Anda di halaman 1dari 7

3.

2 Makanan pendamping yang tidak adekuat


Elemen ini meliputi kualitas makanan yang buruk, kemampuan pemberian makan yang tidak
adekuat dan keamanan air. Subelemen makanan berkualitas rendah meliputi kualitas
mikronutrien yang buruk, keragaman diet rendah dan asupan makanan bersumber hewani,
konten antinutrient dan makanan pendamping rendah energi. Subelemen pemberian makan
yang tidak adekuat meliputi makan yang tidak sering, makan yang tidak adekuat selama dan
setelah sakit, konsistensi makanan tipis, kuantitas pemberian makan kurang, dan pemberian
makan yang tidak responsif. Subelemen keamanan makanan dan air meliputi makanan dan air
yang terkontaminasi, praktik kebersihan yang buruk, dan penyimpanan yang tidak aman dan
persiapan makanan. Penelitian tentang makanan pendamping di Indonesia telah difokuskan
hampir secara eksklusif pada makanan berkualitas buruk (termasuk suplementasi dan
intervensi fortifikasi), kecuali satu studi tentang air yang terkontaminasi dan satu studi yang
jelas ditujukan untuk makan yang jarang. Meskipun dampak probiotik pada pertumbuhan linear
tidak secara khusus dibahas dalam kerangka WHO, Agustina et al. (2013) menemukan bahwa
probiotik Lactobacillus reuteri/DSM 17.938 sederhana meningkat dengan kecepatan tinggi
dibandingkan dengan control (0.03 cm/bulan, 95% CL [0.01, 0.05] pada anak-anak usia 1-6
tahun yang hidup di komunitas perkotaan kumuh di Jakarta, Indonesia.

Beberapa penelitian menunjukkan kualitas mikronutrien dari makanan pendamping dalam


beberapa hal, meskipun kebanyakan tidak langsung menilai asupan makanan dari makanan
pendamping. Sari et al. (2010) menemukan bahwa rumah tangga pada kuintil tertinggi dalam
pengeluaran makanan bersumber hewani dikaitkan dengan kemungkinan penurunan stunting
pada anak-anak perkotaan kumuh (AOR 0.87, 95% CI [0.85, 0.90]) dan anak-anak pedesaan
(AOR 0.78, 95% CI [0.74, 0.81]) 0-59 bulan, dibandingan dengan rumah tangga pada kuintil
terendah (Sari et al., 2010). Rumah tangga pada kuintil tertinggi dalam pengeluaran makan
bersumber nabati berhubungan dengan kemungkinan penurunan stunting pada anak perdesaan
0-59 bulan (AOR 0.86, 95% [0.84, 0.88]) tapi tidak pada anak perkotaan kumuh, dibandingan
dengan rumah tangga pada kuintil terendah (Sari et al., 2010). Selain itu, anak-anak 0-59 bulan
dari rumah tangga pada kuintil tertinggi dalam pengeluaran makanan berbiji di daerah
perdesaan memiliki AOR stunting sebesar 1.21 (95% CI [1.18, 1.25]) dan di daerah perkotaan
kumuh AOR stunting sebesar 1.09 (95% CI [1.09, 1.13]), dibandingkan dengan rumah tangga
di kuintil terendah (Sari et al., 2010). Demikian pula, Semba et al. (2011) melaporkan
kemungkinan penurunan stunting dengan pengeluaran makanan bersumber hewani dalam
rumah tangga lebih tinggi pada anak-anak perdesaan (UOR 0.87, 95% CI [0.82, 0.92]) dan
anak-anak perkotaan kumuh (UOR 0.78, 95% CI [0.72, 0.85]) dan kemungkinan penurunan
stunting dengan pengeluaran makanan bersumber nabati dalam rumah tangga lebih tinggi pada
anak-anak perdesaan (UOR 0.79, 95% CI [0.74, 0.84]) dan anak-anak perkotaan kumuh (UOR
0.86, 95% CI [0.79, 0.94]) 6-9 bulan. Dalam penelitian terbaru, rumah tangga tanpa pemberian
makan dengan usia yang tepat, dimana mencakup diet minimum yang dapat diterima dalam
keragaman dan frekuensi dikatikan dengan peningkatan kemungkinan stunting pada anak usia
0-23 bulan (UOR 1.39, 95% CI [1.09, 1.77]); Torlesse et al., 2016).

Semba et al. (2011) menemukan bahwa asupan beberapa mikronutrien fortifikasi susu
berhubungan dengan penurunan kemungkinan stunting pada anak usia 6-59 bulan di daerah
perdesaan (UOR 0.87, 95% CI [0.85, 0.90]) dan area perkotaan (UOR 0.80, 95% CI [0.76,
0.85]), sedangkan asupan beberapa mikronutrien fortifikasi mie berhubungan dengan sedikit
penurunan kemungkinan stunting di daerah perdesaan (UOR 0.95, 95% CI [0.91, 0.99]). Non-
RCT terbaru di perdesaan Indonesia menunjukkan bahwa konsumsi suplemen bahan dasar
lemak dalam jumlah sedikit, dimana menyediakan mikronutrien dan makronutrien-lebih dari 6
bulan banyak mengurangi insiden stunting (RR 0.35) pada bayi usia 6-12 bulan dibandingkan
dengan kelompok kontrol (Muslihah, Khomsan, Briawan, & Riyadi, 2016). Aitchison, Durin,
Beckett, dan Pollitt (2000) melakukan RCT dan menemukan bahwa suplemen dengan energi
(~280 kkal) dan besi (12mg) hanya sedikit meningkatkan panjang pada anak-anak 12 bulan
dan 18 bulan setelah 6 bulan intervensi. Sebuah analisis tentang program pemberian makanan
tambahan yang terjadi setelah krisis keuangan 1997-1998 menemukan bahwa anak-anak usia
12-24 bulan yang terlibat dalam program setidaknya 12 bulan selama 2 tahun mengalami
penurunan stunting sebesar 7% dan penurunan stunting berat sebesar 15% dibandingkan
dengan kelompok control (Giles & Satriawan, 2015). Terakhir, konsumsi buah dan biskuit
sedikit meningkat panjang dan HAZ pada bayi 0-12 bulan pada sebuah RCT oleh Schmidt et
al. (2002).

Sebuah penelitian RCT dalam empat lokasi di Asia Tenggara, dua diantaranya berada di
Indonesia, menemukan bahwa suplementasi seng dan bukan suplementasi besi yang diberikan
kepada anak-anak 4-6 bulan selama 6 bulan mengakibatkan peningkatan HAZ 0.17 cm hanya
pada bayi anemia (Dijkhuizen et al., 2008). Sebaliknya, Fahmida et al. (2007) melakukan RCT
double-blind dan menemukan bahwa diantara awalnya anak-anak usia 3-6 bulan yang
menderita stunting, 6 bulan suplementasi dengan besi + seng atau besi + seng + vitamin A
menghasilkan peningkatan panjang 1 cm dibandingkan dengan placebo dan hanya pemberian
suplementasi seng. Suplementasi vitamin A dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan
pertumbuhan linear pada anak-anak usia prasekolah dalam dua studi, khususnya diantara
mereka yang retinol serumnya sangat rendah (Hadi et al, 2000; Semba et al, 2011). Secara
khusus, sebuah RCT oleh Hadi et al. (2000) menemukan bahwa anak-anak usia 6-48 bulan
dengan konsentrasi serum retinol <35 μmol/L yang diberikan suplemen vitamin A dosis tinggi
setiap 4 bulan memiliki peningkatan tinggi 0.39 cm / 4 bulan (95% CI [0.24, 0.53]) lebih besar
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Dalam sebuah studi cross-sectional, penerimaan
suplementasi vitamin A dalam 6 bulan sebelumnya yang sederhana dikaitkan dengan
kemungkinan berkurangnya stunting pada anak-anak perdesaan usia 6-59 bulan (UOR 0.96,
95% CI [0.93, 0.99]); Semba et al, 2011.). Penelitian yang serupa mengamati hubungan sedikit
lebih kuat antara rumah tangga yang menggunakan garam beryodium dan anak stunting di
daerah perdesaan (UOR 0.89, 95% CI [0.87, 0.92]) dan daerah kumuh perkotaan (UOR 0.94,
95% CI [0.90, 0.98]); Semba al., 2011). Akhirnya, Semba, de Pee, Hess, et al. (2008)
menemukan bhawa rumah tangga dengan garam cukup beryodium secara signifikan berikatan
dengan pravelensi stunting yang sedikit lebih rendah pada anak usia 0-59 bulan – 2,1% di
daerah kumuh perkotaan dan 5,2% di daerah pedesaan.

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pembelian air minum yang murah cukup berhubungan
dengan kemungkinan peningkatan stunting pada anak-anak usia 0-59 bulan di daerah kumuh
perkotaan (Semba et al., 2009). Praktik pemberian makan yang tidak adekuat tidak dinilai
berdasarkan hubungan dengan anak stunting atau pertumbuhan linear di Indonesia meliputi
pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi makanan tipis,
kuantitas pemberian makan kurang, dan pemberian makan yang tidak responsif. Faktor penentu
makanan dan keamanan air tidak dinilai untuk hubungan dengan anak stunting atau
pertumbuhan linear meliputi makanan yang terkontaminasi, praktik kebersihan yang buruk,
dan penyimpanan yang tidak aman dan persiapan makanan.

3.3 Menyusui
Dalam praktik menyusui yang tidak adekuat, kerangka WHO meliputi keterlambatan inisiasi
menyusui dini, menyusui tidak ekslusif, dan penghentian menyusui dini. Satu studi tidak
menemukan hubungan antara anak-anak usia 0-23 bulan yang mulai menyusui dalam 1 jam
setelah lahir dan mengurangi kejadian stunting (Torlesse et al., 2016). Dua analisis terbaru oleh
Rachmi et al. (2016b); Rachmi, Agho, Li, dan Baur (2016a) mendemonstrasikan bahwa anak-
anak disapih sebelum 6 bulan memiliki kemungkinan lebih tinggi terjadi stunting (AOR 3,16,
95% CI [1,91, 523] dan AOR 2,98, 95% CI [1.20, 7.41]). Studi yang sama juga mengamati
bahwa menyusui berkepanjangan dikaitkan dengan tingginya prevalensi anak stunting, tapi ada
cukup bukti dalam penelitian cross-sectional ini untuk menentukan hubungan sebab akibat dan
cukup adekuat menghitung faktor-faktor perancu. Seperti yang disebutkan di bawah makanan
pendamping yang tidak memadai, Torlesse et al. (2016) menemukan hubungan yang moderat
antara pemberian makanan yang sesuai dengan usia-yang juga termasuk pemberian ASI
eksklusif pada anak usia 0-5 bulan-dan mengurangi anak stunting (Torlesse et al., 2016).

3.4 Infeksi
Di bawah infeksi klinis dan subklinis, kerangka WHO meliputi infeksi enterik (penyakit diare,
enteropati lingkungan, dan penyakit cacing), infeksi saluran pernapasan, malaria, penurunan
napsu makan karena infeksi, dan inflamasi. Dari sekian ini, hanya infeksi saluran pernapasan
dan salah satu tipe dari infeksi enterik (diare) yang disebut didalam literatur dan berhubungan
dengan kejadian stunting pada anak. Dengan demikian, literatur tersebut mengungkapkan
faktor2 penentu yang tidak spesifik dalam list dalam kerangka WHO, demam dan sebagian
atau tidak mendapatkan vaksinasi yang berhubungan dengan kejadian stunting anak.

Bardosono et al. (2007) melaporkan bahwa penyakit infeksi termasuk diare, infeksi saluran
pernapasan dan demam, berhubungan dengan stunting pada anak-anak usia 6-59 bulan yang
tinggal di daerah kumuh perkotaan dan di daerah perdesaan. Meskipun mereka tidak
menspesifikasikan besarnya hubungan tersebut, prevalensi dari infeksi saluran pernapasan
adalah yang tertinggi dari semua populasi dalam studi, diikuti oleh demam dan diare. Semba
et al. (2011) menemukan sebuah hubungan yang cukup kuat antara diare dalam 7 hari terakhir
dan stunting pada anak-anak usia 6-59 bulan, terutama di daerah perdesaan (UOR 1.30, 95%
CI [1.22, 1.37]). Sebagai tambahan, Semba, de Pee, et al. (2007) melaporkan bahwa anak-anak
usia 12-59 bulan yang telah divaksin lengkap, sebagian atau belum sama sekali memiliki
prevalensi stunting sebesar 37%, 47%, dan 54% masing-masing. Hubungan antara penerimaan
vaksinasi dan anak stunting berat bahkan lebih kuat, 10% untuk yang sudah divaksin lengkap,
16% untuk yang sebagian dan 22% untuk yang belum pernah menerima vaksin (Semba, de
Pee, et al. 2007).

3.5 Masyarakat dan faktor-faktor sosial


Masyarakat dan faktor-faktor sosial adalah tanggung jawab elemen dalam faktor penentu
kontekstual anak dengan stunting pada kerangka WHO. Subelemen-subelemen meliputi
ekonomi politik, kesehatan, perawatan kesehatan dan salah satu faktor penentu air, sanitasi dan
lingkungan. Karena kami melaporkan indikator kesejahteraan rumah tangga dibawah
lingkungan rumah, kami tidak menyatakan kembali mereka disini, meskipun mereka tumpang
tindih dengan determinan bawah ekonomi politik yaitu kemiskinan, pendapatan dan kekayaan,
lapangan kerja dan mata pencaharian.

Ekonomi politik meliputi harga pangan dan kebijakan perdagangan, peraturan pemasaran,
stabilitas politik, kemiskinan, pendapatan dan kekayaan, jasa keuangan, pekerjaan, dan mata
pencaharian. Kesehatan dan perawatan kesehatan termasuk akses ke perawatan kesehatan,
penyedia layanan kesehatan yang berkualitas, ketersediaan pasokan, infrastruktur dan sistem
perawatan kesehatan dan kebijakan. Pendidikan termasuk akses terhadap pendidikan yang
berkualitas, guru yang berkualitas, pendidik kesehatan yang berkualitas, dan infrastruktur
(sekolah dan lembaga-lembaga pelatihan). Masyarakat dan budaya termasuk keyakinan dan
norma-norma, jaringan dukungan sosial, pengasuh anak (orangtua dan nonparental), dan status
perempuan. Pertanian dan sistem pangan meliputi produksi pangan dan pengolahan,
ketersediaan makanan kaya mikronutrien, dan keamanan pangan dan kualitas. Terakhir, air,
sanitasi, dan lingkungan termasuk infrastruktur dan pelayanan air dan sanitasi; kepadatan
penduduk; perubahan iklim; urbanisasi; dan bencana alam dan buatan manusia.

Studi di Indonesia telah membahas semua faktor-faktor penentu kesehatan dan perawatan
kesehatan kecuali ketersediaan pasokan. Tidak mengherankan, kurangnya akses ke perawatan
kesehatan telah dikaitkan dengan stunting anak di beberapa studi (Anwar, Khomsan, Sukandar,
Riyadi, & Mudjajanto, 2010; Bardosono et al, 2007; Torlesse et al, 2016). Bardosono et al.
(2007) menemukan hubungan antara akses pelayanan kesehatan dan HAZ, meskipun bentuk
jalannya tidak pas. Dalam studi lain, ibu-ibu yang memiliki kurang dari empat perawatan
antenatal (ANC) dilihat selama kehamilan lebih mungkin untuk memiliki anak dengan stunting
pada usia 0-23 bulan (Uor 1,70, 95% CI [1,12, 2,60]) dibandingkan dengan empat atau lebih
kunjungan antenatal ( Torlesse et al., 2016). Akhirnya, Anwar et al. (2010) menemukan bahwa
anak laki-laki dibawah 5 tahun dengan jarang mendatangi Posyandu (Kesehatan Terpadu dan
Layanan Gizi) (1-3 kali) memiliki HAZ rata-rata -1,9 (SD 1,7) dibandingkan dengan anak laki-
laki yang sering mendatangi Posyandu (4-6 kali; HAZ -1,3, SD 1,8).

Dua penelitian menunjukkan hubungan antara penyedia layanan kesehatan tidak memenuhi
syarat (terutama tidak adanya dokter) dan anak stunting (Barber & Gertler, 2009; Torlesse et al, 2016).
Torlesse et al. (2016) melaporkan kemungkinan stunting pada anak-anak usia 0-23 bulan lebih
dari dua kali lipat jika dokter atau bidan tidak memberikan ANC (UOR 2,07, 95% CI [1,29,
3,33]). Demikian pula, simulasi IFLS cross-sectional pada tahun 1993 dan 1997 menyarankan
bahwa meningkatkan jumlah dokter dari tidak ada menjadi satu pada anak-anak 0-23 bulan
akan menghasilkan kenaikan panjang 0,27 cm (Barber & Gertler, 2009). Peningkatan yang
lebih kecil pada panjang badan ditemukan ketika meningkatnya jumlah perawat dari tidak ada
menjadi tiga atau lebih (0,18 cm) dan menambahkan bidan di mana tidak ada dokter lalu
menjadi ada (0,09 cm; Barber & Gertler, 2009). Hanya Torlesse et al. (2016) menemukan
hubungan antara infrastruktur dan pengerdilan anak: kemungkinan stunting pada anak-anak
usia 0-23 bulan lebih dari dua kali lebih tinggi ketika ANC tidak diperoleh di fasilitas kesehatan
(UOR 2.12, 95% CI [1,16, 3,87]), dan bahkan lebih tinggi untuk stunting yang parah (AOR
2,58, 95% CI [1,19, 5,58]). Akhirnya, Paknawin-Mock et al. (2000) menggunakan pendekatan
ekologi-ekonomi lintas sektoral dan menunjukkan hubungan antara layanan pengasuhan anak
dan program vaksinasi masyarakat dan stunting yang parah pada anak-anak usia 6-18 bulan —
layanan pengasuhan anak memiliki dampak yang relatif lebih kuat daripada program vaksinasi
masyarakat.

Di dalam subelemen air, sanitasi, dan lingkungan, hanya komponen yang diteliti dan ditemukan
terkait dengan stunting anak adalah urbanisasi, dengan sebagian besar penelitian mengamati
bahwa daerah perdesaan memiliki prevalensi anak stunting yang lebih tinggi daripada daerah
perkotaan, bahkan daerah perkotaan yang miskin. Rachmi et al. (2016b) memperkirakan bahwa
prevalensi stunting pada anak-anak usia 24-59 bulan adalah 53,3% (95% CI [51,2, 55,4]) di
daerah perdesaan dibandingkan dengan 34,9% (95% CI [32,9, 37,0]) di daerah perkotaan,
dengan AOR stunting 1,55 (95% CI [1,22, 1,97]) di daerah pedesaan dibandingkan dengan
perkotaan. Sandjaja et al. (2013) menganalisis survei cross-sectional dan menemukan
perbedaan yang sama dalam prevalensi stunting pada kelompok usia yang sama — pedesaan
47,3% dan perkotaan 28,5%. Semba, de Pee, Hess, et al. (2008) menemukan bahwa
kemungkinan stunting pada anak-anak usia 0-59 bulan cukup tinggi di perdesaan dibandingkan
dengan perkotaan (AOR 1,136, 95% CI [1,075, 1,202]). Satu studi melaporkan bahwa
kemungkinan stunting lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan
pada anak-anak usia 0-59 bulan (UOR 1,33, 95% CI [1,03, 1,71]), tetapi itu adalah studi cross-
sectional hanya dilakukan di provinsi Maluku Utara, dan 95% CI tumpang tindih untuk
perkiraan prevalensi stunting (perdesaan 33,4%, 95% CI [28,6, 38,6] dan perkotaan 40,0%,
95% CI [37,2, 42,9]; Ramli et al., 2009).
Masyarakat dan faktor kemasyarakatan tidak dinilai untuk hubungan dengan stunting anak atau
pertumbuhan linier di Indonesia termasuk ketersediaan pasokan kesehatan, infrastruktur dan
layanan air dan sanitasi, kepadatan penduduk, perubahan iklim, harga makanan dan kebijakan
perdagangan, peraturan pemasaran, stabilitas politik, layanan keuangan, dan semua faktor
penentu dalam sub-bidang pendidikan, masyarakat dan budaya, serta pertanian dan sistem
pangan.

Anda mungkin juga menyukai