Anda di halaman 1dari 24

REFERAT ANESTESI

Dopamin dan Dobutamin

Oleh :
Ardelia Mithakarina G99172044

Pembimbing :
dr. Paramita Putri H., Sp. An, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Agen inotropik telah menjadi dasar untuk resusitasi pada kasus seperti syok
kardiogenik akut dan gagal jantung selama beberapa dekade ini (Francis et al,
2014). Pada keadaan tersebut, terjadi perfusi yang tidak adekuat dalam tubuh
dimana penghantaran oksigen ke jaringan tubuh tidak mencukupi kebutuhan
sehingga menyebabkan penurunan cardiac output dan hipoperfusi jaringan perifer
(Kalcik et al, 2015). Kontraktilitas jantung yang terganggu juga dapat menurunkan
cardiac output (Tariq & Aronow, 2015).
Pada kasus-kasus kegawatdaruratan medis seperti syok kardiogenik
membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Keterlambatan dan kesalahan
dalam penanganan kasus tersebut dapat berakibat fatal sampai menyebabkan
kematian. Penatalaksanaan syok kardiogenik dan gagal jantung ditujukan untuk
meningkatkan cardiac output, memperbaiki hemodinamik, dna memperbaiki
kinerja jantung dengan mengurangi preload, afterload, meningkatkan kontraktilitas
miokardium, dan menurunkan laju jantung. Penggunaan agen inotropik seperti
dopamin, dobutamin, dan norepinefrin digunakan secara intravena/parenteral untuk
dapat memperbaiki ketidakstabilan hemodinamik dan perfusi secara cepat.
Hemodinamik tubuh diatur oleh dua reseptor yaitu reseptor dopamin dan reseptor
adrenergik. Agen inotropik seperti dopamin dan dobutamin merupakan
katekolamin endogen yang bekerja menstimulasi reseptor adrenergik (beta-1, alfa-
1, dan alfa-2) untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium, vasokontriksi
pembuluh darah sehingga tekanan arteri meningkat. Agen inotropik bekerja untuk
meningkatkan hemodinamik tubuh dengan cara meningkatkan kontraktilitas
jantung dan meningkatkan cardiac output (Tariq & Aronow, 2015).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

AGEN INOTROPIK
Agen inotropik memiliki efek memperbaiki dan meningkatkan kontraktilitas
jantung (Francis et al, 2014). Agen inotropik dibagi menjadi dua yaitu adrenergik
dan nonadrenergik agen inotropik. Agen inotropik adrenergik terdiri atas:

1. DOPAMIN
Dopamin merupakan prekursor langsung pada norepinefrin dalam jalur
sintesis katelolamin dan neurotransmitter endogen dengan beberapa efek klinis
yang penting. Dopamin memiliki dua mekanisme kerja, dapat langsung menuju
ke reseptor dan dapat tidak langsung menuju ke reseptor tetapi mekanismenya
melalui pengeluaran simpanan norepinefrin pada saraf terminal menuju ke
reseptor (Tarvasmaki et al, 2016). Dopamin juga merupakan neurohormon
yang dilepaskan oleh hipotalamus yang berfungsi sebagai hormon untuk
menghambat pelepasan prolaktin dari lobus anterior hipofisis (Francis et al,
2014).
Dopamin merupakan kelompok neurotransmitter katekolamin dengan
jumlah total neuron dopaminergik di otak manusia diperkirakan berjumlah
antara 300.000 sampai dengan 400.000. Dopamin diproduksi di beberapa
daerah di otak, yaitu pada substansia nigra pars compacta, daerah segmental
sentral, dan nucleus arcuatus. Dari substansia nigra dan daerah sgmental sentral
neuron tersebut akan berproyeksi ke daerah mesolimbik, mesokortikal, dan
daerah striatum (Pinzon & Rizaldy, 2007).

METABOLISME
Dopamin disintesis dari tirosin di bagian terminal presinaps untuk
kemudian dilepaskan ke celah sinaps. Langkah pertama sintesis dopamin
adalah proses uptake asam amino L-tyrosine dari aliran darah. Tyrosine akan
dikonversi menjadi 3-4-dihidroxyphenylalanine (L-DOPA) oleh enzim

2
tyrosine hydroxylase, dan kemudian L-DOPA dikonversi menjadi dopamin
oleh enzim dopa decarboxylase. Dopamin disimpan dalam granula-granula di
ujung presinaptik saraf, dan akan dilepaskan apabila ada ransangan. Dopamin
yang dilepaskan dicelah sinaps dapat mengalami satu atau lebih keadaan
berikut :
 Mengalami pemecahan oleh enzim COMT/Catechol-O-Methyl-
Transferase atau enzim MAO/Monoamine Oxidase.
 Mengalami difusi dari celah sinaps,
 Pelepasan di pengaruhi ion kalsium.
 Mengaktivasi reseptor pre sinaptik
 Mengaktifasi reseptor post sinaptik
 Mengalami ambilan kembali (reuptake) ke terminal pre sinaptik (Pinzon
& Rizaldy, 2007).

Dopamin dimetabolisme dengan cepat oleh monoamine oxidase dan


catechol-O-methyl transferase yang ada dalam sirkulasi darah menjadi 3,4-
dihydroxyphenyl acetic acid (DOPAC), asam homovanillic (HVA), dan 3-
methoxytyramine (Beaulieu & Gainetdinov, 2011).

3
Gambar 1. Sintesis dan pengangkutan dopamin ke dalam vesikel
penyimpanan (Butterworth et al, 2013).

RESEPTOR

Reseptor dopamin (DA) adalah sekelompok reseptor adrenergik yang


diaktifkan oleh dopamin. Reseptor ini diklasifikasikan sebagai D1 dan
D2. Pengaktifan reseptor D1 memicu vasodilatasi di ginjal, usus dan hati.
Reseptor D2 dipercaya mempunyai peran dalam aksi antiemetic dari
droperidol (Butterworth et al, 2013). Reseptor D2 dapat menghambat
pembentukan cAMP dengan mengaktivasi protein G inhibitor. Reseptor
dopaminergik D2 juga dapat berperan sebagai autoreseptor yang dimana
terletak di pre sinaps dan post sinaps. Dopamin yang dilepaskan dari
terminal saraf dapat mengaktivasi reseptor D2 pada terminal pre sinaptik
yang sama, dan akan mengurangi sintesis atau pelepasan dopamin yang
terlalu berlebihan, sehingga reseptor D2 akan berperan sebagai mekanisme

4
umpan balik (feedback) negatif yang dapat memodulasi atau menghentikan
pelepasan dopamin pada sinaps tertentu (Pinzon & Rizaldy, 2007).

Gambar 2. Biosintesis dan mekanisme aksi reseptor dopamin (Synder,


2011).

Reseptor dopamin ada di dua tempat yaitu terdapat di sentral (otak) dan di
perifer. Reseptor dopamin di otak yaitu reseptor D1 terdeteksi di limbik,
hipotalamus, dan thalamus. Reseptor D2 telah ditemukan terutama di striatum,
di tuberkulum penciuman, dalam inti nukleus accumbens (Beaulieu &
Gainetdinov,2011).

5
Gambar 3. Klasifikasi lokasi subtipe reseptor dopamin (Cheung &
Barrington, 1996).

Reseptor dopamin di perifer memiliki efek reseptor dopamin pada


pembuluh darah menunjukkan reseptor D1 postjunctional akan menyebabkan
vasodilatasi langsung pada arteri renalis. Pada reseptor D2 prejunctional pada
postganglion saraf terminal simpatis akan menghambat pengeluaran
norepinefrin indirek untuk menimbulkan vasodilatasi pada arteri femoralis dan
menurunkan kontraktilitas jantung (Fellous & Suri, 2002). Sementara efek
reseptor dopamin pada pengontrolan sistem renin-angiotensin-aldosteron yaitu
berpengaruh pada sekresi renin dan pengontrolan produksi aldosterone
(Missale et al, 1998).
Reseptor adrenergik dibagi menjadi dua kategori yaitu alfa dan beta.
Masing-masing dibagi lagi menjadi alfa-1, alfa-2, beta-1, beta-2, dan beta-3.
Perbedaan adenoreseptor yaitu berhubungan dengan protein G spesifik, yang
mana masing-masing dengan efektor yang berbeda namun sama-sama
menggunakan guanosine triphospat (GTP) sebagai kofaktor. Alfa-1
berhubungan dengan Gp, mengaktifkan fosfolipase dan menghambahat
adenylate cyclase. Beta berhubungan dengan Gs, dimana mengaktifkan
adenylate cyclase (Butterworth et al, 2013).

6
 Alfa-1
Adenoreseptor pascasinaps yang terletak di otot-otot polos. Miokardium
memiliki reseptor alfa-1 yang memiliki efek inotropik positif,
kemungkinan dapat menimbulkan aritmia yang diinduksi katekolamin.
Efek kardiovaskuler yang ditimbulkan adalah vasokontriksi, yang mana
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, afterload ventrikel kiri,
dan tekanan darah arteri.

 Alfa-2
Terletak pada presinaps saraf terminal. Aktivasi dari reseptor-reseptor ini
menghambat aktivitas adenylate cyclase sehingga mengurangi masuknya
ion kalsium ke terminal saraf, membatasi ekositosis vesikel penyimpanan
norepinefrin. Otot polos vaskular mengandung reseptor alfa-2 postsinaptik
yang menghasilkan vasokonstriksi. Stimulasi reseptor alfa-2 postsinaps di
sistem saraf pusat menyebabkan sedasi dan mengurangi pengeluaran saraf
simpatis menyebabkan vasodilatasi perifer dan menurunkan tekanan
darah.

 Beta-1
Reseptor beta-1 terletak pada membrane postsinaps di jantung. Stimulasi
reseptor ini mengaktivasi adenylate cyclase dimana mengkonversi ATP
menjadi AMP dan memicu kaskade fosforilasi. Inisiasi kaskade ini
menyebabkan efek kronotropik positif (peningkatan laju jantung),
dromotropik (peningkatan induksi), dan inotropik (peningkatan
kontraktilitas).

 Beta-2
Menstimulasi otot polos sehingga menimbulkan bronkodilatasi dan
vasodilatasi arteri sehingga terjadi penurunan SVR (tekanan darah
sistemik) dan PVR (tekanan arteri paru).

7
 Beta-3
Terletak pada vesical urinaria dan jaringan adiposa otak. Reseptor ini
memiliki peran lipolysis dan thermogenesis pada lemak coklat
(Butterworth et al, 2013).

Gambar 4. Sistem saraf simpatis. Inervasi organ, tipe reseptor, dan


respon terhadap rangsangan (Butterworth et al, 2013).

FUNGSI
Prekursor norepinefrin (dopamin) mempunyai kerja lansung pada
reseptor dopaminergik dan adrenergik, dan dapat melepaskan norepinefrin
endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja pada reseptor dopaminergik

8
D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, dan pembuluh darah koroner.
Stimulasi reseptor beta-1 menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi
adenylate cyclase. Dengan demikian infus dopamin dosis rendah akan
meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan ekskresi Na+
pada pasien dengan gagal jantung akut dan disfungsi renal. Pada dosis yang
lebih tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokardial melalui
aktivasi reseptor beta-1. Dopamin juga melepaskan norepinefrin endogen
yang menambah efeknya pada jantung. Pada dosis rendah sampai sedang,
resistensi perifer total tidak berubah. Hal ini mungkin karena dopamin
mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesentirium dengan hanya
sedikit peningkatan di tempat-tempat lain. Dengan demikian dopamin
meningkatkan tekanan sistolik dan nadi tanpa mengubah tekanan diastolik
(atau sedikit meningkat). Akibatnya, dopamin berguna untuk keadaan
cardiac output yang rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal,
misalnya syok kardiogenik dan hipovolemik. Pada kadar yang tinggi
dopamin dapat menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor alfa
pembuluh darah. Karena itu bila dopamin digunakan untuk syok yang
mengancam jiwa, tekanan darah dan fungsi ginjal harus dimonitor (Francis
et al, 2014; Tariq & Aronow, 2015).

9
Gambar 5. Diagram kaskade sinyal interseluler dalam kardiomiosit
diubah oleh inotropik (Francis et al, 2014).

TERAPI
Dopamin adalah katekolamin endogen dengan efek kardiovaskular.
Efek dopamin tergantung pada respon katekolamin endogen,
farmakokinetik, fungsi sistem organ dan cadangan norepinefrin.

 Infus dopamin pada dosis < 3 μg/kg/menit akan mengaktivasi reseptor


dopaminergik D1 yang akan menimbulkan vasodilatasi pada arteri
koronaria dan arteri renalis. Efek inotropik juga bisa didapatkan pada
pemberian infus dopamin dosis rendah.
 Infus dopamin pada dosis 3-10 μg/kg/menit merangsang reseptor beta
–adrenergik jantung secara langsung dan tidak langsung melalui
pelepasan epinefrin yang disimpan di saraf simpatis terminal. Selain itu
juga meningkatkan efek inotropik dan laju jantung. Pada dosis ini dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah ke ginjal, laju jantung,
kontraktilitas dan cardiac output.

10
 Pemberian dopamin dosis 10-20 μg/kg/menit merangsang reseptor alfa
menyebabkan vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah dan
takikardia (Tariq & Aronow, 2015).

Dopamin sering digunakan pada bayi baru lahir yang sakit kritis untuk
pengobatan syok dan gagal jantung. Konsentrasi steadystate plasma arteri
dopamin diukur pada 11 bayi yang sakit parah menerima infus dopamin
pada tingkat 5 sampai 20 mg/kg/menit, untuk sepsis diduga dan terbukti
syok hipotensi. Konsentrasi steadystate dopamin berkisar antara 0,013
hingga 0,3 mg / ml (Pacifici, 2014)

Gambar 6. Tabel dosis dopamin pada bayi (Pacifici, 2014).

Indikasi Pemberian Dopamin


Dopamin diberikan pada hipotensi atau perfusi perifer buruk dengan volume
intravaskular cukup dan irama jantung yang stabil.

Kontraindikasi Pemberian Dopamin


Dopamin tidak disarankan untuk diberikan pada pasien-pasien yang
menderita takiaritmia, ventrikular fibrilasi, dan pheochromocytoma.

Dosis Dan Cara Pemberian Dopamin


Masa paruh pendek sehingga diberikan secara infus kontinyu dengan pompa
infus. Infus inisial adalah 10 μg/kg/menit, kemudian kecepatan infus

11
disesuaikan dengan penilaian diuresis, perfusi sistemik atau tekanan darah.
Dosis rendah dopamin 2-5 μg/kg/menit memperbaiki aliran darah renal,
splanknik dan diuresis. Kecepatan infus > 20 μg /kg/menit menyebabkan
efek vasokonstriksi tanpa inotropik.

Perhatian Dalam Pemberian Dopamin


Dopamin dapat menyebabkan takikardia yang meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard, aritmia, ventrikular takikardia dan hipertensi. Dopamin
dosis tinggi dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer berat dan iskemia.
Infus dopamin harus diberikan melalui kateter vena yang aman atau melalui
kateter vena sentralis. Ekstravasasi dopamin dapat menyebabkan iskemia,
nerosis jaringan lokal dan gangren. Selain itu, dopamin juga dapat
menyebabkan hipotensi. Apabila efek inotropik diperlukan lebih baik
diberikan epinefrin yang mempunyai efek alfa dan beta adrenergik lebih
kuat daripada memberikan infus dopamin dosis besar (Francis et al, 2014).

2. DOBUTAMIN
Dobutamin merupakan katekolamin sintetik bekerja agonis selektif beta-
1, beta-2 adrenergik dan reseptor alfa. Reseptor beta-1 lebih dominan
dibandingkan dengan reseptor beta-2 dan reseptor alfa. Mekanisme kerja
dobutamin yaitu langsung menuju reseptor beta pada miokardial jantung
tanpa pengeluaran norepinefrin dari saraf terminal. Dobutamin merupakan
agen inotropik pilihan pertama pada pasien dengan cardiac output yang
rendah yaitu sebagai contoh pada pasien syok septik, gagal jantung akut dan
syok kardiogenik (Tariq & Aronow, 2015; Nadeem et al, 2015). Meskipun
memiliki dominasi aktivitas beta adrenergik, dobutamin juga memiliki efek
alfa adrenergik yang membatasi peningkatan laju jantung. Dobutamin dikenal
dapat menimbulkan miokarditis eosinofilik dan eosinophilia perifer.
Dobutamin menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen miokard, yang
mana akan menpresipitasi dan meningkatkan kejadian takiritmia, perburukan
iskemik miokard dan meningkatkan mortilitas (Kalcik et al, 2015).

12
FUNGSI
Dobutamin memiliki efek farmakologis inotropik melalui reseptor beta-
1 dan efek vasodilatasi melalui stimulasi reseptor beta-2. Dobutamin dapat
memperbaiki kontraktilitas jantung dan mereduksi tekanan pengisian jantung.
Meskipun dobutamin meningkatkan cardiac output, tekanan darah dapat
turun akibat reduksi dari SVR melalui vasodilatsi yang dimediasi reseptor
beta-2. Oleh karena itu, dobutamin menjadi agen pilihan untuk manajemen
pada keadaan cardiac output rendah termasuk gagal jantung terkompensasi
dan syok kardiogenik (Kalcik et al, 2015). Dobutamin meningkatkan tekanan
darah dengan meningkatkan cardiac output, sementara dopamin
meningkatkan tekanan darah melalui vasokontriksi perifer (Francis et al,
2014). Pada beberapa pasien dapat menimbulkan hipotensi yang diakibatkan
karena vasodilatasi perifer sebagai efek dari reseptor beta-2 adrenergik (Tariq
& Aronow, 2015).
Dobutamin memiliki pusat asimetri dan kedua bentuk enantiometrik
berbentuk campuran yang digunakan secara klinis. Isomer negatif dobutamin
adalah agonis kuat pada reseptor alfa-1 dan mampu menyebabkan respons
pressor yang nyata. Sebaliknya, dobutamin positif adalah antagonis reseptor
alfa-1 yang kuat, yang dapat memblokir efek dobutamin negatif. Efek dari
dua isomer ini dimediasi oleh reseptor beta (Pacifici, 2014). Dobutamin
menunjukkan efek agonis β adrenergik poten pada dosis <5µ/kg/menit.
Dobutamin meningkatkan kontraktilitas miokardial (reseptor beta-1) dan
menyebabkan vasodilatasi perifer derajat sedang (reseptor beta-2). Isomer
levorotatory dobutamine menstimulasi reseptor alfa-1 pada dosis >5
µ/kg/menit dan mencegah terjadinya vasodilatasi yang lebih jauh. Dobutamin
digunakan untuk memperbaiki cardiac output pada pasien gagal jantung
kongestif, terutama bila laju jantung dan tahanan vaskuler sistemik
meningkat. Kombinasi dengan obat-obatan lain bermanfaat dalam
meningkatkan aktivitas dan memperbaiki distribusi cardiac output (Tariq &
Aronow, 2015).

13
Penelitian terbaru De Backer et al dengan menggunakan orthogonal
polarization spectral imaging menunjukkan bahwa dobutamin memperbaiki
perfusi kapiler pada pasien dengan syok septik, tanpa tergantung dari efek
sistemik. Diduga bahwa dobutamin memiliki efek spesifik pada aliran darah
regional (Vincent et al, 2008).
Dobutamin menyebabkan peningkatan cardiac output yang tergantung
dosis dan penurunan tekanan pengisian arteri, tanpa peningkatan tekanan
darah sistemik dan laju jantung yang signifikan. Peningkatan laju jantung
yang terjadi ini lebih rendah dibandingkan dengan isoproterenol,
menunjukkan aktivitas dobutamin terhadap nodus sinoatrial yang lebih kecil.
Berlawanan dengan dopamin, dobutamin tidak memiliki efek vasokonstriktor
secara klinis dan tahanan vaskular sistemik umumnya tidak mengalami
perubahan besar. Dobutamin tidak efektif bagi pasien yang memerlukan
peningkatan tahanan vaskular sistemik dibandingkan dengan peningkatan
cardiac output untuk meningkatkan tekanan darah sistemik. Dobutamin
adalah vasodilator arteri koroner. Redistribusi cardiac output akibat
dobutamin menyebabkan peningkatan kehilangan panas tubuh melalui
kutaneus, sehingga terjadi penurunan suhu tubuh. Perbaikan aliran darah
ginjal yang terjadi merupakan hasil dari peningkatan cardiac output akibat
dobutamin (Francis et al, 2014).
Menurut penelitian Wu et al (2016) menyatakan bahwa dobutamin
menjadi pilihan obat untuk tatalaksana pasien dengan syok septik. Pada
pasien syok septik, disfungsi jantung pada berbagai tingkat mempengaruhi
kontraktilitas miokard, mengurangi CO dan mengakibatkan penurunan
tekanan darah. Norepinefrin mempengaruhi reseptor alfa dengan
meningkatkan cardiac after load, tetapi tidak mempengaruhi reseptor beta.
Sementara dobutamin mempengaruhi reseptor beta mengakibatkan perluasan
pembuluh darah dan menyebabkan tekanan darah lebih rendah. Oleh karena
itu, tekanan darah dapat ditingkatkan dan fungsi jantung meningkat pada
pasien dengan syok septik dan hipotensi jika mereka diobati dengan
dobutamin pada dosis rendah dan norepinefrin dengan dosis normal.

14
TERAPI
Dosis umum dobutamin adalah 5-20 μg/kg/menit yang diberikan secara
kontinyu melalui infus intravena. Awal mula pemberian dengan dosis kecil
dapat meningkatkan cardiac output secara signifikan. Dobutamin mengalami
metabolisme secara cepat, sehingga pemberian infus kontinyu 2-10
µ/kg/menit diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi terapeutik plasma.
Pada dosis 5-7,5 μg/kg/menit, dobutamin menunjukkan perbaikan pada
pasien dengan gejala gagal jantung (Tariq & Aronow, 2015). Dosis besar
melebihi 20 µg/kg/menit intravena jarang digunakan karena hanya memberi
keuntungan minimal dengan efek takikardi yang berlebihan (Francis et al,
2014). Takikardia dapat terjadi, dan peningkatan tekanan darah pulmonal
yang mengarah ke edema paru telah diamati ketika dosis melebihi 15mg / kg
per menit (Pacifici, 2014)
Pada saat pemberian injeksi dobutamin harus diencerkan lebih lanjut
dalam spuit hingga setidaknya 50 ml dengan larutan kompatibel. Disarankan
agar kontrol volume presisi intravena set digunakan saat pemberian
dobutamin dengan infus intravena terus menerus. Solusi intravena harus
digunakan dalam 24 jam. Tingkat pemberian dan durasi terapi harus
disesuaikan secara hati-hati sesuai dengan respons pasien seperti yang
ditunjukkan oleh denyut jantung, adanya aktivitas ektopik, tekanan darah,
aliran urin, dan, bilamana mungkin, pengukuran tekanan baji vena atau
pulmonal sentral dan jantung keluaran. Solusi yang mengandung injeksi
dobutamin dapat menunjukkan warna merah jambu. Perubahan warna ini
disebabkan oleh sedikit oksidasi obat, tetapi tidak ada potensi kehilangan
yang signifikan dalam 24 jam setelah dibentuk kembali.
Dosis dobutamine hydrochloride yang direkomendasikan yaitu tingkat
infus yang diperlukan untuk meningkatkan curah jantung biasanya berkisar
antara 2,5-10 μg/kg/menit. Pada kesempatan langka, laju infus hingga 40
μg/kg/menit diperlukan untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

15
Gambar 7. Rata-rata infus dobutamin untuk konsentrasi 250, 500 dan 1000
mg/L
Pengenceran injeksi dobutamin (dobutamine hydrochloride) harus
diencerkan lebih lanjut dalam intravena kontainer hingga setidaknya 50 mL
dengan salah satu larutan intravena berikut:
 0,9% Sodium Chloride Injection
 Injeksi Dextrose 5% atau 10%
 3,3% Dextrose dan 0,3% Sodium Chloride Injection
 5% Dextrose dan 0,9% Sodium Chloride Injection
 Injeksi Ringer Laktat

Injeksi dobutamin tidak sesuai dengan larutan alkali, dan tidak boleh
dicampur dengan 5% Sodium Bicarbonate Injection atau larutan alkali
lainnya. Karena potensi ketidakcocokan fisik, dianjurkan bahwa dobutamin
tidak dicampur dengan obat lain dalam larutan yang sama. Injeksi
dobutamin tidak boleh digunakan bersamaan dengan agen atau pengencer

16
lain yang mengandung etanol. Larutan dobutamin tanpa elektrolit tambahan
(dalam pengenceran) tidak boleh diberikan bersamaan dengan darah melalui
set infus yang sama karena kemungkinan bahwa pseudoaglutinasi sel darah
merah dapat terjadi.

Indikasi pemberian dobutamin


Dobutamin diindikasikan untuk pengobatan jangka pendek
dekompensasi jantung yang dapat terjadi setelah operasi jantung atau pada
pasien dengan gagal jantung kongestif atau infark miokard akut.

Kontraindikasi pemberian dobutamin


Injeksi dobutamin (dobutamine hydrochloride) dikontraindikasikan
pada pasien dengan pheochromocytoma, pada pasien dengan idiopatik
hipertrofi stenosis subaortik, infark miokard, tekanan darah tidak terkontrol
dan pada pasien yang telah menunjukkan manifestasi sebelumnya dari
hipersensitivitas terhadap dobutamin atau sulfit.

Overdosis dobutamin
Tanda dan gejala yang ditimbulkan dari toksisitas dobutamine
hydrochloride biasanya karena stimulasi beta-reseptor jantung yang
berlebihan. Gejala-gejala keracunan mungkin termasuk anorexia, mual,
muntah, tremor, kecemasan, takikardia, palpitasi, sakit kepala, sesak napas,
dan nyeri dada angina dan nonspesifik. Efek inotropik dan kronotropik
positif dari dobutamin pada miokardium dapat menyebabkan hipertensi,
takiaritmia, iskemia miokard, dan ventrikel fibrilasi. Hipotensi dapat terjadi
akibat vasodilatasi.
Tatalaksana pada kasus overdosis dobutamin yang ditandai dengan
adanya perubahan tekanan darah yang berlebihan atau takikardia,
mengurangi tingkat administrasi atau menghentikan sementara terapi
dobutamin sampai kondisi pasien stabil. Karena durasi kerja dobutamin
singkat (T½ = 2 hingga 3 menit) tidak diperlukan tindakan tambahan.

17
Diuresis paksa, dialisis peritoneal, hemodialisis, atau hemoperfusi arang
belum terbukti bermanfaat untuk overdosis dobutamine hidroklorida.

3. DOPAMIN DAN DOBUTAMIN


Dopamin merupakan prekursor sintesis endogen norepinefrin dan
bersifat beta-1 agonis dan memiliki dua mekanisme kerja yaitu dapat
langsung menuju ke reseptor dan dapat tidak langsung menuju ke reseptor
tetapi mekanismenya melalui pengeluaran simpanan norepinefrin pada saraf
terminal menuju ke reseptor (Tarvasmaki et al, 2016). Sedangkan
dobutamin merupakan katekolamin sintetis dan bersifat beta-1 dan beta-2
agonis yang mekanisme kerjanya langsung menuju reseptor beta pada
miokardial jantung tanpa pengeluaran norepinefrin dari saraf terminal
(Francis et al, 2014).

Gambar 8. Reseptor pada agonis adrenergic (Butterworth et al, 2013).

Dobutamin adalah agonis beta-1 seperti dopamin, tetapi dalam dosis


tinggi, efek beta-2nya bisa berkurang daripada meningkatkan resistensi
perifer. Dobutamin meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan
cardiac output, sementara dopamin meningkatkan tekanan darah melalui

18
vasokontriksi perifer (Francis et al, 2014). Dobutamin berkisar sekitar
empat kali sama kuatnya dengan dopamin dalam merangsang kontraktilitas
miokardial dalam konsentrasi rendah, dan nilai yang terbukti dalam
meningkatkan output ventrikel kiri pada bayi prematur yang mengalami
hipotensi. Ini memiliki efek kurang dari dopamin pada tekanan darah karena
memiliki sedikit efek pada resistensi pembuluh darah yang sistematis
(Pacifici, 2014)

Gambar 9. Mekanisme dan outcome agen-agen inotropik (Francis et al,


2014)

Dopamin berguna untuk keadaan cardiac output yang rendah disertai


dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok kardiogenik dan
hipovolemik. Pada kadar yang tinggi dopamin dapat menyebabkan
vasokontriksi akibat aktivasi reseptor alfa pembuluh darah. Karena itu bila
dopamin digunakan untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan darah dan
fungsi ginjal harus dimonitor (Francis et al, 2014; Tariq & Aronow, 2015).
Sementara dobutamin tidak memiliki efek vasokonstriktor secara klinis dan
tahanan vaskular sistemik umumnya tidak mengalami perubahan besar.
Dobutamin tidak efektif bagi pasien yang memerlukan peningkatan tahanan
vaskular sistemik dibandingkan dengan peningkatan cardiac output untuk
meningkatkan tekanan darah sistemik (Francis et al, 2014).

19
Gambar 10. Efek dari agonis adrenergic pada sistem organ
(Butterworth et al, 2013).

Menurut guideline The American College of Cardiology / American


Heart Association (ACC/AHA) menyatakan bahwa untuk tatalaksana
hipotensi pada kasus infark miokard akut disarankan untuk menggunakan
dobutamin sebagai agen lini pertama jika tekanan darah sistolik berkisar
antara 70-100 mmHg dan tidak didapati adanya tanda-tanda syok.
Sementara penggunaan dopamin disarankan pada pasien dengan tekanan
darah sistolik yang sama dan menunjukkan adanya tanda-tanda syok (Kalcik
et al, 2015).

Gambar 9. Farmakologi dan profil terapetik dopamin dan dobutamin pada


neonatus (Pacifici, 2014)

20
Gambar 10. Reseptor adrenergik dan reseptor dependen dopaminergik pada
kardiovaskular dari dopamin dan dobutamin (Pacifici, 2014).

Dopamin dapat menghasilkan aksi yang berbeda pada dosis yang


berbeda. Pada dosis rendah < 3 μg/kg/menit menimbulkan vasodilatasi pada
arteri koronaria dan arteri renalis. Pada dosis tinggi yaitu 10-20 μg/kg/menit
merangsang reseptor alfa menyebabkan vasokonstriksi perifer, peningkatan
tekanan darah dan takikardia. Sementara dobutamin menunjukkan efek
agonis β adrenergik poten pada dosis < 5µ/kg/menit. Dobutamin
meningkatkan kontraktilitas miokardial (reseptor beta-1) dan menyebabkan
vasodilatasi perifer derajat sedang (reseptor beta-2). Isomer levorotatory
dobutamine menstimulasi reseptor alfa-1 pada dosis > 5 µ/kg/menit dan
mencegah terjadinya vasodilatasi yang lebih jauh (Tariq & Aronow, 2015).

21
DAFTAR PUSTAKA

Beaulieu JM, Gainetdinov RR (2011). The physiology, signaling, and


pharmacology of dopamine receptors. Pharmacol Rev 63: 182-217.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD (2013). Morgan & Mikhail’s: Clinical
Anesthesiology. Fifth Edition. McGraw-Hill Education, pp 239-48

Cheung PY, Barrington KJ (1996). Renal dopamine receptors: mechanism of action


and developmental aspects. Cardiovascular Research 31(1996) 2-6.

Fellous JM, Suri RE (2002). The roles of dopamine. The handbook of Brain Theory
and Neural Network. Second edition. California: The MIT Press.

Francis GS, Bartos JA, Adatya S (2014). Inotropes. Journal of the American
College of Cardiology 63(20): 2069-78.

Kalcik M, Gursoy MO, Yesin M, Karakoyun S, Karavelioglu Y, Ozkan M (2015).


Review and update on inotropes and vasopressor: evidence-based use in
cardiovascular disease. Current Res Cardiol 2(1): 23-9.

Misalle C, Nash SR, Robinson SW, Jaber M, Caron MG (1998). Dopamine


receptors: from structure to function. Physiological Reviews 78(1) : 189-225.

Pacifi GM (2014). Clinical pharmacology of dobutamine and dopamine in preterm


neonates. MedicalExpress 1(5): 275-83.

Pinzon, Rizaldy, Peran Dopamin Pada Gangguan Spektrum Autistik, Cermin Dunia
Kedokteran [serial Online], 2007 p: 158-161.

Synder SH (2011). What dopamine does in the brain. PNAS Classic Perspective
47(108): 18869-71.

Tariq S, Aronow WS (2015). Use of inotropic agents in treatment of systolic heart


failure. International Journal of Molecular Sciences 16: 29060-8.

22
Tarvasmaki T, Lassus J, Varpula M, Sionis A, Sund R, Kober L, Spinar J et al
(2016). Current real-life use of vasopressors and inotropes in cardiogenic
shock – adrenaline use is associated with excess organ injury and mortality.
Critical Care 20: 208.
Vincent, J.L. (2008), Hemodynamic Support of the Critically Ill Patient, in:
Anesthesiology. Longnecker, D. E., editor. United States Of America: The
McGraw-Hill Companies, Inc.

Wu Y, Zhang N, Wu Y, Zheng Y, You X, Cao Z, Xu Y (2016). Effects of dopamine,


norepinephrine and dobutamine on gastric mucosal pH of septic shock
patients. Experimental and Therapeutic Medicine 12: 975-8.

23

Anda mungkin juga menyukai