Anda di halaman 1dari 37

Referat

SKIZOFRENIA

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 30 April 2018 – 4 Juni 2018

Ilsya Pertiwi 04084821820061


Tri Indah Moulina, S.Ked 04084821820044
Kang Yee Lea, S.Ked 04084821820048
Kang Yee Ming, S.Ked 04084821820056

Pembimbing: dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:
SKIZOFRENIA

Oleh:

Ilsya Pertiwi 04084821820061


Tri Indah Moulina, S.Ked 04084821820044
Kang Yee Lea, S.Ked 04084821820048
Kang Yee Ming, S.Ked 04084821820056

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang periode 30 April 2018 – 4 Juni 2018.

Palembang, Juni 2018

dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
“SKIZOFRENIA” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi
Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Juni 2018

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................33

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di


seluruh dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa
semakin modern dan indsutrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor
psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak
mampu mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.

Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku


yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Skizofrenia
adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-
kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari
luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal
yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun
demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%


penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia
biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki
biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis
biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset
setelah umur 40 tahun jarang terjadi.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah”


atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya
atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala
skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif,
dan gangguan dalam hubungan interpersonal.

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan


mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai
realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang
nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan
dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan
laboratorium.

Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan


variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu
bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada
umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.

Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering


mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya.
Menurut Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah
belah, adanya keretakan atau disharmoni atara proses pikir, perasaan, dan
perbuatan.

2
2.2 Epidemiologi

John McGrath PhD dari Pusat Penelitian Kesehatan Mental Queensland,


Wacol, Australia, dalam simposium bertema Psychosis Round the World, yang
membahas data terbaru epidemiologi skizofrenia, memberikan presentasi
sistematik untuk memandang kejadian skizofrenia. Ia mengatakan, kejadian
skizofrenia pada pria lebih besar daripada wanita. Kejadian tahunan berjumlah
15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada imigran dibanding penduduk asli
sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di
indonesia, menurut dr.Irmasyah, hampir 70% mereka yang dirawat di bagian
psikiatri karena skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-2% dari seluruh
penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam hidup mereka.2

2.3 Etiologi

Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak


dulu. Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya
masih minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya
skizofrenia, antara lain:

a. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi
anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua
orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-
15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.

3
b. Endokrin

Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan


endokrin. Teori ini dikemukakan karena skizofrenia sering timbul pada waktu
pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini
tidak dapat dibuktikan.

c. Metabolisme

Ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh gangguan


metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat.
Ujung extremitas agak sianotik, nafsu makan berkurang dan berat menurun.
Hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori
metabolisme mendapat perhatian lagi karena penelitian dengan memakai obat
halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-25). Obat-
obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala
skizofrenia, tetapi reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn
error of metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.

Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori


somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan
badaniah. Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu skizofrenia diaggap
sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress
psikologis dan hubungan antarmanusia yang mengecewakan.

Kemudian muncil teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu


sindrom yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab, antara lain
keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badani
seperti lues otakm atherosclerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.

Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan


psikosomatis, gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar
yang psikogenik, atau merupakan manifestasi somatic dari gangguan psikogenik.
Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya adalah untuk menentukan mana yang

4
primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan penyebab dan mana yang
hanya akibat saja.

d. Neurokimia

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh


overaktivitas pada jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan
bahwa amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamine, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik (terutama
antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik) bekerja dengan
memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.2,3

2.4 Pemeriksaan Fisik


a. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu
pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi
memerlukan pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian
dari proses somatik. Bila ada, yang berperan menyebabkan penderitaan
tersebut. Hal yang sama dapat digunakan pada gejala mental misalnya depresi,
ansietas, halusinasi, dan waham kejar, yang bisa jadi merupakan ekspresi dan
proses somatik. Terkadang keadaan menyebabkan kita perlu menunda
pemeriksaan medis lengkap. Misalnya, pasien dengan waham atau panik dapat
menunjukkan perlawanan sikap bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini,
riwayat medis harus diperoleh dari anggota keluarga bila memungkinkan.
Namun, kecauali ada alasan mendesak untuk melanjutkan pemeriksaan fisik,
hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien menurut.

Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan
atensi pasien terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara
bicara, postur, dan cara berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis

5
dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan
neurologis rutin, yaitu terutama dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi
motorik, persepsi, dan refleks pada kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh
penyakit hemisferik fokal. Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk
memperoleh tanda yang selama ini dikaitkan dengan disfungsi otak difus atau
penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks mengisap, mencucur,
palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya respons terhadap ketukan
di dahi. Sayangnya, kecuali refleks genggam, tanda seperti itu tidak berkaitan
erat dengan patologi otak yang mendasari.2

b. Status mental
 Deskripsi umum
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien
skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-
jerit, dan teragitasihingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat
pendiam, dan imobil.
o Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata
Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku
motorik pasien. Termasuk diantaranya adalah manerisme, tik, gerakan
tubuh, kedutan, perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi,
sikap melawan, fleksibilitas, rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.
o Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai
kooperatif, bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif,
defensif, merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu,
menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-hati.
 Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang
mewarnai persepsi orang tersebut terhadap dunia.

6
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat
dari ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif.
 Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam,
tidak spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara.
Gaya bicara dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional,
dramatis, monoton, keras, berbisik, cadel, terputus-putus, atau bergumam.
Gangguan bicara, contohnya gagap, dimasukkan dalam bagian ini.
 Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau
lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat
(contohnya: auditorik, visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau
halusinasi tersebut harus dijelaskan.
 Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan
organ tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi
terbakar pada otak, sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi
tertusuk pada sumsum tulang.
 Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang
nyata, sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang
nyata. Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun
dapat pula terjadi dalam fase prodromal dan selama periode remisi.
 Isi pikir dan kecenderungan mental
o Proses pikir (bentuk pemikiran)
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide.
Dapat terjadi proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat
ekstrim, disebut flight of ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan
cara berpikir yang lambat atau tertahan. Gangguan kontinuitas pikir
meliputi pernyataan yang bersifat tangensial, sirkumstansial, meracau,
suka mengelak, atau perseveratif.

7
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide
selesai diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya
kemampuan berpikir yang mengarah ke tujuan dalam mengemukakan
suatu ide, pasien menyertakan banyak detail yang tidak relevan dan
komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke ide semula.
Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang
merah pembicaraan pada seorang pasien dan kemudian ia mengikuti
pikiran tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal atau
internal yang tidak relevan dan tidak pernah kembali ke ide semula.
Gangguan proses pikir dapat tercermin dari word salad (hubungan
antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau inkoheren), clang
association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi berdasarkan
makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh
pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata lain).
o Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia,
rencana, niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala
hipokondriakal, dan kecenderungan antisosial tertentu.
 Sensorium dan kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi
pasien, kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
o Kesadaran
Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan
organik pada otak.
o Orientasi dan memori
Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan
orang.
o Konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan
kognitif, ansietas, depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi
auditorik, semuanya dapat berperan menyebabkan gangguan konsentrasi.

8
o Membaca dan menulis
o Kemampuan visuospasial
Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam
dinding atau segilima bertumpuk.
o Pikiran abstrak
Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin memiliki
gangguan dalam membuat konsep atau menangani ide.
o Informasi dan inteligensi
 Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan
Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan
kognitif atau psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang
kronik, seperti yang dijumpai pada gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang tidak
diobati. Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan sebelumnya, dan
defisit neurologis merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau impulsif.
Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10
sampai 15 persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri. Mungkin
faktor yang paling tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh
diri pasien ini adalah depresi yang salah diagnosis sebagai afek mendatar
atau efek samping obat. Faktor pemicu lain untuk bunuh diri mencakup
perasaan kehampaan absolut, kebutuhan melarikan diri dari penyiksaan
mental, atau halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien mebunuh diri
sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal
itu mungkin dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak disangka-sangka
yang didasarkan pada halusinasi atau waham.
 Daya nilai dan tilikan
Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial.
Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi
imajiner. Contohnya: apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium asap
dalam suasana gedung bioskop yang penuh sesak?

9
Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien
dapat menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau mungkin
menunjukkan sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan
orang lain, faktor eksternal, atau bahkan faktor organik. Mereka mungking
menyadari dirinya sakit, namun menganggap hal tersebut sebagai sesuatu
yang asing atau misterius dalam dirinya.
 Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan
kemampuan untuk melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila
pasien terbuka mengenai penyalahgunaan obat tertentu secara aktif
mengenai keadaan yang menurut pasien dapat berpengaruh buruk (mislnya,
bermasalah dengan hukum), psikiater dapat memperkirakan bahwa
realiabilitas pasien adalah baik.2,3

c. Pemeriksaan tambahan

Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan
tes neuropsikologis.

 Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient)
sebagai suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya
sebagai berikut:

Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender

Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling
tinggi 15 (biarpun sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada
sekarang sukar untuk mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15
tahun.

10
 Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas
dan validitas kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain
karena begitu banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari
parameter atau indikatro yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat
kepribadian tertentu. Kepribadian adalah keseluruhan perilaku manusia atau
perannya dalam hubungan antar manusia, pribadinya dapat dibedakan dari
pribadi lain. Peran ini bukan saja perilaku yang nyata, tetapi juga sikap
internal, kecenderungan bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat
dievaluasi dengan cara observasi, wawancara, atau melalui daftar
pertanyaan, tes melengkapi kalimat atau tes proyeksi.
 Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak
dan perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi dan
objektif. Tes ini menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis
adalah identifikasi, kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan
perilaku yang disebabkan oleh disfungsi otak. Dalam hal ini, ranah (domain)
yang dievaluasi adalah kemampuan berbahasa, memori, penalaran dan
pertimbangan intelektual, fungsi visual-motor, fungsi sensori-perseptual,
dan fungsi motorik.2,3

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi


peranannya penting dalam menjelaskan dan menkuantifikasi disfungsi
neurofisiologis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis. Hasil
pemeriksaan laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit,
wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk memperoleh gambaran komprehensif
tentang diagnosis dan pengobatan yang diperlukan oleh pasien.

11
Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan
sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan:

1. Pemeriksaan darah lengkap


2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.2,3

2.6 Gambaran klinis

Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan


mereka berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama
(bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran
penyakit yang “ringan”. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri atau
mengisolasi diri, dan “aneh”. Gejala-gejala penyakit biasanya terlihat lebih jelas
oleh orang lain. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan teman karena ia tidak
berminat dan tidak mampu berbuat sesuatu atau karena sikapnya yang aneh.
Pemikiran dan pembicaraan mereka samar-samar sehingga kadang-kadang tidak
dapat dimengerti. Mereka mungkin mempunyai keyakinan yang salah yang tidak
dapat dikoreksi. Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami
kemunduran serta afek mereka terlihat tumpul. Meskipun mereka dapat
mempertahankan inteligensia yang mendekati normal, sebagian besar performa uji
kognitifnya buruk. Pasien dapat menderita anhedonia yaitu ketidakmampuan
merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteorisasi yaitu perburukan yang
terjadi secara berangsur-angsur.

12
a. Gejala Positif dan Negatif

Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek
mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang
merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.

Gangguan Pikiran

- Gangguan proses pikir


Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak
dapat dimengerti oleh orang lain dann terlihat tidak logis. Tanda-tandanya
adalah:
1. Asosiasi longgar: ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut seolah
dapat melompat dari satu topik ke topik lain yang tak berhubungan sehingga
membingungkan pendengar. Gangguan ini sering terjadi misalnya di
pertengahan kalimat sehingga pembicaraan sering tidak koheren.
2. Pemasukan berlebihan: arus pikiran pasien secara terus-menerus mengalami
gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan.
3. Neologisme: pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka
meungkin mengandung arti simbolik)
4. Terhambat: pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan
kalimat) dan disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya dengan
topik lain. Ini dapat menunjukkan bahwa ada interupsi.
5. Klang asosiasi: pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan bunyi
kata-kata yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
6. Ekolalia: pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja
diucapkan oleh seseorang.
7. Konkritisasi: pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat
buruk kemampuan berpikir abstraknya.
8. Alogia: pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin
pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat
sedikit ide yang disamapaikan (miskin isi pembicaraan).

13
- Gangguan isi pikir
1. Waham: suatu kepercayaan palsu yang menetap yang taksesuai dengan
fakta dan kepercayaan tersebut mungkin “aneh” atau bisa pula “tidak aneh”
tetapi sangat tidak mungkin dan tetap dipertahankam meskipun telah
diperlihaykan bukti-bukti yang jelas untuk mengkoreksinya. Waham sering
ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang
spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut skizofrenia
semakin sering ditemui waham disorganisasi atau waham tidak sistematis:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran
2. Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien
tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhaap pengobatan,
meskipun gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.

Gangguan Persepsi

- Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa
juga berbentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran
dapat pula berupa komentar tentang pasien atau peristiwa-peristiwa sekitar
pasien. Komentar-komentar tersebut dapat berbentuk ancaman atau perintah-
perintah langsung ditujukan kepada pasien (halusinasi komando). Suara-suara
sering diterima pasien sebagai sesuatu yang berasal dari luar kepala pasien dan
kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-pikiran mereka sendiri
berbicara keras. Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali pada fase
awal skizofrenia.
- Ilusi dan depersonalisasi

14
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya
misinterpretasi panca indera terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya
perasaan asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing
terhadap lingkungan sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.

Gangguan Perilaku

Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala


katatonik yang dapat berupa stupor atauh gaduh gelisah. Paien dengan stupor
tidak bergerak, tidak berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya sadar.
Sedangkan pasien dengan katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik
yang tidak terkendali. Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada
stupor katatonik juga bisa didapati fleksibilitas serea dan katalepsi. Gejala
katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang lama.
Sedangkan fleksibilitas serea adalah bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu
tahanan seperti pada lilin atau malam dan posisi itu dipertahankan agak lama.

Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang


melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi.
Misalnya, menarik-narik rambutnya, atau tiap kali bila mau menyuap nasi
mengetuk piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigrasi, kata atau
kalimat diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat pada gangguan otak orgnaik.
Manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam
bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan.

Gangguan Afek

Kedangkalan respons emosi, misalnya penderita menjadi acuh tak acuh


terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri sepertti keadaan keluarganya
dan masa depannya. Perasaan halus sudah hilang. Parathimi, apa yang seharusnya
menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau
marah. Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.

15
Parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan incongruity of affect dalam
bahasa inggris dan inadequat dalam bahasa belanda.

Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai


kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari,
tetapi mulutnya seperti tertawa.semua ini merupakan gangguan afek dan emosi
yang khas untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah:

Emosi berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti pada penderita


sedang bersandiwara.

Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk


mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu sering kita
tidak dapat merasakan perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya kepribadian,
maka dual hal yang berlawanan mungkin timbul bersama-sama, misalnya mencintai
dan membenci satu orang yang sama; menangis dan tertawa tentang satu hal yang
sama. Ini dinamakan ambivalensi afektif.1-3

2.7 Diagnosis

Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia;


gangguan pada pasien didiagnosis sebagai skizofrenia apabila pasien menunjukkan
dua gejala yang terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria A (1.waham 2.
Halusinasi 3. Bicara kacau 4. Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5. Gejala
negatif, yaitu: afek medatar, alogia, atau anhedonia). Hanya dibutuhkan satu gejala
kriteria A bila wahamnya bizare atau halusinasinya terdiri atas suara yang terus-
menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau
lebih suara yang saling bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan adanya hendaya
fungsi, meski tidak memburuk, yang tampak selama fase aktif penyakit. Gejala
harus berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan skizoafektif
atau gangguan mood harus disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini harus ada:

1. Gema pikiran (thought echo)


2. Waham kendali, pengaruh, atau pasivitas

16
3. Suara-suara halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku pasien atau
saling mendiskusikan pasien, atau suara halusinasi lain yang berasal dari bagian
tubuh tertentu; dan
4. Waham persisten jenis lain yang secara budaya tidak sesuai dan sangat tidak
masuk akal.

Diagnosis juga dapat ditegakkan bila setidaknya dua hal berikut ada:

1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama
sekurangnya 1 bulan, atau bila disertai waham
2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan
menggabungkan suku kata atau dari kata-kata lain.
3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme,
mutisme, dan stupor
4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons
emosional tumpul serta ganjil (harus ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan
depresi atau pengobatan antipsikotik).

2.8 Jenis – Jenis Skizofrenia


a. Tipe paranoid
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham
atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang
sugestif untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe
paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien
skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode pertama penyakit pada usia
yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia hebefrenik dan katatonik. Pasien
yang skizofrenianya terjadi pada akhir usia 20-an atau 30-an biasanya telah
memiliki kehidupan sosial yang mapan yang dapat membantu mengatasi
penyakitnya, dan sumber ego pasien paranoid cenderung lebih besar dibanding
pasien skizofrenia hebefrenik atau katatonik. Pasien skizofrenia paranoid
menunjukkna regresi kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku
yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia

17
paranoid biasanya tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan
terkadang bersikap bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang
dapat mengendalikan diri mereka secara adekuat pada situasi sosial. Inteligensi
mereka dalam area yang tidak dipengaruhi psikosisnya cenderung tetap utuh.
b. Tipe disorganized
Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai dengan
regresi nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak
adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset subtipe ini
biasanya dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif namun
dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak bertujuan. Gangguan pikir menonjol
dan kontal dengan realitas buruk. Penampilan pribadi dan perilaku sosial
berantakan, respons emosional mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering
meledak tanpa alasan jelas. Seringai atau meringis yang tak pantas lazim
dijumpai pada pasien inim yang perilakunya paling baik dideskripsikan sebagai
konyol atau tolol.
c. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
- Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap
lingkungan atau orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung
di sekitarnya.
- Negativsme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau
usaha-usaha untuk menggerakkan fisiknya.
- Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
- Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau
aneh.
- Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin
dapat mengancam jiwanya (misalnya, karena kelelahan).
d. Tipe tak terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang
menonjol (misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria

18
skizofrenia tetapi tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid, katatonik,
hebefrenik, residual, dan depresi pasca skizofrenia.
e. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remmsi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan
gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi,
perilaku eksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
f. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks adalah sulatu diagnosis yang sulit dibuat secara
meyakinka karena bergantung pada pemastian perkembangan yang
berlangsung perlahan, progresif dari gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia
residual tanpa adanya riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain tentang
adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan disertai degan perubahan-
perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan, yang bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan, dan penarikan diri secara
sosial.1,3

2.9 Patofisiologi
a. Neurobiologi
Terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya
peran patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal,
serebelum, dan ganglia basalis. Keempat area ini saling terhubung sehingga
disfungsi satu area dapat melibatkan proses patologi primer di tempat lain.
Pencitraan otak manusia hidup dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak
postmortem menyatakan sistem limbik sebagai lokasi potensial proses patologi
primer pada setidaknya beberapa, bahkan mungkin sebagian besar, pasien
skizofrenia.

Dua are yang menjadi subjek penelitian aktif adalh waktu ketika suatu lesi
neuropatologi terlihat di otak serta interaksi lesi tersebut dengan stresor sosial dan
lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas otak mungkin terletak pada
pembentukan abnormal atau pada degenerasi neuron setelah pembentukan. Namun,

19
fakta bahwa kembar monozigotik memiliki angka kejadian bersama sebesar 50%
menyiratkan adanya interaksi yang masih sangat sedikit diketahui antara
lingkungan dan timbulnya skizofrenia. Di lainppihak, faktor yang mengatur
ekspresi gen baru mulai dipahami. Meski kembar monozigotik mempunyai
informasi genetik yang sama, regulasi gen yang berbeda sepanjang hidup mungkin
menyebabkan salah satu kembar monozigotik mengalami skizofrenia, sementara
kembarannya tidak.

b. Neuroanatomik, Neurofungsional, dan Neurokognitif

CT-scan dan MRI secara konsisten menunjukkan peningkatan volume


ventrikel lateral dan ketiga pada pasien skizofrenia. Studi ini umumnya juga
menunjukkan pengurangan volume otak secara keseluruhan pasien skizofrenia dan
pengurangan tertentu dalam ukuran dari struktur lobus temporal medial, seperti
amigdala dan hipokampus. Selain itu, penelitian telah melaporkan penurunan
ukuran dari thalamus dan kelainan pada garis tengah daerah perkembangan. Tak
satu pun dari perubahan ini spesifik untuk skizofrenia, meskipun beberapa telah
terbukti ada pada pasien dengan episode penyakit pertama dan tidak menggunakan
obat sebelumnya.

Teknik fungsional neuroimaging, seperti tomografi emisi positron (PET),


menunjukkan secara in vivo pengukuran metabolisme glukosa regional atau aliran darah
otak, dimana keduanya mencerminkan aktivitas neuron regional. Sebagian besar penelitian
telah mendeteksi perubahan aktivitas di korteks prefrontal, struktur ganglia basalis, daerah
temporo-limbik, dan thalamus, menunjukkan fungsi sirkuit cortico-striato-thalamo-kortikal
yang terganggu. Penurunan aktivitas dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia
sering diamati selama tugas aktivasi kognitif dan memori kerja. Selama halusinasi
pendengaran aktif, aktivasi abnormal thalamus, striatum, limbik, dan daerah paralimbik
telah terdeteksi. Pasien skizofrenia yang menampilkan kelainan pada bagian prefrontal,
thalamic, dan cerebellar, menunjukkan gangguan dalam sirkuit pontine-cerebellar-
thalamic-frontal.

c. Neurokimia

20
Penemuan menunjukkan bahwa disregulasi dopamin yang kompleks terjadi
dengan aktivitas hiperdopaminergik dalam proyeksi mesencephalic ke striatum
limbik dan aktivitas hipodopaminergik di neokorteks. Bukti dari kegiatan
hiperdopaminergik termasuk hubungan antara efektivitas dopamin reseptor yang
mengikat obat dan pengurangan gejala positif serta peningkatan reseptor D2 dalam
studi postmortem dan PET.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai gejala positif berhubungan


dengan kelainan dalam penyimpanan dopamin presynaptic, pelepasan, transportasi,
dan reuptake dalam sistem mesolimbik. Hipo-aktivitas dari sistem dopamin
ditunjukkan dari penemuan penurunan onset dopamin pada pasien dengan gejala
negatif, dan dalam beberapa penelitian agonis dopamin telah terbukti memperbaiki
gejala negatif. Pencitraan fungsional juga menunjukkan bahwa hipo-frontalitas
akan lebih parah pada pasien dengan gejala negatif.

Serotonergik, glutamatergic, dan sistem neurotransmitter lainnya (misalnya,


gamma-aminobutyric acid [GABA]) telah diselidiki pada skizofrenia, terutama
mengacu pada interaksi dengan sistem dopaminergik.. Dalam studi tentang sistem
GABAergic, penurunan dekarboksilase asam glutamat, enzim GABA-sintesis,
telah diamati dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia, dan perubahan
dalam subtipe neuron GABAergic telah dilaporkan.

Sistem opioid juga telah dianggap sebagai kandidat yang berpotensial yang
terlibat dalam skizofrenia, didasarkan terutama pada kesamaan antara efek
farmakologis dari terjadinya tanda opioid dan kejiwaan. Hipotesis telah diusulkan
pada peningkatan maupun penurunan level dari berbagai peptide opioid sebagai
faktor yang mendasari sebagai penyebab gejala skizofrenia. Namun, penelitian
klinis berdasarkan hipotesis sering menghasilkan hasil variable atau bermacam-
macam.5

21
2.10 Diagnosis Banding
a. Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan
skizofreniform, gangguan psikotik singkat, gangguan skizoafektif, dan gangguan
waham. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia berupa gejala yang
berdurasi setidaknya 1 bulan tapi kurang dari 6 bulan. Gangguan psikotik singkat
merupakan diagnosis yang sesuai bila gejala berlangsung setidaknya 1 hari tapi
kurang dari 1 bulan dan bila pasien tidak kembali ke keadaan fungsi pramorbidnya
dalam waktu tersebut. Jika suatu sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan
dengan gejala utama skizofrenia, gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang
tepat. Waham nonbizar yang timbul selama sekurangnya 1 bulan tanpa gejala
skizofrenia lain atau gangguan mood patut didiagnosis sebagai gangguan waham.

b. Gangguan Kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian gambaran


yang sama dengan skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal, skizoid, dan
ambang adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif yang parah dapat menyamarkan suatu proses
skizofrenik yang mendasari. Tak seperti skizofrenia, gangguan kepribadian
memiliki gejala ringan dan riwayat terjadi seumur hidup pasien. Gangguan ini juga
tidak memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi.

c. Gangguan Waham

Konsep utama mengenai penyebab gangguan waham adalah perbedaanya


dengan skizofrenia dan gangguan mood. Gangguan waham lebih jarang daripada
skizofrenia maupun gangguan mood, onsetnya lebih lambat daripada skizofrenia
dan dominasi perempuan kurang nyata daripada gangguan mood. 3

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Waham.3

A. Waham tidak bizar ( melibatkan situasi yang terjadi dalam kehidupan nyata,
seperti merasa diikuti, diracuni, terinfeksi, dicintai dari jauh, atau dikhianati

22
pasangan atau kekasih, atau menderita suatu penyakit) sekurang-kurangnya
1 bulan.
B. Kriteria A skizofrenia tidak terpenuhi. Catatan: halusinasi taktil dan olfaktori
dapat terjadi gangguan waham jika sesuai dengan tema waham.
C. Berbeda dengan dampak waham atau hasil akhirnya, fungsi tidak terganggu
secara nyata dan perilaku tidak secara jelas, aneh, atau bizar.
D. Jika episode mood telah terjadi bersamaan dengan waham, durasi totalnya
singkat dibandingkan durasi periode waham.
E. Gangguan tidak disebabkan efek fisiologis suatu zat secara langsung (c/o:
penyalahgunaan, suatu obat) atau kondisi medis umum.

Jenis-jenis waham.3

Pada tipe waham ini, orang lain, biasanya dengan status


Waham erotomania
lebih tinggi, jatuh cinta kepada dirinya.

Pada tipe waham ini, terdapat kekuatan, pengetahuan,


Waham kebesaran penghargaan, identitas yang berlebihan atau hubungan
khusus terhadap orang yang terkenal atau dewa.

Pada tipe waham ini, pasangan seksual seseorang


Waham cemburu
dianggap tidak setia.

Pada tipe waham ini, orang (atau seseorang yang dekat)


Waham kejar
dianggap diperlakukan dengan kasar.

Pada tipe waham ini, orang mempunyai beberapa cacat


Waham somatik
fisik atau kondisi medis umum.

Pada tipe waham ini ciri khas lebih dari satu tipe di atas
Waham campuran
tetapi tidak ada tema yang menonjol.

23
2.11 Penatalaksanaan

Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama


menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.

a. Farmakoterapi

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk


mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik
mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-
dopamin.

Antagonis Reseptor Dopamin

Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia,


terutama terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat
memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor
dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang
paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian berupa
rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda dan sindrom
neuroleptik maligna.

Antagonis Serotonin-Dopamin

SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,


berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding antipsikotik
standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. Obat ini juga
menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta
lebih efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut
sebagai obat antipsikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia
dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor
dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol
untuk gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih
sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah

24
disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin,
dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor
dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.

Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen


antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah
penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan
mengobati keadaan skizofrenia.2,3,6

Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.4

Nama Obat

Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan


(Haldol) suara pada anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara
jelas ditentukan, tetapi diseleksi oleh competively blocking
postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem
mesolimbic dopaminergic; meningkatnya dopamine
turnover untuk efek tranquilizing. Dengan terapi subkronik,
depolarization dan D2 postsynaptic dapat memblokir aksi
antipsikotik.

Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2


(Risperdal) dopamine selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya
dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat reseptor
alpha1-adrenergic dengan afinitas lebih rendah dari H1-
histaminergic dan reseptor alpha2-adrenergic. Memperbaiki
gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian pada
efek ekstrpiramidal.

Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang


(Zyprexa) melintasi sistem reseptor (seperti serotonin, dopamine,
kolinergik, muskarinik, alpha adrenergik, histamine). Efek
antipsikotik dari perlawanan dopamine dan reseptor

25
serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis
dan gangguan bipolar.

Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi


(Clozaril) nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin, dan reaksi
arousal menghambat efek signifikan. Tepatnya
antiserotonin. Resiko terbatasnya penggunaan
agranulositosis pada pasien nonresponsive atau agen
neuroleptik klasik tidak bertoleransi.

Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang.


(Seroquel) Mampu melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan
lebih awal antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan
kurangnya distonia, parkinsonism, dan tardive diskinesia.

Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia.


(Abilify) Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya
berbeda dari antipsikotik lainnya. Aripiprazole
menimbulkan partial dopamine (D2) dan serotonin
(5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).

26
Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran

Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari

Risperidone Tab. 1 – 2 – 3
2 – 6 mg/hari
(Risperdal) mg

Olanzapine
Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
(Zyprexa)

Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100


25 – 100 mg/hari
mg

Quetiapine Tab. 25 – 100


(Seroquel) mg 50 – 400 mg/hari

200 mg

Aripiprazole Tab. 10 – 15
10 – 15 mg/hari
(Abilify) mg

Profil Efek Samping

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:

 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,


kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering,
kesulitan miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson: tremor,
bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.

27
Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang
sampai membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan pasien.

Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan berulang


involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada
waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka
panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak
berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.

Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus


dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi hati, fungsi
ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.

Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat


overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat yang
kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila obat belum
lama dimakan.

Interaksi Obat

 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat


(hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit
jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis
Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan
gangguan absorpsi.

b. Terapi Psikososial

28
- Pelatihan keterampilan sosial
Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan
berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang
biasa tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat
melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh,
kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat
atau kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan keterampilan
perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video tape berisi orang
lain dan si pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah
untuk keterampilan khusus yang dipraktekkan.

- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus
pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat
berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.

- Terapi perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi
kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki
tilikan terhadap penyakitnya.

- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk
membangun hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas
terapis, jarak emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis
sebagaimana yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi

29
pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya
beberapa sesi, bulan, atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti
menekankan bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi
terapeutik dengan terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia
yang mampu membentuk aliansi terapeutik yang baik cenderung bertahan
dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil akhir
yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang
disebut terapi personal merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien
skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya adalah meningkatkan
penyesuaian personal dan sosial serta mencegah terjadinya relaps. Terapi ini
merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan sosial dan latihan
relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi
kerentanan individu terhadap stress. 2,3

2.12 Komplikasi

Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan


mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami penderita
yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial,
dimana penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi
korban kekerasan dan melukai diri sendiri. Pada komplikasi depresi, penderita
dapat melakukan tindakan bunuh diri. Disamping bunuh diri karena depresi dan
halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya tidak merokok, banyak menjadi
perokok berat ini diperkirakan karena faktor obat, yang memblok satu reseptor
dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa senang, pikiran
jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia mencari
kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko dari
perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran pernapasan, kanker,
jantung, dan penyakit fisik lainnya.

30
Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon
estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga
dapat terjadi osteoporosis.4

2.13 Prognosis

Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun


setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20%
persen yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50%
pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap
berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh
diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang memburuk
dan sejumlah faktor dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang
dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-
30% pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60% pasien tetap mengalami
hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup mereka.3

2.14 Pencegahan

Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak


bisa dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini
penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini,
bila telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah
terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.4

31
BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan


mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai
realitas. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia,
antara lain genetik, metabolisme, neurokimia. Pada Skizofrenia terdapat gejala
positif dan gejala negatif. Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala
negatif meliputi afek mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara,
bloking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri
secara sosial. Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik
mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-
dopamin. Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak
bisa dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini
penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini,
bila telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah
terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar


psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010.h.170-94.
2. Amir N. Skizofrenia. Semijurnal farmasi & kedokteran Feb 2006;24:31-40.
3. Muttaqin H, Sihombing RNE, penyunting. Skizofrenia. Dalam: Sadock BJ,
Sadock VA. Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical psychiatry. Edisi
ke-2. Jakarta: EGC; 2010.h.147-75.
4. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.h.195-277.
5. Sobell JL, Mikesell MJ, Mcmurray CT. Genetics and etiopathophysiology of
schizophrenia. Mayo Clin Proc Oct 2005;77:1068-82.
6. Safitri A, penyunting. Obat antipsikosis. Dalam: Neal MJ. Medical
pharmacology at a glance. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.h.60-1.

33

Anda mungkin juga menyukai