Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perawat

2.1.1 Pengertian Perawat

Secara sederhana, perawat adalah orang yang mengasuh dan merawat

orang lain yang mengalami masalah kesehatan. Namun pada perkembangannya,

defenisi perawat semakin meluas. Kini, pengertian perawat merujuk pada

posisinya sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan

kepada mayarakat secara profesional. Perawat merupakan tenaga profesional

mempunyai kemampuan, tanggung jawab, dan kewenangan dalam melaksanakan

dan/atau memberikan perawatan kepada pasien yang mengalami masalah

kesehatan (Rifiani dan Sulihandari, 2013).

2.1.2 Falsafah Keperawatan

Falsafah keperawatan adalah keperawatan yang mengkaji penyebab dan

hukum-hukum yang mendasari realitas, serta keingintahuan tentang gambaran

sesuatu yang lebih berdasarkan pada alasan logis daripada metoda empiris.

Falsafah keperawatan memiliki tujuan mengarahkan kegiatan keperawatan yang

dilakukan oleh perawat (Rifiani dan Sulihandari, 2013).

2.1.3 Standar dan Kriteria dalam Keperawatan

Menurut Kamus Collins yang dikutip oleh Johani (2003) mendefinisikan

standart sebagai ―suatu tingkat kesempurnaan atau kualitas‖ dan ―sebuah contoh

yang diterima atau yang disetujui tentang sesuatu yang menjadi dasar penilaian

atau pengukuran‖. Standart adalah suatu tingkat kinerja yang secara umum
dikenal sebagai sesuatu yang dapat diterima adekuat, atau memuaskan dan

digunakan sebagai tolak ukur dan titik acuan yang dapat digunakan sebagai

pembanding. Mendefenisikan standar sebagai suatu pengukur yang lebih akurat

merupakan alternatif lainnya. Standar, seringkali berupa numeric, merupakan

pengukuran kuantitatif yang spesifik sedangkan kriterianya hanya merupakan

bagian atau atribut dari kualitas mutu pelayanan. Standar dan kriteria dalam mutu

pelayanan dibentuk dengan mengidentifikasi dan menyepakati elemen-elemen

dari praktik yang baik.

Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit

dapat diukur melalui standar pelayanan di rumah sakit yang berfungsi untuk

mengetahui, memantau dan menyimpulkan apakah pelayanan/asuhan keperawatan

yang diselenggarakan di rumah sakit sudah mengikuti dan memenuhi persyaratan-

persyaratan yang ditetapkan dalam standar tersebut.

2.1.4 Fungsi Perawat

Fungsi utama perawat adalah membantu pasien/klien baik dalam kondisi

sakit maupun sehat, untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui layanan

keperawatan. Dalam menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai

fungsi yaitu: fungsi independen, fungsi dependen, dan fungsi interdependen.

1. Fungsi Independen.

Fungsi independen merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada

orang lain, dimana perawat dalam menjalankan tugasnya dilakukan secara

sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam

memenuhi kebutuhan dasar manusia.


2. Fungsi Dependen.

Fungsi dependen merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan

kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain.

3. Fungsi Interdependen.

Fungsi Interdependen merupakan fungsi yang dilakukan dalam kelompok

tim yang bersifat saling ketergantungan di antara tim satu dengan lain

(Rifiani dan Sulihandari, 2013).

2.1.5 Peran Perawat

Menurut Rifiani dan Sulihandari (2013), keperawatan memiliki peran-

peran pokok dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Peran pokok perawat antara

lain sebagai berikut:

1. Caregiver (pengasuh).

2. Client advocate (advokat klien).

3. Counselor.

4. Educator (pendidik).

5. Coordinator (coordinator)

6. Collaborator (kolaborator).

7. Consultan (konsultan).
2.2 Shift Kerja

2.2.1 Pengertian Shift Kerja

Menurut Riggio yang dikutip oleh Kodrat (2009) shift kerja adalah bentuk

penjadwalan dimana kelompok kerja mempunyai alternatif untuk tetap bekerja

dalam perpanjangan operasi yang terus-menerus. Pada mulanya jadwal kerja

sering disebut jadwal internasional dimulai pukul 08.00 atau 09.00 pagi sampai

dengan 16.00 atau 17.00 sore, kemudian tidak ada lagi jadwal kerja lain pada hari

itu. Shift kerja merupakan pola waktu kerja yang diberikan kepada pekerja untuk

mengerjakan sesuatu dan biasa dibagi kepada pekerja pagi, sore dan malam. Shift

kerja terjadi bila dua atau lebih pekerja bekerja secara berurutan pada lokasi

pekerjaan yang sama. Bagi seorang pekerja, shift kerja berarti berada pada lokasi

kerja yang sama, teratur pada saat yang sama (shift kontinu) atau pada waktu yang

berlainan (shift kerja rotasi).

Shift kerja berbeda dengan hari kerja biasa, dimana pada hari kerja biasa

pekerjaan dilakukan secara teratur pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya,

sedang shift kerja dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk memenuhi jadwal 24

jam per hari. Menurut Suma‘mur (2009) dalam bukunya Higiene Perusahaan dan

Kesehatan Kerja waktu kerja meliputi lamanya seseorang mampu bekerja secara

baik, hubungan diantara waktu bekerja dengan istirahat, dan waktu bekerja selama

sehari menurut periode.

2.2.2 Pembagian Karakterisitik Shift Kerja

Shift kerja mempunyai dua macam, yaitu shift berputar (rotation) dan shift

tetap (permanent). Menurut Knauth (1988) terdapat 5 faktor shift kerja :


1. Jenis shift (pagi, siang, malam).

2. Panjang waktu tiap shift.

3. Waktu dimulai dan berakhir satu shift.

4. Distribusi waktu istirahat.

5. Arah transisi shift.

Monk da Folkrad (1983) mengkategorikan tiga tipe sitem shift kerja, yaitu

sistem shift permanen, sistem rotasi shift cepat dan sistem rotasi shift lambat.

1. Sistem Shift Permanen.

Dalam sistem shift ini setiap individu tetap bekerja hanya pada satu bagian

dari 3 shift kerja setiap 8 jam. Biasanya digunakan di rumah sakit terutama

kepada perawat, namun sebagian negara tidak menggunakannya oleh

karena tidak meratanya distribusi beban kerja setap hari. Namun beberapa

studi melaporkan bahwa pekerja shift malam tidak jauh berbeda

keadaannya dengan pekerja shift pagi.

2. Sistem Rotasi Shift Cepat.

Tenaga kerja secara bergilir bekerja dengan periode rotasi kerja 2-3 hari.

Sistem shift ini lebih banyak disukai karena dapat mengurangi kebosanan

kerja, kerugiannya menyebabkan kinerja shift malam terganggu dan waktu

tidur bertambah sehingga diperlukan 2-3 hari libur setelah kerja malam.

Berdasarkan faktor sosial dan fisiologis diusulkan sistem rotasi shift cepat

yaitu sistem 2-2-2, yaitu: rotasi shift kerja pagi, siang dan malam

dilaksanakan masing-masing 2 hari, dan pada akhir periode shift kerja

malam diberi libur 2 hari dan kembali lagi ke siklus shift kerja semula.
Sistem rotasi shift 2-2-3, yaitu: rotasi shift kerja dimana salah satu shift

dilaksanakan 3 hari bergiliran setiap periode shift dan dua shift lainnya

dilaksanakan masing-masing 2 hari. Pada akhir perode shift kerja diberi

libur 2 hari.

3. Sistem Rotasi Shift Lambat.

Sistem shift ini merupakan kombinasi antara sistem shift permanen dan

sistem rotasi shift cepat. Rotasi shift kerja berbentuk mingguan, dua

mingguan atau bulanan. Sistem shift ini menyebabkan circadian rhythm

terganggu pada shift malam dan tidak dapat menyesuaikan perubahan

siklus tidur atau bangun.

De la Mare dan Walker menyatakan bahwa umumnya shift kerja tidak

disukai walaupun ada individu dengan positif menyukainya. Studi awal shift kerja

ditemukan bahwa shift kerja permanen lebih disukai (61%) dibandingkan shift

kerja rotasi (12%) dan shift malam permanen (27%). Penelitian terakhir cenderung

sistem rotasi shift cepat lebih disukai.

Menurut International Labour Organization (2012) sistem shift kerja

dapat dibagi atas:

1. Sistem 3 shift 4 kelompok (4x8 hours continuous shift work), yaitu 3

kelompok shift bekerja setiap 8 jam sedang 1 kelompok lagi istirahat.

Sistem ini digunakan bagi aktivitas produksi terus-menerus dan tidak ada

hari libur. Rotasi shift 2-3 hari.

2. Sistem 3 shift 3 kelompok (3x8 hours semi continuous shift work), yaitu 3

kelompok shift bekerja setiap 8 jam dan pada akhir minggu libur.
Menurut Coleman yang dikutip oleh Kodrat (2009) terdapat empat jenis

dampak shift, yaitu :

1. Job Performance

Perubahan jadwal shift kerja yang terus-menerus menyebabkan pekerja

harus terus beradaptasi dengan perubahan tersebut.

2. Job Related Attitude

Karyawan yang bekerja pada shift malam sering menunjukkan sikap dan

emosi.

3. Personal Health

Pekerjaan yang menggunakan sistem shift dapat mengganggu kesehatan

secara fisik dan mental, karena situasi dan kondisi pada setiap shift

berbeda. Pekerja harus menyesuaikan kondisi fisik setiap kali bekerja di

shift yang berbeda.

4. Social and Domestic Factor

Pembagian shift kerja dapat menyebabkan pekerja yang sudah berkeluarga

atau pekerja wanita mengalami kesulitan dalam membagi waktu

bersosialisasi, berkomunikasi dengan anggota keluarga lain dan

melakukan aktivitas religius.

Menurut Suma‘mur (2009) dalam bukunya Higiene Perusahaan dan

Kesehatan Kerja dalam soal periode waktu kerja siang atau malam, sangat

menarik adalah sistem kerja bergilir, terutama masalah kerja malam. Sehubungan

dengan kerja malam dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :


1. Irama faal manusia sedikit atau banyak terganggu oleh system kerja

malam- tidur siang. Fungsi-fungsi fisiologis tenaga kerja tidak dapat

disesuaikan sepenuhnya dengan irama kerja demikian.

2. Demikian pula metabolisme tubuh tidak sepenuhnya dapat, bahkan banyak

yang sama sekali tidak dapat diadaptasikan dengan kerja malam-tidur

siang.

3. Kelelahan pada kerja malam relatif sangat besar.

4. Jumlah jam kerja yang dipakai untuk tidur bagi pekerja malam pada siang

harinya relatif jauh lebih dari seharusnya, dikarenakan gangguan suasana

siang hari seperti kebisingan, suhu, keadaan terang, dan lain-lain dan oleh

karena kebutuhan badan yang tidak dapat diubah seluruhnya menurut

kebutuhan yaitu terbangun oleh dorongan lapar atau buang air kecil yang

relatif banyak pada siang hari.

5. Kurangnya tidur dan kurang berfungsinya alat pencernaan berakibat antara

lain penurunan berat badan.

Selain faktor-faktor di atas, kerja malam juga dapat mengganggu

kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat karena terbatasnya waktu berkumpul

dengan keluarga dan masyarakat.

2.2.3 Efek Shift Kerja

Menurut Fish (2000) efek shift kerja yang dapat dirasakan tenaga kerja

yaitu:

1. Efek fisiologis

Efek fisiologis memiliki pengaruh terhadap :


1. Kualitas tidur yang terganggu. Tidur siang tidak seefektif tidur malam,

banyak gangguan dan biasanya diperlukan waktu istirahat untuk

menebus kurang tidur selama kerja malam.

2. Menurunnya kapasitas kerja fisik kerja akibat timbulnya perasaan

mengantuk dan lelah.

3. Menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan.

2. Efek Psikososial

Efek menunjukkan masalah lebih besar dari efek fisiologis, antara lain

adanya gangguan kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang, kecil

kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, dan mengganggu aktivitas

kelompok dalam masyarakat. Demikian pula adanya pandangan di suatu

daerah yang tidak membenarkan pekerja wanita bekerja pada malam hari,

mengakibatkan tersisih dari masyarakat.

3. Efek Kinerja

Kinerja menurun selama kerja shift malam yang diakibatkan oleh efek

fisiologis dan efek psikososial. Menurunnya kinerja dapat mengakibatkan

kemampuan mental menurun berpengaruh terhadap perilaku kewaspadaan

pekerjan seperti kualitas control dan pemantauan.

3. Efek Terhadap Kesehatan

Efek shift kerja menyebabkan gangguan gastrointensitinal berupa

dyspepsia atau ulcus ventriculi dimana masalah ini kritis pada umur 40-45

tahun. Sistem shift kerja dapat menjadi masalah keseimbangan kadar gula

dalam darah dengan insulin bagi penderita diabetes.


4. Efek Terhadap Keselamatan Kerja

Survei pengaruh terhadap shift kerja terhadap kesehatan dan keselamatan

kerja yang dilakukan Smith et.al, melaporkan bahwa frekuensi kecelakaan

paling tinggi terjadi pada akhir rotasi shift kerja (malam) dengan rata-rata

jumah kecelakaan 0,69% per tenaga kerja. Tidak semua penelitian

menyebutkan bahwa kenaikan tingkat kecelakaan industri terjadi pada

shift malam. Terdapat suatu kenyataan bahwa kecelakaan cenderung

banyak terjadi selama shift pagi dan lebih banyak terjadi pada shift malam

(Adiwardana, 1989).

2.2.4 Irama Sirkadian ( Circadian Rhythm)

Jika tubuh bergerak selama 24 jam, akan mengalami fluktuasi dalam hal-

hal tertentu seperti temperatur, kemampuan untuk bangun, aktivitas lambung,

denyut jantung, tekanan darah dan kadar hormon. Pola aktivitas tubuh akan

terganggu bila bekerja malam dan maksimum terjadi selama shift malam

(Singleton, 1972).

Winarsunu (2008) mengatakan bahwa manusia mempunyai ‗circadian

rhythm’, yaitu fluktuasi dari berbagai macam fungsi tubuh selama 24 jam. Dimana

manusia berada pada 2 fase, diantaranya:

1. Fase ergotrophic

Pada siang hari manusia berada pada fase ergotrophic yaitu fase

dimana semua organ dan fungsi tubuh siap untuk melakukan

tindakan.
2. Fase trophotropic

Pada malam hari manusia berada pada fase trophotropic yaitu fase

dimana tubuh melakukan pembaharuan cadangan energi atau

penguatan kembali.

2.3 Kelelahan Kerja

Istilah kelelahan selalu mengarah kepada kondisi melemahnya tenaga

untuk melakukan suatu kegiatan, walaupun itu bukan satu-satunya gejala. Secara

umum gejala kelelahan yang lebih dekat adalah pada pengertian kelelahan fisik

atau physical fatigue dan kelelahan mental atau mental fatigue (A.M Sugeng

Budiono, dkk 2003).

Suma‘mur dalam bukunya Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja

(2009) kelelahan menunjukkan keadaan tubuh fisik dan mental yang berbeda,

tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya

ketahanan tubuh untuk bekerja.

Secara psikologis, kelelahan yaitu keadaan mental dengan ciri menurunnya

motivasi, ambang rangsang meningi, menurunnya kecermatan dan kecepatan

pemecah persoalan. Secara fisiologis, kelelahan yaitu penurunan kekuatan otot

yang disebabkan karena kehabisan tenaga dan sisa-sisa metabolisme, misalnya

asam laktat dan karbon dioksida. Kelelahan diterapkan berbagai macam kondisi

merupakan suatu perasaan bagi setiap orang mempunyai arti tersendiri dan

bersifat subjektif (Kodrat, 2009).


2.3.1 Jenis Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja dibedakan berdasarkan:

1. Proses dalam otot yang terdiri atas;

a. Kelelahan otot ditandai oleh tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada

otot. Otot yang lelah akan menunjukkan kurangnya kekuatan,

bertambahnya waktu kontraksi dan relaksasi, berkurangnya koordinasi

serta otot menjadi gemetar (Suma‘mur, 2013).

b. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja,

yang penyebabnya adalah keadaan persarafan sentral atau kondisi

psikis-psikologis (Suma‘mur, 2013). Perasaan adanya kelelahan

secara umum dapat ditandai dengan berbagai kondisi antara lain: lelah

pada organ penglihatan atau mata, mengantuk, stress (pikiran tegang)

dan rasa malas bekerja circadian fatigue (Nurmianto, 2004).

2. Waktu terjadinya kelelahan.

a. Kelelahan akut, terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau

seluruh tubuh secara berlebihan

b. Kelelahan kronis terjadi bila kelelahan berlangsung setiap hari,

berkepanjangan dan bahkan kadang-kadang telah terjadi sebelum

memulai suatu pekerjaan.

3. Penyebab terjadinya kelelahan

a. Faktor fisiologis, yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat)

dalam darah, penurunan waktu reaksi.


b. Faktor psikologi, yaitu konflik yang mengakibatkan stress yang

berkepanjangan, ditandai dengan menurunya prestasi kerja, rasa lelah

dan ada hubungannya dengan faktor psikososial (Schultz, 1982).

2.3.2 Gejala Kelelahan Kerja

Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptons) secaa subjektif

dan objektif antara lain sebagai berikut (Ramandhani, 2003).

a. Perasaan lesu, ngantuk, dan pusing.

b. Tidak atau kurang mampu berkonsentrasi.

c. Berkurangnya tingkat kewaspadaan.

d. Persepsi yang buruk dan lambat.

e. Tidak ada atau berkurangnya gairah untuk bekerja.

f. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani.

Beberapa gejala ini dapat menyebabkan penurunan efisiensi dan

efektivitas kerja fisik dan mental. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul

berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk kerja.

Beberapa bentuk kelelahan yang terjadi pada dunia kerja merupakan suatu kondisi

kronis ilmiah. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh suatu sebab tunggal

seperti selalu kerasnya beban kerja, namun juga oleh tekanan-tekanan yang

terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang. Apabila keadaan

seperti ini berlarut-larut maka akan muncul tanda-tanda memburuknya kesehatan

yang lebih tepat disebut kelelahan klinis atau kronis.

Pada keadaan seperti ini, gajalanya tidak hanya muncul selama periode

stress atau sesaat setelah masa stress tetapi cepat atau lambat akan sangat
mengancam setiap saat. Perasaan lelah kerapkali muncul ketika bangun di pagi

hari, justru sebelum saatnya bekerja misalnya berupa perasaan yang bersumber

dari terganggunya emosi. Sejumlah orang kerapkali menunjukkan gejala-gejala

seperti meningkatnya ketidakstabilan jiwa, depresi, kelesuan umum seperti tidak

bergairah kerja, dan meningkatnya sejumlah penyakit fisik (Ramandhani, 2003).

2.3.3 Penyakit Berhubungan dengan Kelelahan

Kelelahan berkepanjangan adalah yang dilaporkan sendiri, persisten

(konstan) kelelahan yang berlangsung setidaknya satu bulan. Kelelahan kronis

adalah kelelahan yang dilaporkan sendiri berlangsung setidaknya enam bulan

berturut-turut. Kelelahan kronis dapat berupa persisten atau kambuh. Kelelahan

kronis adalah gejala dari banyak penyakit dan kondisi. Menurut Kuswana (2014),

beberapa kategori utama penyakit yang berhubungan dengan kelelahan antara lain

sebagai berikut.

a. Gangguan darah seperti anemia dan hemochromatosis.

b. Kanker dalam hal ini disebut kelelahan kanker.

c. Sindrom kelelahan kronis (CFS).

d. Gangguan makan yang dapat menghasilkan kelelahan karena gizi yang

tidak memadai.

e. Depresi dan gangguan mental lainnya yang menampilkan perasaan

depresi.

f. Penyakit jantung.

g. Kurang tidur atau gangguan tidur.

h. Sroke.
2.3.4 Penyebab Kelelahan Kerja

Akar masalah kelelahan umum terjadi karena monotonnya pekerjaan,

intensitas dan lamanya kerja mental dan fisik yang tidak sejalan dengan kehendak

tenaga kerja yang bersangkutan, keadaan lingkungan yang berbeda dari estimasi

semula, tidak jelasnya tanggung jawab, kekhawatiran yang mendalam dan konflik

batin serta kondisi sakit yang diderita oleh tenaga kerja. Pengaruh dari keadaan

yang menjadi sebab kelelahan tersebut seperti berkumpul dalam tubuh dan

mengakibatkan perasaan lelah (Suma‘mur, 2013).

2.3.5 Proses Terjadinya Kelelahan

Kelelahan terjadi karena terkumpulnya produk-produk sisa dalam otot dan

peredaran darah, dimana produk-produk sisa ini bersifat bisa membatasi

kelangsungan aktivasi otot. Suma‘mur (2013) menjelaskan keadaan dan perasaan

lelah adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaraan yaitu otak (cortex ceberi)

yang dipengaruhi atas dua sistem saraf antagonis yaitu sistem penghambat dan

sistem penggerak. Sistem penghambat bekerja terhadap thalamus yang mampu

menurunkan kemampuan manusia beraksi dan menyebabkan kecenderungan

untuk tidur. Sistem penggerak terdapat dalam formasio retikularis yang dapat

merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari organ-organ

dalam tubuh ke arah kegiatan bekerja, berkelahi, melarikan diri dan lain-lain.

Dengan demikian, keadaan seseorang pada suatu saat bergantung pada

hasil kerja kedua sistem ini. Apabila sitem penggerak lebih kuat dari sistem

penghambat, maka keadaan orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk

bekerja. Sebaliknya, apabila sistem penghambat lebih kuat dari system penggerak
maka orang akan mengalami kelelahan. Itulah sebabnya, seseorang yang sedah

lelah dapat melakukan aktivitas secara tiba-tiba apabila mengalami suatu peristiwa

yang tidak terduga dengan ketegangan emosi. Demikian juga kerja yang monoton

bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa.

2.3.6 Cara Mengatasi Kelelahan

Kelelahan dapat dikurangi bahkan ditiadakan dengan pendekatan berbagai

cara yang ditujukan kepada aneka hal yang bersifat umum dan pengelolaan

kondisi pekerjaan dan lingkungan di tempat kerja. Misalnya, banyak hal dapat

dicapai dengan cara menerapkan jam kerja dan waktu istirahat sesuai dengan

ketetentuan yang berlaku, pengaturan cuti yang tepat, penyelenggaraan tempat

istirahat yang memperhatikan kesegaran fisik dan keharmonisan mental-

psikologis, pemanfaatan masa libur dan peluang untuk rekreasi. Penerapan

ergonomi yang bertalian dengan perlengkapan dan peralatan kerja, cara kerja serta

pengolahan lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan fisiologi dan psikologi

merupakan upaya yang sangat membantu mencegah timbulnya kelelahan

(Suma‘mur, 2013).

2.3.7 Pengukuran Kelelahan

Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara

langsung. Pengukuran yang dilakukan peneliti sebelumnya hanya berupa indikator

yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja. Menurut Tarwaka et.al.

(2004), mengelompokkan metode pengukuran kelelahan dalam beberapa

kelompok sebagai berikut :


1. Kualitas dan Kuantitas kerja yang dilakukan pada metode ini, kuantitas

output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan

setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Namun

demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti target

produksi, faktor sosial, dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan

kualitas output (kerusakan produk, penolakan produk) atau frekuensi

kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor

tersebut bukanlah merupakan causal factor.

2. Uji Psikomotor (psychomotor test)

Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi

motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran

waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu

rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan.

Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu , denting suara,

sentuhan kulit atau goyangan badan.

3. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusio test) dalam kondisi yang lelah,

kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin

lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara

dua kelipan, disamping itu untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan

keadaan kewaspadaan tenaga kerja.

4. Uji beban kerja mental secara Fisiologis/Biomekanis

Seseorang tenaga kerja dapat dianggap fit untuk sesuatu pekerjaan

tertentu, bila orang itu dapat melakukan pekerjaan tersebut secara terus-
menerus tanpa merasa lelah dan mempunyai kapasitas cadangan bila

harus menghadapi beban kerja yang lebih berat tanpa terjadi gangguan

keseimbangan fisiologis setelah menyelesaikan pekerjaannya.

5. Pengukuran kelelahan secara subjektif

A.Subjective self rating test

Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research Committee

(IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk

mengukur tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar

pertanyaan yang terdiri dari 10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan,

10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi, dan 10 pertanyaan tentang

gambaran kelelahan fisik. Skor yang diberikan pada masing-masing

frekuensi yaitu tidak pernah merasakan diberi nilai 1, kadang-kadang

merasakan diberi nilai 2, sering merasakan diberi nilai 3, dan sering

sekali merasakan diberi nilai 4. Hasil akhir penilaian terdiri dari 4

tingkatan kelelahan yaitu tingkat kelelahan rendah (30-52), tingkat

kelelahan sedang (53-75), tingkat kelelahan tinggi (76-98), dan tingkat

kelelahan sangat tinggi (99-120).

B.Nordic Body Map

Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat

keparahan atas terjadinya gangguan atau cedera pada otot-otot skeletal.

Dalam aplikasinya, metode ini menggunakan lembar kerja berupa peta

tubuh (body map) yang sangat sederhana dan mudah dipahami, serta

hanya memerlukan waktu yang sangat singkat sekitar 5 menit.


2.4 Hubungan Shift Kerja dengan Kelelahan

Menurut Grandjean yang dikutip oleh Winarsunu (2008) mengemukakan

bahwa pekerja shift malam umumnya mempunyai kesehatan yang kurang baik.

Mereka biasanya menderita gangguan pencernaan dan merasa gelisah atau gugup.

Hal ini disebabkan oleh kronik dan kebiasaan makan dan minum yang tidak sehat.

Kelelahan kronik tersebut adalah antara lain kehilangan vitalitas, perasaan depresi,

perasaan mudah marah dan keletihan meskipun mereka sudah tidur. Keadaan ini

biasanya disertai dengan gangguan psikosomatik, antara lain kehilangan nafsu

makan, gangguan tidur dan gangguan pencernaan. Jadi kegelisahan yang dialami

pekerja shift malam adalah dari kelelahan kronik yang jika dikombinasikan

dengan kebiasaan makan yang tidak sehat dapat menyebabkan penyakit-penyakit

pencernaan.

Pada kenyataannya, kelelahan pada kerja malam relatif sangat besar.

Sebabnya antara lain karena sangat kuatnya kerja saraf parasimpatis dibanding

dengan persyarafan simpatis pada malam hari. Padahal seharusnya untuk bekerja,

bekerjanya saraf simpatis harus melebihi kekuatan parasimpatis. Selain itu jumlah

jam kerja yang dipakai untuk tidur bagi pekerja malam pada siang harinya relatif

jauh lebih besar dari seharusnya, dikarenakan gangguan suasana siang hari seperti

kebisingan, suhu dan lainnya. Juga aktivitas dalam keluarga atau masyarakat

menjadi penyebab kurangnya tidur pada siang hari padahal sangat penting artinya

bagi tenaga kerja yang bekerja malam hari (Suma‘mur, 2013).


2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Shift Kerja : Kelelahan :

1. Shift pagi (08.00-15.00 1. Rendah


Depe dddddDepe
WIB) 2. Sedang

2. Shift malam (20.00- 3. Tinggi

08.00 WIB) 4. Sangat

Tinggi

Anda mungkin juga menyukai