Tesis
Diajukan Oleh :
JUNARTIN TEKE
10/310764/PTK/07336
Kepada
semakin meningkat. Sampai saat ini minyak sawit Indonesia sebagian besar
masih diekspor dalam bentuk kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO)
dan diperkirakan pada tahun 2014, Indonesia akan menjadi produsen minyak
(Suarapengusaha.com).
Saat ini limbah padat hasil proses produksi minyak sawit berupa tandan
kosong kelapa sawit (TKKS) telah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri
pulp dan kertas. Dengan mulai dikembangkannya industri pulp dan kertas
limbah cair berupa lindi hitam (black liquor) yang mengandung lignin hingga
bahan bakar dipandang kurang bernilai ekonomis ketika jumlah limbah lindi
hitam semakin bertambah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
yaitu sebagai bahan pendispersi pada berbagai sistem dispersi partikel (pasta
gipsum dan pasta semen), sebagai bahan perekat dalam industri keramik,
perolehan minyak bumi tahap lanjut (tahap tersier) yang diterapkan ketika
minyak bumi yang terperangkap dalam pori-pori batuan tidak dapat diproduksi
sulfonat yang merupakan produk turunan dari minyak bumi. Kelebihan dari
dan tidak ramah lingkungan. Dengan keterbatasan tersebut, maka SLS dapat
Meski demikian ada kelemahan SLS yang belum bisa ditangani yakni
kemampuannya dalam menurunkan IFT yang masih rendah. Oleh karena itu,
perlu dilakukan langkah lanjutan untuk meningkatkan kinerja SLS sehingga
Stapp dan Chaney (1983) dalam U.S Patent No. 4.493.370, telah merancang
yang digunakan dalam sistem ini adalah hidrokarbon sulfonat dengan berat
yang berisi minyak dengan cairan micellar yang terdiri atas hidrokarbon,
sintetik sulfonat dengan satu atau lebih sulfonat petroleum yang berbeda.
oleh fraksi hidrokarbon pada 700oF. Selain itu juga terdapat buffer fase gerak
epoksida dari asam oleat. Dalam penelitian ini diperolehnilai IFT terendah
yakni sebesar 3,7.10-3 mN/m. Gogoi dan Das (2012) juga telah mempelajari
pengaruh IFT dari lindi hitam pabrik kertas (bahan baku bambu) dan
rendah antara fase minyak dan air. Penurunan IFT menyebabkan pelepasan
epoksidasi asam risinoleat dari minyak jarak (Custor Oil) dengan variasi suhu,
informasi mengenai formulasi terbaik dan kondisi optimal dalam produksi SLS
2.1.1. Surfaktan
mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala yang bersifat suka air (hidrofilik)
surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat
misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Surfaktan
dibawah ini:
surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan
mudah menyebar. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih
misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Ketika CMC tercapai
maka tegangan antarmuka menjadi jenuh dan membentuk misel yang berada
surfaktan yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air.
Ada tiga senyawa yang termasuk dalam golongan ini, yaitu senyawa
Golongan ini banyak digunakan antara lain sebagai zat pembasah, zat
pembusa, zat pengemulsi, zat anti busa, detergen, pencegah korosi dan lain-
lain. Menurut Swern (1979) ada empat jenis surfaktan yang termasuk
tersier dan kuartener yang larut dalam pelarut pada semua pH.
nonionik (45%), kationik (4%) dan yang paling sedikit penggunaannya adalah
surfaktan dari jenis amfoterik (1%) (Salager, 2002). Jenis surfaktan yang
dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan
karakteristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan
(Matheson, 1996).
persatuan luas (Shaw, 1980). Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang
adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Gaya ini
timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Dalam
sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul
adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak
sejenis.
dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan
dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase.
surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi
larutan kosurfaktan.
Menurut Shaw (1980), IFT merupakan faktor penting pada proses EOR.
Surfaktan dapat menurunkan IFT antara fluida dengan fluida, fluida dengan
memecah tegangan antar muka dari minyak yang terikat dengan batuan,
(wettability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang
bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan
dan garamnya (NaSO3-) sebagai kepala dan gugus hidrokarbon sebagai ekor.
lebih luas (Collepardi, 2005). Struktur SLS dapat dilihat pada Gambar 2
berikut :
yang kurang polar menjadi garam lignosulfonat yang lebih polar dengan cara
dalam pembuatan pelumas, bahan perekat dan bahan pendispersi untuk papan
gipsum, bahan aditif untuk media kultur, sebagai plasticizer pada adonan
dalam cement mill dan membuat konstruksi bangunan menjadi lebih kokoh
karena lignosulfonat juga merupakan binding agentyang baik. Menurut
dan semen, yaitu sekitar 4,45 x 105 ton/tahun dikarenakan keunggulan yang
lignosulfonat secara esensial tidak bersifat toksik dan berasal dari bahan alami
yang berbasis petrokimia. Jenis polimer sintetik dan surfaktan yang berbasis
(SMF).
memiliki jenis asam lemak yang mudah berubah (Guner, 1997). Hal ini
dikarenakan asam risinoleat pada minyak jarak memiliki ikatan rangkap dan
dua gugus aktif, yaitu gugus hidroksil dan gugus karboksil (Ramamurthi et al.,
1998). Gugus hidroksil yang berada pada posisi atom C12mengakibatkan asam
risinoleat bersifat lebih polar dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Pada
penggunaannya, gugus hidroksil tidak jenuh ini sering diubah menjadi gugus
masih berada dalam bentuk trigliseridanya maka terlebih dahulu minyak jarak
metil risinoleat yang bercampur dengan metilester asam lemak lainnya dapat
(kekentalan) yang cukup tinggi. Struktur senyawa asam risinoleat dapat dilihat
2.1.5. Epoksidasi
yang berikatan rangkap (termasuk asam lemak tak jenuh atau minyak
1983).
industri, dan dapat dikatalisis oleh asam atau enzim. Metode kedua meliputi
epoksidasi alkali dan nitril oleh hidrogen peroksida serta epoksidasi berkatalis
menyebabkan degradasi dari minyak menjadi senyawa yang lebih kecil seperti
aldehid dan keton atau asam dikarboksilat berantai pendek sehingga oksidasi
dengan O2 metode yang tidak efisien untuk epoksidasi minyak nabati (Goud,
2006). Dari keempat metode tersebut, metode pertama dan kedua paling sering
peroksida yang berlebih (Gall dan Greenspan, 1965). Reaksi epoksidasi dapat
digunakan untuk reaksi epoksidasi dan reaksi epoksidasi secara in-situ. Proses
epoksidasi yang dilakukan secara in-situ lebih aman jika dibandingkan dengan
O O
R C OH + H2O2 R C O OH + H2O
Asam karboksilat Peroksida Asam Peroksi
O H H O
R C O OH + C C C C + R C OH
H H O
2.1.6. Kosurfaktan
golongan alkohol rantai pendek (C3-C8) dan amina (Dantas et al., 2003). Pada
rendah ( 0,01 mN/m ), hal ini disebabkan karena molekul alkohol yang masuk
dan kosurfaktan yang lebih kecil daripada konsentrasi surfaktan saja (Tuin,
1995).
rantai alkil kosurfaktan, komposisi fase minyak dan rasio surfaktan dalam
EOR merupakan cara yang efisien untuk mengambil sisa minyak dari reservoir.
(Lestari, 2006).
yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase
reservoir dapat berasal dari tekanan gas yang terlarut dalam fluida minyak
(solution gas drive), kolom air di bawah lapisan minyak (water drive), atau
umum diterapkan dalam fase ini adalah water flooding, yang menggunakan
sumur injektor untuk memasukkan air dalam jumlah besar ke dalam reservoir
guna menjaga tekanan dan menyapu minyak ketika air bergerak melalui
reservoir.
(Gomma, 1997). Menurut Thamrin dan Sudibjo (1992), EOR merupakan usaha
untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi yang sudah tidak
produktif lagi pada tahap produksi pertama. Skema recovery minyak bumi
Gambar 6. Diagram alir perolehan kembali minyak bumi (Lake et al., 1995)
kedalam batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih
terkandung didalam batuan reservoir, yang pada umumnya berupa residual
passed oil merupakan kandungan minyak di dalam bagian dari reservoir yang
tidak tersapu dan terjangkau oleh injeksi air pada tahap sekunder. Berdasarkan
kelompok, yaitu metode termal (air panas, uap panas, dan panas hasil
miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, dan campuran gas
kadang disebut sebagai recovery tertiary, namun beberapa metode EOR dapat
diterapkan setelah fasa primer atau bahkan saat proses pencarian minyak
(discovery) (Gomma,1997).
yang hendak dicapai. Sebagai gambaran, reservoir yang dangkal tidak cocok
bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi sehingga dapat
rantai hidrokarbon. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi
RSO3-dan H+. Bila ion molekul RSO3-kontak dengan senyawa yang bersifat
nonpolar (minyak), maka gugus R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi
gaya kohesi antar RSO3-. Pengaruh gaya adhesi ini akan mengurangi harga
resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antar
permukaan minyak dengan air akan menurun. Selain itu, terjadi gaya tolak-
bagian gugus R akan bergerak menjauh dari batuan dan ini akan
mengakibatkan wettability batuan berubah menjadi suka air (water
wet)(Ashayer et al.,2000).
harga minyak bumi dipasar. Menurut Nasiri (2011) agar pemanfaatan surfaktan
lebih efektif, beberapa kriteria harus dipenuhi yaitu surfaktan yang digunakan
harus dapat menghasilkan IFT ultra low dan harus cukup sederhana pada saat
peroksi (perasam) dengan senyawa olefin dan ikatan aromatis. Asam peroksi
adalah reaksi epoksidasi secara in-situ, dimana asam perasetat dibuat serentak
dengan reaksi epoksidasinya (Gan etal., 1992). Reaksi epoksidasi secara in-
situsering digunakan karena lebih aman dan sedikit dalam pemakaian hidrogen
peroksida (Yadav dan Satroska, 1997). Reaksi epoksidasi dilakukan pada jenis
reaktor batch (Escrig, et al., 1998), dengan persamaan reaksi epoksidasi
O
k1
H3C C OOH + H2O (1)
CH3COOH + H2O2
k2
A B C D
O R1 R2
k3
H3C C OOH + C C R1 C C R2 + CH3COOH (2)
H H O
C E F A
Keterangan:
R1 = C8H15(OH)
R2 = C7H14
A = Asam Asetat
B = Hidrogen Peroksida
C = Asam Parasetat
D = Air
E = Asam Risinoleat
F = Senyawa Epoksi
rendah antara minyak dan air. Cincin oksiran pada epoksida akan terbuka dan
O
R1
O H O
R1
Reaksi epoksidasi dari asam risinoleat dapat dilihat pada persamaan (1)
dan (2). Persamaan (1) merupakan pembentukan asam parasetat secara in-situ
dimana asam ini akan digunakan untuk mengoksidasi ikatan rangkap yang ada
𝑑 (𝑉𝜌)
0−0= (3a)
𝑑𝑡
𝑑𝑉
= 0(3b)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐴 𝑉)
0 − 0 − (−𝑟𝐴 ) 𝑉 = (4)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐴 )
= 𝑟𝐴 (5)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐶 )
= 𝑟𝐶 (7)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐸 )
= 𝑟𝐸 (8)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐹 )
= 𝑟𝐹 (9)
𝑑𝑡
peroksi) dan fase minyak (asam risinoleat). Asam peroksi akan mendifusi
melalui lapisan film dan bereaksi di badan utama fase minyak. Namun, karena
rA = - rC = - r1 + r2 (12)
rB = - rD = - r1 (13)
𝑑 (𝐶𝐴 )
= −𝑟1 + 𝑟2 (15)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐵 )
= −𝑟1 (16)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐶 )
= 𝑟1 − 𝑟2 (17)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐷 )
= 𝑟1 (18)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐸 )
= −𝑟2 (19)
𝑑𝑡
𝑑 (𝐶𝐹 )
= 𝑟2 (20)
𝑑𝑡
kesalahan relatif sebagai selisih antara konversi asam risinoleat model dan
dibawah ini :
𝑋𝑟𝑖𝑠𝑖𝑛𝑜𝑙𝑒𝑎𝑡,𝑑𝑎𝑡𝑎− 𝑋𝑟𝑖𝑠𝑖𝑛𝑜𝑙𝑒𝑎𝑡,𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙
% 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = 𝑥 100%
𝑋𝑟𝑖𝑠𝑖𝑛𝑜𝑙𝑒𝑎𝑡,𝑑𝑎𝑡𝑎
−𝐸
𝑘 = 𝐴 exp ( )
𝑅𝑇
tumbukan, E adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas ideal dan T adalah
suhu reaksi.
2.3. Hipotesis
menurunkan IFT
3.1.1. Bahan
2. Etanol (C2H5OH)
10. Aquades
Gambar 9. Reaktor yang digunakan berupa labu leher tiga yang dilengkapi
Keterangan Gambar
1. Pemanas Listrik
2. Labu leher 3
3. Termometer
4. Waterbath
5. Stirrer
6. Thermocouple
7. pendingin balik
dimasukkan dalam labu leher tiga lalu dipanaskan pada suhu (60, 70
Komposisi 1 % (b/b)
SLS Epoksi Isopropil Isoamil Air Formasi
Jenis Formula (g) (g) (g) (g) (g)
Formula A 0,3 - - - 29,7
Formula B 0,15 0,15 - - 29,7
Formula C 0,15 0,12 0,03 - 29,7
Formula D 0,15 0,12 - 0,03 29,7
0 – 30 0,8 (± 0,1) g
30 - 50 0,5 (± 0,1) g
50 – 100 0,25 (± 0,1) g
100 -150 0,16 (± 0,1) g
4. Pada saat yang bersamaan siapkan larutan blangko yang terdiri dari 10
Perhitungan
𝐵𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑜𝑑𝑖𝑛
(AOAC Method).
ini, maka tegangan muka zat cair dapat ditentukan dengan metode ini.
a. Perhitungan IFT
2 𝑥 𝑅3 𝑥 (𝜌𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑘𝑡𝑎𝑛 − 𝜌𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 )
𝜎 = , = 2N
4
Dengan 𝜎 = tegangan antarmuka ( mN/m)
= densitas (g/mL)
b. Perhitungan Densitas
Massa surfaktan
𝜌𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑘𝑡𝑎𝑛 =
Volume piknometer
kosong)
a. Parameter berubah :
1: 5,15
b. Parameter tetap
1. Konsentrasi reaktan
2. Volume total = 30 mL
4. Saponifikasi (Penyabunan)
O O
H2C O C R1 H2C OH R1 C O Na
O O
HC O C R2 + 3 NaOH HC OH + R2 C O Na
O O
H2C O C R3 H2C OH R3 C O Na
FTIR minyak jarakyang telah dianalisis lebih dulu. Hal ini dilakukan untuk
berikut.
%
T
b
1/cm
m
Gambar 12. Hasil Analisis FTIR (a) Minyak Jarak dan (b) Sabun
panjang gelombang 3300-3400 cm-1 yang berasal dari vibrasi ulur gugus –OH,
hal ini mengindikasikan bahwa sifat hidrofilik dari minyak jarak telah
bahwa telah terjadi pemutusan ikatan rangkap pada gugus C=O akibat proses
dipanaskan pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC selama 30, 60, 90 dan 120 menit.
pembawa oksigen dan asam sulfat sebagai katalis.Reaksi yang terjadi dalam
O
k1
H3C C OOH + H2O (1)
CH3COOH + H2O2
k2
A B C D
O R1 R2
k3
H3C C OOH + C C R1 C C R2 + CH3COOH (2)
H H O
C E F A
fungsinya dan dibandingkan dengan spektrum FTIR sabun. Hasil analisis FTIR
%T
1/cm
Gambar 14. Hasil analisis FTIR (a) Sabun dan (b)Senyawa epoksida
864,11 cm-1.
epoksida dalam air formasi. Konsentrasi surfakan SLS dan senyawa epoksida
Gambar. 15 berikut.
%T
b
1/cm
Gambar 15. Hasil Analasis FTIR (a) Epoksida, (b) SLS dan (c) SLS
Termodifikasi
termodifikasi tidak muncul pita ester (C=O) pada panjang gelombang 1728,22
cm-1 dan pita oksiran (C-O-C) pada panjang gelombang 1242 cm-1. Hal ini
berasal dari gugus C=C dan 2931,80 cm-1 menjadi 2924,09 cm-1 yang berasal
dari gugus C-H, mengindikasikan bahwa telah terjadi interaksi antara SLS
menurunkan tegangan antarmuka, ini terlihat dari nilai IFT yang dihasilkan
yakni sebesar 4,4061 mN/m, nilai ini jauh dari nilai IFT yang diharapkan yakni
mencapai 1.10-3 mN/m. Oleh karena itu, dengan adanya penambahan senyawa
0.6
0.448472 0.433384
0.4 0.427703 0.429437 1 : 0.2
(a) 1 : 0.6
0.3
1 : 1.5
0.172179 0.197611 0.203414
0.2 1 : 5.15
0.172179
0.176009
0.1 0.09743 0.158483 0.137934
0
30 60 90 120
Waktu (Menit)
0.6
1 : 0.2
0.5 1 : 0.6
1 : 1.5
InterFacial Tension (mN/m)
1 : 5.15
0.4
0.296805 0.324675
0.307815
0.3
0.258765 0.268765
(b)
0.2 0.226944
0.176123 0.186086
0.1
0.066233
0.047336 0.03497 0.047336
0 0.007822 0.004998 0.00625 0.00911
30 60 90 120
Waktu (Menit)
0.6
1 : 0.2
0.5 1 : 0.6
Interfacial Tension (mN/m)
1 : 1.5
0.4 1 : 5.15
Pengaruh ini dapat dilihat dari nilai IFT yang diperoleh. Perbandingan
berdampak pada kenaikan nilai IFT. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
samping. Reaksi samping ini menyebabkan munculnya produk baru yang tidak
Dari Gambar. 16dapat dilihat bahwa pada suhu 70oC, nilai IFT surfaktan
pada penurunan nilai IFT. Namun ketika suhu dinaikkan menjadi 80oC,
epoksidasi ini. Hasil inisesuai dengan laporanWood dan Termini (1958) yang
bila dilakukan dibawah suhu 65oC akan memperpanjang waktu epoksidasi dan
bila diatas suhu 75oC akan mengakibatkan banyak ikatan kimia yang terputus
HCOOH R1 CH CH R2
OH OH
H2O
R1 CH CH R2
H H O
R1 H+ R1 CH2
C C R2 C R2
O OH OOCHO
HCOOHO R1 CH CH R2
OH OOH
H2O2
R1 C CH R2
Keterangan:
R1 = C8H15(OH)
R2 = C7H14
jammengalami fluktuasi dengan nilai yang tidak jauh berbeda.Dari grafik ini
dapat dilihat bahwa reaksi paling aktif terjadi pada menit ke-0 sampai 30.Hasil
ini sejalan dengan Kirk dan Othmer (1983) yang menyatakan bahwa reaksi
epoksidasi merupakan reaksi reversibel dan memiliki kemungkinan munculnya
iodin yang diserap oleh 100 g minyak. Bilangan iod bergantung kepada
lemak tidak jenuh dalam minyak mampu menyerap sejumlah iod dan
18dan 19berikut.
100
Bilangan Iod (%)
60
70
80
0
30 60 90 120
Waktu (Menit)
Gambar 19. Grafik Hubungan Konversi Asam Risinoleat Vs
Waktu
Pada Perbandingan 1 : 1,5
Nilai konversi asam risinoleat paling tinggi yang mencapai 80% pada
selama 1 jam dalam penelitian ini tidak jauh berbedadengan Snezana et all
suhu 75oC,konversi yield yang diperoleh mencapai 91% meski dengan waktu
reaksi yang lebih lama yakni 8 jam.Tayde et alljuga melaporkan bahwa pada
dapat dikatakan bahwa konversi yield yang diperoleh dari reaksi epoksidasi
3
mN/m.Namun, nilai ini belum mencapai nilai IFT yang diinginkan yakni
antarmuka.
surfaktan yang berfungsi untuk menetralkan efek tolak menolak diantara gugus
yang terdapat diantara molekul surfaktan seperti yang ditunjukan pada Gambar.
20 berikut.
alkohol rantai pendek (C3-C8), dikarenakan sifat dari alkohol yang memiliki
gugus hidroksi (-OH) yang bersifat hidrofilik dan gugus alkil (-R) yang bersifat
dipanaskan pada suhu 70oC dan diaduk dengan kecepatan 500 rpm selama 3
(a)
(b)
%T
(c)
1/cm
Gambar 21. Hasil Analisis FTIR : (a) SLS Termodifikasi, (b) SLS
Termodifikasi + IsoPropil dan (c) SLS Termodifikasi +
IsoAmil
Spektrum SLS termodifikasi dan SLS termodifikasi dengan penambahan
epoksida. Selain itu terjadi pergeseran pada panjang gelombang 1566,20 cm-1
menjadi 1573 cm-1yang mengindikasikan gugus C=C dari SLS yang telah
mengurangi interferensi gugus aktif SLS terhadap gugus C=O dari senyawa
penambahan isoamil.
0.2
0.18 0.176009
Interfacial Tension (mN/m)
0.16 0.1584830.15702
0.14 0.137934
0.133258
0.127155
0.12
0.111411
0.1 0.10262
0.09743
0.088516 SLS Termodifikasi
0.08
(b) 0.06
SLS Termodifikasi
0.04 + IsoAmil
0.01
0.009 0.00911
Interfacial Tension (mN/m)
mampu meningkatkan nilai IFT surfaktan SLS termodifikasi. Hal ini sesuai
memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada isopropil alkohol. Hal ini
terhadap sampel minyak. Uji kelakuan fasa dapat digunakan untuk menguji
nilai IFT surfaktan, bahkan dalam beberapa penelitian uji kelakuan fasa
merupakan uji yang lebih cepat dan mudah untuk memudahkan penentuan nilai
IFT dan efektivitaslarutan surfaktan yang dibuat. Uji kelakuan fasa didasarkan
Dalam proses EOR, bagian penting dari Diagram Terner adalah daerah
tiga fasa. Diagram terner dapat diklasifikasikan sebagai: tipe II(-), yaitu emulsi
fasa bawah dan kelebihan fasa minyak; tipe II (+), yaitu emulsi fasa atas
dengan kelebihan fasa air; dan tipe III, yaitu emulsi fasa tengah. Jenis emulsi
yang paling diharapkan dalam proses EOR adalah emusi fase tengah atau
paling tidak emulsi fase bawah (Sugihardjo et al, 2002). Pada kondisi tersebut
nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah
fasa dan kestabilan mikroemulsi pada campuran minyak dan larutan surfaktan
terhadap nilai IFT surfaktan. Pada tabung uji dimasukkan larutan surfaktan dan
minyak mentah dengan volume yang sama. Campuran dalam tabung uji
minyak dan larutan surfaktan untuk terpisah kembali. Grafik hubungan antara
SLS Termodifikasi
0.6
0.5
InterFacial Tension (mN/m)
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 50 100 150 200
Waktu (Menit)
SLS + Isopropil
0.5
0.45
0.4
Interfacial Tension (mN/m)
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 50 100 150 200 250
Waktu (menit)
SLS + Isoamil
0.45
0.4
Interfacial Tenson (mN/m)
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 50 100 150 200 250
Waktu (menit)
Gambar 24. Grafik Hubungan antara IFT VS Waktu Pemisahan pada suhu
60oC, 70oC dan 80oC Pada Perbandingan 1 : 1,5
Dari Gambar.24 menunjukkan bahwasemakin rendah nilai IFT maka
proses pemisahan akan semakin lambat. Larutan surfaktan yang memiliki IFT
10-2 mN/m mampu membentuk fasa tipe III, hanya saja mikroemulsi yang
larutan yang surfaktan yang memiliki nilai IFT yang rendah. Larutan IFT yang
rendah dapat terikat baik dalam minyak maupun dalam air. Larutan surfaktan
dalam penelitian ini cenderung bersifat polar, sehingga terjadi emulsi minyak
terdispersi dengan suatu lapisan tipis, sehingga butir-butir tersebut tidak dapat
bergabung menjadi fase kontinyu. Bagian surfaktan yang non polar dalam
lapisan luar butir-butir minyak sedangkan bagian yang polar larut dalam
pelarut air.
untuk reaksi pembentukan asam peroksi (reaksi 1) dan reaksi epoksidasi (reaksi
r2= k3.CC.CE
Data eksperimen yang diperoleh adalah data konversi asam risinoleat yang
asam risinoleat model pada berbagai variasi suhu disajikan pada Tabel.3
berikut.
Tabel 3. Data konversi asam risinoleat pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC
Suhu Waktu (jam) Konversi Asam Kesalahan
Risinoleat Relatif
Xdata Xmodel (%)
60 0 0 0 13,5552
0,5 49,4505 46,938
1 46,1538 46,9851
1,5 44,5055 46,9149
2 47,8022 46,9383
70 0 0 0 14,376
0,5 76,3736 76,5884
1 79,6703 78,2308
1,5 77,4725 78,0664
2 74,7253 78,1756
80 0 0 0 20, 0975
0,5 61,5385 57,6864
1 58,7912 57,8039
1,5 59,8901 57,8205
2 57,6923 57,7237
Gambar 26. Konversi asam risinoleat data dan model pada
suhu 60 C, 70oC dan 80oC
o
Keterangan
A = Asam Asetat
B = Hidrogen Peroksida
C = Asam Peroksi
D = Air
E = Sabun (Asam Risinoleat)
F = Senyawa Epoksi
risinoleat terikat data dan hasil hitungan pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC
terhadap waktu disajikan pada Gambar. 27. Laju reaksi pada reaksi epoksidasi
ditunjukkan dengan nilai konstanta laju reaksi k1, k2 dan k3. Parameter laju
versus 1/T untuk mencari nilai energi aktivasi (Ea) dari nilai frekuensi
8
7 K1
6 K2
5
K3
Ln k
4
Linear (K1)
3
Linear (K3)
2
Linear (K3)
1
0
0.003003003 0.002915452 0.002832861
1/T (1/K)
frekuensi tumbukan (A) dan energi aktivasi (Ea) yang disajikan pada Tabel. 4
berikut.
nilai k1> k3> k2dan pada suhu 80oC nilai k3> k1> k2. Secara keseluruhan,
konstanta laju reaksi pada suhu 70oC cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan konstanta laju reaksi pada suhu 60oC dan 80oC. Namun nilai konversi
asam risinoleat paling tinggi justru diperoleh pada suhu 70oC. Hal ini berkaitan
atau dipukul pada arah yang tepat agar reaksi dapat berlangsung. Pada suhu
60oC dan 80oC, molekul reaktan tidak mengalami tumbukan pada titik yang
tepat sehingga meski memiliki konstanta laju reaksi cukup tinggi namun karena
k3> k1> k2, dengank1 dan k3 bernilai positif dan k2 bernilai negatif.Nilai k2 yang
reaksi irreversibel dalam hal ini k2 pada reaksi pembentukan asam peroksi
Nilai energi aktivasi yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah
Freedman et all (1986). Nilai energi aktivasi yang rendah menunjukkan bahwa
energi yang diperlukan dalam reaksi epoksidasi adalah sangat kecil. Hal
maksimal.
reaksi berikut :
−0,206 (𝑐𝑚3 )
𝑘1 = 750,89 ( )
𝑅𝑇 𝑔𝑚𝑜𝑙 3 . 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
0,695 (𝑐𝑚3 )
𝑘2 = 44,88 ( ) 𝑔𝑚𝑜𝑙3 .𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑅𝑇
−0,22 (𝑐𝑚3 )
𝑘3 = 796,876 ( ) 𝑔𝑚𝑜𝑙3 .𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑅𝑇
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan pada penelitian ini, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Senyawa epoksida yang berasal dari minyak jarak (Castor Oil) dapat
DAFTAR PUSTAKA
Allen, T.O dan Roberts, A,P., 1993, Production Operations 2 : Well
Completions, Workover, and Stimulation, USA: Oil & Gas
Consultants International (OGCI) Inc, Tulsa, Oklohoma, USA.
Darnoko, Z. P. and Anas, I., 1993, Pembuatan Pupuk Organik dari Tandan
Kosong Kelapa Sawit. Buletin Penelitian Kelapa Sawit, 2 ; 89-99.
Dantas, C. S. T., Neto, D. A. A., Moura, E. L., Neto, B., Forte, K.R. and Leite,
R. H. L., 2003, Heavy Metals Extraction by Microemulsions,
Universitas Federal Do Rio Grande Do Norte, Centro De Tecnology
PPGEQ, Campus Universitario, Brazil.
Davin, L.B.and Lewis, N.G., 2005, Lignin Primary Structures and Dirigent
Sites, Current Opinion in Biotechnology 16:407–415.
Escrig, P.D.F. and Martin, J.M.C., 2000, Process for Epoxidation of Olefinic
Compound with Hydrogen Peroxide, U.S. Patent No. 6.160.138.
Fauzi, Y., 2002, Kelapa Sawit : Edisi Revisi, Cetakan XIV, Penebar Swadaya,
Jakarta.
Georgiou, G., Lin, S.C. and Sharma, M.M., 1992, Surface Active Compounds
fromMicroorganisme (Review), Biotechnology, 10 : 60 -65.
Gogoi, S. B and Das, B. M., 2012, Use Of an Effluent For Enhanced Oil
Recovery, Departement of Petroleum Tecnology, Dibrugarh
University, India.
Guner, F.S., 1997, Castor Oil Dehidration Kinetics, JAOCS, Vol. 74, No. 4 :
409-412.
Hsieh, W.C., Hills, C., Koepke, J. W. and Habra, L., 1983, Process For
Enhanced Oil Recovery Employing Synthetic Sulfonates and
Petroleum Sulfonat Blends, U.S Patent No. 4.530.400.
http://suarapengusaha.com/2012/10/19/kisruh-cpo-epa-akan-tinjau-langsung-
kebun-kelapa-sawit/kelapa-sawit-3
Lake, L.W., 1987, Enhanced Oil Recovery, New Jersey, Prentice Hall.
Lake, L.W., Schmidt, R.L. and Venuto, P.B., 1995, A Niche for Enhanced Oil
Recovery in the 1990’s. Oilfield Review, January.
Mulyadi., 2000, Surfactant For Oil Well Stimulation Agent. Jakarta: PT Mulino
Ciptanusa.
Nasiri, H., 2011, Enzymes for Enhanced Oil Recovery (EOR) : Disertasi,
University of Bergen, Norway.
Nummedal, D., Towler, D., Mason, C and Allen, M., 2003. Enhanced Oil
Recovery in Wyoming: Prospects and Challenges. Univ of Wyoming.
Resende, K. X., Correa, M. A., Oliveira, A. G. dan Scarpa, M. V., 2008, Effect
of Cosurfactant on the Supramolecular structure and Physicochemical
Properties of Non-Ionic Biocompatible Microemulsions : Brazilian
Journal of Pharmaceutical Sciences Vol. 44, Faculdade de Ciencias
Farmaceuticas, Universidade Estadual Paulista Julio de Mesquita
Filho.
Rudatin, S., 1989, Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lignin dari Limbah
Industri Pulp dan Kertas di Indonesia, Berita Selulosa (25) 1 : 14-17,
Departemen Perindustrian RI, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Selulosa, Bandung.
Swern, D., 1979, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, Vol. I4th Edition,
John Willey & Sons Inc., New York.
Taber, J.J., Martin, F.D and Seright, R.S., 1997, EOR Screening Criteria
Revisited Part I: Introduction to Screening Criteria and Enhanced Oil
Recovery Field Project, SPE Reservoir Engineering Paper, Mexico,
August 1997.