Anda di halaman 1dari 65

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2015)
1. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-
2. Kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi
incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-
2.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,
liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis
penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang
disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)

Gambar 1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam


patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the
Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of
Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009;58: 773-795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan


hal (omnious octet) berikut :
a. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan
proses gluconeogenesis.
c. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja
dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-
4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah
makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi
dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di
dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu
yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4
inhibitor dan amylin.
g. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
h. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.
2. Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus (PERKENI, 2015)


3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan
atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
- Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2. KriteriaDiagnosis DM

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau


kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100 mg/dl
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan


prediabetes.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis


Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko
tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM (B) yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT]
≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai
berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan
BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus
gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma
normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok
prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis
DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan
glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel di
bawah ini.

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan


penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

4. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
 Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
 Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
 Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Edukasi berisi
tentang perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian
dan pemantauan DM secara berkelanjutan, penyulit DM dan
risikonya, intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan, interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan
obat antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain, Cara
pemantauan glukosa darah, mengenal gejala dan penanganan awal
hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur, pentingnya
perawatan kaki
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.
 Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori,
dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Bahan
makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlemak dan susu fullcream.
 Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
c. Olahraga
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas
sehari hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun
dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
d. Terapi Farmakologis
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan
ginjal).
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2. Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73
m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia. Efek samping
yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan
seperti halnya gejala dispepsia.
 Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran
 Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi
glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat
ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping
pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat
kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like
Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung
kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat
yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel 5. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia


B. Ulkus DM
1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik
yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek
sekresi insulin, defek kerja insulin, atau keduanya. Salah satu komplikasi
dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat
mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki,
yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetik. (WHO,
2011).
2. Epidemiologi

Menurut International Diabetes Federation (IDF) dan World Health


Organization (WHO), terdapat 382 juta orang yang hidup dengan DM di
dunia pada tahun 2013. Diperkirakan juga, 175 juta diantaranya belum
terdiagnosis sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi
yang salah satunya menjadi ulkus/gangrene diabetik. (Kemenkes RI,
2014).
3. Etiologi

Beberapa etiologi yang menyebabkan ulkus/gangren diabetik meliputi


neuropati, penyakit arterial, tekanan dan deformitas kaki ( Frykbang,
2002). Neuropati disebabkan karena peningkatan kadar gula darah yang
lama sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik.Secara
keseluruhan, penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar menderita
atherosclerosis, terjadi penebalan membrane basalis kapiler, hialinosis
arteriolar, dan proliferasi endotel.
Gambar 1. Patogenesis Ulkus Diabetikum

Pada gambar 1, dijelaskan mengenai patogenesis ulkus DM yang


hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan yang berulang,
injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, tekanan yang terus menerus dan
pada akhirnya terjadi kerusakan jaringan lunak (Amstrong dan Lavery,
2008).
4. Gambaran Klinis

Pada anamnesis pasien, pasien dengan DM tipe 2 yang tidak


melakukan pengendalian gula darah, sering mengalami komplikasi yaitu
terdapat luka di bagian kaki yang tidak dirasakan. Penderita biasanya
merasa luka timbul tiba tiba tanpa disadari. Gejala neuropati
menyebabkan hilang atau berkurangnya rasa nyeri dikaki, sehingga
apabila penderita mendapat trauma akan sedikit atau tidak merasakan
nyeri sehingga mendapatkan luka pada kaki (Lipsky dkk, 2012).
Pemeriksaan fisik pada penderita dengan ulkus diabetes dibagi
menjadi 3 bagian yaitu
1). Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
2). Penilaian kemungkinan insufisiensi vaskuler
3). Penilaian kemungkinan neuropati perifer.
Luka yang tak kunjung sembuh pada kaki pasien ini merupakan salah
satu gejala dari komplikasi kronik DM yaitu vaskulopati dimana terjadi
ketidakrataan permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamellar
berubah menjadi turbulen yang berakibat pada mudahnya terbentuk
trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen arteri akan tersumbat dan mana
kala aliran kolateral tidak cukup, akan terjadi iskemia dan bahkan gangren
yang luas (Doupis dan Veves, 2008).
Ulkus diabetes mempunyai kecenderungan terjadi pada beberapa
daerah yang menjadi tumpuan beban terbesar, seperti tumit, area kaput
metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (pada jari pertama dan
kedua) (Kemenkes RI, 2014). Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh proses
neuropati perifer, penyakit arteri perifer, ataupun kombinasi keduanya.
Pemeriksaan neuropati sensorik dapat dilakukan dengan menggunakan
monofilament Semmes-Weinstein 10 g, serta ditambah dengan salah satu
dari pemeriksaan garpu tala frekuensi 128 Hz, tes reflex tumit dengan palu
reflex, tes pinprick dengan jarum, atau tes ambang batas persepsi getaran
dengan biotensiometer (PERKENI, 2015).
Berdasarkan klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner yang
dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner


Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera
mungkin. Komponen paling penting dalam manajemen kaki diabetik
dengan ulkus adalah:
1. Kendali metabolik, pengendaliannya sebaik mungkin seperti
pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin, dan
sebagainya.
2. Kendali vaskular, perbaikan asupan vascular (dengan operasi atau
angioplasty), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
3. Kendali infeksi, jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus
diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi
pertumbuhan anorganisme pada hasil usap namun tidak terdapat
tanda klinis, bukan merupakan infeksi).
4. Kendali luka, pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara
teratur dengan konsep TIME yaitu Tissue debridement, Inflamation
and infection
5. Kendali tekanan, mengurangi tekanan pada kaki karena dapat
menyebabkan ulkus.
6. Penyuluhan, dengan memberi edukasi mengenai perawatan kaki
secara mandiri
5. Tatalaksana

Mencakup pengendalian faktor metabolik, infeksi, maupun vaskular.


Pengendalian infeksi misalnya, berkaitan erat dengan pemberian antibiotik
yang tepat dan sesuai dengan kultur.
Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting. Menurut The
Infectious Diseases Society of America membagi infeksi menjadi 3
kategori, yaitu: 1. Infeksi ringan: apabila didapatkan eritema 2 cm 3. Infeksi
berat: apabila didapatkan gejala infeksi sistemik. Sedangkan pada infeksi
berat biasanya karena infeksi polimikroba, seperti Staphylococus sp,
Streptococus sp, Enterobacteriaceae, Pseudomonas, Enterococus dan
bakteri anaerob misalnya Bacteriodes, Peptococus, Peptostreptococus
((Doupis dan Veves, 2008).
Pada infeksi berat harus dirawat dirumah sakit, dengan pemberian
antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram negatif, serta aerobik dan
anaerobik. Pilihan antibiotika intravena untuk infeksi berat meliputi
imipenem-cilastatin, Blactam B-lactamase (ampisilin-sulbactam dan
piperacilin-tazobactam) dan cephalosporin spektrum luas. Apabila hasil
kultur belum ada, maka yang dilakukan di lapangan adalah pemberian
antibiotik triple blind therapy yang terdiri atas Ceftriaxone, Ciprofloxacin,
dan Metronidazole. Kombinasi ini dimaksudkan sebagai antibiotik
spektrum luas, yang dapat mencegah berkembangnya bakteri gram positif,
gram negatif, maupun bakteri anaerob. Terapi ini bersifat agresif sebab pada
penderita kaki diabetik terdapat vaskulopati dan hiperglikemi yang
merupakan lingkungan kondusif bagi bakteri untuk berkembang biak dan
memperlambat sembuhnya luka.
Selalu menjaga kebersihan kaki, memakai pelembab agar kulit tidak
kering, memakai alat pelindung hari agar tidak menambah luka baru. 1-5
Penilaian tatalaksana jangka panjang yang dilakukan meliputi debridement
secara regular dari kalus atau jaringan nekrotik untuk mengurangi tekanan
dan resiko ulkus. Kontrol gula yang ketat, pemantauan status vaskular, dan
neurologi, serta penggunaan alas kaki yang sesuai akan menurunkan resiko
kelanjutan ulkus pada pasien beresiko tinggi (PERKENI, 2015).

C. Congestive Heart Failure


1. Definisi dan Kriteria Diagnosis
Gagal jantung kongestif atau Congestive heart failure (CHF)
merupakan suatu keadaan patofisiologi jantung dimana terjadi abnormalitas
fungsi jantung sehingga gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan tubuh. Gagal jantung kongestif adalah kumpulan
gejala yang kompleks dimana seorang pasien memiliki tampilan berupa:
gejala gagal jantung ( nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat
melakukan aktivitas disertai/tidak kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti
paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat (Siswanto et al., 2015).
Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif
ditegakkan apabila diperoleh 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan
2 kriteria minor.

Major Criteria Minor Criteria


PND or orthopnea Ankle edema
Neck vein distension Night cough
Lung crepitations Dyspnea on exertion
Cardiomegaly Hepatomegaly
S3 gallop Pleural effusion
Hepatojugular reflux Tachycardia >120bpm
Diagnosis: 2 Major or 1 major + 2 minor for diagnosis

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Beberapa pola EKG abnormal mungkin didapatkan pada
penderita CHF seperti gelombang Q abnormal, left bundle branch block,
gangguan konduksi lain, hipertrofi ventrikel atau atrium kiri, aritmia
ventrikel atau atrium dimana hal ini dapat dijadikan bahan investigasi
untuk menentukan penyakit dasar yang mendasari terjadinya CHF
(Camn et al., 2007).
2. Pemeriksaan Foto Thoraks Dada
Pemeriksaan foto thoraks dada juga direkomendasikan sebagai
pilihan pemeriksaan diagnostik lini pertama. Pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi mengenai ukuran dan ketajaman jantung.
Namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan. Tidak adanya
kardiomegali tidak dapat menyingkirkan adanya kemungkinan penyakit
katub atau disfungsi sistolik ventrikel kiri (Camn et al., 2007).
3. Pemeriksaan Hematologi dan Biokimia
Beberapa pemeriksaan laboratorium direkomendasikan
guideline ESC sebagai bagian dari rutinitas diagnosis pada pasien yang
dicurigai menderita CHF. Pemeriksaan tersebut diantaranya yaitu
hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, enzim hepar,
dan urinalisis. Biomarker miokardium seperti troponin T atau I
merupakan pemeriksaan penting selama fase akut infark miokard.
Pemeriksaan lain yang penting yaitu asam urat, C-reactive protein, dan
thyroidstimulatinghormone. Beberapa pemeriksaan yang penting saat
followup dan setelah pemberian pengobatan tertentu yaitu ureum,
kreatinin, dan potassium (Camn et al., 2007).
4. Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi telah digunakan secara luas, cepat, dengan
teknik non-invasif, dan aman dimana pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi mengenai dimensi jantung, ketebalan dinding
jantung dan pengukuran fungsi sistolik dan diastolik.Penentuan LVEF
merupakan kunci untuk mengukur fungsi sistolik ventrikel kiri. Fungsi
sistolik dinyatakan menurun jika didapatkan LVEF < 0,40 (Camn et al.,
2007).
2. Klasifikasi dan Etiologi
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung
atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.
Gambar 2.3 Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan Kelainan Struktural
dan Fungsional
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
1. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk
menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner
dengan hipertrofi ventrikel kiri (Doughty dan White, 2007).
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan
komplikasi terjadinya gagal jantung. Hipertensi menyebabkan gagal
jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik
dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi
terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya
akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001).
3. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan
kongenital. Kardiomiopati terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah
dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering
terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa
dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan
peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip et al., 2001;
Camn et al., 2007).
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis
kardiomiopati yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik
dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak
hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum.
Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi
ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan
tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.
Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan
komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari
jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat
diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi
yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah amiloidosis, sarcoidosis,
hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya.
4. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk
berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh
tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif (Lip et al., 2001).
5. Aritmia
Artial fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal
jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau
hipertensi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi
juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas (Camn et al., 2007).
6. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen
untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki
sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip et al.,
2001).
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam
mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif
melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium.
Selain itu,obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan
penyebab utama dari gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001; Camn et
al., 2007).
3. Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung
yang tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard,
gangguan tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter
seperti kardiomiopati. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan
kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih
menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal
ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh
cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri. Beberapa mekanisme yang
terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin- Angiotensin-Aldosteron (RAA)
dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium.
Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan cara retensi
cairan dan garam (Lily et al., 2002).
Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi
perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus, dan arkus aorta,
kemudian akibar rangsangan tersebut akan memberi sinyal aferen ke sistem
syaraf sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi
Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan
meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air
meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis
yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot
skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin.
Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron.
Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Beberapa mekanisme ini dapat
mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan
pasien dengan gejala yang asimptomatik. Mekanisme kompensasi
neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural
jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang
lebih lanjut. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan berjalan seiring
waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan
remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simtomatik
(Crawford et al., 2012).

Gambar 2.4 Mekanisme Kompensasi Neurohormonal


Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi
gagal jantung seperti (1) mekanisme Frank-Starling , (2) neurohormonal
(3)ventricular hipertrofi dan remodeling. Penurunan stroke volume akan
meningkatkan end sistolic volume (ESV) sehingga volume dalam ventrikel
kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan meregangkan ventrikel kiri
sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat untuk
meningkatkan stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac
output (CO) untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Mekanisme
kompensasi ini mempunyai batas. Pada kasus CHF dengan penurunan
kontraktilitas yang berat, ventrikel tidak mampu memompa semua darah
sehingga end diastolic volume (EDV) meningkat dan tekanan ventrikel kiri
juga meningkat dimana tekanan yang ini akan ditransmisi ke atrium kiri,
vena pulmonal dan kapiler pulmonal dan ini akan menyebabkan edema
paru (Crawford et al., 2012).
Penurunan CO akan merangsang sistem simpatis sehingga
meningkatkan kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan
CO meningkat. Penurunan CO juga merangsang renin angiotensin sistem
dan merangsang vasokonstriksi vena dan menyebabkan venous return
meningkat (preload increase) dan akhirnya stroke volume meningkat dan
CO tercapai. Penurunan CO juga meningkatkan ADH dan merangsang
retensi garam dan air untuk memenuhi stroke volume dan CO. Hormon
aldosterone juga meningkat untuk meningkatkan retensi garam dan cairan
untuk meningkatkan venous return tubuh. Tetapi stimulasi neurohormonal
yang kronik akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti edema
(Lily et al., 2002).
Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress
menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolik
untuk mengatasi afterload yang meningkat. Maka otot ventrikel akan
menebal sebagai kompensasi untuk menurunkan wall stress namun
peningkatan kekakuan dinding hipertrofi menyebabkan tekanan
diastolik ventrikular yang tinggi dimana tekanan ini akan ditransmisi ke
atrium kiri, vaskular pulmonal. Chronic volume overload seperti pada
mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi akan merangsang miosit
memanjang. Maka radius chamber ventrikel meningkat dan dinamakan
eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti hipertensi atau aorta
stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan concentric
hypertrophy. Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk menurunkan
wall stress tetapi pada waktuyang lama, fungsi ventrikel akan menurun dan
dilatasi ventrikel akan terjadi. Apabila ini terjadi, beban hemodinamik pada
otot jantung akan menurunkan fungsi jantung sehingga gejala gagal jantung
yang progresif akan timbul.
Ketika beban kerja yang berlebihan dikenakan pada jantung dengan
tekanan darah sistolik meningkat (kelebihan tekanan), peningkatan volume
diastolik (volume overload), atau kehilangan miokardium, normalnya sel-
sel miokard akan hipertrofi dalam upaya untuk meningkatkan kekuatan
kontraktil daerah normal. Pada perubahan berikutnya dalam biokimia,
elektrofisiologi, dan fungsi kontraktil mengakibatkan perubahan mekanis
fungsi miokard. Laju kontraksi melambat, waktu untuk mengembangkan
ketegangan meningkat puncak, dan relaksasi miokard tertunda. Penebalan
dinding ventrikel membatasi tingkat pengisian ventrikel (disfungsi
diastolik), yang diperparah dengan peningkatan denyut jantung karena
memperpendek durasi pengisian ventrikel. Kekuatan kontraksi miokard
pada akhirnya berkurang karena hilangnya sel dan berlanjutnya hipertrofi,
yang menyebabkan perubahan ventrikel dan volume. Proses dilatasi ruang
atau hipertrofi dikenal sebagai remodeling jantung.
Setelah fase kompensasi awal, peningkatan volume Intracavitary
biasanya dikaitkan dengan pengurangan lebih lanjut dalam fraksi ejeksi
ventrikel (progresif disfungsi sistolik) dan akhirnya dengan kelainan pada
sirkulasi perifer dari aktivasi berbagai mekanisme kompensasi
neurohormonal. CHF berikutnya ditandai dengan berkurangnya respon
kontraksi untuk meningkatkan volume (rata Frank-Starling kurva) dan
berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF). Respon neurohormonal
yang abnormal menyebabkan peningkatan tonus simpatik sistemik dan
aktivasi sistem renin-angiotensin. Produksi angiotensin meningkat,
menyebabkan vasokonstriksi perifer. Peningkatan resistensi arteri perifer
membatasi curah jantung selama latihan. Peningkatan kadar angiotensin II
juga menstimulasi pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal,
meningkatkan retensi natrium dan sehingga menyebabkan retensi cairan dan
edema perifer.
Kegagalan pompa miokard dan CHF tidak selalu terkait erat pada
waktunya. Pasien seringkali awalnya asimtomatik, dengan tanda dan gejala
CHF berkembang hanya setelah beberapa bulan kegagalan miokard dan
penurunan fraksi ejeksi. Curah jantung tidak meningkatkan cukup selama
latihan, tapi bisa normal saat istirahat selama periode ini. Walaupun pasien
mungkin tanpa gejala atau sedikit gejala saat istirahat, dengan fraksi ejeksi
tidak berubah, perubahan dalam pembuluh darah perifer terjadi dengan
perlahan-lahan naik resistensi perifer saat berolahraga. Kinerja Latihan
perlahan-lahan menjadi terbatas karena pembuluh darah perifer tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme meningkat dari melatih otot-otot rangka.
Meskipun mekanisme yang tepat dimana respon hemodinamik dan
faktor neurohormonal berinteraksi untuk menyebabkan pemburukan klinis
progresif dalam CHF tidak diketahui, kelainan hemodinamik dan
neurohormonal yang meningkatkan stres dinding jantung dapat
menyebabkan morfologi perubahan sel miokard, dan remodeling struktural
jantung. Dilatasi rongga ventrikel dan perubahan bentuknya akhirnya dapat
menyebabkan regurgitasi mitral. Peningkatan tekanan jantung dan volume
juga dapat memicu iskemia miokard, terutama pada pasien dengan penyakit
arteri koroner yang mendasarinya (CAD). Pada hipertrofi miokard dapat
meningkatkan kebutuhan metabolik jantung dan dapat meningkatkan risiko
iskemia pada pasien dengan CAD. Konsentrasi tinggi dari norepinefrin dan
angiotensin II dapat memberi efek toksik langsung pada sel miokard.
Aktivitas tinggi dari saraf dan sistem renin-angiotensin simpatik dapat
memiliki efek elektropsikologi merugikan dan dapat menyebabkan aritmia
jantung-khususnya mematikan pada pasien dengan ketidakseimbangan
elektrolit (Crawford et al., 2012).
Telah diketahui bahwa peningkatan aktivitas saraf simpatik dapat
meningkatkan kontraksi miokardium dan heartrate. Hal ini untuk memicu
peningkatan cardiac output. Aktivasi saraf simpatik juga akan
menyebabkan pelapasan renin, retensi natrium, dan vasokontriksi sehingga
akan meningkatkan preload dan aktivasi mekanisme frank starling. Respon
ini memiliki pengaruh yang baik terhadap tubuh dalam rentang waktu yang
singkat, namun akan menyebabkan pengaruh yang buruk dalam rentang
waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena peningkatan afterload karena
konstriksi pembuluh darah akan menyebabkan kegagalan stroke volume.
Sistem simpatik akan menyebabkan perubahan metabolisme miokardium
dan katekolamin mungkin merupakan suatu hal yang bersifat toksis
terhadap cardiomyocyte. Peningkatan aktivitas adrenergic dan penurunan
aktivitas vagal dapat meningkatkan aktivitas listrik yang tidak stabil pada
jantung.selain itu, aktivasi sistem simpatik juga dapat menyebabkan
redistribusi aliran darah regional dan menyebabkan perubahan struktur
pembuluh darah (Camn et al., 2007).

Gambar 2.5 Proses patofisiologi gagal jantung sebagai akibat dari disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Kerusakan pada myocyte dan matriks ekstraseluler akan
menyebabkan perubahan ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan terjadi
remodeling. Perubahan ini akan menyebabkan instabilitas elektrik dan proses
sistemik sehingga mengakibatkan efek terhadap jaringan dan organ serta
kerusakan lebih parah pada jantung (Camn et al., 2007).
4. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
1. Tatalaksana non-farmakologi
a. Manajemen perawatan mandiri
b. Ketaatan pasien berobat
c. Pemantauan berat badan mandiri
d. Restriksi cairan
e. Pengurangan berat badan
f. Latihan fisik
2. Tata laksana farmakologis
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas.Tindakan preventif dan
pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian
penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk
mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid
kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (Mansjoer
et al., 2015).
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada
beberapa aspek, yaitu; 1)mengurangi beban kerja, 2)memperkuat
kontraktilitas miokard, 3) mengurangi kelebihan cairan, 4)melakukan
tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab, faktor-faktor
pencetus dan kelainan yang mendasari (Lily et al., 2002)
 Menurunkan preload
- Diuretik
- Nitrat
 Obat inotropik
Tidak semua CHF terjadi gangguan kontraktilitas. Obat
inotropik hanya diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan
kontraktilitas misalnya pada pemeriksaan fisis atau pada foto toraks
tampak pembesaran jantung, atau hasil ECHO menunjukkan
ejection fraction (EF) <40%.
- Digitalis (digoksin)
- β-blocker
 Menurunkan after-load
- Angiotensin converting enzyme (ACE)- inhibitors
- Angiotensin Resepror Blockers (ARB)
- Calcium Channel Blockers (CCB)
 Mencegah remodeling
Obat yang memiliki efek mencegah remodeling seperti
ACE-inhibitors dan ARB bermanfaat menghambat progresivitas
CHF. Namun dosis yang diberikan harus maksimal. Sebenarnya
hampir semua obat antihipertensi memiliki efek mencegah
remodeling termasuk CCB, β blockers dan diuretik.

5. Prognosis
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR
MORTALITY*
I None, asymptomatic left 5%
ventricular dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on 10 %
moderate physical
exertion
III Dyspneoea or fatigue on 10 % - 20 %
normal daily activities
IV Dyspnoea or fatigue at 40 - 50 %.
rest
D. SIROSIS HEPATIS
1. Definisi
Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang
berasal dari kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena
perubahan warna pada nodul-nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis yaitu
penyakit hepar kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada
hepar, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel
hepar disertai nodul dan merupakan stadium akhir dari penyakit hepar
kronis dan terjadinya pengerasan dari hepar. Batasan fibrosis sendiri adalah
suatu penumpukan berlebihan matriks ekstraseluler (seperti kolagen,
glikoprotein, proteoglikan) di dalam hepar. Respons fibrosis terhadap
kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar pasien
sirosis, proses fibrosis biasanya ireversibel (Sutadi, 2003; Rockey & Scott,
2006)
2. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Gambar 1. Anatomi hepar


Hepar merupakan organ terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar
1500 gram. Letaknya dikuadran kanan atas abdomen, dibawah diafragma
dan terlindungi oleh tulang rusuk (costae). Hepar dibagi menjadi 4 lobus
dan setiap lobus hepar terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang
membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi massa hepar menjadi
unit-unit kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan keluar
hepar sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi hepar.
Hepar menerima suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda.
Sebagian besar suplai darah datang dari vena porta yang mengalirkan darah
yang kaya akan zat-zat gizi dari traktus gastrointestinal. Bagian lain suplai
darah stersebut masuk ke dalam hepar lewat arteri hepatika dan banyak
mengandung oksigen. Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam
kapiler hepar yang disebut sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel hepar
(hepatosit) akan terendam oleh campuran darah vena dan arterial. Dari
sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di setiap lobulus, dan dari semua
lobulus ke vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan isinya ke dalam vena
kava inferior. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke
dalam hepar dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya.
Disamping hepatosit, sel-sel fagositosis yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial juga terdapat dalam hepar. Organ lain yang mengandung
sel-sel retikuloendotelial adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe dan
paru-paru. Dalam hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer. Fungsi utama sel
kupfer adalah memakan benda partikel (seperti bakteri) yang masuk ke
dalam hepar lewat darah portal.
Fungsi metabolik hepar:
1. Metabolisme glukosa
Setelah makan glukosa diambil dari darah vena porta oleh hepar
dan diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hepatosit.
Selanjutnya glikogen diubah kembali menjadi glukosa dan jika
diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah untuk mempertahankan
kadar glukosa yang normal. Glukosa tambahan dapat disintesis oleh
hepar lewat proses yang dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses
ini hepar menggunakan asam-asam amino hasil pemecahan protein
atau laktat yang diproduksi oleh otot yang bekerja.
2. Konversi amonia
Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis akan
membentuk amonia sebagai hasil sampingan. Hepar mengubah
amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi ureum.
Amonia yang diproduksi oleh bakteri dalam intestinum juga akan
dikeluarkan dari dalam darah portal untuk sintesis ureum. Dengan
cara ini hati mengubah amonia yang merupakan toksin berbahaya
menjadi ureum yaitu senyawa yang dapat diekskresikan ke dalam
urin.
3. Metabolisme protein
Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein
termasuk albumin, faktor-faktor pembekuan darah, protein transport
yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein plasma. Vitamin K
diperlukan hepar untuk mensintesis protombin dan sebagian faktor
pembekuan lainnya. Asam-asam amino berfungsi sebagai unsur
pembangun bagi sintesis protein.
4. Metabolisme lemak
Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi
dan benda keton. Benda keton merupakan senyawa-senyawa kecil
yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan menjadi sumber energi
bagi otot serta jaringan tubuh lainnya. Pemecahan asam lemak
menjadi bahan keton terutama terjadi ketika ketersediaan glukosa
untuk metabolisme sangat terbatas seperti pada kelaparan atau
diabetes yang tidak terkontrol.
5. Penyimpanan vitamin dan zat besi
6. Metabolisme obat
Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat
tersebut meskipun pada sebagian kasus, aktivasi obat dapat terjadi.
Salah satu lintasan penting untuk metabolisme obat meliputi
konjugasi (pengikatan) obat tersebut dengan sejumlah senyawa, untuk
membentuk substansi yang lebih larut. Hasil konjugasi tersebut dapat
diekskresikan ke dalam feses atau urin seperti ekskresi bilirubin.
7. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam
kanalikulus serta saluran empedu. Fungsi empedu adalah ekskretorik
seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan
melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
8. Ekskresi bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang
mencakup sel-sel kupfer dari hepar. Hepatosit mengeluarkan bilirubin
dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat
konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih
dapat larut didalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi
diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu didekatnya
dan akhirnya dibawa dalam empedu ke duodenum. Konsentrasi
bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hepar,
bila aliran empedu terhalang atau bila terjadi penghancuran sel-sel
darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu,
bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya,
urobilinogen tidak terdapat dalam urin. (Nurdjanah, 2009)
3. Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B
maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak
dari sirosis hepatis adalah virus hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-
40%), dan penyebab yang tidak diketahui (10-20%). Adapun beberapa
etiologi dari sirosis hepatis antara lain (Nurdjanah, 2009; Chung et al.,
2005):
1. Alcoholic liver disease
Sirosis alkoholik terjadi pada sekitar 10-20% peminum alkohol
berat. Alkohol tampaknya melukai hati dengan menghalangi metabolisme
normal protein, lemak, dan karbohidrat.
2. Hepatitis C Kronis
Infeksi virus hepatitis C menyebabkan peradangan dan kerusakan
hati yang selama beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis. Dapat
didiagnosis dengan tesserologi yang mendeteksi antibodi hepatitis C atau
RNA virus.
3. Hepatitis B Kronis
Virus hepatitis B menyebabkan peradangan dan kerusakan hati yang
selama beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis. Hepatitis D
tergantungpada kehadiran hepatitis B, tetapi mempercepat sirosis melalui
ko-infeksi. Hepatitis B kronis dapat didiagnosis dengan deteksi HbsAg >
6 bulan setelah infeksi awal. HBeAg dan HBV DNA bermanfaat untuk
menilai apakah pasien perlu terapi antiviral.
4. Non alcoholic steatohepatitis (NASH)
Pada NASH, terjadi penumpukan lemak dan akhirnya menjadi
penyebab jaringanparut di hati. Hepatitis jenis ini dihubungkan dengan
diabetes, kekurangan gizi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, dan
pengobatan dengan obat kortikosteroid. Penyakit ini mirip dengan
penyakit hati alkoholik tetapi pasien tidak memiliki riwayat alkohol.
Biopsi diperlukan untuk diagnosis.
5. Sirosis bilier primer
Mungkin tanpa gejala atau hanya mengeluh kelelahan, pruritus, dan
nonikterik hiperpigmentasi dengan hepatomegali. Umumya disertai
elevasi alkali fosfatase serta peningkatan kolesterol dan bilirubin. Hal ini
lebih umum pada perempuan.
6. Kolangitis sklerosis primer
Merupakan gangguan kolestasis progresif dengan gejala pruritus,
steatorrhea,kekurangan vitamin larut lemak, dan penyakit tulang
metabolik.
7. Autoimun hepatitis
Penyakit ini disebabkan oleh gangguan imunologis pada hati yang
menyebabkan inflamasi dan akhirnya jaringan parut dan sirosis. Temuan
yang umum didapatkan yaitu peningkatan globulin dalam serum, terutama
globulin gamma.
8. Sirosis jantung
Karena gagal jantung kronis sisi kanan yang mengarah pada
kemacetan hati.
9. Penyakit Keturunan dan metabolik, antara lain:
a) Defisiensi alpha1-antitripsin
Merupakan gangguan autosomal resesif. Pasien juga mungkin
memiliki PPOK, terutama jika mereka memiliki riwayat merokok
tembakau. Serum AAT selalu rendah.
b) Hemakhomatosis herediter
Biasanya hadir dengan riwayat keluarga sirosis, hiperpigmentasi kulit,
diabetes mellitus, pseudogout, dan / atau cardiomyopathy, semua
karena tanda-tanda overload besi. Labor akan menunjukkan saturasi
transferin puasa> 60% danferritin >300 ng/mL.
c) Penyakit Wilson
Kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan ceruloplasmin
serum rendah dan peningkatan kadar tembaga pada biopsi hati hati.
d) Tirosinemia herediter
e) Galaktosemia
f) Intoleransi fruktosa herediter

Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati:


1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati
disekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan
infeksi (kolangitis).
4. Klasifikasi
Klasifikasi sirosis dikelompokkan berdasarkan morfologi, secara
fungsional dan etiologinya. Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi
sirosis hati atas 3 jenis, yaitu (Nurdjanah, 2009; Chung et al., 2005):
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa
parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata
di seluruh lobus. Pada sirosismikronodular,besar nodulnya tidak
melebihi 3 mm. Tipe ini biasanya disebabkanalkohol atau penyakit
saluran empedu.
2. Makronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi,
mengandungnodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar
didalamnya, ada daerah luasdengan parenkim yang masih baik atau
terjadi regenerasi parenkim. Tipe ini biasanya tampak pada
perkembangan hepatitis seperti infeksi virus hepatitis B.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan
makronodular).
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul
yang terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran
> 3 mm.
Sedangkan secara fungsional, sirosis hepatis dibagi menjadi
kompensata dan dekompensata.
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan sirosis hati laten atau dini. Pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya
stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan skrining.
2. Sirosis hati dekompensata
Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya gejala-
gejala sudah jelas, misalnya ascites, edema dan icterus
5. Patofisiologi
Adanya faktor etiologi menyebabkan peradangan dan nekrosis
meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini
memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus
dan nodul sel hati. Septa boleh dibentuk dari sel retikulum penyangga kolaps
dan berubah menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat
menghubungkan daerah portal yang satu dengan yang lain atau portal
dengan sentral (bridging necrosis). Beberapa sel tumbuh kembali dan
membentuk nodul dengan berbagai ukuran, dan ini menyebabkan distorsi
percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran daerah portal dan
menimbulkan hipertensi portal. (Nguyen and Linnggapa, 2006).
Tahap berikutnya, terjadi peradangan dan nekrosis pada sel
duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrogenesis dan septa aktif
jaringan kologen berubah dari reversibel ke irreversibel bila telah terbentuk
septa permanen yang aseluler pada daerah portal dan parenkhim hati sel
limfosit dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin sebagai
mediator fibrinogen, septal aktif ini berasal dari portal yang menyebar ke
parenkhim hati. Kolagen sendiri terdiri dari 4 tipe yaitu dengan lokasi
daerah sinusoid sentral, sinusoid, jaringan retikulin (sinusoidportal), dan
membrane basal. Pada semua sirosis terdapat peningkatan pertumbuhan
semua jenis kologen tersebut. Pembentukan kologen dirangsang oleh
nekrosis hepatoseluler dan asidosis laktat merupakan faktor perangsang.
Dalam hal mekanisme terjadinya sirosis secara mekanik dimulai dari
kejadian hepatitis viral akut, timbul peradangan luas, nekrosis luas dan
pembentukan jaringan ikat yang luas disertai pembentukan nodul regenerasi
oleh sel parenkim hati, yang masih baik. Jadi fibrosis pasca nekrotik adalah
dasar timbulnya sirosis hati. Pada mekanisme terjadinya sirosis secara
imunologis dimulai dengan kejadian hepatitis viral akut yang menimbulkan
peradangan sel hati, nekrosis /nekrosis bridging dengan melalui hepatitis
kronik agresif diikuti timbulnya sirosis hati. Perkembangan sirosis dengan
cara ini memerlukan waktu sekitar 4 tahun. Sel yang mengandung virus ini
merupakan sumber rangsangan terjadinya imunologis yang berlangsung
terus – menerus sampai terjadinya kerusakan hati. (Nguyen and Linnggapa,
2006).

Gambar 2. Fibrogenesis pada Sirosis Hepatis


Hepar tersusun atas sel parenkim (hepatosit) dan non parenkim. Sel
non parenkim terletak mengelilingi sel parenkim, yang berperan dalam
fibrogenesis pada sirosis hepatis, yaitu sel endotel sinusoid (LSEC), sel
Kupffer (KC) dan sel stelat (HSC). HSC merupakan sel yang dalam keadaan
inaktif (Ito cell/quiescent) berperan sebagai penyimpan vitamin A dan
retinoid lainnya. Ketika terjadi proses inflamasi, mediator proinflamasi
seperti TGF-β, TNF-α, DAN IL-1 mengaktifkan HSC yang mengakibatkan
perubahan sel ini menjadi miofibroblas. Miofibroblas kemudian
mengakibatkan peningkatan sintesis kolagen dan TIMP serta menurunkan
MMP yang mengakibatkan akumulasi kolagen, mengakibatkan fibrosis
pada hepar (Zhou et al, 2014). LSEC merupakan sel endotel sinusoid yang
tidak memiliki membrana basalis dan berperan dalam pengaturan
pertukaran cairan, larutan, dan partikel antara sinusoid dan sel parenkim.
Perubahan pada LSEC yang diakibatkan oleh alkoholisme dapat
mengakibatkan penurunan permeabilitas LSEC dan pembentukan
membrana basalis yang menyebabkan defenestrasi LSEC. Defenestrasi
mengganggu pertukaran cairan, mengakibatkan penurunan retinol yang
dapat mengaktifkan HSC menjadi miofibroblas yang menginisiasi fibrosis
hepar (Zhou et al, 2014). KC merupakan makrofag yang terletak pada
dinding sinusoid yang teraktivasi oleh berbagai faktor injuri seperti infeksi
virus, diet tinggi lemak, alkohol, dan penumpukkan zat besi. KC yang
teraktivasi merusak hepatosit dan memicu fibrosis. Aktivasi KC juga
meningkatan ekspresi reseptor PDGF pada HSC yang memicu sintesis
matriks, melepaskan TGF-β1 yang merangsang pembentukan dan
proliferasi kolagen, serta melepaskan TXA2 yang memicu peningkatan
tekanan portal (Zhou et al, 2014).
Sementara itu, sel parenkim (hepatosit) juga ikut berperan dalam
sirosis hepatis. Normalnya, sel ini berperan sebagai penghasil utama matriks
metaloproteinase (MMP). Kerusakan hepatosit mengakibatkan penurunan
produksi MMP dan memicu pelepasan ROS (reactive oxygen species) dan
mediator fibrigenik yang mengaktivasi HSC menjadi miofibroblas (Zhou et
al, 2014).
6. Manifestasi Klinis
Stadium Awal (Schuppan et al, 2008)
1. Capek; lelah
2. Nafsu makan berkurang; nausea; penurunan berat badan
3. Hepatomegali
4. Palmar Eritema
Stadium Lanjut / Akhir (Schuppan et al, 2008)
1. Jaundice (Kulit & Mata ikterus/kuning)
2. Warna urin kuning atau coklat pekat
3. Spider Naevi
4. Kerontokanrambut
5. Gynecomastia
6. Varices Eosophagus (Hematemesis Melena)
7. Venectasi/Vena kolateral
8. Hipoalbuminemia
9. Asites (dengan atau tanpa edema kaki)
10. Spleenomegali
11. Diare; feses berwarna hitam atau merah darah
12. Perdarahan dan memar
13. Kebingungan; koma

Asites
Penyebab utama asites adalah vasodilatasi splanchnic. Terjadi peningkatan
resistansi aliran hepatic portal karena sirosis sehingga menyebabkan
peningkatan portal hipertensi secara bertahap, terbentuknya collateral vein dan
shunting pembuluh darah ke sistemik (Ginès.P, 2004).
Setelah terjadinya portal hipertensi, terjadi vasodilatasi lokal oleh karena
terdapat peningkatan nitric oxide sehingga terjadi splanchnic arterial
vasodilatasi. Pada stadium awal terjadinya sirosis, vasodilatasi splanchnic
arterial vasodilatasi moderate dan hanya menyebabkan efek yang kecil terhadap
effective arterial blood volume, dimana dipertahankan kadar normal volume
plasma dan cardiac output (Ginès.P, 2004).
Pada stadium sirosis yang lanjut, terjadi vasodilatasi yang hebat sehingga
effective arterial blood volume menurun secara mendadak, sehingga tekanan
arterial menurun. Sebagai akibat tubuh mengkompensasi dengan
mempertahankan tekanan arterial dengan pengaktivasian hemeostasis oleh
vasokonstriksor dan antinatriuretic faktor sehingga menyebabkan retensi
natrium dan cairan (Ginès.P, 2004).
Kombinasi portal hipertensi dan vasodilatasi splanchnic arterial
menyebabkan perubahan tekanan kapiler dan permeabilitasnya yang membantu
akumulasi retensi cairan di dalam kavitas abdomen. Seterusnya dengan
berlanjutnya penyakit ini, terjadi renal disfungsi dalam mengeskresi cairan
tubuh dan terjadi vasokonstriksi renal sehingga menyebabkan dilutional
hyponatremia dan hepatorenal sindrom (Ginès.P, 2004).
Skema 3.Patofisiologi asites, hiponatremia, dan sindrom hepatorenal pada
kasus sirosis hepatis (Ginès.P, 2004)

Varices Eosophagus (Hematemesis Melena)


Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas
dan kandung empedu. Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang
berasal dari usus halus, kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung.
Vena porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh puluh lima
persen (75%) sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri hepatika. Keduanya
mempunyai saluran keluar ke vena hepatika yang selanjutnya ke vena kava
inferior.
Sistem porta kadang terhambat oleh gumpalan besar dalam vena porta
atau cabang utamanya, hal ini dikarenakan terjadinya fibrosis hati pada
penderita sirosis hepatis. Bila sistem porta terhambat, kembalinya darah dari
usus dan limpa melalui sistem porta ke sirkulasi sistemik menjadi sangat
terhambat, menghasilkan hipertensi porta dan tekanan kapiler dalam dinding
usus meningkat 15-20 mmHg diatas normal. Penderita sering meninggal dalam
beberapa jam karena kehilangan cairan yang banyak dari kapiler ke dalam
lumen dan dinding usus.Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan
oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam
vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistim portal dapat terjadi oleh
karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik),
peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa
pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau
postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik)(Ginès.P,
2004).
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal
terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena
cava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus). Apabila
varises tersebut pecah akan mengakibatkan perdarahan/ hematemesis
melena(Ginès.P, 2004).

Spider Naevi
Spider naevi biasanya terdistribusi pada daerah muka, leher, dahi, tangan
dan bagian atas tengah dada. Umumnya terjadi pada regio pembuluh darah
superior vena cava. Terjadinya vascular spiders adalah disebabkan oleh kadar
estrogen yang tinggi dan kadar estrogen yang tinggi serta substansi P yang
tinggi menyebabkan pembuluh darah membesar dan dilatasi. Selain itu, kadar
serum estradiol dan total testosterone berubah pada pasien pria dengan sirosis
dan spider naevi. Kadar serum estradiol meningkat dan kadar total testosterone
sehingga menyebabkan kadar estradiol/free testosterone ratio pada pasien pria
dengan spider naevi. Pemulihan dari spider naevi boleh terjadi apabila etiologi
dasar penyebab terjadinya sirosis hepatis disingkirkan namun, kondisi ini dapat
terjadi secara persisten (Vedamurty.M, 2008).
Hipertensi Portal
Hipertensi portal terjadi akibat resistensi vaskuler intrahepatic. Hati yang
telah sirosis hilang kemampuan fisiologis untuk menurunkan tekanan darah
yang mengalir ke hepar. Jadi dengan peningkatan aliran darah pada sinusoids
menyebabkan tekanan ini dihantar kembali ke vena portal. Namun, vena portal
kekurangan katup untuk menghalang aliran darah kembali, menyebabkan
tekanan darah yang tinggi ditransmisikan kembali ke bagian vaskuler yang lain,
sehingga menyebabkan spleenomegali, hepatomegali, portal ke sistemik
shunting, dan komplikasi lain (Tsochatzis et al, 2014).

7. Diagnosis
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit
menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi
sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan
klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri dari
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan
pemeriksaan biopsy hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis
kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini (Nurdjanah, 2009).
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena
gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi
(Nurdjanah, 2009).
1. Anamnesis
Sirosis sering merupakan silent disease, dengan kebanyakan pasien
adalah asimptomatik sehingga dekompensasi terjadi. Dokter harus
menanyakan tentang risiko yang mempengaruhi pasien sirosis. Kuantitas
dan durasi konsumsi merupakan penting dalam diagnosis awal sirosis.
Faktor risiko yang lain termasuk transmisi hepatitis B dan C (misalnya,
tempat kelahiran di daerah endemis, riwayat risiko paparan seksual,
penggunaan obat intranasal atau intravena, tindik tubuh atau tato,
kontaminasi yang tidak disengaja dengan darah atau tubuh cairan), serta
riwayat 43cleral43e dan riwayat pribadi atau keluarga penyakit autoimun
atau penyakit hepatik (Heidelbaugh JJ, dan Bruderly M, 2006).
2. Pemeriksaan Fisik

Tabel 1. Temuan dari hasil pemeriksaan (Hardison JE, 1990;


Heidelbaugh JJ, dan Bruderly M, 2006)
Pemeriksaan Temuan

Inspeksi Umum cachexia, proximal muscle wasting, asites,


jaundis

Tangan dan clubbing fingers, Terry’s nails, Muehrcke’s


lengan nails, Dupuytren’s contracture, eritema
palmar, anemia, asteriksis, ekimosis,
petekie, osteoartropati hipertrofi

Kepala dan dada jaundice (frenulum, 43cleral 43cleral),


hipertrofi parotid, cincin Kaysher-
Fleischer, fetor hepaticus, spider
angiomata, ginekomastia, kerontokan bulu
dada dan bulu ketiak (pria)

Abdomen dan Caput medusa, asites, murmur Cruveilhier-


pelvis Baumer, splenomegali, atrofi testicular,
hepatomegali

Palpasi Keras dan bernodul, perubahan pada (mengecil/membesar)

Perkusi bulging flanks, flank dullness, shifting dullness, fluid wave

Auskultasi Abdominal venous hum (Cruveilhier-Baumgarten murmur),


hepatic arterial bruit, hepatic friction rub

Tabel 2. Manifestasi Klinis sirosis hepatis (Schuppan et al, 2008)


3. Pemeriksaan Laboratorium
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium
pada waktu sesorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining
untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase,
alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan
waktu protrombin (Nurdjanah, 2009).
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksaloasetat
(SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat
transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengenyampingkan adanya sirosis (Nurdjanah, 2009).
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada apsien kolangitis
sclerosis primer dan sirosis bilier primer (Nurdjanah, 2009).
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti
halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada
penyakit hati alkoholik kronik, karena alcohol selain menginduksi GGT
microsomal hepatic, juga bisa, menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit
(Nurdjanah, 2009).
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata,
tapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut.Albumin, sintesisnya terjadi di
jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan
sirosis.Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder
dari pintasan, antigen bakteri dari system porta ke jaringan limfoid,
selanjutnya menginduksi produksi immunoglobulin (Nurdjanah, 2009).
Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis
hati, sehingga pada sirosis memanjang.Natrium serum menurun terutama
pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air
bebas.Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam,
anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom
makrositer. Anemia dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia
akibat splenomegaly kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga
terjadi hipersplenisme (Nurdjanah, 2009).

Tabel 3. Hasil Laboratorium pada sirosis hepatis (Schuppan et al, 2008)


Tabel 3. Hasil Laboratorium pada sirosis hepatis (Schuppan et al, 2008)

Tabel 4. Tes diagnostik (laboratorium) sirosis hepatis berdasarkan kausanya


(Schuppan et al, 2008)
4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk
konfirmasi adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara
rutin digunakan karena pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan,
namun sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan
USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya
massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular,
ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk
melihat asites, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena
porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis (Nurdjanah,
2009).
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak
rutin digunakan karena biayanya relative mahal (Nurdjanah, 2009).
Magnetic resonance imaging (MRI), peranannya tidak jelas dalam
mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya (Nurdjanah, 2009).

Tabel 5. Pemeriksaan radiologis sirosis hepatis (Schuppan et al, 2008)

5. Biopsi Hati
Biopsi hati (Gold Standard) adalah satu-satunya metode yang pasti
untuk mengkonfirmasikan diagnosis sirosis. Hal ini juga membantu
menentukan penyebabnya, kemungkinan pengobatan, tingkat kerusakan,
dan prospek jangka panjang. Biopsi dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan, termasuk (Simon.H, 2008):
a) Biopsi hati perkutan
Pendekatan ini menggunakan jarum yang dimasukkan melalui
perut untuk mendapatkan sampel jaringan dari hati. Berbagai bentuk
jarum yang digunakan, termasuk yang menggunakan suction atau yang
memotong jaringan. Jika sirosis dicurigai, jarum yang memotong
adalah alat yang lebih baik. Pendekatan ini tidak boleh digunakan pada
pasien dengan masalah pendarahan, dan harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien dengan asites atau obesitas kronik.
b) Biopsi hati transjugular
Pendekatan ini menggunakan kateter (tabung tipis) yang
dimasukkan dalam vena jugularis pada leher dan berulir melalui vena
hepatik (yang mengarah ke hati). Sebatang jarum dilewatkan melalui
tabung, dan alat suction mengumpulkan sampel hati. Prosedur ini
berisiko tetapi dapat digunakan untuk pasien dengan asites berat.
c) Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan sayatan perut kecil di mana dokter
memasukkan tabung tipis yang berisi instrumen bedah kecil dan kamera
kecil untuk melihat permukaan hati. Ini umumnya dicadangkan untuk
menentukan tingkat kanker atau untuk asites dengan penyebab yang
tidak diketahui.
6. Pemeriksaan Histopatologi
Temuan yang dijumpai antaranya adalah (i) ekstensif fibrosis dan
nodul regeneratif, (ii) infiltrasi limfosit periportal yang menunjukkan sirosis
akibat HCV, (iii) Mallory bodies, infiltrasi leukosit polimorfonuklear, dan
steatosis yang menunjukkan sirosis akibat alkohol dan / atau nonalcoholic
steatohepatitis (NASH), (iv) keterlibatan bilier yang menunjukkan sirosis
bilier primer (PBS), (v) deposisi besi secara masif yang menunjukkan
hemokromatosis. (Bataller R dan Ginѐs P, 2006).
8. Komplikasi
1. Edema dan ascites
Ketika sirosis hati menjadi semakin parah, ginjal langsung bekerja
menahan garam dan air di dalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-
tama berakumulasi dalam jaringan dib awah kulit pergelangan-
pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau
duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau pitting edema. Edema
seringkali memburuk pada akhir hari setelah berdiri atau duduk dan
mungkin berkurang dalam semalam sebagai suatu akibat dari kehilangan
efek-efek daya berat ketika berbaring. Ketika sirosis memburuk dan lebih
banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi
dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut.
Akumulasi cairan ini disebut ascites menyebabkan pembengkakkan perut,
ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang meningkat (Chung et al,
2005; Nurdjanah, 2006).
2. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna
untuk bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut
mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan
infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya
dari usus) dibunuh atau menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan
ke hati dimana mereka dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul
didalam perut tidak mampu untuk melawan infeksi secara normal. Sebagai
tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri menemukan jalan mereka dari
usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi didalam perut dan ascites,
dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau SBP, kemungkinan
terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa
pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang
lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut,
diare, dan memburuknya ascites (Chung et al, 2005; Nurdjanah, 2006).
3. Perdarahan dari Varises Esofagus (esophageal varices)
Varises esophagus merupakan salah satu manifestasi hipertensi
porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien sirosis dengan varises
esophagus pecah menimbulkan perdarahan (Marc, 2004).
Pada sirosis hati, jaringan fibrosis menghalangi aliran darah yang
kembali ke jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena
portal (hipertensi portal).Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup
tinggi, ia menyebabkan darah mengalir di sekitar hati melalui vena vena
dengan tekanan yang lebih rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena
yang paling umum yang dilalui darah untuk melewati hati adalah vena-
vena yang melapisi bagian bawah dari esophagus dan bagian atas dari
lambung.
Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan
peningkatan tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada esofagus yang
lebih bawah dan lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk
sebagaiesophageal varicesdangastric varices; lebih tinggi tekanan portal,
lebih besar varises-varises dan lebih mungkin seorang pasien mendapat
perdarahan dari varises-varises ke dalam esophagus atau gaster.
Perdarahan dari varises-varises biasanya adalah parah/berat dan,
tanpa perawatan segera, dapat menjadi fatal. Gejala gejala dari perdarahan
varises-varises termasuk hematemesis (muntahan dapat berupa darah
merah bercampur dengan gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds"
dalam penampilannya, yang belakangan disebabkanoleh efek dari asam
pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam dan bersifat ter
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia melewati
usus (melena),danorthostatic dizzinessatau membuat pingsan (disebabkan
oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama ketika berdiri dari
suatu posisi berbaring).
Perdarahan juga mungkin terjadi dari varises-varises yang terbentuk
dimana saja di dalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini
adalah jarang. Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien
yang dirawat karena perdarahan yang secara aktif dari varises esophagus
mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous
bacterial peritonitis (Chung et al, 2005; Nurdjanah, 2006).
4. Ensefalopati hepatic
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari
pencernaan dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara
normal hadir dalam usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-
tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang mereka
lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam
tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia,dapat
mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun
ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka
dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihliangkan racunnya).
Saat terjadi sirosis, sel-sel hati tidak dapat berfungsi secara normal
karena rusak atau kehilangan hubungan normal dengan darah. Sebagai
tambahan, beberapa dari darah dalam vena portal memlewati hati melalui
vena-vena lain. Akibat dari kondisi ini, zat toksik tidak dapat dikeluarkan
oleh sel-sel hati, dan, sebagai gantinya, zat ini berakumulasi dalam darah.
Ketika zat toksik berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak
terganggu,suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Zat toksik
juga membuat otak pasien dengan sirosis sangat peka pada obat-obat yang
dimetabolisme dan dieliminasi secara normal oleh hati. Dosis-dosis dari
banyak obat-obat yang secara normal dieksresi oleh hati harus dikurangi
untuk mencegah suatu penambahan toksik pada sirosis, terutama obat-obat
penenang (sedatives) dan obat-obat tidur.
Ensefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut sampai
gangguan kesadaran dan koma4. Ensefalopati hepatic terjadi karena
kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH3 dan
sejenisnya). NH3 berasal dari pemecahan protein oleh bakteri di usus. Oleh
karena itu, peningkatan kadar NH3 dapat disebabkan oleh kelebihan
asupan protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan alkalosis. Berikut
pembagian stadium ensefalopati hepatikum :
Tabel 6. Pembagian stadium ensefalopati hepatikum
Stadium Manifestasi Klinis
0 Kesadaran normal, hanya sedikit ada penurunan daya ingat,
konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi.
1 Gangguan pola tidur
2 Letargi
3 Somnolen, disorientasi waktu dan tempat, amnesia
4 Koma, dengan atau tanpa respon terhadap rangsang nyeri.

5. Hepatorenal syndrome
Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat menyebabkan
hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius
dimana fungsi dari ginjal-ginjal berkurang. Pada sindrom hepatorenal,
terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum,
kreatinin, tanpa adanya kelainan organic ginjal. Kerusakan hati lanjut
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan
filtrasi glomerulus.
6. Hepatopulmonary syndrome
Komplikasi ini jarang terjadi. Hanya terjadi ke beberapa pasien-
pasien dengan sirosis yang berlanjut.Pasien-pasien ini dapat mengalami
kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentuyang dilepas pada
sirosis yang telah berlanjut menyebabkan paru-paru berfungsi secara
abnormal. Persoalan dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah
mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang
berhubungan denganalveoli (kantung-kantung udara) dari paru-paru.
Darah yang mengalir melalui paru-paru dilangsir sekitar alveoli dan tidak
dapat mengambil cukup oksigen dari udara didalam alveoli. Sebagai
akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama dengan pengerahan
tenaga.
7. Hypersplenism
Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan
(filter) untuk mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel
darah putih, dan platelet-platelet (partikel-partikel kecil yang penting
uktuk pembekuan darah) yang lebih tua.Darah yang mengalir dari limpa
bergabung dengan darah dalam vena portal dari usus-usus. Ketika tekanan
dalam vena portal naik pada sirosis, ia bertambah menghalangi aliran
darah dari limpa. Darah tersendat dan berakumulasi dalam limpa, dan
limpa membengkak dalam ukurannya, suatu kondisi yang dirujuk sebagai
splenomegali. Adakalanya, limpa begitu bengkaknya sehingga ia
menyebabkan sakit perut. Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar
lebih banyak dan lebih banyak sel-sel darah dan platelet-platelet hingga
jumlah-jumlah mereka dalam darah berkurang. Hypersplenism adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, dan itu
behubungan dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah (anemia),
jumlah sel darah putih yang rendah(leucopenia),dan/atau suatu jumlah
platelet yang rendah(thrombocytopenia).Anemia dapat menyebabkan
kelemahan, leukopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan
trombositopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada
perdarahan yang diperpanjang (lama).
8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)
Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko
kanker hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Gejala-gejala dan
tanda-tanda yang paling umum dari kanker hati primer/utama adalah sakit
perut dan pembengkakan perut, suatu hati yang membesar, kehilangan
berat badan, dan demam. Sebagai tambahan, kanker-kanker hati dapat
menghasilkan dan melepaskan sejumlah unsur-unsur, termasuk yang dapat
menyebabkan suatu peningkatan jumlah sel darah merah (erythrocytosis),
gula darah yang rendah (hypoglycemia), dan kalsium darah yang tinggi
(hypercalcemia) (Chung et al, 2005; Nurdjanah, 2006).
9. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan
untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi
progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
a) Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang
hepatotoksik
b) Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
c) Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
d) Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
e) Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis
f) Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi
utama. Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan
3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
g) Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan
dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-
1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,
kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam
penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
a) Asites
 Tirah baring
 Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
 Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa
dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki)
atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan
furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
 Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti
dengan pemberian albumin.
b) Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara
oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis
dapat diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
c) Varises Esofagus
 Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta
(propanolol)
 Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi
d) Ensefalopati Hepatik
 Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
 Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
 Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang
e) Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh
karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian
utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites,
dan restriksi cairan yang berlebihan (Chung et al, 2005; Nurdjanah,
2006).
10. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit
lain yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai
prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status
nutrisi.
Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C
berturut-turut 100%, 80%, dan 45% (Taylor, 2009; Marc, 2004).
Tabel 7. Klasifikasi Modifikasi Child-Pughh (Taylor, 2009)

E. Acute Kidney Injury


1. Definisi
AKI atau GGA terdiri dari kegagalan simultan dari pembuangan
ekskresi nitrogen, keseimbangan cairan dan regulasi elektrolit, dan
homeostasis asam basa, yang terjadi pada berbagai tingkat dan
reversibilitas berdasarkan besar dan sifat kerusakannya. Penyebab yang
paling umum antara lain sepsis, deplesi volume, ketidakstabilan
hemodinamik dan cedera akibat nefrotoksin. Alat diagnostik sederhana
untuk mendiagnosis GGA termasuk serum kreatinin, nitrogen urea darah,
keluaran urin, kimia urin, mikroskopi urin dan histologi. Definisi terstandar
yang merujuk pada “Kidney Disease; Improving Global Outcome”
(KDIGO) klasifikasi GGA, yang dikembangkan dari “Risk Injury, Failure,
Loss of kidney function, and End-stage kidney disease” (RIFLE) dan
kriteria AKI Network.
Kandungan serum kreatinin dipengaruhi oleh massa otot dan status
cairan, yang dapat mengubah respon terhadap obat tertentu tanpa
mengubah fungsi renal, hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan
penyakit hati dan mungkin bisa mencapai 24-36 jam untuk meningkat
setelah terjadi kerusakan ginjal. Berkebalikan dengan pasien gagal ginjal
kronik yang memiliki peningkatan serum kreatinin sebagai tanda
perkembangan alami atau penurunan yang relatif sedikit pada laju filtrasi
glomerulus, yang mungkin menjadi bias terhadap diagnosis GGA. Studi
epidemiologi juga menunjukkan bahwa beberapa pasien memiliki
peningkatan serum kreatinin yang lambat tetapi persisten, tetapi tidak bisa
memenuhi kriteria GGA.
Tabel 1. Definisi menurut KDIGO dan klasifikasi GGA
Definisi GGA terdiagnosis jika terdapat peningkatan serum kreatinin sekurang –
kurangnya 0.3 mg/dl (26.5 µmol/l) dalam 48 jam atau meningkat hingga
sekurang – kurangnya 1.5 kali lipat dari nilai batas bawah selama 7 hari
Tingkatan Peningkatan serum kreatinin Keluaran urin
1 1.5 – 1.9 x dari nilai batas bawah < 0.5 ml/kg/jam selama 6 – 12 jam
Atau
Meningkat ≥ 0.3 mg/dl (≥26.5
µmol/l)
2 2.0 – 2.9 x dari nilai batas bawah < 0.5 ml/kg/jam selama ≥ 12 jam
3 3.0x dari nilai batas bawah < 0.3 ml/kg/jam selama ≥ 24 jam
atau Atau
Anuria selama ≥ 24 jam
meningkatnya serum kreatinin hingga
≥ 4.0 mg/dl (≥ 353.6 µmol/l)
atau
inisiasi pemakaian terapi penggantian
ginjal (renal replacement therapy)

2. Patofisiologi
Ginjal menerima sekitar 20% dari curah jantung dan ekstraksi
oksigen ginjal yang rendah (sekitar 10-15%), namun mereka sangat rentan
terhadap hipoksia jaringan, khususnya pada saat terjadi penyakit akut.
Beberapa tahun terakhir, yang meyakini bahwa GGA berkembang dari
penurunan seluruh perfusi ginjal yang terkait dengan syok yang sudah
dipertanyakan. Misalnya, GGA tidak selalu terjadi akibat serangan jantung
meskipun terjadi perpanjangan waktu hipotensi. Pada sepsis, yang
menggunakan sampel hewan, diketahui bahwa aliran darah ginjal bisa
menurun, meningkat atau tidak berubah, yang menunjukkan bahwa ada
faktor – faktor lain yang berperan. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
kebanyakan kasus GGA murni akibat dari berbagai hal bukan akibat dari
kerusakan individu saja. Beberapa mekanisme berkonstribusi secara
bersamaan, termasuk variasi perfusi regional dan konsumsi oksigen,
gangguan autoregulasi, distorsi peritubular dan mikrosirkulasi glomerular,
cedera sel tubular, cedera endhotel, thrombosis mikrovaskular,
arteriovenous shunting, yang menghasilkan aktivasi proses inflamasi.
GGA sekarang dianggap sebagai kondisi pro inflamasi. Beberapa mediator
pro dan anti- inflamasi serta jalur inflamasi telah teridentifikasi, yang
menjelaskan beberapa gejala klinis GGA dan mungkin bisa menjadi tujuan
target terapi di masa depan.
3. Terapi
Manajemen GGA adalah terapi supportif yang fokus pada
optimisasi cairan dan status hemodinamik, terapi yang berdasarkan
penyakit, mencegah kerusakan akibat nefrotoksin, dan terapi penggantian
ginjal (renal replacement therapy/ RRT) jika diperlukan.
Pencegahan agen nefrotoksin
Obat yang bersifat nefrotoksik sering berkontribusi terhadap
perkembangan GGA selam fase akut. Sebagai contoh, di Inggris, ACE-
inhibitos dan angiotensin II receptor blocker adalah dua obat yang sering
diberikan dan peningkatan pemberian obat – obat ini bertanggung jawab
untuk 15% peningkatan kejadian GGA. Obat – obatan AINS yang mudah
didapat dan umumnya juga terlibat. Walaupun data dasar bukti dari RCT
hilang, ini masuk akal untuk merekomendasikan bahwa selama episode
AKI, obat dengan potensi cedera nefrotoksik harus dihindari atau dosis
disesuaikan jika memungkinkan.
Pengoptimalan hemodinamik
Pengoptimalan hemodinamik menggunakan terapi cairan dan obat
vasoaktif untuk mencapai curah jantung dan tekanan perfusi yang akan
mengembalikan/mempertahankan penyaluran oksigen yang adekuat ke
jaringan termasuk ke ginjal. Tiga komponen utama untuk optimalisasi
hemodinamik:
a. Pengoptimalan pre-load yang bertujuan memaksimalkan volume
sekuncup dengan menambah volume ventrikel kiri dan volume akhir
diastolic dengan pengisian intravascular. Penggunaan tekanan vena
sentral untuk panduan ekspansi volume tidak dianjurkan.
b. Pengoptimalan after load bertujuan memastikan perfusi yang adekuat
di ginjal dan yang terpenting khususnya manajemen dari distribusi
syok, dimana vasopressor dapat meningkatkan hemodinamik ginjal.
c. Pengoptimalan kontraktilitas bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi
jika muncul syok, disamping pengoptimalan pre-load dan after load.
Obat yang biasanya digunakan adalah obat inotropik.
Tabel 2. Rangkuman pedoman untuk terapi GGA dari KDIGO.
Boleh dilakukan Tidak boleh dilakukan
Menghentikan semua obat nefrotoksik Membatasi asupan protein dengan
jika memungkinkan tujuan mencegah atau menunda
inisiasi RRT
Dalam kasus tidak adanya syok Menggunakan diuretik untuk
perdarahan, gunakan kristaloid isotonik mencegah atau menatalaksana GGA,
daripada penggunaan koloid sebagai kecuali dalam menangani kelebihan
tatalaksana awal pada peningkatan volume cairan
volume intravascular
Menggunakan vasopresor bersama Menggunakan dosis rendah dopamin,
dengan cairan pada pasien dengan syok fenoldopam, ANP, atau rIGF-1 untuk
vasomotor dengan atau beresiko GGA pencegahan atau tatalaksana GGA
Mempertimbangkan tatalaksana Menggunakan aminoglikosid ketika
berdasarkan protokol parameter alternatif non- nefrotoksik tersedia
hemodinamik dan oksigenasi pada (pengawasan ketat jika tidak dapat
pasien risiko tinggi dalam periode dihindari)
perioperatif atau pada pasien dengan
syok septik
Mempertimbangkan alternatif terhadap Menggunakan cairan oral, teofilin,
prosedur radiokontras fenoldopam, atau RRT sebagai
profilaksis CIN
Pada kasus pasien gawat, menggunakan Menggunakan formulasi konvensional
terapi insulin dengan target glukosa dari amfoterisin B (persiapan lipid
plasma 110-149 mg/dl (6.1-8.3 mmol/l) yang kurang nefrotoksik)
Mencapai asupan energi total 20-30
kkal/kg/hari
Lebih memilih penyediaan nutrisi
melalui rute enteral
Menggunakan formulasi lemak dari
amfoterisin B dibanding konvensional
Menggunakan salin 0.9% IV atau
sodium bikarbonat isotonic dan NAC
oral pada pasien dengan risiko tinggi
CIN
Melakukan RRT secara emergensi
ketika ada perubahan pada cairan,
elektrolit, dan keseimbangan asam basa
yang mengancam jiwa
Ketika mempertimbangkan RRT,
pertimbangkan adanya kondisi yang
dapat diubah dengan RRT, dan
kecenderungan tes laboratorium
daripada urea dan ambang batas
kreatinin
GGA: Gagal ginjal akut; ANP: atrial natriuretic peptide (peptide natriuretic atrial);
CIN: contrast induced nephropathy (nefropati yang diinduksi kontras); rIGF:
recombinant insulin growth factor; RRT: renal replacement therapy; NAC: N-
acetylcysteine

Terapi cairan
Jenis cairan: jenis cairan yang optimal untuk pencegahan dan tatalaksana
GGA tidak diketahui. Meskipun demikian, peningkatan bukti bahwa
koloid berbahan dasar zat tepung dapat menyebabkan atau memperburuk
GGA jika diberikan dalam volume yang besar dan sebaiknya dihindari
pada pasien gawat. Menggunakan solusio kaya klorida seperti salin 0.9%
dikaitkan dengan asidosis metabolik hiperkloremik dan peningkatan risiko
GGA. Ada beberapa bukti bahwa solusio kristaloid seperti ringer laktat,
solusio hartmann, atau plasmalit dapat memiliki manfaat lebih daripada
salin.
Volume cairan: secara klasik, pada pasien deplesi volume dengan fungsi
tubular intak, retensi natrium bersifat reversibel dengan terapi cairan dan
oliguria mengalami perbaikan. Deplesi volume yang lama berbahaya
terhadap fungsi ginjal; pemberian cairan yang melampaui fase resusitasi
pada pasien GGA bukan saja tidak efektif tetapi juga berbahaya dan
dikaitkan dengan berkurangnya kemungkinan ginjal untuk pulih dan akan
meningkatkan mortalitas. Kelebihan cairan berakibat edema jaringan,
obstruksi aliran darah kapiler dan drainase sistem limfatik, gangguan
difusi oksigen, dan gangguan interaksi antar sel. Disfungsi organ yang
sifatnya progresif bisa terjadi. Efek - efek ini untuk organ-organ berkapsul
seperti ginjal, yang tidak dapat mengakomodasi volume ekstra tanpa
peningkatan tekanan interstisial dan gangguan aliran darah ke organ.
Meskipun ketidakcukupan dan kelebihan resusitasi cairan keduanya
berbahaya pada GGA, saat ini tidak ada alat yang cukup canggih dalam
diagnosis euvolemia. Keputusan untuk menentukan kapan menghentikan
terapi cairan, terutama didasarkan pada penilaian klinis pada pasien.
Penatalaksanaan Tekanan Darah
Hipotensi dan curah jantung yang rendah merusak fungsi ginjal
tetapi target hemodinamik optimal pada pasien dengan GGA awal tidak
diketahui. Rekomendasi saat ini adalah untuk menyesuaikan target MAP
secara individual. Hal ini dilakukan untuk mencapai MAP yang lebih
tinggi pada pasien dengan hipertensi kronis dengan oliguria menetap atau
kenaikan kenaikan serum kreatinin.
Eksklusi Obstruksi
Pemeriksaan USG traktus urinarius direkomendasikan pada pasien
dengan risiko tinggi obstruksi dimana tidak ada penyebab GGA yang jelas.
Hal itu juga akan mengidentifikasi variasi penting anatomis yang ada,
seperti ginjal tunggal atau ginjal kecil pada kasus penyakit ginjal kronis.
Pencegahan Nefropati yang Diinduksi Kontras
Media kontras teriodinasi dapat menyebabkan GGA oleh beberapa
mekanisme termasuk toksisitas tubular secara langsung dan vasokonstriksi
renal. Hal ini jarang pada pasien stabil tanpa faktor risiko tetapi sering pada
pasien dengan penyakit akut atau telah ada penyakit ginjal kronis, terutama
jika prosedur yang membutuhkan volume kontras yang tinggi. Faktor
risiko lain adalah usia lanjut, diabetes dengan penyakit ginjal kronis, gagal
jantung, dan penggunaan bersama obat-obat nefrotoksik. Satu-satunya
strategi pencegahan yang terbukti efektif adalah mengoptimalkan status
volume dengan salin atau natrium bikarbonat isotonik sebelum dilakukan
prosedur yang bertujuan untuk menangani setiap komponen yang dapat
ditangani dari suatu penyakit akut (Tabel 2). Penggunaan N-asetilsistein
oral adalah suatu rekomendasi KDIGO yang lemah yang telah dikeluarkan
dari pedoman The National Institute for Health and Care Excellence UK.
Terapi Penggantian Ginjal
RRT sebaiknya dipikirkan ketika manfaat melampaui potensi
risiko, terlepas dari hasil urea spesifik dan kreatinin, namun sebelum
perkembangan emergensi uremik.RRT berkelanjutan direkomendasikan
untuk pasien yang secara hemodinamik tidak stabil atau memiliki kondisi
yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Dialisis
peritoneal adalah suatu pilihan tetapi jarang digunakan pada orang dewasa
di negara- negara maju.
4. Prognosis
Beberapa studi epidemiologi skala besar telah menunjukkan bahwa
prognosis GGA (bahkan dengan pemulihan yang bagus dari serum
kreatinin) tidak sepenuhnya jinak. Pasien yang berhasil bertahan dari GGA
berada pada peningkatan risiko mortalitas dan penyakit ginjal kronis
termasuk perkembangan ke arah gagal ginjal stadium akhir, yang mana
memiliki dampak besar terhadap harapan hidup pasien dan berpengaruh
juga terhadap biaya perawatannya. Pasien dengan diabetes, penyakit
vaskular kronis, dan penyakit ginjal kronis sangat berisiko.

A. Hipoalbuminemia
Albumin merupakan protein serum yang berfungsi untuk menjaga
tekanan onkotik koloid plasma sebesar 75-80% dan merupakan 50% dari
protein tubuh. Jika protein plasma khususnya albumin tidak dapat lagi
menjaga tekanan osmotic koloid akan terjadi ketidakseimbangan tekanan
hidrostatik yang akan menyebabkan terjadinya edema (Price & Wilson,
2005).
Albumin juga berfungsi sebagai transport berbagai macam
substansi termasuk bilirubin, asam lemak, logam, ion, hormon, dan obat-
obatan. Salah satu konsekuensi dari hipoalbuminemia adalah obat yang
seharusnya berikatan dengan protein akan berkurang, di lain pihak obat
yang tidak berikatan akan meningkat, hal ini akan meningkatkan kadar obat
dalam darah. Perubahan pada albumin juga mengganggu fungsi platelet
(Robbins, 2007).
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/di bawah nilai
normal (kadar albumin serum < 3.5 g/dL). Nilai normal albumin adalah
3.5-5 g/dL atau 300-500 gram. Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan
asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu
sintesis albumin serta protein lain oleh hati. Klasifikasi hipoalbuminemia
adalah :
a. Hipoalbuminemia ringan : 3.5-3.9 g/dL
b. Hipoalbuminemia sedang : 2.5-3.5 g/dL
c. Hipoalbuminemia berat : < 2.5 g/dL

Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi


albumin, sintesis yang tidak efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan
intake protein, peningkatan pengeluaran albumin karena penyakit lainnya,
dan inflamasi akut maupun kronis.
a. Kurang energi protein
b. Kanker
c. Peritonitis
d. Luka bakar
e. Sepsis
f. Luka akibat pre dan post pembedahan (penurunan albumin plasma yang
terjadi setelah trauma)
g. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesis albumin
menurun)
h. Penyakit ginjal (hemodialysis)
i. Penyakit saluran cerna kronik
j. Radang atau infeksi tertentu (akut dan kronis)
k. Diabetes mellitus dengan gangrene
l. TB paru

Terapi hipoalbuminemia dapat dikoreksi dengan albumin intravena,


yaitu pemberian BSA (body serum albumer) dan diet tinggi albumin seperti
ekstra putih telur, ikan gabus, dan tempe kedelai.

Anda mungkin juga menyukai