ABSTRACT
Key words : social institution, farmers group alliance, agriculture revitalization, local
autonomy, empowerment
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Dari sisi iklim makro, dunia pertanian di Indonesia saat ini berada pada
babak baru dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tergolong memiliki
perspektif mendasar dan luas. Dua di antara kebijakan tersebut adalah
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
15
pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025
dan telah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan
impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun
1980-an. Kelahiran UU ini dapat pula mempunyai makna sebagai upaya untuk
mewujudkan revitalisasi pertanian arti luas, meliputi pertanian, perikanan dan
kehutanan.
Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap
merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di
tingkat mikro. Di tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah
Badan Koordinasi Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang
akan merumuskan secara terperinci tentang metode penyuluhan, strategi
penyuluhan, dan kebijakan penyuluhan.
Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos
Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Departemen
Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya
yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun
semenjak awal 1990-an Gapoktan telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi
pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi
lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa
dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk
fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi,
pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang
dibutuhkan petani.
Tulisan ini menjadi penting, karena sampai saat ini, konsep dan strategi
pembentukan dan pengembangan Gapoktan tersebut masih dimatangkan
rumusannya di tingkat Deptan. Dalam konteks tersebut, tulisan ini berupaya
memberikan peringatan dan arahan kepada semua pihak berkenaan dengan
pengembangan kelembagaan petani di perdesaan umumnya dan secara khusus
untuk pengembangan Gapoktan.
Point utama yang ingin disampaikan adalah perlu dihindari pengem-
bangan kelembagaan dengan konsep cetak biru (blue print approach) yang
seragam, karena telah memperlihatkan kegagalan. Pemberdayaan petani dan usaha
kecil di perdesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan
kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan
kelompok dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang.
Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum
sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki. Introduksi
kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan
lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak
tumbuh. Tulisan ini ingin mengkaji secara kritis kebijakan Deptan untuk
16
pengembangan Gapoktan, serta mengidentifikasi berbagai hambatan dan tanta-
ngan yang akan dihadapi.
18
policy implementation. These constraints may exist at the level of internal
processes, concern relationships among organizations (e.g., between ministries),
or be a product of the way that the system is organized (reporting hierarchies) or
operates (the financial year is not followed in practice and accounts are not
closed)”. Dalam analisis kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan
formal maupun “soft institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan
pada berbagai tingkatan.
Saat ini, meskipun dengan kondisi yang bervariasi, di tingkat desa telah
ada berbagai kelembagaan ekonomi petani, yaitu kelompok tani dan koperasi.
Dalam konteks peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, Deptan akan
melakukan penguatan kelompok tani dan pengembangan koperasi tani pada 436
kabupaten/kota di 32 propinsi, mengaktifkan forum pertemuan penyuluh
swakarsa, pertemuan kontak tani, serta pendataan dan penumbuhan kelompok tani
dan kelembagaan ekonomi petani.
Secara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat
memainkan peran tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan
sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya
P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk
pengembangan usaha (KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi
(kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain.
Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak lembaga perdesaan yang
diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi,
dan Kelompok Usaha Agribisnis. Secara konseptual, masing-masing lembaga
dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi sebagai contoh,
dapat menjalankan seluruh aktivitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Namun, ada keengganan sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai
entry point untuk pengembangan ekonomi petani, yang mungkin karena kesan
negatif yang selama ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah
lembaga dengan fungsi yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang
dapat dipilih (opsi) di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam
aktivitas ekonomi secara langsung.
Pengembangan Gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan
aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah
terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga
penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada
prinsipnya, lembaga Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi,
namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap
pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
19
dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan.
Namun demikian, jika Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya
dibandingkan dengan kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan
dapat menggantikan peranan mereka.
Untuk menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan informasi teknologi
pertanian ataupun informasi pasar, Deptan akan membenahi kelembagaan
penyuluhan. Penataan kelembagaan penyuluhan pertanian mulai dari propinsi
sampai ke desa, yaitu berupa bantuan sewa/kontrak bagi 1698 BPP,
pengembangan 88 BPP Model di 6 Propinsi RPPK, serta penguatan kelompok tani
dan pengembangan koperasi tani (Badan SDM Pertanian, 2006). Selain itu, akan
dilakukan pengangkatan 3.000 tenaga penyuluh pertanian honorer, revisi SK
Menkowasbangpan No. 19/1999 tentang jabatan fungsional penyuluh pertanian
dan angka kreditnya. Selain itu juga ada penyediaan Biaya Operasional Penyuluh
(BOP) bagi 26.820 orang penyuluh pertanian, penyediaan alat komunikasi, dan
penyusunan buku kerja bagi penyuluh pertanian.
Pengembangan kelembagaan saat ini tidak lagi sama dengan era Bimas.
Keberhasilan Program Bimas dahulu didukung secara sistematis dan terstruktur
yaitu didukung oleh political will dan birokrasi yang kuat, sentralistis, penyediaan
subsidi, delivery system yang baik, anggaran yang cukup besar, organisasi
penyuluhan, serta prasarana dan sarana yang memadai. Penyuluh menjadi agen
untuk berbagai fungsi, tidak hanya menghantarkan teknologi, tapi juga pemenuhan
saprotan dan modal usahatani. Dengan skala pekerjaan yang besar tersebut,
penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak mungkin dilaksanakan dengan
pendekatan individu, namun dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan
ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat
membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun
sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usahataninya.
Menurut laporan Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah
kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi
tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 kabupaten/kota atau 86
persen dari total kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian
dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh
Pertanian. Sisanya, yaitu 61 kabupaten/kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak
jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang
terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187
Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %).
20
unit Gapoktan. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk
memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah
kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Disini
terlihat bahwa, pembentukan Gapoktan bias kepada kepentingan “atas”, yaitu
sebagai “kendaraan” untuk menyalurkan dan menjalankan berbagai kebijakan dari
luar desa. Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga
yang mewakili kebutuhan petani sebagai representative institution, namun awal
terbentuknya bukan dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan
gejala yang berulang sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan
kuantitas belaka, namun tidak berakar di masyarakat setempat. Target akhir adalah
aktifnya 66.000 Gapoktan hingga tahun 2009. Ini artinya, seluruh desa di
Indonesia akan memiliki sebuah Gapoktan.
Kegiatan di tahun 2006 adalah mengumpulkan data profil kelembagaan
usaha petani di tingkat desa di masing-masing wilayah. Berdasarkan data tersebut,
serta sesuai dengan masalah yang dihadapi kelembagaan usaha petani tingkat desa,
maka pada tahun 2007 lembaga usaha petani/peternak di tingkat desa tersebut
akan dibimbing, dilatih dan didampingi guna memperoleh akses terhadap
informasi pasar, teknologi dan permodalan. Dengan demikian, pada tahun-tahun
mendatang fasilitasi dan pengukuran pembangunan pertanian oleh dinas dan
instansi di daerah maupun oleh propinsi dan pemerintah harus dilakukan melalui
Gapoktan yang ada di masing-masing desa yang beranggotakan seluruh petani,
peternak, dan nelayan di desa tersebut.
Gapoktan tersebut akan senantiasa dibina dan dikawal hingga menjadi
lembaga usaha yang mandiri, profesional dan memiliki jaringan kerja luas.
Lembaga pendamping yang utama adalah Dinas Pertanian setempat, di mana para
penyuluh merupakan ujung tombak di lapangan. Penguatan dari sisi lain adalah
melalui implementasi berbagai kegiatan pemerintah yang didistribusikan ke desa,
dimana Gapoktan selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan yang memungkinkan.
Pembentukan Gapoktan didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian
modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada
organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu
menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian, di
antaranya adalah dengan membentuk Gapoktan (Sekjen Deptan, 2006). Unit-unit
usaha dalam Gapoktan dapat menjadi penggerak perekonomian di perdesaan.
Untuk mendukung rencana tersebut, tiap propinsi mulai tahun 2007 diwajibkan
untuk membuat cetak biru (master plan) pengembangan agribisnis di
kabupaten/kota sesuai komoditas unggulan.
Pembangunan pertanian telah mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun
1980 an, komoditas-komoditas yang sebelumnya belum dikenal seperti kakao
mulai diolah dan bernilai tinggi. Akan tetapi sejalan perkembangan pembangunan
pertanian, harus diakui kebijakan makro belum sejalan dengan pengembangan
sektor riil pertanian. Faktor faktor tersebut antara lain, masih tingginya suku bunga
22
terlihat, bahwa pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari
lembaga petani yang sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani.
Dengan kata lain, adalah tidak tepat langsung membuat Gapoktan pada wilayah
yang secara nyata kelompok-kelompok taninya tidak berjalan baik. Ketentuan ini
sesuai dengan pola pengembangan kelembagaan secara umum, karena Gapoktan
diposisikan sebagai institusi yang mengkoordinasi lembaga-lembaga fungsional di
bawahnya, yaitu para kelompok tani.
Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan
kelembagaan. Untuk dapat berkembang sistem dan usaha agribisnis memerlukan
penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha
dengan pemerintah berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing.
Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan
masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.
Kelembagaan pertanian tersebut meliputi kelembagaan penyuluhan (BPP),
kelompok tani, Gapoktan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha
benih, institusi perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi
petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA, dan lain-lain.
Dari berbagai literatur, setidaknya terdapat tiga peran pokok yang
diharapkan dapat dimainkan oleh Gapoktan. Pertama, Gapoktan difungsikan
sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun, misalnya terlibat dalam
penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan
nama anggota. Demikian pula dalam pencairan anggaran subsidi benih dengan
menerima voucher dari Dinas Pertanian setempat. Gapoktan merupakan lembaga
strategis yang akan merangkum seluruh aktifitas kelembagaan petani di wilayah
tersebut. Gapoktan dijadikan sebagai basis usaha petani peternak di setiap
perdesaan.
Kedua, Gapoktan juga dibebankan untuk peningkatan ketahanan pangan di
tingkat lokal. Mulai tahun 2006 melalui Badan Ketahanan Pangan telah
dilaksanakan “Program Desa Mandiri Pangan” dalam rangka mengatasi
kerawanan dan kemiskinan di perdesaan. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan
pangan dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat secara
partisipatif. Untuk tahun 2006 kegiatan ini bejalan di 244 desa di 122 kabupaten
rawan pangan, sedangkan dalam rencana 2007 akan diperluas menjadi 180
kabupaten rawan pangan yang menjangkau sekitar 604 desa rawan pangan.
Dalam hal ini, masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok tani
dibimbing agar mampu menemukenali permasalahan yang dihadapi dan potensi
yang mereka miliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk
meningkatkan pendapatannya melalui usahatani dan usaha agribisnis berbasis
perdesaan. Tahapan selanjutnya adalah, bahwa beberapa kelompok tani dalam satu
desa yang telah dibina kemudian difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Dengan
cara ini, petani miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam
mengatasi masalah pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan kelompok dan
24
mereka dapat meningkat. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang-
orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu.
Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas
pemerintah sulit menjangkaunya.
(2) Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan
dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk
peningkatan social capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim,
setiap program membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang
sekali suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok
yang sudah ada.
(3) Menerapkan pola generalisasi, sehingga struktur keorganisasian yang dibangun
relatif seragam, meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi
teknis di Pantura Jawa (Zuraida dan Rizal, 1993). Hal ini karena pengaruh
keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang. Pembentukan
kelembagaan kurang memperdulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di
masyarakat bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas,
norma, kebutuhan, dan lain-lain yang sering kali tidak sesuai dengan program
yang diintroduksikan. Karena itulah keberhasilan program Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak
sesukses penerapan program tersebut di Subang Jawa Barat (Agustian et al.,
2003).
(4) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan
cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada
kontak-kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak
mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena
tidak ada social learning approach.
(5) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah
dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih
dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap
berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun
wadahnya sudah tersedia.
(6) Pengembangan kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material
cukup. Sebagai contoh, pengembangan UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan)
dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lain-
lain; bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik.
26
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna filosofis dari prinsip
keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada individu sebagai
perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia
sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang Pencipta (Basri, 2005).
Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga
mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya
secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk
komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi,
pada hakekatnya, individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi
perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan
otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi
setiap pelaku, bagi setiap individu.
Satu konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah “local
government”. Menurut Wolman and Goldsmith (1990), Local Government
Administration (LGA) adalah: “…. the government’s ability to have an
independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”. Jadi,
disini ditekankan kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian
masyarakat. Sedikit lebih luas, Boyne (1996) mendefiniskan menjadi: “… powers
the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by
jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin (1996) merubah “government” menjadi
“governance”, dan mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make
and carry through collective choices for a geographically defined group of
people”. Pada definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat.
Kemampuan pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti
aturan yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan
infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsur-
unsur media massa, asosiasi kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komuni-
tas (Chapman, 1999).
Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat
dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance,
cooperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya,
terutama kemampuan untuk pemecahan masalah. Dalam assistance, pemerintah
menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada cooperation, peran
negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif.
Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu
memainkan setidaknya tiga peran yaitu: (i) untuk memaksimumkan nilai, (ii)
sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah,
dan (iii) sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi
efisiensi dapat dicapai. Karena beragamnya persoalan antarwilayah maka tak ada
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
27
pendekatan yang "one solution fits all" dalam pengembangan kelembagaan.
Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkem-
bangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances
antara pemerintah dengan warganya.
28
Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun
ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa
kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya
akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan
pengembangan organisasi lokal.
Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses
pemberdayaan. Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat
untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya
sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut.
Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa
peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar,
sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi
masyarakat (choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya pemberdayaan
masyarakat desa dalam kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang
atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade
terakhir telah melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau
dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigma atau cara pandang
lama.
30
dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai, karena itu harus diganti.
Pola pikir ini datang dari ideologi modernisasi yang dipeluk pemimpin-pemimpin
negara berkembang pada umumnya. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisio-
nal adalah dimana aktivitas ekonomi melekat (embeded) pada kelembagaan
kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggung jawab
kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional
adalah sedikit kelembagaan namun banyak fungsi (Saptana et al., 2003). Beda
halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak
kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit.
Untuk pengembangan Gapoktan, maka strategi yang diterapkan semesti-
nya tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan masa sebelumnya. Berbagai
strategi yang semestinya ditempuh adalah:
Pertama, kelembagaan adalah sebuah opsi, bukan keharusan. Apapun
kelembagaan yang akan diintroduksikan di perdesaan, mestilah terlebih dahulu
merumuskan apa kegiatan yang akan dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah
yang dibutuhkan. Jadi, rumuskan dulu aktivitasnya, lalu tentukan wadahnya.
Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktivitas pertanian perdesaan tidak
akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, dan
obat-obatan), permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha
tani (on farm), pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian. Sebagaimana sudah dijelaskan di depan, kelembagaan yang
diintroduksikan saat ini sesungguhnya telah tumpang tindih. Untuk satu fungsi
tersedia banyak kelembagaan, sedangkan satu kelembagaan juga dapat
menjalankan berbagai fungsi. Tumpang tindih tersebut dipaparkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Matrik Fungsi-fungsi Agribisnis beserta Opsi Lembaga-lembaga yang dapat Menjalankan
Fungsi Tersebut dalam Kegiatan Pertanian di Perdesaan
32
untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka
pembentukan dan pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam konteks
semangat otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan keman-
dirian lokal.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A., Supena F., Syahyuti, dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT
Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
2005 – 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005.
Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun
2006. Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006. badan
SDM Pertanian, Deptan. Jakarta.
Basri, Faisal H. 2005. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya,
Malang. (http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang tantangan.
pdf., 22 Maret 2005).
Boyne, George A. 1996. Competition and Local Government: A Public Choice
Perspective. Urban Studies 33, 4-5: 703-721.
Chapman, J.I. 1999. Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of
California. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper
(http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005).
Deptan. 2006. Bahan Rapat Kerja Deptan dengan DPD-RI, tanggal 19 Juni 2006. Deptan,
Jakarta.
Kirlin, John J. 1996. The Big Questions of Public Administration in a Democracy. Public
Administration Review 56, 5 (September/October): 416-4320.
North, Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/
laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005.
Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press
Ltd., London. Hal. 266.
Robin, Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/
bromley.htm, 25 Oktober 2005.
34
Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda EM. 2003. Transformasi Kelembagaan
untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Perdesaan. Laporan Penelitian. PSE,
Bogor.
Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian. 2006. Sambutan dalam acara Apresiasi
Wartawan di Balai Pendidikan dan Latihan Hortikultura, Lembang, Bandung,
Jawa Barat.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya
dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge.
Chapter 1 dan 10.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With
Cases. Kumarian Press.
Wolman, Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful
Analytic Concept,” Urban Affairs Quarterly 26, 1 (September): 3-27.
World Bank. 2005a. Institutional Analysis. Dalam: http://lnweb18.worldbank.org/ESSD/
sdvext.nsf/81ByDocName/ToolsandMethodsInstitutionalanalysis, 12 September
2005.
World Bank. 2005b. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development.
(http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EI
D=482, 11 Mei 2005).
Zuraida, Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan:
Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.