Anda di halaman 1dari 25

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 1 TAHUN 1 BULAN DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Oleh:
Ardelia Mithakarina Winata G99172044

Periode: 04 Februari – 06 Februari 2019

Pembimbing:
dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik


Ilmu Bedah Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Presentasi kasus dengan judul :

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 1 TAHUN 1 BULAN DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Hari, tanggal : Rabu, 06 Februari 2019

Disusun oleh:
Ardelia Mithakarina Winata
G99172044

Mengetahui dan Menyetujui,

Residen Pembimbing

dr. Zico dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas pasien
Nama : An. GK
Umur : 1 tahun 1 bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. RM : 01448xxx
Alamat : Godan, Tawangharjo, Grobogan
Agama : Islam
Berat Badan : 6 kg
Tinggi Badan : 69 cm
Tanggal Masuk : 29 Januari 2019
Tanggal Periksa : 04 Februari 2019

2. Keluhan Utama
Perut membesar dan sulit BAB

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM merupakan rujukan dari RSUD
Purwodadi dengan keluhan perut membesar dan kesulitan BAB. Pasien
sudah sering mengalami kesulitan BAB sejak usia 1 bulan, BAB
terkadang 2-3 minggu sekali dengan ditambah keluhan perut semakin
lama semakin membesar. BAB keras berwarna kuning, BAB darah (-),
BAB lendir (-), muntah (-), demam (-).
Sebelumnya pasien dirawat di RSUD Purwodadi selama 10 hari,
pasien dapat BAB dan BAB tidak ada keluhan. BAK tidak ada keluhan,
tetapi perut pasien masih didapati membesar. Karena keterbatasan sarana
dan prasana pasien dibawa ke IGD RSDM. Di HMRS, pasien sadar
penuh, demam (-), muntah (-), perut tampak bulat membesar, BAK tidak
ada keluhan, BAB tidak ada keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu

3
Riwayat penyakit serupa : (+), pasien sulit BAB dan perut membesar
sejak usia 1 bulan
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : (+), pada tahun 2018 di RSUD Dr. R.
Soedjati Soemodiardjo, Purwodadi karena
keluhan serupa
5. Status Ibu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat jantung : disangkal

6. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : (+) Kakak kandung pasien
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir pada tanggal 29 Desember 2017, lahir dengan
persalinan normal di puskesmas pada umur kehamilan 39 minggu. Berat
badan lahir 3600 gram, presentasi kepala, saat lahir menangis kuat, nafas
spontan, gerak aktif. Riwayat tidak mengeluarkan mekonium > 24 jam
setelah lahir.

8. Riwayat Kehamilan dan ANC


Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal
Riwayat ANC : Ibu pasien rutin kontrol kehamilan di bidan

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, BB: 6 kg, TB: 69 cm
b. Kesadaran : Composmentis

4
c. Vital sign :
N : 120 x/menit, regular
RR : 24 x/menit
T : 36.3oC
SiO2 : 98%

2. General Survey
a. Kulit : ikterik (-), kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : mesocephal, old man face (-), ubun-ubun cekung (-)
c. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+), cekung (-/-), air mata (+/+),
d. Telinga : sekret (-/-)
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-),
darah (-/-)
f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-), tonsil
T1-T1 hiperemis (-/-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)
h. Thorak : normochest, simetris, retraksi (-/-)
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : distended (+), nyeri tekan (-), massa (-), defans
muscular (-), undulasi (-), hepar dan lien sulit
dievaluasi, turgor kulit sulit dievaluasi
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+/+)
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

5
m. Rectal toucher : TMSA (+), ampula longgar, mukosa licin, tidak
terdapat massa, feces menyemprot (+), sarung
tangan lendir darah (-)

n. Foto Klinis

6
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah (30 Januari 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.3 g/dl 10.5 – 12.9
Hematokrit 27 % 33 – 41
Leukosit 6.1 ribu/ul 5.5 – 17.0
Trombosit 271 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.70 juta/ul 4.10 – 5.30
KIMIA KLINIK
Albumin 3.0 g/dl 3.8-5.4
Glukosa Darah 80 Mg/dl 50-80
Sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium darah 135 mmol/L 129-147
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.6-6.1
Chlorida darah 102 mmol/L 98 – 106

7
2. Foto Abdomen 3 posisi (30 Januari 2019) di RSUD Dr. Moewardi

Kesimpulan:
- Dilatasi colon ascenden, transversum dan descenden
- Peningkatan udara dalam usus
- Step ladder pattern (-), hering bone appearance (-), coil spring
appearance (-)

8
Kesan:
Megacolon kongenital

D. ASSESSMENT
Megacolon kongenital

E. PLANNING
1. Masuk bangsal
2. Wash out 1x/hari
3. Infus D5 ¼ NS 600cc/24jam
4. Colon in loop
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Megacolon Kongenital (Hirschprung’s disease)


A. Definisi
Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon
kongenital adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus
neonatal (bayi berumur 0-28 hari). Penyakit Hirschsprung merupakan
penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari
sistem saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot
ini dikendalikan oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada
bayi yang lahir dengan penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel
ganglion yang berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos
dalam usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot
di bagian usus besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak
mendorong
keluar feses).
Beberapa
literatur

9
menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-segment Hirschsprung,
Kongenital aganglionosis, aganglionic Megakolon, dilatasi kolon
Kongenital, aganglionic Megakolon dan pelvirectal achalasia.

Gambar 2. Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada megakolon


kongenital

B. Epidemiologi
Megakolon kongenital mempunyai prevalensi kejadian 1,65 dari
10.000 kelahiran hidup dan perbandingan laki-laki dengan perempuan
adalah 2:1.Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan
risiko terjadinya megakolon kongenital. Penyakit ini lebih sering terjadi
diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Risiko tertinggi
terjadinya megakolon kongenital biasanya pada pasien yang mempunyai
riwayat keluarga yang sama dan pada penderita down syndrome.

C. Embriologi kolon dan rectum


Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik
bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas
kemudian melanjutkan ke arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di
esofagus dalam gestasi minggu kelima. Sel-selsaraf sampai di midgut dan
mencapai kolon distal dalam minggu kedua belas. Migrasi berlangsung

10
mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju ke
dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya
dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf
yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.
Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam
hialuronik, yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf
berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian
bergerak menuju intestine, dimulai dari membran dasar dan berakhir di
lapisan muskular.
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah,
sedangkan kolon kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal
kolon membentuk tiga buah pita yang disebut taenia yang berukuran lebih
pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk
seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut haustra (bejana). Kolon
tranversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi
dengan mesentrium.
Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan
embriologik sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium
yang lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus
sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesentrium
yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.

D. Anatomi kolon dan rectum


Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis
ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar
2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan sigmoid. Tempat

11
dimana kolon membentuk kelokan tajam, yaitu pada abdomen kanan dan
kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis.
Kolon sigmoid dimulai dari krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon
sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid
sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani
yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum
sampai kanalis ani adalah 5,9 inci.
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, tunika serosa, muskularis,
tunika submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai
gambaran-gambaran yang khas berupa lapisan otot longitudinal usus besar
tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli
yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada
usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong
kecil yang disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil
peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices epiploika. Lapisan
mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih
dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus.
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan
inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan
(mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum).
Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri
ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri
mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari
sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal).
Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika
sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi
tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria
hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum
superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena
hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan
darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke

12
vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis
antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga
peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam
vena-vena ini dan mengakibatkan hemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon
mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada pangkal arteri
mesenterika superior dan inferior.
Aliran balik pembuluh limfe melalui sisterna kili yang bermuara ke
dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra.
Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam
kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe
rektum mengikuti aliran pembuluh darah hemorroidalis superior dan
pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisiiliaka interna,
sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum mengikuti
aliran limfe inguinalis superficialis.
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali
sfingter eksternus yang diatur secara volunter. Serabut parasimpatis
berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf
pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut
simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis
melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps
dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada
pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (Meissner). Perangsangan
simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai
efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas
refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner
dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula
spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan
penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena
pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.

13
Gambar 1. Anatomi kolorektal

E. Fisiologi kolon dan rectum


Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin dan elektrolit,
ekskresi mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya
keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon,
hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara
ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah.
Oksigen dan karbondioksida didalamnya diserap di usus,
sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian
dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml
sehari. Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat
obstruksi usus, gas tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan
flatulensi.

F. Etiologi
Sel neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran
gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya mengikuti serabut-serabut
vagal yang telah ada ke kaudal. Penyakit Hirschsprung terjadi bila migrasi
sel neuroblas terhenti di suatu tempat dan tidak mencapai rektum. Sel-sel

14
neuroblas tersebut gagal bermigrasi ke dalam dinding usus dan
berkembang ke arah kraniokaudal di dalam dinding usus.
Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya penyakit
Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan
neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung. Gen lain yang
berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial
yang diturunkan dari faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan gen endothelin
-3.

Gambar 3. Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada bagian
akhir usus Pleksus Myenterik (Auerbach) dan Pleksus
Submukosal (Meissner)

G. Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner kongenital
pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus,
yang merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah
proximal dengan jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan
submucosal (Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya
fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga
saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung
masih belum diketahui.
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang
apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada
minggu ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12
kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya
gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun

15
etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun
ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau
berdifferensiasi di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal
menyebabkan usus dan komponen-komponennya membutuhkan
pertumbuhan dan perkembangan secara neuronal, seperti fibronectin,
laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor-faktor
neurotropik.
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal
(Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang
lebih kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada
segala aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan
aliran darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron
intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik
hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos,
dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui
serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan
kontraksi, dan serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.
Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk,
sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi,
baik kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem
adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem
kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos.
Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang
meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan
kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi
fungsional.

H. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik megakolon kongenital dibagi
menjadi:
1. Megakolon kongenital segmen pendek : apabila segmen aganglionik
meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang : apabila segmen aganglionik
lebih tinggi dari sigmoid (20%).

16
3. Kolon aganglionik total : apabila segmen aganglionik mengenai
seluruh kolon (5-11%).
4. Kolon aganglionik universal : apabila segmen aganglionik meliputi
seluruh usus sampai pylorus (5%)

Gambar 4. Tipe megacolon. A: Normal bowel. B: Typical sigmoid


involvement. C: Long-segment disease. D: Total colonic
aganglionosis. E: Short-segment disease.
I. Manifestasi Klinis
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka
94% dari pengamatan terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat
angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah
lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang ketika
mekonium dapat dikeluarkan segera.

17
Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat
disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah yang berwarna
hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada
kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum,
enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung yang dapat menyerang pada usia berapa saja namun
yang paling tinggi saat usia dua-empat minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia satu minggu. Gejalanya berupa diare, distensi
abdomen, feses berbau busuk, dan disertai demam.
J. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
a. Pada neonatus :
- Mekonium keluar terlambat, lebih dari 24 jam
- Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah
lahir
- Terdapat distensi abdomen
- Muntah
b. Pada anak :
- Konstipasi kronis
- Mungkin terdapat distensi abdomen
- Berat badan tidak bertambah
- Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat distensi abdomen, didapatkan
perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau
jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen
rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
kembung pada perut menghilang untuk sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi

18
Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon
kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas:
 Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;
 Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
 Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda
khas megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto
retensi barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang
membaur dengan feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan megakolon namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid.
b. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan
atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan
pleksus submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan
serabut saraf parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin
tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase dibandingkan dengan pengecatan
konvensional dengan haematoxylin eosin. Hanya saja pengecatan
immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,

19
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai
pleksus auerbach.
c. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu
pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada
penyakit yang melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya,
manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan
klinis, radiologis, dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat
ini memiliki 2 komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap
tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem
pencatat seperti poligraph atau komputer.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan
dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi
umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih
besar dibandingkan pada neonatus. Beberapa hasil manometri
anorektal yang spesifik untuk megakolon kongenital:
 Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
 Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik;
 Sampling refleks tidak berkembang;
 Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi
rektum akibat desakan feses dan tidak dijumpai relaksasi
spontan.
K. Penatalaksanaan
1. Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa
rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi.

20
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri
atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan
bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan
cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita megakolon kongenital.
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik.
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan
dikerjakan pada saat penderita masih neonatus.
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner, bagian sisa di rektum
dibalikkan keluar, bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan
keluar anus, dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai
kembali didorong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull
through Swenson. Operasi ini memerlukan waktu lama dan baru
dilakukan setelah anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-
13 kg. Banyak anak laki-laki yang impoten karena operasi ini
merusak saraf-saraf yang menuju genital, terutama yang melekat
pada prostat.
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam, ini berarti bagian yang ditinggalkan harus lebih panjang
untuk memungkinkan penjahitan, ada bagian aganglioner yang
ditinggalkan. Cara ini cukup memadai karena anak dapat defekasi
2-3 hari sekali dan tidak timbul impotensi, akan tetapi cara ini
mudah terjadi residif.
c. Metode Duhamel
Bagian aganglioner tidak dibuang, namun bagian

21
proksimalnya dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang hingga ke
bagian berdiameter normal, kemudian ditarik ke arah anal,
disambungkan tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada
sisi belakang rektum. Jadi dilakukan colorectostomy end to side,
dengan ini sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian
yang aganglioner tidak dipakai. Saraf-saraf yang melekat pada
prostat tidak terganggu, trauma operasi kecil, sehingga dapat
dilakukan pada bayi- bayi usia 8-9 bulan, bahkan 4 bulan.
d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan
Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi
anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon
proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang
telah dikupas.

Gambar 5. Macam-macam eknik pembedahan pada operasi megacolon

22
L. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi sfingter.Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus
pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena
iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-
perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang
sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa
diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis
dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi
obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami
iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan
kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke
mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal
atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang
akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding
usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah
dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi
abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
M. Prognosis
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1
kasus diantara 5400-7200 bayi lahir hidup. Angka kematian bayi dengan
penyakit Hirschprung yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan jika

23
menjalani operasi mortalitasnya sangat rendah. 30% kematian penyakit
Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka
mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi
antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur
Duhamel 6,2%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan


Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
2. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105.
3. Feldmen M, Friedman LS, Sleisenger MH. Hirschsprung’s disease:
congenital megacolon. In: Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver
Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. 7th ed. Philadelphia, Pa.:
Saunders, 2002:2131-5.

24
4. Best KE, Glinianaia SV, Bythell M, et al; Hirschsprung's disease in the North
ofEngland: prevalence,associatedanomalies, and survival. Birth Defects Res
AClin Mol Teratol. 201 2 Jun;94(6):477-80.
5. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Page 2113-2114.
6. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640.
7. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.
8. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &
Lange; 1990: 555-77.
9. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
10. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

25

Anda mungkin juga menyukai