Anda di halaman 1dari 67

Pengaruh PenambahanEpoksida Asam Risinoleat Minyak

Jarak (Custor Oil) dan Kosurfaktan


Terhadap Kinerja Sodium Lignosulfonat (SLS) Dalam
Menurunkan Interfacial Tension(IFT) Pada Proses Enhanced
Oil Recovery (EOR)

Tesis

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S2


Program Studi Teknik Kimia

Diajukan Oleh :

JUNARTIN TEKE
10/310764/PTK/07336

Kepada

PROGRAM PASCA SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup potensial sebagai

penghasil devisa negara menyebabkan produksi kelapa sawit di Indonesia

semakin meningkat. Sampai saat ini minyak sawit Indonesia sebagian besar

masih diekspor dalam bentuk kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO)

dan diperkirakan pada tahun 2014, Indonesia akan menjadi produsen minyak

sawit terbesar didunia dengan produksi sekitar 28 juta ton

(Suarapengusaha.com).

Saat ini limbah padat hasil proses produksi minyak sawit berupa tandan

kosong kelapa sawit (TKKS) telah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri

pulp dan kertas. Dengan mulai dikembangkannya industri pulp dan kertas

menggunakan bahan baku TKKS, maka industri kertas akan menghasilkan

limbah cair berupa lindi hitam (black liquor) yang mengandung lignin hingga

46% (Sjöström, 1995). Keterbatasan pemanfaatan lignin yang hanya sebagai

bahan bakar dipandang kurang bernilai ekonomis ketika jumlah limbah lindi

hitam semakin bertambah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

memanfaatkan lignin ialah dimodifikasi menjadi sodium lignosulfonat (SLS).

SLS merupakan surfaktan anionik, karena memiliki gugus yang

bermuatan negatif (sulfonat dan garamnya) sebagai kepala dan gugus


hidrokarbon sebagai ekor. SLS telah banyak digunakan pada berbagai industri

yaitu sebagai bahan pendispersi pada berbagai sistem dispersi partikel (pasta

gipsum dan pasta semen), sebagai bahan perekat dalam industri keramik,

sebagai bahan pengemulsi dan sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam

industri perminyakan (Sabirin, 2009).

Surfaktan dalam pertambangan minyak bumi digunakan untuk aplikasi

Enhanched Oil Recovery (EOR). EOR merupakan metode peningkatan

perolehan minyak bumi tahap lanjut (tahap tersier) yang diterapkan ketika

minyak bumi yang terperangkap dalam pori-pori batuan tidak dapat diproduksi

dengan teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder).

Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum

sulfonat yang merupakan produk turunan dari minyak bumi. Kelebihan dari

surfaktan ini adalah memiliki kinerja maksimal dalam menurunkan IFT,

bahkan dilaporkan mencapai 0,1 µN/m (Salager, 2002) sedangkan

kelemahannya adalah harganya yang relatif mahal, bersifat tidak terbarukan

dan tidak ramah lingkungan. Dengan keterbatasan tersebut, maka SLS dapat

dijadikan sebagai pilihan terbaik untuk menggantikan surfaktan petroleum

sulfonat dengan pertimbangan ketersediaan bahan baku yang melimpah, harga

yang relatif murah dan sifatnya yang ramah lingkungan.

Meski demikian ada kelemahan SLS yang belum bisa ditangani yakni

kemampuannya dalam menurunkan IFT yang masih rendah. Oleh karena itu,
perlu dilakukan langkah lanjutan untuk meningkatkan kinerja SLS sehingga

dapat diaplikasikan sebagai surfaktan dalam proses EOR.

1.2. Keaslian Penelitian

Penelitian terkait surfaktan untuk aplikasi EOR telah banyak dilakukan.

Stapp dan Chaney (1983) dalam U.S Patent No. 4.493.370, telah merancang

suatu sistem surfaktan yang terdiri dari larutan garamnatrium klorida,

petroleum sulfonat, dan urea (kosurfaktan) yang dapat diaplikasikan untuk

proses EOR. Kosurfaktan lain seperti alkohol C3-C8juga digunakan. Surfaktan

yang digunakan dalam sistem ini adalah hidrokarbon sulfonat dengan berat

sekitar 225-600 gr/mol.

Hsieh et al., (1983) dalam U.S Patent No. 4.530.400, mencoba

memanfaatkan campuran petroleum sulfonat dan sulfonat sintetik untuk

diaplikasikan dalam proses EOR. Peningkatan recovery minyak (EOR) dari

reservoir petroleum subterraneandiperoleh melalui pembentukan subterranean

yang berisi minyak dengan cairan micellar yang terdiri atas hidrokarbon,

kosurfaktan, larutan garam, dan surfaktan sulfonat sintetik atau kombinasi

sintetik sulfonat dengan satu atau lebih sulfonat petroleum yang berbeda.

Surfaktan ini dihasilkan melalui reaksi sulfonasi dan kemudian dinetralisasi

oleh fraksi hidrokarbon pada 700oF. Selain itu juga terdapat buffer fase gerak

dan cairan pembawa.


Ariska (2011) dalam penelitiannya mencobameningkatkan kemampuan

SLS dalam menurunkan tegangan antarmuka dengan menambahkan senyawa

epoksida dari asam oleat. Dalam penelitian ini diperolehnilai IFT terendah

yakni sebesar 3,7.10-3 mN/m. Gogoi dan Das (2012) juga telah mempelajari

pengaruh IFT dari lindi hitam pabrik kertas (bahan baku bambu) dan

pengaruhnya dalam proses EOR. Variabel penelitian yang diukur dalam

penelitian ini adalah IFT dan tes permeabilitas. Penambahan sodium

lignosulfonat pada emulsi minyak mentah menghasilkan IFT yang sangat

rendah antara fase minyak dan air. Penurunan IFT menyebabkan pelepasan

tetesan residu minyak dari kapiler-kapiler media penyerap, sehingga

meningkatkan jumlah petroleum yang diperoleh.

Namun demikian, produksi SLS sebagai surfaktan melalui reaksi

epoksidasi asam risinoleat dari minyak jarak (Custor Oil) dengan variasi suhu,

waktu dan perbandingan reaktan serta penambahan kosurfaktan untuk proses

EOR sejauh penelusuran pustaka belum pernah dilakukan.

1.3. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai formulasi terbaik dan kondisi optimal dalam produksi SLS

termodifikasi sebagai surfaktan untuk proses EOR.


1.4. Tujuan Penetilian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membuat senyawa epoksi untuk memodifikasi SLS yang memiliki

kemampuan tinggi dalam menurunkan IFT

2. Mempelajari pengaruh variasi suhu, waktu dan perbandingan reaktan

terhadap kemampuan surfaktan SLS termodifikasi dalam menurunkan IFT

3. Mempelajari pengaruh penambahan kosurfaktan terhadap kemampuan

surfaktan SLS termodifikasi dalam menurunkan IFT.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Surfaktan

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang

mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala yang bersifat suka air (hidrofilik)

dan bagian ekor bersifat suka minyak/lemak (hidrofobik) menyebabkan

surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat

polaritas seperti minyak dan air.Kegunaan surfaktan antara lain untuk

menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan

kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi,

misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Surfaktan

sering diberi nama sesuai dengan tujuan penggunaannya contohnya pembasah

(wetting agent), pengemulsi (emulsion agent), dan bahan pelarut (solubilizing

agent) (Salager, 2002). Struktur surfaktan dapat dilihat pada Gambar 1

dibawah ini:

Gambar 1. Struktur surfaktan (a). Unimer surfaktan ; (b). Agregat surfaktan


Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan

jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul

surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan

minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga

mudah menyebar. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih

dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat

oleh minyak dibandingkan dengan air. Penambahan surfaktan dalam larutan

akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai

konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan walaupun konsentrasi

surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi konsentrasi ini

maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya

misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Ketika CMC tercapai

maka tegangan antarmuka menjadi jenuh dan membentuk misel yang berada

dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya (Genaro, 1990).

Surfaktan dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu

surfaktan yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air.

1. Surfaktan yang larut dalam minyak

Ada tiga senyawa yang termasuk dalam golongan ini, yaitu senyawa

polar berantai panjang, senyawa fluorokarbon dan senyawa silikon.

2. Surfaktan yang larut dalam pelarut air

Golongan ini banyak digunakan antara lain sebagai zat pembasah, zat

pembusa, zat pengemulsi, zat anti busa, detergen, pencegah korosi dan lain-
lain. Menurut Swern (1979) ada empat jenis surfaktan yang termasuk

golongan ini, yaitu:

a. Surfaktan anionik, molekul yang bermuatan negatif pada bagian

hidrofiliknya. Sifat hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan gugus

ionik yang sangat besar seperti gugus sulfat dan sulfonat.

b. Surfaktan kationik, senyawa yang bermuatan positif pada bagian

hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan garam ammonium, seperti

Quanternery Ammonium Salt (QUAT). Surfaktan kationik biasanya

berasal dari senyawa amina yang berantai panjang primer, sekunder,

tersier dan kuartener yang larut dalam pelarut pada semua pH.

c. Surfaktan nonionik, surfaktan yang tidak bermuatan atau tak terionisasi

dalam larutan. Sifat hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan gugus

oksigen eter atau hidroksil.

d. Surfaktan amfoterik yang bermuatan negatif dan positif bergantung pada

pH-nya. Pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi

akan bermuatan positif (Matheson, 1996).

Berdasarkan jumlah konsumsi surfaktan dunia, surfaktan anionik

merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan (50%), kemudian disusul

nonionik (45%), kationik (4%) dan yang paling sedikit penggunaannya adalah

surfaktan dari jenis amfoterik (1%) (Salager, 2002). Jenis surfaktan yang

dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan
karakteristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan

(Matheson, 1996).

2.1.2. Tegangan Antarmuka (IFT)

Tegangan antarmuka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang

diperlukan untuk memperluas antarmuka antara dua cairan immiscible

persatuan luas (Shaw, 1980). Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang

timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan, sedangkan tegangan antarmuka

adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Gaya ini

timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Dalam

satuan SI (Standard International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan

dengan mN/m atau dyne/cm.

Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan

sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul

yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi

adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak

sejenis.

Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada

molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara

dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan

dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase.

Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua


cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan

antarmuka (Georgiou et al., 1992).

Efek dari surfaktan pada fenomena antarmuka merupakan fungsi dari

konsentrasi surfaktan pada antarmuka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi

antarmuka didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum dimana surfaktan

dapat tertahan pada antarmuka. Sugihardjo (2002) menyatakan bahwa

efektifitas surfaktan dalam menurunkan IFT minyak-air dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi

surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi

larutan kosurfaktan.

Menurut Shaw (1980), IFT merupakan faktor penting pada proses EOR.

Surfaktan dapat menurunkan IFT antara fluida dengan fluida, fluida dengan

batuan, dan fluida dengan hidrokarbon. Disamping itu, surfaktan dapat

memecah tegangan antar muka dari minyak yang terikat dengan batuan,

mengurangi terjadinya water blocking dan mengubah sifat kebasahan

(wettability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang

bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan

demikian water cut dapat diturunkan (Mulyadi, 2000).

2.1.3. Sodium Lignosulfonat (SLS)

SLS termasuk surfaktan anionik, karena memiliki gugus sulfonat ((SO3-)

dan garamnya (NaSO3-) sebagai kepala dan gugus hidrokarbon sebagai ekor.

Struktur inilah yang menyebabkan meningkatnya sifat hidrofilitas SLS


sehingga mudah larut dalam air, dengan demikian penggunaan SLS menjadi

lebih luas (Collepardi, 2005). Struktur SLS dapat dilihat pada Gambar 2

berikut :

Gambar 2. Struktur SLS (Collepardi, 2005)

SLS dapat disintesis dari lignin melalui reaksi sulfonasi. Reaksi

sulfonasi merupakan reaksi yang melibatkan pemasukan gugus sulfonat ke

dalam lignin. Sulfonasi dimaksudkan untuk mengubah sifat hidrofilisitas lignin

yang kurang polar menjadi garam lignosulfonat yang lebih polar dengan cara

memasukkan gugus sulfonat dan garamnya ke dalam gugus hidroksil lignin,

sehingga garam lignosulfonat tersebut memiliki struktur sebagai surfaktan.

Lignosulfonat merupakan surfaktan alami yang banyak digunakan di

industri. Penggunaan lignosulfonat sangat beragam, yaitu sebagai penstabil

dalam industri pengeboran minyak, pelarut dalam industri tekstil, emulsifier

dalam pembuatan pelumas, bahan perekat dan bahan pendispersi untuk papan

gipsum, bahan aditif untuk media kultur, sebagai plasticizer pada adonan

beton, sebagai water reducingadmixture dan juga sebagai retarder.

Sifat lignosulfonat yang larut dalam air menjadikan lignosulfonatjuga

digunakan sebagai bahan admixture, yaitu untuk membantu proses pengadukan

dalam cement mill dan membuat konstruksi bangunan menjadi lebih kokoh
karena lignosulfonat juga merupakan binding agentyang baik. Menurut

Gargulak dan Lebo (2000), produksi lignosulfonat di seluruh dunia

diperkirakan 8,9 x 105ton/tahun dan sekitar 50% digunakan sebagai bahan

admixture. Besarnya penggunaan lignosulfonat sebagai admixtureuntuk beton

dan semen, yaitu sekitar 4,45 x 105 ton/tahun dikarenakan keunggulan yang

dimiliki lignosulfonat dibandingkan surfaktan lain. Keunggulan tersebut, yaitu

lignosulfonat secara esensial tidak bersifat toksik dan berasal dari bahan alami

sehingga dapat diperbaharui, dibandingkan surfaktan sintetik dan surfaktan

yang berbasis petrokimia. Jenis polimer sintetik dan surfaktan yang berbasis

petrokimia yang dapat digantikan dengan lignosulfonat adalah naftalena

formaldehida sulfonat atau Sulphonated Naphtalene Formaldehyde (SNF) dan

melamin formaldehida sulfonat atau Sulphonated Melamine Formaldehyde

(SMF).

2.1.4. Asam Risinoleat

Asam risinoleat atau asam 12-hidroksi-9-oktadekanoat

(C17H32OHCOOH) merupakan asam lemak jenuh monohidroksi yang menjadi

komponen utama dalam minyak jarak (Castor oil) dengan kandungan

mencapai 87 % (Swern, 1979). Kandungan asam risinoleat yang tinggi dalam

minyak jarak menyebabkan minyak jarak tergolong dalam minyak yang

memiliki jenis asam lemak yang mudah berubah (Guner, 1997). Hal ini

dikarenakan asam risinoleat pada minyak jarak memiliki ikatan rangkap dan

dua gugus aktif, yaitu gugus hidroksil dan gugus karboksil (Ramamurthi et al.,
1998). Gugus hidroksil yang berada pada posisi atom C12mengakibatkan asam

risinoleat bersifat lebih polar dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Pada

penggunaannya, gugus hidroksil tidak jenuh ini sering diubah menjadi gugus

fungsi reaktif lainnya.

Untuk memisahkan asam risinoleat dengan asam lemak lainnya yang

masih berada dalam bentuk trigliseridanya maka terlebih dahulu minyak jarak

dimetilesterkan secara esterifikasi maupun intereterifikasi. Dan selanjutnya

metil risinoleat yang bercampur dengan metilester asam lemak lainnya dapat

dipisahkan dengan kromatografi kolom (Manurung, 2008). Asam risinoleat

umumnya digunakan sebagai minyak pelumas karena memiliki viskositas

(kekentalan) yang cukup tinggi. Struktur senyawa asam risinoleat dapat dilihat

pada Gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3. Molekul Asam Risinoleat (Miller and Newel, 1988)

2.1.5. Epoksidasi

Epoksidasi merupakan reaksi antara asam peroksi organik dan senyawa

yang berikatan rangkap (termasuk asam lemak tak jenuh atau minyak

mengerak (drying oil) untuk membentuk senyawa oksirana (epoksidasi).

Ketegangan cincin dalam molekul membuat epoksidasi lebih reaktif

daripadaeter lainnya. Reaksi epoksidasi penting dalam sintesis organik,


karenaepoksidasi yang terbentuk merupakan zat antara yang dapat dikonversi

menjadi beraneka ragam produk, salah satunya adalah surfaktan (Wisewan,

1983).

Menurut Rios (2003), pada dasarnya terdapat 4 metode epoksidasi, yaitu

dengan asam perkarboksilat, dengan peroksida organik dan anorganik, dengan

halohidrin, dan dengan molekul oksigen. Metode pertama umum digunakan di

industri, dan dapat dikatalisis oleh asam atau enzim. Metode kedua meliputi

epoksidasi alkali dan nitril oleh hidrogen peroksida serta epoksidasi berkatalis

logam transisi. Metode ketiga menggunakan asam hipohalogen (HOX) dengan

garamnya sebagai reagen, dan epoksidasi olefin dengan defisiensi elektron

ikatan rangkap. Metode keempat yakni epoksidasi dengan menggunakan

molekul oksigen, untuk minyak nabati jarang digunakan karena dapat

menyebabkan degradasi dari minyak menjadi senyawa yang lebih kecil seperti

aldehid dan keton atau asam dikarboksilat berantai pendek sehingga oksidasi

dengan O2 metode yang tidak efisien untuk epoksidasi minyak nabati (Goud,

2006). Dari keempat metode tersebut, metode pertama dan kedua paling sering

digunakan karenalebih bersih dan efisien.

Asam peroksi dibentuk melalui interaksi antara asam karboksilat dan

hidrogen peroksida. Reaksi dapat dipersingkat dengan menggunakan hidrogen

peroksida yang berlebih (Gall dan Greenspan, 1965). Reaksi epoksidasi dapat

dilakukan melalui 2 cara yaitu pembentukan asam peroksi yang selanjutnya

digunakan untuk reaksi epoksidasi dan reaksi epoksidasi secara in-situ. Proses
epoksidasi yang dilakukan secara in-situ lebih aman jika dibandingkan dengan

reaksi epoksidasi melalui pembentukan asam peroksi, selain itu dapat

mengurangi pemakaian hidrogen peroksida dan lebih hemat biaya. Reaksi

epoksidasi dapat dilihat pada Gambar 4.

O O

R C OH + H2O2 R C O OH + H2O
Asam karboksilat Peroksida Asam Peroksi

O H H O

R C O OH + C C C C + R C OH

H H O

Asam Peroksi Olefin Epoksida Asam karboksilat

Gambar 4. Reaksi epoksidasi (Goud et al., 2006)

2.1.6. Kosurfaktan

Dalamkebanyakan kasus, surfaktan dalam keadaan sendiri tidak dapat

menurunkan tegangan antarmuka air-minyak secara cukup untuk menghasilkan

sebuah mikroemulsi. Dibutuhkan penambahan sebuah molekul amfifilik rantai

pendek atau kosurfaktan untuk membawa tegangan antarmuka mendekati nol.

Kosurfaktan adalah molekul non ionik yang ditambahkan pada

surfaktan untuk menetralkan efek tolak menolak di antara gugus hidrofilik

surfaktan sehingga tahap pembentukan lapisan antara misel dan mikroemulsi

dapat terjadi secara terus menerus (Dantas et al., 2003).


Senyawa yang biasa digunakan sebagai kosurfaktan merupakan

golongan alkohol rantai pendek (C3-C8) dan amina (Dantas et al., 2003). Pada

beberapa kasus, penambahan kosurfaktan (alkohol) dapat menghasilkan IFT

rendah ( 0,01 mN/m ), hal ini disebabkan karena molekul alkohol yang masuk

ke monolayer surfaktan mengubah lekukan atau kekakuan (Strey and

Jonstromer, 1992). Ketika nilai IFT rendah ditentukan untuk membuat

mikroemulsi, konsentrasi surfaktan yang dibutuhkan dapat dikurangi dengan

menambahkan sejumlah kecil kosurfaktan, dengan konsentrasi total surfaktan

dan kosurfaktan yang lebih kecil daripada konsentrasi surfaktan saja (Tuin,

1995).

Dalam banyak kasus, penambahan kosurfaktan diperlukan untuk

menghasilkan sistem termodinamika stabil. Rasio antara surfaktan dan

kosurfaktan sangat penting untuk menstabilkan sistem termodinamika. Panjang

rantai alkil kosurfaktan, komposisi fase minyak dan rasio surfaktan dalam

formulasi, secara langsung mempengaruhi pembentukan dan sifat-sifat

mikroemulsi (Resende et al., 2008). Pembentukan mikroemulsi dalam proses

EOR merupakan cara yang efisien untuk mengambil sisa minyak dari reservoir.

IFT ultra-low dapat diperoleh dengan membuat mikroemulsi menggunakan

larutan garam, minyak, surfaktan dan kosurfaktan, dimana perilaku fase

campuran surfaktan, larutan garam, alkohol dan minyak merupakan


faktorpenting dalam memperkirakan kinerja EOR melalui proses injeksi

(Lestari, 2006).

2.1.7. Tahap Recovery Minyak Bumi

Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga fase,

yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase

tersier (tertiary phase).

Fase primer merupakan fase dimana proses produksi minyak tergantung

kepada kandungan energi alamireservoir yaitu tekanan alami dari reservoir

(natural flow) (Gomma, 1997). Menurut Sumotarto (1997), tekanan alami

reservoir dapat berasal dari tekanan gas yang terlarut dalam fluida minyak

(solution gas drive), kolom air di bawah lapisan minyak (water drive), atau

tekanan dari lapisan batuan yang berada di atasnya (overburden pressure).

Adanya energi alami reservoir memungkinkan minyak untuk keluar dengan

sendirinya dari sumur.

Fase sekunder dalam recovery minyak bumi merupakan fase dimana

sudah melibatkan penginjeksian material kedalam reservoir. Teknik yang

umum diterapkan dalam fase ini adalah water flooding, yang menggunakan

sumur injektor untuk memasukkan air dalam jumlah besar ke dalam reservoir

guna menjaga tekanan dan menyapu minyak ketika air bergerak melalui

reservoir.

Fase tersier merupakan fase dimana diterapkannya metode EOR

(Gomma, 1997). Menurut Thamrin dan Sudibjo (1992), EOR merupakan usaha
untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi yang sudah tidak

produktif lagi pada tahap produksi pertama. Skema recovery minyak bumi

ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir perolehan kembali minyak bumi (Lake et al., 1995)

Metode EOR dilakukan dengan menginjeksikan material selain air

kedalam batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih
terkandung didalam batuan reservoir, yang pada umumnya berupa residual

oildan by-passedoil.Residual oil merupakan butir-butir minyak yang tersisa

karenaterperangkap di dalam pori-pori batuan (saturasi minyak tersisa). By-

passed oil merupakan kandungan minyak di dalam bagian dari reservoir yang

tidak tersapu dan terjangkau oleh injeksi air pada tahap sekunder. Berdasarkan

material yang diinjeksikan, metode EOR dikelompokkan kedalam empat

kelompok, yaitu metode termal (air panas, uap panas, dan panas hasil

pembakaran), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-

miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, dan campuran gas

alam), dan metode lainnya (mikroba, listrik,mekanis). Meskipun metode EOR

kadang disebut sebagai recovery tertiary, namun beberapa metode EOR dapat

diterapkan setelah fasa primer atau bahkan saat proses pencarian minyak

(discovery) (Gomma,1997).

Menurut Allen dan Roberts (1993), karakteristik minyak dan reservoir

perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode EOR, supaya memenuhi target

yang hendak dicapai. Sebagai gambaran, reservoir yang dangkal tidak cocok

bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi sehingga dapat

beresiko merusak formasi dan akan menimbulkan semburan liar.

2.1.8.Pendesakan Minyak Bumi Menggunakan Surfaktan (Surfactant


Flooding)

Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut

dengan surfactant flooding. Proses ini dikategorikan ke dalam proses tersier


produksi minyak bumi. Nummedal et.al. (2003) menyatakan bahwa

peningkatan perolehan minyak bumi dapat dilakukan dengan cara

menambahkan surfaktan kedalam air injeksi. Dalam surfactant flooding,

karakteristik air yang diinjeksikan kedalam sumur minyak bumi harus

sesuai dengan karakteristik air formasi. Demikian pula dengan

penginjeksian surfaktan, disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang

telah ada di dalam reservoir minyak bumi.

Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah

surfaktan diinjeksikan adalah sebagai berikut: surfaktan memiliki gugus dasar

hidrokarbon dan berikatan pada ujung dengan senyawa anorganik (SO3).

Rumus kimia surfaktan adalah R–SO3H, dengan gugus R merupakan gugus

rantai hidrokarbon. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi

RSO3-dan H+. Bila ion molekul RSO3-kontak dengan senyawa yang bersifat

nonpolar (minyak), maka gugus R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi

(surfaktan-minyak), sedangkan pada molekul surfaktan itu sendiri akan bekerja

gaya kohesi antar RSO3-. Pengaruh gaya adhesi ini akan mengurangi harga

resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antar

permukaan minyak dengan air akan menurun. Selain itu, terjadi gaya tolak-

menolak antara kepala surfaktan yang bermuatan negatif (RSO3-) dengan

sandstone yang bermuatan negatif karena mengandung senyawa silika (SiO2-).

Gaya tolak-menolak ini mengakibatkan surfaktan yang mengikat minyak pada

bagian gugus R akan bergerak menjauh dari batuan dan ini akan
mengakibatkan wettability batuan berubah menjadi suka air (water

wet)(Ashayer et al.,2000).

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam aplikasi surfactant

floodingadalah formulasi, biaya, ketersediaan bahan, dampak lingkungan, serta

harga minyak bumi dipasar. Menurut Nasiri (2011) agar pemanfaatan surfaktan

lebih efektif, beberapa kriteria harus dipenuhi yaitu surfaktan yang digunakan

harus dapat menghasilkan IFT ultra low dan harus cukup sederhana pada saat

disintesis untuk diproduksi secara komersial dan bersifat ramah lingkungan.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Reaksi Epoksidasi

Epoksidasi merupakan reaksi pembentukan gugus oksiran oleh asam

peroksi (perasam) dengan senyawa olefin dan ikatan aromatis. Asam peroksi

dibentuk melalui reaksi antara asam karboksilat dan hidrogen peroksida.

Reaksi ini dapat dipersingkat dengan menggunakan hidrogen perksida berlebih.

Reaksi epoksidasi dapat dilakukan melalui 2 metode, yang pertama asam

perasetat dibuat terlebih dahuludengan mereaksikan asam asetat dengan

hidrogen yang selanjutnya digunakan untuk reaksi epoksidasi. Metode kedua

adalah reaksi epoksidasi secara in-situ, dimana asam perasetat dibuat serentak

dengan reaksi epoksidasinya (Gan etal., 1992). Reaksi epoksidasi secara in-

situsering digunakan karena lebih aman dan sedikit dalam pemakaian hidrogen

peroksida (Yadav dan Satroska, 1997). Reaksi epoksidasi dilakukan pada jenis
reaktor batch (Escrig, et al., 1998), dengan persamaan reaksi epoksidasi

disajikan pada persamaan (1) dan (2).

O
k1
H3C C OOH + H2O (1)
CH3COOH + H2O2
k2
A B C D

O R1 R2
k3
H3C C OOH + C C R1 C C R2 + CH3COOH (2)

H H O
C E F A

Keterangan:
R1 = C8H15(OH)
R2 = C7H14
A = Asam Asetat
B = Hidrogen Peroksida
C = Asam Parasetat
D = Air
E = Asam Risinoleat
F = Senyawa Epoksi

2.2.2. Reaksi Modifikasi Senyawa Epoksi dan SLS

Reaksi epoksi dengan SLS dimaksudkan untuk menaikkan kelarutan

surfaktan didalam minyak. Sehingga diharapkan akan memperoleh nilai IFT

rendah antara minyak dan air. Cincin oksiran pada epoksida akan terbuka dan

mengikat hidrogen pada SLS. Mekanisme reaksi modifikasi SLS-epoksida

ditunjukkan pada Gambar 7.


ONa
HO HO
O S O

O
R1
O H O

R1

Gambar 7. Mekanisme reaksi modifikasi SLS – Epoksida (Ariska, 2011)

2.2.3. Reaksi SLS termodifikasidengan kosurfaktan

Reaksi SLS termodifikasi dengan kosurfaktan bertujuan untuk

meningkatkan kinerja SLS dalam menurunkan IFT sehingga dapat

diaplikasikan dalam proses EOR. Mrunali dalam tulisannya menyatakan bahwa

kosurfaktandalam menurunkan tegangan antarmuka diilustrasikan sebagai

molekul-molekul kecil yang menempati ruang-ruang kosong yang terdapat

diantara molekul surfaktan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.


Gambar 8. Kinerja kosurfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan

2.2.4. Kinetika Reaksi Epoksidasi

Reaksi epoksidasi dari asam risinoleat dapat dilihat pada persamaan (1)

dan (2). Persamaan (1) merupakan pembentukan asam parasetat secara in-situ

dimana asam ini akan digunakan untuk mengoksidasi ikatan rangkap yang ada

pada asam risinoleat sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (2).

Rate of Input – Rate of output = Rate of accumulation

𝑑 (𝑉𝜌)
0−0= (3a)
𝑑𝑡

𝑑𝑉
= 0(3b)
𝑑𝑡

Neraca Massa komponen A :

Rate of Input – Rate of output – Rate of reaction = Rate of accumulation

𝑑 (𝐶𝐴 𝑉)
0 − 0 − (−𝑟𝐴 ) 𝑉 = (4)
𝑑𝑡

Dari hasil perhitungan didapat :

𝑑 (𝐶𝐴 )
= 𝑟𝐴 (5)
𝑑𝑡

Sama dengan komponen A, neraca massa untuk komponen lainnya :


𝑑 (𝐶𝐵 )
= 𝑟𝐵 (6)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐶 )
= 𝑟𝐶 (7)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐸 )
= 𝑟𝐸 (8)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐹 )
= 𝑟𝐹 (9)
𝑑𝑡

2.2.5. Permodelan Matematis

Reaksi epoksidasi adalah reaksi heterogen antara fase cair (asam

peroksi) dan fase minyak (asam risinoleat). Asam peroksi akan mendifusi

melalui lapisan film dan bereaksi di badan utama fase minyak. Namun, karena

pengadukan yang cepat maka reaksi dianggap homogen. Pengadukan

menyebabkan semakin kecilnya lapisan film fase cair sehingga koefisien

transfer massa nilainya semakin besar. Maka dapat diasumsikan bahwa

kecepatan reaksi yang mengontrol proses.

Persamaan kecepatan reaksinya adalah :

Reaksi 1 : r1 = k1. CAa. CBb–k2.Ccc.CDD (10)

Reaksi 2 : r2= k3. CCc. CEe (11)

Persamaan kecepatan reaksi untuk masing-masing komponen dapat dituliskan :

rA = - rC = - r1 + r2 (12)

rB = - rD = - r1 (13)

rE = -rF = -r2 (14)


Substitusi persamaan (12) – (14) ke persamaan (5) – (9) sehingga didapatkan :

𝑑 (𝐶𝐴 )
= −𝑟1 + 𝑟2 (15)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐵 )
= −𝑟1 (16)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐶 )
= 𝑟1 − 𝑟2 (17)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐷 )
= 𝑟1 (18)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐸 )
= −𝑟2 (19)
𝑑𝑡

𝑑 (𝐶𝐹 )
= 𝑟2 (20)
𝑑𝑡

Data eksperimen diperoleh dalam bentuk konversi asam risinoleat yang

diperoleh dari hasil analisis bilangan iodin. Dalam perhitungan, dihitung %

kesalahan relatif sebagai selisih antara konversi asam risinoleat model dan

asam risinoleat data, % kesalahan realtif dapat dihitung dengan persamaan

dibawah ini :

𝑋𝑟𝑖𝑠𝑖𝑛𝑜𝑙𝑒𝑎𝑡,𝑑𝑎𝑡𝑎− 𝑋𝑟𝑖𝑠𝑖𝑛𝑜𝑙𝑒𝑎𝑡,𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙
% 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = 𝑥 100%
𝑋𝑟𝑖𝑠𝑖𝑛𝑜𝑙𝑒𝑎𝑡,𝑑𝑎𝑡𝑎

Nilai k yang dihasilkan, dinyatakan dalam persamaan Arrhenius berikut :

−𝐸
𝑘 = 𝐴 exp ( )
𝑅𝑇

Dimana k adalah konstanta kecepatan reaksi, A adalah faktor frekuensi

tumbukan, E adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas ideal dan T adalah

suhu reaksi.
2.3. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :

1. Modifikasi senyawa epoksi dari asam risinoleat dapat meningkatkan

kemampuan SLS termodifikasi dalam menurunkan IFT

2. Peningkatan suhu dapat meningkatkan kinerja SLS termodifikasi dalam

menurunkan IFT

3. Penambahan kosurfaktan dapat meningkatkan kinerja SLS

termodifikasi dalam menurunkan IFT.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bahan dan Alat

3.1.1. Bahan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Minyak jarak (Custer Oil)

2. Etanol (C2H5OH)

3. Natrium Hidroksida (NaOH)

4. Natrium Klorida (NaCL)

5. Sodium lignosulfonat (SLS)

6. Hidrogen peroksida (H2O2)

7. Asam sulfat (H2SO4)

8. Asam Asetat (CH3COOH)

9. Kosurfaktan : isopropil dan isoamil alkohol

10. Aquades

11. Kloroform (CHCl3)

12. Kalium iodida (KI)

13. Natrium tiosulfat (Na2S2O3)

14. Larutan wijs

15. Larutan pati


3.1.2. Alat Penelitian

Rangkaian alat yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada

Gambar 9. Reaktor yang digunakan berupa labu leher tiga yang dilengkapi

dengan magnetic stirrer, water bath, termometer dan pendingin balik.

Keterangan Gambar
1. Pemanas Listrik
2. Labu leher 3
3. Termometer
4. Waterbath
5. Stirrer
6. Thermocouple
7. pendingin balik

Gambar 9. Rangkaian Alat Penelitian

3.2. Prosedur Penelitian

3.2.1. Pembuatan Sabun

1. Sebanyak 10 mL minyak jarak dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer

250 mL dan dipanaskan pada suhu 160oC

2. Ditambahkan secara perlahan-lahan campuran 10 mL NaOH 1 M dan

10 mL etanol sambil diaduk

3. Ditambahkan larutan NaCl jenuh

4. Didiamkan selama beberapa hari dan disaring


5. Dicuci dengan aquades

3.2.2. Pembuatan Senyawa Epoksida

1. Sabun, hidrogen peroksida, asam sulfat, asam asetat, dan stirrer

dimasukkan dalam labu leher tiga lalu dipanaskan pada suhu (60, 70

dan 80oC) selama 30, 60, 90 dan 120 menit.

2. Hasil reaksi dicuci dengan aquadespanas untuk menghilangkan sisa

asamnya lalu dipisahkan dengan corong pisah

3.2.3. Pembuatan Formula surfaktan

1. Senyawa epoksi, SLS, kosurfaktan dan air formasi dimasukkan dalam

gelas erlenmeyer 100 mL dengan formulasi sebagai berikut :

Komposisi 1 % (b/b)
SLS Epoksi Isopropil Isoamil Air Formasi
Jenis Formula (g) (g) (g) (g) (g)
Formula A 0,3 - - - 29,7
Formula B 0,15 0,15 - - 29,7
Formula C 0,15 0,12 0,03 - 29,7
Formula D 0,15 0,12 - 0,03 29,7

2. Setelah bahan dicampurkan kemudian di gojog, dipanaskan pada

suhu 70oC sambil di stirrer selama 3 jam

3. Disaring dan diukur IFTnya

3.3. Analisis Hasil Penelitian

3.3.1. Bilangan Iodin (AATM 112-01)

1. Timbang sampel dalam Erlenmeyer 250 mL dengan perkiraan sampel


Perkiraan Bilangan Iodin Berat Sampel

0 – 30 0,8 (± 0,1) g
30 - 50 0,5 (± 0,1) g
50 – 100 0,25 (± 0,1) g
100 -150 0,16 (± 0,1) g

2. Tambahkan 10 ml kloroform, aduk hingga bercampur (50 % larutan

tidak akan bercampur sempurna sampai ditambahkan larutan wijs)

3. Tambahkan 25 ml larutan wijs, aduk hingga rata

4. Pada saat yang bersamaan siapkan larutan blangko yang terdiri dari 10

ml kloroform dan 25 ml larutan wijs

5. Setelah 1 jam tambahkan 10 ml kalium iodida 10 %

6. Tambahkan 100 ml aquadest, kemudian langsung dititrasidengan

natrium tiosulfat 0,1 N sampai warna kuning hilang.

7. Tambahkan 3 ml larutan pati dan lanjutkan titrasi sampai warna biru

pada permukaan larutan menghilang.

8. Akhiri titrasi sampai seluruh warna biru pada larutan hilang

Perhitungan

𝐵𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑜𝑑𝑖𝑛

𝑚𝑙 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑔𝑘𝑜 − 𝑚𝑙 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 𝑁 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 𝑥 12,69


=
𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Konversi asam risinoleat dihitung dari :

𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑜𝑑𝑖𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑜𝑑𝑖𝑛 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 =
𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑜𝑑𝑖𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙

(AOAC Method).

3.3.2. Uji Interfacial Tension (IFT)

Menggunakan Metode Putaran Kapiler dimana cairan dimasukkan

kedalam suatu kapiler secara horizontal kemudian diputar dengan kecepatan

putaran tertentu. Zat cair akan memanjang, dengan mengukur perpanjangan

ini, maka tegangan muka zat cair dapat ditentukan dengan metode ini.

Rangkaian alat IFT disajikan pada Gambar 10 berikut :


Keterangan Gambar :
1. Trafo
2. Skala Pemutar Pipa
3. Pipa Kapiler
4. Kamera
5. Gelembung minyak
6. Saklar
7. Alat Pengukur Putaran
8. Alat Penyumbat
9. Thermocouple
10. Komputer
Gambar 10. Rangkaian Alat IFT
Perhitungan

a. Perhitungan IFT

2 𝑥 𝑅3 𝑥 (𝜌𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑘𝑡𝑎𝑛 − 𝜌𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 )
𝜎 = ,  = 2N
4
Dengan 𝜎 = tegangan antarmuka ( mN/m)

N = kecepatan putaran (rps)

 = densitas (g/mL)

R = ½ tinggi droplet (cm)

b. Perhitungan Densitas

Densitas masing-masing surfaktan dihitung menggunakan piknometer

Massa surfaktan
𝜌𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑘𝑡𝑎𝑛 =
Volume piknometer

Masssa surfaktan = (m. surfaktan + piknometer) – (m. piknometer

kosong)

3.4. Parameter penelitian

Parameter yang ditinjau dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Parameter berubah :

1. Suhu pemanasan = 60oC, 70oC, 80oC

2. Waktu pemanasan = 0,5 ; 1 ; 1,5 ; 2 jam

3. Perbandingan reaktan (CH3COOH/H2O2)= 1 : 0,2, 1: 0,6, 1:1,15,

1: 5,15

b. Parameter tetap

1. Konsentrasi reaktan

2. Volume total = 30 mL

3. Waktu reaksi = 3 jam

4. Kecepatan pengadukan = 500 rpm


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Saponifikasi (Penyabunan)

Dalam penelitian ini, pembuatan senyawa epoksidadidahului dengan

proses saponifikasi minyak jarak (Custor oil). Dalam proses saponifikasi,

minyak jarak direaksikan dengan natrium hidroksida dan etanol, kemudian

dipanaskan pada suhu 160oC sambil diaduk. Saponifikasibertujuan untuk

mengubah sifat minyak jarak yang cenderung hidrofobik menjadi “semi

hidrofobik”. Pada akhir proses saponifikasi, dilakukan penambahan natrium

klorida untukmengendapkan sabun. Reaksi saponifikasi adalah sebagai berikut:

O O
H2C O C R1 H2C OH R1 C O Na

O O
HC O C R2 + 3 NaOH HC OH + R2 C O Na
O O
H2C O C R3 H2C OH R3 C O Na

Trigliserida Basa Gliserol Sabun


(Minyak)

Gambar 11. Reaksi Saponifikasi

Sabun yang dihasilkan dari proses saponifikasi, kemudian diidentifikasi

gugus fungsinya melaluianalisis FTIRdan dibandingkan dengan spektrum

FTIR minyak jarakyang telah dianalisis lebih dulu. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui perubahan struktur kimia yang terjadi setelah proses saponifikasi.


Hasil analisis FTIR minyakjarak dan sabun ditunjukkan pada Gambar.12

berikut.

%
T
b

1/cm
m
Gambar 12. Hasil Analisis FTIR (a) Minyak Jarak dan (b) Sabun

Hasil analisis FTIR minyak jarak dan sabun memperlihatkan spektrum

yang berbeda. Pada spektrum sabun, terjadi peningkatan intensitas pada

panjang gelombang 3300-3400 cm-1 yang berasal dari vibrasi ulur gugus –OH,

hal ini mengindikasikan bahwa sifat hidrofilik dari minyak jarak telah

mengalami peningkatanketika ditransformasi menjadi sabun. Selain itu

pergeseran bilangan gelombang 1744 cm-1 menjadi 1742 cm-1 mengindikasikan

bahwa telah terjadi pemutusan ikatan rangkap pada gugus C=O akibat proses

saponifikasi, akibatnya terjadi peningkatan gugus C-O yang ditandai dengan

bergesernya bilangan gelombang 1165cm-1 menjadi 1172 cm-1. Munculnya


peak baru pada panjang gelombang 1648 cm-1 dan 1561 cm-1mengindikasikan

keberadaan gugus C=C.

4.1. Pembuatan Senyawa Epoksida

Asam risinoleat merupakan komponen utama dari minyak jarak (Custor

Oil) sehingga dapat diasumsikan bahwa sabun yang dihasilkan adalahasam

risinoleat. Sabun yang diperolehkemudian direaksikan dengan hidrogen

peroksidadanasam asetat dengan perbandingan

konsentrasiCH3COOH/H2O2yakni 1 : 0,2 ; 1 : 0,6 ; 1 : 1,5 dan 1 : 5,15, serta

penambahan asam sulfat sebesar 6,7%. Larutan kemudiandirefluks dan

dipanaskan pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC selama 30, 60, 90 dan 120 menit.

Dalam reaksi epoksidasi, asam risinoleatberperan sebagai asam lemak

(unsaturated), hidrogen peroksidasebagai donor oksigen, asam asetat sebagai

pembawa oksigen dan asam sulfat sebagai katalis.Reaksi yang terjadi dalam

reaksi epoksidasi adalah sebagai berikut :

O
k1
H3C C OOH + H2O (1)
CH3COOH + H2O2
k2
A B C D

O R1 R2
k3
H3C C OOH + C C R1 C C R2 + CH3COOH (2)

H H O
C E F A

Gambar 13. Reaksi Epoksidasi


Senyawa epoksida yang diperoleh kemudian diidentifikasi gugus

fungsinya dan dibandingkan dengan spektrum FTIR sabun. Hasil analisis FTIR

sabun dan senyawa epoksida ditunjukkan pada Gambar.14 berikut.

%T

1/cm
Gambar 14. Hasil analisis FTIR (a) Sabun dan (b)Senyawa epoksida

Hasil analisis FTIR sabun dan senyawa epoksida menunjukkan

adanyapergeseranbilangan gelombang yakni dari bilangan gelombang 3446

cm-1menjadi 3464,15 cm-1 yang mengindikasikan terjadinya peningkatan gugus

OH, bilangan gelombang 1742,76 cm-1 menjadi 1728,22 cm-1

yangmengindikasikan telah terjadi pemutusan ikatan rangkap pada gugus C=O.

Pemutusan ikatan rangkap pada gugus C=O menyebabkanterjadi peningkatan

gugus oksiran (C-O-C) yang ditandai dengan pergeseran bilangan


gelombangdari1239,32 cm-1menjadi 1242,16 cm-1dan 861,11 cm-1 menjadi

864,11 cm-1.

4.2. Pengaruh Senyawa Epoksida Terhadap SLS Dalam Menurunkan


Tegangan Antarmuka

Surfaktan SLS termodifikasi dibuat dengan melarutkan SLS dan senyawa

epoksida dalam air formasi. Konsentrasi surfakan SLS dan senyawa epoksida

dibuat 1% terhadap air formasi. Selanjutnya larutan dipanaskan pada suhu

70oCselama 3jam dengan kecepatan pengadukan 500 rpm. Surfaktan SLS

termodifikasiyang dihasilkan kemudian diidentifikasi gugus fungsinyadan

dibandingkan dengan spektrumsenyawa epoksida dan SLS murni.Hasil analisis

FTIR senyawa epoksida, SLSmurni dan SLS termodifikasi ditunjukkan pada

Gambar. 15 berikut.

%T
b

1/cm
Gambar 15. Hasil Analasis FTIR (a) Epoksida, (b) SLS dan (c) SLS
Termodifikasi

Hasil analisis FTIR SLS termodifikasi terlihat seperti gabungan

spektrum senyawa epoksida dan SLS murni. Namunjika spektrum SLS

termodifikasi dibandingan dengan spektrum senyawa epoksida akan terlihat

beberapaperbedaan yang signifikan, diantaranya pada spektrum SLS

termodifikasi tidak muncul pita ester (C=O) pada panjang gelombang 1728,22

cm-1 dan pita oksiran (C-O-C) pada panjang gelombang 1242 cm-1. Hal ini

mengindikasikan bahwa gugus ester dan gugus oksiran telah mengalami

interaksidengan SLS sehingga serapannya tidak dapat teridentifikasi. Selain itu,

bergesernya bilangan gelombang dari 1550,77 cm-1 menjadi 1573,91 cm-1yang

berasal dari gugus C=C dan 2931,80 cm-1 menjadi 2924,09 cm-1 yang berasal

dari gugus C-H, mengindikasikan bahwa telah terjadi interaksi antara SLS

dengan senyawa epoksida. Peak yang muncul pada bilangan gelombang

1126,43 mengindikasikan keberadaan gugus S=O dalam SLS termodifikasi.

SLS merupakan surfaktan yang memiliki kemampuan rendah dalam

menurunkan tegangan antarmuka, ini terlihat dari nilai IFT yang dihasilkan

yakni sebesar 4,4061 mN/m, nilai ini jauh dari nilai IFT yang diharapkan yakni

mencapai 1.10-3 mN/m. Oleh karena itu, dengan adanya penambahan senyawa

epoksida diharapkan mampu meningkatkan kemampuan SLS dalam

menurunkan tegangan antarmuka. Hasil pengukuran nilai IFT SLS


termodifikasi pada berbagai perbandingan konsentrasi CH3COOH/H2O2dengan

variasi suhu ditunjukkan pada Gambar. 16 berikut.

0.6

0.465064 0.487714 0.47632


0.5
0.463187
Interfacial Tension (mN/m)

0.448472 0.433384
0.4 0.427703 0.429437 1 : 0.2
(a) 1 : 0.6
0.3
1 : 1.5
0.172179 0.197611 0.203414
0.2 1 : 5.15
0.172179
0.176009
0.1 0.09743 0.158483 0.137934

0
30 60 90 120
Waktu (Menit)

0.6
1 : 0.2

0.5 1 : 0.6
1 : 1.5
InterFacial Tension (mN/m)

1 : 5.15
0.4

0.296805 0.324675
0.307815
0.3
0.258765 0.268765
(b)
0.2 0.226944
0.176123 0.186086

0.1
0.066233
0.047336 0.03497 0.047336
0 0.007822 0.004998 0.00625 0.00911
30 60 90 120
Waktu (Menit)
0.6
1 : 0.2
0.5 1 : 0.6
Interfacial Tension (mN/m)

1 : 1.5
0.4 1 : 5.15

(c) 0.3 0.252111


0.235859 0.219673
0.228597
0.2 0.164955 0.1911
0.158495 0.146086
0.1 0.0657993 0.076986 0.08579
0.066233
0.03453 0.04188 0.03716
0.047233
0
30 60 90 120
Waktu (Menit)

Gambar16. Grafik Hubungan antara SLS Termodifikasi Vs WaktuPada Suhu


a). 60oC b). 70oC dan c). 80oC

Gambar. 16menunjukkan bahwa perbandingan

konsentrasiCH3COOH/H2O2memberikan pengaruh terhadap reaksi epoksidasi.

Pengaruh ini dapat dilihat dari nilai IFT yang diperoleh. Perbandingan

konsentrasi CH3COOH/H2O2pada perbandingan 1 : 0,2, 1 : 0,6 dan 1 : 1,5,

menunjukkan nilai IFT yang semakin menurun. Nilai IFTsangat bergantung

dari jumlah konversi asam risinoleat menjadi senyawa epoksida yang

dihasilkan. Semakin besar konversi asam risinoleat menjadi senyawa epoksida


maka semakin rendah nilai IFT yang diperoleh. Hal ini dikarenakan semakin

banyaknya SLS yang berikatan dengan senyawa epoksida, sehingga

kemampuan SLS dalam menurunkan tegangan antarmuka semakin meningkat.

Peningkatan konsentrasi CH3COOH/H2O2dapat meningkatkanlaju

reaksi, halinidikarenakan frekuensi terjadinya tumbukanantaramolekul-

molekulyang bereaksi semakin besar (Ganet.al,1992). Peningkatan laju reaksi

ini menyebabkan meningkatnya jumlah konversi asam risinoleat menjadi

senyawa epoksida. Namun pada perbandingan CH3COOH/H2O21 : 5,15,jumlah

konversi asam risinoleatyang diperoleh justru mengalami penurunan, sehingga

berdampak pada kenaikan nilai IFT. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

terbukanya cincin oksiran pada senyawa epoksida akibat terjadinya reaksi

samping. Reaksi samping ini menyebabkan munculnya produk baru yang tidak

diharapkan, sehingga mengganggu reaksi epoksidasi yang berdampak pada

penurunan konversi asam risinoleat menjadi senyawa epoksida. Reaksi

samping dalam reaksi epoksidasi dapat dilihat pada Gambar.17.

Dari Gambar. 16dapat dilihat bahwa pada suhu 70oC, nilai IFT surfaktan

termodifikasi mengalami peningkatan dibandingkan pada suhu

60oC.Peningkatan suhu dapat meningkatkan kecepatan reaksi sehingga

mempercepat terbentuknya senyawa epoksida, yang pada akhirnya berdampak

pada penurunan nilai IFT. Namun ketika suhu dinaikkan menjadi 80oC,

konversi asam risinoleat yang dihasilkan cenderung mengalami penurunan, ini

ditandai dengan meningkatnyanilai IFT yang diperoleh. Hal ini


mengindikasikan bahwa suhu 70oC merupakan suhu optimum dalam reaksi

epoksidasi ini. Hasil inisesuai dengan laporanWood dan Termini (1958) yang

menyatakanbahwa proses epoksidasi biasanya dilakukan pada suhu 65-75oC,

bila dilakukan dibawah suhu 65oC akan memperpanjang waktu epoksidasi dan

bila diatas suhu 75oC akan mengakibatkan banyak ikatan kimia yang terputus

sehingga dapat menurunkan efisisensi epoksidasi.Hasilyang sama juga

diperoleh Syawal (2009) yang melaporkan bahwa perolehan produk epoksida

terbaik diperoleh pada suhu 70oC.


OH OCHO

HCOOH R1 CH CH R2
OH OH
H2O
R1 CH CH R2
H H O

R1 H+ R1 CH2
C C R2 C R2
O OH OOCHO
HCOOHO R1 CH CH R2
OH OOH
H2O2
R1 C CH R2

Keterangan:

R1 = C8H15(OH)
R2 = C7H14

Gambar 17. Reaksi samping dalam reaksi epoksidasi

Gambar. 16 juga menunjukkan bahwa nilai IFT antara durasi 0,5 – 2

jammengalami fluktuasi dengan nilai yang tidak jauh berbeda.Dari grafik ini

dapat dilihat bahwa reaksi paling aktif terjadi pada menit ke-0 sampai 30.Hasil

ini sejalan dengan Kirk dan Othmer (1983) yang menyatakan bahwa reaksi
epoksidasi merupakan reaksi reversibel dan memiliki kemungkinan munculnya

reaksi samping, sehingga epoksidasi diusahakan dilakukan pada suhu rendah

dan waktu yang singkat.

4.3.Analisis Bilangan Iod Surfaktan SLS Termodifikasi

Surfaktan SLS termodifikasi yang mampu menurunkan tegangan

antarmuka hingga mencapai 10-3 mN/m diperoleh pada perbandingan

CH3COOH/H2O2 1:1,5 pada suhu 70oC. Nilai IFTyang rendah

mengindikasikan cukup tingginya konversi asam risinoleat menjadi senyawa

epoksida, ini dapat dibuktikan dengan analisis bilangan iod.

Bilanganiod merupakanbilangan yang menunjukkan banyaknya jumlah

iodin yang diserap oleh 100 g minyak. Bilangan iod bergantung kepada

komposisi asam lemak penyusun minyak ataupun produk turunannya. Asam

lemak tidak jenuh dalam minyak mampu menyerap sejumlah iod dan

membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap

menunjukkan banyaknya ikatan rangkap (Ketaren 2005), sehingga bilangan iod

dapat dianggap sebagai konversi asam risinoleat.Semakin tinggi konversi asam

risinoleat maka semakin rendah bilangan iodnya, hal

inidikarenakanberkurangnya ikatanrangkapakibat terbentuknya senyawa

epoksida. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah konversi asam risinoleat

maka akan semakin tinggi bilangan iodnya, hal inidikarenakan masih

banyaknya ikatan rangkap yang tidak mengalami pemutusan. Nilai hasil


analisis bilangan ioddan konversi asam risinoleat dapat dilihat pada Gambar.

18dan 19berikut.

100
Bilangan Iod (%)

60

70

80

23.3496 24.8724 25.6338 24.111


17.766 19.035 18.5274 19.5426
10.9134 9.3906 10.4058 11.6748
0
30 60 90 120
Waktu (Menit)

Gambar 18. Grafik Hubungan Bilangan Iod Vs Waktu


Pada Perbandingan 1 : 1,5
.
60
100 70
80
79.67032967
Konversi Asam Risinoleat(%)

76.37362637 77.47252747 74.72527473

61.53846154 58.79120879 59.89010989


57.69230769
49.45054945
46.15384615 44.50549451 47.8021978

0
30 60 90 120
Waktu (Menit)
Gambar 19. Grafik Hubungan Konversi Asam Risinoleat Vs
Waktu
Pada Perbandingan 1 : 1,5

Nilai konversi asam risinoleat paling tinggi yang mencapai 80% pada

perbandingan CH3COOH/H2O2 1 : 1,5 pada suhu 70oC dengan waktu reaksi

selama 1 jam dalam penelitian ini tidak jauh berbedadengan Snezana et all

yang melaporkan bahwa pada perbandingan CH3COOH/H2O20,5 : 1,1 pada

suhu 75oC,konversi yield yang diperoleh mencapai 91% meski dengan waktu

reaksi yang lebih lama yakni 8 jam.Tayde et alljuga melaporkan bahwa pada

perbandingan CH3COOH/H2O20,5 : 2 pada suhu 60oC dengan waktu reaksi 6

selama jam, konversi yield yang diperoleh dapat mencapai 83%.Sehingga

dapat dikatakan bahwa konversi yield yang diperoleh dari reaksi epoksidasi

sangat dipengaruhi oleh perbandingan reaktan (CH3COOH/H2O2), suhu dan

waktu kontak reaktan.

4.4. Pengaruh Penambahan Kosurfaktan Terhadap Nilai IFT surfaktan


SLS Termodifikasi.

Peningkatan kemampuan surfaktan SLS dalam menurunkan tegangan

antarmuka dengan penambahan senyawa epoksidacukup memberikan hasil

maksimaldengan nilai IFT terbaik yang diperoleh yakni 4,99.10-

3
mN/m.Namun, nilai ini belum mencapai nilai IFT yang diinginkan yakni 

1.10-3mN/m. Oleh karena itu, diperlukan langkah lanjutan untuk meningkatkan

kemampuan SLS termodifikasidiantaranya dengan penambahan senyawa


kosurfaktan. Penambahan kosurfaktan dianggap sebagai metode yang paling

sederhana untuk meningkatkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan

antarmuka.

Kosurfaktan merupakan molekul non ionik yang ditambahkan pada

surfaktan yang berfungsi untuk menetralkan efek tolak menolak diantara gugus

hidrofilik sehingga tahap pembentukan lapisan antara misel dan mikroemulsi

dapat terjadi secara terus menerus. Mekanisme kerja kosufaktan diilustrasikan

seperti molekul-molekul kecil yang bergerak dan menempati ruang kosong

yang terdapat diantara molekul surfaktan seperti yang ditunjukan pada Gambar.

20 berikut.

Gambar 20. Kinerja kosurfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan

Senyawa yang umum digunakan sebagai kosurfaktan merupakan golongan

alkohol rantai pendek (C3-C8), dikarenakan sifat dari alkohol yang memiliki

gugus hidroksi (-OH) yang bersifat hidrofilik dan gugus alkil (-R) yang bersifat

hidrofobik. Kosurfaktan yang digunakandalam penelitian ini yakni

isopropildan isoamil alkohol. Pemilihan isopropil dan isoamil diharapkan tidak

hanya mampu menurunkan tegangan muka antarmuka, namun juga dapat


meningkatkan mobilitas ekor hidrokarbon surfaktan SLS sehingga lebih mudah

terlarut dalam minyak.

Campuran SLS dan senyawa epoksida masing-masing ditambahkan

larutan isoamil dan isobutil alkohol.Konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan

dibuat 1% didalam air formasi. Jumlah penambahan senyawa epoksida

berkurang dengan adanya penambahan kosurfaktan. Selanjutnya larutan

dipanaskan pada suhu 70oC dan diaduk dengan kecepatan 500 rpm selama 3

jam. Surfaktan SLS termodifikasi yang ditambahkan kosurfaktan kemudian

diidentifikasi gugus fungsinya dan dibandingkan dengan spektrumSLS

termodifikasi. Hasil analisis FTIR SLS termodifikasi dan SLS termodifikasi

dengan penambahan kosurfaktan ditunjukkan pada Gambar. 21 berikut.

(a)

(b)

%T

(c)

1/cm
Gambar 21. Hasil Analisis FTIR : (a) SLS Termodifikasi, (b) SLS
Termodifikasi + IsoPropil dan (c) SLS Termodifikasi +
IsoAmil
Spektrum SLS termodifikasi dan SLS termodifikasi dengan penambahan

isopropil menunjukkan beberapa perbedaan.pada spektrum SLS termodifikasi

dengan penambahan isopropil terjadi pergeseran bilangan gelombang dari

2931,80 cm-1 menjadi 2924,09 cm-1 yang mengindikasikan keberadaan gugus

C-Hyang mengalami penurunan akibat berkurangnya jumlah senyawa

epoksida. Selain itu terjadi pergeseran pada panjang gelombang 1566,20 cm-1

menjadi 1573 cm-1yang mengindikasikan gugus C=C dari SLS yang telah

mengalami interaksi dengan senyawa epoksi. Munculnya peak pada panjang

gelombang 1573,91 cm-1, mengindikasikan bahwa penambahan isopropil dapat

mengurangi interferensi gugus aktif SLS terhadap gugus C=O dari senyawa

epoksida sehingga keberadaannya dapat teridentifikasi. Spektrum FTIR

isopropil cenderung samadengan spektrum SLS termodifikasi dengan

penambahan isoamil.

Selain diidentifikasi gugus fungsinya, SLS termodifikasi yang

ditambahkan kosurfaktan juga di ukur nilai tegangan antarmukanya.

Pengukuran nilai IFT ini berfungsi untuk melihat pengaruh penambahan

isopropil dan isoamil terhadap SLS termodifikasi dalam menurunkan tegangan

antarmuka. Namun berdasarkan spektrum FTIR, dapat diperkirakan bahwa

penambahan isopropil dan isoamil alkohol mampu memberikan pengaruh

terhadap SLS termodifikasi. Hasil pengukuran tegangan antarmuka SLS


(a)

termodifikasi dengan penambahan isopropil dan isoamil alkohol di tunjukkan

0.2

0.18 0.176009
Interfacial Tension (mN/m)

0.16 0.1584830.15702
0.14 0.137934
0.133258
0.127155
0.12
0.111411
0.1 0.10262
0.09743
0.088516 SLS Termodifikasi
0.08

(b) 0.06
SLS Termodifikasi
0.04 + IsoAmil

0.02 SLS Termodifikasi


0.016094
0.011772 + IsoPropil
0
0 50 100 150
Waktu (Menit)

pada Gambar. 22.

0.01
0.009 0.00911
Interfacial Tension (mN/m)

0.008 0.007822 0.00797


0.007
0.006 0.00625 0.00613
0.00584
0.005 0.004998
SLS Termodifikasi
0.004
0.003 0.00284 SLS Termodifikasi +
0.00258 IsoAmil
0.002
0.001228 0.0011 SLS Termodifikasi +
0.001 IsoPropil
0.000475
0
30 60 90 120
Waktu (Menit)
0.05
0.047233
0.045
Interfacial Tension (mN/m) 0.04188 0.041733
0.04 0.039316
0.03716
0.035 0.03453
0.03
(c) 0.028459 0.02777 0.028434
0.025
SLS Termodifikasi
0.02
0.018037 0.018037
0.015 SLS Termodifikasi +
0.011724 IsoAmil
0.01
SLS Termodifikasi +
0.005 IsoPropil
0
0 50 100 150
Waktu (Menit)

Gambar 22. Grafik Hubungan IFT Vs Waktu Pada Perbandingan 1:1,5


pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC.

Gambar. 22 menunjukkan bahwa penambahan isoamil dan isopropil

mampu meningkatkan nilai IFT surfaktan SLS termodifikasi. Hal ini sesuai

dengan fungsi kosurfaktan yakni membantu surfaktan dalam menurunkan

tegangan antarmuka. Dari grafik terlihat bahwa penambahan isoamil

memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada isopropil alkohol. Hal ini

dikarenakan sifat isoamil yang cenderung lebih nonpolar dibandingkan dengan

isopropil, sehingga isoamil diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan

dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah

sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu.


Penambahan kosurfaktan yang dapat menurunkan tegangan

antarmukahingga mencapai 10-4 mN/m dalam penelitian ini sejalan dengan

penelitian Stefan et alyang melaporkan bahwa kombinasisurfaktan dan

kosurfaktan mampu menurunkan tegangan antarmuka hingga  10-3 mN/m.

H. Uji Kelakuan Fasa dan Mikroemulsi

Uji kelakuan fasa bertujuan untuk mempelajari kelarutan surfaktan

terhadap sampel minyak. Uji kelakuan fasa dapat digunakan untuk menguji

nilai IFT surfaktan, bahkan dalam beberapa penelitian uji kelakuan fasa

merupakan uji yang lebih cepat dan mudah untuk memudahkan penentuan nilai

IFT dan efektivitaslarutan surfaktan yang dibuat. Uji kelakuan fasa didasarkan

pada Diagram Terner yang ditunjukan pada Gambar 23.

Gambar 23. Diagram Terner

Dalam proses EOR, bagian penting dari Diagram Terner adalah daerah

tiga fasa. Diagram terner dapat diklasifikasikan sebagai: tipe II(-), yaitu emulsi

fasa bawah dan kelebihan fasa minyak; tipe II (+), yaitu emulsi fasa atas

dengan kelebihan fasa air; dan tipe III, yaitu emulsi fasa tengah. Jenis emulsi
yang paling diharapkan dalam proses EOR adalah emusi fase tengah atau

paling tidak emulsi fase bawah (Sugihardjo et al, 2002). Pada kondisi tersebut

nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah

sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat dipastikan berjalan efektif.

Pada penelitian ini dilakukan uji tabung untuk mengetahui kelakuan

fasa dan kestabilan mikroemulsi pada campuran minyak dan larutan surfaktan

terhadap nilai IFT surfaktan. Pada tabung uji dimasukkan larutan surfaktan dan

minyak mentah dengan volume yang sama. Campuran dalam tabung uji

kemudian digojog selama 2 menit dan didiamkan pada suhu kamar.Diamati

apakah terjadi mikroemulsi dan mencatat waktu yang dibutuhkan campuran

minyak dan larutan surfaktan untuk terpisah kembali. Grafik hubungan antara

IFT dan waktu pemisahan ditunjukan pada Gambar 24 berikut.

SLS Termodifikasi
0.6

0.5
InterFacial Tension (mN/m)

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 50 100 150 200
Waktu (Menit)
SLS + Isopropil
0.5
0.45
0.4
Interfacial Tension (mN/m)

0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 50 100 150 200 250
Waktu (menit)

SLS + Isoamil
0.45
0.4
Interfacial Tenson (mN/m)

0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 50 100 150 200 250
Waktu (menit)

Gambar 24. Grafik Hubungan antara IFT VS Waktu Pemisahan pada suhu
60oC, 70oC dan 80oC Pada Perbandingan 1 : 1,5
Dari Gambar.24 menunjukkan bahwasemakin rendah nilai IFT maka

proses pemisahan akan semakin lambat. Larutan surfaktan yang memiliki IFT

10-2 mN/m mampu membentuk fasa tipe III, hanya saja mikroemulsi yang

adabersifat sementara (temporer), sehingga dalam waktu singkat dapat terpisah

kembali.Sedangkan untuk larutan surfaktan yang memiliki IFT 10-3 – 10-4

mN/m dapat membentuk mikroemulsi yang bersifat “semi permanen” sehingga

cukup sulit untuk berpisah kembali.

Mikroemulsi yang bersifat semi permanen disebabkan oleh adanya

larutan yang surfaktan yang memiliki nilai IFT yang rendah. Larutan IFT yang

rendah dapat terikat baik dalam minyak maupun dalam air. Larutan surfaktan

dalam penelitian ini cenderung bersifat polar, sehingga terjadi emulsi minyak

dalam air (O/W). Surfaktan berfungsi membungkus butir-butir cairan

terdispersi dengan suatu lapisan tipis, sehingga butir-butir tersebut tidak dapat

bergabung menjadi fase kontinyu. Bagian surfaktan yang non polar dalam

lapisan luar butir-butir minyak sedangkan bagian yang polar larut dalam

pelarut air.

F. Model Kinetika Reaksi Epoksida

Pada model ini reaksi diasumsikan mengikuti reaksi orde 2, berlaku

untuk reaksi pembentukan asam peroksi (reaksi 1) dan reaksi epoksidasi (reaksi

2). Pada model ini, persamaannya reaksinya adalah

r1=k1.CA.CB – k2. CC. CD

r2= k3.CC.CE
Data eksperimen yang diperoleh adalah data konversi asam risinoleat yang

didasarkan pada analisis bilangan iodin. Konversi asam

risinoleatterbaikdiperoleh pada perbandingan CH3COOH/H2O2 1 : 1,5,

sehingga model kinetikanya hanya menggunakan data tersebut. Data konversi

asam risinoleat model pada berbagai variasi suhu disajikan pada Tabel.3

berikut.

Tabel 3. Data konversi asam risinoleat pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC
Suhu Waktu (jam) Konversi Asam Kesalahan
Risinoleat Relatif
Xdata Xmodel (%)
60 0 0 0 13,5552
0,5 49,4505 46,938
1 46,1538 46,9851
1,5 44,5055 46,9149
2 47,8022 46,9383
70 0 0 0 14,376
0,5 76,3736 76,5884
1 79,6703 78,2308
1,5 77,4725 78,0664
2 74,7253 78,1756
80 0 0 0 20, 0975
0,5 61,5385 57,6864
1 58,7912 57,8039
1,5 59,8901 57,8205
2 57,6923 57,7237
Gambar 26. Konversi asam risinoleat data dan model pada
suhu 60 C, 70oC dan 80oC
o

Keterangan

A = Asam Asetat
B = Hidrogen Peroksida
C = Asam Peroksi
D = Air
E = Sabun (Asam Risinoleat)
F = Senyawa Epoksi

Gambar 27. Grafik hubungan konsentrasi reaktan Vs waktu pada


suhu 60oC, 70oC dan 80oC
G. Menentukan Parameter Laju Reaksi

Konstanta laju reaksi untuk ke-dua tahap reaksi dihitung dengan

menggunakan persamaan (3) sampai (20). Hubungan antara konversi asam

risinoleat terikat data dan hasil hitungan pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC

terhadap waktu disajikan pada Gambar. 27. Laju reaksi pada reaksi epoksidasi

ditunjukkan dengan nilai konstanta laju reaksi k1, k2 dan k3. Parameter laju

reaksi dapat dicari dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Hubungan ln k

versus 1/T untuk mencari nilai energi aktivasi (Ea) dari nilai frekuensi

tumbukan (A) disajikan pada Gambar. 28 berikut.

8
7 K1
6 K2
5
K3
Ln k

4
Linear (K1)
3
Linear (K3)
2
Linear (K3)
1
0
0.003003003 0.002915452 0.002832861
1/T (1/K)

Gambar 28. Grafik hubungan ln k Vs 1/T

Dengan linierisasi ln k terhadap 1/T, maka akan didapatkan nilai

frekuensi tumbukan (A) dan energi aktivasi (Ea) yang disajikan pada Tabel. 4

berikut.

Tabel 4. Nilai Parameter kecepatan reaksi


T (K) k1 k2 k3
333 731,4047 48,1351 823,4271
343 716,1923 62,1201 670,816
353 696,0249 56,8898 780,7097
Energi Aktivasi (J/g-mol.K) 0,206 -0,695 0,22
Frekuensi Tumbukan 750,69 48,88 796,876
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada suhu 60 C nilai k3> k1> k2, suhu70oC
o

nilai k1> k3> k2dan pada suhu 80oC nilai k3> k1> k2. Secara keseluruhan,

konstanta laju reaksi pada suhu 70oC cenderung lebih kecil dibandingkan

dengan konstanta laju reaksi pada suhu 60oC dan 80oC. Namun nilai konversi

asam risinoleat paling tinggi justru diperoleh pada suhu 70oC. Hal ini berkaitan

dengan teori tumbukan molekul reaktan. Molekul reaktan harus bertumbukan

atau dipukul pada arah yang tepat agar reaksi dapat berlangsung. Pada suhu

60oC dan 80oC, molekul reaktan tidak mengalami tumbukan pada titik yang

tepat sehingga meski memiliki konstanta laju reaksi cukup tinggi namun karena

rendahnya frekuensi tumbukan pada sisi aktif menyebabkan berkurangnya

produk yang dihasilkan. Sedangkan untuk energi aktivasimenunjukkan bahwa

k3> k1> k2, dengank1 dan k3 bernilai positif dan k2 bernilai negatif.Nilai k2 yang

negatif disebabkan menurunnya jumlah konversi asam risinoleat diatas suhu

70oC. Energi aktivasi k2yang bernilai negatif, juga mengindikasikan bahwa

reaksi irreversibel dalam hal ini k2 pada reaksi pembentukan asam peroksi

kemungkinan kecil terjadi.

Nilai energi aktivasi yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah

jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rustamadji dkk (2010) dan

Freedman et all (1986). Nilai energi aktivasi yang rendah menunjukkan bahwa
energi yang diperlukan dalam reaksi epoksidasi adalah sangat kecil. Hal

inidikarenakan besarnya frekuensi tumbukan yang terjadi sehingga semakin

sedikit waktu yang diperlukan untuk memperoleh konversi yield yang

maksimal.

Dengan mengikuti persamaan Arrhenius diperoleh persamaan laju

reaksi berikut :

−0,206 (𝑐𝑚3 )
𝑘1 = 750,89 ( )
𝑅𝑇 𝑔𝑚𝑜𝑙 3 . 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡

0,695 (𝑐𝑚3 )
𝑘2 = 44,88 ( ) 𝑔𝑚𝑜𝑙3 .𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑅𝑇

−0,22 (𝑐𝑚3 )
𝑘3 = 796,876 ( ) 𝑔𝑚𝑜𝑙3 .𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑅𝑇

BAB V

KESIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan pada penelitian ini, dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Senyawa epoksida yang berasal dari minyak jarak (Castor Oil) dapat

digunakan untuk modifikasi SLS karena mampu menurunkan nilai IFT.


2. Konversi asam risinoleat optimum di peroleh pada suhu 70oC dengan

perbandingan CH3COOH/H2O2 1 : 1,5.

3. Penambahan kosurfaktan isoamil alkohol mampu meningkatkan kinerja SLS

termodifikasi dalam menurunkan tegangan antarmuka dengan nilai IFT

mencapai 4,75.10-4 mN/m.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, T.O dan Roberts, A,P., 1993, Production Operations 2 : Well
Completions, Workover, and Stimulation, USA: Oil & Gas
Consultants International (OGCI) Inc, Tulsa, Oklohoma, USA.

Ariska, C.R., 2011, Pembuatan Senyawa Epoksidasi dari Asam OleatUntuk


Modifikasi Sodium Ligno Sulfonat (SLS) (Tinjauan : Kinetika Reaksi
Epoksidasi) : Tesis, Fakultas Teknik Pengendalian Pencemaran
Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ashayer, R., Grattoni,C.A. and Luckham, P.F., 2000, Wettability Changes


During Surfactant Flooding, Imperial College, London, UK.

Collepardi, M., 2005, Chemical Admixtures Today. Proceedings of Second


International Symposium on Concrete Tecnology for Sustainable
February - Development with Emphasis on Infrastructure, Ponzano
Veneto (Italy), 27 February-3 March 2005 : 527-541.

Darnoko, Z. P. and Anas, I., 1993, Pembuatan Pupuk Organik dari Tandan
Kosong Kelapa Sawit. Buletin Penelitian Kelapa Sawit, 2 ; 89-99.

Darnoko., 1995, Pembuatan Pulp dari Tandan Kosong Sawit dengan


Penambahan Surfaktan. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 3 (1): 75-87.

Dantas, C. S. T., Neto, D. A. A., Moura, E. L., Neto, B., Forte, K.R. and Leite,
R. H. L., 2003, Heavy Metals Extraction by Microemulsions,
Universitas Federal Do Rio Grande Do Norte, Centro De Tecnology
PPGEQ, Campus Universitario, Brazil.

Davin, L.B.and Lewis, N.G., 2005, Lignin Primary Structures and Dirigent
Sites, Current Opinion in Biotechnology 16:407–415.

Escrig, P.D.F. and Martin, J.M.C., 2000, Process for Epoxidation of Olefinic
Compound with Hydrogen Peroxide, U.S. Patent No. 6.160.138.

Fauzi, Y., 2002, Kelapa Sawit : Edisi Revisi, Cetakan XIV, Penebar Swadaya,
Jakarta.

Fengel, D. and G. Wegener., 1995, Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-


Reaksi, Diterjemahkan oleh Sastrohamidjojo, H. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gan L.H., Goh, S.H. and Ooi, K.S., 1992, Kinetics Studies of Epoxidation and
Oxirane Cleavage of Palm Olein Methyl Esters, J. Amer. Oil Chem.
Soc. 69: 347-351.

Genaro, R.A., 1990, Rhemingtons Pharmaceutical Science, 18th ed, Mack


Printing Company, Easton, Pennsylvania, USA, 267.

Georgiou, G., Lin, S.C. and Sharma, M.M., 1992, Surface Active Compounds
fromMicroorganisme (Review), Biotechnology, 10 : 60 -65.

Gogoi, S. B and Das, B. M., 2012, Use Of an Effluent For Enhanced Oil
Recovery, Departement of Petroleum Tecnology, Dibrugarh
University, India.

Gomma, E.E., 1997, Enhanced Oil Recovery: Modern Management Aproach :


Paper for IATMI-IWPL/MIGAS Conference, Surakarta, 28 Juli-1
Agustus 1997.

Guner, F.S., 1997, Castor Oil Dehidration Kinetics, JAOCS, Vol. 74, No. 4 :
409-412.

Gurgulak, J. D. and Lebo S.E., 2000,Commercial Use of Lignin-based


Materials. In: Glasser, W.G. Northey, RA., Schultz, TP. (Eds.),
Lignin : Historical, Biological, and Materials Perspectives, Oxford
University Press, Washington, Hal. 304 – 320.

Hsieh, W.C., Hills, C., Koepke, J. W. and Habra, L., 1983, Process For
Enhanced Oil Recovery Employing Synthetic Sulfonates and
Petroleum Sulfonat Blends, U.S Patent No. 4.530.400.

http://suarapengusaha.com/2012/10/19/kisruh-cpo-epa-akan-tinjau-langsung-
kebun-kelapa-sawit/kelapa-sawit-3

Lake, L.W., 1987, Enhanced Oil Recovery, New Jersey, Prentice Hall.

Lake, L.W., Schmidt, R.L. and Venuto, P.B., 1995, A Niche for Enhanced Oil
Recovery in the 1990’s. Oilfield Review, January.

Lestari, Asri., 2006, Kajian Pengaruh Suhu, Lama Pemanasan dan


Konsentrasi Asam (HCl) terhadap Kemampuan Surfaktan Metil Ester
Sulfonat (MES) Sebagai Oil Well Stimulation Agent : Skripsi, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Manurung, S., 2008, Sintesis N-Etanol-9,10,12-Trihidroksil Stearamida yang
diturunkan Dari Minyak Jarak (Ricinus Communis Linn), Universitas
Sumatera Utara.

Matheson, K.L., 1996,Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis,


and Uses. Di dalam : Spitz, L, Editor. Soap and Detergents : A
Theoretical and Practical Review, Champaign: AOCS Press.

Mulyadi., 2000, Surfactant For Oil Well Stimulation Agent. Jakarta: PT Mulino
Ciptanusa.

Nasiri, H., 2011, Enzymes for Enhanced Oil Recovery (EOR) : Disertasi,
University of Bergen, Norway.

Nummedal, D., Towler, D., Mason, C and Allen, M., 2003. Enhanced Oil
Recovery in Wyoming: Prospects and Challenges. Univ of Wyoming.

Purwanto, S., 2006, Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam


Formula Agen Pendesak Minyak Bumi : Skripsi, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ramamurthi, S., Manohar, V., and Mani, V. V. S., 1998,Characterization of


Fatty Acid in Dehydrated Castor Oil by Gas Chromatography and
Gas Chromatography-Mass Spectrometry Technique, JAOCS, Vol.
75, No. 10.

Resende, K. X., Correa, M. A., Oliveira, A. G. dan Scarpa, M. V., 2008, Effect
of Cosurfactant on the Supramolecular structure and Physicochemical
Properties of Non-Ionic Biocompatible Microemulsions : Brazilian
Journal of Pharmaceutical Sciences Vol. 44, Faculdade de Ciencias
Farmaceuticas, Universidade Estadual Paulista Julio de Mesquita
Filho.

Rieger, M. M., 1985,Surfactant in Cosmetics : Surfactant Science Series,


Marcel Dekker, Inc. New York.

Robb, I.D., 1981, Microemulsions, Plenum Press, ISBN 0306408341, New


York.

Rudatin, S., 1989, Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lignin dari Limbah
Industri Pulp dan Kertas di Indonesia, Berita Selulosa (25) 1 : 14-17,
Departemen Perindustrian RI, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Selulosa, Bandung.

Salager, 2002, Surfactants Type and Uses , Universidad De Los Andes:


Venezuela.

Sugihardjo, 2002, Formulasi Optimum Campuran Surfaktan, Air dan Minyak,


Lembaran Publikasi Lemigas 36:37-42.

Shaw, D. J., 1980, Introduction to Colloid and Surface Chemistry.


Butterworhts Oxford, England.
Sjöström, E., 1995, Kimia Kayu : Dasar-dasar Penggunaan. Edisi 2,
Sastrohamidjojo, penerjemah ; Prawirohatmodjo, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.

Stapp, P. R., and Chaney, M. B., 1983, Urea as a Cosurfactant in Enhanced


Oil Recovery Process, U.S Patent No. 4.493.370.

Strey, R ., and Jonstromer, M., 1992, Role of Medium-Chain Alcohols in


Interfacial Films of Nonionic Microemulsions, J. Phys. Chem.96. 4537-
4542

Sumatarto, U., 1997, Peningkatan Perolehan (Recovery) Minyak Bumi Paska


Primer, Prosiding Konferensi Energi sumberdaya Alam dan
Lingkungan, BPP, Jakarta, 11-12 Maret 1997.

Swern, D., 1979, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, Vol. I4th Edition,
John Willey & Sons Inc., New York.

Taber, J.J., Martin, F.D and Seright, R.S., 1997, EOR Screening Criteria
Revisited Part I: Introduction to Screening Criteria and Enhanced Oil
Recovery Field Project, SPE Reservoir Engineering Paper, Mexico,
August 1997.

Thamrin, M. K and Sudibjo, R., 1992, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Efisiensi Pendesakan Surfaktan. Prosiding Diskusi Ilmiah VII Hasil
Penelitian Lemigas, Jakarta, 11-13 Februari 1992.

Tomlinson, P., 1961, Anatomy of the monocotyledons II : Palmae. Clarendon


Press. Oxford. England.
Tuin, G., 1995, The Role of Cosurfactants in Adsorption and Emulsification :
Thesis, Eidhoven University of Technology.

Yadav, G.D and Satroska, D.V.,1997, Kinetics of Epoxidationof Alkyl Esters of


Undecyclenic Acid Comparison of Traditional Routes, Ishii Venturello
Chemistry.

Wisewan,P., 1983, An Introduction to Industrial Organic Chemistry, Second


Edition, England:Applied Science Publishers Ltd.

Anda mungkin juga menyukai