Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LATAR BELAKANG

Kejadian penyulit selama penatalaksanaan anestesi yang menyebabkan kesakitan dan


kematian sering terjadi walaupun dilakukan oleh ahli dengan banyak pengalaman. Penyulit
setelah anestesi yang dilewatkan biasanya berakibat lebih fatal. Aritmia termasuk salah satu
penyulit anestesi di antara penyulit lainnya, seperti pasien yang menggigil, pasien yang
memerlukan support jalan nafas, pasien yang mengalami hipotermi, hipertensi, hipotensi dan
aspirasi.

Salah satu contoh aritmia sebagai penyulit anestesia yaitu pada pasien yang
menggunakan beberapa jenis obat tertentu sehingga merubah respons fisiologi tubuh. Obat
digitalis untuk mengobati payah jantung atau aritmia supra ventrikuler, cenderung mudah
mengalami aritmia ventrikuler jika mendapat efedrin atau adrenalin.

Angka kematian akibat kardiovaskular yang disebabkan akibat aritmia kurang lebih
sebesar 20%. Takikardi atau fibrilasi ventrikular merupakan penyebab tersering yang dapat
mengancam nyawa. Kejadian aritmia dapat disebabkan karena gangguan tonus autonomik,
abnormalitas struktur anatomi dan metabolisme otot ventrikel.

Pada pemeriksaan pre-anastesi, Elektrokardiografi ( EKG ) memegang peranan yang


penting karena kemampuannya dalam memprediksi munculnya aritmia ventrikular ataupun
relevansi klinisnya. Pemeriksaan jantung berupa kekuatan kontraksi otot, irama denyut, ada
tidaknya gangguan koroner dan infark miokard. Gangguan kontraksi otot myocard
(decompensatio cordis) perlu diperbaiki sampai optimal dulu karena sebagian besar obat
anestesia umumnya dapatmenyebabkan depresi kontraksi otot jantung. Selain melalui EKG,
derajat payah jantung ditentukan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tekanan vena sentral di leher pasien.

Pemeriksaan ECG juga perlu dilakukan untuk melihat gangguan irama, aliran koroner
dan infark. Obat anestesia yang sebagian besar mengakibatkan depresi napas dan gangguan
kontraksi otot jantung, dalam keadaan hipoksia dapat menyebabkan aritmia yang
memerlukan terapi. Pasien dengan gangguan irama jantung diupayakan untuk diberikan
terapi terlebih dahulu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI ARITMIA


Irama jantung normal adalah irama yang berasal dari nodus SA , yang datang secara
teratur dengan frekuensi antara 60-100/menit, dan dengan hantaran tidak mengalami
hambatan pada tingkat manapun.
Aritmia adalah :
Irama yang berasal bukan dari nodus SA
Irama yang tidak teratur, sekalipun berasal dari nodus SA, misalnya sinus
aritmia
Frekuensi kurang dari 60x/menit (sinus bradikardi) atau lebih dari 100x/menit
(sinus takikardi)
Terdapatnya hambatan impuls supra atau intra ventrikular

Untuk membaca irama jantung, disamping frekuensi dan teratur atau tidaknya, harus
dilihat juga tempat asal (fokus) irama tersebut. Nodus SA merupakan fokus irama jantung
yang paling dominan, sehingga pada umumnya irama jantung adalah irama sinus. Bila
nodus SA tidak dapat lagi mendominasi fokus lainnya, maka irama jantung akan
ditentukan oleh fokus lainnya itu. Fokus irama jantung ini menjadi dasar dari klasifikasi
aritmia.

2.2 ETIOLOGI ARITMIA


Aritmia dapat terjadi karena hal-hal yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang
mempunyai automatisitas dan sistem penghantarnya :
 Persarafan autonom dan obat-obatan yang mempengaruhinya
 Lingkungan sekitarnya seperti beratnya iskemia, pH dan berbagai elektrolit
dalam serum, obat-obatan
 Kelainan jantung seperti fibrotis dan sikatriks, inflamasi, metabolit-metabolit
dan jaringan-jaringan abnormal/degeneratif dalam jantung seperti amiloidosis,
kalsifikasi, dan lain-lain
 Rangsangan dari luar jantung seperti pace maker

Etiologi ini dapat saling memberatkan satu sama lain, misalnya bila telah ada
hipertrofi otot jantung, kemudian timbul pula iskemia dan gangguan balance elektrolit
maka aritmia akan lebih mudah timbul.

2.3 KLASIFIKASI ARITMIA


Dari mekanisme terjadinya irama jantung dan aritmia maka dapat dibuat klasifikasi
irama jantung sebagai berikut :
 Irama berasal dari nodus SA
- Irama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada umumnya
- Sinus aritmia, baik yang disebabkan pernapasan (“respiratory”) ataupun tidak
- Sinus takikardia, peningkatan aktivitas node SA 100 kali/menit atau lebih
 Aritmia atrial
- Fibrilasi atrial (AFi) dengan respons ventrikel cepat, normal, atau lambat
- Fluter atrial (AFl)
- Atrial takikardia, biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial Tachycardia).
Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya, dan disebut sebagai PAT dengan
blok.
- Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial tersebut hanya datang satu per satu,
mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fokal)
 Aritmia AV jungsional
Ada yang timbul pasif, yaitu karena nodus SA kurang aktif sehingga diambil alih :
- Irama AV jungsional, biasanya bradikardia, bisa tinggi, sedang, atau rendah
- AV jungsional takikardia non paroksismal, yaitu irama ad 1 dengan HR yang
cepat (70-130/menit). Tapi ada pula yang secara aktif mendominasi nodus SA dan
fokus-fokus lainnya.
- AV jungsional ekstrasistol (uni-multi focal)
- AV jungsional takikardia paroksismal, seperti PAT
Seringkali sukar membedakan antara irama yang berasal dari Atrial atau AV
Jungsional, sehingga disebut saja sebagai irama supra ventrikular, karena memang
keduanya berasal dari atas ventrikel dan penatalaksanannya tidak jauh berbeda.
Tetapi AFl dan AFi tidak mungkin dari AV Jungsional, sebagaimana irama AV
Junctional pasif (non paroksismal) dapat dikenali bukan atrial.
 Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya
- Aritmia SV multifokal/wandering pace maker
- Multifokal SV takikardia
- Multifokal SV takikardia dengan blok
- SV ekstrasistol “non conducted”
 Aritmia ventrikular
- Irama Idio Ventrikular, biasanya non paroksismal, dan idio ventrikular
takikardia/non paroksismal ventrikular takikardia (non PVT)
- Paroksismal ventrikular takikardia (PVT)
- Fluter ventrikular (VFl) serta Fibrilasi Ventrikular (VFi)
- Parasistol ventrikular
 Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan percabangannya (Bundle Branch)
- Blok AV (AVB) derajat 1, 2 (tipe 1 Wenkebach serta tipe 2) dan 3 (total)
- Bundle Branch Block (BBB), mungkin kanan (RBBB) atau kiri (LBBB), bisa
parsial (inkomplit) atau total (komplit) dan bisa juga tergantung pada HR sehingga
disebut sebagai “rate dependent Bundle Branch Block”
Dalam suatu rekaman dari seorang pasien bisa ditemukan irama jantung sinus
dengan ekstrasistol ventrikel (VES) atau SVES unifokal atau multifokal,
multifokal SVES dengan aberantia, atau irama jantung yang berganti-ganti ke
aritmia AV jungsional atau atrial atau ventrikular, tergantung kondisi dan faktor
etiologi yang ada. Kunci pembedaan antara irama ventrikular atau
supraventrikular adalah menemukan ada tidaknya gelombang P dan menentukan
posisinya/hubungannya terhadap QRS. Irama ventrikular tidak didahului P atau
tidak ada hubungan antara P dan QRS.

Gangguan Irama Jantung yang Spesifik

Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia) tidak hanya terbatas pada denyut
jantung yang tidak teratur, tetapi juga termasuk kecepatan denyut jantung yang abnormal dan
gangguan konduksi.

Gangguan pada Nodus Sinus

Bradikardia Sinus
Bradikardia sinus ialah irama sinus yang kurang dari 60 kali per menit. Hal ini sering
diketemukan pada olahragawan yang terlatih. Pada pasien usia lanjut bradikardia sinus dapat
disebabkan oleh gangguan faal nodus sinus. Bradikardia sinus dapat juga disebabkan karena
miskedema (hipotiroidisme), hipotermia, vagotonia, dan tekanan intrakranial yang meninggi.
Umumnya bradikardia sinus tidak perlu diobati bila tidak ada keluhan. Tetapi bila denyut
kurang dari 40 kali per menit dan pasien merasa gelap (black out), mendapat serangan sinkop,
lelah, hipotensi karena curah jantung yang menurun, maka sebaiknya diobati dengan sulfas
atropine, yang dapat diberikan secara intravena. Bila tidak berhasil dengan terapi
medikamentosa, kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung.

Blok Sinoatrial
Blok sinoatrial ialah keadaan dimana pembentukan impuls di nodus sinus masih
normal tapi impuls dari nodus sinus tidak dapat mencapai atrium secara lengkap sehingga
pada gelombang P pada EKG tidak muncul pada waktunya dan jarak interval P-P menjadi
dua kali jarak interval P-P yang normal.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh stimulasi vagus yang berlebihan, miokarditis,
penyakit jantung koroner, terutama infark jantung bagian inferior, keracunan digitalis atau
obat anti aritmia yang lain. Blok sinoatrial dapat menimbulkan serangan sinkop pada pasien.
Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya disertai pemberian sulfas atropine, atau
perangsang beta adrenergic, seperti efedrin, isoproterenol, alupen. Pasien yang resisten
terhadap pengobatan perlu dilakukan pemasangan pacu jantung.

Aritmia Sinus
Aritmia sinus ialah kelainan irama jantung dimana irama sinus menjadi lebih cepat
pada waktu inspirasi dan menjadi lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini menjadi
lebih nyata ketika pasien disuruh menarik napas dalam. Aritmia ini hilang kalau timbul
takikardia pada pasien karena melakukan kegiatan olahraga atau pasien menderita demam.
Keadaan ini dapat ditemukan pada individu sehat dan tidak membutuhkan pengobatan.

Takikardia Sinus
Takikardia sinus ialah irama sinus yang lebih cepat dari 100 kali per menit. Keadaan
ini bisa ditemukan pada bayi dan anak kecil, dan takikardia sinus juga sering ditemukan pada
beberapa keadaan stress fisiologis maupun patologis seperti kegiatan fisik (olah raga),
demam, hipertiroidisme, anemia, infeksi, sepsis, hipovolemia, penyakit paru kronik. Obat-
obatan seperti atropine, katekolamin, kafein, hormone tiroid dapat menimbulkan takikardia
sinus. Takikardia juga bisa dapat disebabkan karena gagal jantung. Terapi ditujukan pada
kelainan dasarnya. Pemberian digitalis hanya pada gagal jantung. Pada hipertiroidisme
kadang-kadang perlu diberikan penghambat beta.

Kelainan Irama Jantung yang Berasal dari Atrium


Ekstrasistol Atrial
Ekstrasistolsistol atrial disebut juga premature atrial beats. Hal ini terjadi karena
adanya impuls yang berasal dari atrium yang timbul secara prematur. Keadaan ini biasanya
tidak mempunyai arti klinis yang penting, tetapi kadang-kadang dapat menjadi pencetus
timbulnya takikardia supraventrikular dan fibrilasi atrial. Pemeriksaan EKG menunjukkan
adanya gelombang P yang timbul prematur diikuti kompleks QRS yang normal. Ekstrasistol
atrial tidak membutuhkan pengobatan.

Takikardia Atrial Paroksismal


Takikardia atrial paroksismal disebut juga takikardia supraventrikular paroksismal.
Takikardia atrial paroksismal ialah suatu takikardia yang berasal dari atrium atau nodus AV.
Biasanya karena adanya re-entry baik di atrium atau nodus AV.
Pasien dengan takikardia atrial merasa jantung berdebar cepat sekali, dapat disertai
keringat dingin dan pasien akan merasa lemah. Kadang-kadang timbul sesak nafas dan
hipotensi. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner bila mendapat serangan takikardia
akan timbul serangan angina.
Pada pemeriksaan EKG akan terlihat gambaran seperti ekstrasistol atrial yang
berturut-turut lebih dari enam. Pada EKG kadang-kadang sukar dibedakan antara takikardia
atrial dan takikardia ventrikel terutama bila gelombang P tidak jelas dan ada aberansi
kompleks QRS. Takikardia atrial dapat berlangsung sebentar atau menetap sampai beberapa
hari.
Penatalaksanaan takikardia atrial paroksismal harus dilakukan segera, yaitu dengan
memberikan penekanan pada bola mata (eyeball pressusre) atau massage sinus karotikus.
Bila tak berhasil dapat diberikan verapamil secara intravena. Obat lain yang dapat dipakai
adenosine, diltiazem, digitalis, dan penyekat beta secara intravena. Bila obat-obatan tidak
berhasil menghentikan takikardia perlu dipertimbangkan tindakan defibrilasi denga DC
(direct current) counter shock.

Fibrilasi Atrial
Pada fibrilasi atrial terjadi eksitasi dan recovery yang sangat tidak teratur pada atrium.
Oleh karena itu impuls listrik yang timbul dari atrium juga sangat cepat dan sama sekali tidak
teratur. Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya gelombang fibrilasi (fibrillation wave)
yang berupa gelombang yang sangat tidak teratur dan sangat cepat dengan frekuensi dari 300
sampai 500 kali per menit. Bentuk gelombang fibrilasi dapat kasar (coarse atrial fibrillation)
dengan amplitude lebih dari 1 mm, atau halus (fine atrial fibrillation) sehingga
gelombangnya tidak begitu nyata. Biasanya hanya sebagian kecil dari impuls tersebut yang
sampai di ventrikel karena dihambat oleh nodus AV yang melindungi ventrikel, supaya
denyut ventrikel tidak terlalu cepat, sehingga akan menimbulkan denyut ventrikel antara 80-
150 per menit.
Pada pemeriksaan klinis ditemukan irama jantung yang sama sekali tidak teratur
dengan bunyi jantung yang intensitasnya tidak sama. Seringkali didapatkan adanya defisit
pulsus. Diagnosis dapat dengan mudah dilakukan dengan pemeriksaan EKG.
Fibrilasi atrial dapat berlangsung sebentar (paroksismal) atau menetap. Fibrilasi atrial
dapat disebabkan karena penyakit katup mitral, seperti stenosis mitral, penyakit jantung
iskemia, infark miokard akut, tirotoksikosis, dan infeksi akut pada jantung.
Pengobatan tergantung pada cepatnya denyut jantung, penyebab dan keadaan pasien.
Bila denyut jantung cepat sekali, lebih dari 150 per menit dan pasien dalam keadaan shock,
mungkin perlu dilakukan kardioversi dengan direct current counter shock. Bila denyut
jantung cepat sekali dan pasien dengan gagal jantung, dapat diberikan digoksin secara
intravena bersama-sama dengan pemberian furosemid dan amiodaron secara intravena.
Bila denyut jantung tidak terlalu cepat dapat diberikan digoksin secara oral untuk
mengontrol denyut jantung, kadang-kadang perlu diberikan bersama penyekat beta misalnya
pada tirotoksikosis atau dapat diberikan verapamil kalau ada kontraindikasi pemberian
penyekat beta.
Untuk mengkonversi fibrilasi menjadi irama sinus dapat diberikan amiodaron secara
intravena, rhythmonom propafenon per oral atau disopiramid secara oral. Akhir-akhir ini ada
obat baru yang lebih efektif untuk konversi fibrilasi atrial seperti dofetilid dan ibutilid.

Aritmia yang Disebabkan Oleh Pembentukan Rangsang Ektopik di Nodus AV

Ekstrasistol Nodal
Irama ektopik dapat berasal dari nodus AV. Seperti ekstrasistol atrial biasanya bersifat
jinak. Secara klinis ekstrasistol nodal tidak dapat dibedakan dengan ekstrasistol ventrikular
atau atrial. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan EKG yang menunjukkan
gambaran seperti ekstrasistol atrial, kecuali gelombang P dari ekstrasistol berbentuk negatif
di hantaran II atau gelombang P tak tampak, atau gelombang P muncul setelah kompleks
QRS.

Irama Nodal (Nodal Rhythm)


Pada irama nodal (junctional rhythm atau AV nodal escape rhythm), maka nodus
atrioventrikularis berpusat sebagai pusat ektopik yang memacu jantung dan pada gambaran
EKG tampak irama jantung dengan gelombang P berasal dari nodus AV diikuti kompleks
QRS biasa dengan kecepatan 50-60 permenit. Keadaan ini dapat terjadi karena iskemia
jantung atau intoksikasi digitalis. Kelainan ini belum tentu memerlukan pengobatan khusus,
kecuali bila frekuensi jantung menjadi sangat lambat, kurang dari 40 kali per menit atau
menimbulkan gangguan hemodinamik, maka perlu terapi dengan atropine sulfat secara
intravena, kadang-kadang perlu pemasangan pemacu jantung sementara.

Takikardia Nodal (AV junctional tachycardia atau nodal tachycardia)


Ada dua macam takikardia nodal yaitu junctional tachycardia dengan kecepatan 100-
140 per menit dan extrasystolic AV junctional tachycardia dengan denyut ventrikel 100-140
per menit.
Pada yang pertama terdapat percepatan junctional rhythm, yang menjadi nyata bila
kecepatannya melebihi kecepatan nodus sinus. Hal ini dapat disebabkan oleh intoksikasi
digitalis, infark miokard akut atau demam rematik akut. Pada intoksikasi digitalis harus
diobati secepatnya karena dapat menjadi takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel. Digitalis
harus dihentikan dan diberikan difenilhidantoin.
Takikardi AV junctional sangat mirip dengan takikardia atrial, baik dalam diagnosis,
gambaran klinis maupun pengobatannya.

Aritmia yang Disebabkan Oleh Pembentukan Rangsang Ektopik di Nodus AV

Ekstrasistol Ventrikel
Ekstrasistol ventrikel ialah gangguan irama dimana timbul denyut jantung prematur
yang berasal dari fokus yang terletak di ventrikel. Ekstrasistol ventrikel dapat berasal dari
satu fokus atau lebih (multifocal). Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung
yang paling sering ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal. Biasanya
frekuensinya bertambah dengan bertambahnya usia, terlebih bila banyak minum kopi,
merokok atau emosi.
Ekstrasistol ventrikel dapat disebabkan oleh iskemia miokard, infarks miokard akut,
gagal jantung, sindrom QT yang memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovaskular accident,
keracunan digitalis, hipokalemia, miokarditis, kardiomiopati. Pengobatan ditujukan pada
penyakit dasarnya atau pengobatan perlu diberikan pada ventrikel ekstrasistol yang dapat
berkembang menjadi aritmia ventrikel yang lebih berbahaya, seperti takikardia ventrikel.
Pada pasien dengan infark jantung akut terapi perlu diberikan bila ekstrasistol
dianggap maligna, karena dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya
seperti takikardia atau fibrilasi ventrikel. Ekstrasistol yang maligna yaitu yang jumlahnya
lebih dari 5 kali per menit, ekstrasistol ventrikel yang timbul berturut-turut (consecutive),
ekstrasistol ventrikel yang multifocal, ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T).
Obat yang paling sering dipakai pada ekstrasistol ventrikel yang maligna pada infark
jantung akut ialah xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis bolus 1-2 mg per kg
berat badan, dilanjutkan dengan infus 1-2 per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg per
menit. Obat lain yang dapat dipakai amiodaron, meksiletin, dilantin. Pada pasien yang tak ada
kelainan jantung organik lain maka pengobatan ekstrasistol ditujukan pada terapi non
farmakologi seperti menghentikan kebiasaan minum kopi, merokok, menghindari obat-obat
simpatomimetik seperti adrenalin, efedrin dan lain-lain. Kadang-kadang perlu pemberian
tranquilizer pada pasien yang banyak ketegangan.

Takikardia Ventrikel
Takikardia ventrikel ialah ekstrasistol ventrikel yang timbul berturut-turut 4 kali atau
lebih. Kelainan irama ini berbahaya dan membutuhkan pengobatan segera. Takikardia
ventrikel mudah berkembang menjadi fibrilasi ventrikel dan dapat menyebabkan henti
jantung (cardiac arrest). Penyebab takikardia ventrikel antara lain penyakit jantung koroner,
infark miokard akut, gagal jantung, keracunan digitalis. Takikardia umumnya menunjukkan
adanya penyakit jantung yang berat. Diagnosis takikardia ventrikel ditegakkan bila
ditemukan takikardia dengan kecepatan 150-210 per menit, umumnya teratur tapi kadang-
kadang sedikit tidak teratur. Biasanya timbul tiba-tiba dan tidak pernah terjadi sebelumnya.
Penekanan pada bola mata atau penekanan pada arteri karotis tidak ada efek apa-apa.
Intensitas bunyi jantung kadang-kadang berubah-ubah karena adanya disosiasi AV.
Kepastian diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan EKG dimana
didapatkan adanya takikardia dengan kompleks QRS yang lebar, lebih dari 0,21 detik dan tak
ada hubungan dengan gelombang P. Kadang-kadang sukar dibedakan dengan takikardia atrial
paroksismal disertai konduksi aberan. Sehingga kadang-kadang diperlukan pemeriksaan His
bundle electrocardiogram untuk untuk menegakkan diagnosis yang pasti.
Pengobatan dengan memakai xilokain 1-2 mg per kgbb dilanjutkan dengan pemberian
infus 1-2 mg per menit seperti pada pengobatan ekstrasistol ventrikel yang maligna. Infus
diberikan paling sedikit selama 24 jam, selanjutnya dapat diberikan amiodaron, meksiletin
atau sotalol secara oral. Dalam keadaan akut selain xilokain juga dapat diberikan amiodaron
per infus. Bila pasien dalam keadaan distress, gagal jantung atau syok harus segera dilakukan
defibrilasi dengan DC shock dengan dosis 50-100 Joules.

Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dan sama sekali tidak teratur. Hal
ini menyebabkan ventrikel tak dapat berkontraksi dengan cukup sehingga curah jantung
sangat menurun, bahkan sama sekali tidak ada, sehingga tekanan darah dan nadi tidak bisa
diukur, pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian.
Fibrilasi ventrikel paling sering karena penyakit jantung koroner, terutama infark miokard
akut, penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang memanjang. Pada pasien harus
secepatnya dilakukan resusitasi jantung paru, yaitu pernapasan buatan dan pijat jantung dan
secepatnya dilakukan direct current countershock dengan dosis 400 Joules. Pasien juga
diberikan xilokain atau amiodaron secara intravena. Pertolongan harus diberikan dalam 2-4
menit, bila tidak terlambat prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari 5 menit dapat terjadi
kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung kembali normal, mungkin kesadaran
pasien tidak dapat kembali.

Takikardia Idioventrikular
Pada takikardia idioventrikular, gambaran EKG memperlihatkan adanya kompleks
QRS yang berasal dari ventrikel (lebar dan bizarre) berturut-turut 3 atau lebih dengan
kecepatan 60-100 kali per menit. Keadaan ini disebut juga slow ventricular tachycardia atau
accelerated idioventricular rhythm. Kelainan ini paling sering disebabkan oleh infark
miokard akut. Takikardia idioventrikular biasanya tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan. Bila terjadi terus-menerus dan ditemukan tanda hipoperfusi jaringan, maka perlu
diberi terapi dengan atropine sulfat 0,5-1 mg secara intravena.

Gangguan Konduksi
Heart block (blok jantung). Istilah blok jantung menunjukkan suatu keadaan dimana
terjadi gangguan konduksi di nodus AV. Interval PR ialah waktu yang dibutuhkan oleh
impuls listrik untuk menjalar dari atrium ke nodus AV dan His bundle serta cabang-
cabangnya sampai ke ventrikel. Interval PR yang normal berkisar antara 0,12-0,20 detik.
Berdasarkan pemeriksaan EKG blok AV dibagi 3, yaitu :
 Blok AV tingkat I
Pada blok AV tingkat I interval PR memanjang lebih dari 0,20 detik
 Blok AV tingkat II
Terjadi kegagalan impuls dari atrium untuk mencapai ventrikel secara intermiten,
sehingga denyut ventrikel berkurang
 Blok AV tingkat III (blok jantung yang komplit=complete heart block)
Terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari atrium sama sekali tidak
dapat sampai ke ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena stimulasi
impuls yang berasal dari ventrikel sendiri.

Blok AV Tingkat I
Blok AV tingkat I umunya disebabkan karena gangguan konduksi di proksimal His
Bundle, hal ini disebabkan karena intoksikasi digitalis, peradangan, proses degenerasi atau
variasi normal. Biasanya tidak membutuhkan terapi apa-apa dan prognosanya baik.

Blok AV Tingkat II
Dibagi 2, yaitu Mobitz tipe I (Wenckebach block) dan Mobitz tipe II. Pada Mobitz
tipe I interval PR secara progresif bertambah panjang sampai suatu ketika impuls dari atrium
tidak dapat sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel (kompleks QRS) tidak tampak atau
gelombang P tidak diikuti oleh kompleks QRS. Pada pemeriksaan His Bundle
Electrocardiogram (elektrokardiogram bundle His) biasanya lokasi dari blok proksimal dari
Bundle His. Mobitz tipe I dapat disebabkan karena tonus vagus yang meningkat, keracunan
digitalis atau iskemia. Bila tidak menimbulkan keluhan dan tidak ada gangguan hemodinamik
tidak memerlukan pengobatan.
Pada Mobitz tipe II, interval PR tetap sama ttapi didapatkan denyut ventrikel yang berkurang
(dropped beat). Kekurangan denyut ventrikel dapat teratur atau tidak, seperti 2:1, 4:1, 4:3 dan
sebagainya. Pemeriksaan elektrokardiogram bundle His menunjukkan gangguan konduksi
distal dari bundle His. Etiologinya adalah infark miokard akut, miokarditis, proses degenerasi
(penyakit Lev’s atau Lenegre). Kelainan dapat timbul sementara dan kembali normal,
menetap, atau berkembang jadi blok yang komplit. Pasien dengan Mobitz tipe II dapat timbul
serangan sinkop dan sebaiknya dilakukan pemasangan pacu jantung.

Blok AV Tingkat III


Disebut juga blok jantung komplit. Pada blok AV tingkat III impuls dari atrium tidak
bis sampai di ventrikel. Kontraksi ventrikel karena rangsangan oleh fokus di nodus AV atau
fokus di ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri tidak ada hubungan dengan denyut
atrium. Gambaran EKG memperlihatkan adanya gelombang P teratur dengan kecepatan 60-
90 kali per menit, sedangkan kecepatan kompleks QRS hanya 40-60 kali per menit. Blok AV
tingkat III disebabkan oleh proses degenerasi, peradangan, intoksikasi digitalis, infark
miokard akut. Blok AV tingkat III pada infark biasanya hanya sementara dan akan kembali
normal setelah infark sudah tenang, walaupun ada yang menetap. Bila blok AV tingkat III
menetap sebaiknya dilakukan pemasangan pacu jantung. Blok AV tingkat III biasanya
menimbulkan gangguan hemodinamik dan menimbulkan keluhan lelah, sinkop, sesak, dan
angina pada usia lanjut.

Bundle Branch Block (BBB)


Bundle Branch Block menunjukkan adanya gangguan konduksi di cabang kanan atau
kiri sistem konduksi, atau divisi anterior dan posterior cabang kiri. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan EKG dimana ditemukan kompleks QRS yang melebar lebih dari 0,11
detik disertai perubahan bentuk kompleks QRS dan aksis QRS.
Bila cabang kiri yang terganggu disebut left bundle branch block (LBBB). Pada
pemeriksaan EKG akan tampak bentuk rsR’ atau R yang lebar di I, aVL, V5 dan V6.
Gangguan konduksi yang terjadi pada divisi anterior cabang kiri akan menyebabkan
perubahan aksis menjadi deviasi ke kiri yang ekstrim dan disebut left anterior hemiblock,
sedangkan bila divisi posterior cabang kiri terganggu akan menimbulkan aksis yang deviasi
ke kanan yang ekstrim dan dinamakan left posterior hemiblock.
Pasien dengan LBBB seringkali tak ada keluhan dan tidak membutuhkan pacu
jantung. Kalau ada sinkop atau timbul gangguan konduksi lebih berat seperti blok AV tingkat
II atau III, maka seringkali perlu dilakukan pemasangan pacu jantung.
Bila cabang kanan yang terganggu dinamakan right bundle branch block (RBBB).
Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya kompleks QRS yang melebar lebih dari 0,12
detik dan akan tampak gambaran rsR’ atau RSR’ di V1, V2, sementara itu di I, aVL, V5 dan
V6 didapatkan S yang melebar karena depolarisasi ventrikel kanan yang terlambat.
RBBB dapat diketemukan pada jantung yang normal, dapat juga pada kelainan kongenital
seperti atrial septal defect (ASD), pada infark miokard maupun iskemia miokard atau pada
penyakit degenerasi sistem konduksi (penyakit Lenegre atau Lev).
Pasien dengan RBBB seringkali tak ada keluhan dan membutuhkan terapi. Tapi bila
terjadi sinkop dan ada tanda gangguan konduksi yang lain seperti blok AV tingkat II atau III,
maka perlu dipertimbangkan pemasangan pacu jantung.
Sindrom Brugada ialah kelainan EKG berupa RBBB dengan elevasi ST di V1-V3 dan
biasanya tak ada gelombang S yang lebar. Pasien dengan sindrom ini terancam kematian
mendadak. Sindrom ini diterapi dengan Quinidin dosis tinggi atau amiodaron. Akhir-akhir ini
dianjurkan pemasangan ICD (implantable cardioverter-defibrillator)

Sindrom Praeksitasi
Sindrom ini ditandai dengan adanya depolarisasi ventrikel yang premature. Termasuk
dalam golongan ini ialah sindrom Wolff Parkinson White (WPW) dan sindrom Lown Ganong
Levine (LGL). Pada WPW gambaran EKG menunjukkan adanya gelombang P yang normal,
interval PR yang memendek, kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS melebar karena adanya
gelombang delta (adanya defleksi permulaan kompleks QRS yang dini dan slurred).
Perubahan kompleks QRS disertai perubahan gelombang T yang sekunder. Gambaran EKG
ini disebabkan karena adanya jalur asesori atau jalur anomalus yang menghubungkan atrium
dengan ventrikel, sehingga sebagian ventrikel akan diaktivasi sangat dini. WPW lebih sering
ditemukan pada pria dan dapat ditemukan pada pasien tanpa kelainan jantung lain. WPW
umumnya jinak tapi dapat menimbulkan takiaritmia seperti reciprocating tachycardia atau
paroxysmal flutter atau fibrilasi. Pengobatan diberikan bila ada takiaritmia dengan digitalis,
propanolol, atau amiodaron. Kadang-kadang perlu dilakukan tindakan ablasi jalur anomalus.
Pada LGL gambaran EKG menunjukkan gelombang P normal, interval PR memendek
kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS normal. Pada LGL dapat terjadi serangan takikardia
supraventrikuler. Keadaan ini karena adanya jalur asesori yang menghubungkan atriu dengan
bundle His. Kelainan ini lebih sering pada perempuan; aritmia yang sering terjadi selain
takikardia supraventrikular juga fibrilasi dan flutter atrium. Pengobatan dengan propanolol,
amiodaron, verapamil. Bila hasil kurang memuaskan perlu dilakukan pemeriksaan
elektrofisiologi dan dilakukan tindakan ablasi jalur yang abnormal tadi.
Disosiasi AV
Pada disosiasi AV, atrium dikontrol oleh focus di atrium, seringkali oleh nodus AV
sedangkan ventrikel dikontrol oleh pacemaker di ventrikel sendiri. Disosiasi AV dapat
disebabkan karena aktivitas nodus sinus berkurang atau nodus AV menjadi lebih cepat
sehingga mendominasi ventrikel atau kombinasi keduanya. Disosiasi AV dapat karena
keracunan digitalis atau komplikasi infark miokard akut atau karena peradangan seperti
penyakit demam rematik yang aktif.
Keadaan ini harus dibedakan dengan blok AV tingkat III karena disosiasi AV
mempunyai prognosis lebih baik dan sering kali tidak membutuhkan obat aritmia dan juga
tidak memutuhkan pacu jantung. Pengobatan terutama untuk penyakit dasarnya.
2.4 PENANGANAN EMERGENCY
2.5 OBAT ANTIARITMIA

LIDOKAIN

Farmakokinetik
Lidokain efektif bila diberikan secara intra vena. Pada pemberian intra vena mula kerja 45‐90
detik. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1‐2 menit dan waktu paruh 30‐120 menit.
Hampir semuanya lidokain dimetabolisme di hepar menjadi monoethylglcinexcylidide
melalui oksidatif dealkylation, kemudian diikuti dengan hidrolisis menjadi xylidide.
Monoethylglcinexcylidide mempunyai aktivitas sekitar 80 % dari lidokain sebagai
antidisritmia sedangkan xylidide hanya mempunyai aktivitas antidisritmia 10 %. Xylidide
diekskresi dalam urin sekitar 75 % dalam bentuk 4‐hydroxy‐2,6‐dimethylaliniline. Lidokain
dalam plasma 50 % terikat oleh albumin. Pada penderita payah jantung dan penyakit hepar
dosis harus dikurangi karena waktu paruh dan volum distribusinya akan memanjang.

Mekanisme Kerja

Anestesi lokal memblok hantaran syaraf dengan menurunkan atau mencegah peningkatan
permeabilitas membrane terhadap Na+ di mana secara normal dihasilkan oleh depolarisasi
ringan membrane. Mekanisme ini disebabkan langsung oleh interaksi dengan voltase gerbang
natrium chanel. Sebagai agen anestesi pada syaraf, ambang batas untuk rangsangan listrik
meningkat secara gradual, aksi potensial menurun, hantaran impuls menjadi lambat dan
hantaran syaraf gagal. Local anestesi dapat memblok chanel K+ dalam konsentrasi tinggi.
Sebagai anestesi lokal, lidokain menstabilisasi membrane syaraf dengan cara mencegah
depolarisasi pada membrane syaraf melalui penghambatan masuknya ion natrium. Obat
anestesi lokal mencegah transmisi impuls syaraf ( blokade konduksi ) dengan menghambat
perjalanan ion Natrium ( Na+ ) melalui saluran ion selektif Na+ dalam membrane syaraf.
Saluran Natrium sendiri merupakan reseptor spesifik untuk molekul anestesi lokal.
Kemacetan pembukaan saluran Natrium oleh molekul anestesi lokal sedikit memperbesar
hambatan keseluruhan permeabilitas Na+ . Kegagalan permeabilitas saluran ion terhadap ion
Natrium, memperlambat peningkatan kecepatan depolarisasi sehingga ambang potensial tidak
dicapai dan dengan demikian potensial aksi tidak disebarkan. Saluran Na+ ada dalam
keadaan diaktivasi‐terbuka, tidak diaktivasi tertutup dan istirahat‐tertutup selama berbagai
fase aksi potensial. Pada membrane syaraf istirahat, saluran Na+ didistribusi dalam
keseimbangan diantara keadaan istirahat‐ tertutup dan tidak diaktivasi‐tertutup. Dengan
ikatan yang selektif terhadap saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi‐tertutup, molekul
anestesi lokal menstabilisasi saluran dalam konfigurasi ini dan mencegah perubahan mereka
menjadi dalam keadaan istirahat‐tertutup dan diaktivasi‐terbuka terhadap respon impuls
syaraf. Saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi‐tertutup tidak permeabel terhadap Na+
sehingga konduksi impuls syaraf dalam bentuk penyebaran potensial aksi tidak dapat terjadi.
Hal ini diartikan bahwa ikatan obat anestesi lokal pada sisi yang spesifik yang terletek pada
bagian sebelah dalam saluran Na+ sebaik penghambatan saluran Na+ dekat pembukaan
eksternalnya mempertahankan saluran ini dalam keadaan tidak diaktivasi‐tertutup.

Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada suatu serabut
syaraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls lambat, kecepatan
potensial aksi menurun, amplitude potensial berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk
membangkitkan potensial aksi akan hilang. Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan
antara anestesi lokal dengan saluran ion Natrium yang semakin meningkat. Pada setiap
saluran ion, ikatan menghasilkan penghambatan arus ion Natrium. Apabila arus ion Natrium
dihambat sepanjang serabut syaraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat tidak
terjadi. Pada dosis minimum yang diperlukan untuk menghambat impuls, potensial aksi tidak
dipengaruhi secara berarti.

Bila lidokain digunakan secara intravena, konsentrasi neurotransmitter acethylcholin


meningkat pada cairan cerebrospinal, dimana akan menyebabkan penghambatan descending
pain pathway yang menghasilkan analgesia kemungkinan pengikatan reseptor muskarinik,
inhibisi reseptor glysin, dan pelepasan opioid endogen yang pada akhirnya menyebabkan
analgesia. Di samping mekanisme ini, ketika lidokain sampai pada spinal cord langsung atau
secara tidak langsung menurunkan post sinap depolarisasi diperantarai oleh N‐methyl‐D‐
aspartate. Lidokain intravena menurunkan respon inflamasi dari iskemik jaringan dan
kerusakan jaringan.

Preklinikal dan clinical study menunjukkan Natrium Chanel Blocker termasuk lidokain,
diberikan sistemik atau intratekal, efektif menghambat pain. Efek analgesik ini dapat dicapai
dengan dosis minimal lidokain, dimana tidak meningkatkan ambang batas nyeri nociceptif
atau konduksi axon. Hal ini dilaporkan oleh Wallace et al. yang menyatakan bukan efek
utama oleh sistemik lidokain infuse pada panas, dingin atau ambang batas mekanikal.
Penemuan ini sesuai dengan Bach et al, yang menunjukkan lidokain intravena menurunkan
neuropathic pain tanpa efek terhadap system sensorik. Penggunaan bolus lidokain 2 mg/kg
BB sama dengan yang dinyatakan Wallace et al.yang menunjukkan penurunan pain score dan
bersamaan dengan pengurangan ukuran lapangan receptive dimana nyeri ditunjukkan. Mula
kerja terhadap penghambatan aktivitas neuron pada dorsal horn spinal setelah intra vena
lidokain terjadi dalam 5‐7 menit. Aksi anti hiperalgesia pada sistemik lidokain terutama pada
spinal cord. Efek analgesik lidokain intra vena diperkuat tidak hanya menghambat Channel
Natrium, tetapi juga memblok N‐methyl‐D‐aspartate dan reseptor neurokinin. Pada
pemberian tunggal lidokain intra vena menghasilikan konsentrasi lidokain yang kuat dan
cukup lama dalam CSF untuk beraksi pada dorsal horn. Oleh karena itu disarankan
penggunaan lidokain intra vena untuk menekan impuls nociceptive.

Efek terhadap jantung

Pada kardiovaskular lidokain menekan dan memperpendek periode refrakter dan lama
potensial aksi dari sistem His‐Purkinje dan otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang
berefek pada atrium. Lidokain menekan aktivitas listrik jaringan aritmogenik yang
terdepolarisasi , sehingga lidokain sangat efektif untuk menekan aritmia yang berhubungan
dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan
polarisasi normal ( fibrilasi atrium ). Efek toksisitas jantung akibat tingginya konsentrasi
plasma dapat terjadi karena lidokain menghambat saluran Natrium jantung. Pada konsentrasi
rendah obat anestesi lokal, efek pada saluran Natrium ini mungkin memperbesar sifat
antidisritmia jantung. Tetapi jika konsentrasi plasma berlebihan, saluran Natrium jantung
cukup dihambat sehingga konduksi dan automatisasi didepresi dan merugikan. Melambatnya
impuls cardiak melalui jantung yang ditunjukkan dengan pemanjangan interval P‐R dan
complek QRS pada elektrokardiografi. Toksisitas pada jantung dihubungkan terhadap efek
langsung pada otot jantung yaitu kontraktilitas, automatisasi, ritme dan konduktivitas jantung.
Dosis intra vena 2‐4 mg/kg BB terhadap kontraktilitas jantung pada manusia minimal.

Toksisitas Lidokain

Gelala awal dari komplikasi SSP adalah rasa tebal lidah, agitasi, disorientasi, euphoria,
pandangan kabur dan mengantuk. Toksisitas lidokain terhadap CNS terjadi secara bifasik.
Manifestasi awal adalah eksitasi SSP dengan masalah berupa kejang. Manifestasi yang
berikutnya adalah depresi SSP dengan berhentinya kejang dan diikuti dengan hilangnya
kesadaran, depresi nafas, hingga berhentinya nafas. Efek bifasik ini terjadi karena obat
anestesi lokal memblok inhibitory pathway ( menghasilkan stimulasi ) dan kemudian dengan
cepat memblok inhibitory dan excitatory pathway ( menghasilkan hambatan luas SSP).
Konsentrasi tinggi dalam serum dari suatu anestesi lokal menyebabkan efek pada
kardiovaskular. Lidokain memblok Channel Natrium melalui mekanisme fast‐in slow‐out.
Pada jantung mekanisme ini mendepresi depolarisasi selama fase 0 potensial aksi jantung dan
mungkin menyebabkan aritmia. Tambahannya konduksi yang melalui Sinoatrial Node dan
Atrioventricular Node di tekan. Bila tidak diobati, toksisitas lidokain dapat menyebabkan
kejang, depresi dan henti napas, hipotensi, henti jantung dan kematian. Penyebab tersering
dari keracunan lidokain adalah kesalahan dosis. Dosis maksimum yang direkomendasikan
adalah 3‐5 mg/kgBB tanpa adrenalin dan sampai 7 mg/kgBB bila dengan adrenalin. Rasa
tebal lidah, pandangan kabur dan mengantuk adalah gejala awal dengan konsentrasi plasma >
5 mcg/ml, hilangnya kesadaran pada konsentrasi > 10 mcg/ml, diikuti dengan kejang pada
12‐18 mcg/ml, dan akhirnya depresi napas dan jantung pada konsentrasi 20‐24 mcg/ml.
CD100 ( convulsan dose ) pada manusia adalah 5‐7 mg/kgBB dengan bolus cepat intra vena.
Universitas Sumatera Utara 33 CD50 adalah dengan 2‐4 mg/kgBB bolus cepat intra vena.
Toksisitas lidokain tidak akan terjadi dengan konsentrasi plasma kurang dari 5 mcg/ml. Saat
ini dilaporkan dosis bervariasi antara 1‐1,5 mg/kgBB bolus intravena. Secara umum dosis ini
menghasilkan konsentrasi plasma 1,3 – 3,7 mcg/ml. Pada dosis ini tidak ada peningkatan
toksisitas lidokain.40,41 Tujuan utama dari pengobatan toksisitas lidokain adalah
pertahankan jalan napas dan penanganan terhadap kejang. Penanganan toksisitas lidokain
adalah hentikan segera pemberian obat dan persiapan untuk penanganan reaksi yang terjadi.
Pastikan oksigenasi yang adekuat melalui facemask atau intubasi. Anticonvulsan seperti
benzodiazepin dan barbiturat adalah obat pilihan untuk mengatasi kejang yang terjadi,
phenytoin tidak efektif dan sebaiknya dicegah. Pada reaksi yang berat system kardiovaskular
dimonitor dan terapi supportif berupa cairan intra vena dan vasopressor diperlukan. Asidosis
metabolik dapat terjadi sehingga penggunaan natrium bikarbonat dapat dipertimbangkan.

AMIODARON

Struktur kimia Amiodaron adalah derivat benzofuran yang mengandung dua atom iodium per
molekul. Amiodaron mengandung iodium sebanyak 37% dari beratnya. Sekitar 10% molekul
ini mengalami deiodinasi perhari. Karena mengandung iodium, amiodaron berpotensi
menyebabkan disfungsi tiroid. Dosis pemeliharaan sebesar 200-600 mg per hari melepaskan
6-21 mg iodium bebas per harinya. Beban iodium ini jauh melebihi rekomendasi World
Health Organisation (WHO) terhadap asupan optimal iodium per hari yaitu 0,15-0,3 mg per
hari. Pada pasien yang diberi amiodaron, kadar iodium anorganik di urin dan plasma
ditemukan meningkat 50-100 kali melebihi kebutuhan iodium harian.

Farmakokinetik

Amiodaron bersifat sangat lipofilik dan didistribusikan ke berbagai jaringan seperti jaringan
adiposa, miokardium, hati dan paru-paru. Sekitar 35-65% obat ini diabsorbsi setelah
pemberian oral. Waktu bekerjanya setelah pemberian oral berlangsung lambat dan kadar yang
stabil dalam darah (amiodaronisasi) mungkin belum tercapai selama beberapa bulan, kecuali
bila dosis besar diberikan pada awal pemakaian. Bahkan dengan pemberian intravena, efek
penuh elektrofisiologisnya lambat tercapai. Saat pemberian awal secara intravena amiodaron
intravena seakan cepat ‘menghilang’ dari plasma karena redistribusi ke jaringan bukan karena
eliminasi keluar dari tubuh. Karena redistribusi di jaringan ini dibutuhkan loading dose
sebelum konsentrasinya stabil (steady state) di jaringan. Amiodaron tidak diekskresikan
melalui ginjal namun melalui kelenjar lakrimal, kulit, dan traktus biliaris. Sebagian besar (66-
75%) dieliminasi melalui empedu dan feses.

Amiodaron mengalami metabolisme di 86 Jurnal Biomedik, Volume 3, Nomor 2, Juli 2011,


hlm. 84-94 hati menjadi metabolit aktif, yaitu desetil amiodaron (DEA). Terdapat variasi
individual antara konsentrasi amiodaron dan desetil amiodaron yang dihubungkan dengan
supresi antiaritmik. Kadar terapeutik dalam plasma sampai saat ini belum didefinisikan
dengan pasti, mungkin berkisar antara 1,0- 2,5 mg/ml dan hampir semuanya (95%) terikat
dengan protein. Kadar yang lebih tinggi (> 2,5 mg/ml) dihubungkan dengan meningkatnya
toksisitas.5-7 Pada analisis jaringan post mortem, ditemukan konsentrasi amiodaron yang
bervariasi di berbagai jaringan. Konsentrasi amiodaron intratiroid dan DEA ditemukan
14mg/kg dan 64mg/kg, sedangkan di jaringan lain yaitu adiposa sebesar 316 mg/kg dan 76
mg/kg , hepar 391 mg/kg dan 2354 mg/kg. Dalam satu studi, pada 8 pasien setelah pemberian
amiodaron jangka panjang eliminasi terminal waktu paruh rata-rata 52,6 ± 23,7 hari untuk
amiodaron dan 61,2 ± 31,2 untuk DEA. Di studi lain ditemukan eliminasi waktu paruh adalah
40 + 10 hari untuk amiodaron dan 57 + 27 hari untuk DEA. Hasil di atas menjelaskan
mengapa setelah penghentian amiodaron obat dan metabolitnya tetap ada untuk jangka waktu
yang lama. 3,7 Indikasi Efek antiaritmia amiodaron merupakan hasil interaksinya dengan
sistem konduksi jantung. Penggolongan obat antiaritmia dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan mekanisme ionik dan reseptor obat pada proses potensial aksi di sistem konduksi
jantung. Amiodaron termasuk golongan III, yaitu obat aritimia yang terutama bekerja di
saluran K + sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan interval QT. Mekanisme kerja
amiodaron juga meliputi aktivitas obat aritmia kelas I, II, dan IV sehingga disebut sebagai
obat aritmia dengan spektrum luas dan cukup efektif digunakan pada berbagai macam
aritmia.1 Di antaranya adalah paroksismal supraventrikuler aritmia sebagai agen pilihan
kedua setelah adenosin dan calcium channel blocker nondihidropiridin, sebagai obat
kardioversi untuk fibrilasi atrium, dan sebagai pilihan utama untuk takiaritmia ventrikuler.1
Amiodaron direkomendasikan untuk beberapa keadaan, antara lain: terapi pada VT tanpa
nadi atau VF yang refrakter terhadap defibrilasi; terapi VT polimorfik atau takikardia dengan
QRS kompleks yang lebar yang tidak diketahui sebabnya; kontrol VT dengan hemodinamik
stabil apabila kardioversi tidak berhasil, sangat berguna terutama bila fungsi ventrikel kiri
menurun; sebagai obat tambahan pada kardioversi supraventrikular takikardia atau
paroksismal supraventrikular takikardi; dapat digunakan untuk terminasi takikardia atrial
multifokal atau ektopik dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik; dapat digunakan untuk
kontrol denyut jantung pada atrial fibrilasi atau atrial flutter bila terapi lain tidak efektif.8
Dosis Pada keadaan di mana efek antiaritmia amiodaron dibutuhkan cepat, dosis awal oral
(loading dose) dapat sebesar 800-1600 mg/hari dalam 3-4 dosis sedangkan secara intravena
dalam satu hari dapat diberikan sampai 1000 mg. Pada keadaan yang lebih ringan amiodaron
oral diberikan dengan dosis awal 600 mg per hari. Loading dose ini dapat diberikan selama 7-
14 hari sampai aritmia dapat dikontrol lalu diturunkan lagi menjadi 400-800 mg/hari untuk
satu sampai tiga minggu berikutnya. Besar dosis pemeliharaan yang diberikan untuk jangka
panjang tergantung dari aritmianya; pada atrial flutter atau fibrilasi atrial dosisnya dapat lebih
kecil yaitu 100 mg/hari dibandingkan dengan 200-400 mg/hari untuk kontrol aritmia
ventrikuler.1 Efek samping Penggunaan amiodaron telah dihubungkan dengan beberapa efek
samping kardiak dan non kardiak. Amiodaron dapat menyebabkan blok pada nodus SA atau
AV sehingga dapat menyebabkan bradikardia berat dan membutuhkan alat pacu jantung
permanen.

2.6 PENCEGAHAN ARITMIA PADA ANESTESI

Anda mungkin juga menyukai