KELOMPOK 7
NAMA KELOMPOK :
NAMA NIM
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
TAHUN 2011/2012
DAFTAR ISI
Kata pengantar.....................................................................................................................
Daftar isi ..............................................................................................................................
Bab 1 pendahuluan
Bab 2 pembahasan
BAB 3 PENUTUP
Puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang membahas
mengenai arsitektur tradisional bali yaitu struktur, kontruksi dan bahan.
Dengan usaha serta doa yang tiada henti, makalah ini dibuat dengan tujuan supaya
dapat menambah wawasan serta mengetahui arsitektur tradisonal bali pada masa itu. Selain
itu, makalah ini juga sebagai tugas pertama kami dalam menempuh mata kuliah arsitektur
tradisional bali.
Dalam penyelesaian makalah ini tentunya tak luput dari arahan, bimbingan, koreksi, dan
saran. Untuk itu, sebagai ucapan terima kasih, kami ucapkan kepada :
1. Bapak dosen mata kuliah arsitektur tradisional bali atas bimbingan dan arahannya,
2. Rekan-rekan kelompok yang telah berupaya menyusun makalah ini,
3. Rekan-rekan teknik arsitektur 2011 yang telah banyak memberi masukan yang tidak
dapat kami sebutkan satu per satu.
Semoga manfaat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan pengetahuan
khususnya mengenai arsitektur tradisional bali. Dengan kata lain, kami berharap makalah ini
mampu sedikitnya memupus rasa dahaga para penimba ilmu, sebagai bahan diskusi maupun
kontemplasi, di masa kini maupun yang akan datang.
Kami menyadari, bagaimanapun usaha kami, tak ada gading yang tak retak. Tentunya
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami nantikan.
Penulis
BAB 1 PENDAHULUAN
Struktur utama bangunan tradisional pada umumya adalah struktur rangka yang
tersusun atas tiang-tiang kayu dengan balok (lambang dan sineb), canggahwang (skoor),
sunduk, dsb. Bagian atas tiang terhubung dengan balok lambang dan sineb yang merupakan
penyangga atap. Bagian ini meneruskan beban atap ke pondasi. Untuk menciptakan ruang
yang stabil, maka struktur rangka ini harus memenuhi empat persyaratan utama yaitu
kesetimbangan, kestabilan geometris, kekakuan dan kekuatan.
Prinsip-prinsip portal tidak berlaku secara mutlak karena konstruksi bangunan masih
pula menggunakan sistem-sistem penjaga kestabilan yang lain seperti sunduk, lait, purus, dsb.
Bangunan yang memiliki balai-balai dilengkapi dengan sunduk yang juga berfungsi sebagai
pengaku tetapi dengan konstruksi fleksibel dengan sistem baji/lait. Pada hubungan antara
tiang dengan sendi terdapat purus yang menciptakan hubungan stabil sekaligus lentur antara
tiang ke sendi yang akan menyalurkan beban ke pondasi.
Meskipun tipologi bangunan tradisional di Bali bentuk dan fungsinya beragam tetapi
memiliki konsep struktur yang serupa. Pondasi sebagai penyangga struktur utama berupa
pondasi setempat dari pasangn batu disebut jongkok asu. Jongkok asu ini meneruskan beban
yang diterima dari tiang dan sendi di atasnya ke tanah untuk menjada bangunan tetap berdiri
dengan tegak. Hubungan antara tiang bangunan, sendi dan jongkok asu dibuat tidak kaku,
tetapi berfungsi tumpu. Jika terjadi pergerakan akibat gempa atau getaran tanah, hubungan ini
akan turut bergerak dan akan menciptakan daya redam untuk meminimalisir akibat buruk
gerakan tanah yang terjadi.
Dalam proses pembangunan, pondasi jongkok asu dibuat terlebih dahulu lengkap
dengan struktur di arasnya berypa rangka bangunan dan rangka atap. Setelah rangka atap
selesai dibuat, maka pada bagian ujung sudut terluar kolong diberi sepat gantung. Tegak lurus
ke bawah tepat di titik jatuhnya sepat gantung ini merupakan ujung terluar pondasi keliling
yang dibuat belakangan setelah struktur tengah hingga rangka atap berdiri tegak. Secara
umum, sistem struktur pondasi ini berlaku untuk semua bangunan, baik itu bale meten, bale
dangin, bale dauh, dan paon, serta bangunan Bali pada umumnya.
2.3 DINDING PEMISAH
Dalam arsitektur tradisional Bali, dinding atau tembok hanya berfungsi sebagai
pemisah ruang. Dinding-dinding tidak berfungsi sebagai struktur penyangga, karena itu
strukturnyapun terpisah dari struktur utama bangunan. Pondasi keliling bangunan hanya
berfungsi untuk menyangga beban dinding dan menjaga tanah urugan peninggian lantai.
Fungsi dinding yang hanya berfungsi untuk pembatas ruangan (partisi) diperlihatkan
dengan memberi jarak antara tin dengan dinding dan antara dinding dengan bagian kolong
bangunan. Dengan melepaskan semua bagian dinding baik secara visual, maka jelas terlihat
fungsi masing-masing elemen struktur dan konstruksi bangunan yang bekerja secara
fungsional. Dengan demikian maka setiap elemen tersebut dapat diperbaiki tanpa harus
mengganggu elemen yang lainnya.
Jarak yang tercipta antara dinding dengan atap bangunan menciptakan celah yang
berfungsi sebagai ventilasi. Dengan adanya celah yang berfungsi ventilasi, maka tidak ada
lagi dibuat lubang pada dinding bangunan. Pada beberapa bangunan Bali ada yang sengaja
dibuat tertutup seluruhnya, ada yang dibuat tertutupsebagian, dan ada pula yang teruka sama
sekali. Bagian yang ditutup adalah bagian yang berlawanan dengan arah natah sedangkan
yang terbuka adalah bagian yang menghadap natah, menciptakan ruang yang mengalir
(continuous space) dan longgar terbuka ke arah natah.
Dinding bangunan yang dibuat setelah rangka bangunan utama selesai, berjarak
atapak ngandang (satu telapak kaki lurus dan menyilang) dalam sikut tradisional Bali. Ukuran
ini jika diterjemahkan ke dalam metrik kurang lebih 35cm. Jarak ini adalah jarak bersih dari
pinggir sendi ke pinggir dinding pemisah.
Atap limasan memiliki struktur utama berupa pemade dan pemucu yang pada bagian
puncaknya disatukan oleh dedeleg (balok nok memanjang) atau petaka (nok bujur
sangkar/titik). Pada bidang-bidang diantara pemade dan pemucu disertai dengan usuk (iga-
iga) bambu. Usuk bambu diikat atau dijepit menyatu dengan pemade dan pemucu
membentuk satu bidang datar dengan ikatan tali bambu atau tali ijuk membentukk suatu
struktur bidang. Beban utama atap disangga oleh pemade dan pemucu. Susunan antara pasak-
pasak kayu dan juga tali ikatan apit-apit, selain berfungsi struktural juga berfungsi estetis.
Kepala pasak apit-apit seringkali dihiasi dengan ornamen tapuk manggis.
Bangunan dapur dengan atap pelana memberi ruang bagi asap dan panas ruangan
mengalir keluar melalui celah atap. Bentuk atap ini memiliki struktur serupa dengan limasan,
pemade dan pemucu menjadi penyangga utama beban atap. Perbedaannya adalah pada bagian
lebar bangunan, tidak semua bidang ditutup oleh atap tetapi hanya sebagian, untuk membuat
lubang ventilasi keluarnya asap dan panas, dan menciptakan ventilasi silang.
Konstruksi atap bangunan merupakan pelengkung tiga sendi dengan sendi masing-
masing terletak pada petaka/dedeleg, dan pada titik-titik hubungan dengan konstruksi portal.
Konstruksi puncak bangunan menyerupai konstruksi payung yang menyatukan semua elemen
pembentuk konstruksi atap ke tengah. Konstruksinya sangat sederhana berupa purus dan
lubang tanpa pasak. Penyelesaian struktur dan konstruksi sederhana, jujur dan indah
menyiratkan mutu penciptanya.
Struktur bidang atap diperkuat dengan penggunaan bahan alang-alang sebagai bahan
penutup. Alang-alang diikatkan pada jalon, kemudian dipasang pada usuk. Hubungan ikatan
alang-alang dengan usuk menggunakan tali bambu yang diatur sehingga puntiran-puntiran
dan sisipan-sisipan tali rapi membentuk elemen estetis tersendiri sebagaimana juga berlaku
pada garis-garis horizontal ikatan alang-alang di atas usuk.
2.5 BAHAN
a) Jineng
Batu bata sebagai batu buatan dan batu alam dari berbagai jenis dipasang dalam
keadaan telanjang untuk bebaturan atau tembok. Kayu, bambu, alang-alang dan bahan
lainnya juga dipasang telanjang menampakkan warna alam sebagai warna aslinya. Untuk
penampilan serupa itu pengadaan bahan mengutamakan pemilihan warna, tekstur dan
proporsi untuk keindahan komposisinya. Pengadaan bahan untuk bebaturan, pondasi, dan
tembok yang menggunakan batu alam mengambil jenis-jenis batuan setempat. Desa yang
memiliki kali yang berbatu basalt menggunakan batu basalt. Untuk desa di bukit kapur atau
sekitarnya, menggunakan batu karang / limestone. Desa di sekitar lokasi yang menghasilkan
batu padas, menggunakan batu padas.
b) Bale Dangin
Bale dangin yang masih tradisional pada umumnya menggunakan penutup atap dari
alang-alang, sedangkan pendukung penutup atap yang terdiri atas rangkaian iga-iga/rusuk,
terbuat dari bahan bambu. Langit-langit yang mengikat iga-iga pada puncak atap memakai
bahan kayu jenis ketewel/kayu nangka. Lambang sineb sebagai pengikat dan pemersatu saka,
menggunakan batang kelapa/seseh , sedangkan pemantang dan saka pada bale dangin
menggunakan bahan kayu, untuk jenis kayu yang digunakan disesuaikan dengan fungsi
bangunannya. Dinding pada bale dangin yang masih tradisional sebagian besar masih
menggunakan bahan batu bata halus (batu gosok). Pondasi/jongkok asu sebagai bagian kaki
yang letaknya di bawah, meggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturan-nya
menggunakan batu bata.
c) Bale Dauh
Bale dauh memakai bahan anyaman bambudengan dimensi anyaman yang besar (tidak
seperti gedeg) sehingga terdapat pori-pori yang memungkinkan terjadinya sirkulasi udara
(meskipun relatif kecil. Pada Bale Dauh yang telah mengalami modernisasi, dinding
bangunan terbuat dari pasangan batu bata. Tiang bangunan yang bersifat struktural memakai
bahan kayu yang tidak terlalu sulit untuk didapatkan di lingkungan desa dimana Bale Dauh
tersebut berada. Elemen – elemen pendukung struktur tiang, seperti misalnya sineb lambang,
canggah wang dan bale-bale juga memakai bahan kayu dan seseh (batang kelapa), kecuali
untuk alas bale-bale (galar) memakai bahan bambu. Lantai bangunan umumnya masih tetap
menggunakan lantai tanah. Pada Bale Dauh yang teah mengalami modernisasi telah beralih
pada pemakaian bahan semen dan tegel. Pada dinding batur Bale Dauh memakai bahan batu
kali, sendi-sendi yang merupakan media penerusan bahan bangunan (hubungan dengan
tiang/saka) terbuat dari bahan batu padas, dan beberapa diantaranya ada yang menggunakan
bahan batu kali.
Contoh – contoh tanaman yang dipergunakan untuk bahan bangunan tradisional Bali :
Kayu cendana (Santalum album L.) berwarna coklat dengan tekstur kayu yang agak
halus. Arah serat yang lurus atau bergelombang dan memiliki permukaan licin dan agak
mengkilap. Kayu cendana termasuk kedalam jenis kayu kelas istimewa. Sebab selain
memiliki struktur kayu yang sangat kuat, juga memiliki aroma kayu yang sangat harum.
Kayu cendana sangat disakralkan oleh masyarakat Bali, dimana kayu cendana ini
digunakan dalam pembuatan pelinggih karena kayu ini menghasilkan aroma yang sangat
wangi, sehinngga kayu ini bagus untuk digunakan di tempat-tempat suci. Selain digunakan
dalam pembuatan pelinggih, kayu cendana ini juga dapat digunakan dalam pembuatan
pratima, dimana kayu ini merupakan peragan dari bhatara Paramasiwa. Dalam klasifikasi
kayu menurut orang Bali, kayu cendana ini termasuk golongan kayu prabu, artinya kayu ini
biasanya digunakan untuk membuat langit-langit dalam suatu pelinggih.
2. Kayu Cempaka (Michelia champaca L.).
Kayu cempaka (Michelia champaca L.) merupakan jenis kayu yang awet dan sangat
kuat. Arah serat kayu cempaka ini lurus dan agak bergelombang. Kayu ini memiliki minyak
akan menghasilkan aroma yang khas sehingga kayu ini akan beraroma harum.
Kayu cempaka banyak digunakan dalam pembuatan pelinggih karena kayu ini
memiliki aroma yang wangi. Kemudian bunga dari bunga ini biasanya digunakan untuk
keperluan upacara keagamaan. Selain itu, kayu cempaka ini merupakan kayu peragan
bhatara Siwa. Biasanya yang diguanakan adalah jenis cempaka kuning, dan kayu yang
pohonnya yang sudah usianya lebih dari 10 tahun. Menurut klasifikasi kayu menurut
masyarakat Bali, kayu cempaka ini termasuk kayu golongan arya, artinya kayu ini biasanya
digunakan dalam membuat ”lambang atau ige-ige”.
Jenis kayu majegau (Dysoxylum caulostachyum Miq.) merupakan kayu yang tidak
kalah penting yang diguankan dalam pembuatan pelinggih. Dimana kayu ini banyak
digunakan karena kayu ini memiliki aroma yang sangat wangi. Kayu ini digolongkan
kedalam jenis kayu Demung. Dimana kayu ini biasanya digunakan untuk membuat sesaka.
Kayu majegau ini dalam pembuatan pretima, merupakan peragan dari Sadasiwa.
4. Kayu jati (Tectona grandis L.)
Kayu jati (Tectona grandis L.) berdasarkan sifatnya termasuk kedalam kayu istimewa.
Selain memiliki serat yang sangat padat. Kayu ini juga tidak mudah terserang rayap atau
hama lainnya karena sel-sel penyusun kayu jati memiliki zat tanin yang berfungsi sebagai
bahan pengawet. Kayu jati ini apabila sudah tua akan berwarna coklat muda, apabila telah
lama terkena sinar matahari dan terpapar oleh udara, maka warnanya akan berubah menjadi
sawo matang.
Kayu jati digunakan karena memiliki struktur kayu yang sangat kuat, sehingga kokoh
untuk menopang bangunan. Kayu jati ini termasuk golongan kayu patih, artinya kayu ini
biasanya digunakan dalam pembuatan saka.
5. Kayu nangka (Artocarpus integra merr.) dan Kayu sentul (Sandoricum koetjape)
Kayu nangka (Artocarpus integra merr.) memiliki struktur yang sangat kuat dan tidak
terlalu berat seperti kayu jati, umumnya berwarna kuning dengan tekstur yang agak kasar
dengan arah serat yang lurus. Permukaan kayu yang licin dan mengkilap.
Kayu nangka banyak digunakan dalam pembuatan bale pesarean dan juga biasanya
digunakan dalam membuat langit-langit (kayu prabu). Sama halnya dengan kayu jati dan
kayu nangka, kayu sentul (Sandoricum koetjape)juga banyak digunakan dalam pembuatan
bale pesarean, mengingat kayu ini memiliki struktur yang kuat dan tahan terhadap serangan
rayap. Kayu sentul ini digolongkan kedalam golongan kayu pangalasan.
Kayu wangkal (Abizia procera Roxb.) ini memiliki struktr kayu yang sangat kuat,
tahan lama, dan memiliki serat yang lurus. . Kayu wangkal digolongkan kedalam kayu prabu,
dan digunakan dalam membuat langit-langit atau atap.
Kayu juwet (Syzygium cumini Linn.) memiliki struktur yang sangat kuat dan memiliki
serat yang lurus. Kayu juwet termasuk kedalam golongan kayu mantri dan digunakan dalam
membuat lambang atau ige-ige. Kayu ini biasanya dipakai untuk bahan bangunan dapur
(paon).
8. kayu klampuak (Syzygium zollingeriamun (Miq.) Amsh.).
Kayu klampuak (Syzygium zollingeriamun (Miq.) Amsh.) merupakan jenis kayu yang
banyak digunakan karena kayu ini memiliki struktur yang sangat kuat. Memiliki trakea dan
memiliki serat yang lurus. Kayu klampuak termasuk golongan jenis kayu patih dimana
digunakan dalam membuat saka atau tiang penyangga.
Bambu merupakan tanaman yang paling sering di gunakan dalam upacara keagamaan
hindu di bali. Pada bangunan Kerangka atapnya menggunakan kayu dan bambu khususnya
untuk iga-iga-nya. Bambu bila telah di anyam juga sering digunakan untuk dinding-dinding
bangunan dan pagar pembatas rumah.
Dari semua jenis kayu yang digunakan oleh masyarakat Bali dalam pembuat
bangunan, kayu yang digunakan adalah kayu dari pohon kelas dikotil. Hal ini jika dipandang
secara anatomi, batang dikotil dapat mengalami pertumbuhan primer maupun pertumbuhan
sekunder. Sehingga batang ini memiliki diameter yang besar dan kuat dinding sel
penyusunnya mengalami penebalan, baik penebalan primer dengan pektin maupun penebalan
sekunder dengan zat lignin. Selain itu pada batang dikotil susunan berkas pengangkutnya
teratur dan membentuk lingkaran dengan tipe berkas kolateral terbuka.