NPM : 110110160238
TASK 11
Learning Objective:
1. Untuk mengetahui Tanggung Jawab Negara, Syarat-Syarat Tanggung Jawab Negara, dan
Dasar Hukumnya
1) Pertama, yaitu harus terdapat kewajiban internasional yang mengikat pada dua negara
tertentu.
2) Kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan dilanggarnya suatu
kewajiban internasional suatu negara yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi
negara tersebut.
3) Terakhir adalah adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan serta
kelalaian yang dilakukan oleh negara tersebut.
1
Malcolm Shaw, International Law, 6th Edition, Cambridge: Cambridge University Press, 2008 hlm. 781.
Jadi secara implisit Shaw menyatakan bahwa negara yang hendak dimintai
pertanggungjawabannya harus memenuhi ketiga unsur di atas dan apabila salah satu dari
unsur pertanggungjawaban negara tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya.2
Untuk adanya tanggung jawab negara harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:4
1) Ada suatu kewajiban internasional yang berlaku antara dua negara tertentu,
2) Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional
tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara, dan
3) Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau
kelalaian.
2
Ibid.
3
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan
Lainnya, Grasindo Gramedia WidiasaranaIndonesia, hlm. 28
4
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali, 1990, hlm. 174.
5
Sharon Williams, Public International Governing Trans - Boundary Pollution, University of Queensland, 1984,
hlm. 180.
menunjukkan adanya force majeure atai tindakan dari pihak ketiga, maka negara yang
bersangkutan dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut.
3) Strict Liability
Konsep strict liability ini membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap
perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang menimbulkan pencemaran
dan mengakibatkan kerugian di wilayah negara lain, meskipun telah dikeluarkan berbagai
persyaratan untuk pencegahan pencemaran tersebut.
4) Absolute Liabilty
Menurut konsep absolute liability, tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti
dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini terdapat total pertanggungjawaban
walaupun segala standar telah dipenuhi.
b. Dasar Hukum
1) Pasal 35 menyatakan suatu negara yang bertanggungjawab untuk tindakan salah secara
internasional berada di bawah kewajiban untuk membayar ganti rugi kerugian yaitu untuk
membangun kembali seituasi yang ada sebelum perbuatan dilakukan, diberikan dan
sejauh bahwa restitusi.
2) Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa negara bertanggungjawab untuk tindakan salah
secara internasional berada dibawah kewajiban untuk mengkompensasi kerusakan yang
demikian ditimbulkan, sejauh kerusakan tersebut tidak dibuat baik dengan pemulihan.
3) Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk tindakan salah
secara internasional berada di bawah kewajiban untuk memberikan kepuasan untuk
kecelakaan yang disebabkan oleh yang bertindak sejauh yang tidak dapat dibuat baik
dengan pemulihan atau dengan kompetensi.
4) Pada Pasal 37 ayat (2) menyatakan bahwa keputusan dapat terdiri dalam pengakuan atas
pelanggaran, ungkapan penyesalan, permintaan maaf resmi atau modalitas lain yang
sesuai.
5) Pasal 48 menyatakan bahwa negara-negara selain injured states dapat mengajukan
tuntutan pertanggungjawaban kepada negara lain dalam hal:
a) kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk negara yang
mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk perlindungan kepentingan
kelompok tersebut;
b) kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat internasional keseluruhan.
c) Mengenai permohonan tanggung jawab negara, Pasal 43 ILC Articles menetapkan
bahwa negara yang terluka berhak memohon tanggung jawab negara ain jika
pelanggaran kewajiban telah mengutangkan kepada negara secara individual atau
perkelompok, termasuk bahwa negara atau komunitas internasional sebagai
kesatuan, dan pelanggaran kewajiban secara khusus mempengaruhi negara itu atau
secara radikal mengubah posisi semua negara lain yang mana kewajiban itu
dihutangkan sehubungan dengan kinerja lebih lanjut dari kewajiban. Permohonan
tanggung jawab tidak berlaku jika negara penderita telah secara sah dibebaskan klaim
atau harus dianggap memiliki, dengan alasan tindakannya, sah menyetujuinya dalam
klaim.
Daud Silalahi menyatakan bahwa konsep state responsibility-liability (tanggung jawab
negara atas lingkungan) dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu pada
pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom highseas. Pelaksanaan kegiatan di
dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari
suatu negara. Jika kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act
injuries to another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibility-
liability dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya untuk melakukan pencegahan
terhadap aktivitas dengan cara menetapkan/mengatur standar permisible injury atau
ambang batas dari kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan (environmental injuries)
dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan ekonomi. Adanya
kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan ambang batas atau baku mutu lingkungan.6
Salah satu prinsip yang terkenal dari hukum lingkungan internasional adalah principles
of good neighbourliness. Pada intinya prinsip itu mengatakan kedaulatan wilayah suatu
negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Hal ini patut berlaku pada saat terjadi aktivitas
dalam negara yang menggangu negara lain. Ada juga prinsip lain yakni preservation and the
protection of environment yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan perlu diambil untuk
mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan bagi kondisi yang baik di masa depan.
Kemudian prinsip preventif yang menekankan tindakan pencegahan bagi kerusakan
lingkungan. Selanjutnya pelanggaraan prinsip-prinsip ini akan membawa kepada penerapan
prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar
untuk melakukan usaha memperbaiki kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Pendekatan
yang sama ini bisa juga dilihat dalam artikel 2(1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian
Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus mengambil tindakan pencegahan
untuk mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara
adalah mewujudkan langkahlangkah administratif dan legislatif untuk melindungi lingkungan
sehingga dapat dikatakan sebagai pemerintah yang baik.8
6
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Bandung:
Penerbit Alumni, 1996, hlm. 129-137.
7
Ibid.
8
Patricia W. Birnie, International Law & The Environment, Oxford, 1992, hlm. 89-93.
2. Untuk mengetahui Teori Tanggung Jawab Negara
Pada hakikatnya, lahirnya tanggung jawab negara didasari oleh 2 (dua) teori, yaitu
teori risiko dan teori kesalahan. Kedua teori ini memiliki alur logika dan argumentasinya
masing-masing. Teori risiko (risk theory)menentukan bahwa suatu negara mutlak
bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat
membahayakan (harmful effectsof hazardous activities) walaupun kegiatan tersebut
merupakan kegiatan yang mempunyai legalitas hukum. Teori ini kemudian melahirkan prinsip
tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif
(objective responsibility).9 Contoh penerapan teori ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2
Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak
bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di permukaan bumi atau
pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang mana kerugian dan kecelakaan
tersebut ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.
9
Huala Adolf, op.cit, hlm. 187.
10
Ibid.
3. Untuk mengetahui Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Negara
11
Ibid, hlm. 180-181.
kegiatan tersebut bersifat biasa maka tanggung jawab negara bergantung pada kelalaian
atau maksud dari tindakan tersebut.12
Suatu negara juga dapat bertanggung jawab atas pelanggaran perjanjian menurut
hukum internasional. Tanggung jawab seperti ini dapat terjadi terhadap suatu negara
manakala negara tersebut melanggar suatu perjanjian atau kontrak. Negara yang memiliki
tanggung jawab karena melakukan kesalahan menurut hukum internasional berkewajiban
untuk melakukan perbaikan (reparation) secara penuh atas kerugian material maupun moral
yang diakibatkan oleh perbuatannya. Menurut Pasal 34 Draft Articles ILC, bentuk atau jenis
perbaikan (reparation) itu mencakup restitusi (restitution), kompensasi (compensation), dan
pemenuhan (satisfication). Artikel telah memberikan pengertian pada masing-masing jenis
perbaikan oleh negara di atas. Pasal 35 Draft Articles ILC menyatakan bahwa restitusi adalah
tindakan untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran sepanjang
hal itu secara material tidak mustahil dilakukan atau sepanjang tidak merupakan suatu beban
yang tidak proporsional. Selanjutnya kompensasi merupakan tanggung jawab negara untuk
memberikan kompensasi atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya, yang
dipersalahkan menurut hukum internasional sepanjang hal itu tidak menyangkut hal-hal yang
telah dilakukan secara baik melalui restitusi. Sementara itu, menyangkut soal pemenuhan
(satisfaction), Artikel menentukan bahwa hal itu dilakukan sepanjang restitusi atau
kompensasi tidak berlangsung baik atau tidak memuaskan. Pemenuhan dapat berupa
pengakuan telah melakukan pelanggaran, pernyataan menyesal, atau permohonan maaf
secara formal atau sarana-sarana lain yang dipandang tepat.
Praktik spionasi merupakan hal yang sering terjadi. Kekebalan dan keistimewaan yang
dimiliki salah satunya digubakan dalam hal praktik spionase yang dilakukan oleh para pejabat
diplomatic. Spionase sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
penyelidikan secara rahasia terhadap data kemiliteran dan data ekonomi negara lain; segala
12
Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, 1984, hlm. 241.
sesuatu yang berhubungan dengan seluk-beluk spion; permata-mataan. Sebelum membahas
mengenai kedudukan spionase dalam hukum internasional dan kaitannya dengan Kasus Roze-
Sina kita harus memahami istilah-istilah13 sebagai berikut:
a) Espionage
Mata-mata adalah perbuatan pidana yang bertujuan mengumpulkan, memindahkan atau
menghilangkan keterangan yang berkaitan dengan pertahanan nasional dengan maksud
keterangan itu dapat dipergunakan untuk merugikan negara atau untuk keuntungan
bangsa lain.
b) Spies
Seseorang yang karena pekerjaannya dikirim ke kamp musuh untuk memastikan
kekuatan, kehendak, dan gerakan-gerakan musuh, untuk kemudian menyampaikan
informasi itu secara rahasia ke pejabat yang berwenang. Maka orang tersebut dapat
dijatuhi hukuman mati.
c) Clandestine
Kegiatan yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi demi mencapai tujuan yang tidak
sah.
d) Intelligence
Kegiatan inteligen diartikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan berita atau informasi
mengenai hal-hal penting atau keterangan-keterangan rahasia.
Jika melihat kasus, tindakan agen rahasia Sina tidaklah dibenarkan tanpa melihat niat
maupun kesengajaannya. Ditinjau dari hukum internasional, maka putusan sekretaris
jenderal PBB dapat dikatakan sudah tepat dengan mengusir dua agen dari Roze, menjatuhkan
denda, bahkan menahan kembali dua agen rahasia di pangkalam militer Sina. Praktik spionase
ini sebenarnya tidak pernah dapat diterima oleh negara manapun di dunia ini. Tetapi banyak
pula negara yang terus saja melakukan praktik spionase ini karena peranan hukum
internasional tidak begitu besar dalam mengatasi masalah ini. Hal ini terliat jelas oleh
banyaknya praktik-praktik spionase yang tak dapat diberhentikan hingga saat ini.
13
Arlina Permana Sari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: International Committee of The Red Cross, 1999,
hlm. 91.
5. Untuk Mengetahui Konsekuensi Pelanggaran Kewajiban Internasional
Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara diartikan sebagai kewajiban yang
harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah hukum internasional.14
Sederhananya, apabila suatu negara tidak memenuhi kewajiban yang dibebabkan kepadanya
berdasarkan hukum internasional maka ia dapat dimintakan tanggung jawab. Akan tetapi
faktanya tidak semudah itu sebab sulit untuk menilai apakah negara telah lalai atau tidak
melaksanakan kewajibanya.
Untuk dapat menilai, maka yang perlu diperhatikan adalah soal tindakan sebuah negara.
Dalam hukum internasional, tindakan negara dapat dibedakan antara tindakan negara dalam
kapasitas publik (iure imperium) dan privat (iure gestiones). Konsep tanggung jawab negara
pun sebenarnya lahir sebagai upaya untuk membedakan tindakan negara yang bersifat publik
atau perdata.15 Hal inilah yang kemudian diadopsi dalam draf konvensi tanggung jawab
negara, pasal 1, yaitu: “Every internationally wrongful act of a state entails the international
responsibility of that state.”
Kategorisasi tindakan negara yang salah sehingga dapat menimbulkan tanggung jawab
adalah ketika suatu tindakan atau pembiaran (action/omission) itu melekat pada negara
berdasarkan hukum internasional dan melanggar kewajiban internasional negara. Unsur
atribusi menjadi bagian penting untuk menilai apakah tindakan negara yang salah itu
dilakukan dalam kapasitas publik atau perdata. Sebab salah satu tujuan dibuatnya rancangan
konvensi tanggung jawab negara adalah untuk menyoroti tindakan negara dalam ruang
publik.
Unsur atribusi sulit untuk dibuktikan karena tindakan atau pembiaran negara
dilakukan oleh agen atau aparatusnya. Hal ini dikarenakan negara adalah entitas abstrak. Jika
demikian apakah tanggung jawab atas kesalahan secara internasional tetap dapat dimintakan
pertanggungjawabannya kepada sesuatu yang abstrak? Perihal inilah yang kemudian diatur
dalam Pasal 4-11 draft konvensi tanggung jawab negara. Pada pokoknya, tindakan atau
14
Rebecca M. Wallace, International Law, Fourth Edition, London: Sweet & Maxwell, 2002, hlm. 175.
15
Chia Lehnardt, Private Military Companies and State Responsibility, International Law and Justice Working
Papers, New York: NYU Law School, 2007, hlm.5.
pembiaran yang dilakukan aparatus negara dalam kapasitasnya menjalankan kebijakan
negara yang menyalahi hukum internasional maka negara dapat dimintakan tanggung jawab.
Konsep tindakan negara yang diatribusi kepada tindakan aparatus negara ini
menimbulkan suatu keadaan dilematis jika dikaitkan dengan hukum pidana internasional.
Persoalanya adalah dalam hukum pidana internasional yang menjadi subyek pengaturan
adalah individu bukan negara. Rezim hukum pidana internasional lahir dikarenakan adanya
kehendak masyarakat internasional agar pelaku tindak pidana internasional tidak dapat
melepaskan tanggung jawabnya dengan dalih melakukan kebijakan negara.
Tuntutan ini dilakukan oleh negara yang merasa dirugikan oleh tindakan negar lain
yang telah melanggar tanggung jawab internasional. Sayangngya, tidak ditentukan lembaga
yang berwenang untuk menyerahkan gugatan. Kemungkinan besarnya, gugatan tersebut
diserahkan kepada Mahkamah Internasional (ICJ).
Daftar Pustaka
Adolf, Huala. 1990. Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Birnie, Patricia W. 1992. International Law & The Environment. Oxford.
Hingorani. 1984. Modern International Law. Second Edition. Oceana Publications.
Lehnardt, Chia. 2007. Private Military Companies and State Responsibility International Law
and Justice Working Papers. New York: NYU Law School.
Sari, Arlina Permana. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committee
of The Red Cross.
Shaw, Malcolm. 2013. International Law. Cambridge University Press.
Silalahi, Daud. 1996. Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di
Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.
Sujatmoko, Andrey. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia,
Timor Leste dan Lainnya. Grasindo Gramedia WidiasaranaIndonesia.
Wallace, Rebecca M. 2002. International Law, Fourth Edition, London: Sweet & Maxwell.
Williams, Sharon. 1984. Public International Governing Trans - Boundary Pollution.
University of Queensland.