Anda di halaman 1dari 24

A review of child stunting determinants in Indonesia

Sebuah review dari determinan anak stunting di Indonesia

Abstrak

Penurunan kejadian stunting anak merupakan tujuan utama dari 6 tujuan


dalam Global Nutrition Target untuk 2025 dan indikator dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan kedua Zero Hunger. Prevalensi anak stunting di Indonesia tetap tinggi
selama dekade terakhir, dan di tingkat nasional sekitar 37%. Tidak jelas apakah saat ini
penurunan kejadian anak stunting sejajar dengan bukti ilmiah di Indonesia. Kami
menggunakan Kerangka Konseptual Organisasi Kesehatan Dunia tentang stunting
pada anak untuk meninjau literatur yang tersedia dan identifikasi apa yang telah
dipelajari dan dapat disimpulkan penentu stunting anak di Indonesia serta di mana
kesenjangan data tetap ada. Bukti yang konsisten menunjukkan menyusui non-
eksklusif selama 6 bulan pertama, rendah status sosio-ekonomi rumah tangga,
kelahiran prematur, panjang lahir pendek, dan rendah tinggi dan pendidikan ibu adalah
faktor penentu anak stunting yang sangat penting di Indonesia. Anak-anak dari rumah
tangga dengan kakus yang tidak baik dan air minum yang tidak terawat juga
meningkatkan risiko. Masyarakat dan faktor sosial - khususnya, akses yang buruk ke
perawatan kesehatan dan tinggal di daerah pedesaan - telah berulang kali dikaitkan
dengan kejadian stunting pada anak. Studi yang dipublikasikan kurang tentang
bagaimana pendidikan; masyarakat dan budaya; sistem pertanian dan pangan; dan air,
sanitasi, dan lingkungan berkontribusi pada kejadian stunting pada anak. Sintesis
komprehensif dari bukti yang tersedia ini pada determinan anak stunting di Indonesia
menguraikan siapa yang paling rentan terhadap kejadian stunting, intervensi mana yang
paling berhasil, dan penelitian baru apa diperlukan untuk mengisi kesenjangan
pengetahuan.

KATA KUNCI
Stunting pada anak, kerangka kerja konseptual, determinan, tinggi sesuai usia,
Indonesia, pertumbuhan linear
I. PENDAHULUAN
Setelah lebih dari beberapa dekade, akhirnya terdapat sedikit perubahan pada
prevalensi nasional kejadian stunting pada anak di Indonesia , dimana terdapat
sekitar 37% (National Institute if Research and Development (NHRD), Ministry
of Health (MOH), 2013; NHRD, MOH,2009). Terdapat disparitas yang besar
secara subnasional (Gambar 1), berdasarkan provinsi dari 26% di Kepulauan Riau
sampai 52% di Nusa Tenggara TImur (NTT) (NHRD,MOH,2013). Indikasi variasi
paparan pada populasi anak stunting penting untuk ditarget dan intervensi
menyesuaikan pada yang paling rentan. Berikut merupakan potensi penyebab
stunting di Indonesia, termasuk faktor pangkal seperti status nutrisi ibu, praktik
menyusui, praktik pemberian asupan pendamping, dan paparan infeksi yang juga
berhubungan dengan permasalahan hulu seperti pendidikan, sistem makanan,
penyedia kesehatan, dan infrastruktur sanitasi air. Tujuan artikel ini adalah untuk
meninjau penelitian terbaru untuk menentukan apa saja yang telah dipelajari dan
dapat disimpulkan mengenai penyebab stunting di Indonesia. Kami menggunakan
kerangka stunting dari WHO (Stewart et al, 2013) untuk mengatur penelitian
dengan outcome anak stunting dibawah usia 5 tahun atau pertumbuhan linear ke
dalam penentuan kategori kelayakan dan jarak pengenalan pengetahuan (Gambar
2).
II. METODE
Kerangka stunting dari WHO mengkategorikan stunting di bawah elemen
dan subelemen luas : rumah tangga dan faktor keluarga (faktor maternal dan
lingkungan rumah), tidak mencukupinya makanan pendamping ( kualitas makanan
rendah, praktik yang kurang memadai, dan keamanan makanan dan air), menyusui,
dan infeksi. Kategori diatas berkaitan erat dengan faktor elemen dasar, diikuti
dengan faktor subelemen lain berupa : politik ekonomi; pelayanan kesehatan;
pendidikan; sosial budaya; agrikultur dan sistem pangan; dan air, sanitasi
lingkungan. Karena faktor penyebab dan faktor secara kontekstual berdasarkan
data global, maka kami melakukan tinjauan literatur untuk menentukan faktor
subelemen yang telah dilakukan di Indonesia. Faktor-faktor penentu yang tidak
termasuk dalam kerangka acuan akan ditambahkan kepada subelemen yang paling
relevan. Kami menyajikan hasil dalam bentuk ringkasan naratif, umumnya
menggunakan tinjauan sistematis.
Untuk mengidentifikasi faktor penentu stunting pada anak di Indonesia,
kami melakukan pencarian kata kunci di PubMed, Pubmed Central (PMC), dan
web ilmiah. Untuk Pubmed dan PMC kamu menggunakan istilah MeSH :
(“growth disorders”[MeSH Terms]) OR (“growth”[All Fields]) AND
(“disorders”[All Fields]) OR (“growth disorders”[All Fields]) OR
(“stunting”[All Fields]) AND.
(“Indonesia”[MeSH Terms]) OR (“Indonesia”[All Fields]). Untuk web
ilmiah, kami menggunakan kata kunci “stunting” dan “Indonesia”. Kami
membatasi pencarian hanya untuk publikasi setelah tahun 2000 untuk menjamin
adanya relevansi dengan kondisi ekonomi dan sosial politik saat ini. Kami
memperoleh hasil dari PubMed, 1624 dari PMC, dan 69 dari Web of Science
kemudian kami memilih 29 studi yang termasuk dalam kriteria inklusi/eksklusi
(Gambar 3).
1. Tempat penelitian : penelitian dilakukan di Indonesia pada berbagai level dan
berbagai negara dimana Indonesia termasuk di dalamnya-kecuali untuk
analisis global dan penelitian dimana fokus di dalamnya tidak relevan untuk
Indonesia.
2. Desain : Randomized Controlled Trials (RCT’s) dan studi observasional
3. Hasil : stunting atau pertumbuhan linear pada usia antara 0-59 bulan
4. Relevansi : penelitian dipublikasikaan dalam Bahasa Inggris dan dialamatkan
pada faktor yang sesuai dengan kerangka WHO
Untuk menggambarkan kekuatan hubungan faktor penentu dan
stunting. Kami melaporkan Relative Risk (RR), Adjusted Odds Ratio (AOR), atau
Unadjusted Odds Ratio (UOR). RR hanya tersedia pada desain studi kohort/ studi
kontrol. Studi observasional memasukkan penyesuaian untuk variabel berbeda
bergantung pada data yang tersedia dan metode statistik yang digunakan oleh
periset dalam analisis multivariat. Kami melaporkan perbedaan makna
pertumbuhan linear yang dapat digunakan. Asosiasi statistik dilaporkan bermakna
signifikan setidaknya mepunyai nilai p kurang atau sama dengan 0,05. Sembilan
puluh lima persen Confident Interval (CI) dilaporkan saat tersedia. Semua
penelitian menggunakan acuan perkembangan anak menurut WHO (2006) kecuali
yang menggunakan the National Center of Health Statistic (NCHS) berdasarkan
populasi: Barber & Gertler, 2009; Bardosono, Sastroamidjojo, & Lukito, 2007;
Berger, de Pee, Bloem, Halati, & Semba, 2007; Best et al., 2008; Fahmida,
Rumawas, Utomo, Patmonodewo, & Schultink, 2007; Paknawin‐Mock, Jarvis,
Jahari, Husaini, & Pollitt, 2000; Semba, de Pee, et al., 2007; Semba, Kalm et al.,
2007

III. HASIL
3.1 Faktor lingkungan rumah dan keluarga
Dalam elemen ini, kerangka WHO mencakup sub-elemen faktor maternal
dan lingkungan rumah. Terdapat 8 faktor maternal yang telah teridentifikasi: gizi
buruk selama prakonsepsi, kehamilan, dan laktasi; perawakan pendek ibu; infeksi;
kehamilan remaja; kesehatan mental; restriksi pertumbuhan intrauterin (IUGR)
dan kelahiran prematur; jarak kelahiran pendek; dan hipertensi. Dari faktor-faktor
tersebut, gizi buruk selama prakonsepsi, kehamilan, dan menyusui; ibu perawakan
pendek; IUGR dan kelahiran prematur; dan kehamilan remaja telah terbukti
berkaitan dengan stunting pada anak di Indonesia. Hanya dua penelitian di
Indonesia yang telah menemukan hubungan sederhana antara ibu dengan berat
badan kurang dan stunting pada anak (Rachmi, Agho, Li,& Baur, 2016; Sari et al.,
2010). Namun, beberapa penelitian di Indonesia telah menemukan hubungan
sedang hingga kuat antara ibu perawakan pendek dan stunting pada anak. Sebuah
analisis cross-sectional oleh Sistem Pengawasan Gizi Indonesia (NSS; 2000–
2003), yang mencakup sembilan pedesaan, menemukan bahwa rumah tangga
dengan ibu<145 cm berhubungan dengan AOR 2,32 (95% CI [2,25,2.40]) pada
beban ganda ibu dan anak - didefinisikan sebagai rumah tangga dengan anak yang
stunted (6–59 bulan) dan ibu dengan berat badan lebih — dan ibu antara 145,0 dan
149,9 cm AOR 1,63 (95% CI[1,59, 1,68]) bila dibandingkan dengan ibu ≥150 cm
(Oddo et al.,2012). Semba, de Pee, Sun, dkk. (2008) juga menganalisis data dari
NSS (2000–2003) dan menemukan bahwa perawakan ibu yang lebih tinggi
berkaitan dengan berkurangnya stunting pada anak-anak usia 0-59 bulan (AOR
0,917, 95% CI [0,915, 0,919]), sedangkan Semba et al. (2011), dengan
menggunakan data yang sama, menemukan hubungan antara perawakan ibu yang
lebih tinggi dan pengurangan kejadian stunting pada anak-anak usia 6-59 bulan di
komunitas pedesaan (UOR 0,902, 95% CI [0,900, 0,904]) dan komunitas
perkotaan miskin (UOR per cm 0,898, 95% CI [0,894, 0,901]). Rachmi et al.
(2016b) melakukan analisis sekunder pada cross sectional berulang Indonesian
Family Life Survey (IFLS; 1993, 1997,2000, dan 2007), yang mencakup 13
provinsi, dan menemukan AOR dari stunting pada anak-anak usia 24-59 bulan dari
2,21 (95% CI [1,76, 2,78]) dengan ibu dengan Z-skor TB/U (HAZ) <−2 dari
standar referensi pertumbuhan WHO untuk usia 19 tahun dibandingkan dengan
ibu dengan tinggi normal. Akhirnya, longitudinal RCT dengan data yang
dikumpulkan di sembilan desa di Indonesia, diketahui bahwa perawakan ibu yang
lebih tinggi sedikit meningkatkan panjang dan HAZ pada bayi usia 0-12 bulan
(Schmidt et al., 2002).
Tiga penelitian cross-sectional menunjukkan hubungan yang moderat
antara usia ibu yang lebih muda dan stunting pada anak (Best et al., 2008 ;Semba
et al., 2011; Semba, Kalm, et al., 2007). Dalam penelitian ini, peluang wanita usia
≤24 tahun memiliki anak stunted berada di antara 1,09 dan 1,23 lebih besar
dibanding wanita usia ≥33 tahun. Sari et al. (2010) menemukan hubungan yang
berlawanan tetapi tidak melaporkan kekuatan dari hubungan tersebut. Hasil dari
Oddo et al. (2012) menunjukkan bahwa beban ganda ibu dan anak lebih mungkin
terjadi pada wanita yang lebih tua daripada wanita yang lebih muda, tetapi ini
mungkin disebabkan karena indeks massa tubuh yang lebih besar pada wanita yang
lebih tua, bukan prevalensi anak stunting yang lebih besar. IUGR dan kelahiran
prematur berkaitan erat dengan stunting pada anak di Indonesia. Dalam sebuah
analisis sekunder dari data yang dikumpulkan antara tahun 1995 dan 1999 dalam
sebuah RCT di daerah pedesaan Indonesia, kelahiran prematur dikaitkan dengan
RR 7,11 (95% CI [2,07, 24,48]) dari stunting pada anak usia 24 bulan
(Prawirohartono, Nurdiati, & Hakimi, 2016). Rachmi dkk. (2016b) menemukan
bahwa anak-anak usia 24-59 bulan memiliki kecenderungan lebih kecil untuk
menjadi stunted jika saat lahir mereka memiliki berat antara 2,5 dan 3,9 kg (AOR
0,62, 95% CI [0,39, 0,98]) atau ≥4 kg (AOR 0,49, 95% CI [0,28,0,87]),
dibandingkan dengan anak-anak dengan berat <2,5 kg di IFLS. Schmidt dkk.
(2002) menunjukkan bahwa berat badan neonatus, terutama panjang neonatus,
adalah prediktor negatif terkuat dari HAZ dan prediktor positif pertumbuhan linear
pada bayi usia 0-12 bulan. Akhirnya, Semba, de Pee, Sun, dkk. (2008) menemukan
penurunan risiko stunting pada anak-anak usia 0-59 bulan dengan NSS dengan
berat lahir yang lebih besar (AOR per 100 g0,935, 95% CI [0,933, 0,937]).
Lingkungan rumah sub-elemen terdiri dari stimulasi dan aktivitas anak yang
tidak memadai, praktik perawatan yang buruk, sanitasi yang tidak memadai dan
pasokan air, kerawanan pangan, alokasi makanan di lingkungan keluarga yang
tidak sesuai,dan pendidikan pengasuh yang rendah. Penelitian di Indonesia telah
menemukan bahwa stunting pada anak dikaitkan dengan praktik perawatan yang
buruk, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, kerawanan pangan, dan
pendidikan pengasuh yang rendah. Determinan tambahan yang tidak secara khusus
dicantumkan di bawah lingkungan rumah diketahui berhubungan dengan stunting
pada anak dalam literatur di Indonesia: indikator kekayaan rumah tangga, ayah dan
ibu merokok, perawakan pendek ayah, dan rumah tangga yang padat.
Hanya terdapat satu penelitian cross-sectional yang melaporkan hubungan
antara praktik pengasuhan anak yang buruk dan stunting pada anak-anak miskin
perkotaan usia 6–59 bulan, namun penelitian tersebut tidak mengungkapkan
kekuatan hubungan (Bardosono et al., 2007). Studi yang sama juga menemukan
sebuah hubungan antara sanitasi lingkungan rumah tangga yang buruk (fasilitas
jamban yang tidak memadai) dan stunting pada anak-anak pedesaan usia 6-59
bulan (Bardosono et al., 2007). Demikian pula, Semba et al. (2011) mengamati
bahwa anak-anak usia 6-59 bulan dalam rumah tangga dengan jamban yang
memadai cenderung tidak menjadi stunted di komunitas pedesaan (UOR 0,81,
95% CI[0,79, 0,84]) dan daerah kumuh perkotaan (UOR 0,85, 95% CI [0,81, 0,89])
dibandingkan dengan rumah tangga dengan jamban yang tidak memadai. Dalam
penelitian terbaru, pembelian air minum murah — yang dianggap tidak diolah —
terkait dengan peningkatan kemungkinan stunting pada anak-anak usia 0-59 bulan
pada daerah kumuh perkotaan (UOR 1,32, 95% CI [1,20, 1,45]; Semba et al.,
2009). Selain itu, Torlesse, Cronin, Sebayang, dan Nandy (2016) menganalisis
sebuah survei cross-sectional dan menunjukkan bahwa anak-anak usia 0-23 bulan
yang hidup dalam rumah tangga dengan air minum yang tidak diolah memiliki
peluang yang jauh lebih tinggi mengalami stunting jika rumah juga menggunakan
jamban yang tidak memadai (AOR3,47, 95% CI [1,73, 7,28]). Kerawanan pangan
dikaitkan dengan stunting pada anak dalam suatu studi cross-sectional, yang
menemukan kemungkinan stunting lebih rendah (AOR 0,70, 95% CI [0,50, 0,99])
pada anak-anak usia 0-23 bulan di rumah tangga yang makan lebih dari dua kali
sehari (Ramli et al., 2009).
Pendidikan pengasuh yang rendah, terutama pendidikan ibu,
berhubungan erat dengan stunting pada anak dalam berbagai penelitian.
Bardosonoet al. (2007) juga mengamati bahwa pengetahuan nutrisi ibu yang tidak
sesuai dan pendidikan paternal yang rendah terkait dengan stunting pada anak
miskin perkotaan usia 6–59 bulan antara tahun 1999 dan 2001 — segera menyusul
krisis ekonomi tahun 1999. Empat studi menemukan sebuah hubungan antara
pendidikan ibu dan anak pendek tetapi tidak melaporkan atau memasukkan
pendidikan ayah dalam analisis mereka (Bergeret al., 2007; Fernald, Kariger,
Hidrobo, & Gertler, 2012; Oddo et al.,2012; Schmidt et al., 2002). Tiga penelitian
melaporkan sebuah hubungan antara pendidikan ayah dan ibu dan anak pendek
tetapi tidak menyebutkan hubungan mana yang lebih kuat (Sari et al., 2010; Semba
et al., 2011; Semba, Kalm, et al., 2007). Tiga penelitian menemukan hubungan
antara pendidikan ayah dan stunting pada anak, tetapi hubungan antara pendidikan
ibu dan stunting pada anak (Best et al., 2008; Rachmi dkk., 2016b; Semba, de Pee,
Sun, dkk.,2008). Secara umum, kemungkinan anak stunting lebih tinggi bila
tingkat pendidikan orang tua, meskipun tidak dengan suara bulat, dan
kemungkinannya pengerdilan biasanya sekitar dua kali lebih tinggi untuk anak-
anak dari orang tua dengan pendidikan terendah dibandingkan dengan yang
tertinggi.
Tidak mengherankan, daya beli yang tidak mencukupi (Bardosono et
al.,2007) dan indikator kekayaan rumah tangga lainnya sangat terkait dengan anak
stunting dalam beberapa penelitian cross-sectional di seluruh Indonesia (Best et
al., 2008; Fernald et al., 2012; Ramli et al., 2009; Sari et al., 2010; Semba et al.,
2011; Semba, Kalm, et al., 2007;Torlesse et al., 2016). Sebagai contoh, Ramli dkk.
(2009) menemukan bahwa rumah tangga dengan ayah yang menganggur berkaitan
erat dengan peningkatan kemungkinan stunting yang berat pada anak-anak usia 0-
59 bulan (AOR2,04, 95% CI [1,17, 3,53]). Selain itu, dalam analisis yang lebih
baru,anak-anak usia 0-23 bulan dari rumah tangga di kuintil kekayaan terendah
dibandingkan dengan yang tertinggi memiliki AOR stunting .30(95% CI [1,43,
3,68]; Torlesse et al., 2016). Contoh lain dari pengeluaran rumah tangga untuk
makanan yang kaya gizi atau rendah gizi yang lebih relevan dengan kategori
makanan pendamping — didiskusikan secara lebih rinci pada Bagian 3.2.
Rachmi dkk. (2016b) menemukan hubungan yang kuat antara ayah
berperawakan pendek dengan stunting pada anak-anak usia 24-59 bulan (AOR
1.91, 95% CI [1,51, 2,41]). Selain itu, tiga penelitian menunjukkan hubungan
moderat antara rumah tangga yang padat dan stunting padan anak (Oddo et al.,
2012; Ramli et al., 2009; Semba et al., 2011), sedangkan banyak yang lain
menunjukkan hubungan yang dapat diabaikan (Best et al., 2008; Sari et al., 2010;
Semba, Kalm, et al., 2007; Semba, de Pee, Sun et al., 2008). Selanjutnya,
ayah dan ibu merokok terkait dengan stunting pada anak-anak usia 0-59 bulan
hanya di daerah pedesaan dalam satu studi (Best et al.,2008) dan di daerah kumuh
perkotaan dan pedesaan di daerah lain (Semba, Kalm, et al., 2007) —AOR antara
1,10 dan 1,17 tergantung pada model yang digunakan. Demikian pula, merokok
hanya dari pihak ayah sedikit dikaitkan dengan stunting pada anak-anak miskin
dan pedesaan perkotaan usia 0-59 bulan dalam satu belajar (Sari et al., 2010) dan
hanya anak-anak pedesaan usia 6-59 bulan (UOR 1.08, 95% CI [1.05, 1.11];
Semba et al., 2011). Faktor ibu tidak dinilai untuk hubungan dengan stunting pada
anak atau pertumbuhan linear dalam literatur di Indonesia termasuk infeksi,
kesehatan mental, jarak kelahiran pendek, dan hipertensi. Determinan lingkungan
rumah yang tidak dinilai untuk hubungan dengan anak stunting atau pertumbuhan
linear mencakup stimulasi dan aktivitas anak yang tidak memadaialokasi makanan
intrahousehold yang tidak pantas.

3.2 Makanan pendamping yang tidak adekuat


Elemen ini meliputi kualitas makanan yang buruk, kemampuan pemberian
makan yang tidak adekuat dan keamanan air. Subelemen makanan berkualitas
rendah meliputi kualitas mikronutrien yang buruk, keragaman diet rendah dan
asupan makanan bersumber hewani, konten antinutrient dan makanan pendamping
rendah energi. Subelemen pemberian makan yang tidak adekuat meliputi makan
yang tidak sering, makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi
makanan tipis, kuantitas pemberian makan kurang, dan pemberian makan yang
tidak responsif. Subelemen keamanan makanan dan air meliputi makanan dan air
yang terkontaminasi, praktik kebersihan yang buruk, dan penyimpanan yang tidak
aman dan persiapan makanan. Penelitian tentang makanan pendamping di
Indonesia telah difokuskan hampir secara eksklusif pada makanan berkualitas
buruk (termasuk suplementasi dan intervensi fortifikasi), kecuali satu studi tentang
air yang terkontaminasi dan satu studi yang jelas ditujukan untuk makan yang
jarang. Meskipun dampak probiotik pada pertumbuhan linear tidak secara khusus
dibahas dalam kerangka WHO, Agustina et al. (2013) menemukan bahwa
probiotik Lactobacillus reuteri/DSM 17.938 sederhana meningkat dengan
kecepatan tinggi dibandingkan dengan control (0.03 cm/bulan, 95% CL [0.01,
0.05] pada anak-anak usia 1-6 tahun yang hidup di komunitas perkotaan kumuh di
Jakarta, Indonesia.
Beberapa penelitian menunjukkan kualitas mikronutrien dari makanan
pendamping dalam beberapa hal, meskipun kebanyakan tidak langsung menilai
asupan makanan dari makanan pendamping. Sari et al. (2010) menemukan bahwa
rumah tangga pada kuintil tertinggi dalam pengeluaran makanan bersumber
hewani dikaitkan dengan kemungkinan penurunan stunting pada anak-anak
perkotaan kumuh (AOR 0.87, 95% CI [0.85, 0.90]) dan anak-anak pedesaan (AOR
0.78, 95% CI [0.74, 0.81]) 0-59 bulan, dibandingan dengan rumah tangga pada
kuintil terendah (Sari et al., 2010). Rumah tangga pada kuintil tertinggi dalam
pengeluaran makan bersumber nabati berhubungan dengan kemungkinan
penurunan stunting pada anak perdesaan 0-59 bulan (AOR 0.86, 95% [0.84, 0.88])
tapi tidak pada anak perkotaan kumuh, dibandingan dengan rumah tangga pada
kuintil terendah (Sari et al., 2010). Selain itu, anak-anak 0-59 bulan dari rumah
tangga pada kuintil tertinggi dalam pengeluaran makanan berbiji di daerah
perdesaan memiliki AOR stunting sebesar 1.21 (95% CI [1.18, 1.25]) dan di daerah
perkotaan kumuh AOR stunting sebesar 1.09 (95% CI [1.09, 1.13]), dibandingkan
dengan rumah tangga di kuintil terendah (Sari et al., 2010). Demikian pula, Semba
et al. (2011) melaporkan kemungkinan penurunan stunting dengan pengeluaran
makanan bersumber hewani dalam rumah tangga lebih tinggi pada anak-anak
perdesaan (UOR 0.87, 95% CI [0.82, 0.92]) dan anak-anak perkotaan kumuh
(UOR 0.78, 95% CI [0.72, 0.85]) dan kemungkinan penurunan stunting dengan
pengeluaran makanan bersumber nabati dalam rumah tangga lebih tinggi pada
anak-anak perdesaan (UOR 0.79, 95% CI [0.74, 0.84]) dan anak-anak perkotaan
kumuh (UOR 0.86, 95% CI [0.79, 0.94]) 6-9 bulan. Dalam penelitian terbaru,
rumah tangga tanpa pemberian makan dengan usia yang tepat, dimana mencakup
diet minimum yang dapat diterima dalam keragaman dan frekuensi dikatikan
dengan peningkatan kemungkinan stunting pada anak usia 0-23 bulan (UOR 1.39,
95% CI [1.09, 1.77]); Torlesse et al., 2016).
Semba et al. (2011) menemukan bahwa asupan beberapa mikronutrien
fortifikasi susu berhubungan dengan penurunan kemungkinan stunting pada anak
usia 6-59 bulan di daerah perdesaan (UOR 0.87, 95% CI [0.85, 0.90]) dan area
perkotaan (UOR 0.80, 95% CI [0.76, 0.85]), sedangkan asupan beberapa
mikronutrien fortifikasi mie berhubungan dengan sedikit penurunan kemungkinan
stunting di daerah perdesaan (UOR 0.95, 95% CI [0.91, 0.99]). Non-RCT terbaru
di perdesaan Indonesia menunjukkan bahwa konsumsi suplemen bahan dasar
lemak dalam jumlah sedikit, dimana menyediakan mikronutrien dan
makronutrien-lebih dari 6 bulan banyak mengurangi insiden stunting (RR 0.35)
pada bayi usia 6-12 bulan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Muslihah,
Khomsan, Briawan, & Riyadi, 2016). Aitchison, Durin, Beckett, dan Pollitt (2000)
melakukan RCT dan menemukan bahwa suplemen dengan energi (~280 kkal) dan
besi (12mg) hanya sedikit meningkatkan panjang pada anak-anak 12 bulan dan 18
bulan setelah 6 bulan intervensi. Sebuah analisis tentang program pemberian
makanan tambahan yang terjadi setelah krisis keuangan 1997-1998 menemukan
bahwa anak-anak usia 12-24 bulan yang terlibat dalam program setidaknya 12
bulan selama 2 tahun mengalami penurunan stunting sebesar 7% dan penurunan
stunting berat sebesar 15% dibandingkan dengan kelompok control (Giles &
Satriawan, 2015). Terakhir, konsumsi buah dan biskuit sedikit meningkat panjang
dan HAZ pada bayi 0-12 bulan pada sebuah RCT oleh Schmidt et al. (2002).
Sebuah penelitian RCT dalam empat lokasi di Asia Tenggara, dua
diantaranya berada di Indonesia, menemukan bahwa suplementasi seng dan bukan
suplementasi besi yang diberikan kepada anak-anak 4-6 bulan selama 6 bulan
mengakibatkan peningkatan HAZ 0.17 cm hanya pada bayi anemia (Dijkhuizen et
al., 2008). Sebaliknya, Fahmida et al. (2007) melakukan RCT double-blind dan
menemukan bahwa diantara awalnya anak-anak usia 3-6 bulan yang menderita
stunting, 6 bulan suplementasi dengan besi + seng atau besi + seng + vitamin A
menghasilkan peningkatan panjang 1 cm dibandingkan dengan placebo dan hanya
pemberian suplementasi seng. Suplementasi vitamin A dosis tinggi berhubungan
dengan peningkatan pertumbuhan linear pada anak-anak usia prasekolah dalam
dua studi, khususnya diantara mereka yang retinol serumnya sangat rendah (Hadi
et al, 2000; Semba et al, 2011). Secara khusus, sebuah RCT oleh Hadi et al. (2000)
menemukan bahwa anak-anak usia 6-48 bulan dengan konsentrasi serum retinol
<35 μmol/L yang diberikan suplemen vitamin A dosis tinggi setiap 4 bulan
memiliki peningkatan tinggi 0.39 cm / 4 bulan (95% CI [0.24, 0.53]) lebih besar
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Dalam sebuah studi cross-sectional,
penerimaan suplementasi vitamin A dalam 6 bulan sebelumnya yang sederhana
dikaitkan dengan kemungkinan berkurangnya stunting pada anak-anak perdesaan
usia 6-59 bulan (UOR 0.96, 95% CI [0.93, 0.99]); Semba et al, 2011.). Penelitian
yang serupa mengamati hubungan sedikit lebih kuat antara rumah tangga yang
menggunakan garam beryodium dan anak stunting di daerah perdesaan (UOR
0.89, 95% CI [0.87, 0.92]) dan daerah kumuh perkotaan (UOR 0.94, 95% CI [0.90,
0.98]); Semba al., 2011). Akhirnya, Semba, de Pee, Hess, et al. (2008) menemukan
bhawa rumah tangga dengan garam cukup beryodium secara signifikan berikatan
dengan pravelensi stunting yang sedikit lebih rendah pada anak usia 0-59 bulan –
2,1% di daerah kumuh perkotaan dan 5,2% di daerah pedesaan.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pembelian air minum yang murah
cukup berhubungan dengan kemungkinan peningkatan stunting pada anak-anak
usia 0-59 bulan di daerah kumuh perkotaan (Semba et al., 2009). Praktik
pemberian makan yang tidak adekuat tidak dinilai berdasarkan hubungan dengan
anak stunting atau pertumbuhan linear di Indonesia meliputi pemberian makan
yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi makanan tipis, kuantitas
pemberian makan kurang, dan pemberian makan yang tidak responsif. Faktor
penentu makanan dan keamanan air tidak dinilai untuk hubungan dengan anak
stunting atau pertumbuhan linear meliputi makanan yang terkontaminasi, praktik
kebersihan yang buruk, dan penyimpanan yang tidak aman dan persiapan
makanan.
3.3 Menyusui
Dalam praktik menyusui yang tidak adekuat, kerangka WHO meliputi
keterlambatan inisiasi menyusui dini, menyusui tidak ekslusif, dan penghentian
menyusui dini. Satu studi tidak menemukan hubungan antara anak-anak usia 0-23
bulan yang mulai menyusui dalam 1 jam setelah lahir dan mengurangi kejadian
stunting (Torlesse et al., 2016). Dua analisis terbaru oleh Rachmi et al. (2016b);
Rachmi, Agho, Li, dan Baur (2016a) mendemonstrasikan bahwa anak-anak
disapih sebelum 6 bulan memiliki kemungkinan lebih tinggi terjadi stunting (AOR
3,16, 95% CI [1,91, 523] dan AOR 2,98, 95% CI [1.20, 7.41]). Studi yang sama
juga mengamati bahwa menyusui berkepanjangan dikaitkan dengan tingginya
prevalensi anak stunting, tapi ada cukup bukti dalam penelitian cross-sectional ini
untuk menentukan hubungan sebab akibat dan cukup adekuat menghitung faktor-
faktor perancu. Seperti yang disebutkan di bawah makanan pendamping yang tidak
memadai, Torlesse et al. (2016) menemukan hubungan yang moderat antara
pemberian makanan yang sesuai dengan usia-yang juga termasuk pemberian ASI
eksklusif pada anak usia 0-5 bulan-dan mengurangi anak stunting (Torlesse et al.,
2016).
3.4 Infeksi
Di bawah infeksi klinis dan subklinis, kerangka WHO meliputi infeksi
enterik (penyakit diare, enteropati lingkungan, dan penyakit cacing), infeksi
saluran pernapasan, malaria, penurunan napsu makan karena infeksi, dan
inflamasi. Dari sekian ini, hanya infeksi saluran pernapasan dan salah satu tipe
dari infeksi enterik (diare) yang disebut didalam literatur dan berhubungan dengan
kejadian stunting pada anak. Dengan demikian, literatur tersebut mengungkapkan
faktor penentu yang tidak spesifik dalam list dalam kerangka WHO, demam dan
sebagian atau tidak mendapatkan vaksinasi yang berhubungan dengan kejadian
stunting anak.
Bardosono et al. (2007) melaporkan bahwa penyakit infeksi termasuk
diare, infeksi saluran pernapasan dan demam, berhubungan dengan stunting pada
anak-anak usia 6-59 bulan yang tinggal di daerah kumuh perkotaan dan di daerah
perdesaan. Meskipun mereka tidak menspesifikasikan besarnya hubungan
tersebut, prevalensi dari infeksi saluran pernapasan adalah yang tertinggi dari
semua populasi dalam studi, diikuti oleh demam dan diare. Semba et al. (2011)
menemukan sebuah hubungan yang cukup kuat antara diare dalam 7 hari terakhir
dan stunting pada anak-anak usia 6-59 bulan, terutama di daerah perdesaan (UOR
1.30, 95% CI [1.22, 1.37]). Sebagai tambahan, Semba, de Pee, et al. (2007)
melaporkan bahwa anak-anak usia 12-59 bulan yang telah divaksin lengkap,
sebagian atau belum sama sekali memiliki prevalensi stunting sebesar 37%, 47%,
dan 54% masing-masing. Hubungan antara penerimaan vaksinasi dan anak
stunting berat bahkan lebih kuat, 10% untuk yang sudah divaksin lengkap, 16%
untuk yang sebagian dan 22% untuk yang belum pernah menerima vaksin (Semba,
de Pee, et al. 2007).
3.5 Masyarakat dan faktor-faktor sosial
Masyarakat dan faktor-faktor sosial adalah tanggung jawab elemen dalam
faktor penentu kontekstual anak dengan stunting pada kerangka WHO.
Subelemen-subelemen meliputi ekonomi politik, kesehatan, perawatan kesehatan
dan salah satu faktor penentu air, sanitasi dan lingkungan. Karena kami
melaporkan indikator kesejahteraan rumah tangga dibawah lingkungan rumah,
kami tidak menyatakan kembali mereka disini, meskipun mereka tumpang tindih
dengan determinan bawah ekonomi politik yaitu kemiskinan, pendapatan dan
kekayaan, lapangan kerja dan mata pencaharian.
Ekonomi politik meliputi harga pangan dan kebijakan perdagangan,
peraturan pemasaran, stabilitas politik, kemiskinan, pendapatan dan kekayaan, jasa
keuangan, pekerjaan, dan mata pencaharian. Kesehatan dan perawatan kesehatan
termasuk akses ke perawatan kesehatan, penyedia layanan kesehatan yang
berkualitas, ketersediaan pasokan, infrastruktur dan sistem perawatan kesehatan
dan kebijakan. Pendidikan termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas,
guru yang berkualitas, pendidik kesehatan yang berkualitas, dan infrastruktur
(sekolah dan lembaga-lembaga pelatihan). Masyarakat dan budaya termasuk
keyakinan dan norma-norma, jaringan dukungan sosial, pengasuh anak (orangtua
dan nonparental), dan status perempuan. Pertanian dan sistem pangan meliputi
produksi pangan dan pengolahan, ketersediaan makanan kaya mikronutrien, dan
keamanan pangan dan kualitas. Terakhir, air, sanitasi, dan lingkungan termasuk
infrastruktur dan pelayanan air dan sanitasi; kepadatan penduduk; perubahan
iklim; urbanisasi; dan bencana alam dan buatan manusia.
Studi di Indonesia telah membahas semua faktor-faktor penentu
kesehatan dan perawatan kesehatan kecuali ketersediaan pasokan. Tidak
mengherankan, kurangnya akses ke perawatan kesehatan telah dikaitkan dengan
stunting anak di beberapa studi (Anwar, Khomsan, Sukandar, Riyadi, &
Mudjajanto, 2010; Bardosono et al, 2007; Torlesse et al, 2016). Bardosono et al.
(2007) menemukan hubungan antara akses pelayanan kesehatan dan HAZ,
meskipun bentuk jalannya tidak pas. Dalam studi lain, ibu-ibu yang memiliki
kurang dari empat perawatan antenatal (ANC) dilihat selama kehamilan lebih
mungkin untuk memiliki anak dengan stunting pada usia 0-23 bulan (Uor 1,70,
95% CI [1,12, 2,60]) dibandingkan dengan empat atau lebih kunjungan antenatal
( Torlesse et al., 2016). Akhirnya, Anwar et al. (2010) menemukan bahwa anak
laki-laki dibawah 5 tahun dengan jarang mendatangi Posyandu (Kesehatan
Terpadu dan Layanan Gizi) (1-3 kali) memiliki HAZ rata-rata -1,9 (SD 1,7)
dibandingkan dengan anak laki-laki yang sering mendatangi Posyandu (4-6 kali;
HAZ -1,3, SD 1,8).
Dua penelitian menunjukkan hubungan antara penyedia layanan
kesehatan tidak memenuhi syarat (terutama tidak adanya dokter) dan anak stunting
(Barber & Gertler, 2009; Torlesse et al, 2016). Torlesse et al. (2016) melaporkan
kemungkinan stunting pada anak-anak usia 0-23 bulan lebih dari dua kali lipat jika
dokter atau bidan tidak memberikan ANC (UOR 2,07, 95% CI [1,29, 3,33]).
Demikian pula, simulasi IFLS cross-sectional pada tahun 1993 dan 1997
menyarankan bahwa meningkatkan jumlah dokter dari tidak ada menjadi satu pada
anak-anak 0-23 bulan akan menghasilkan kenaikan panjang 0,27 cm (Barber &
Gertler, 2009). Peningkatan yang lebih kecil pada panjang badan ditemukan ketika
meningkatnya jumlah perawat dari tidak ada menjadi tiga atau lebih (0,18 cm) dan
menambahkan bidan di mana tidak ada dokter lalu menjadi ada (0,09 cm; Barber
& Gertler, 2009). Hanya Torlesse et al. (2016) menemukan hubungan antara
infrastruktur dan pengerdilan anak: kemungkinan stunting pada anak-anak usia 0-
23 bulan lebih dari dua kali lebih tinggi ketika ANC tidak diperoleh di fasilitas
kesehatan (UOR 2.12, 95% CI [1,16, 3,87]), dan bahkan lebih tinggi untuk stunting
yang parah (AOR 2,58, 95% CI [1,19, 5,58]). Akhirnya, Paknawin-Mock et al.
(2000) menggunakan pendekatan ekologi-ekonomi lintas sektoral dan
menunjukkan hubungan antara layanan pengasuhan anak dan program vaksinasi
masyarakat dan stunting yang parah pada anak-anak usia 6-18 bulan — layanan
pengasuhan anak memiliki dampak yang relatif lebih kuat daripada program
vaksinasi masyarakat.
Di dalam subelemen air, sanitasi, dan lingkungan, hanya komponen
yang diteliti dan ditemukan terkait dengan stunting anak adalah urbanisasi, dengan
sebagian besar penelitian mengamati bahwa daerah perdesaan memiliki prevalensi
anak stunting yang lebih tinggi daripada daerah perkotaan, bahkan daerah
perkotaan yang miskin. Rachmi et al. (2016b) memperkirakan bahwa prevalensi
stunting pada anak-anak usia 24-59 bulan adalah 53,3% (95% CI [51,2, 55,4]) di
daerah perdesaan dibandingkan dengan 34,9% (95% CI [32,9, 37,0]) di daerah
perkotaan, dengan AOR stunting 1,55 (95% CI [1,22, 1,97]) di daerah pedesaan
dibandingkan dengan perkotaan. Sandjaja et al. (2013) menganalisis survei cross-
sectional dan menemukan perbedaan yang sama dalam prevalensi stunting pada
kelompok usia yang sama — pedesaan 47,3% dan perkotaan 28,5%. Semba, de
Pee, Hess, et al. (2008) menemukan bahwa kemungkinan stunting pada anak-anak
usia 0-59 bulan cukup tinggi di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan (AOR
1,136, 95% CI [1,075, 1,202]). Satu studi melaporkan bahwa kemungkinan
stunting lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan
pada anak-anak usia 0-59 bulan (UOR 1,33, 95% CI [1,03, 1,71]), tetapi itu adalah
studi cross-sectional hanya dilakukan di provinsi Maluku Utara, dan 95% CI
tumpang tindih untuk perkiraan prevalensi stunting (perdesaan 33,4%, 95% CI
[28,6, 38,6] dan perkotaan 40,0%, 95% CI [37,2, 42,9]; Ramli et al., 2009).
Masyarakat dan faktor kemasyarakatan tidak dinilai untuk hubungan
dengan stunting anak atau pertumbuhan linier di Indonesia termasuk ketersediaan
pasokan kesehatan, infrastruktur dan layanan air dan sanitasi, kepadatan
penduduk, perubahan iklim, harga makanan dan kebijakan perdagangan, peraturan
pemasaran, stabilitas politik, layanan keuangan, dan semua faktor penentu dalam
sub-bidang pendidikan, masyarakat dan budaya, serta pertanian dan sistem
pangan.

VI. DISKUSI
Konsepsi kerangka kerja WHO memungkinkan tinjauan menyeluruh bagi
literature mengenai determinan stunting pada anak di Indonesia. Hasil kami
menunjukkan adanya bukti kuat dan konsisten berdasarkan RCT dan penelitian
observasional mengenai faktor lingkungan rumah dan keluarga – ibu pendek,
kelahiran prematur, panjang badan lahir rendah, pendidikan ibu rendah, dan
ekonomi keluarga rendah – yang merupakan determinan penting stunting pada
anak di Indonesia. Baru-baru ini, beberapa penelitian cross sectional yang didesain
dengan baik menyatakan bahwa penyapihan dini, ayah dengan postur pendek, dan
lingkungan rumah dengan sumber air minum dan jamban yang tidak terpelihara
mungkin juga merupakan determinan penting penyebab anak stunting di
Indonesia, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hasil
tersebut. Sebagai tambahan, penelitian non-RCT yang dilakukan baru-baru ini di
Madura Barat menyatakan bahwa memberikan SQ-LNS pada anak dapat sangat
mengurangi stunting pada anak di daerah pedesaan di Indonesia. Meskipun SQ-
LNS merupakan pengobatan yang relatif baru bagi anak stunting, RCT skala besar
yang dilakukan di Ghana dan Burkina Faso juga menunjukkan hasil yang
menjanjikan (Adu Afarwuah et al., 2007; Hess et al., 2015). Walaupun begitu, SQ-
LNS tidak dapat meningkatkan pertumbuhan linear pada semua populasi anak-
anak – seperti yang ditunjukkan pedesaan Malawi – dan faktor lain seperti ketaatan
pada intervensi, infeksi subklinis, enteropati lingkungan atau ketidakseimbangan
mikrobioma usus dapat membatasi efek SQ-LNS (Ashorn et al., 2015). Intervensi
dengan suplemen MMN (Smuts et al., 2005; Untoro, Karyadi, Wibowo, Erhardt,
& Gross, 2005) atau suplemen energi sederhana lainnya (Aitchison et al., 2000)
tidak menunjukkan efek pada pertumbuhan linear atau stunting anak di Indonesia;
namun, mikronutrien tunggal tertentu (vitamin A, zinc, dan iodin) dan kombinasi
besi + zinc dan besi + zinc + vitamin A memiliki efek pada kedua hal tersebut
(Dijkhuizen et al., 2008; Fahmida et al., 2007; Hadi et al., 2000; Semba et al.,
2011; Semba, Pee, Hess, et al., 2008). Kami juga menemukan bahwa faktor
komunitas dan sosial menunjukkan peran penting pada stunting anak di Indonesia
– khususnya akses ke pelayanan kesehatan, infrastruktur kesehatan, dan penyedia
layanan kesehatan terkualifikasi (khususnya dokter). Gambar 2 secara luas
menunjukkan kemungkinan penyebab, dan faktor kontekstual yang telah
dihubungkan dengan pertumbuhan linear yang buruk dan/atau stunting anak di
Indonesia (text tebal).
Wirth et al. (2017) melakukan analisis yang serupa dengan kami
menggunakan kerangka kerja WHO untuk menilai determinan stunting anak di
Ethiopia. Ukuran kelahiran anak dan penyakit yang baru diderita, dan postur ibu
dan pendidikan merupakan determinan terkuat yang teridentifikasi di Ethiopia
(Wirth et al., 2017). Penemuan kami di Indonesia mengenai ukuran lahir anak
(terutama panjang lahir dan kelahiran premature) dan postur ibu dan pendidikan
sesuai, memperkuat bukti bahwa stunting berawal di intra uterin (Neufeld, Haas,
Grajeda, & Martorell, 2004). Hal ini menyoroti pentingnya mencapai usia dewasa
pada anak perempuan, karena wanita muda yang hamil ketika mengalami
undernutrition memiliki risiko lebih tinggi menghasilkan keadaan kelahiran yang
buruk yang dapat menimbulkan stunting anak. Intervensi yang dimulai setelah
kelahiran hanya memiliki efek minimal pada anak yang stunted dalam uterus.
Walaupun penyakit pada anak yang baru saja diderita – seperti diare dan infeksi
saluran napas – berhubungan dengan stunting anak di Indonesia, bukti yang
menunjukkan hal ini terbatas dan kekuatan hubungannya lebih lemah dibanding
yang terdapat di Ethiopia.
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan. Pencarian database dan
proses pemilihan artikel melalui proses ketat pada seluruh penelitian ilmiah yang
terpublikasi dengan keluaran di bawah 5 tahun anak stunting atau pertumbuhan
linear dalam 17 tahun terakhir di Indonesia, berdasarkan kriteria inklusi priori
untuk meminimalisir bias. Kami melaporkan secara kuantitatif kekuatan hubungan
menggunakan RR, odds ratio, dan/atau perbedaan mean serta corresponding CI,
selain juga menyediakan diskusi kualitatif mengenai studi populasi, intervensi,
definisi variabel, dan hasil. Menurut sepengetahuan kami, tidak terdapat penilaian
serupa terhadap determinan stunting anak di Indonesia yang telah dilakukan, dan
beberapa penilaian menyeluruh mengenai determinan stunting anak telah
dilakukan dalam skala nasional di negara lain. Informasi ini penting untuk
menciptakan interfensi dan aturan efektif yang bertujuan mengurangi stunting
anak di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dan untuk mengetahui
prioritas untuk penelitian mendatang.
Kami telah mengidentifikasi beberapa faktor dengan hubungan signifikan
dengan stunting anak di Indonesia yang tidak terdaftar secara khusus di kerangka
kerja WHO; keuangan keluarga yang renda, postur pendek ayah, ayah dan ibu
merokok, lingkungan rumah yang padat, demam, dan vaksin yang tidak lengkap
atau sama sekali tidak. Indikator keuangan keluarga, dapat juga diwakili oleh
politik ekonomi, tergantung pada klasifikasinya. Sebagai tambahan, postur pendek
ayah mungkin berhubungan erat dengan postur pendek ibu dan mungkin tidak
dapat menyediakan pengetahuan yang lebih mendalam. Demikian pula, keuangan
keluarga dapat digambarkan sebagian oleh ketidakamanan pangan, walaupun
tingkat keuangan memfasilitasi keuntungan kesehatan lain seperti akses ke sarana
pelayanan kesehatan dan obat-obatan. Wirth et al. (2017) mengkhususkan
determinan yang hilang, terutama dalam lingkungan rumah, dari penemuan di
Ethiopia, dan juga dari penelitian di negara lain. Diantara yang lainnya, keuangan
keluarga dan ukuran keluarga telah diidentifikasi serupa dengan penelitian kami
sebagai determinan penting di Indonesia.
Kami juga menemukan bukti penting bahwa anak laki-laki memiliki
risiko lebih besar mengalami stunting dibandingkan anak perempuan di Indonesia,
termasuk satu RCT longitudinal, tetapi biologi berdasarkan jenis kelamin tidak
terdapat dalam kerangka kerja WHO (Julia, van Weissenbruch, Delmarre-van de
Waal, & Surjono, 2004; Prawirohartono et al., 2016; Rachmi et al., 2016b; Ramli
et al., 2009; Sandjaja et al., 2013; Sari et al., 2010; Semba, de Pee, Hess, et al.,
2008; Semba et al., 2011; Torlesse et al., 2016). Walaupun anak laki-laki secara
umum lebih rentan mengalami stunting dibandingkan anak perempuan di negara
berkembang, mekanisme hal ini belum diketahui dengan baik (Bork & Diallo,
2017). Satu penjelasan yang mungkin adalah konvergensi faktor biologis, kondisi
kehidupan, dan perbedaan pola pemberian makan ibu pada anak laki-laki akibat
cara pandang budaya pada gender (Tumilowicz, Habicht, Pelto, & Pelletier, 2015).
Walaupun merupakan sesuatu yang tidak praktis untuk mendata seluruh
indicator stunting anak yang mungkin pada kerangka kerja yang terkonsep,
mungkin dapat bermanfaat untuk mempertimbangkan penambahan determinan
yang hilang dalam kerangka kerja WHO yang telah menunjukkan hubungan kuat
dan konsisten dengan stunting anak, terutamayang telah ditemukan di beberapa
negara berbeda. Terdapat juga beberapa kebingungan mengenai klasifikasi
determinan, karena terdapat subelemen yang saling tumpang tindih, terutama
antara determinan proximate dan faktor kontekstual yang membahas topic yang
sama (contoh, pendidikan caregiver yang rendah dibawah lingkungan keluarga
dan faktor keluarga dengan pendidikan di bawah faktor komunitas dan sosial).
Misalnya, Wirth et al. (2017) mengemukakan bahwa keuangan keluarga harus
menjadi indicator tambahan di bawah lingkungan rumah, tetapi mereka tidak
mempertimbangkannya di bawah politik ekonomi.
Keterbatasan utama dari review ini adalah kami tidak melakukan meta-
analisis. Walaupun begitu, karena banyaknya heterogenitas antara penelitian yang
diinklusi adalah kualitatif, sebuah narrative review memungkinkan diskusi
mendalam mengenai persamaan dan perbedaan antar penelitian, termasuk
penelitian dengan desain observasional dan eksperimental. Keterbatasan lainnya
adalah beberapa penelitian yang digunakan dalam review memiliki desain cross
sectional dan beberapa data yang dianalisis berasal dari survei yang sama.
Penelitian cross sectional tidak dapat mempertimbangkan variabel perancu yang
tidak diketahui. Maka dari itu, hubungan antar variabel pada penelitian cross
sectional harus diinterpretasikan dengan hati-hati, karena hubungan kausatif tidak
dapat dikonfirmasi.
Keterbatasan lainnya adalah hanya sekitar setengah determinan yang
terdaftar dalam konsep kerangka kerja WHO yang telah dinilai hubungannya
dengan pertumbuhan linear anak atau stunting di Indonesia. Banyak determinan
tambahan yang telah dipelajari di Indonesia, namun penilaian dari efek
pengukuran pada pertumbuhan linear anak atau stunting masih memerlukan
penyediaan rekomendasi untuk intervensi. Walaupun begitu, kerangka kerja WHO
telah didasarkan pada bukti berulang beberapa penelitian dari seluruh negara
berkembang, sampai selisih pengetahuan di Indonesia dapat diketahui secara
adekuat, merupakan sesuatu yang beralasan apabila berasumsi bahwa dari
perspektif programatif, determinan yang telah diidentifikasi kemungkinan relevan
dengan berbagai derajat di Indonesia. Walaupun konsep kerangka kerja WHO
efektif untuk mengetahui determinan stunting di Indonesia secara luas dari
literature yang tersedia, hal tersebut tidak memungkinkan pemahaman pada jalur
kasual antar determinan individu atau menyediakan pemahaman mendalam
mengenai intervensi mana yang dapat menilai jalur ini dengan baik. Pada akhirnya,
dengan geografi dan budaya yang beraneka ragam di Indonesia, determinan
stunting anak dapat bervariasi sesuai keadaan geografis, dan analisis ruang dari
determinan terkuat akan membantu mengidentifikasi dimanakah intervensi harus
difokuskan dan bagaimana mereka dapat disesuaikan sesuai daerahnya.

V. KESIMPULAN
Bukti yang ada di Indonesia secara umum sesuai dengan penyebab stunting
anak yang telah diidentifikasi dalam literature: tinggi ibu dan pendidikan, kelahiran
premature dan panjang badan lahir, ASI eksklusif selama 6 bulan, dan status sosial
ekonomi linkungan keluarga. Tidak mengherankan bahwa air minum bersih sangat
penting terutama untuk rumah tangga dengan jamban yang tidak memadai. SQ-LNS
memiliki potensi yang cukup besar dalam mengurangi insidensi stunting anak,
terutama di pedesaan Indonesia, kemungkinan karena penyediaan mikronutrien dan
makronutrien selama periode pertumbuhan kritis awal ketika makanan pelengkap
pertama kali diperkenalkan. Beberapa determinan awal yang diidentifikasi dalam
kerangka kerja WHO belum dinilai dampaknya pada anak stunting di Indonesia, dan
dibutuhkan penelitian yang menunjukkan kesenjangan pengetahuan ini di
Indonesia. Masyarakat dan faktor sosial juga vital — terutama dalam menangani
kesehatan dan pelayanan kesehatan — tetapi diperlukan lebih banyak penelitian
untuk menunjukkan jalur antara ekonomi politik, pendidikan, masyarakat dan
budaya, pertanian dan sistem pangan, dan air, sanitasi, dan lingkungan dan anak
stunting, yang mungkin memainkan peran penting di Indonesia. Selain ibu berpostur
pendek dan pendidikan yang buruk, anak-anak yang terlahir prematur, dan rumah
tangga miskin, anak-anak dari perkotaan miskin dan terutama komunitas pedesaan
sangat rentan terhadap stunting. Anak laki-laki jauh lebih mungkin dibandingkan
anak-anak perempuan untuk mengalami stunting di Indonesia; faktor biologis,
kondisi kehidupan, dan perbedaan pola makan ibu yang cenderung konvergen
menyebabkan perbedaan pertumbuhan antar jenis kelamin harus menjadi prioritas
untuk penyelidikan lebih lanjut. Intervensi untuk mencegah stunting anak harus
dimulai sebelum konsepsi untuk meningkatkan status gizi selama masa remaja dan
kehamilan dan memfasilitasi pertumbuhan kehamilan yang adekuat, dan berlanjut
setidaknya sampai anak berusia 24 bulan. Analisis spasial dari data sekunder yang
mengandung identifikasi determinan stunting anak harus dilakukan untuk
memungkinkan intervensi agar bervariasi secara geografis sesuai dengan konteks
lokal. Terakhir, mengingat perbedaan regional yang besar dalam prevalensi anak
stunting di Indonesia, intervensi harus menargetkan provinsi (atau lebih diutamakan
kabupaten atau kota) dengan beban tertinggi stunting anak.

Anda mungkin juga menyukai