Anda di halaman 1dari 22

CASE REPORT

WANITA 40 TAHUN DENGAN PTERYGIUM OS GRADE IV

PEMBIMBING :

dr. Shanti Sri Agustina, Sp.M, M.Kes

DISUSUN OLEH :

Mutiara Sukma, S.Ked

NIM : 1102013191

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR DRADJAT PRAWIRANEGARA


SERANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

MEI 2018
1
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap,
yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan fibrovaskuler
konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat
degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea dan mudah mengalami
peradangan. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma,
radang dan degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler konjungtiva
yang dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap rokok, debu, cahaya
sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang rendah, dan udara yang panas
merupakan faktor predisposisi terjadinya pterigium.
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim panas
dan kering. Faktor lain yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.
Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup tinggi
yakni 13,1%. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia, namun
rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua. Prevalensi
tertinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun dan insidensi tertinggi
didapatkan pada usia 20-40.
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak
mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal, mata
mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu mata
ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium. Beberapa
lainnya datang dengan keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas korneanya dan
merasa seperti kelilipan saat berkedip. Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan yang
cermat untuk mendiagnosis pterigium sehingga pasien mendapatkan penanganan
yang tepat.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

II.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. O
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Taman Graha Asri, Serang
MRS : 21 Mei 2018

II.2. Anamnesis

Keluhan Utama: Adanya sensasi mengganjal pada mata kiri

Keluhan tambahan : - rasa gatal pada mata kiri yang hilang timbul

- mata kiri sering merah dan berair

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Pasien datang ke RSUD dr. Dradjat Prawiranegara dengan keluhan


adanya rasa mengganjal pada mata kiri yang dirasakan sejak 6 bulan lalu.
Keluhan disertai dengan rasa gatal pada mata kiri yang hilang timbul dan
biasanya timbul pada sore hari menuju malam hari. Keluhan lainnya yang
dirasakan adalah mata kiri yang sering merah dan berair. Pasien mengatakan
keluhan dirasakan pada kedua mata namun pada mata kiri terasa sangat
mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.

3
Keluhan lainnya seperti seringnya keluar kotoran (belek) dari mata
dan sulit untuk membuka mata di pagi hari karena lengket disangkal oleh
pasien. Keluhan pandangan kabur dan pandangan ganda disangkal oleh
pasien. Pasien juga menyangkal matanya terasa nyeri.

Kegiatan pasien sehari-hari adalah Ibu Rumah Tangga, pasien


mengatakan setiap hari mengantar jemput anaknya ke sekolah dengan
menggunakan motor dan sering terekspos sinar matahari, angin dan debu.
Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan tertentu sebelumnya seperti
penggunaan kortikosteroid pada pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat memakai kacamata sebelumnya disangkal
 Riwayat trauma pada mata disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:


 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal
 Riwayat pterigium pada keluarga disangkal

II.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

a) Kepala : Normocephale, tidak ada deformitas, tidak tampak


hematom,
b) Mata : (status oftalmologi)
c) Mulut : Bibir kering (-), perioral sianosis (-)
d) THT : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-), deviasi trakea (-),
tidak ada krepitasi hidung, pembesaran kelenjar tiroid (-)
e) Thorax : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
4
f) Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
g) Cor : S1 S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
h) Abdomen : Bising usus (+)
+/+ −/−
i) Ekstremitas : hangat , edema −/−
+/+

Status Oftalmologikus

OD OS
6/12.5 6/10
Visus
Koreksi: C -1.00 X 80 Koreksi: C -.075 X 20
Orthophoria Tes hirsberg Orthophoria
Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Gerakan bola mata

Segmen Anterior
Krepitasi (-) Krepitasi (-)
Rima orbita
Fraktur (-) Fraktur (-)
Baik Baik
Tumbuh teratur Tumbuh teratur
suprasilia
Madarosis (-) Madarosis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Edema (-) Edema (-)
Hematoma (-) Hematoma (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Palpebra superior
Benjolan (-) Benjolan (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Ptosis (-) Ptosis (-)
Lagoftalmus (-) Lagoftalmus (-)

5
Edema (-) Edema (-)
Hematoma (-) Hematoma (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Palpebra inferior
Entropion (-) Entropion (-)
Benjolan (-) Benjolan (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Trikiasis (-) Margo palpebra Trikiasis (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Papil (-) Papil (-)
Konjunctiva tarsal
Benjolan (-) Benjolan (-)
superior
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Papil (-) Papil (-)
Konjunctiva tarsal
Benjolan (-) Benjolan (-)
inferior
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Tampak tenang Tampak tenang
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Injeksi konjunctiva (-) Injeksi konjunctiva (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Konjunctiva bulbi
Perdarahan Perdarahan
subconjunctiva (-) subconjunctiva (-)
Tampak selaput di bagian Tampak selaput di
nasal bagian nasal
Jernih Jernih
Tampak selaput bentuk Tampak selaput bentuk
segitiga di daerah Kornea segitiga di daerah
temporal yang telah temporal yang telah
melewati tepi pupil melewati pupil

6
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Edema (-) Edema (-)
Infiltrat (-) Infiltrat (-)

Jernih Jernih
Camera okuli
Hipopion (-) Hipopion (-)
anterior
Hifema (-) Hifema (-)
Kripti (+) normal Kripti (+) normal
Berwarna coklat iris Berwarna coklat
Sinekia (-) Sinekia (-)
Bulat Bulat
Ø 3 mm Ø 3 mm
pupil
Isokor Isokor
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Jernih lensa jernih

II.4 Diagnosis Kerja

Pterigium OS grade IV dan Pterygium OD grade III

II. 5 Diagnosis banding

 Pinguekula
 Pseudopterigium
 Konjungtivitis akut

II.6 Pemeriksaan anjuran

 Pemeriksaan tes sonde


 Pemeriksaan slitlamp
 Pemriksaan topografi kornea

7
II.7 Penatalaksanaan

Tindakan operasi : Ekstirpasi Pterigium

II.8 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau
sayap, yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan
fibrovaskuler konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva
bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima
palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini berbentuk seperti
sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak permbuluh
darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi iritasi
maka pterigium akan berwarna merah.

Gambar 1. Arah pertumbuhan pterigium 9


Pada dasarnya pertumbuhan ini bersifat jinak sehingga tidak
memerlukan penanganan yang khusus kecuali jika mengenai daerah pupil yang
dapat menurunkan fungsi penglihatan sehingga diperlukan tindakan
pembedahan untuk memperbaiki penglihatan. 1,2,3,4
B. Epidemiologi
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim
panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator,
cukup tinggi yakni 13,1%. Suatu penelitian menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara peningkatan prevalensi dengan peningkatan kadar paparan
sinar ultraviolet (UV) di daerah lintang selatan. Dilaporkan laki-laki dua kali
9
lebih sering terkena dibandingkan wanita. Kasus ini jarang ditemui pada usia di
bawah 20 tahun. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia,
namun rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua.
Prevalensi paling tinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun dan
insidensi paling tinggi didapatkan pada usia 20-40. 4,5
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium meliputi: 4,5
1. Radiasi UV
Faktor risiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan
sinar matahari. Sinar UV yang diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menyebabkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium
dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.
Selain itu, terdapat kecenderungan genetik yang berhubungan dengan
insidensi yang lebih tinggi pada laki-laki dalam jumlah yang signifikan
daripada perempuan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik dari bahan tertentu di udara yang terjadi pada area limbus atau
perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi. Saat ini teori baru mengenai patogenesis dari
pterigium juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis factor“.
Debu, kelembapan yang rendah, trauma kecil dari partikel tertentu, dry eye,
virus papilloma, tinggal di daerah beriklim subtropis-tropis, dan pekerjaan
yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan juga merupakan faktor penting
yang dapat memicu timbulnya pterigium.
D. Etiologi
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma,
radang dan degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler
konjungtiva yang dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap
10
rokok, debu, cahaya sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang rendah,
dan udara yang panas merupakan faktor predisposisi terjadinya pterigium.1,5
E. Patofisiologi
Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis
jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga
merupakan akibat dari kelainan lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh
genetik. Konjungtiva bulbi selalu mengalami kontak dengan dunia luar, seperti
sinar UV, debu, serta udara yang kering akibat cuaca panas yang mengakibatkan
terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang berkembang ke
kornea. Penebalan abnormal ini dapat mengenai kedua mata (bilateral) karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan faktor-
faktor tersebut. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal
kemudian melalui punctum lacrimalis dialirkan ke meatus nasi infeirior. Selain
itu, daerah nasal juga mendapat paparan sinar UV yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain akibat pantulan sinar UV
tidak langsung dari hidung.
UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal
stem cell yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala
muncul sebagai pertumbuhan konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi,
inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan
fibrotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terigium merupakan
manifestasi dari defisiensi limbal stem cell interpalpebral terlokalisasi yang
diduga akibat paparan sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah
interpalpebral.
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan
menimbulkan peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi
angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitel fibrovaskuler. Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi
elastis dan proliferasi jaringan granulasi vaskuler di bawah epitel yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran
11
Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi ringan.
Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi
epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada
puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami
degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi
sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi
ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma
kornea bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada daerah yang mengalami
degenerasi elastis menunjukkan basophilia dengan pengecatan hematoxylin dan
eosin (HE). 1,4,5,6

Gambar 2. Histopatologi Pterigium 10


F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Subjektif
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak
mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas,
mengganjal, mata mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus
pada salah satu mata ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan
adanya pterigium. Beberapa lainnya datang dengan keluhan adanya sesuatu
12
yang tumbuh di atas korneanya dan merasa seperti kelilipan saat berkedip.
5,6,7

2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada bagian
puncak, pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak kelabu yang
disebut pulau Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan adanya penonjolan
daging berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk
segitiga berkembang dari konjungtiva interpalpebrae menuju ke kornea.
Tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat
kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila mengalami iritasi,
pterigium akan berwarna merah dan menebal. 2,3,8

Gambar 3. Pterigium 11
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian segitiga
yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex,
bagian atas pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.4

13
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut
sebagai pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan
temporal, maka disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan
bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi
menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya
normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
G. Diagnosa Banding
1. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.5,6
Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka
probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterigium pada limbus,sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body
dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure
yang berbeda dengan true pterigium.
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah5
- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti
ukak kornea, sedangkan pterigium tidak.
- Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan
proses kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium adalah selain letaknya
tidak harus pada celah kelopak mata atau fisura palpebra.
14
- Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang
pseudopterigium tidak.
- Pseudopterigium dapat diselipkan sonde di bawahnya, sedangkan pterigium
tidak.
- Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan
pembuluh darah normal.
- Pterigium bersifat progresif, pseudopterigium tidak.

Gambar 4. Histopatologi Pseudopterigium 10


2. Pinguekula
Berbentuk kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra
dan kadang terinflamasi. Prevalensi dan insiden meningkat
denganmeningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim
tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar
ultraviolet bukan faktor risiko pinguecula.1
Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat
hanya dua lapis sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma
berdegenerasi hialin yang amorf kadang-kadang terdapat penimbunan serat-
serat yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan kalsium pada lapisan
permukaan.1

15
Gambar 5. Pinguekula 11
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan
juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita
dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

16
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus
ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada
yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang
variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih
untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang
minimal dan halus dari permukaan kornea.

1) Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 2% dan 89%, telah didokumentasikan dalam berbagai
laporan.
2) Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2% dan
setinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar
superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di eksisi
pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang
optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi
minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence
W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan

17
sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.

Gambar 6. Teknik Autograft Konjungtiva 9


3) Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian
besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion
berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam
pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia primer
dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan
dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian
bulbar konjungtiva. Membran amnion biasanya ditempatkan di atas
sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan
penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion
menempel jaringan episkleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah
digunakan dalam autografts konjungtiva.
18
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral, endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,


bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml): 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta

19
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1 tetes/ 3
jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu
I. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi: 4
1. Mata merah
2. Iritasi
3. Keterlibatan otot ekstraokular menyebabkan diplopia
4. Jaringan parut kronik pada konjungtiva dan kornea
5. Dry eye sindrom
6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

Komplikasi postoperative pterigium 4


1. Reaksi terhadap bahan benang
2. Rekurensi
3. Infeksi
4. Perforasi korneosklera
5. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
6. Korneoscleral dellen
7. Granuloma konjungtiva
8. Epithelial inclusion cysts
9. Conjungtiva scar
10. Adanya jaringan parut di kornea
J. Prognosis
Prognosis penglihatan dan kosmetik eksisi pterigium adalah baik.
Penderita dapat beraktivitas normal setelah 48 jam setelah tindakan eksisi.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata
atau beta radiasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat dilakukan eksisi
ulang dengan grafting.4 Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama
setelah operasi. Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterygium seperti
riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan
20
memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar
matahari.8

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47.
2009
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: Widya Medika. 2010
3. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Binarupa Aksara. 1983
4. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf. 2009
5. Fisher JP. Pterygium. http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview#showall. 2013
6. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya. 1994
7. Ilyas, S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman R, Simarwata M., Widodo PS
(eds). Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi
ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2010
8. Pterygium. Handbook of Ocular Disease Management. (Online)
http://www.revoptom.com. Diakses Oktober 2014
9. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at a glance. Oxford: Blackwell Publishing
company. 2005. pp: 34.
10. Sehu KW, Lee WR. Ophtalmic pathology: An illustrated guide for clinicians.
Oxford: Blackwell Publishing company. 2005. pp:48.
11. Lang GK. Gareis O, Lang GE, Recker D, Wagner P. Ophthalmology: A pocket
textbook atlas. 2nd ed. New York: Thieme. 2006. pp: 69,70,72

22

Anda mungkin juga menyukai