Anda di halaman 1dari 17

Tatalaksana Sepsis pada Pasien Pediatri

Angela Karenina, Almira Zada Neysan Susanto, Eddy Yuristo


Dokter Muda pada Departemen/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif
FK UNSRI/RSMH
Palembang

A. Pendahuluan
Sepsis merupakan salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak di seluruh
dunia1. Di negara maju maupun negara berkembang, insiden sepsis meningkat dalam 30-40
tahun terakhir. Saat ini, diperkirakan 50 orang meninggal karena sepsis setiap jam. Data pada
2011 menunjukkan bahwa sepsis menyebabkan 6 juta kematian pada bayi dan anak-anak
setiap tahunnya2.
Di Amerika Serikat, perawatan sepsis di rumah sakit menghabiskan dana US$14,6
miliar pada 2008. Dengan penyesuaian akibat inflasi, jumlah ini diperkirakan terus meningkat
sejak dengan rerata kenaikan 11,7% setiap tahunnya. Sementara itu, di Indonesia, penelusuran
rekam medik internal Divisi Pediatrik Gawat Darurat (PGD) Departemen Ilmu Kesehatan
Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2009 menemukan persentase
kejadian sepsis 19,3% dari 502 pasien anak dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU)
RSCM dengan angka mortalitas 10%3.
Sepsis merupakan suatu keadaan darurat medis. Pada anak, gejala klinis dapat tidak
khas dan perburukan dapat terjadi dengan cepat. Penanganan sepsis secara dini akan
menghemat biaya dan mengurangi jumlah hari pelayanan rawat inap dan rumah sakit bagi
pasien. Oleh sebab itu, telaah yang membahas tatalaksana sepsis pada pasien anak diperlukan.
Telaah ini disusun dengan tujuan memberikan gambaran tentang penanganan sepsis pada
pasien anak.

B. Pembahasan
1. Definisi
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa dan disebabkan oleh respon
pasien yang tidak teregulasi pada adanya infeksi pada tubuh. Definisi ini menekankan
pada keadaan pasien yang tidak homeostatis, potensi letal yang tinggi, dan perlunya
untuk mengenali sepsis secara cepat. Disfungsi organ diidentifikasi sebagai perubahan
akut sesuai dengan kriteria SOFA (Sequential [Sepsis Related] Organ Failure
Assessment Score) dengan skor 2 dan diatas 2 (Tabel 1).

1
Tabel 1. SOFA
Sistem Skor
0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FIO2 ≥400 (53,3) <400(53,3) <300 (40) <200 (26,7) <100 (13,3)
mmHg (kPa) dengan dengan
bantuan bantuan
pernapasan pernapasan
Koagulasi
Platelet ≥150 <150 <100 <50 <20
3
(x10 /µL)
Liver
Bilirubin <1,2 1,2-1,9 2-5,9 6-11,9 >12
(mg/dl)
Kardiovaskular MAP MAP Dopamin <5 Dopamin 5,1- Dopamin >15
≥70mmHg <70mmHg atau 15 / epinefrin / epinefrin
dobutamin ≤0,1 / >0,1 /
(pada semua norepinefrin norepinefrin
dosis) ≤0,1 >0,1
Sistem Saraf Pusat
GCS 15 13-14 10-12 6-9 <6
Renal
Kreatinin, mg/dl <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 >5
Urine Output <500 <200

Secara umum, sepsis adalah kondisi mengancam nyawa yang muncul ketika respon
tubuh pasien terhadap infeksi melukai jaringan dan organ pasien tersebut. Sedangkan
pernyataan syok sepsis mengacu pada kondisi sepsis, saat terjadinya abnormalitas sistem
sirkulasi dan/atau kelainan pada selular atau kondisi metabolik pasien. Pasien dengan
syok sepsis dapat diidentifikasi dengan kondisi klinis sepsis dengan hipotensi menetap
dan membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP tetap di atas 65 mmHg dan
memiliki level serum laktat >2 mmol (>18mg/dl) pada kondisi volume resusitasi yang
cukup. Dengan kriteria ini, kematian meningkat sebanyak 40%.
Secara khusus, sepsis pada anak-anak didefinisikan sebagai kondisi dengan
memiliki minimal dua kriteria gejala klinis, 1 dari gejala yang ada harus merupakan
abnormalitas suhu atau abnormalitas jumlah hitung leukosit, dengan disertai:
1) Temperatur rektal > 38,5oC atau < 36oC
2) Takikardia >2 standar deviasi (SD) diatas normal pada usia (tidak ada stimuli
eksternal, menangis, dan obat-obatan) atau pada anak berusia dibawah 1
tahun, bradikardia <10th persentil (dengan tidak ada pengaruh obat, penyakit
jantung kongenital, dll.)
3) Frekuensi pernafasan >2SD di atas normal untuk usia anak
2
4) Hitung leukosit yang tinggi atau rendah untuk usia anak

Tabel 2. Tanda-tanda Vital Normal Pediatrik

Sumber : PALS Guideline, 2015.

2. Patofisiologi
Ada 3 tahapan mekanisme timbulnya sepsis yaitu : (1) Tahap inflamasi, (2) Tahap
koagulasi, dan (3) Tahap disfungsi bekuan darah, kerusakan jaringan, dan kematian.
Skema mekanisme timbulnya sepsis digambarkan dalam Skema 1.
3
Skema 1. Patogenesis terjadinya sepsis

Jejas atau infeksi

Inflamasi
Tahap 1

Kerusakan dinding pembuluh


darah

Ekspresi faktor-faktor jaringan


Peningkatan
PAI-1
Pembentukan trombin Tahap 2

Aktivasi sistem koagulasi

TAFIa
teraktivasi Konsumsi cepat dari protein C

Defisiensi protein C aktif

Supresi Fibirinolisis Koagulasi


Tahap 3

Penyumbatan mirovaskuler

Kerusakan jaringan

Disfungsi organ

Kematian

4
Keterangan :
Tahap 1 : Inflamasi
Proses yang dikenal dengan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)
dimulai saat muncul cedera (jejas) pada tubuh, seperti luka bakar, trauma, infeksi,
merangsang pelepasan substansi yang dikenal sebagai imunomodulator yang
mempengaruhi lapisan dalam (endotel) dari pembuluh darah. Apabila ada infeksi, proses
kemudian diperkuat dnegan pelepasan endotoksin atau eksotoksin, tergantung dari
organisme yang ada. Proses ini dikenal sebagai sepsis. Toksin tersebut dan stimulus
toksik lainnya juga merangsang pelepasan imunomodulator memproduksi proses
inflamasi (proinflamasi) dan substansi pengaktifan bekuan, termasuk sitokin seperti TNF
dan bentuk-bentuk lainnya dari interleukin. Sitokin ini akan menginflamasi lapisan
dinding pembuluh darah dan mengaktivasi proses pembekuan darah, serta merangsang
pelepasan modulator inflamasi lainnya.

Tahap 2 (Koagulasi)
Pembekuan darah merupakan proses berantai yang kompleks dalam tubuh manusia.
Inflamasi merangsang pelepasan substansi yang disebut factor jaringan, yang merangsang
pembentukan thrombin, yaitu suatu stimulus utama agar terbentuk bekuan darah.
Thrombin mengawali koagulasi dengan membentuk fibrin, suatu protein yang menjalin
sekumpulan bekuan darah. Pada sepsis, fungsi berantai tersebut berjalan abnormal.

Tahap 3 (Disfungsi Bekuan Darah, Kerusakan Jaringan, Kematian)


Pada umumnya, tubuh mengatur proses infalamasi dan koagulasi melalui
serangkaian alur respon balik biokimia. Hal tersebut mencegah pembentukan bekuan
darah berlebihan, dengan cara memecah fibrin dalam suatu proses yang disebut
fibrinolisis. Namun dalam siklus sepsis yang rumit, proses fibrinolisis ditekan. Hal ini
akan menyebabkan bekuan darah mikroskopis mulai terbentuk dalam organ vital,
menghambat aliran darah dan menyebabkan kerusakan jaringan. Faktor-faktor biokimia
yang berperan adalah :
- Peningkatan kadar PAI tipe 1 yang menyebabkan fibrinolisis
- Peningkatan kadar TAFIa (Thrombin Activatable Fibrinolysis Inhibitor)
- Penurunan kadar protein C (dalam bentuk endogen teraktivasi, yaitu : inhibitor
utama PAI-1)

5
Protein C adalah suatu imunomodulator ilmiah yang dapat menyeimbangkan proses
yang berlangsung selama sepsis, termasuk inflamasi, koagulasi, dan fibrinolisis. Protein
C endogen dalam bentuk teraktivasi, secara cepat menghambat proses pembekuan darah,
terutama dalam pembuluh darah paling kecil. Pada sepsis, kadar protein C teraktivasi
biasanya menurun. Hal ini dikarenakan kadar thrombomodulin (yang diperlukan untuk
konversi protein C menjadi protein C-teraktivasi) juga menurun. Penurunan kadar protein
C teraktivasi terkait dengan outcome buruk pada pasien sepsis.

6
3. Tatalaksana
Skema 2. Algoritma EGDT (Early Goal Directed Therapy)

7
a. Resusitasi Inisial
Setelah diagnosis sepsis tegak, tindakan yang harus dilakukan di awal adalah
mengenali penurunan status mental dan tanda-tanda hipoperfusi (laktat serum >1
mmol/L dan capillary refill time >2 detik atau mottling). Pengerjaan akses intravena
atau intraosseus harus dilakukan sedini mungkin untuk pemberian resusitasi cairan
dan pemberian agen inotropik. Dalam 3 jam pertama, pengukuran kadar laktat,
pemberian kristaloid 20mL/kgBB untuk hipotensi atau kadar laktat serum ≥4
mmol/liter, pengambilan darah untuk kultur dan dilanjutkan pemberian antibiotik
spektrum luas harus dilakukan.
Untuk mengatasi distres nafas dan hipoksemia arteri (didefinisikan sebagai
temuan hasil analisa gas darah dengan PaO2/FiO2 < 300), dilakukan pemberian
oksigen dengan sungkup. Jika SpO2 tetap tidak adekuat, nasal kanul aliran tinggi atau
continous positive airway pressure (CPAP) nasofaringeal dibutuhkan untuk
meningkatkan kapasitas residu fungsional dan menurunkan usaha nafas. Pada
neonatus dan bayi dengan sepsis berat, dibutuhkan intubasi lebih awal dikarenakan
kapasitas residu fungsional yang lebih rendah.
Dalam 6 jam pertama, pasien dengan hipoperfusi-terkait-sepsis harus mencapai
target-target fisiologis yang dikenal sebagai early goal-directed therapy sebagai
berikut.
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg atau 12-15 mmHg pada pasien
dengan ventilasi mekanik.
2) Tekanan arteri rerata (MAP) ≥65mmHg
3) Luaran urin ≥0,5 ml/kgBB per jam
4) Saturasi oksigenasi vena cava superior 70% atau saturasi oksigen vena
campuran 65%.
Pada anak dengan syok septik, target awal resusitasi adalah sebagai berikut.
1) Capillary refill time ≤2 detik
2) Tekanan darah normal sesuai dengan umur
3) Nadi normal sesuai dengan umur tanpa perbedaan antara nadi sentral dan
perifer
4) Ekstremitas hangat
5) Luaran urin >1mL/kgBB per jam,
6) Status mental normal

8
7) Saturasi oksigenasi vena cava superior 70%
8) Indeks kardiak (curah jantung per luas permukan tubuh) antara 3,3-6,0
L/menit/m2.

b. Antibiotik dan Kontrol Sumber Infeksi


Berdasarkan SSC, antimikroba empiris harus diberikan pada pasien dalam
jangka waktu 1 jam dari identifikasi sepsis. Kultur darah harus didapatkan sebelum
memberikan antibiotic ketika memungkinkan, namun pemeriksaan ini tidak boleh
menyebabkan terlambatnya pemberian antibiotik. Pilihan obat-obatan empiris harus
berubah tergantung pada daerah epidemiologi dan ekologi yang endemik pada daerah
tersebut. Akses vaskular dan pengambilan darah lebih sulit pada bayi dan anak-anak,
maka antimikroba dapat diberikan intramuscular atau bahkan oral (jika
memungkinkan) sampai akses vaskular tersedia.
SSC juga menyarankan penggunaan klindamisin dan terapi antitoksin lainnya
untuk mencegah terjadinya sindrom syok toksik dengan hipotensi refrakter. Hal ini
dikarenakan anak-anak memiliki kemungkinan terkena sindrom syok toksik akibat
kurangnya antibiotik di dalam darah untuk melawan toksin yang ada sehingga
klindamisin harus diberikan pada anak terutama dengan eritroderma dan tersangka
syok toksik.

c. Resusitasi Cairan
Pada anak lebih sering dijumpai hipovolemia berat berbeda dengan syok
septik pada dewasa yang disebabkan oleh paralisis vasomotor. Pada anak, kematian
akibat septik lebih sering disebabkan oleh penurunan curah jantung bukan penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti pada pasien dewasa. Pada anak, upaya
mempertahankan indeks jantung antara 3,3-6 L/menit/m17 berkorelasi dengan
menurunnya mortalitas.18 Pada syok septik anak yang resisten terhadap cairan, 58%
mengalami penurunan curah jantung dan peningkatan resistensi vaskuler sistemik,
sedangkan 22% lainnya mengalami penurunan curah jantung dan penurunan
resistensi vaskuler sistemik. Syok persisten dijumpai pada 33% kasus, sebgaian besar
dengan penurunan fungsi jantung.19 Pemberian resusitasi cairan secara agresif pada
umumnya dapat menurunkan mortalitas akibat syok hipovolemi yang terjadi.18

9
Resusitasi cairan dilakukan dengan bolus kristaloid (atau albumin) isotonik
sebanyak 20 mL/kgBB dalam waktu 5-10 menit.16 Pada anak dengan septik berat
dapat diberikan 60-80 mL/kgBB dalam satu jam pertama terapi.17 Pemberian cairan
ini harus dititrasi untuk memperbaiki hipotensi, heart rate (normal sesuai usia anak),
meningkatkan urine output (1mL/kgBB/jam), menurunkan capillary refill time (<2
detik), serta memperbaiki nadi perifer dan status mental atau kesadaran anak.
Resusitasi cairan ini diharapkan dapat menurunkan mortalitas anak terhadap syok
septik akibat hipovolemi cairan.16,17
Pemberian resusitasi cairan harus dilakukan beriringan dengan evaluasi ada
tidaknya kelebihan cairan (fluid overload) dengan cara melakukan perabaan hati
(mendeteksi adanya pembesaran hati/hepatomegali), mendeteksi adanya
pertambahan usaha napas, mendengar ronkhi (medeteksi adanya edema paru), serta
mendeteksi adanya pertambahan berat badan lebih dari 10% secara berulang-
ulang.16,17,18 Untuk mengatasi fluid overload dapat diberikan terapi diuretik, dialisis
peritoneal (bila didapatkan oliguria) atau Continous Renal Replacement Therapy
(CRRT) bila diperlukan. Terapi resusitasi cairan juga harus dikurangi atau bahkan
dihentikan.16 Pemberian koloid dapat dipertimbangkan bila kebutuhan cairan
resusitasi sangat besar. Pemeriksaan gula darah harus rutin dikerjakan dan bila
didapatkan hipoglikemia maka harus segera dikoreksi.18 Pada anak dengan anemia
hemolitik berat (sickle cell anemia, malaria berat) tanpa adanya hipotensi dapat
diberikan transfusi darah sebagai terapi cairan. Pada anak dengan fluid refractory
shock dapat diberikan terapi inotropik dan ventilasi mekanik.16
Anak-anak pada umumnya memiliki tekanan darah yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa. Kompensasi anak-anak terhadap penurunan
tekanan darah (vasokontriksi dan peningkatan heart rate) pada umumnya masih baik.
Maka dari itu, tekanan darah tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan
perlu tidaknya resusitasi cairan serta keberhasilan resusitasi cairan itu sendiri.
Kegagalan jantung biasanya menjadi akibat hipotensi pada syok hipovolemi sehingga
terapi resusitasi cairan sangat dianjurkan pada anak dengan tekanan darah normal
(normotensi) dan hipotensi.16
d. Pemberian Agen Inotropik/Vasopresor/Vasodilator
Pada anak yang tidak berespons terhadap resusitasi cairan di awal (syok
septik), pemberian agen inotropik dapat dilakukan melalui akses perifer. Agen

10
inotropik pilihan utama adalah dobutamin. Dobutamin diindikasikan pada pasien
dengan curah jantung yang rendah atau yang diperkirakan rendah dengan tekanan
pengisian ventrikel kiri normal dan resusitasi cairan yang adekuat. Dosis dobutamin
yang diberikan adalah 20µg/kg per menit.
Berdasarkan gejala klinis, syok septik dapat dikenali sebagai syok septik
hangat dan syok septik dingin. Syok septik hangat disebabkan oleh efek vasodilatasi
yang lebih dominan. Vasodilatasi sistemik akibat respons inflamasi tubuh
menyebabkan temuan ekstremitas hangat, pengisian kapiler yang melambat,
perabaan nadi yang kuat, dan penurunan produksi urin. Vasodilatasi sistemik
menyebabkan alian balik darah ke jantung menurun sehingga menyebabkan tekanan
diastolik menurun, sehingga membuat lebar tekanan nadi. Pada syok septik hangat,
pilihan vasopressor adalah norepinefrin. Jika masih hipotensi, dapat diberikan
vasopressin, terlipressin, atau angiostensin.
Baik syok septik hangat maupun syok septik dingin, keduanya menyebabkan
hipoperfusi jaringan. Pada syok septik dingin, respons tubuh terhadap inflamasi yang
dominan adalah vasokonstriksi sistemik. Vasokonstriksi sistemik menyebabkan
peningkatan systemic vascular resistance sehingga meningkatkan afterload. Oleh
sebab itu, pada syok septik dingin dapat ditemukan syok septik dengan tekanan darah
normal (setelah resusitasi cairan). Hal ini dimungkinkan karena tekanan darah
merupakan hasil kali antara curah jantung dan systemic vascular resistance.
Peningkatan SVR akan menutupi penurunan curah jantung. Pada pasien syok septik
dingin, pilihan agen inotropik adalah epinefrin. Pada syok septik dingin dengan
tekanan darah normal, dapat diberikan vasodilator seperti nitrat, milrininone atau
imrinone apabila pemberian cairan, epinefrin tidak menyebabkan ScvO2 lebih dari
70%.

e. Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO)


ECMO disarankan diberikan pada anak dengan syok sepsis refrakter atau
dengan gagal pernapasan refrakter dengan sepsis. ECMO mungkin dapat digunakan
untuk paien anak dan neonates dengan syok sepsis atau sepsis yang berkaitan dengan
kegagalan napas. Daya hidup pasien dengan sepsis dan menggunakan ECMO adalah
73% untuk bayi yang baru lahir dan 39% untuk anak dengan usia lebih tua.

11
f. Kortikosteroid
Sekitar 25% anak dengan syok septik mengalami insufisiensi adrenal absolut.
Anak dengan syok septik dan purpura, mendapat terapi steroid untuk penyakit kronik
(asma, penyakit rematik, keganasan, dan inflammatory bowel disease), serta
abnormalitas kelenjar pituitary atau adrenal, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami insufisiensi adrenal.16,17 Anak dengan insufisiensi adrenal tidak responsif
terhadap pemberian katekolamin, sehingga pada kasus-kasus yang tidak responsif
terhadap pemberian katekolamin maka perlu dipertimbangkan bahwa anak sudah
mengalami insufisiensi adrenal.17,18 Terapi hydrocortisone diberikan untuk mencegah
dan mengatasi insufisiensi adrenal absolut, mengatasi syok catecholamine-resistant
dan fluid-refractory.17 Penatalaksanaan awal yang dapat diberikan pada anak dengan
insufisiensi adrenal adalah pemberian hydrocortisone intravena dengan dosis stres 2
mg/kg bolus dilanjutkan dengan 2 mg/kg kontinu dalam 24 jam (50 mg/m2/24 jam).
Dosis ini dapat mempertahankan kadar kortisol darah 30 mg/dL. Dosis tinggi
diberikan pada bayi yang mengalami syok. Dosis hydrocortisone yang dapat
diberikan sebesar 50 mg/kg bolus, dilanjutkan dengan 50 mg/kg kontinu dalam 24
16,8
jam. Kematian yang disebabkan oleh insufisiensi adrenal dan syok septik dapat
terjadi dalam waktu 8 jam setelah manifestasi klinis. Pengecekan serum kortisol
dapat dilakukan pada waktu pemberian hydrocortisone.16,17

g. Terapi Plasma dan Darah


Target hemoglobin pada anak sama dengan orang dewasa. Selama resusitasi
dari syok saturasi oksigen vena cava superior (70%), target hemoglobin adalah 10
g/dL. Setelah stabilisasi dan hipokalsemia, target Hb 7 g/dL dapat digunakan.
Selain itu, disarankan juga jumlah transfuse trombosit yang sama dengan orang
dewasa. Terapi plasma biasa digunakan pada anak dengan purpura trombotik akibat
sepsis, termasuk pada anak dengan koagulasi intravaskular diseminata progresif,
mikroangiopati trombotik, dan purpura trombositopeni trombotik.

h. Ventilasi Mekanik
Pada anak dengan syok septik dilakukan penilaian terhadap usaha napas dan
komplians paru. Intubasi dapat diberikan berdasarkan hasil penilaian klinis usaha
napas, adanya hipoventilasi, atau penurunan kesadaran. Intubasi dipertimbangkan

12
pada anak dengan syok refrakter disertai dengan tanda gagal nafas, penurunan
kesadaran, serta untuk pemantauan hemodinamik invasif. Selain itu, ventilasi
mekanik juga dapat membantu mekanika sirkulasi. Diketahui bahwa sekitar 40%
curah jantung diperlukan untuk mendukung fungsi pernafasan, sehingga ventilasi
mekanik berguna untuk menurunkan beban kerja paru-paru. Meningkatnya tekanan
intratorakal juga berperan menurunkan afterload ventrikel kiri, sehingga dapat
membantu pasien dengan curah jantung rendah dan resistensi vaskuler perifer yang
tinggi.
Pemberian ketamin dan atropin sebagai agen sedasi-intubasi pada anak dengan
syok septik sangat disarankan. Ketamin bekerja dengan cara menghambat
transkripsi factor-kappa B dan mengurangi produksi Interleukin-6 di sistemik,
namun mempertahankan fungsi adrenal, sehingga mempertahankan stabilitas fungsi
kardiovaskuler (tidak menyebabkan hipotensi).3 Ketamin untuk fungsi sedasi
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB intravena. Ketamin juga dapat berfungsi
sebagai infus analgesia dan atau sedasi untuk mempertahankan stabilitas fungsi
kardiovaskuler pada saat dilakukan pemasangan ventilasi mekanik.
Pada anak dengan gagal nafas dan memerlukan ventilator, prinsip lung-
protective therapy perlu diterapkan sebagaimana pada pasien dewasa.1 Anak
dengan Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditargetkan
mendapat volume tidal 6 mL/kgBB dan plateau pressure <30 cmH2O,
strategi permissive hypercapnia untuk meminimalkan plateau pressure dan volume
tidal. PEEP juga diterapkan untuk mencegah kolaps alveolar di akhir ekspirasi.1,2
Posisi prone pada suatu penelitian multisenter didapatkan berguna untuk
memperbaiki hipoksemia.

i. Pemberian Sedasi
Pada pasien sepsis yang mendapat ventilasi mekanik, sedasi diperlukan. Pilihan
agen sedasi yang digunakan adalah ketamin. Etomidat dihindari karena dapat
menganggu aksis adrenal sehingga menurunkan efek katekolamin yang diperlukan
dalam respons terhadap sepsis. Sementara itu, propofol sebaiknya tidak digunakan
pada anak usia kurang dari 3 tahun karena adanya laporan yang berhubungan dengan
asidosis metabolik. Penentuan dosis agen sedasi harus dilakukan dengan hati-hati

13
karena metabolisme obat berkurang pada syok septik. Pada syok septik, sebaiknya
dilakukan monitoring toksisitas obat.

j. Kontrol Glikemia
Untuk mengontrol hiperglikemmia, pasien anak menggunakan target yang
sama dengan pasien dewasa (≤180 mg/dL). Infus glukosa harus bersamaan dengan
terapi insulin pada bayi baru lahir dan anak-anak.
Secara umum, bayi terkena risiko untuk mengalami hipoglikemia ketika
mereka menggunakan cairan intravena. Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan
glukosa dari 4-6 mg/kg/menit atau cairan maintenance dengan dekstrosa 10%dalam
normal salin sangat disarankan (6-8 mg/kg/menit pada bayi baru lahir). Hubungan
antara hiperglikemia dan peningkatan kematian telah dilaporkan. Terapi insulin
hanya boleh dilakukan dengan observasi glukosa pada pasien secara ketat untuk
memperhatikan terjadinya hipoglikemia yang dapat terjadi lebih sering pada bayi
baru lahir dan anak-anak dikarenakan kurangnya cadangan glikogen dan massa otot
untuk glukoneogenesis dan keragaman populasi dalam resistensi terhadap insulin.

k. Diuretik dan Terapi Pengganti Ginjal


Pada anak dengan kondisi kelebihan cairan (fluid overload), maka dilakukan
restriksi cairan dan diusahakan mengeluarkan cairan dengan pemberian diuretik,
bahkan bila perlu venovenous hemofiltration dan dialisis intermiten.16,17,19
Banyaknya kelebihan cairan yang dialami seorang anak ketika memulai continuous
renal replacement therapy (CRRT) berhubungan dengan prognosis yang buruk yaitu
kematian.20 Manitol 0,5 – 1 g/kgatau furosemid 1-5 mg/kg/dosis dapat diberikan
sebagai diuretik. Pemberian furosemid dengan infus kontinu lebih efektif dan lebih
kecil toksisitasnya dibandingkan dengan bolus.19 Target pengeluaran cairan adalah
0,5 – 1% berat badan perhari.

l. Nutrisi
Nutrisi parenteral diberikan bila anak tidak dapat menerima nutrisi enteral.
Protein diberikan 0,8-2 g/kg/hari, jumlah yang besar dipertimbangkan pemberiannya
pada anak dengan terapi pengganti ginjal (dialisis atau CRRT).19 Anak dengan syok
septik membutuhkan glukosa lebih banyak dibandingkan dengan orang normal.

14
Penghitungan kalori spesifik diperlukan untuk mengetahui kebutuhan nutrisi anak.
Penghitungan kalori ini dapat dilakukan dengan metabolic cart. Dekstrosa 10%
dalam cairan mengandung sodium pada laju maintenance dapat diberikan untuk
memenuhi kebutuhan glukosa pada bayi dan anak-anak.16,17

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Merskey H, Bogduk N. IASP Task Force on Taxonomy. Classsification of Chronic


Pain 2nd ed. Seattle;1994.p.210-1.
2. Rosenquist RW and Vrooman BM. Chronic Pain Management. Morgan & Mikhails’s
Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: Mc Graw Hill Education;2013.p.1025-32.
3. Hartwig MS, Wilson LM. Pain. Sylvia A Price & Lorraine M Wilson’s
Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. New York: Elvesier
Science;2003.p.1063-4.
4. Pocock G, Richards CD, Richard DA. The Somatosensory System and Pain. Oxford’s
Human Physiology ed 4. Oxford: Oxford University Press;2013.p.190-7.
5. Woolf CJ, Salter MW. Neuronal plasticity: increasing the gain in pain. Science.
2000;288:1765-8.
6. Yang J, Wu CL. Gene therapy for pain. Am Sci. 2001;89(2):126-13.
7. Payne R, Gonzales GR. Management of pain. Oxford extbook of palliative medicine
ed 2nd. New York: Oxford University Press;1999.p.628.
8. Friedman R. Pain at the cellular level. The role of the cytokine tumor necrosis factor-
alpha. Reg Anesth Pain Med. 2000;25(2):110-2.
9. Fields HL, Martin JB. Pathophysiology and management of pain. Harrison’s
principles of internal medicine ed 15th. New York: Mc Graw Hill;2001.p.96-110.
10. Hadinoto H, Setiawan, Soetedjo. Pengenalan dan Tatalaksana Nyeri. Semarang:
Universitas Diponegoro Press;1996; 1-20.
11. Mekzack R. Labour Pain As A Model Of Acute Pain. Mosby Philadelphia;1993:117-20.
12. Soenarjo, Jattmiko DS. Anestesiologi. Semarang: Universitas Diponegoro
Press;2010.p.295-310.
13. Chapman CR. Psychological Aspects of Pain. The Neurological Basis Of Pain.
Philadelphia: McGraw Hill;2004.p.156-9.
14. Surota. Aspek Neurobiologi Nyeri dan Inflamasi. Surabahya: Erlangga University
Press;2006.p.51-66.
15. Benzon, et al. The Assesment of Pain, In essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005.
16. Dellinger, R. Phillip, dkk. 2013. Surviving Shock Campaign: International Guidelines
for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Vol. 41(2).

16
17. Turner, David A., Ira M. Cheifetz. 2011(19). Shock. Nelson Textbook of Pediatrics.
USA: Elsevier. Hal. 305—314.
18. Pudjiadi, Antonius. 2013. Syok Septik Pediatri. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
LXIV:Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Hal. 11—20.
19. Hidayati, Eka Laksmi. Acute Kidney Injury. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
LXIV:Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Hal. 33—42.
20. Goldstein SL, Somers MJ, Baum MA, Symons JM, Brophy PD,Blowey D, dkk.
Pediatric patients with multi-organ dysfunction syndrome receiving continuous renal
replacement therapy. KidneyInt. 2005; 67: 653-8.

17

Anda mungkin juga menyukai