Anda di halaman 1dari 6

Terapi Demam Tifoid Pada Anak-anak: Perbandingan Efikasi Antara Siprofloksasin

dengan Seftriakson

Dr. Amna Naveed Spesialis Pediatri,


Dr. Zeeshan Ahmed

Abstrak
Objektif: Untuk membandingkan efikasi klinis dari siprofloksasin vs seftriakson dari
proporsi anak yang menjadi afebril dalam 96 jam.
Desain penelitian: Penelitian desain acak terkontrol (randomized controlled design)
Tempat dan durasi penelitian: Departemen Pediatri, RS Holy Family, Rawalpindi dari
Maret 2010 hingga September 2010
Metodologi: 88 anak yang memenuhi kriteria klinis demam tifoid dimasukkan ke dalam
penelitian. 44 pasien diterapi dengan siprofloksasin injeksi, 44 pasien sisanya diterapi
dengan seftriakson injeksi.
Hasil: Penelitian ini memasukkan 88 pasien dengan demam yang dicurigai mengalami
demam tifoid. Rata-rata usia pasien adalah 8,3±1,94 tahun dan 41 (4,6%) adalah laki-laki.
Rata-rata berat badan adalah 24,7±6,3 kg. Hanya 15 (17%) menggunakan air masak
untuk diminum sehari-hari. 68 (77,3%) anak menjadi afebril dalam 96 jam dan 20
(22,7%) gagal menjadi afebril dalam 96 jam. Pada kelompok siprofloksasin, 25 (56,8%)
pasien menjadi afebril dalam 96 jam dan 19 (43,1%) gagal menjadi afebril dalam 96 jam.
Pada kelompok seftriakson, 43 (97,7%) pasien menjadi afebril dalam 96 jam dan 1 (2,3%)
gagal menjadi afebril dalam 96 jam. Proporsi pasien menjadi afebril dalam 96 jam lebih
tinggi secara signifikan pada kelompok seftriakson dibandingkan dengan kelompok
siprofloksasin, p=0,00.
Kesimpulan: Seftriakson lebih efektif pada anak dengan demam tifoid dalam hal lebih
besarnya proporsi anak yang menjadi afebril dalam 96 jam.
Kata kunci: Demam tifoid, Seftriakson, Efikasi obat
Pendahuluan
Demam tifoid, penyakit menular yang disebabkan bakteri Salmonella thypoid,
telah menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang signifikan sejak zaman
dahulu. Salmonellae adalah basili Gram-negatif yang menyebabkan spektrum gejala
klinis yang khas termasuk gastroenteritis, demam enterik, bakterimia, infeksi
endovascular, dan infeksi fokal seperti osteomyelitis atau abses. Demam enterik, juga
disebut dengan demam tifoid atau demam paratifoid, adalah penyakit demam sistemik
yang paling sering disebabkan oleh Salmonella typhi. Lebih jarang lagi, penyakit ini
disebabkan oleh S. paratyphi A, S. typhi B, dan S. paratyphi C. Bahkan Salmonellae
“nontifoid” dapat menyebabkan penyakit berat yang konsisten dengan demam enterik.
Komplikasi lebih sering terjadi pada orang yang tidak diterapi dan termasuk di dalamnya
adalah pendarahan dan perforasi intestinal, atau infeksi fokal seperti abses viseral. Pada
era preantibiotik, diperkirakan 15 persen pasien meninggal, dengan pasien yang sembuh
mengalami perpanjangan lama penyakit selama berminggu-minggu dan kelemahan
seringkali berlangsung berbulan-bulan. Lebih jauh lagi, diperkirakan 10 persen dari orang
yang tidak diterapi mengalami relaps, di mana 1 hingga 4 persen menjadi karier kronis
organisme.
Pakistan memiliki laju insidensi tifoid tertinggi ketiga di dunia Demam tifoid adalah
tampilan klinis yang umum ditemukan pada klinik pediatri. Di dunia barat, penyakit ini
hampir dieradikasi penuh. Namun, secara global, terdapat paling sedikit 13 hungga 17
juta kasus yang menyebabkan 600.000 kematian. Demam tifoid adalah penyebab
kematian keempat di Pakistan. Penyakit ini ditransmisikan melalui oral fekal dan
kontaminasi makanan dan air. World Health Organization mengidentifikasi tifoid sebagai
masalah kesehatan public. Insidensi peyakit ini tertinggi pada anak-anak dan dewasa
muda usia 5-19 tahun. WHO menunjukkan bahwa insidensi demam tifoid pada anak-
anak Pakistan berusia 2-5 tahun adalah 573,2 per 100.000 orang per tahun. Insidensi
serupa juga ditemukan pada anak usia sekolah dan remaja. Beban penyakit terbesar
berada pada anak usia 2-15 tahun. Maka dari itu, S. typhi merepresentasikan penyebab
bakterimia yang paling umum pada kelompok ini, dan laju tifoid tahunan (dikonfirmasi
dengan kultur darah) pada penelitian terbaru dari India, Pakistan, dan Indonesia berkisar
dari 149 hingga 573 kasus per 100.000 anak. Diagnsosis definitif dari demam tifoid
dibuat hanya dari isolasi Salmonella typhi dari darah, feses, urin, sumsum tulang, dll,
pada kondisi adanya gejala klinis yang khas. Case fatality ratio adalah 10% pada kondisi
tidak adanya terapi, dan kurang dari 1% dengan penggunaan antibiotik.
Fluorokuinolon yaitu Siprofloksasin, direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
untuk anak dan dewasa yang terinfeksi S. typhi dan paratyphi baik yang sensitif maupun
resisten terhadap pengobatan. Sefalosporin generasi ketiga yaitu Seftriakson, juga dapat
digunakan, namun penggunaan mereka terbatas untuk kasus dengan komplikasi.
Multidrug resistance (resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol)
meningkat dari 34% pada 1999 menadi 66% pada 2005. Pada penelitian prospektif di
utara India, terdapat peningkatan resistensi fluorokuinolon secara bertahap dalam 7
tahun terakhir. Tidak ada resistensi fluorokuinolon yang diamati pada 1999, di mana
pada 2005, 4,4% resistensi diamati pada sparfloksasin, 8,8% pada ofloksasin, dan
resistensi yang tinggi, 13%, pada siprofloksasin. Mengingat adanya resistensi obat pada
masyarakat, dapat dipertanyakan apabila salah satu dari obat ini memiliki perbedaan
efikasi dalam hal sensitivitas dan pola resistensi dan relaps. Selain itu, kami berencana
untuk melakukan penelitian untuk mengetahui respons klinis anak dengan demam tifoid
yang diterapi dengan siprofloksasin vs seftriakson. Maka, hasil penelitian ini dapat
memungkinkan dokter anak untuk memilih terapi lini pertama untuk demam enterik
pada keadaan yang serupa. Dengan cara ini, manajemen dalam waktu yang tepat pada
anak-anak ini secara spesifik dapat mengurangi morbiditas dan secara umum juga
mengurangi beban rumah sakit.

Metodologi
Penelitian ini dilakukan di Departemen Pediatri, RS Holy Family, Rawalpindi. Penelitian ini
dilakukan selama enam bulan dari 25 Maret 2010 sampai 24 September 2010. Sebanyak
88 pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid dimasukkan ke dalam penelitian. 44
pasien diterapi dengan siprofloksasin (kelompok Siprofloksasin), sedangkan 44 pasien
lain diterapi dengan seftriakson (kelompok Seftriakson).

Teknik Pengambilan Sampel Konsekutif (non-probability)


Anak berusia 5-12 tahun dari kedua jenis kelamin yang mengalami demam tifoid
dimasukkan ke dalam penelitian. Semua yang memiliki riwayat mengonsumsi antibiotik
oral atau IV (sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon) dalam waktu dekat dan tanpa
adanya demam pada waktu pengobatan dieksklusi dari penelitian. Penelitian ini adalah
penelitian randomized controlled trial. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian
dimasukkan ke dalam bangsal pediatri RS Holy Family dan secara acak dibagi ke dalam
dua kelompok, A dan B, berdasarkan nomor acak. Kelompok A diberikan injeksi
Siprofloksasin 10 mg/kg/IV dua kali sehari, sedangkan grup B diberikan injeksi
Seftriakson 70 mg/kg/IV satu kali sehari selama 7 hari. Kedua kelompok diamati untuk
durasi menjadi afebril (96 jam). Penelitian selama perawatan di rumah sakit
menggunakan tifidot (antibody IgM) dari laboratorium yang didesain dengan peralatan
standar. Tetapi, hasil penelitian diverifikasi oleh ahli patologis. Analisis data
menggunakan SPSS (V10). Rata-rata dan standar deviasi dihitung dengan variabel
kuantitatif yaitu usia dan durasi pasien menjadi afebril. Frekuensi dan persentase
dihitung dengan variabel kualitatif yaitu jenis kelamin dan pasien menjadi afebril dalam
96 jam. Uji chi-square digunakan untuk membandingkan efikasi (afebril dalam 96 jam)
dari kedua obat. Nilai p<0,05 dianggap signifikan.

Hasil
Penelitian ini mengikutsertakan 88 pasien dengan penyakit febris yang secara klinis
dicurigai mengalami demam tifoid. Secara klinis, pasien mengalami demam >37 oC
disertai dengan adanya minimal satu atau lebih tanda dan gejala berikut: nyeri kepala
persisten, nyeri atau rasa tidak nyaman di perut, adanya splenomegali/hepatomegali,
bercak seperti bunga mawar (rose spots) pada kulit, muntah, dan tanpa bukti adanya
infeksi kandung kemih atau meningeal. Seluruh subjek penelitian berusia <12 tahun.
Rentang usia subjek adalah 5 hingga 12 tahun dengan rata-rata usia 8,3±1,94 tahun. 41
(46,6%) adalah laki-laki dan 47 (53,4%) adalah perempuan. Berat badan anak-anak
berkisar dari 14 hingga 41 kg dengan rata-rata berat badan 24,7±6,3 kg. Lebih jauh lagi,
15 (17%) menggunakan air masak untuk diminum sehari-hari, sedangkan 73 (83%)
menggunakan air mentah untuk diminum sehari-hari.
Gambar 1. Distribusi Usia Kelompok Penelitian

Gambar 2. Distribusi Berat Badan Kelompok Penelitian

Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Kelompok Penelitian


Jenis Kelamin Siprofloksasin Seftriakson
Laki-laki 24 (54,5%) 17 (38,6%)
Perempuan 20 (45,5%) 27 (61,4%)

46,6% 53,4%
Gambar 3. Distribusi Jenis Kelamin Kelompok Penelitian

Gambar 4. Penggunaan Air Masak dan Tidak Masak

Anda mungkin juga menyukai