasiklin dan sulfa dikontraindikasikan untuk pencegahan primer demam
rematik karena banyak SGA yang resisten terhadap golongan tersebut.5 Untuk lebih lengkap
tertera pada Tabel berikut:
Tabel 2.21 Obat yang direkomendasikan untuk eradikasi SGA

60
Pencegahan Sekunder
Sesudah pengobatan DRA selama 10 hari dilanjutkan dengan pencegahan sekunder.
Cara pencegahan sekunder yang diajukan oleh The American Heart Association dan WHO,
yaitu mencegah infeksi streptokokus. Pencegahan sekunder demam rematik didefinisikan
sebagai pemberian berkelanjutan sebuah antibiotic spesifik kepada pasien dengan serangan
demam rematik sebelumnya, atau dengan PJR yang terdokumentasi dengan baik. Tujuan dari
pencegahan ini adalah untuk mencegah kolonisasi atau infeksi saluran napas atas dari SGA dan
perkembangan serangan DR rekuren. Profilaksis sekunder wajib untuk semua pasien yang
pernah memiliki serangan demam rematik atau yang memiliki penyakit katup jantung rematik
residual.5,7
Penisilin masih merupakan antibiotic pilihan. Injeksi BPG IM tiap 3 minggu (tiap 4
minggu pada wilayah risiko rendah) adalah strategi paling efektif untuk mencegah rekurensi
serangan DR. penisilin oral juga bisa digunakan sebagai alternatif pada profilaksis sekunder,
namun focus terbesar pada pemberian oral adalah ketidakpatuhan. Pada pasien yang diketahui
alergi penisilin, sulfadiazine atau sulfasoxazole oral tampak sebagai pilihan kedua yang
optimal. Pada daerah yang keterbatasan golongan penisilin atau sulfa, eritromisin oral bisa
digunakan.5 Berikut pada Tabel dan antibiotik yang dapat digunakan pada profilaksis sekunder
DR dan durasi pemberiannya.

Tabel 2.22 Antibiotik untuk Profilaksis Sekunder DR

61
Sulit untuk memformulasikan panduan bagi durasi profilaksis sekunder Durasi profilaksis
sekunder untuk pasien dengan riwayat DR yang dipertanyakan dan tidak ada bukti penyakit
katup jantung, sebagai contoh, mugkin berbeda disbanding untuk pasien dengan penyakit
jantung residual yang signifikan dan serangan DR berulang yang terdokumnetasi. Berikut pada
Tabel merupakan durasi pemberian profilaksis Sekunder pada DR.5

Tabel. 2.23 Durasi Pemberian Profilaksis Sekunder

Tatalaksana Gejala Penyerta


Korea
Korea secara tradisional dianggap sebagai penyakit ringan yang dapat sembuh
sendirinya, tidak membutuhkan terapi. Namun terdapat laporan bahwa gejala yang berlarut-
larut mengararkan ke disabilitas dan isolasi social. Neuroleptik, benzodiazepine, dan
antiepileptic dengan kombinasi suportif seperti beristirahat di ruang yang tenang. Haloperidol,
diazepam dan carbamazepine dialporkan efektif pada terapi korea. Tidak terdapat bukti
meyakinkan bahwa steroid berguna untuk terapi korea berkaitan dengan DRA.5

Tabel 2.24 Dosis Obat tatalaksana Korea pada DR

62
Carbamezepine dan Sodium Valproat saat ini lebih dipilih disbanding haloperidol, yang
dulu dianggap sebagai lini pertama terapi korea. Pada sebuah studi perbandingan prospektif
yang membandingkan tiga agen ini, hasilnya sodium valproate merupakan yang paling efektif.
Medikasi antikorea lain harus dihentikan karena berpotensi toksik. Berkenaan dengan potensi
hepatotoksik sodium valproate, direkomendasikan carbamazepine digunakan secara inisial
untuk korea berat yang membutuhkann terapi, dan sodium valproate dipertimbangkan untuk
diberikan pada kasus refrakter. Respon belum bisa dilihat dalam 1-2 minggu, dan medikasi
yang sukses hanya dapat mengurangi namun tidak mengeliminasi gejala. Medikasi harus
dilanjutkan 2-4 mgg setelah korea reda, dan dihentikan. Rekurensi korea biasanya ringan dan
dapat diatasi secara konservatif namun pada rekurensi yang berat, medikasi disarankan jika
diperlukan.2

Artritis/atralgia
Salisilat (aspirin) direkomendasikan sebagai lini pertama pengobatan. Dosis aspirin
pada anak 125/kgBB/hari dibagi dalam 4-5 dosis. Setelah mencapai konsentrasi steady state
dalam 2 minggu, dosis dapat diturunkan ke 60-70 mg/kg/hari untuk tambahan 3-6 minggu.
Pada pasien dengan alergi aspirin, naproxen (10-20mg/kgBB/hari) dapat digunakan. Ibuprofen
juga dapat digunakan dengan dosis 30 mg/kgBB/hari terbagi ke dalam 3 dosis.2,5

Carditis/Heart Failure
Gagal jantung pada DR secara umum bersepon terhadap tirah baring dan steroid, namun
pada pasien dengan gejala berat, diuretic, ACE-I dan digoksin dapat digunakan. Pada tahap
awal, pasien harus mengikuti diet pembatasan garam dan diuretic harus diberikan. ACE-I dan
digoksin dapat dipertimbangkan jika upaya tersebut tidak berhasil, khususnya pada pasien
dengan penyakit katup jantung rematik yang lengkap.5

63
Tabel 2.25 Dosis Obat pada tatalaksana Gagal Jantung pada DR

Pasien dengan pericarditis atau gagal jantung sering berespon dengan kortikosteroid,
dan juga disarankan pada pasien yang tidak berespon pada terapi salisilat dan yang tetap
memburuk dan mengarah ke gagal jantung. Prednison (1-2mg/kgBB/hari hingga maksimum
80 mg/hari diberikan sekali sehari atau dalam dosis terbagi) biasanya merupakan obat pilihan.
Pada keadaan yang mengancam nyawa, Metil-prednisolon IV dapat dimulai. Setelah 2-3
minggu terapi, dosis dapat diturunkan 20-25% tiap minggu. Berikut Tabel tentang pemberian
agen anti-inflamasi pada DR.5

64
Tabel 2.26 Panduan Pemberian Obat Antiinflamasi

Ket: Karditis minimal : tidak jelas ditemukan kardiomegali


Karditis sedang : kardiomegali ringan
Karditis berat : jelas terdapat kardiomegali disertai tanda gagal jantung

Demam
Demam tidak membutuhkan terapi spesifik. Demam biasanya akan berespon terhadap terapi
salisilat. Demam saja, atau demam dengan atralgia atau atrtritis ringan, mungkin tidak
membutuhkan salisilat namun sebagai gantinya dapat diterapi dengan parasetamol.2

Aktivitas
Pasien tirah baring dan melakukan aktivitas didalam rumah sebelum diperbolehkan
bersekolah kembali. Aktivitas sepenuhnya tidak diperbolehkan sampai fase akut reaktan
kembali normal. Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan.7

Tabel 2.21 Panduan Aktivitas pada DRA

65
Pembedahan
Mitral stenosis
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi
indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi dapat
bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau
penggantian katup).10

Gambar 2.6 Tatalaksana MS

66
Insufisiensi Mitral
Tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas
katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila
daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve
replacement). Katup biologi (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak dibawah
umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita dengan kontra
indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge dan
lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagulan untuk selamanya.10

Gambar 2.7 Tatalaksana MR

67
Stenosis Aorta
Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif. Pasien tanpa
gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk menentukan
kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup aorta memakai
balon masih diteliti. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus dioperasi walaupun
tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang dari 75 mmhg harus
dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila pasien menunjukkan gejala
terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta yang diukur denagn teknik
Doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua
membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada
penggantian katup dan risiko meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada
pembesaran jantung dengan gagal jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda
yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan memakai katup
sintetis. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan tromboemboli jarang, tidak
diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat bila dibandingkan dengan
memakai katup sintetis.10

Gambar 2.8 Tatalaksana AS

68
Insufisiensi Aorta
Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi untuk
koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau
miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko
operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner
normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan
pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan katup buatan
mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang10

Gambar 2.9 Tatalaksana AR

69
Komplikasi
Penyakit jantung rematik adalah komplikasi terberat dari DRA dan merupakan
penyebab terbesar dari stenosis dan insufisiensi mitral di dunia. Beberapa variabel yang
mempengaruhi beratnya kerusakan katub antara lain jumlah serangan DRA sebelumnya, lama
antara onset dengan pemberian terapi, dan jenis kelamin (penyakit ini lebih berat pada wanita
dibandingkan pria). Insufisensi katub akibat DRA akan sembuh pada 60-80% penderita yang
menggunakan profilaksis antibiotik.11

Prognosis
Kelainan jantung pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit
katup sering membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis. Prognosis sangat baik bila
karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5 tahun pertama
perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising
organik katup tidak menghilang. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan
ternyata demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama
dan 40% setelah 10 tahun. Penyembuhan akan bertambah bila pengobatan pencegahan
sekunder dilakukan secara baik.11

70
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien anak laki-laki usia 8 tahun, BB 17kg dan TB 120cm datang dengan keluhan
sesak dan batuk. Sesak dan batuk sejak kurang lebih 5 hari SMRS. Sesak nafas makin berat
jika aktivitas meningkat. Kesan awal dari keluhan tersebut mengindikasikan masalah terdapat
pada penurunan perfusi yang bisa dipengaruhi oleh gangguan sistem pernafasan atau gangguan
sirkulasi terkait fungsi jantung dan pembuluh darah. Masalah sistem pernafasan yang berakibat
sesak pada anak dapat berupa gangguan obstruksi saluran napas (seperti: massa pada saluran
napas atas, asma, bronchitis, aspirasi benda asing), gangguan parenkim paru (seperti:
bronkiolitis, pneumonia, edem paru, efusi pleura) atau proses desak ruang yang erat berkaitan
dengan riwayat trauma (seperti: pneumotoraks, flail chest, atelektasis) sehingga menurunkan
kualitas atau kuantitas ambilan oksigen di alveolus. Masalah sirkulasi pada anak, dapat berupa
gangguan fungsi jantung (seperti penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik, penyakit
katup jantung akibat infeksi).
Dari anamnesis diketahui bahwa sesak timbul dan makin berat hanya jika ada
peningkatan aktivitas, tidak diawali suatu pencetus, tidak dipengaruhi cuaca dan tidak secara
periodik muncul di waktu-waktu tertentu, sehingga sesak pada kasus ini bisa digolongkan
sebagai suatu exertional dyspnea. Exertional dyspnea dapat disebabkan gangguan perfusi
akibat menurunnya fungsi jantung atau dengan kata lain peningkatan aktivitas kurang bisa
diimbangi dengan suplai oksigen yang baik ke jaringan karena fungsi jantung yang menurun,
sehingga sesak muncul sebagai kompensasi untuk dapat menghirup oksigen lebih banyak.
Dari pemeriksaan fisik terkait jantung didapatkan iktus kordis melebar hingga 1 jari
lateral linea midklavikularis sinistra, thrill (+), dan murmur (+). Hal ini mengindikasikan
bahwa telah terdapat pembesaran jantung yang diakibatkan sebuah proses kompensasi untuk
menunjang kebutuhan oksigen dengan meningkatkan laju perfusi melalui pompa jantung.
Proses kompensasi ini bisa diakibatkan tahanan vaskular perifer yang tinggi atau akibat
kebocoran ruang jantung ataupun insufisiensi katup yang mengakibatkan aliran darah berbalik
dan mengurangi volume darah yang keluar sehingga jantung bekerja lebih keras dan
mengalami hipertrofi otot miokardium. Pada anak, hipertrofi jantung akibat kompensasi
terhadap tingginya tahanan perifer vascular merupakan hal yang jarang, karena cenderung
merupakan akibat proses degeneratif ataupun kebiasaan gaya hidup yang lama seperti
merokok. Dengan adanya temuan murmur (+), maka dapat diasumsikan bahwa terdapat
gangguan fungsi jantung akibat kebocoran ruang jantung atau penyakit katup jantung.
71
Gangguan fungsi jantung pada anak dapat disebabkan beberapa hal seperti penyakit jantung
bawaan, penyakit katup jantung rematik, atau infeksi pada jantung.
Keluhan penyerta berupa batuk, dapat merupakan suatu gangguan terpisah atau
merupakan gangguan yang terkait gangguan jantung. Berdasarkan anamnesis, diketahui batuk
bersifat produktif, dengan dahak yang berwarna putih. Batuk pun dirasakan tidak dipengaruhi
cuaca dan terasa sepanjang hari tidak dirasa memberat diwaktu-waktu tertentu dan tidak
disertai demam. Lalu dari pemeriksaan fisik, stridor (-) menandakan obstruksi saluran nafas
atas bisa ditepikan, meskipun riwayat alergi (-) namun sonor +/+ vesikuler yang tidak menurun,
mengi (+) dan ronki (+) mengindikasikan bahwa gangguan terdapat pada penyempitan saluran
nafas akibat spasme dan hipersekresi mukus. Sehingga batuk muncul sebagai respon untuk
mengevakuasi mukus. Namun juga bisa dipertimbangkan sesak dibarengi batuk berasal dari
stasis cairan di paru akibat fungsi jantung yang menurun. Dari hal ini dapat diasumsikan
beberapa hal, pertama bahwa batuk merupakan gangguan yang berdiri sendiri diluar gangguan
jantung, lalu kedua batuk berkaitan dengan menurunnya fungsi jantung akibat stasis cairan di
paru. Namun yang jelas karena dari pemeriksaan fisik jelas terdapat akumulasi mucus di
saluran napas maka terapi yang diberikan harus mencakup upaya untuk evakuasi dan pencairan
mucus serta dilatasi bronkus, jika batuk berhubungan dengan gangguan fungsi jantung, gejala
batuk diprediksi akan membaik seiring dengan terapi perbaikan fungsi jantung.
Dari riwayat penyakit, didapatkan keluhan demam dengan nyeri sendi ditambah
dengan karditis klinis yang apabila dihubungkan dengan kejadian exertional dyspnea pada
pasien menimbulkan suatu hubungan kejadian terkait dengan penyakit katup jantung akibat
demam rematik. Dari klinis riwayat penyakit Os, dapat dipenuhi suatu kriteria untuk
menegakkan diagnosis demam rematik sebelumnya yaitu 1 gejala mayor + 2 gejala minor:
Karditis + demam & atrhalgia. Dimana berdasarkan teori bahwa demam rematik merupakan
penyebab penyakit jantung dapatan tersering pada anak namun untuk menunjang diagnosis ini
pun dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang. Dan dari beberapa pemeriksaan penunjang
yang dilakukan dan hasil pemeriksaan penunjang dari riwayat penyakit Os , didapatkan
beberapa temuan yang mendukung diagnosis seperti ASTO (+), CRP (+), LED 78 mm/jam,
hasil foto rontgen toraks berupa kardiomegali dan hasil ekokardiografi yang menemukan
terdapat regurgitasi mitral berat dan regurgitasi aorta sedang. Maka pada kasus ini ditegakkan
diagnosis Bronchitis + PJR Teraktivasi. (kriteria diagnosis demam rematik pada tabel berikut)

72
Terapi pada kasus ini berupa O2 nasal 2L/menit; IVFD D5 ¼ NS 10 tpm; Nebulisasi
NaCl 3% 2cc + Ventolin; Cetirizine 2 x 2.5 mg; Ambroxol 3 x 5 mg; Inj. Ampicillin 3 x 50 mg
IV; Inj. Gentamisin 2 x 30 mg IV dan Inj. BPG 600.000 IM. Nebulisasi NaCl + Ventolin
ditujukan untuk mencairkan dan mendilatasi bronkus serta Ambroxol untuk membantu
mencairkan dan mempermudah pengeluaran dahak sehingga jalan nafas terbuka dan
mengurangi sesak akibat batuk produktif yang disebabkan bronkitis. Pemberian Ampisilin dan
Gentamisin berkenaan dengan didapatkannya temuan leukositosis pada pasien, sehingga
ampisilin dan gentamisin bersifat sebagai antibiotik empiris untuk infeksi yang berfokus di
saluran pernapasan. Injeksi BPG dilakukan sebagai tindakan profilaksis sekunder terhadap
rekurensi demam rematik akut. Berikutnya pasien harus kembali injeksi BPG tiap 3 minggu.
Pemberian BPG pada kasus ini dapat dilangsungkan hingga 10 tahun, atau hingga usia pasien
mencapai 25 tahun.

73
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit Jantung Rematik (PJR) masih merupakan masalah yang sering terjadi pada
anak remaja dan dewasa muda. Mimikri molecular antara protein manusia dan streptokokus
diusulkan sebagai faktor pemicu yang mengarahkan ke proses autoimunitas dan kerusakan
jaringan pada PJR. Endokarditis mengarahkan ke regurgitasi mitral dan atau aorta
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas PJR, sementara miokarditis dan pericarditis kurang
signifikan dalam menentukan hasil yang merugikan dalam jangka panjang.
DRA dan PJR terjadi sebagian besar di negara yang sedang berkembang, lingkungan
padat, sosial ekonomi rendah, keadaan malnutrisi, dan fasilitas kesehatan terbatas yang
umumnya terjadi pada anak usia 5-15 tahun dan jarang terobservasi pada anak sebelum usia 5
tahun. Hanya PJR yang merupakan manifestasi klinis DRA yang menimbulkan kerusakan
residual atau permanen pada 14 hingga 99% pasien. Saat ini diperkirakan terdapat setidaknya
15.6 juta orang dengan PJR, 470.000 kasus DRA baru per tahun dan lebih dari 230.000
kematian akibat PJR tiap tahunnya.
Tanda klinis yang lebih konsisten dari karditis rematik termasuk diantaranya adalah
terdapatnya murmur patologis, khususnya suatu murmur yang mengarah ke insufisiensi mitral
dan aorta. Penampakan karditis atau penyakit katup dapat dengan mudah dikenali melalui
pemeriksaan ekokardiografi, namun kombinasi tanda klinis dan ekokardiografi menghasilkan
penilaian paling akurat terhadap keterlibatan jantung. Hanya 30% pasien studi EKG serial yang
membantu dalam diagnosis DRA dengan temuan non spesifik termasuk pemanjangan Interval
PR, AV Blok, perubahan acak ST-T dengan pelebaran sudut QRS-T dan gelombang T inversi.
Karditis sebagai tanda awal dapat dalam bentuk ringan atau bahkan tidak dapat dikenali.
Pencegahan penyakit jantung rematik diambil dalam sejumlah level berbeda.
Pencegahan primordial dan primer untuk mencegah kejadian penyakit di tempat pertama,
sementara pencegahan sekunder dan tersier bertujuan untuk membatasi progresi dan
mengurangi konsekuensi yang diakibatkan oleh penyakit dan strategi yang tersedia untuk
kontrol penyakit masih berupa profilaksis sekunder dengan Benzatin penisilin G jangka
panjang.

74
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Global Atlas on Cardiovascular Disease


Prevention and Control. Jenewa: WHO; 2011.
2. National Heart Foundation of Australia and the Cardiac Society of Australia and New
Zealand. Australian Guideline for Prevention, Diagnosis and Management of Acute
Rheumatic fever and Rheumatic Heart Disease. Australia: Menzies School of Health
Research; 2012.
3. Heart Foundation of New Zealand. New Zealand Guidelines for Rheumatic Fever:
Diagnosis, Management and Secondary Prevention of Acute Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease 2014 Update. Heart Foundation of New Zealand: Selandia
Baru; 2014.
4. Gerber MA. Chapter 182. Rheumatic Fever. In: Kleigman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th ed. United Kingdom: Elsevier;
2007.
5. WHO. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease. Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease: Report of a WHO Expert Consultation, Geneva, 29 October
— 1 November 2001. Jenewa: WHO; 2004
6. Julius WD. Penyakit Jantung Rematik. J Medula Unila. 2016; (3); 139-145
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pedoman Pelayanan Medis Jilid II. Indonesia:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011
8. Gewitz MH et al. Revision of the Jones Criteria for the Diagnosis of Acute Rheumatic
Fever in the Era of Doppler Echocardiography: A Scientific Statement From the
American Heart Association. American Heart Association Journal. 2015; 131; 1-13
9. Rosa GD, Pardeo M, Stabile A, Rigante D. Rheumatic Heart Disease in Children: From
Clinical Assessment to Therapeutical Management. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences. 2006; 10: 107-110
10. Jonathan C. Alex B. Warren W. Keith E. Clive H. Dkk. Diagnosis and management of
acute rheumatic fever and rheumatic heart disease in Australia An evidence-based
review. National Heart Foundation of Australia and the Cardiac Society of Australia
and New Zealand. June 2006.
11. Rahayuningsih SE. Demam Rematik Akut. Bandung: Pendidikan Ilmu Kesehatan
Anak Berkelanjutan (PIKAB) IX; 2011.

75

Anda mungkin juga menyukai