Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session (CRS)

RESPIRATORY DISTRESS

Oleh :
Ferdo Yulian 0810312033
Rahmi Fadhila 1210312002
Maya Fathurrahmi 1210312005

Preseptor :
dr. Rahmi Yetti, Sp. A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGI

2018

0
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegawatan pada neonates merupaakan masalah yang dapat menyebabkan

henti napas bahkan kematian, sehingga dapat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas pada bayi baru lahir. Kegawatan pernapasan dapat terjadi pada bayi

dengan gangguan pernapasan yang dapat menimbulkan dampak yang cukup berat

bagi bayi berupa kerusakan otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan

pada system pernapasan adalah terjadinya kekurangan oksigen pada tubuh. Bayi

akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolism

anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolism anaerob

akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya keadaan asidosis dan

penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain

karena hipoksia dan iskemia, dan hal ini dapat menyebabkan kematian neonatus1.

Penyebab kematian neonatal adalah gangguan atau kelainan pernapasan

sebesar 35,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,3%, kelainan darah

atau icterus 5,6%, post matur 2,8% dan kelainan kongenital 1,4%. Dari data

tersebut, kematian terbesar pada neonates terjadi akibat gangguan pernapasan2.

Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas

(Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk

disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang

berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru. Gangguan ini

biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane disease (HMD) atau

1
penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran

hialin yang melapisi alveoli1.

Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari

dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit,

sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi.

RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan

usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu,

semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia

kehamilan, semakin rendah pula kejadian RDS atau sindrome gangguan napas1.

Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada

bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi

antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan (matur).

Insidens pada bayi prematur kulitputih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan

sering lebih terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan. Selain itu,

kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita

gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya : Ibu penderita

diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum3.

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan pada Case Report Session ini adalah membahas tentang

respiratory distress dari definisi sampai tatalaksananya.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah mengetahui dan memahami respiratory

distress.

2
1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk pada

beberapa literatur.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gangguan napas atau / respiratory distress adalah suatu keadaan

meningkatnya kerja pernapasan yang ditandai dengan takipnea, napas cuping

hidung, retraksi intercostal, sianosis dan apneu.1


Sedangkan pendapat lain disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan

paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang

atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar 4. Definisi

bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal =

18 mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya

kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya

sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan

200, menyokong suatu RDS5

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab terbanyak dari gangguan napas sendiri dapat dibagi atas 1,4

- Penyakit membrane hialin ( respiratory distress syndrome)

Penyakit membran hialin (PMH) merupakan gangguan pernapasan yang

disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan , terutama pada

neonatus usia gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram

- Transient Tachypnoe Neonatus

Disebut juga sebagai wet lung yang terutama terjadi pada bayi cukup

bulan, dan biasanya ringan serta dapat sembuh sendiri

4
- Pneumonia

Pneumonia disebabkan infeksi intrauterin atau selama persalinan dan

umumnya infeksi bakterialis dapat didukung dengan faktor seperti

prematuritas, ketuban pecah dini dan persalinan lama

- Sindrom aspirasi mekonium

Sindrom aspirasi mekonium merupakan penyebab terbanyak distres

pernapasan pada bayi cukup atau lebih bulan. Mekonium yang masuk ke

dalam saluran napas menyebabkan terjadinya obstruksi bronkial, air-

trapping (akibat partikel mekonium menyumbat bronkus kecil di perifer),

dan pneumonitis kimiawi. Dapat terjadi komplikasi pneumotoraks,

pneumomediastinum, hipertensi pulmonal, pirau kanan ke kiri serta

kerusakan otak akibat anoksia

Faktor Risiko

1. Bayi kurang bulan yang berhubungan dengan imaturitas paru

dengan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga alveoli

2. Depresi neonatal seperti aspirasi mekonium, hipertensi pulmonal,

dan lain- lain

3. Bayi dari ibu dengan riwayat diabetes mellitus terjadi akibat

perlambatan kematangan paru

4. Bayi dengan operasi sesar mengakibatkan perlambatan absorbs

cairan paru

5. Bayi yang lahir dengan ibu yang menderita demam, ketuban pecah

dini atau air ketuban yang telah terinfeksi

5
2.3 Patofisiologi

1. Penyakit membrane hialin

Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada PMH menyebabkan

kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu, hal ini

mengakibatkan terganggunya fungsi paru bayi setelah lahir. Pada keadaan

defisiensi ini paru bayi akan gagal mempertahankan kestabilan alveolus pada

akhir ekspirasi, sehingga pada saat inspirasi berikutnya dibutuhkan tekanan yang

lebih besar untuk mengembangkan alveolus yang mengalami kolaps dan pada

setiap ekspirasi terjadinya atelektasis menjadi bertambah. Kolaps paru ini akan

menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi dan

asidosis. Hipoksia akan menimbulkan oksigeniasi jaringan menurun, sehingga

akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam

organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi.

Selanjutnya akan terjadi kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris

yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya

fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik

membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin yang menghambat

terjadinya difusi dan pada akhirnya akan menperparah gangguan napas pada

neonatus.1,4,5

2. Transient Tachypnoe Neonatus1,4,5

Sistem pembersihan cairan paru janin yang terlambat oleh karena

gangguan fungsi saluran paru dan peningkatan tekanan vena sentral

6
3. Pneumonia1,4,5,6

Pada bayi baru lahir sering disebabkan oleh ketuban pecah dini..Pada saat

ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina berperan dalam infeksi

janin. Pada keadaan ini kuman dari vagina naik ke kavum uteri, melekat pada

desidua (menimbulkan desidualitis), lalu terjadi penyebaran infeksi keselaput

khorion dan amnion (menimbulkan khorioamnionitis) dan berkembang menjadi

khoriovaskulitis (infeksi pada pembuluh darah fetal) serta amnionitis. Bila cairan

amnion yang septik teraspirasi oleh janin maka akan menyebabkan pneumonia

kongenital, otitis, konjungtivis sampai bakteremia dan sepsis. Keadaan infeksi

pada bayi baru lahir akan meningkatkan kebutuhan metabolisme anaerob,

sehingga ada kemungkinan tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah dari plasenta.

Hal inimenimbulkan aliran nutrisi dan O2 tidak cukup sehingg amenyebabkan

metabolisme janin menuju metabolisme anaerob dan terjadi penimbunan asam

laktat dan piruvat. Keadaan ini akan menimbulkan kegawatan janin (fetal distress)

intrauterin yang akan berlanjut menjadi asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.

Cairan amnion berfungsi sebagai sawar proteksi terhadap infeksi asenden vagina,

memungkinkan pergerakan bebas janin,tempat mengapungnya tali pusat sehingga

tidak terjadi kompresitali pusat yang menyebabkan terhambatnya aliran darah

yang mengandung O2 dari ibu ke janin

7
Gambar 2.1 Patogenesis Pneumonia Neonatorum

4. Aspirasi mekonium1,4,5,6

Pada aspirasi mekonium, terhisapnya cairan mekonium saat intrauterine

ataupun persalinan yang nantinya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas

sehingga terjadi gangguan napas pada bayi. Alur patofisiologi dapat di lihat pada

gambar berikut

8
Gambar 2.2 Patofisologi aspirasi mekonium

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada respiratory distress dapat berupa5,6

- Takipnea : frekuensi napas > 60- 80 x/ menit

- Retraksi dinding dada selama inspirasi

- Napas cuping hidung

- Merintih atau grunting

- Sianosis

- Apnu

2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa dapat ditegakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik.

Pada anamanesa, diagnosis dan pemeriksaan penunjang dan perlu diperhatikan

tentang maternal, masa prenatal dan intrapartum, antara lain seperti1,4,5

9
1. Penyakit membrane hialin

- Usia gestasi kurang bulan

- Tanda- tanda gangguan napas

- Gambaran foto thoraks : retikulogranular uniform dengan air

bronchogram

- Laboratorium darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak

menunjukan tanda infeksi, kultur streptokokus (-), dan analisis gas

darah didapatkan hipoksemia dan asidemia

2. Transient Tachipnoe Neonatus

- Usia gestasi cukup bulan

- Faktor risiko : lahir seksio sesaria, laki-laki, penjepitan tali pusat

terlambat,ibu dengan riwayat diabetes mellitus

- Laboratorium didapatkan hipoksemia ringan-sedang dengan

asidosis respiratorik yang menghilang dalam 8-24 jam

- Foto toraks : gambaran opak pada fisura interlobaris karena

terdapat cairan

3. Pneumonia

- riwayat ibu dengan : prematuritas, ketuban pecah dini, persalinan

lama, riwayat infeksi

- pemeriksaan fisik : tanda gangguan napas

- laboratorium : darah kultur +

- foto toraks : tampak densitas homogen dan difus ataupun infiltrat

luas

10
4. Aspirasi mekonium

- Factor risiko seperti hamil lebih bulan, ibu preeklamsi, ibu

hipertensi

- Cairan amnion tercemar mekonium

- Tanda gangguan napas

- Darah : analisis gas darah diapatkan asidosis metabolik, asidosis

respiratorik, hipokesmia dan hiperkapnia

- Foto toraks : hiperinflasi, atelectasis, dll

Untuk penilain derajat gangguan napas dapat dinilai menggunakan Downe

Score, seperti pada gambar berikut

Gambar 2.3 Downe Score

11
2.6 Penatalaksanaan

Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau

sebagai tindakan penunjang pada penderita berat. Tindakan umum yang perlu

dikerjakan ialah :1,4,5,6

1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu

diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 C-37 C) dengan

meletakan bayi dalam inkubator.

2. Makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan

intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun

pemberian cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup,

menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan

pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan

asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang diberikan

terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/KgBB/hr.

Tindakan khusus meliputi :

1. Pemberian O2

Setiap penderita hampir selalu membutuhkan O2 tambahan.

Pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial

(PaO2) secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar

cukup untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100 mgHg. Bila fasilitas

untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada,O2 dapat diberikan

sampai gejala sianosis hilang. Untuk mencapai tekanan, O 2 ini kadang-

kadang diperlukan konsentrasi O2 sampai 100 %. Konsentrasi demikian

biasanya hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan sungkup dan

12
tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter

hidung biasa. Pada penderita yang sangat berat kadang-kadang

diperlukan ventilasi mekanis dimana O2 diberikan dengan respirator.

Tindakan ini dilakukan apabila bayi yang telah mendapatkan O2 dengan

konsentrasi 100% masih memperlihatkan PaO2 kurang dari 40 mmHg,

PCO2 > 70 mmHg, PH darah < 7,2 atau masih adanya serangan apneu

berulang 7. Dasar ventilasi mekanis adalah mengusahakan agar O2 yang

diberikan dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh. Beberapa cara

pemberian ventilasi mekanis ini adalah 7 :

a. Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan (Constant

positive airway pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan

memberikan tekanan positif terhadap udara yang masuk atau

mengadakan tekanan negatif yang konstans terhadap dinding

toraks. Pemberian secara ini akan mengurangi terjadinya atelektasis

alveolus disertai perbaikan PaO2 darah.

b. Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten

(Intermittent Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara

ini keseimbangan pertukaran gas tubuh dapat diatur.

c. Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula

dengan bermacam cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik,

intermittent negative pressure ventilation, dan lain-lain.

2. Pemberian Antibiotika

Setiap penderita sindrom gagal napas perlu mendapat antibiotika untuk

menegah terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit.

13
Antibiotik diberikan selama bayi mendapat cairan intravena sampai

gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi. Sebaiknya antibiotik yang

dipilih adalah yang mempunyai spektrum luas. Antibiotik yang biasa

diberikan adalah penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hr) atau

ampicillin sulbactam (50 mg/KgBB/hr) dengan gentamicin (3-5

mg/KgBB/hr). Bila pemeriksaan kultur tidak memungkinkan, antibiotik

dapat diberikan 5-7 hari.

3. Pemberian Surfaktan Buatan

Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir

apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat.

Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam)

setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan

tambahan oksigen 30% atau lebih. Surfaktan artifisial yang dibuat dari

dipalmitoil fosfatidilkolin dan fosfatidil gliserol dengan perbandingan 7

: 3 telah dapat mengobati penderita dengan PMH . Bayi diberi surfaktan

artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke

dalam trakea penderita.

14
Tabel 2.1 Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.1

Nama Dosis Awal Dosis Tambahan


Produk
3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali
Galfactant pemberian dengan interval tiap
12 jam

Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam,


sampai total 4 dosis dalam 48
jam

Colfosceril 5 ml/KgBB diberikan dalam Dapat diulang setelah 12 dan 24


4 menit jam

Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat


diberikan tiap 12 jam

7
2.7 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi7 :

1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi

dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi , apnea,

atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk

dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat

timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan

alat2 respirasi.

3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan

intraventrikuler terjadi pada bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada

bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

15
4 PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi

bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen,

tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen

yang menuju ke otak dan organ lain.

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi7 :

1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik

yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36

minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang

digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,

inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan

menurunnya masa gestasi.

2. Retinopathy prematur

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubunga

dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya

infeksi.

16
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas

Nama : By. Ny. SA

Umur : 1 hari

Jenis Kelamin : laki-laki

Suku bangsa : Minang

Alamat : Baso,Bukittinggi

Keluhan utama : Merintih sejak lahir

Riwayat Penyakit Sekarang :

- NBBLC 3200 gr, PBL 50 cm, lahir sectio caesarea atas indikasi bekas

section caesaria dua kali, cukup bulan (38- 39 minggu), ibu baik, ketuban

jernih, apgar score : 7/8


- Merintih sejak lahir
- Riwayat kebiruan ada dan hilang dengan pemberian oksigen
- Demam tidak ada
- Kejang tidak ada
- Kuning tidak ada.
- Injeksi vitamin K sudah diberikan
- Buang air kecil telah keluar
- Mekonium telah keluar
- Riwayat ibu keputihan ada, tidak gatal, tidak bau dan tidak diobati
- Riwayat ibu demam saat hamil tidak ada
- Riwayat ibu nyeri buang air kecil saat kehamilan dan saat menjelang

persalinan tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu : -

Riwayat keluarga :

- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini


Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan

17
Anak ke 4 dari 4 bersaudara, lahir sectio caesarea atas indikasi bekas

section caesaria dua kali, apgar score 7/8, riwayat imunisasi dasar belum

diberikan

Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum : kurang aktif

Berat badan : 3.200 g

Panjang badan : 50 cm

Frekuensi Jantung : 159 x / menit

Frekuensi Nafas : 72 x / menit

Suhu : 35,8oC

Sianosis : Tidak ada

Ikterus : Tidak ada

Anemis : Tidak ada

Kepala : Bentuk : bulat, simetris

Ubun-ubun besar : 2 x 2 cm

Ubun- ubun kecil : 0,5 x 0,5 cm

Jejas persalinan : Tidak ada

Mata : konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Mulut : mukosa bibir dan mulut basah

Leher : JVP sukar dinilai

Dada

Paru-paru :

18
Inspeksi : normochest, retraksi dada minimal

Palpasi :-

Perkusi :-

Auskultasi : bronkovesikuler

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis terlihat di linea sternalis kiri

Palpasi : ictus teraba di linea sternalis kiri

Perkusi :-

Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen

Permukaan : datar

Kondisi : lemas

Hati :¼-¼

Limpa : tidak teraba

Tali pusat : segar

Umbilikus : tidak hiperemis

Alat kelamin : tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas :

Atas : akral hangat, perfusi baik

Bawah : akral hangat, perfusi baik

Kulit : teraba hangat

Anus : colok dubur tidak dilakukan

Tulang- tulang : normal

19
Reflex : Moro : sulit dinilai

Rooting :+

Isap :+

Pegang :+

Ukuran : Lingkar kepala : 34 cm

Lingkar dada : 30 cm

Lingkar perut : 35 cm

Simfisis-kaki : 20 cm

Panjang lengan : 20,5 cm

Kepala- simfisis : 30 cm

Ballard Score

20
21
Kurva Lubchenco

22
Downe Skor

Total : 5  gangguan pernapasan sedang

Pemeriksaan Laboratorium :

Darah :

Hb :-
Leukosit :-
Trombosit :-
Ht :-

Diagnosa kerja :

- NBBLC-SMK (3.200 kg, gravid 39-40 minggu) dengan Respiratory

distress ec suspect TTN

Diagnosis Banding :

- Respiratory distress ec pneumonia neonatorum

Tatalaksana :

23
- CPAP PEEP 6 FiO2 21 %

- IVFD Cogtil 160 cc/ hari = 6 cc/ jam

- ASI (30cc/kgBB/hari) 8 x 12 cc/ OGT

- Aminofuschin 50 ml/hari = 2cc/jam

- Ampicilin 2x 160 mg iv

- Gentamicin 1x 16 mg iv

Rencana Pemeriksaan :

- Darah rutin
- Kultur darah
- Rontgen thorak AP

FOLLOW UP
28-02-2018 S/

Demam tidak ada

Sesak nafas tidak ada

BAB dan BAK ada

Minum susu ada melalui OGT

O/

Keadaan Umum : sakit sedang, kurang aktif

Nadi : 128x/menit, nafas : 45x/ menit, suhu : 37,0C

Kulit : tampak kuning dari wajah sampai umbilikus

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thorax : Cor : irama regular bising tidak ada

Pulmo : bronkovesikuler, ronkhi tidak ada , wheezing

tidak ada

Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal

24
Ekstremitas : akal hangat, CRT < 2 detik

Hasil Laboratorium:

Hb : 17,4 gr/dL, Leukosit : 18.680 /mm 3, trombosit : 224.000/mm3,

I/T rasio: 0,14

A/

- NBBLC-SMK (3.200 kg, gravid 39-40 minggu) dengan

Respiratory distress ec suspect TTN


- Ikterik neonatorum grade II
P/

- CPAP PEEP 6 FiO2 21 %

- IVFD Cogtil 200 cc/ hari = 9 cc/ jam

- ASI (30cc/kgBB/hari) 8 x 4 cc/ OGT

- Aminofuschin 50 ml/hari = 2cc/jam

- Ampicilin 2x 160 mg iv

- Gentamicin 1x 16 mg iv

BAB 4

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 1 hari di Perinatologi

Anak RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tanggal 27 Februari 2016.

25
Dari anamnesis didapatkan pasien merintih sejak lahir, pada riwayat

penyakit sekarang diapatkan NBBLC 3.200 gr, PBL 50 cm, lahir sectio

caesarea atas indikasi bekas 2 kali, cukup bulan (38-39 minggu), ibu

baik, ketuban jernih, apgar score : 7/8, merintih sejak lahir, riwayat

kebiruan ada dan hilang dengan pemberian oksigen. Pada pasien

diapatkan gejala yaitu merintih dan riwayat kebiruan yang sesuai dengan

teori bahwa, pada ganguaan pernapasan pada neonatus dapat

menimbulkan gejala yaitu merintih dan sianosis yang dapat hilang

ataupun tidak dengan pemberian oksigen. Pasien berjenis kelamin laki-

laki dan juga didapatkan riwayat lahir cukup bulan dan lahir dengan cara

section caesarea atas indikasi bekas section caesarea dua kali, hal ini

sesuai dengan faktor risiko dari gangguan pernapasan akibat Transient

Tachipnoe Neonatus.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kurang aktif, berat

badan 3.200 g, panjang badan 50 cm, frekuensi jantung159 x / menit, frekuensi

nafas 72 x / menit dan suhu 35,8 oC. Pada pasien dengan respiratory distress

biasanya ditemukan kelemahan dan juga frekuensi napas diatas 80x/ menit. Pada

Untuk menentukan derajat gangguan nafasnya maka digunakan Downe score pada

pasien ini didapatkan score 5 , yaitu gangguan pernapasan sedang. Berdasarkan

anamnesa dan pemeriksaan fisik diatas maka dapat ditegakan diagnosa

respiratory distress ec suspect TTN. Pada pasien untuk menegakan diagnosa

pasti.

Pada pasien diberikan tatalaksana CPAP PEEP 6 FiO 2 21 % untuk

mengatasi respiratory distress karena pasa pasien sudah ditemukan retraksi

26
dinding dada. Pasien diberikan IVFD cogtil, aminofischin dan ASI untuk

memenuhi kebutuhan cairan pasien. Selain itu juga diberikan antibiotic ampicilin

dan gentamicin. Setiap penderita respiratory distress perlu mendapat antibiotika

untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit.

Antibiotik diberikan selama bayi mendapat cairan intravena sampai gejala

gangguan nafas tidak ditemukan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Khosim, M.S. Buku Ajar Neonatologi edisi 1 Ikatan Dokter Anak Indonesia.
IDAI. Jakarta. 2008.
2. Pritasari, Kirana. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial.
Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta : Kemenkes RI. 2010.
3. Nelson Waldoe. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume I. Jakarta: EGC.1996.
4. Pujdiadi A.H., et all. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011
5. Garna, Herry, et all. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung. 2005.
6. Markum, A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI .Jakarta. 1991, hal. 303-306.
7. Behrman, Richard E. Nelson’s Textbook of Pediatic. Saunders. Philadelphia.
2004.

28

Anda mungkin juga menyukai