Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ILMU BIOLOGI REPRODUKSI

Optimalisasi Reproduksi dan Penanganan Gangguan Reproduksi


(Gangrep) pada Ternak Sapi/Kerbau dan Proyek Upsus Siwab
berdasarkan Profesionalisme Ahli Reproduksi

Oleh:

1. Intan Kumala Ningtyas


2. Ivo Febrina Prasetyo
3. Aisyah Shaumanur Artha Hidayah

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOLOGI REPRODUKSI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit gangguan reproduksi masih menjadi kendala terbesar dalam peningkatan

produksi populasi sapi di Tanah Air. Pemerintah membuat program Optimalisasi

reproduksi dan penanganan gangguan reproduksi (Gangrep) pada ternak sapi/kerbau, tahun

2016, dimana program ini merupakan langkah awal dalam pelaksanaan program UPSUS

SIWAB tahun 2017, dengan maksud kejadian gangguan reproduksi berkurang sehingga

diharapkan satu indukan dapat menghasilkan 1 anakan setiap tahunnya (one calving one

year) dengan kata lain kedua program ini ditujukan untuk swasembada daging tahun 2026

seperti yang di canangkan oleh presiden Jokowi.

Menurut pendapat Anderson (1979) sebuah kebijakan adalah serangkaian tindakan

yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya

untuk memecahkan suatu masalah (a purposive corse of problem or matter of concern).

Dua program ini merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menjadikan

Indonesia sebagai negara swasembada daging, dimana para pelakunya yakni pemerintah

dan peternak lokal. Dalam membuat keputusan jika dipandang dari ilmu filsafat sebuah

keputusan pasti memiliki sebuah tujuan baik secara tersirat maupun tersurat. Dalam hal ini

tujuan yang tersurat dalam program ini yakni memenuhi kebutuhan daging dan protein

hewani di masyarakat. Adapun tujuan tersirat yakni mencerdaskan anak bangsa dengan

terpenuhi kebutuhan protein.

Sebuah program yang dicanangkan pemerintah sesuai dengan kajian filsafat yang

memiliki pilar penting yakni ontologis, epistemologis dan axiologis. Keberhasilan program

ini pasti memerlukan kerjasama pemerintah dengan peternak, maka dari itu sebagai

pemerintah harus benar-benar mengerti kedaan rakyat. Sedangkan dari segi rakyat memiliki
hak menerima atau tidak menerima sebuah kebijakan dari pemerintah. Hal ini yang

menjadikan masalah baru atau sebagai tolak ukur dari sebuah program.

Filsafat merupakan sebuah ilmu yang tidak akan berhentik pada penyelesaian masalah.

Namun filsafat juga merupakan suatu ilmu untuk menyelesaikan sebuah masalah. Oleh

karena itu sebagai pemerintah jika dipandang secara professional harus bertanggung jawab

atas keberhasilan program yang dicanangkan dengan kerjasama yang baik dari semua pihak

yang ikut dalam pelaksanaan program ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah tujuan dari program Gangrep dan Upsus Siwab (terlihat dan tidak terlihat)?

2. Bagaimana tinjauan kritis terhadap kebijakan pemerintah yakni proyek Gangrep dan

proyek upsus siwab jika dipandang dari ilmu filsafat segi ilmu onkologis, epistemologi

(apakah dampak di peternak dan pemerintah cth pungli, peternak senang ib gratis,

peternak aktif) dan axiology (mengapa pemerintah mencanangkan ib gratis)?

3. Bagaimana tolak ukur keberasilan dari sebuah program gangrep dan upsus siwab antara

pemerintah dengan peternak (peternak malas recording ib, peternak menjadikan ternak

sebagai investasi, kendala sdm, blantikharga sapi lokal tetap mahal)?

4. Bagaimana penyelesaian dari kendala dari program gangrep dan upsus siwab (sentra

kelompok ternak kemitraan koperasimencontoh dari sapi perah)?

1.3 Tujuan

1. Mempelajari tujuan program gangrep dan upsus siwab

2. Mempelajari tinjauan kritis terhadap kebijakan pemerintah yakni proyek Gangrep dan

proyek upsus siwab jika dipandang dari ilmu filsafat segi ilmu onkologis, epistemologi

(apakah dampak di peternak dan pemerintah cth pungli, peternak senang ib gratis,

peternak aktif) dan axiology (mengapa pemerintah mencanangkan ib gratis)? Mengetahui

tolak ukur keberasilan dari sebuah program gangrep dan upsus siwab antara pemerintah
dengan peternak (peternak malas recording ib, peternak menjadikan ternak sebagai

investasi, kendala sdm, blantikharga sapi lokal tetap mahal)

3. Mempelajari tolak ukur keberasilan dari sebuah program gangrep dan upsus siwab antara

pemerintah dengan peternak (peternak malas recording ib, peternak menjadikan ternak

sebagai investasi, kendala sdm, blantikharga sapi lokal tetap mahal).

4. Mempelajari penyelesaian dari kendala dari program gangrep dan upsus siwab (sentra

kelompok ternak kemitraan koperasimencontoh dari sapi perah)

1.4 Manfaat

1. Mengetahui tujuan program gangrep dan upsus siwab

2. Mengetahui tinjauan kritis terhadap kebijakan pemerintah yakni proyek Gangrep dan

proyek upsus siwab jika dipandang dari ilmu filsafat segi ilmu onkologis, epistemologi

(apakah dampak di peternak dan pemerintah cth pungli, peternak senang ib gratis,

peternak aktif) dan axiology (mengapa pemerintah mencanangkan ib gratis)? Mengetahui

tolak ukur keberasilan dari sebuah program gangrep dan upsus siwab antara pemerintah

dengan peternak (peternak malas recording ib, peternak menjadikan ternak sebagai

investasi, kendala sdm, blantikharga sapi lokal tetap mahal)

3. Mengetahui tolak ukur keberasilan dari sebuah program gangrep dan upsus siwab antara

pemerintah dengan peternak (peternak malas recording ib, peternak menjadikan ternak

sebagai investasi, kendala sdm, blantikharga sapi lokal tetap mahal).

4. Mengetahi penyelesaian dari kendala dari program gangrep dan upsus siwab (sentra

kelompok ternak kemitraan koperasimencontoh dari sapi perah)


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tujuan Program Gangguan Reproduksi (Gangrep) dan Program Upsus Siwab

Ketahanan pangan dalam negeri memang harus terus digerakkan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus menerus membutukan asupan pangan asal

hewan dari tahun ke tahun. Menurut pendapat Sudaryanto dan Jamal (2000) Upaya

meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan

produk peternakan selain dilihat dari kemampuannya dalam menyediakan produk

peternakan, juga perlu diperhatikan seberapa jauh usaha yang telah dikembangkan oleh

pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat.

Produk daging sapi merupakan komoditas kedua setelah unggas (ayam potong).

Kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23% dan diperkirakan

akan terus mengalami peningkatan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Berdasarkan

laju peningkatan konsumsi daging sapi yang mencapai 4%, dibandingkan dengan laju

peningkatan produksi sapi potong sebesar 2%, maka dalam jangka panjang diperkirakan

terjadi kekurangan produksi akibat adanya pengurangan ternak sapi yang berlebihan

walaupun ditunjang oleh daging unggas. Secara umum kebutuhan daging sapi masih

disupply oleh impor daging maupun sapi bakalan.

Dalam rangka menunjang ketahanan pangan nasional pemerintah mengeluarkan

program penanganan gangguan reproduksi (Gangrep) dan Program Upsus Siwab, dalam

rangka peningkatan ketersediaan pangan sumber protein hewani asal ternak, maka prioritas

utama yang dikembangkan adalah usaha budidaya dan industri pendukungnya dengan

memanfaatkan sumberdaya lokal, sehingga pengembangan industri peternakan secara

bertahap akan mengurangi yang sifatnya foot loose. Selain itu, menurut Sudrajat (2000)
menyatakan bahwa strategi ketahanan pangan di bidang peternakan adalah merupakan

bagian dari pencapaian visi pembangunan produksi peternakan yaitu: “Mewujudkan

Masyarakat Sehat dan Produktif serta Kreatif melalui Pembangunan Peternakan Tangguh

Berbasis Sumberdaya Lokal”. Sehingga potensi populasi ternak dan kualitas produksi

khususnya produksi daging di samping susu dan telur merupakan faktor yang sangat

penting dalam menunjang ketahanan pangan khususnya penunjang protein hewani asal

ternak.

Konsumsi hasil ternak berupa daging pada tahun 2008 adalah 7,8 kg/kapita/tahun atau

mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun 2007) yang

sebesar 8,4 kg/kapita/tahun. Konsumsi kalori dan protein per kapita per hari dipengaruhi

oleh pengeluaran per kapita. Pengeluaran sebulan untuk per kapita pada tahun 2008 rata-

rata sebanyak Rp 386 ribu dan untuk kelompok barang makanan sebesar Rp 193

ribu/kapita/bulan. Sedangkan pengeluaran untuk daging Rp 7,1 ribu/kapita/bulan (1,8%)

atau di bawah untuk padi-padian Rp 36,9 ribu/kapita/bulan (10,2%). Harusnya dengan

berjalannya program penanganan gangguan reproduksi (Gangrep) dan Program Upsus

Siwab mampu memenuhi kebutuhan protein asal hewan yang dibutukan masyarakat

Indonesia dalam mencerdasakan anak bangsa dan mempercepat perkembangan kemajuan

dari sebuah negara.

Belum berjalannya swasembada daging di Indonesia karena ada beberapa faktor yang

belum terpenuhi antara lain sistem budidaya merupakan suatu hal yang menyebabkan

produk sapi lokal lebih rendah di Indonesia. Hal ini terjadi karena keefisienan usaha yang

didukung oleh peraturan dan kebijakan pemerintah. Seperti rendahnya tingkat suku bunga,

pengusahaan lahan yang luas dengan periode HGU yang relatif panjang. Hal-hal semacam

itu perlu mendapat perhatian Pemerintah Indonesia dalam upaya pengembangan sapi

potong. Dengan demikian produksi sapi bakalan dapat ditingkatkan dengan harga yang
relatif murah. Pada gilirannya dapat menurunkan harga daging dan mampu bersaing dengan

daging impor.

Kegiatan pembangunan peternakan melalui beberapa program yang di canangkan

pemerintah seperti program penanganan gangguan reproduksi (Gangrep) dan program

Upsus Siwab ini hendaknya juga mendapat perhatian dari pihak investor. Terutama

kegiatan usaha pembibitan dan pengadaan sapi bakalan di dalam negeri. Karena dengan

dukungan perangkat peraturan, usaha pengadaan sapi bakalan berprospek untuk

dikembangkan di Indonesia (Ilham, 1996).

Terdapat tiga sumber pasokan daging di pasar domestik, yaitu dari peternakan rakyat,

industri peternakan rakyat dan impor. Pada kondisi normal (sebelum krisis ekonomi) sistem

pengadaan melalui impor lebih praktis dari industri peternakan rakyat dan dari peternakan

rakyat. Karena jalur pemasarannya lebih sederhana. Bahkan pada industri, cenderung

mengarah pada integrasi vertikal. Namun dari sisi dampak terketerkaitan dengan kegiatan

ekonomi masyarakat (multiplier effect) peternakan rakyat melibatkan lebih banyak

lembaga. Dengan demikian pemberdayaannya berarti memeratakan kesempatan kerja dan

perolehan pendapatan. Atas dasar hal tersebut, pemerintah melakukan program

pengembangan usaha dengan Program penanganan gangguan reproduksi (Gangrep) dan

program Upsus Siwab. Jika dibandingkan impor daging sapi, diperkirakan usaha ini lebih

bersifat memberdayakan ekonomi masyarakat.

Dari data pemasaran ternak dan daging sapi di Indonesia dapat diperoleh beberapa

informasi penting yang pertama industri atau pengadaan daging sapi di Indonesia selain

berasal dari sumber domestik, juga dari pasokan impor baik berupa sapi bakalan maupun

daging. Untuk ke depan, kebijakan pemerintah yang relevan adalah memperkecil


ketergantungan impor atau melepas sesuai mekanisme pasar, atau mengendalikan antara

keduanya.

Sumber pasokan daging di pasar domestik, yaitu dari peternakan rakyat, industri

peternakan rakyat dan impor. Pada kondisi normal (sebelum krisis ekonomi) sistem

pengadaan melalui impor lebih praktis dari industri peternakan rakyat dan dari peternakan

rakyat. Karena jalur pemasarannya lebih sederhana. Bahkan pada industri, cenderung

mengarah pada integrasi vertikal. Namun dari sisi dampak keterkaitan dengan kegiatan

ekonomi masyarakat (multiplier effect) peternakan rakyat melibatkan lebih banyak

lembaga. Dengan demikian pemberdayaannya berarti memeratakan kesempatan kerja dan

perolehan pendapatan. Atas dasar hal tersebut, pemerintah melakukan program

pengembangan usaha dengan Program penanganan gangguan reproduksi (Gangrep) dan

Program Upsus Siwab. Jika dibandingkan impor daging sapi, diperkirakan usaha ini lebih

bersifat memberdayakan ekonomi masyarakat (Nurinidro, 1996).

Untuk mendukung keberhasilan pembangunan peternakan yang tetap bertumpu pada

asas pemerataan, stabilitas, dan pertumbuhan ekonomi diperlukan pengaturan dalam

bentuk kebijakan pemerintah. Tentunya harus melibatkan semua pihak dalam

memsukseskan upaya swasembada daging di Indonesia. Untung mendorong investasi

masyarakat di bidang peternakan dilakukan deregulasi yaitu kebijakan mengenai ketetuan

dan tata cara pelaksanaan pemberian ijin dan pendaftaran usaha peternakan yaitu SK.

Mentan No. 362/1990 tanggal 28 Mei 1990 yaitu tentang pengiriman surat kepada seluruh

gubernur di seluruh provinsi di Indonesia agar usaha peternakan dapat memperoleh alokasi

lahan yang ditetapkan dalam RUTR/RDTR daerah. Kemudian dikembangkan pola

kerjasama perusahaan peternakan dalam bentuk inti-plasma industri peternakan rakyat

(Soedjana, 1997).
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, M. 1979. Sociology of the Family. Penguin Education.

Ditjen Peternakan. 2009. Statistik Peternakan. Deptan, Jakarta.

Ilham, N. 1996. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan.


Laporan Teknis PSE. Bogor.

Nurinidro. 1996. Peran Pengusaha Dalam Pengembangan Agribisnis Ternak. Media


Komunikasi & Informasi Pangan. No. 30 Vol. VII: 9 -12. Jakarta.

Soedjana T. D. 1997. Penawaran, Permintaan dan Konsumsi Produk Peternakan di Indonesia,


Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang dan Biro Perencanaan,
Deptan.

Sudaryanto T. dan E. Jamal. 2000. Pengembangan Agribisnis Peternakan Melalui Pendekatan


Corporate Farming Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dalam Upaya
Meningkatkan Ketahanan Pangan. Bogor, 18-19 September 2000.

Sudrajat, S. 2000. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional Bidang Peternakan.


Direktur Jenderal Produksi Peternakan.

Anda mungkin juga menyukai