PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
NIM : 1102013191
MEI 2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap,
yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan fibrovaskuler
konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat
degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea dan mudah mengalami
peradangan. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma,
radang dan degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler konjungtiva
yang dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap rokok, debu, cahaya
sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang rendah, dan udara yang panas
merupakan faktor predisposisi terjadinya pterigium.
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim panas
dan kering. Faktor lain yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.
Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup tinggi
yakni 13,1%. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia, namun
rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua. Prevalensi
tertinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun dan insidensi tertinggi
didapatkan pada usia 20-40.
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak
mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal, mata
mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu mata
ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium. Beberapa
lainnya datang dengan keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas korneanya dan
merasa seperti kelilipan saat berkedip. Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan yang
cermat untuk mendiagnosis pterigium sehingga pasien mendapatkan penanganan
yang tepat.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. O
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Taman Graha Asri, Serang
MRS : 21 Mei 2018
II.2. Anamnesis
Keluhan tambahan : - rasa gatal pada mata kiri yang hilang timbul
3
Keluhan lainnya seperti seringnya keluar kotoran (belek) dari mata
dan sulit untuk membuka mata di pagi hari karena lengket disangkal oleh
pasien. Keluhan pandangan kabur dan pandangan ganda disangkal oleh
pasien. Pasien juga menyangkal matanya terasa nyeri.
Status Generalis
Status Oftalmologikus
OD OS
6/12.5 6/10
Visus
Koreksi: C -1.00 X 80 Koreksi: C -.075 X 20
Orthophoria Tes hirsberg Orthophoria
Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Segmen Anterior
Krepitasi (-) Krepitasi (-)
Rima orbita
Fraktur (-) Fraktur (-)
Baik Baik
Tumbuh teratur Tumbuh teratur
suprasilia
Madarosis (-) Madarosis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Edema (-) Edema (-)
Hematoma (-) Hematoma (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Palpebra superior
Benjolan (-) Benjolan (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Ptosis (-) Ptosis (-)
Lagoftalmus (-) Lagoftalmus (-)
5
Edema (-) Edema (-)
Hematoma (-) Hematoma (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Palpebra inferior
Entropion (-) Entropion (-)
Benjolan (-) Benjolan (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Trikiasis (-) Margo palpebra Trikiasis (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Papil (-) Papil (-)
Konjunctiva tarsal
Benjolan (-) Benjolan (-)
superior
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Papil (-) Papil (-)
Konjunctiva tarsal
Benjolan (-) Benjolan (-)
inferior
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Tampak tenang Tampak tenang
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Injeksi konjunctiva (-) Injeksi konjunctiva (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Konjunctiva bulbi
Perdarahan Perdarahan
subconjunctiva (-) subconjunctiva (-)
Tampak selaput di bagian Tampak selaput di
nasal bagian nasal
Jernih Jernih
Tampak selaput bentuk Tampak selaput bentuk
segitiga di daerah Kornea segitiga di daerah
temporal yang telah temporal yang telah
melewati tepi pupil melewati pupil
6
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Edema (-) Edema (-)
Infiltrat (-) Infiltrat (-)
Jernih Jernih
Camera okuli
Hipopion (-) Hipopion (-)
anterior
Hifema (-) Hifema (-)
Kripti (+) normal Kripti (+) normal
Berwarna coklat iris Berwarna coklat
Sinekia (-) Sinekia (-)
Bulat Bulat
Ø 3 mm Ø 3 mm
pupil
Isokor Isokor
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Jernih lensa jernih
Pinguekula
Pseudopterigium
Konjungtivitis akut
7
II.7 Penatalaksanaan
II.8 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau
sayap, yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan
fibrovaskuler konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva
bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima
palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini berbentuk seperti
sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak permbuluh
darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi iritasi
maka pterigium akan berwarna merah.
2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada bagian
puncak, pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak kelabu yang
disebut pulau Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan adanya penonjolan
daging berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk
segitiga berkembang dari konjungtiva interpalpebrae menuju ke kornea.
Tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat
kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila mengalami iritasi,
pterigium akan berwarna merah dan menebal. 2,3,8
Gambar 3. Pterigium 11
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian segitiga
yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex,
bagian atas pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.4
13
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut
sebagai pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan
temporal, maka disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan
bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi
menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya
normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
G. Diagnosa Banding
1. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.5,6
Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka
probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterigium pada limbus,sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body
dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure
yang berbeda dengan true pterigium.
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah5
- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti
ukak kornea, sedangkan pterigium tidak.
- Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan
proses kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium adalah selain letaknya
tidak harus pada celah kelopak mata atau fisura palpebra.
14
- Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang
pseudopterigium tidak.
- Pseudopterigium dapat diselipkan sonde di bawahnya, sedangkan pterigium
tidak.
- Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan
pembuluh darah normal.
- Pterigium bersifat progresif, pseudopterigium tidak.
15
Gambar 5. Pinguekula 11
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan
juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita
dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
16
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus
ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada
yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang
variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih
untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang
minimal dan halus dari permukaan kornea.
17
sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.
19
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1 tetes/ 3
jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu
I. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi: 4
1. Mata merah
2. Iritasi
3. Keterlibatan otot ekstraokular menyebabkan diplopia
4. Jaringan parut kronik pada konjungtiva dan kornea
5. Dry eye sindrom
6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47.
2009
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: Widya Medika. 2010
3. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Binarupa Aksara. 1983
4. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf. 2009
5. Fisher JP. Pterygium. http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview#showall. 2013
6. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya. 1994
7. Ilyas, S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman R, Simarwata M., Widodo PS
(eds). Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi
ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2010
8. Pterygium. Handbook of Ocular Disease Management. (Online)
http://www.revoptom.com. Diakses Oktober 2014
9. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at a glance. Oxford: Blackwell Publishing
company. 2005. pp: 34.
10. Sehu KW, Lee WR. Ophtalmic pathology: An illustrated guide for clinicians.
Oxford: Blackwell Publishing company. 2005. pp:48.
11. Lang GK. Gareis O, Lang GE, Recker D, Wagner P. Ophthalmology: A pocket
textbook atlas. 2nd ed. New York: Thieme. 2006. pp: 69,70,72
22