Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang terdiri atas jaringan kelenjar,


jaringan fibrosa dan jaringan otot. Saat mengalami pembesaran, organ ini dapat
menyumbat uretra pars posteriror sehingga mengganggu aliran keluaran (voiding)
urin. Kelenjar prostat berukuran sebesar buah kenari dengan berat normal pada
orang dewasa 20-30 gram. McNeal (1976) membagi kelenjar prostat dalam
beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior, dan zona periuretra. Sebagian besar hiperplasia prostat
terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer. 1,2
Pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan ± 80% pria yang
berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran
urine sehingga menimbulkan gangguan miksi.Sampai saat ini masih belum dapat
diketahui secara pasti penyebab pembesaran prostat, namun beberapa teori
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
testosteronyang berada di dalam sel kelenjar tersebut.Hormon ini akan dirubah
menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α-
reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di
dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan dan proliferasi sel kelenjar prostat. 1
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran non malignant
dari kelenjar prostat yang terjadi akibat faktor penuaan dan dapat mengakibatkan
sumbatan pada buli (bladder outlet obstruction) dan menimbulkan gejala dari
saluran kemih bawah (Lower Urinary Tract Symptomps) sehingga akan
mempengaruhi kualitas kehidupan seseorang.2,3
Dalam penatalaksanaannya, manajemen BPH memiliki dua tujuan utama,
yaitu mengurangi gejala yang menganggu, dan untuk mencegah atau menunda
perkembangan gejala BPH yang terkait. 1,2

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identifikasi Pasien


Nama : Tn. AL
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Keban Agung
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
Pekerjaan : Petani
Nomor Rekmed : 028607
MRS Tanggal : 2 Mei 2018

2.2. Anamnesa (Autoanamnesis tanggal 3 Mei 2018, pukul 07.00 WIB)


Keluhan Utama
Sulit buang air kecil sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


Tn AL. 60 tahun, datang dengan keluhan sulit buang air kencing sejak
kurang lebih 4 bulan yang lalu, pasien lalu dikateter. Setelah itu, pasien
sudah berganti kateter sebanyak 8 kali. Pasien mengeluhkan juga suka lama
berada di kamar mandi ketika sedang berkemih karena air kencingnya tidak
lancar keluarnya. Keluhan kencing berpasir dan keluar batu disangkal
Saat pergantian kateter ke-8, pasien mengeluhkan muncul cairan
seperti nanah dan darah pada ujung penisnya setiap ingin berkemih.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
 Keluhan yang sama sebelumya disangkal
 Operasi disangkal
 Pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi
 Kencing manis disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa pada keluarga disangkal
 Riwayat penyakit kanker pada keluarga disangkal

2.3. Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Baik
Gizi : Kesan gizi baik
TB : 168 cm
BB : 68 kg
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 64x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 23x/menit
Suhu : 36,5oC

Status Generalis
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : KGB tidak teraba, JVP 5+2 cm H2O

Toraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

3
Paru
Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus simetris pada kedua hemitoraks
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing

Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan regio inguinalis dextra dan
sinistra (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal.

Ekstremitas
Atas : akral hangat +/+, edema -/-
Bawah : akral hangat +/+, edema -/-

Rectal Toucher
Tonus sfingter ani baik, ampula tidak kolaps, mukosa licin, prostat teraba pada
arah jam 12, membesar, kenyal, tidak berdungkul-dungkul

2.4. Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan Laboratorium
- Hb : 12,1 g/dL
- Ht : 36,5 %
- Leukosit : 16.400/mm3
- Trombosit : 250.000 µ/L
- Eritrosit : 5,36 x 106 /mm3
- GDS : 77 mg/dL
- Ureum : 47 mg/dL
- Kreatinin : 0,8 mg/dL

4
- Rontgen Thorax
Kesan : tidak ditemukan kelainan

- USG abdomen

- Skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS)


- Sisa selesai BAK =3
- Kembali BAK dalam waktu kurang dari 2 jam =1
- Kencing terputus-putus =1
- Sulit menunda BAK =1
- Pancaran BAK lemah =1
- Harus mengejan untuk memulai BAK =3
- Bangun dari tidur untuk BAK =1
Skor IPSS total = 11 (sedang)

5
2.5. Diagnosis Banding
- Benign Prostate Hyperplasia
- Vesicolithiasis
- Ca prostat

2.6. Diagnosis
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2.7. Tatalaksana
- Catheter urine
- Operatif : Open Prostatektomi
- Medikamentosa post operatif:
- Cefoperazone 2x1gr IV
- Moxifloxacin 1x400mg
- Furosemid 1x40mg
- Asam traneksamat 3x500mg
- Irigasi NaCl gtt XXX
- Edukasi post operatif :
- Bed rest

2.8. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2012).
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat
sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat
berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada
diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh
lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas
pada ampulla recti.1
Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur
hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul
sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur.1
Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup
banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra
dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar
limfe regionalnya ialah kelenjar limfe, hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka
eksterna.1
Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis inferior
dan arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung
membentuk plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi dan alas prostat. Plexus
venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibrosa dan sarung prostat,
ditampung oleh vena iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga berhubungan
dengan plexus venosus vesicalis dan plexus venosi vertebrales. Pembuluh limfe
terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi lymphoidei
externi.1

7
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Prostat1

Gambar 2. Persyarafan otonom pada testis, duktus deferens, prostat, dan


vesikula seminalis1

8
Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel,
bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori
kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromuskular. Hormon
androgen testis berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan dan kelangsungan hidup
sel-sel prostat.1
Prostat merupakan suatu kumpulan 30−50 kelenjar tubuloalveolar yang
bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika, yang menembus
prostat. Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra.
Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan
kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona
transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH
terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer.1
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris
atau kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar. Prostat
dikelilingi suatu simpai fibroelastis dengan otot polos. Septa dari simpai ini
menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas
pada orang dewasa. Seperti halnya vesikula seminalis, struktur dan fungsi prostat
bergantung pada kadar testosterone.1

Gambar 3. Histologi kelenjar prostat (Sumber: Junqueira & Carneiro, 2007).

9
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang mengandung
kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Selama
pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas
deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat
menambah jumlah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa
mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens
relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan
sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina
bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH
sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat yang sedikit basa
mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi,
dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma.

10
3.2 Definisi Benign Prostat Hyperplasia (BPH)
Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya
hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Banyak faktor yang diduga
berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya
BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih
menghasilkan testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen,
prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga
berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-
faktor tersebut mampu memengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth factor,
yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar
prostat.5,6,7
Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan
istilah klinis yang menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya
perubahan histopatologis yang jinak pada prostat (BPH). Diperkirakan hanya
sekitar 50% dari kasus BPH yang berkembang menjadi BPE. Pada kondisi yang
lebih lanjut, BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut
dengan istilah benign prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian
dari suatu entitas penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung
kemih dan uretra, dinamakan bladder outlet obstruction (BOO). Adanya obstruksi
pada BPO ataupun BOO harus dipastikan menggunakan pemeriksaan
urodinamik.5,6,7

3.3 Epidemiologi

BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di
Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital
prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun.

11
3.4 Etiologi

Hingga sekarang, penyebab BPH masih belum dapat diketahui secara pasti,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat4:

1. Teori dihidrotestosteron
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron.
Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5 α – reduktase. DHT inilah yang
secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar
prostatPada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 α – reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.

2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang makin tua, kadar testosteron makin menurun,


sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen :
testosteron relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian
sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun
merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah
adamempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi
lebih besar.

12
3. Interaksistroma-epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan


sel- sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel stroma itu sendiri, yang
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat

Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik


homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan
antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa
prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjarprostat.
5. Teori selstem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu


dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan
sel ini bergantung pada hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun
(misalnya pada kastrasi), menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga
terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epitel.

13
3.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra


pars prostatika dan menghambat aliran urin sehingga menyebabkan tingginya
tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik
buli-buli, yakni: hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula,
dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS).4

Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli


tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadinya refluks vesiko-
ureter. Jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis
bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal.4

3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
1) Riwayat Penyakit
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi9:

 Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu;
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing batu,
atau pembedahan pada saluran kemih);
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual;
 Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih

14
2) Skor Keluhan
Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi
akibat pembesaran prostat adalah sistem penskoran keluhan. Salah satu sistem
penskoran yang digunakan secara luas adalah International Prostate Symptom
Score (IPSS) yang telah dikembangkan American Urological Association (AUA)
dan distandarisasi oleh World Health Organization (WHO). Skor ini berguna
untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. IPSS terdiri atas 7 pertanyaan
yang masing-­‐masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35
(lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien
mengisi sendiri setiap pertanyaan. Berat-ringannya keluhan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: skor 0-7: ringan, skor 8-19:
sedang, dan skor 20-35: berat.9,10
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu
pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga
terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.

3) Catatan Harian Berkemih (Voiding diaries)


Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang mengeluh
nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa
jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang
dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik,
instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau obstruksi infravesikaasupan
air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk
mendapatkan hasil yang baik.9

b. Pemeriksaan Fisik

1) Status Urologis9
a. Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya obstruksi
atau tanda infeksi.

15
b. Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk menilai
isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi

2) Colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur ini
dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume
prostat dengan DRE cenderung lebih kecil daripada ukuran yang sebenarnya.9,10
Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus sfingter ani dan
refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada lengkung
refleks di daerah sacral.10

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila
dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur
urine.9,10,12

2) Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada
saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30%
dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu
tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.9

3) Pemeriksaan PSA

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific.7 Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin
tua.9,10

16
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;
dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:

 pertumbuhan volume prostat lebih cepat,


 keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
 lebih mudah terjadi retensi urine akut
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan
prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-­‐rata setiap tahun pada kadar PSA
0,2- 1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl
adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Serum
PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-
lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.Pemeriksaan PSA
bersama dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur
saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu, pada usia di
atas 50 tahun atau di atas 40 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi)
pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya
karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dipertimbangkan
setelah didiskusikan dengan pasien.

4) Uroflowmetry (Pancaran Urin)

Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih.


Pemeriksaan non-­‐invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi
mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran
rata-­‐rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran
maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengevaluasi
gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah terapi.9
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya
kelainan pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan obstruksi
saluran kemih bagian bawah atau kelemahan otot detrusor.

17
Terdapat hubungan antara nilai Qmax dengan kemungkinan obstruksi
saluran kemih bagian bawah (BOO). Pada batas nilai Qmax sebesar 10 mL/detik
memiliki spesifisitas sebesar 70%, positive predictive value (PPV) sebesar 70 %,
dan sensitivitas sebesar 47% untuk mendiagnosis BOO. Sementara itu, dengan
batas nilai Qmax sebesar 15 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 38%, PPV
sebesar 67%, dan sensitivitas sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.9
Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih bagian bawah
tidak hanya dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan
pemeriksaan lain. Kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax
cukup akurat dalam menentukan adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah.
Pemeriksaan uroflowmetry bermakna jika volume urine >150 mL.9

d) Residu Urine

Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-rata
12 mL.

18
Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG, bladder scan
atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat
dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera
uretra, infeksi saluran kemih, hingga bacteremia.11
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi saluran
kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu urine
yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan peningkatan risiko
perburukan gejala. Peningkatan volume residu urine pada pemantauan berkala
berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urine.11

d. Pencitraan

a. Saluran Kemih Bagian Atas


Pencitraan saluran kemih bagian atas hanya dikerjakan apabila terdapat
hematuria, infeksi saluran kemih, insufisiensi renal, residu urine yang banyak,
riwayat urolitiasis, dan riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran
urogenitalia. Pemeriksaan USG direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada
keadaan-keadaan tersebut.9

b. Saluran Kemih Bagian Bawah


Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan jika dicurigai adanya
striktur uretra9

c. Prostat
Pemeriksaan pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin yang
bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat, dengan menggunakan
ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau ultrasonografi transrektal
(TRUS).Pengukuran besar prostat penting dalam menentukan pilihan terapi
19anitidi, seperti operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP, atau terapi
minimal 19anitidi lainnya. Selain itu, hal ini juga penting dilakukan sebelum
pengobatan dengan 5-ARI.9

19
1) Uretrosistokopi
Uretrosistoskopi dikerjakan pada pasien dengan riwayat hematuria, striktur
uretra, uretritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, riwayat operasi uretra, atau
kecurigaan kanker kandung kemih9

2) Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan opsional pada evaluasi
pasien BPH. Indikasi pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah: pasien berusia
kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun, volume residu urine >300 mL,
Qmax >10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis,
setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya kelainan buli-buli
neurogenik. Urodinamik saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam
menentukan derajat obstruksi saluran kemih bawah dan mampu memprediksi hasil
tindakan 20anitidi. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 87%, spesifisitas
93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%.9,10

3.7 Tatalaksana

a. Konservatif

Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.9

 Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala


sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
 jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
 kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),

20
 batasi penggunaan obat-­‐obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
 jangan menahan kencing terlalu lama.
 penanganan konstipasi
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-­‐6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu
urine.1 Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih
terapi yang lain.

b. Medikamentosa

a. alpha-blocker

Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos


prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra.
Beberapa obat α1- blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin,
dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.9
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30‐45%
atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%.1-3 Tetapi obat α1-
blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam
jangka panjang.9
Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap
sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizziness, dan asthenia)
yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain
yang dapat terjadi adalah ejakulasi 21anitidine. Salah satu komplikasi yang harus
diperhatikan adalah intraoperative floppy iris syndrome (IFIS) pada operasi
katarak dan hal ini harus diinformasikan kepada pasien.9

21
b. 5alpha-reductase inhibitor

5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis


sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 – 30%.
5a‐reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari nilai
yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat.
Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α-reductaseinhibitor yang dipakai untuk mengobati
BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride
baru dapat terlihat setelah 6 bulan.9
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride
digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian
finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi
ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak‐bercak kemerahan di
kulit.9,10

c. Antagonis Reseptor Muskarinik

Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor


muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor
muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih.
Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah
fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine
l‐tartrate.9,10
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage
LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml (≈volume
prostat kecil) menunjukkan pemberian antimuskarinik bermanfaat.1 Sampai saat
ini, penggunaan antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat
kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urine
akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa
urine pasca berkemih. Sebaiknya, penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan
jikapenggunaan α-blocker tidak mengurangi gejala storage.

22
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti
mulut kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan
berkemih (sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai dengan 3%), dan pusing
(sampai dengan 5%)9,10

d. Phospodiesterase 5-inhibitor

Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi


dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan
uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu
sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5
mg per hari yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.9,10

Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-37%.


Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu.3 Pada
penelitian uji klinis acak tanpa meta-analisis, peningkatan Qmax dibandingkan
23anitid adalah 2,4 ml/s dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada
residu urine. Data meta-analisis menunjukkan PDE 5 inhibitor memberikan efek
lebih baik pada pria usia lebih muda dengan indeks massa tubuh yang rendah
dengan keluhan LUTS berat.9,10

e. Terapi Kombinasi12,13

α1‐blocker + 5α-reductase inhibitor

Terapi kombinasi α1-­‐blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5α-


­‐reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan
efek sinergis dengan menggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan
obat tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan
mencegah perkembangan penyakit.

Waktu yang diperlukan oleh α1‐blocker untuk memberikan efek


klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α‐reductase inhibitor membutuhkan
beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang signifikan.

23
Data saat ini menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut dan
kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya efek samping.20

Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS


sedang-­‐berat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat besar, PSA yang
tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan
apabila direncanakan pengobatan jangka panjang (>1 tahun).

Α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik

Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik


bertujuan untuk memblok α1-adrenoceptor dan cholinoreceptors muskarinik
(M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat
mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode inkontinensia, skor
IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan α1-blocker atau
24anitid saja. Pada pasien yang tetap mengalami LUTS setelah pemberian
monoterapi α1-blocker akan mengalami penurunan keluhan LUTS secara
bermakna dengan pemberian anti muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas
detrusor (detrusor overactivity).

Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu α1-blocker dan
antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan
monoterapi. Pemeriksaan residu urine harus dilakukan selama pemberian terapi
ini.

f. Fitofarmaka

Beberapa ekstrak tumbuh-­‐tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk


memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dan masih banyak
lainnya.12,13

24
g. Pembedahan

Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan


komplikasi, seperti:9

 retensi urine akut;


 gagal Trial Without Catheter (TwoC);
 infeksi saluran kemih berulang;
 hematuria makroskopik berulang;
 batu kandung kemih;
 penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
 dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian
atas. Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang
hingga berat,
 tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan
pasien yang
 menolak pemberian terapi medikamentosa.

h. Invasif Minimal

Transurethral Resection of the Prostate (TURP)

TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH


dengan volume prostat 30-80 ml.1 Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume
prostat untuk tindakan ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman
spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan. Secara umum,
TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100%.9

Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan
yang memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%),
retensi bekuan darah (0- 39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%).. Sementara itu,
angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah 0,1.

25
Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi
inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%), striktur urethra
(3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-14%), dan retensi urin
dan UTI.9

Laser Prostatektomi

Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG
(Tm:YAG), dan diode. Kelenjarprostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-
65oC dan mengalami vaporisasi pada suhu yang lebih dari 1000C.9

Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya


pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.

i. Lain-lain
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih
(bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil
(kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat.2,14
TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax
meskipun tidak sebaik TURP.

Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga


menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan
dari berbagai cara, antara lain adalah Transurethral Microwave Thermotherapy
(TUMT), Transurethral Needle Ablation (TUNA), dan High Intensity Focused
Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam jaringan prostat, semakin baik
hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek samping yang
ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan perawatan di
rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka
terapi ulang TUMT (84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-­‐50% dalam 20
bulan). 9,10

26
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di
proksimal verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra prostatika.
Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Stent yang telah terpasang
bisa mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan 27anitid.2

j. Operasi Terbuka

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack


atau Freyer) dan retropubik (Millin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat
yang volumenya lebih dari 80 ml.9

Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan


morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi
dilaporkan sebanyak 7-­‐14% berupa perdarahan yang memerlukan transfusi.
Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah di bawah
0,25%. Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur leher kandung kemih
dan striktur uretra (6%) dan inkontinensia urine (10%).9

l. Lain-Lain

Trial Without Catheterization (TwoC)

TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih


secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian
diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.TwoC baru dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari.
TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine akut yang
pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.14

Clean Intermittent Catheterization (CIC)

CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten


baik mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap
dipasang pada pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami
gangguan fungsi ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan
bersih ketika kandung kemih pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.14

27
Sistostomi

Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat


dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara
pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk
mengalirkan urine.14

Kateter menetap

Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering


digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang
tidak dapat menjalani tidakan operasi.14

28
Gambar 5. Skema Pengelolaan BPH untuk dokter umum dan spesialis non-
urologi14

Gambar 6. Algoritma tata laksana pilihan terapi medikamentosa/konservatif14

29
Gambar 7. Algoritma tatalaksana pilihan terapi intervensi14

30
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien laki-laki, 60 tahun, datang ke Poli Bedah RS H. M Rabbain Muara


Enim dengan keluhan sulit buang air kecil (BAK) sejak 4 bulan SMRS. Setelah
merasakan keluhan, pasien lalu dipasangi kateter sebanyak delapan kali. Setelah
pemakaian kateter kedelapan, pasien mengeluh keluar cairan seperti nanah dan
darah setiap kali berkemih.
Identifikasi pasien menunjukkan bahwa pasien adalah laki-laki berusia
lanjut, yang merupakan kelompok berisiko tinggi mengalami pembesaran prostat,
baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak terjadi pada sepertiga laki-laki
berusia di atas 60 tahun, dan sampai 90% laki-laki berusia 85 tahun.
Keluhan sulit buang air kecil yang ada pada pasien termasuk dalam Lower
Urinary Tract Symptoms (LUTS). Gejala-gejala tersebut dapat dibagi menjadi
gejala storage dan gejala voiding. Keluhan pasien tersebut menunjukkan
kecenderungan masalah terdapat di saluran kemih bagian bawah, yaitu buli,
prostat, dan uretra.
Pasien mengeluh kesulitan saat BAK. Terdapat sedikit rembesan BAK di
kemaluan. Perut bagian bawah pasien terasa nyeri. Keluhan pasien tidak dapat
buang air kecil menandakan telah terjadi retensio urine. Rembesan BAK yang
terdapat di kemaluan pasien merupakan suatu inkontinensia paradoksa, yang
terjadi akibat buli tidak dapat lagi menahan urin yang terakumulasi.
Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan prostat teraba membesar,
dengan konsistensi kenyal, dan tidak berdungkul-dungkul. Hasil pemeriksaan
tersebut menunjukkan kecenderungan pembesaran prostat bersifat jinak.
Pemeriksaan penunjang laboratorium menunjukkan tidak ada peningkatan
ureum dan kreatinin. Hasil tersebut menyingkirkan dugaan bahwa terdapat
masalah pada fungsi ginjal dari pasien.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Skor IPSS 11
menunjukkan bahwa derajat gejala BPH pasien termasuk derajat sedang.

31
Tatalaksana retensi urin pada pasien dilakukan dengan pemasangan kateter
Foley. Tatalaksana BPH pada pasien adalah open prostatectomy. Sebagai terapi
post-operatif diberikan antibiotik cefoperazone dan moxifloxacin, antifibrinolitik
asam traneksamat, dan irigasi NaCl untuk koreksi.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo,B. 2011. Dasar-dasar Urologi: Hiperplasia Prostat Benigna.


Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto
2. Gardjito W.Retensi Urin : Permasalahan dan Penatalaksanaan. JURI
1994; 4: 18-26
3. Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta, EGC,
hal 848-933.
4. Purnomo. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua. Jakarta: CV.Sagung Seto.
2007. 69- 85.
5. Roehrborn CG. BPH progression: concept and key learning from
MTOPS, ALTESS, COMBAT, and ALF-ONE. BJU Int. 2008;101(suppl
3):17-21.
6. Parsons JK: Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract
Symptoms: Epidemiology and Risk Factors. Curr Bladder Dysfunct Rep.
2010;5:212–18.
7. Pintarelli VL, Gomes LF, Lorenzetti F, Neto JT, Dambros M. Elderly
men's quality of life and lower urinary tract symptoms: an intricate
relationship. BJU Int. 2011.
8. Roehrborn CG. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, pathophysiology,
epidemiology, and natural history. Dalam: Campbell's urology, edisi ke
10. Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ.
Philadelphia: WB Saunders Co. 2012.hal.2570-91.
9. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the
Management of Non-­‐Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association
of Urology; 2014.
10. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, Barry MJ, Bruskewitz RC,
Donnell RF, et al. Update on AUA guideline on the management of
benign prostatic hyperplasia. J Urol. 2011 May;185(5):1793-803.
doi: 10.1016/j.juro.2011.01.074. Epub 2011 Mar 21.

33
11. Gerber GS, Brendler CB. Evaluation of the Urologic Patient: History,
Physical Examination, and Urinalysis. In: Campbell-Walsh Urology.
10th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders 2012; p. 71-80.
12. Wuest M, Kaden S, Hakenberg OW, et al. Effect of rilmakalim on
detrusor contraction in the presence and absence of urothelium. Naunyn-
­‐Schiedeberg’s Arch Pharmacol 2005 Nov;372(3):203-12.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16283254
13. Kono M, Nakamura Y, Ishiura Y, et al. Central muscarinic receptor
subtypes regulating voiding in rats. J Urol 2006 Jan;175(1):353-7.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16406941
14. IAUI. 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis BPH, hal 23-25.

34

Anda mungkin juga menyukai