TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2015)
1. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-
2. Kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi
incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-
2.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,
liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis
penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang
disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)
Tabel 2. KriteriaDiagnosis DM
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma
normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok
prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis
DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan
glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel di
bawah ini.
4. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Edukasi berisi
tentang perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian
dan pemantauan DM secara berkelanjutan, penyulit DM dan
risikonya, intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan, interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan
obat antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain, Cara
pemantauan glukosa darah, mengenal gejala dan penanganan awal
hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur, pentingnya
perawatan kaki
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori,
dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Bahan
makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlemak dan susu fullcream.
Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
c. Olahraga
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas
sehari hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun
dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
d. Terapi Farmakologis
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan
ginjal).
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2. Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73
m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia. Efek samping
yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan
seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi
glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat
ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping
pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat
kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like
Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung
kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat
yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Beberapa pola EKG abnormal mungkin didapatkan pada
penderita CHF seperti gelombang Q abnormal, left bundle branch block,
gangguan konduksi lain, hipertrofi ventrikel atau atrium kiri, aritmia
ventrikel atau atrium dimana hal ini dapat dijadikan bahan investigasi
untuk menentukan penyakit dasar yang mendasari terjadinya CHF
(Camn et al., 2007).
2. Pemeriksaan Foto Thoraks Dada
Pemeriksaan foto thoraks dada juga direkomendasikan sebagai
pilihan pemeriksaan diagnostik lini pertama. Pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi mengenai ukuran dan ketajaman jantung.
Namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan. Tidak adanya
kardiomegali tidak dapat menyingkirkan adanya kemungkinan penyakit
katub atau disfungsi sistolik ventrikel kiri (Camn et al., 2007).
3. Pemeriksaan Hematologi dan Biokimia
Beberapa pemeriksaan laboratorium direkomendasikan
guideline ESC sebagai bagian dari rutinitas diagnosis pada pasien yang
dicurigai menderita CHF. Pemeriksaan tersebut diantaranya yaitu
hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, enzim hepar,
dan urinalisis. Biomarker miokardium seperti troponin T atau I
merupakan pemeriksaan penting selama fase akut infark miokard.
Pemeriksaan lain yang penting yaitu asam urat, C-reactive protein, dan
thyroidstimulatinghormone. Beberapa pemeriksaan yang penting saat
followup dan setelah pemberian pengobatan tertentu yaitu ureum,
kreatinin, dan potassium (Camn et al., 2007).
4. Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi telah digunakan secara luas, cepat, dengan
teknik non-invasif, dan aman dimana pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi mengenai dimensi jantung, ketebalan dinding
jantung dan pengukuran fungsi sistolik dan diastolik.Penentuan LVEF
merupakan kunci untuk mengukur fungsi sistolik ventrikel kiri. Fungsi
sistolik dinyatakan menurun jika didapatkan LVEF < 0,40 (Camn et al.,
2007).
2. Klasifikasi dan Etiologi
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung
atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.
Gambar 2.3 Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan Kelainan Struktural
dan Fungsional
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
1. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk
menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner
dengan hipertrofi ventrikel kiri (Doughty dan White, 2007).
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan
komplikasi terjadinya gagal jantung. Hipertensi menyebabkan gagal
jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik
dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi
terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya
akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001).
3. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan
kongenital. Kardiomiopati terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah
dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering
terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa
dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan
peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip et al., 2001;
Camn et al., 2007).
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis
kardiomiopati yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik
dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak
hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum.
Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi
ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan
tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.
Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan
komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari
jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat
diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi
yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah amiloidosis, sarcoidosis,
hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya.
4. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk
berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh
tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif (Lip et al., 2001).
5. Aritmia
Artial fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal
jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau
hipertensi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi
juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas (Camn et al., 2007).
6. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen
untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki
sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip et al.,
2001).
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam
mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif
melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium.
Selain itu,obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan
penyebab utama dari gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001; Camn et
al., 2007).
3. Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung
yang tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard,
gangguan tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter
seperti kardiomiopati. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan
kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih
menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal
ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh
cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri. Beberapa mekanisme yang
terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin- Angiotensin-Aldosteron (RAA)
dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium.
Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan cara retensi
cairan dan garam (Lily et al., 2002).
Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi
perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus, dan arkus aorta,
kemudian akibar rangsangan tersebut akan memberi sinyal aferen ke sistem
syaraf sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi
Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan
meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air
meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis
yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot
skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin.
Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron.
Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Beberapa mekanisme ini dapat
mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan
pasien dengan gejala yang asimptomatik. Mekanisme kompensasi
neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural
jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang
lebih lanjut. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan berjalan seiring
waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan
remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simtomatik
(Crawford et al., 2012).
Gambar 2.5 Proses patofisiologi gagal jantung sebagai akibat dari disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Kerusakan pada myocyte dan matriks ekstraseluler akan
menyebabkan perubahan ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan terjadi
remodeling. Perubahan ini akan menyebabkan instabilitas elektrik dan proses
sistemik sehingga mengakibatkan efek terhadap jaringan dan organ serta
kerusakan lebih parah pada jantung (Camn et al., 2007).
4. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
1. Tatalaksana non-farmakologi
a. Manajemen perawatan mandiri
b. Ketaatan pasien berobat
c. Pemantauan berat badan mandiri
d. Restriksi cairan
e. Pengurangan berat badan
f. Latihan fisik
2. Tata laksana farmakologis
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas.Tindakan preventif dan
pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian
penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk
mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid
kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (Mansjoer
et al., 2015).
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada
beberapa aspek, yaitu; 1)mengurangi beban kerja, 2)memperkuat
kontraktilitas miokard, 3) mengurangi kelebihan cairan, 4)melakukan
tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab, faktor-faktor
pencetus dan kelainan yang mendasari (Lily et al., 2002)
Menurunkan preload
- Diuretik
- Nitrat
Obat inotropik
Tidak semua CHF terjadi gangguan kontraktilitas. Obat
inotropik hanya diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan
kontraktilitas misalnya pada pemeriksaan fisis atau pada foto toraks
tampak pembesaran jantung, atau hasil ECHO menunjukkan
ejection fraction (EF) <40%.
- Digitalis (digoksin)
- β-blocker
Menurunkan after-load
- Angiotensin converting enzyme (ACE)- inhibitors
- Angiotensin Resepror Blockers (ARB)
- Calcium Channel Blockers (CCB)
Mencegah remodeling
Obat yang memiliki efek mencegah remodeling seperti
ACE-inhibitors dan ARB bermanfaat menghambat progresivitas
CHF. Namun dosis yang diberikan harus maksimal. Sebenarnya
hampir semua obat antihipertensi memiliki efek mencegah
remodeling termasuk CCB, β blockers dan diuretik.
5. Prognosis
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR
MORTALITY*
I None, asymptomatic left 5%
ventricular dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on 10 %
moderate physical
exertion
III Dyspneoea or fatigue on 10 % - 20 %
normal daily activities
IV Dyspnoea or fatigue at 40 - 50 %.
rest
D. SIROSIS HEPATIS
1. Definisi
Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang
berasal dari kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena
perubahan warna pada nodul-nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis yaitu
penyakit hepar kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada
hepar, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel
hepar disertai nodul dan merupakan stadium akhir dari penyakit hepar
kronis dan terjadinya pengerasan dari hepar. Batasan fibrosis sendiri adalah
suatu penumpukan berlebihan matriks ekstraseluler (seperti kolagen,
glikoprotein, proteoglikan) di dalam hepar. Respons fibrosis terhadap
kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar pasien
sirosis, proses fibrosis biasanya ireversibel (Sutadi, 2003; Rockey & Scott,
2006)
2. Anatomi dan Fisiologi Hepar
Asites
Penyebab utama asites adalah vasodilatasi splanchnic. Terjadi peningkatan
resistansi aliran hepatic portal karena sirosis sehingga menyebabkan
peningkatan portal hipertensi secara bertahap, terbentuknya collateral vein dan
shunting pembuluh darah ke sistemik (Ginès.P, 2004).
Setelah terjadinya portal hipertensi, terjadi vasodilatasi lokal oleh karena
terdapat peningkatan nitric oxide sehingga terjadi splanchnic arterial
vasodilatasi. Pada stadium awal terjadinya sirosis, vasodilatasi splanchnic
arterial vasodilatasi moderate dan hanya menyebabkan efek yang kecil terhadap
effective arterial blood volume, dimana dipertahankan kadar normal volume
plasma dan cardiac output (Ginès.P, 2004).
Pada stadium sirosis yang lanjut, terjadi vasodilatasi yang hebat sehingga
effective arterial blood volume menurun secara mendadak, sehingga tekanan
arterial menurun. Sebagai akibat tubuh mengkompensasi dengan
mempertahankan tekanan arterial dengan pengaktivasian hemeostasis oleh
vasokonstriksor dan antinatriuretic faktor sehingga menyebabkan retensi
natrium dan cairan (Ginès.P, 2004).
Kombinasi portal hipertensi dan vasodilatasi splanchnic arterial
menyebabkan perubahan tekanan kapiler dan permeabilitasnya yang membantu
akumulasi retensi cairan di dalam kavitas abdomen. Seterusnya dengan
berlanjutnya penyakit ini, terjadi renal disfungsi dalam mengeskresi cairan
tubuh dan terjadi vasokonstriksi renal sehingga menyebabkan dilutional
hyponatremia dan hepatorenal sindrom (Ginès.P, 2004).
Skema 3.Patofisiologi asites, hiponatremia, dan sindrom hepatorenal pada
kasus sirosis hepatis (Ginès.P, 2004)
Spider Naevi
Spider naevi biasanya terdistribusi pada daerah muka, leher, dahi, tangan
dan bagian atas tengah dada. Umumnya terjadi pada regio pembuluh darah
superior vena cava. Terjadinya vascular spiders adalah disebabkan oleh kadar
estrogen yang tinggi dan kadar estrogen yang tinggi serta substansi P yang
tinggi menyebabkan pembuluh darah membesar dan dilatasi. Selain itu, kadar
serum estradiol dan total testosterone berubah pada pasien pria dengan sirosis
dan spider naevi. Kadar serum estradiol meningkat dan kadar total testosterone
sehingga menyebabkan kadar estradiol/free testosterone ratio pada pasien pria
dengan spider naevi. Pemulihan dari spider naevi boleh terjadi apabila etiologi
dasar penyebab terjadinya sirosis hepatis disingkirkan namun, kondisi ini dapat
terjadi secara persisten (Vedamurty.M, 2008).
Hipertensi Portal
Hipertensi portal terjadi akibat resistensi vaskuler intrahepatic. Hati yang
telah sirosis hilang kemampuan fisiologis untuk menurunkan tekanan darah
yang mengalir ke hepar. Jadi dengan peningkatan aliran darah pada sinusoids
menyebabkan tekanan ini dihantar kembali ke vena portal. Namun, vena portal
kekurangan katup untuk menghalang aliran darah kembali, menyebabkan
tekanan darah yang tinggi ditransmisikan kembali ke bagian vaskuler yang lain,
sehingga menyebabkan spleenomegali, hepatomegali, portal ke sistemik
shunting, dan komplikasi lain (Tsochatzis et al, 2014).
7. Diagnosis
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit
menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi
sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan
klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri dari
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan
pemeriksaan biopsy hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis
kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini (Nurdjanah, 2009).
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena
gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi
(Nurdjanah, 2009).
1. Anamnesis
Sirosis sering merupakan silent disease, dengan kebanyakan pasien
adalah asimptomatik sehingga dekompensasi terjadi. Dokter harus
menanyakan tentang risiko yang mempengaruhi pasien sirosis. Kuantitas
dan durasi konsumsi merupakan penting dalam diagnosis awal sirosis.
Faktor risiko yang lain termasuk transmisi hepatitis B dan C (misalnya,
tempat kelahiran di daerah endemis, riwayat risiko paparan seksual,
penggunaan obat intranasal atau intravena, tindik tubuh atau tato,
kontaminasi yang tidak disengaja dengan darah atau tubuh cairan), serta
riwayat 43cleral43e dan riwayat pribadi atau keluarga penyakit autoimun
atau penyakit hepatik (Heidelbaugh JJ, dan Bruderly M, 2006).
2. Pemeriksaan Fisik
5. Biopsi Hati
Biopsi hati (Gold Standard) adalah satu-satunya metode yang pasti
untuk mengkonfirmasikan diagnosis sirosis. Hal ini juga membantu
menentukan penyebabnya, kemungkinan pengobatan, tingkat kerusakan,
dan prospek jangka panjang. Biopsi dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan, termasuk (Simon.H, 2008):
a) Biopsi hati perkutan
Pendekatan ini menggunakan jarum yang dimasukkan melalui
perut untuk mendapatkan sampel jaringan dari hati. Berbagai bentuk
jarum yang digunakan, termasuk yang menggunakan suction atau yang
memotong jaringan. Jika sirosis dicurigai, jarum yang memotong
adalah alat yang lebih baik. Pendekatan ini tidak boleh digunakan pada
pasien dengan masalah pendarahan, dan harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien dengan asites atau obesitas kronik.
b) Biopsi hati transjugular
Pendekatan ini menggunakan kateter (tabung tipis) yang
dimasukkan dalam vena jugularis pada leher dan berulir melalui vena
hepatik (yang mengarah ke hati). Sebatang jarum dilewatkan melalui
tabung, dan alat suction mengumpulkan sampel hati. Prosedur ini
berisiko tetapi dapat digunakan untuk pasien dengan asites berat.
c) Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan sayatan perut kecil di mana dokter
memasukkan tabung tipis yang berisi instrumen bedah kecil dan kamera
kecil untuk melihat permukaan hati. Ini umumnya dicadangkan untuk
menentukan tingkat kanker atau untuk asites dengan penyebab yang
tidak diketahui.
6. Pemeriksaan Histopatologi
Temuan yang dijumpai antaranya adalah (i) ekstensif fibrosis dan
nodul regeneratif, (ii) infiltrasi limfosit periportal yang menunjukkan sirosis
akibat HCV, (iii) Mallory bodies, infiltrasi leukosit polimorfonuklear, dan
steatosis yang menunjukkan sirosis akibat alkohol dan / atau nonalcoholic
steatohepatitis (NASH), (iv) keterlibatan bilier yang menunjukkan sirosis
bilier primer (PBS), (v) deposisi besi secara masif yang menunjukkan
hemokromatosis. (Bataller R dan Ginѐs P, 2006).
8. Komplikasi
1. Edema dan ascites
Ketika sirosis hati menjadi semakin parah, ginjal langsung bekerja
menahan garam dan air di dalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-
tama berakumulasi dalam jaringan dib awah kulit pergelangan-
pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau
duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau pitting edema. Edema
seringkali memburuk pada akhir hari setelah berdiri atau duduk dan
mungkin berkurang dalam semalam sebagai suatu akibat dari kehilangan
efek-efek daya berat ketika berbaring. Ketika sirosis memburuk dan lebih
banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi
dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut.
Akumulasi cairan ini disebut ascites menyebabkan pembengkakkan perut,
ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang meningkat (Chung et al,
2005; Nurdjanah, 2006).
2. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna
untuk bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut
mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan
infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya
dari usus) dibunuh atau menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan
ke hati dimana mereka dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul
didalam perut tidak mampu untuk melawan infeksi secara normal. Sebagai
tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri menemukan jalan mereka dari
usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi didalam perut dan ascites,
dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau SBP, kemungkinan
terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa
pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang
lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut,
diare, dan memburuknya ascites (Chung et al, 2005; Nurdjanah, 2006).
3. Perdarahan dari Varises Esofagus (esophageal varices)
Varises esophagus merupakan salah satu manifestasi hipertensi
porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien sirosis dengan varises
esophagus pecah menimbulkan perdarahan (Marc, 2004).
Pada sirosis hati, jaringan fibrosis menghalangi aliran darah yang
kembali ke jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena
portal (hipertensi portal).Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup
tinggi, ia menyebabkan darah mengalir di sekitar hati melalui vena vena
dengan tekanan yang lebih rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena
yang paling umum yang dilalui darah untuk melewati hati adalah vena-
vena yang melapisi bagian bawah dari esophagus dan bagian atas dari
lambung.
Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan
peningkatan tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada esofagus yang
lebih bawah dan lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk
sebagaiesophageal varicesdangastric varices; lebih tinggi tekanan portal,
lebih besar varises-varises dan lebih mungkin seorang pasien mendapat
perdarahan dari varises-varises ke dalam esophagus atau gaster.
Perdarahan dari varises-varises biasanya adalah parah/berat dan,
tanpa perawatan segera, dapat menjadi fatal. Gejala gejala dari perdarahan
varises-varises termasuk hematemesis (muntahan dapat berupa darah
merah bercampur dengan gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds"
dalam penampilannya, yang belakangan disebabkanoleh efek dari asam
pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam dan bersifat ter
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia melewati
usus (melena),danorthostatic dizzinessatau membuat pingsan (disebabkan
oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama ketika berdiri dari
suatu posisi berbaring).
Perdarahan juga mungkin terjadi dari varises-varises yang terbentuk
dimana saja di dalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini
adalah jarang. Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien
yang dirawat karena perdarahan yang secara aktif dari varises esophagus
mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous
bacterial peritonitis (Chung et al, 2005; Nurdjanah, 2006).
4. Ensefalopati hepatic
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari
pencernaan dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara
normal hadir dalam usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-
tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang mereka
lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam
tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia,dapat
mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun
ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka
dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihliangkan racunnya).
Saat terjadi sirosis, sel-sel hati tidak dapat berfungsi secara normal
karena rusak atau kehilangan hubungan normal dengan darah. Sebagai
tambahan, beberapa dari darah dalam vena portal memlewati hati melalui
vena-vena lain. Akibat dari kondisi ini, zat toksik tidak dapat dikeluarkan
oleh sel-sel hati, dan, sebagai gantinya, zat ini berakumulasi dalam darah.
Ketika zat toksik berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak
terganggu,suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Zat toksik
juga membuat otak pasien dengan sirosis sangat peka pada obat-obat yang
dimetabolisme dan dieliminasi secara normal oleh hati. Dosis-dosis dari
banyak obat-obat yang secara normal dieksresi oleh hati harus dikurangi
untuk mencegah suatu penambahan toksik pada sirosis, terutama obat-obat
penenang (sedatives) dan obat-obat tidur.
Ensefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut sampai
gangguan kesadaran dan koma4. Ensefalopati hepatic terjadi karena
kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH3 dan
sejenisnya). NH3 berasal dari pemecahan protein oleh bakteri di usus. Oleh
karena itu, peningkatan kadar NH3 dapat disebabkan oleh kelebihan
asupan protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan alkalosis. Berikut
pembagian stadium ensefalopati hepatikum :
Tabel 6. Pembagian stadium ensefalopati hepatikum
Stadium Manifestasi Klinis
0 Kesadaran normal, hanya sedikit ada penurunan daya ingat,
konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi.
1 Gangguan pola tidur
2 Letargi
3 Somnolen, disorientasi waktu dan tempat, amnesia
4 Koma, dengan atau tanpa respon terhadap rangsang nyeri.
5. Hepatorenal syndrome
Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat menyebabkan
hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius
dimana fungsi dari ginjal-ginjal berkurang. Pada sindrom hepatorenal,
terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum,
kreatinin, tanpa adanya kelainan organic ginjal. Kerusakan hati lanjut
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan
filtrasi glomerulus.
6. Hepatopulmonary syndrome
Komplikasi ini jarang terjadi. Hanya terjadi ke beberapa pasien-
pasien dengan sirosis yang berlanjut.Pasien-pasien ini dapat mengalami
kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentuyang dilepas pada
sirosis yang telah berlanjut menyebabkan paru-paru berfungsi secara
abnormal. Persoalan dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah
mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang
berhubungan denganalveoli (kantung-kantung udara) dari paru-paru.
Darah yang mengalir melalui paru-paru dilangsir sekitar alveoli dan tidak
dapat mengambil cukup oksigen dari udara didalam alveoli. Sebagai
akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama dengan pengerahan
tenaga.
7. Hypersplenism
Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan
(filter) untuk mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel
darah putih, dan platelet-platelet (partikel-partikel kecil yang penting
uktuk pembekuan darah) yang lebih tua.Darah yang mengalir dari limpa
bergabung dengan darah dalam vena portal dari usus-usus. Ketika tekanan
dalam vena portal naik pada sirosis, ia bertambah menghalangi aliran
darah dari limpa. Darah tersendat dan berakumulasi dalam limpa, dan
limpa membengkak dalam ukurannya, suatu kondisi yang dirujuk sebagai
splenomegali. Adakalanya, limpa begitu bengkaknya sehingga ia
menyebabkan sakit perut. Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar
lebih banyak dan lebih banyak sel-sel darah dan platelet-platelet hingga
jumlah-jumlah mereka dalam darah berkurang. Hypersplenism adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, dan itu
behubungan dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah (anemia),
jumlah sel darah putih yang rendah(leucopenia),dan/atau suatu jumlah
platelet yang rendah(thrombocytopenia).Anemia dapat menyebabkan
kelemahan, leukopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan
trombositopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada
perdarahan yang diperpanjang (lama).
8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)
Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko
kanker hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Gejala-gejala dan
tanda-tanda yang paling umum dari kanker hati primer/utama adalah sakit
perut dan pembengkakan perut, suatu hati yang membesar, kehilangan
berat badan, dan demam. Sebagai tambahan, kanker-kanker hati dapat
menghasilkan dan melepaskan sejumlah unsur-unsur, termasuk yang dapat
menyebabkan suatu peningkatan jumlah sel darah merah (erythrocytosis),
gula darah yang rendah (hypoglycemia), dan kalsium darah yang tinggi
(hypercalcemia) (Chung et al, 2005; Nurdjanah, 2006).
9. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan
untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi
progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
a) Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang
hepatotoksik
b) Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
c) Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
d) Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
e) Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis
f) Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi
utama. Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan
3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
g) Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan
dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-
1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,
kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam
penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
a) Asites
Tirah baring
Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa
dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki)
atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan
furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti
dengan pemberian albumin.
b) Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara
oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis
dapat diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
c) Varises Esofagus
Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta
(propanolol)
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi
d) Ensefalopati Hepatik
Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang
e) Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh
karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian
utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites,
dan restriksi cairan yang berlebihan (Chung et al, 2005; Nurdjanah,
2006).
10. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit
lain yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai
prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status
nutrisi.
Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C
berturut-turut 100%, 80%, dan 45% (Taylor, 2009; Marc, 2004).
Tabel 7. Klasifikasi Modifikasi Child-Pughh (Taylor, 2009)
2. Patofisiologi
Ginjal menerima sekitar 20% dari curah jantung dan ekstraksi
oksigen ginjal yang rendah (sekitar 10-15%), namun mereka sangat rentan
terhadap hipoksia jaringan, khususnya pada saat terjadi penyakit akut.
Beberapa tahun terakhir, yang meyakini bahwa GGA berkembang dari
penurunan seluruh perfusi ginjal yang terkait dengan syok yang sudah
dipertanyakan. Misalnya, GGA tidak selalu terjadi akibat serangan jantung
meskipun terjadi perpanjangan waktu hipotensi. Pada sepsis, yang
menggunakan sampel hewan, diketahui bahwa aliran darah ginjal bisa
menurun, meningkat atau tidak berubah, yang menunjukkan bahwa ada
faktor – faktor lain yang berperan. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
kebanyakan kasus GGA murni akibat dari berbagai hal bukan akibat dari
kerusakan individu saja. Beberapa mekanisme berkonstribusi secara
bersamaan, termasuk variasi perfusi regional dan konsumsi oksigen,
gangguan autoregulasi, distorsi peritubular dan mikrosirkulasi glomerular,
cedera sel tubular, cedera endhotel, thrombosis mikrovaskular,
arteriovenous shunting, yang menghasilkan aktivasi proses inflamasi.
GGA sekarang dianggap sebagai kondisi pro inflamasi. Beberapa mediator
pro dan anti- inflamasi serta jalur inflamasi telah teridentifikasi, yang
menjelaskan beberapa gejala klinis GGA dan mungkin bisa menjadi tujuan
target terapi di masa depan.
3. Terapi
Manajemen GGA adalah terapi supportif yang fokus pada
optimisasi cairan dan status hemodinamik, terapi yang berdasarkan
penyakit, mencegah kerusakan akibat nefrotoksin, dan terapi penggantian
ginjal (renal replacement therapy/ RRT) jika diperlukan.
Pencegahan agen nefrotoksin
Obat yang bersifat nefrotoksik sering berkontribusi terhadap
perkembangan GGA selam fase akut. Sebagai contoh, di Inggris, ACE-
inhibitos dan angiotensin II receptor blocker adalah dua obat yang sering
diberikan dan peningkatan pemberian obat – obat ini bertanggung jawab
untuk 15% peningkatan kejadian GGA. Obat – obatan AINS yang mudah
didapat dan umumnya juga terlibat. Walaupun data dasar bukti dari RCT
hilang, ini masuk akal untuk merekomendasikan bahwa selama episode
AKI, obat dengan potensi cedera nefrotoksik harus dihindari atau dosis
disesuaikan jika memungkinkan.
Pengoptimalan hemodinamik
Pengoptimalan hemodinamik menggunakan terapi cairan dan obat
vasoaktif untuk mencapai curah jantung dan tekanan perfusi yang akan
mengembalikan/mempertahankan penyaluran oksigen yang adekuat ke
jaringan termasuk ke ginjal. Tiga komponen utama untuk optimalisasi
hemodinamik:
a. Pengoptimalan pre-load yang bertujuan memaksimalkan volume
sekuncup dengan menambah volume ventrikel kiri dan volume akhir
diastolic dengan pengisian intravascular. Penggunaan tekanan vena
sentral untuk panduan ekspansi volume tidak dianjurkan.
b. Pengoptimalan after load bertujuan memastikan perfusi yang adekuat
di ginjal dan yang terpenting khususnya manajemen dari distribusi
syok, dimana vasopressor dapat meningkatkan hemodinamik ginjal.
c. Pengoptimalan kontraktilitas bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi
jika muncul syok, disamping pengoptimalan pre-load dan after load.
Obat yang biasanya digunakan adalah obat inotropik.
Tabel 2. Rangkuman pedoman untuk terapi GGA dari KDIGO.
Boleh dilakukan Tidak boleh dilakukan
Menghentikan semua obat nefrotoksik Membatasi asupan protein dengan
jika memungkinkan tujuan mencegah atau menunda
inisiasi RRT
Dalam kasus tidak adanya syok Menggunakan diuretik untuk
perdarahan, gunakan kristaloid isotonik mencegah atau menatalaksana GGA,
daripada penggunaan koloid sebagai kecuali dalam menangani kelebihan
tatalaksana awal pada peningkatan volume cairan
volume intravascular
Menggunakan vasopresor bersama Menggunakan dosis rendah dopamin,
dengan cairan pada pasien dengan syok fenoldopam, ANP, atau rIGF-1 untuk
vasomotor dengan atau beresiko GGA pencegahan atau tatalaksana GGA
Mempertimbangkan tatalaksana Menggunakan aminoglikosid ketika
berdasarkan protokol parameter alternatif non- nefrotoksik tersedia
hemodinamik dan oksigenasi pada (pengawasan ketat jika tidak dapat
pasien risiko tinggi dalam periode dihindari)
perioperatif atau pada pasien dengan
syok septik
Mempertimbangkan alternatif terhadap Menggunakan cairan oral, teofilin,
prosedur radiokontras fenoldopam, atau RRT sebagai
profilaksis CIN
Pada kasus pasien gawat, menggunakan Menggunakan formulasi konvensional
terapi insulin dengan target glukosa dari amfoterisin B (persiapan lipid
plasma 110-149 mg/dl (6.1-8.3 mmol/l) yang kurang nefrotoksik)
Mencapai asupan energi total 20-30
kkal/kg/hari
Lebih memilih penyediaan nutrisi
melalui rute enteral
Menggunakan formulasi lemak dari
amfoterisin B dibanding konvensional
Menggunakan salin 0.9% IV atau
sodium bikarbonat isotonic dan NAC
oral pada pasien dengan risiko tinggi
CIN
Melakukan RRT secara emergensi
ketika ada perubahan pada cairan,
elektrolit, dan keseimbangan asam basa
yang mengancam jiwa
Ketika mempertimbangkan RRT,
pertimbangkan adanya kondisi yang
dapat diubah dengan RRT, dan
kecenderungan tes laboratorium
daripada urea dan ambang batas
kreatinin
GGA: Gagal ginjal akut; ANP: atrial natriuretic peptide (peptide natriuretic atrial);
CIN: contrast induced nephropathy (nefropati yang diinduksi kontras); rIGF:
recombinant insulin growth factor; RRT: renal replacement therapy; NAC: N-
acetylcysteine
Terapi cairan
Jenis cairan: jenis cairan yang optimal untuk pencegahan dan tatalaksana
GGA tidak diketahui. Meskipun demikian, peningkatan bukti bahwa
koloid berbahan dasar zat tepung dapat menyebabkan atau memperburuk
GGA jika diberikan dalam volume yang besar dan sebaiknya dihindari
pada pasien gawat. Menggunakan solusio kaya klorida seperti salin 0.9%
dikaitkan dengan asidosis metabolik hiperkloremik dan peningkatan risiko
GGA. Ada beberapa bukti bahwa solusio kristaloid seperti ringer laktat,
solusio hartmann, atau plasmalit dapat memiliki manfaat lebih daripada
salin.
Volume cairan: secara klasik, pada pasien deplesi volume dengan fungsi
tubular intak, retensi natrium bersifat reversibel dengan terapi cairan dan
oliguria mengalami perbaikan. Deplesi volume yang lama berbahaya
terhadap fungsi ginjal; pemberian cairan yang melampaui fase resusitasi
pada pasien GGA bukan saja tidak efektif tetapi juga berbahaya dan
dikaitkan dengan berkurangnya kemungkinan ginjal untuk pulih dan akan
meningkatkan mortalitas. Kelebihan cairan berakibat edema jaringan,
obstruksi aliran darah kapiler dan drainase sistem limfatik, gangguan
difusi oksigen, dan gangguan interaksi antar sel. Disfungsi organ yang
sifatnya progresif bisa terjadi. Efek - efek ini untuk organ-organ berkapsul
seperti ginjal, yang tidak dapat mengakomodasi volume ekstra tanpa
peningkatan tekanan interstisial dan gangguan aliran darah ke organ.
Meskipun ketidakcukupan dan kelebihan resusitasi cairan keduanya
berbahaya pada GGA, saat ini tidak ada alat yang cukup canggih dalam
diagnosis euvolemia. Keputusan untuk menentukan kapan menghentikan
terapi cairan, terutama didasarkan pada penilaian klinis pada pasien.
Penatalaksanaan Tekanan Darah
Hipotensi dan curah jantung yang rendah merusak fungsi ginjal
tetapi target hemodinamik optimal pada pasien dengan GGA awal tidak
diketahui. Rekomendasi saat ini adalah untuk menyesuaikan target MAP
secara individual. Hal ini dilakukan untuk mencapai MAP yang lebih
tinggi pada pasien dengan hipertensi kronis dengan oliguria menetap atau
kenaikan kenaikan serum kreatinin.
Eksklusi Obstruksi
Pemeriksaan USG traktus urinarius direkomendasikan pada pasien
dengan risiko tinggi obstruksi dimana tidak ada penyebab GGA yang jelas.
Hal itu juga akan mengidentifikasi variasi penting anatomis yang ada,
seperti ginjal tunggal atau ginjal kecil pada kasus penyakit ginjal kronis.
Pencegahan Nefropati yang Diinduksi Kontras
Media kontras teriodinasi dapat menyebabkan GGA oleh beberapa
mekanisme termasuk toksisitas tubular secara langsung dan vasokonstriksi
renal. Hal ini jarang pada pasien stabil tanpa faktor risiko tetapi sering pada
pasien dengan penyakit akut atau telah ada penyakit ginjal kronis, terutama
jika prosedur yang membutuhkan volume kontras yang tinggi. Faktor
risiko lain adalah usia lanjut, diabetes dengan penyakit ginjal kronis, gagal
jantung, dan penggunaan bersama obat-obat nefrotoksik. Satu-satunya
strategi pencegahan yang terbukti efektif adalah mengoptimalkan status
volume dengan salin atau natrium bikarbonat isotonik sebelum dilakukan
prosedur yang bertujuan untuk menangani setiap komponen yang dapat
ditangani dari suatu penyakit akut (Tabel 2). Penggunaan N-asetilsistein
oral adalah suatu rekomendasi KDIGO yang lemah yang telah dikeluarkan
dari pedoman The National Institute for Health and Care Excellence UK.
Terapi Penggantian Ginjal
RRT sebaiknya dipikirkan ketika manfaat melampaui potensi
risiko, terlepas dari hasil urea spesifik dan kreatinin, namun sebelum
perkembangan emergensi uremik.RRT berkelanjutan direkomendasikan
untuk pasien yang secara hemodinamik tidak stabil atau memiliki kondisi
yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Dialisis
peritoneal adalah suatu pilihan tetapi jarang digunakan pada orang dewasa
di negara- negara maju.
4. Prognosis
Beberapa studi epidemiologi skala besar telah menunjukkan bahwa
prognosis GGA (bahkan dengan pemulihan yang bagus dari serum
kreatinin) tidak sepenuhnya jinak. Pasien yang berhasil bertahan dari GGA
berada pada peningkatan risiko mortalitas dan penyakit ginjal kronis
termasuk perkembangan ke arah gagal ginjal stadium akhir, yang mana
memiliki dampak besar terhadap harapan hidup pasien dan berpengaruh
juga terhadap biaya perawatannya. Pasien dengan diabetes, penyakit
vaskular kronis, dan penyakit ginjal kronis sangat berisiko.
A. Hipoalbuminemia
Albumin merupakan protein serum yang berfungsi untuk menjaga
tekanan onkotik koloid plasma sebesar 75-80% dan merupakan 50% dari
protein tubuh. Jika protein plasma khususnya albumin tidak dapat lagi
menjaga tekanan osmotic koloid akan terjadi ketidakseimbangan tekanan
hidrostatik yang akan menyebabkan terjadinya edema (Price & Wilson,
2005).
Albumin juga berfungsi sebagai transport berbagai macam
substansi termasuk bilirubin, asam lemak, logam, ion, hormon, dan obat-
obatan. Salah satu konsekuensi dari hipoalbuminemia adalah obat yang
seharusnya berikatan dengan protein akan berkurang, di lain pihak obat
yang tidak berikatan akan meningkat, hal ini akan meningkatkan kadar obat
dalam darah. Perubahan pada albumin juga mengganggu fungsi platelet
(Robbins, 2007).
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/di bawah nilai
normal (kadar albumin serum < 3.5 g/dL). Nilai normal albumin adalah
3.5-5 g/dL atau 300-500 gram. Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan
asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu
sintesis albumin serta protein lain oleh hati. Klasifikasi hipoalbuminemia
adalah :
a. Hipoalbuminemia ringan : 3.5-3.9 g/dL
b. Hipoalbuminemia sedang : 2.5-3.5 g/dL
c. Hipoalbuminemia berat : < 2.5 g/dL