Anda di halaman 1dari 14

zKEGAGALAN MULTI ORGAN

Patofisiologi, Pencegahan dan Terapi

ISKEMIA DAN REPERFUSI SEBAGAI PENYEBAB


KEGAGALAN MULTI ORGAN

Kegagalan multi organ terus menjadi penyebab kematian lanjut setelah cedera. Kegagalan
multi organ juga menjadi penyebab terbanyak mortalitas di unit terapi intensif setelah
penyakit medis katastrofik mayor dan komplikasi bedah. Patogenesis dari sindrom ini
masih belum dapat dimengerti sepenuhnya, tapi cenderung berkaitan dengan sejumlah
kombinasi dari respon inflamasi disregulasi, maldistribusi aliran darah, cedera iskemia-
reperfusi dan disregulasi fungsi imun.
Awalnya sindrom kegagalan multi organ diduga sebagai akibat dari sepsis. Ide ini
berdasarkan pengamatan bahwa onset dini dari kegagalan respiratorik setelah sejumlah
kejadian stress koinsiden dengan respon septic pada banyak pasien. Respon ini antara lain
meliputi demam, leukosistosis, peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi
vascular perifer. Goris dan kawan-kawan mendemonstrasikan bahwa lebih dari 50%
pasien mengalami kegagalan multi system organ tanpa bukti adanya infeksi. Sebagai
tambahan, Nuytinck dkk. Menemukan bahwa pasien dengan kegagalan multi organ yang
meninggal memiliki bukti adanya inflamasi akut dan kronik pada seluruh organ mereka.
Penemuan ini mengarah pada ide bahwa kegagalan multi system organ berasal dari
sindrom respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/SIRS) dan
disregulasi respon hiperinflamasi sistemik dari pada sepsis atau infeksi. Satu kejadian
tersering yang dapat menyebabkan scenario ini adalah iskemia/cedera reperfusi. Tujuan
tinjauan ini adalah untuk membahas ide bahwa iskemia/cedera reperfusi adalah suatu
kejadian yang sering menjadi predisposisi sindrom klinis dari kegagalan multiple system
organ.
Meskipun istilah kegagalan muti organ pertamakali disebutkan pada akhir
1970an, sindrom klinisnya telah dijelaskan dengan baik pada awal 1960an. Haimovici

1
menggambarkan seorang laki-laki usia 60 tahun dengan iskemia tungkai akut akibat
emboli artei femoralis. Pasien ini menjalani operasi pemindahan emboli diikuti dengan
fasciotomi untuk pembengkakan yang berat. Prosedur tersebut diselesaikan dalam waktu
8 jam setelah onset nyeri. Postoperasi, pasien mengalami gagal jantung, gagal ginjal,
gagal pulmo dan gagal tungkai, dan kemudian pasien ini meninggal. Haimovisi menyebut
hal ini sebagai sindrom myonephropathic-metabolik, tetapi saat ini kita menyadari bahwa
gejala local yang menyebabkan pembengkakan ekstremitas adalah sebagai akibat dari
iskemia/cedera reperfusi, suatu deteriorasi sistemik sebagai SIRS dan disfungsi atau
kegagalan multi organ. Kedua kegagalan sistemik dan local ini sekarang diketahui
sebagai akibat dari respon inflamasi local dan sistemik sebagai hasil cedera
reperfusi/iskemik pada jaringan dengan darah yang teroksigenasi.
Patofisiologi yang tercatat dengan baik dari cedera iskemia adalah hilangnya
oksigen sebagai hasil dari perubahan metabolisme aerob menjadi anerob pada tingkat
seluler. Seiring teknik pembedahan untuk menahan aliran iskemia ke organ telah
meningkat, menjadi jelas bahwa terdapat suatu periode waktu yang terbatas dari organ
seseorang untuk dapat mentoleransi iskemia sebelum kerusakan ireversibel terjadi.
Pengamatan ini mendasari prinsip terapi bedah bahwa outcome dari prosedur apapun
untuk menahan aliran iskemia jaringan adalah cesara proporsional terbalik dengan waktu
dan onset dari iskemia untuk menahan alirannya. Bagaimanapun, iskemia sebagai
penyebab kematian tidak dapat menjelaskan semua gejala dari penyakit.

KOMPONEN DARI ISKEMIA/REPERFUSI

Kita sekarang mengetahui dari penelitian dasar model iskemia dan reperfusi bahwa dua
masalah dasar terjadi selama reperfusi dari otot skelet yang iskemik. Pertama adalah
fenomena no-reflow: selama restorasi aliran ke jaringan, sejumlah persentase kapiler
bahkan cabang-cabang arteri kecil tetap teroklusi dengan thrombus, dengan konsekuensi
iskemi yang nyata pada sel yang disuplai oleh pembuluh tersebut. Masalah kedua adalah
cedera sel endotel generalisata sebagai akibat mediator oksigen reaktif, platelet activating
factor dan leukosit polimorfonuklear (PMN) terkait interaksi endotel yang menyebabkan

2
edema yang disebabkan luapan kapiler yang berlanjut menjadi kerusakan jaringan akibat
produk akitvasi PMN.

PENGHINDARAN ISKEMIA/CEDERA REPERFUSI

Quinones-Baldrich dan kawan-kawan menemukan bahwa agen fibrinolitik urokinase,


ketika diberikan pada hewan percobaan pada saat terjadinya reperfusi, menghasilkan
peningkatan fungsi otot. Penulis mengkombinasikan teknologi ini dengan konsep
reperfusi terkontrol pada kelompok pasien yang menjalani embolektomi untuk oklusi
vaskuler akut. Penulis menggunakan reperfusi tungkai terisolasi dengan darah yang
mengandung 100.000 unit urokinasi yang dimasukkan dengan pompa infus dengan
kecepatan aliran yang ditingkatkan secara bertahap setelah 30 menit. Penulis mencoba
teknik ini pada 10 pasien yang menunjukkan iskemia tungkai bawah berat akut. Pasien-
pasien ini diterapi dengan kateter tromboembolektomi diikuti dengan perfusi tungkai
terisolasi menggunakan pompa ekstrakorporeal dengan pertukaran panas dan oksigenator
untuk memperfusi ekstremitas yang terisolasi pada tekanan fisiologis dengan darah
autolog yang mengandung urokinase dosis tinggi. Penyelamatan tungkai terpenuhi pada 7
dari 10 pasien. Berhubungan dengan diskusi ini, bagaimanapun, tidak ada satupun dari
pasien-pasien ini mengalami kegagalan multi system organ atau tanda-tanda SIRS setelah
reperfusi. Menggunakan teknik ini, sirkulasi sistemik dari pasien tidak menampakkan
drainage vena dari ekstremitas sampai vaskularisasi ekstremitas telah dibersihkan dengan
pompa ekstrakorporeal. Kemudian tidak hanya dengan teknik mengontrol reperfusi ini
saja dapat mengurangi no-reflow pada tingkat jaringan local, ini juga mencegah produk
dari cedera reperfusi untuk masuk ke sirkulasi sistemik.
Pendekatan lain untuk masalah klinis ini yang mungkin lebih efektif adalah
dengan mencegah komponen cedera reperfusi, yang dilaporkan oleh Byersdorf dkk.
Mereka juga menggunakan reperfusi tungkai terisolasi setelah tromboembolektomi untuk
ekstemitas yang iskemik. Teknik ini berbeda dimana teknik ini menggunakan larutan
terperfusi yang mirip dengan yang digunakan untuk preservasi miokardial selama bypass
arteri koronaria dari pada menggunakan agent fibrinolitik seperti yang digunakan
Quinones-Baldrich dkk. Byerdiff dkk mempelajari 19 pasien yang mengalami periode

3
iskemia tungkai yang panjang yang diterapi dengan klirens kateter Forgerty dari gross
thrombus diikuti dengan isolasi vascular dan reperfusi dengan larutan reperfusi yang
mengandung darah/kritaloid, allopurinol dan glutamate aspartat selama 30 menit. Tidak
jelas dari laporan tersebut apakah cacat sistemik terjadi. Penulis menyatakan bahwa tidak
terjadi komplikasi sistemik pada 16 pasien yang bertahan, tetapi 3 pasien meninggal,
semuanya karena syok kardiogenik selama prosedur reperfusi. Karena tungkai terisolasi,
dapat disangkal bahwa penyebab kematian diakibatkan sekuele cedera reperfusi, tetapi
tidak dapat dipastikan kebenaran 100% dari laporan ini. Bagaimanapun, prinsip reperfusi
terkontrol dengan menggunakan agen fibrinolitik dan aliran kekuatan-menekan untuk
mencegah fenomena no-reflow yang didukung dengan larutan reperfusi yang
mengandung campuran nutrisi, oksigen, pemakan radikal dan larutan impermeate untuk
mencegah cedera reperfusi dalam rangka isolasi sirkulasi sistemik untuk mencegah SIRS
menunjukkan kecanggihan klinis.
Mirip dengan hal ini, strategi yang lebih canggih telah digunakan menggunakan
reperfusi terkontrol setelah iskemia/cedera reperfusi yang terjadi selama pengobatan
infark miokardial dan bypass kardipulmonari untuk grafting bypass arteri koronaria atau
transplantasi jantung. Reperfusi dari iskemia mikardium dikaitkan dengan risiko
signifikan dari kegagalan multi organ. Meskipun beberapa masalah ini mungkin sekunder
terhadap bypass kardiopulmonari, sebuah komponen signifikan dikarenakan oleh cedera
reperfusi. Reperfusi terkontrol dari iskemia miokardium memiliki konsentrasi komposisi
ionik, substrat metabolic dan adanya leukosit dan platelet daam lauratan reperfusi
mereka. Buckberg mendemonstrasikan bahwa peningkatan penyembuhan fungsi
miokardial diperoleh dalam iskemia mikardial ketika larutan reperfusi blood based
bersifat hipokalsemik. Byersdorf mendemonstrasikan kemajuan signifikan pada
kontraktilitas miokardial pada pasien yang diobati dengan reperfusi termodifikasi setelah
vaskularisasi arteri koronaria emergensi untuk oklusi koronari akut. Pada penelitian ini,
reperfusi termodifikasi terdiri dari darah kardioplegia yang bersifat hipokalsemik,
glutamate/asparta, hiperosmolar, alkalotik, dan mengandung diltiazem yang diberikan
pada tekanan 50 mmHg selama 20 menit pada saat reperfusi.

4
Inaktivasi/Filtrasi Leukosit

Pengukuran yang lebih baru untuk menyaring leukosit atau menghambat aktivasi leukosit
telah ditambahkan pada teknik reperfusi terkontrol dan telah sukses dalam mereduksi
cedera reperfusi. Reperfusi deplesi leukosit telah menunjukkan penurunan ukuran infark
pada binatang coba dari iskemia regional dan reperfusi termodifikasi. Menggunakan
kombinasi reperfusi deplesi leukosit dan darah tereperfusi dengan aspartat/glutamate,
kelompok Drinkwater memulai sebuah uji klinis double blind acak pada jantung manusia
tranplantasi. Pada penelitian specimen biopsy miokardial dari 16 pasien yang menjalani
reperfusi deplasi leukosit mengalami cedera ultrastrukural yang lebih sedikit secara
signifikan. Tidak ada laporan kasus mengenai adult repiratory distress syndrome (ARDS)
atau kegagalan multi organ (MOF) pada penelitian ini, tetapi terdapat dua pengamatan
penting. Pertama, pada kelompok control terdapat bukti cedera reperfusi 10 menit setelah
inisiasi reperfusi, yang mengindikasikan cedera ini mulai dengan cepat. Kedua, deplesi
leukosit mencegah cedera reperfusi dini ini, menunjukkan bahwa kedua sel endotel dan
leukosit nampaknya primer terhadap reperfusi.

Sitokin

Kemajuan klinis dalam reperfusi tungkai iskemik dan miokardium telah


mendemonstrasikan bahwa reperfusi terkontrol dan isolasi vascular dari organ untuk
menghindari respon sistemik dapat mencegah MOF setelah iskemia dan reperfusi.
Bagaimanapun juga, tidak selalu mungkin untuk mengisolasi organ iskemik dari sirkulasi
sistemik. Di bawah lingkungan seperti ini, sitokin yang terelaborasi saat reperfusi organ
sistemik diikuti dengan aktivasi respon inflamasi pada organ distal. Contoh klasik adalah
iskemia visceral dan cedera reperfusi yang terkait dengan perbaikan aneurisma aorta
thoraks dan abdominal. Penemuan dan hubungan telah didemonstrasikan, bahwa
peningkatan ekspresi neutrofil CD11-B intraoperatif selama cross-clamping supraceliac
adalah marker untuk perkembangan selanjutnya dari disfungsi organ posroperasi. Mereka
menginvestigasi hubungan antara iskemia visceral dan aktivasi neutrofil, sepsis dan
disfungsi organ yang mengikuti reperfusi visceral pada 51 pasien yang menjalani cross-

5
clamping supraceliac, 5 dengan clamping suprarenal dan 8 dengan clamping infrarenal
untuk perbaikan aneurisma aorta. Terdapat korelasi yang signifikan antara waktu clamp
visceral dan ekspresi CD11-B intraoperatif. Menariknya, tidak terdapat perbedaan antara
operasi bypass dengan non-bypass terkait dengan ekspresi neutrofil, mengindikasikan
bahwa perbedaan yang terjadi adalah karena waktu clamp saja. Lebih penting untuk
diskusi ini adalah, terapat peningkatan signifikan pada waktu clamp dan ekspresi CD11-B
pada pasien yang mengalami sepsis berat dan disfungsi organ postoperasi. Peneliti ini
juga mengamati bahwa level postoperasi dari ekspresi CD11-B meningkat pada pasien
yang meninggal intraoperatif dan pada sejumlah pasien yang mengalami MOF. Makalah
ini mendemonstrasikan bahwa iskemia visceral/cedera repefusi terkait dengan perbaikan
aneurisma menyababkan upregulasi dari molekul adhesi CD11-B pada PMN sirkulasi dan
terkait dengan perkembangan dari MOF. Sebagai tambahan pengamatan bahwa level
preoperative dari CD11-B dapat mengidentifikasi suatu resiko pasien menunjukkan
bahwa dibawah situasi tertentu PMN adalah primer mengacu pada episode
iskemia.reperfusi. Cedera reperfusi/iskemia adalah paling berat di bawah kondisi ini.
Hubungan klinis ini menunjukkan bahwa iskemia visceral mengakibatkan priming atau
aktivasi leukosit yang menyebabkan sekuele sistemik pada organ yang jauh setelah
reperfusi. Ide ini telah dibuktikan pada model eksperimen.

Molekul Adhesi Sel

Endothelial cell adhesion molecules (ECAMS) diduga memiliki peran penting pada
iskemia/cedera reperfusi dengan menyababkan adhesi terhadap leukosit pada sel endotel.
Molekul adhesi interseluler 1/intercellular adhesion molecule 1(ICAM-1) adalah salah
satu molekul adhesi yang telah menunjukkan penigkatan regulasi seagai respon terhadap
sitokin. Peningkatan regulasi ini berlanjut menjadi interaksi sel endothelial leukosit
(adhesi) dan infiltrasi neutrofil pada jaringan yang terkena. Meyer dkk mengukur ekspresi
ICAM-1 pada hepar dan organ lainnya setelah iskemoa hepatic/cedera reperfusi hepar
pada tikus Sprague-Dwaley dengan menggunakan oklusi selama 45 menit pada lobus
lateral hepar yang diikuti dengan 5 jam reperfusi. Setelah reperfusi, ICAM-1 diupregulasi
tidak hanya pada lobus hepar yang iskemik tetapi pada lobus yang non iskemik, jantung,

6
ginjal, usus dan pancreas. Peningkatan regulasi pada paru tidak signifikan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa sel endotel diaktivasi oleh peningkatan regulasi ICAM-1 pada organ
yang jauh setelah reperfusi dari hepar iskemik, yang dapat memediasi suatu respon
inflamatori pada organ-organ yang jauh.
Dalam mendukung ide ini, Sun dan kawan2 melakukan evaluasi histologik dari
berbagai organ setelah 8 atau 12 jam iskemia dan reperfusi dari ektremitas bawah tunggal
seekor kelinsi. Pemeriksaan histologik menunjukkan destruksi inflamatorik masif dari
hati dan ginjal. Cedera lebih jelas pada area dengan aliran darah terbesar selama
reperfusi. Makalah ini mengindikasikan bahwa iskemia dan reperfusi dari suatu organ
tunggal menyebabkan aktivasi endotelial pada organ yang jauh yang menyebabkan
cedera inflamasi pada organ jauh tersebut. Ketika mungkin, strategi untuk mereperfusi
organ iskemik dalam isolasi sirkulasi sistemik sebaiknya digunakan. Ketika reperfusi
terisolasi tidak memungkinkan, strategi untuk memodifikasi untuk mereperfusi utuk
mencegah aktivasi sistemik sel endotel dan PMN harus dikembangkan.
Salah satu contoh strategi seperti itu didemonstrasikan oleh Ned dkk. Dengan
menggunakan hewan coba terkontrol secara acak, peneliti ini berhipotesis bahwa cedera
organ multipel pada konsentrasi xantin oksidase mungkin dapat diturunkan dengan
memberikan bolus larutan koloid saat reperfusi. Iskemia hepatoenterik dijaga selama 40
menit dengan balon kateter pada aorta thoracic diikuti dengan reperfusi selama 3 jam.
Kelompok menerima baik bolus larutan hetastarch (Hextend), human albumin 5% atau
ringer laktat. Cedera organ multipel dievaluasi dengan adanya pelepasan aktivitas lactic
dehydrogenase (LDH) ke dalam plasma dan dengan evaluasi histologik dari cedera
lambung dan pulmo. Aktivitas LDH sirkulasi lebih tinggi secara significan pada hewan
coba yang menerima larutan ringer laktat dari pada kelinci yang diberikan larutan lanilla.
Cedera lambung menurun secara significan dengan pemberian larutan koloid. Cedera
paru (ativitas LDH pada cabang alveolar) menurun secara significan dengan pemberian
larutan Hetastarch. Sebagai tambahan larutan Hetastarch menghasilkan aktivitas xantin
oxidase 50% lebih rendah selama reperfusi dibandingkan dengan RL atau albumin.
Bersama penelitian hewan sebelumnya yang menunjukkan penurunan PMN disamping
endotel setelah iskemia/reperfusi dengan mikroskopi in vivo setelah hemodilusi

7
profilaktik dengan dekstran dan hetastarch, data ini menunjukkan sejumlah kepastian
tentang strategi ini.

ISKEMIA SISTEMIK/CEDERA REPERFUSI

Setelah iskemia/reperfusi yang dapat diisolasi secara local dan iskemia/reperfusi local
nonisolasi, iskemia/cedera reperfusi sistemik seperti syok hemoragik, henti jantung
(cardiac arrest) dan hypoksia menunjukkan tingkat kompleksitas berikutnya dalam
memahami penyakit yang kompleks ini. Syok hemoragik adalah prototipe dari
iskemia/cedera reperfusi iskemik. Telah terdapat prognosis yang Sangay baik dalam
penanganan syok hemoragik selama lebih dari 40 tahun terakhir. Terobosan utama telah
dibuat sebagai hasil dari penelitian eksperimen yang menemukan bahwa, setelah
hemoragik, restorasi volume intravaskular dengan darah saja tidak adekuat untuk
mempertahankan perfusi jeringan. Hal ini kemudian mendorong penambahan resusitasi
kristaloid terhadap tranfusi darah untuk penanganan syok hemoragik. Hal ini
peningkatkan angka survival seperti diuraikan dalam kasus berikut, meski pada pasien
tertentu tetap buruk.
Seorang laki-laki 20 tahun mengalami luka tembak pada abdomen dan tiba di
ruang gawat darurat dengan tekanan darah 80 mmHg. Pasien kemudian dibawa segera ke
ruang operasi dimana dalam tubuhnya ditemukan perdarahan dari hilum lien dan
pembuluh lainnya. Lien pasien ini kemudian diangkat dan beberapa perdarahan lainnya
diligasi dengan 10 unit darah yang ditranfusikan ke pasien. Tekanan darah pasien terjaga
dengan baik melalui prosedur ini. Postoperatif di ruang pemulihan pasien mengalami
disfungsi pulmo berat akibat ARDS dan kemudian mengalami MOF memanjang yang
membutuhkan waktu 2 bulan di ICU.
Pasien ini mengalami disfungsi multi organ sebagai akibat cedera reperfusi, yang
menginisiasi SIRS. Kasus ini meminimalkan sebagian besar namun tidak semua faktor
komplikasi yang terlibat pada cedera yang dialami pasien. Sejumlah kecil cedera residual
masih tersisa karena lien telah diangkat. Oleh karena itu mekanisne predominan adlah
iskemia memanjang akibat kehilangan darah dan reperfusi, dan reperfusi melibatkan 10
unit bank darah. Tranfusi darah setelah cedera dikaitkan dengan berkembangnya ARDS

8
dan MOF. Tidak diketahui apakah kaitan ini adalah karena tranfusi darah itu sendiri atau
kumlah tranfusi darah, yang mengindikasikan derajat syok yang diderita oleh pasien.
Bagaimanapun, penelitian terbaru pada manusia dan studi laboratorium mengindikasikan
faktor pada bank darah, khususnya darah yang disimpang lebih dari 40 hari, mungkin
berkontribusi dalam kejadian ARDS dan MOF setelah resusitasi.
Seperti iskemia/cedera reperfusi tungkai lokal, banyak bukti eksperimen saat ini
menyatakan bahwa aliran darah mikrovaskular pada banyak organ tidak kembali normal
setelah resusitasi dengan kristaloid untuk syok hemoragik, meskipun aliran tubuh total
(cardiac output) telah kembali normal atau di atas normal. Gangguan mikrosirkulasi ini
telah disangkal terkait dengan cedera reperfusi dan fenomena no-reflow. Seperti dengan
reperfusi viseral, reperfusi terkontrol terisolasi dari jaringan iskemik terkait dengan syok
hemoragik adalah tidak praktis. Bagaimanapun, korelasi klinis pada reperfusi terkontrol
selama syok hemoragik nampak ketika konsumsi oksigen digunakan sebagai indikasi
aliran darah yang adekuat pada pasien yang diresusitasi dari syok hemoragik dengan level
pemberian oksigen yang tinggi. Ketika pasien dimonitor secara hati-hati dan perhatian
diberikan dalam pemberian oksigen dan konsumsi oksigen, telah diperlihatkan bahwa
pasien dengan tingkat pemberian dan konsumsi oksigen supernormal adalah cenderung
untuk lebih bisa bertahan dan mengalami kegagalan organ yang lebih sedikit dari pada
pasien yang diresusitasi dengan tingkat pemberian dan konsumsi oksigen yang normal.
Mengacu pada pengamatan ini, hipotesis yang nyata adalah dengan mengajukan
penekanan cardiac output ke level supranormal akan meningkatkan survival dan
menurunkan disfungsi organ yang diduga dengan menurunkan fenomena no-reflow pada
berbagai sistem organ setelah resusitasi syok hemoragik. Beberapa studi acak prospektif
telah dirancang untuk menguji hipotesis ini dengan hasil-hasil yang membingungkan.
Disamping masalah dengan rancangan penelitian dan fakta bahwa diperkirakan sepertiga
dari seluruh pasien mencapai tingkat pemberian dan konsumsi oksigen supranormal
hiperdinamik dengan sendirinya dengan induksi terapeutik, cenderung untuk mencapai
level pemberian dan konsumsi supranormal selama resusitasi dari syok hemoragik. Di sisi
lain, walau cara ini tidak disangkal akan memberikan perbaikan pada tingkat morbiditas
dan mortalitas, namun jelas tidak cukup untuk mencegah ARDS dan MOF itu sendiri.

9
Law dan kawan2 secara propektif mengevaluasi 13 pasien cedera berat dengan
syok hemoragik. Mereka semua diresusitasi dengan pemberian dan konsumsi oksigen
pada level supranormal selama 24 jam, 6 dari 13 pasien mengalami disfungsi multi organ.
Pada penelitian ini, secara prospektif diukur sejumlah variasi sitokin dalam serum dari
pasien2 ini pada berbagai waktu seteleh MRS. Menariknya, ICAM-1 secara signifikan
menngkat pada akhir resusitasi pada serum pasien yang mengalami MOF tapi tetap
normal pada pasien yang tidak mengalami MOF. Sebagai tambahan, ketika MOF dihitung
dengan skor severitas, terdapat korelasi yang sangat baik antara level serum dari ICAM-1
terlarut pada akhir resusitasi dengan beratnya MOF. Level serum dari sitokin
proinflamatori interleukin 6 (IL-6) dan IL-8 juga meningkat seiring beratnya MOF
meningkat dengan berjalannya waktu. Data ini konsisten dengan hipotesis bahwa
hiperaktivitas respon inflamatori terjadi sebagai hasil cedera reperfusi sistemik yang
mengakibatkan MOF pada pasien cedera berat. Studi yang lebih terkini telah mengolah
penemuan ini.
Seecamp dkk mengukur level serum dari tumor nekrosis alfa (TNFalpha), IL-1,
IL-6, ICAM-1, E-selektin, antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra), serum TNF reseptir-2
(sTNFr2) dan IL-10 pada tiga kelompok pasien bedah dengan berbagai derajat
iskemia/reperfusi. Kelompok 1 meliputi pasien yang menjalani operasi tungkai elektif
tanpa torniquet. Kelompok 2 meliputi pasien yang operasi tungkai dengan torniquet.
Kelompok ketiga terdiri dari pasien trauma insidental, yang secara retrospektif dibagi
menjadi yang sesudahnya mengalami disfungsi organ multipel dan yang tidak. Sampel
darah serial dilakukan selama 5 hari. Tidak terdapat peningkatan sitokin pada kelompok
1. Ketika torniquet diaplikasilan (waktu rata2 105 menit) operasi tungkai elektif
menghasilkan peningkatan signifikan pada serum dari IL-6, IL-1ra, dan IL10 tetapi tidak
TNFr2. Di sisi lain, aplikasi torniquet tidak meningkatkan luapan molekul adhesi. ICAM-
1 terlarut dan E-selectin terlarut tetap tidak berubah selam 5 hari pengamatan pada
kelompok 1 dan 2. Semua pasien cedera multipel mengalami peningkatan signifikan dari
sitokin segera setelah trauma (lebih dari 10-20 kali dibandingkan pasien operasi tungkai
elektif). Lebih jauh lagi, ketika pasien trauma insidental dibagi berdasarkan skor MOF
mereka menjadi yang memiliki (n=8) dan yang tidak memiliki (n=22) disfungsi organ
multipel (MOD), perbedaan yang jelas terlihat dalam serum IL-6 dan IL-1ra pada 4 hari

10
pertama dan level serum IL-10 pada 2 hari pertama setelah trauma. Level sitokin serum
secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang mengalami MOD 3-4 hari setelah onset
dari MOD. Tidak seperti hasil pada penelitian kami, meskipun meningkat tajam, TNFr2
tidak berbeda antara pasien yang mengalami MOD dan yang tidak. Mirip dengan hasil
pada penelitian kami, peningkatan level sitokin serum terkait dengan ekspresi dan luapan
ICAM-1 dan E-selektin, dengan level serum ICAM-1 yang lebih tinggi secara signifikan
pada pasien dengan MOD dibandingkan pasien non-MOD 3-5 hari setelah trauma dan
peningkatan serum E-selektin terlarut 2-4 hari setelah trauma. Penulis ini
mengkonfirmasi bahwa pelepasan sitokin dan molekul adhesi terlarut ke dalam sirkulasi
berkorelasi baik dengan derajat trauma dan perluasan dari iskemia/cedera reperfusi
terkait. Lebih jauh lagi, kedua kelompok mediator jelas terkait dengan perkembangan
MOD pada pasien dengan cidera multipel dengan iskemua/cedera reperfusi generalisata
yang disebabkan oleh syok hemoragik. Bersama-sama, studi ini mengindikasikan bahwa
perkembangan MOF setelah syok hemoragik dan cedera terkait dengan level yang tinggi
dari citokin proinflamatori yang bersirkulasi dan aktivasi PMN segera setelah reperfusi.
Seperti yang telah ditinjau oleh Waxman, banyak strategi untuk membatalkan
cedera reperfusi sitemuk ini telah diuji dengan model eksperimental, tetapi sedikit studi
klinis yang bermakna telah dilaporkan. Pada salah satu studi prospektif, uji acak
rekombinan superoksid dismutase (SOD) manusia diberikan selama 5 hari setelah cedera
pada pasien dengan 1 hingga 24 cedera multipel. Kelompok yang menerima terapi
antioksidan dengan SOD memiliki kegagalan organ yang lebih sedikit dan durasi
perawatan di ICU yang lebih pendek.
Vedder dkk mencegah aktivasi PMN dengan menggunakan antibodi monoklonal
pda CD11-CD18 dan menunjukkan tanda penurunan cedera organ setelah syok
hemoragik dan resusitasi pada kelinci. Penemuan yang mirip telah ditunjukkan pada
hewan coba babi. Sebuah uji klinis pada manusia menggunakan antibodi monoclonal ini
sUdah dilakukan.
Dengan logika yang mirip dengan apa yang menjadi penyebab penggunaan cairan
resusitasi terapi memanjang untuk mengontrol reperfusi dari iskemia tungkai dan selama
operasi transplantasi jantung seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, Barquist dan
kawan-kawan membuat regimen resusitasi pada pasien cedera berat. Algoritma terapi

11
untuk mencegah dan menyingkirkan iskemia/cedera reperfusi dengan menggunakan
antioksidan dan resusitasi langung splanknik telah diberikan pasien-pasien trauma cedera
berat. Folat penghambat xantin oksidase dan manitol scavenger radikal bebas diberikan
secara serempak. Agen vasoaktif meliputi isoproterenol, dobutamin, nitrogliserin,
nitropruside dan prostaglandin E digunakan secara berurutan dalam rangka memperbaiki
perfusi usus yang abnormal seperti terukur pada tonometri. Dengan menggunakan
regimen terapi penulis menemukan penurunan insiden kegagalan multi sistem organ dan
lama perawatan di ICU dibandingkan dengan pada kontrol historis. Selanjutnya, pada
studi yang mirip pada institusi yang sama, regimen cairan resusitasi dimodifikasi juga
untuk melibatkan lidokain, selenium, polimiksin B dan hidrokortison sebagai tambahan
dengan glutamin, asetilsistein dan vitamin A dan E. Protokol ini menghasilkan
normalisasi aliran darah splanknik pada 90% pasien dan menandai reduksi insiden
kegagalan multi sistem organ dan lama perawatan di ICU. Meskipun studi ini
menjanjikan, penting untuk diingat bahwa kelompok pembanding adalah kontrol historis.
Hipotesis terbaru menyatakan bahwa kegagalan multi sistem organ adalah hasil
dari respon proinflamatori eksagregasi yang koeksis dengan respon counterinflamatori
eksagregasi, dengan manifestasi klinis yang bergantung pada derajat ketidakseimbangan
antara respon antiinflamasi counterregulasi dan respon proinflamatori. Dengan hipotesis
ini, antisitokin memiliki peran penting dalam modulasi patogenesis dari iskemia/cedera
reperfusi segera setelah reperfusi dari respon counterinflamatorik eksagregasi seiring
disfungsi imun mengakibatkan peningkatan infeksi. Berbagai studi klinis mendukung ide
ini. Law dan kawan-kawan menunjukkan bahwa segera setelah resusitasi seorang pasien
yang mengalami cedera yang secara serontak mengalami kegagalan organ, peningkatan
level ICAM-I, IL-6 dan IL-8, sitokin proinflamatori TNFalpha dan IL-1 tidak ditemukan
pada pasien-pasien ini. Bagaimanapun juga level TNF terlarut yang diduga sebagai
sitokin counterinflamatori, meningkat pada pasien yang mengalami MOF dan derajat
peningkatan sebanding dengan derajat kegagalan organ. Cinat dan kawan-kawan
menunjukkan peningkatan yang mirip pada IL-Ira dan TNF terlarut yang ditemukan
segera setelah cedera. Lebih lanjut yang memperumit ide ini, walau laporan ini
menunjukkan bahwa insult subletal umumnya berhubungan terbentuknya MOF, Miner et
al menunjukkan bahwa suatu episode awal dari iskemia/reperfusi pada usus kecil tikus

12
(30 menit diikuti dengan 24 jam reperfusi) merupakan cara untuk melindungi usus dari
episode iskemia/reperfusi berikutnya. Binatang yang diteliti dengan 2 iskemia/reperfusi
menunjukkan cedera mukosa yang lebih sedikit secara signifikan dari pada binatang yang
mengalami 1 episode, disamping peningkatan infiltrasi neutrofil, leukotrien B4 dan
adanya neutrofil teraktivasi sistemik menunjukkan bahwa episode inisial menyebabkan
respon adaptasi terkait dengan preservasi sitoarsitektural mengikuti insult selanjutnya.
Sehingga, berulangnya iskemia/reperfusi berpotensi menimbulkan respon inlamatori
lokal dan aktifasi sistemik dari neutrofil. Studi ini mendukung ide dari episode-episode
iskemia/reperfusi terkait dengan fase hiperinflamatori awal yang diikuti dengan fase
sitokin counterinlamatori, yang menumpulkan efek dari stimulus proinflamatori
berikutnya.

Simpulan

Kegagalan multi organ setelah iskemia/decera reperfusi dipengaruhi oleh keseimbangan


sitokin-sitokin proinflamatoy dan counterinflamatori. MOF bisa terjadi pada kedua ujung
dari spektrum. Jika iskemia/reperfusi menyebabkan respon hiperinflamatori berat, ia akan
langsung menyebabkan MOF. Di sisi lain, sitokin counterinflamatori juga disebabkan
oleh iskemia/reperfusi. Di bawah lingkungan yang sama, sitokin counterinflamatori
dapat memproteksi dari episode iskemia/reperfusi lebih lanjut jika organ sembuh dari
episode ini. Di sisi lain, di bawah lingkungan yang berbeda, sitokin counterinflamatori
dapat membantu terjadinya MOF. Jika iskemia/reperfusi terjadi dalam keadaan adanya
PMN primer, konsekuensinya cukup berat. Mirip, jika terjadi stimulus hiperinflamatori
multiple secara simultan seperti pada pasien cedera multipel dengan iskemia/cedera
reperfusi sistemik, tranfusi darah, dan cedera jaringan, konsekuensi terberat dapat terjadi.
Terapi dari iskemia/cedera reperfusi pada dasarnya adalah teknik reperfusi terkontrol.
Teknik ini telah dikembangkan dengan baik untuk transplantasi, bedah kardiothoraks,
vaskular dan telah dimulai sebagai strategi untuk resusitasi pasien cedera. Modifikasi
respon awal dari aspek lain dari syok dan cedera untuk memodulasi efek cedera jaringan
dan tranfusi darah membutuhkan penelitian lebih lanjut. Sebagai tambahan, dibutuhkan
peningkatan pemahaman tentang fase hipoinflamatori.

13
14

Anda mungkin juga menyukai