Anda di halaman 1dari 47

Panduan dan Format Laporan Fisiologi Hewan Akuatik 2018 (Ketik)

 Penulisan laporan bersifat INDIVIDU


 Margin: Kiri 3 cm, Kanan 3 cm, Atas dan Bawah 2,5 cm.
 Terdiri Atas 4 Acara, Yaitu :
1. Laju Digesti Pada Ikan
2. Osmoregulasi
3. Pengukuran Glukosa sebagai Respon Stres pada Ikan
4. Pemijahan Buatan pada Ikan Nilem
 Semua latar belakang dan pembahasan harus berdasarkan dari pustaka.
 Pustaka diharapkan berasal dari jurnal (5 tahun terakhir) (WAJIB, MINIMAL 5
PER ACARA), skripsi, thesis, disertasi, dan artikel ilmiah lainnya
 Setiap acara formatnya hampir sama, cuma disesuaikan aja untuk tiap acaranya
 Revisian laporan dalam bentuk softcopy, untuk waktu revisian silahkan disesuaikan
dengan jadwal asisten praktikum masing-masing.
 Laporan dijilid buku dengan warna sampul biru telur asin
 DEADLINE PENGUMPULAN LAPORAN DALAM BENTUK HARD
MAKSIMAL 1 HARI SEBELUM RESPONSI.
 Laporan yang dikumpulkan harus sudah lengkap dengan tandatangan pengesahan
dari praktikan dan asisten masing-masing serta sudah dijilid
LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH FISIOLOGI HEWAN AKUATIK

Oleh :
Nama : Utari Desfitya Dewi
NIM : L1A016010
Kelompok :2
Asisten : Neneng Nur Afifah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK

Oleh :

Nama Utari Desfitya Dewi


NIM. L1A016010

Disusun Untuk Memenuhi Kelengkapan Penilaian Praktikum Mata Kuliah Fisiologi Hewan Akuatik Di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Disetujui,
Purwokerto, ............... 2018

Mengetahui :

Asisten Praktikum Mahasiswa

……………… .............................
NIM. H1…………. NIM.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum

Fisiologi Hewan Akuatik ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dalam

penulisan laporan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak

yang telah membantu, yaitu kepada :

1. Dr. Norman Arie Prayogo, S.Pi.,M.Si, Dewi Nugrayani, S.pt.,M.Sc, Dewi

Wisudyanti Budihastuti, S.Pt.,M.Si, Emyliana Listyowati, S.Si.M.Sc selaku tim

pengajar mata kuliah Fisiologi Hewan Akuatik yang telah memberikan petunjuk-

petunjuk dalam setiap kegiatan perkuliahan.

2. Seluruh asisten praktikum Fisiologi Hewan Akuatik yang telah memberikan arahan

dan petunjuknya selama berlangsungnya kegiatan praktikum.

3. Semua pihak yang telah membantu penulis sehingga penyusunan bisa

menyelesaikan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-

kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan

yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis

harapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan ini.

Semoga materi laporan ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran

bagi pihak yang membutuhkan. Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan

imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat

menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Purwokerto, Juni 2018


ACARA I

LAJU DIGESTI PADA IKAN

Oleh :

Nama Utari Desfitya Dewi


NIM. L1A016010

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Digesti merupakan proses pemecahan zat makanan yang kompleks menjadi

sederhana. Proses digesti memerlukan waktu yang lama dalam memecah makanan.

Pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan mengalami proses digesti di dalam sistem

pencernaan sebelum pakan nutriai itu diabsorpsi yang akan digunakan untuk sistem

biologis pada tubuh ikan. Proses digesti pada ikan akan dibantu oleh enzim-enzim

pencernaan yang dihasilkan oleh tubuh (Kay, 1998). Menurut Zonneveld et al. (1991)

dalam Al Gadri et al. (2014), enzim-enzim yang berperan dalam pencernaan adalah

protease, amilase dan lipase yang mengkatalisis pemecahan nutrien komplek (protein,

karbohidrat dan lemak) menjadi nutrien sederhana Hasil proses digesti dapat berupa

asam amino, asam lemak dan monosakarida yang akan diabsopsi oleh sel epitel intestine

kemudian disebar luaskan ke seluruh tubuh oleh sistem sirkulasi (Kay, 1998).
Proses pencernaan ikan sama dengan vertebrata yang lain, namun ikan memiliki

bebrapa variasi, terutama dalam hubungannya dengan cara memakan. Proses

pencernaan dan absorpsi berlangsung di dalam saluran pencernaan. Proses ini berfungsi

menyediakan suplai kebutuhan tubuh akan air, mineral, vitamin dan zat gizi. Proses

digesti dibagi menjadi dua yaitu digesti secara mekanik dan kimiawi. Digesti secara

mekanik dimulai dari rongga yaitu dengan berperannya gigi dalam proses pemotongan

dan penggerusan makanan, lalu dilanjutkan ke lambung dan usus yaitu dengan adanya

gerakan-gerakan kontraksi otot. Digesti secara kimiawi diperankan oleh enzim yang

membantu mencerna makanan menjadi molekul-molekul terkecil sehinga bisa diserap

oleh usus untuk diedarkan melalui pmbuluh darah ke seluruh tubuh untuk menghasilkan

energi (Fujaya, 2002).


Menurut Pillay dalam Purwanto (1992), ikan jenis lele-lelean akan makan untuk

memenuhi energi metabolismenya dan berhenti makan bila sudah terpenuhi. Waktu

yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi makanan kembali dapat diperkirakan dari


hubungan antara waktu kosongnya isi lambung dan waktu pengambilan pakan (Elliot

dalam Purwanto, 1992). Pengaturan frekuensi pemberian pakan dilakukan berdasarkan

pertimbangan bahwa tiap jenis dan ukuran ikan mempunyai interval waktu untuk makan

yang berbeda, bergantung pada kapasitas dan laju pengosongan lambungnya (Gwither

dan Grove, 1981)


I.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara Laju Digesti pada ikan adalah untuk melihat laju

digesti atau pengosongan lambung ikan lele (Clarias batrachus).


II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum acara laju digesti pada ikan adalah

akuarium kaca berukuran 30 x 50 x 30 cm, alat bedah, timbangan analitik, saringan,

pinset, gunting bedah dan bak preparat.

2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum acara laju digesti pada ikan adalah ikan
Nila, pakan ikan (pelet) dan air.
2.2. Metode

Ikan Nila dianestesikan terlebih dahulu menggunakan air es kemudian ikan

tersebut dibedah untuk diambil lambungnya, lalu ditimbang untuk mengetahui bobot

lambung. Bobot lambung yang diperoleh dinyatakan sebagai bobot lambung dalam

keadaan ringan atau nol jam setelah makan. Kemudian ikan yang sudah disediakan

diambil lagi lalu beratnya ditimbang menggunakan timbangan analitik, lalu ikan ditaruh

di akuarium dan diberikan pakan sebanyak 1% dari berat total tubuhnya. Setelah 45

menit, ikan dianestesikan kembali menggunakan air es lalu dibedah untuk diambil

lambungnya lalu ditimbang untuk mengetahui bobot lambung. Perlakuan tersebut

diulang dalam waktu 20,30, dan 40 menit. Kemudian data hasil pengamatan di plotkan

dalam bentuk grafik hubungan antara lama pengamatan dengan persentase bobot

lambung. Rumus untuk menghitung laju digesti :

2.3. Waktu dan Tempat


Praktikum acara laju digesti pada ikan dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2018 Di
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal
Soedirman.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Tabel 1. Hasil perhitungan laju digesti pada ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Laju Digesti
Perlakuan Rerata
(%)
(menit) (%)
Ulangan 1 Ulangan 2
Tanpa
1,27 1,68 = 1,475
Perlakuan

15 0,82 1,27 = 1,045

30 0,87 0,7 = 0,785

45 1,93 1,27 = 1,6

60 0,92 0,77 = 0,845

3.2. Pembahasan

paragraf 1. tuliskan pengertian laju digesti pada ikan + proses laju digesti pada ikan

(pustaka)

Laju digesti merupakan laju kecepatan pemecahan makanan dalam tubuh dari

molekul yang kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana, selanjutnya akan

diabsorpsi oleh tubuh. Proses digesti yang terjadi dalam lambung dapat diukur dengan

mengetahui laju pengosongan lambung. Lambung merupakan suatu organ tubuh hewan

yang berperan dalam proses pencernaan, penyaringan makanan yang masuk ke dalam

tubuh, menetralisir racun yang ada dalam makanan, dan membuang zat-zat yang tidak

berguna bagi tubuh (Elliot, 1997). Kondisi lingkungan yang optimal pada pertumbuhan

ikan ditentukan oleh jumlah dan mutu pakan yang dikonsumsi. Pakan yang dikonsumsi
untuk dapat digunakan dalam proses biosintesis yang menghasilkan pertumbuhan harus

melalui proses pencemaan dan penyerapan pada saluran pencernaan terlebih dahulu.

Dengan demikian, kondisi saluran pencernaan memegang peranan penting dalam

mengubah pakan (senyawa kompleks) menjadi nutrien (senyawa sederhana) sebagai

bahan baku dalam proses biosintesis tersebut (Yandes et al. 2003). Semakin tinggi nilai

efisiensi pakan maka respon ikan terhadap pakan tersebut semakin baik yang

ditunjukkan dengan pertumbuhan ikan yang cepat (Hariyadi et al. 2005 dalam Arief et

al. 2014). Proses laju digesti dapat disebut pola dengan proses laju pengosongan

lambung. Proses digesti ikan dimulai dari lambung (pada ikan yang mempunyai

lambung) dan dilanjutkan di intestine yang akan berakhir di lubang pembuangan bahan

sisa. Proses digesti dimulai dari makanan masuk ke mulut, dicerna secara mekanik dan

dibantu oleh kelenjar saliva kemudian masuk ke faring, esofagus dan tertampung

dilambung untuk dicerna secara kimiawi dengan bantuan enzim-enzim pencernaan.

Makanan yang telah menjadi molekul-molekul kecil kemudian masuk ke usus untuk

proses penyerapan atau absorpsi yang sisanya menuju rectum dan ke anus untuk

dibuang. Hasil digesti yang berupa asam amino, asam lemak dan monosakarida akan

diabsorpsi oleh epithel intestine kemudian diedarkan keseluruh tubuh oleh system

sirkulasi. Proses digesti di ikan juga ada yang berkaitan dengan penghambatan oleh

adanya ketersediaan pelarangan hukum. Artinya sumber untuk mendigesti yang harus

selalu dijaga dengan baik agar kondisi ikan baik internal maupun eksternalnya

(Gumisiriza, 2008).

Dalam praktikum acara laju digesti ikan nila, pertama ikan nila dianestesikan

menggunakan es kemudian dibedah untuk diambil lambungnya, lalu ditimbang untuk

mengetahui bobot lambung (dinyatakan sebagai bobot lambung awal). Kemudian ikan

yang sudah disediakan ditimbang dan diletakkan di dalam akuarium, lalu pakan
sebanyak 1% dari berat total tubuh diberikan. Kemudian ikan dianestesikan lalu dibedah

dan ditimbang lambungnya (dinyatakan sebagai bobot lambung setelah pemberian

pakan). Wurtsbaugh et al. (1993), menyatakan bahwa mengukur laju digesti pada ikan

dapat dilakukan dengan mengukur kepadatan makanan pada lambung (bobot lambung).

Temperatur, ukuran partikel makanan, dan metode percobaan sangat berpengaruh

terhadap hasil pengukuran bobot lambung. Meningkatnya suhu air akan meningkatkan

laju digesti ikan pada spesies tertentu. Hasil praktikum acara laju digesti pada ikan nila

(Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1. Grafik laju digesti pada ikan nila (Oreochromis niloticus)

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data perbandingan laju pengosogan

lambung ikan nila setelah pemberian pakan dengan selisih waktu tertentu. Hasil rerata

bobot lambung ikan tanpa perlakuan didapatkan 1,475 %, 15 menit 1,045 %, 30 menit

0,785 %, 45 menit 1,6 %, dan pada 60 menit sebesar 0,845 %. Berdasarkan hasil yang

didapat bobot lambungnya tidak stabil karena adanya penurunan dan peningkatan yang

tidak sesuai dengan pustaka. Menurut Yuwonon (2001) bahwa semakin lama waktu

pengukuran setelah diberi pakan maka semakin kecil bobot lambung ikan. Hal ini

karena molekul besar telah banyak didigesti menjadi molekul yang lebih kecil dan telah

banyak diserap oleh usus.


Menurut Effendi (1979) dalam Ruli et al. (2014) pakan merupakan sumber

energi untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang. Faktor internal dan eksternal sangat

mempengaruhi pertumbuhan ikan terutama laju digestinya. Pengosongan lambung

terjadi terus selama lambung didorong ke arah usus oleh konraksi lambung sehingga

menyebabkan tekanan pada lambung meningkat. Faktor pengosongan lambung

bermacam-macam diantaranya fisik makanan. Makanan kasar maka pengosongan akan

lambat, tekanan osmose lambung meningkat maka pengosongan akan cepat. Viskositas

lambung meningkat maka pengosongan akan lambat karena lemak mengakibatkan

empedu meningkat sehingga enterogastron meningkat dan gerak lambung menurun.

(Zonneveld, 1991).

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju digesti adalah temperatur air, suhu

lingkungan, musim, waktu siang dan malam, intensitas cahaya, ritme internal dan

kualitas pakan yang dikonsumsi (Halver, 1989). Menurut Mujiman (1984), laju digesti

juga dipengaruhi oleh zat kimia yang terdapat dalam perairan, yaitu kandungan O2, CO2,

H2S, pH dan alkalinitas. Biasanya semakin banyak aktivitas ikan, maka akan semakin

banyak membutuhkan energi sehingga proses metabolismenya tinggi dan membutuhkan

makanan yang lebih banyak jumlahnya. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan

bahwa semakin lama waktu, maka isi lambung semakin berkurang. Laju pengosongan

lambung dipengaruhi juga oleh pakan yang dikonsumsi oleh ikan, jika pakan yang

dicerna adalah berasal dari pakan ikan yang nabati maka laju pengosongan ikan akan

tergantung pada seberapa besar ikan tersebut memakan pakan yang berasal dari tumbuh-

tumbuhan (Lagler, 1977). Pakan yang diberikan pada ikan dinilai baik tidak hanya dari

komponen penyusun pakan tersebut melainkan juga dari seberapa besar komponen yang

terkandung dalam pakan mampu diserap dan dimanfaatkan oleh ikan dalam

kehidupannya (Ratna, 2012). Singh et al. (2013) menyatakan bahwa Proses fisiologi
ikan yang meliputi konsumsi makanan, digesti, kekebalan tubuh dan lain-lain sangat

dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur dilingkungan perairan sangat penting untuk

menjamin kelangsungan hidup, distribusi dan metabolisme yang normal pada ikan

IV.KESIMPULAN DAN SARAN


IV.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum Laju Digesti Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dapat

disimpulkan bahwa Laju digesti ikan nila pada waktu pengamatan tanpa perlakuan

didapatkan 1,475 %, 15 menit 1,045 %, 30 menit 0,785 %, 45 menit 1,6 %, dan pada 60

menit sebesar 0,845 %.

IV.2. Saran

Pada saat pemotongan lambung ikan sebaiknya dilaukan dengan hati-hati agar

hasil yang diperoleh bisa maksimal

DAFTAR PUSTAKA

Dellman, H.D., and E.M. Brown. 1989. Textbook of Veterinary Histology 3rd Edition.
Philadelphia: Lea & Febiger
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan. Direktorat Jenderal Pendidikan Nasional: Makassar.
Gwither D and DJ Groves. 1981. Gastric emptying in Limanda limanda L. and return of
appetite. J. Fish Biol. 18 (3): 245-259.
Halver, J,.A. 1989. Fish Nurition. Academy Press: New York.
Kay,I. 1998. Intoduction to Animal Physiology. Bioscientific Publisher. Springer Verley:
New York.
Lagler,K., F.J Bardach., R.R. Miller and D.R.W Passino. 1977. Ichtiology. Jhon Wiley
and Sons Inc: New York
Mujiman,A. 1984. Makanan Ikan. Penebar Swadaya: Jakarta.
Purwanto A. 1992. Pengaruh pemberian pakan dengan frekuensi yang berbeda
terhadap pertumbuhan ikan Gold saum (Aequidens sp). Skripsi. Fakultas
Perikanan, IPB.
Ruli A., Ade D.W., Yulismani. 2014. Konversi Pakan, Laju Pertumbuhan, Kelangsungan
Hidup dan Populasi Bakteri Benih Ikan Gabus (Channa striata) yang Diberi Pakan
dengan Penambahan Probiotik. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2(1): 55-66.
Santoso, B. 1994. Petunjuk Praktis Budidaya Lele Dumbo Dan Lokal. Kanisius:
Yogyakarta.
Singh, S.P., J.G Sharma., T. Ahmad., R. Chakrabarti. 2013. Effect of Water Temperature
on The Physiologycal of Asian Catfish Clarias batrachus (Linaeus, 1977). Asian
Fisheries Science. 5(2): 26-28.
Yuwono,E. 2001. Fisiologi Hewan 1. Fakultas Biologi Unsoed: Purwokerto.
Wurtsbaugh , W.A. dan E, He,. 1993. Gastric evacuation rates in fish: An empirical
model of the effects of temperature and prey size, and an analysis of digestion in
piscivorous brown trout. Trans. Am. Fish. Soc. 122: 717-730.
Zonnoveld,N. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

LAMPIRAN

berisi beberapa konten dengan urutan sebagai berikut:

data pengamatan yang di acc

foto kegiatan praktikum


ACARA II
OSMOREGULASI

Oleh :

Utari Desfitya Dewi


NIM. L1A016010

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Evans (1998), osmoregulasi adalah pengaturan air dan ion dalam tubuh

dengan sejumlah mekanisme yang dilakukan untuk mengatur perbedaan osmotik

diantara intra sel dan ekstrasel dan diantara ekstrasel dengan lingkungan secara kolektif.

Mekanisme osmoregulasi meliputi volume air, kandungan zat terlarut dan distribusi zat

terlarut. Sedangkan, menurut Soetarto (1986), osmoregulasi adalah mekanisme mahluk

hidup untuk mempertahankan kekonstanan volume air dalam tubuhnya, dimana jumlah

air yang masuk harus sama dengan jumlah air yang keluar.
Hewan dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kemampuan osmoregulasinya

menjadi osmoregulator dan osmokonformer. Osmoregulator adalah hewan yang

konsentrasi cairan tubuhnya konstan terhadap konsentrasi lingkungan eksternalnya,

contoh hewan osmoregulator adalah ikan Nila. Sedangkan, osmokonformer merupakan

hewan yang konsentrasi osmotik cairan tubuhnya berubah-ubah sesuai dengan

konsentrasi lingkungan eksternalnya misalnya pada ikan laut (Fujaya, 2004).


Hewan pada dasarnya memiliki toleransi terbatas terhadap lingkungan artinya bila

dipindahkan ke suatu habitat akan beradaptasi dan bila tidak mampu beradaptasi akan

mati . Proses pengaturan regulasi pada tubuh hewan berbeda-beda. Misalnya saja pada

ikan air tawar, karena tubuhnya hipertonik terhadap medium maka ikan air tawar akan

mengeluarkan urin yang encer karena kelebihan air di dalam tubuhnya. Kelebihan air ini

disebabkan karena adanya air lingkungan masuk ke dalam tubuh melalui difusi. Ikan air

tawar bila dipindahkan ke air laut maka keadaan tubuhnya akan menjadi hipotonik

terhadap lingkungan. Keadaan ini menyebabkan air keluar dari tubuh sehingga kadar

garam di dalam tubuh akan meningkat. Seiring meningkatnya kadar garam dalam tubuh,

ikan yang melakukan mekanisme ini disebut euryhalin, sedangkan yang tidak

melakukan mekanisme ini disebut stenohalin (Schmidt-Nielsen,1990).


1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara Osmoregulasi adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh salinitas yang berbeda terhadap ikan air tawar
2. Untuk mengetahui perubahan tingkah laku ikan-ikan tersebut sebagai bentuk

adaptasi terhadap perubahan salinitas


II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum acara Osmoregulasi adalah akuarium,
stopwatch, hand counter dan refraktometer.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum acara Osmoregulasi adalah ikan Nila,
ikan Nilem dan air.
2.2. Metode

Disiapkan terlebih dahulu medium air tawar dan air laut dengan salinitas 0 ppt,

15 ppt dan 30 ppt, kemudian dilakukan pengenceran sehingga salinitas 15 ppt. Ketiga

akuarium diisi air bersalinitas yang telah ditentukan. Dimasukkan pada akuarium

masing masing 1 ikan tiap akuarium. Setelah itu diamati tingkah laku selama 15 menit

dan hitung laju operkulum selama 15 menit.

2.3. Waktu dan Tempat


Praktikum acara Osmoregulasi dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2018 di
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Tabel 2. Hasil pengamatan osmoregulasi pada ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan
ikan Nilem (Ostechilus hasselti)
Jumlah Buka Tutup
Operkulum
Kelompok Jenis Ikan Keterangan
(kali)

0 ppt 15 ppt 30 ppt

Nila Pada salinitas 0 ppt, ikan


berenang di dasar dan tidak
agresif (tenang). Pada salinitas
1 495 556 625 15 ppt, ikan berenang di dasar
dan sedikit agresif. Pada salinitas
30 ppt, ikan berenang di dasar,
dan agresif.

2 549 605 645 Pada salinitas 0 ppt, ikan


berenang di dasar dan tidak
agresif. Pada salinitas 15 ppt,
ikan berenang di dasar dan
sedikit agresif. Pada salinitas 30
ppt, ikan berenang di tengah, dan
agresif.
Pada salinitas 0 ppt, ikan
berenang normal dan tenang,
tidak agresif, bukaan tutup
insang lebih lebar, dan
pergerakan buka tutup operculum
dalam tempo yang normal. Pada
salinitas 15 ppt, ikan berenang
agak cepat, posisi tubuh agak
miring, gerakan sirip lebih cepat,
3 553 720 832
bukaan tutup insang lebih kecil,
pergerakan buka tutup operculum
lebih cepat dan agak agresif.
Pada salinitas 30 ppt, ikan
berenang cepat, posisi tubuh
miring, gerakan sirip agak cepat,
bukaan tutup insang sangat cepat,
pergerakan buka tutup operculum
sangat cepat, dan sangat agresif.

Pada salinitas 0 ppt, ikan


berenang di dasar dan tidak
agresif. Pada salinitas 15 ppt,
4 537 542 603 ikan berenang di dasar dan cukup
agresif. Pada salinitas 30 ppt,
ikan berenang di tengah dan
agresif.

Pada salinitas 0 ppt, ikan


berenang di dasar dan cukup
agresif. Pada salinitas 15 ppt,
5 430 488 533 ikan berenang di tengah dan
agresif. Pada salinitas 30 ppt,
ikan berenang di permukaan,
sangat agresif, dan ikan stress.

6 Nilem 575 372 147 Pada salinitas 0 ppt, ikan


berenang di dasar dan tidak
agresif. Pada salinitas 15 ppt,
ikan berenang di tengah dan
sedikit agresif. Pada salinitas 30
ppt, ikan berenang di permukaan,
agresif, dan ikan stress.
Pada salinitas 0 ppt, ikan
berenang di dasar dan tidak
agresif. Pada salinitas 15 ppt,
7 654 399 175 ikan berenang di tengah dan
sedikit agresif. Pada salinitas 30
ppt, ikan berenang di permukaan,
tidak agresif, dan ikan stress.

Pada salinitas 0 ppt, ikan


berenang di dasar dan tenang.
Pada salinitas 15 ppt, ikan aktif
8 498 371 351
berenang dan agresif. Pada
salinitas 30 ppt, ikan aktif
berenang dan sangat agresif

Pada salinitas 0 ppt, ikan


berenang di dasar. Pada salinitas
15 ppt, ikan berenang di tengah.
Pada salinitas 30 ppt, ikan
9 721 421 210
berenang di permukaan,
berenang miring mengapung, dan
sesekali meloncat keluar
akuarium.

Pada 0 ppt, ikan lebih


tenang. Pada 15 ppt, ikan mulai
agresif, beberapa kali
mengeluarkan gelembung dan
naik ke permukaan air. Pada 30
10 889 503 190
ppt, ikan miring dan
menghadapkan operkulum ketas
permukaan air dan bergerak
sangat agresif sampai loncat dari
akuarium.

3.2. Pembahasan

Osmoregulasi merupakan proses pengaturan konsentrasi cairan dan

penyeimbangan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme

hidup. Proses osmoregulasi ini sangat diperlukan karena adanya perbedaan konsentrasi

cairan tubuh dengan lingkungan di sekitarnya. Jika sel menerima terlalu banyak air

maka ia akan menggembung dan pecah. Begitupun sebaliknya, jika terlalu sedikit air,
maka sel akan mengkerut dan mati. Osmoregulasi juga memiliki fungsi ganda yaitu

untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup.

Osmoregulasi dapat dikatakan sebagai mekanisme pengontrolan keseimbangan osmotik

internal (H2O dan ion dalam tubuh organisme) dan lingkungan eksternal (Kay, 1998).

Berdasarkan kemampuannya bertahan hidup pada salinitas tertentu, maka hewan dibagi

menjadi hewan eurihalin dan stenohalin. Hewan eurihalin merupakan hewan yang

mampu bertahan hidup di lingkungan dengan fluktuasi osmolaritas eksternal yang

sangat besar. Hewan eurihalin juga dapat dikatakan sebagai hewan yang mampu hidup

dalam salinitas yang cukup luas. Contoh hewan eurihalin adalah ikan Salmon, ikan

Sidat, ikan Nila, dsb. Sedangkan hewan stenohalin merupakan hewan yang tidak dapat

mentolerir perubahan yang sangat besar dalam osmolaritas eksternal atau hewan yang

hanya mampu hidup dalam salinitas yang sempit. Contoh hewan stenohalin ialah ikan

air tawar seperti ikan Nilem, dsb (Susilo, 2010).

Disiapkan terlebih dahulu medium air tawar dan air laut dengan salinitas 0 ppt, 15

ppt dan 30 ppt, kemudian dilakukan pengenceran sehingga salinitas 15 ppt. Ketiga

akuarium diisi air bersalinitas yang telah ditentukan. Dimasukkan pada akuarium

masing masing 1 ikan tiap akuarium. Setelah itu diamati tingkah laku selama 15 menit

dan hitung laju operkulum selama 15 menit. Pada dasarnya regulator hiperosmotik menghadapi

dua masalah fisiologik (1) Air cenderung masuk ke dalam tubuh hewan, sebab kosentarsi zat terlarut

dalam tubuh hewan lebih tinggi dari pada dalam mediumnya (2) zat terlarut cenderung keluar tubuh

sebab kosentrasi didalam tubuh. Di samping itu pembuangan air sebagai penyeimabang air masuk juga

membawa zat terlarut di dalamnya. lebih tinggi dari pada di luar tubuh (meningkatkan permeabilitas

dinding tubuh) atau mengeluarkan kelebihan air yang ada dalam tubuh (lewat urin dan feses) sebaliknya

terhadap zat terlarut, hewan harus (1) Mengurangi jumlah air yang masuk kedalam tubuhnya. (2)

memasukkan garam-garam kedalam tubuhnya (lewat makan dan minum) atau mempertahankan zat
terlarut dalam tubuhnya (Evans, 1998). Sebaliknya pada regulator hipoosmotik menghadapi masalah

fisiologik (1) Air cenderung keluar tubuh, sebab kadar air dalam tubuh tinggidari pada mediumnya, dan

(2) zat terlarut cenderung masuk ke dalam tubuh,sebab kadar zat terlarut didalam tubuh (dalam

medium) lebih tinggi dari pada dsalam cairan tubuhnya. Untuk menghadapi hal tersebut maka regulator

hipoosmotik harus (1) menghambat keluarnya air dari dalam tubuh atau mempertahankan air yang ada

dalam tubuh, sebaliknya terhadap zat terlarut, hewan harus (2) Berusaha mencegah masuknya garam

kedalam tubuh atau mengeluarkan kelebihan garan yang masuk tubuh (Evans, 1998).

Hasil praktikum acara Osmoregulasi dapat dilihat pada grafik sebagai berikut:

Gambar 2. Grafik jumlah buka tutup operkulum pada ikan Nila (Orechromis niloticus)
dan ikan Nilem (Osteochilus hasselti)

Hasil percobaan nilai kapasitas osmoregulasi ikan Nila yang diperoleh dari

praktikum kali ini dengan salinitas 0 ppt, 15 ppt, dan 30 ppt, berturut-turut adalah

549, 605 dan 645. Pada salinitas 0 ppt, ikan berenang di dasar dan tidak agresif.

Pada salinitas 15 ppt, ikan berenang di dasar dan sedikit agresif. Pada salinitas 30

ppt, ikan berenang di tengah, dan agresif. Menurut Hickman (1972), lisisnya sel

plasma ikan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti ikan yang terluka saat
pengambilan darah, ikan yang stress, ketidaktepatan dalam pengambilan darah

ikan,dsb. Berdasarkan grafik yang dibuat dari hasil yang telah diperoleh, bentuk

grafik sangat berfluktuasi. Hal ini tidak sesuai dengan referensi. Menurut Gordon

(1982), semakin tinggi salinitas maka nilai osmolalitas medium semakin tinggi atau

semakin tinggi salinitas maka kapasitas osmoregulasi juga semakin tinggi. Ikan

Nila mempunyai tingkat osmolalitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan

lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri sampai salinitas yang cukup tinggi.

Semakin tinggi salinitasnya maka semakin tinggi pula nilai osmolalitas plasma dan

medianya. Lingkungan luar pada organisme air tawar sangat hipoosmotik terhadap

cairan tubuh internal hewan air tawar, dan hewan ini harus menghadapi

kecenderungan air untuk masuk melalui cara difusi ke dalam tubuhnya, terutama ke

bagian yang berlapis tipis, seperti insang.


IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1. Ikan Nilem merupakan hewan stenohalin yang mampu hidup pada lingkungan

dengan salinitas yang luas, sedangkan ikan Nila termasuk hewan eurihalin, yang

hanya mampu hidup pada lingkungan dengan salinitas tertentu.

2. Ikan Nila dapat hidup dengan baik pada salinitas hingga 645. Hal ini

ditunjukkan dengan masih hidup dan bergerak aktif pada salinitas tersebut.

4.2. Saran

Sebaiknya praktikan lebih kondusif lagi pada saat berlangsungnya praktikum agar

mendapatkan hasil yang maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Evans, D.H. 1998. A Putative Role for Natriuretic Peptides in Fish Osmoregulation.
News Physiol. Sci. 7:15-19.

Evans, D.H. 1998. A Putative Role for Natriuretic Peptides in Fish Osmoregulation.
News Physiol. Sci. 7:15-19.

Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan (Dasar Pengembangan Teknologi perikanan).


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Gordon, M.S. 1982. Animal Physiology Principles. New York: MacMillan Pub. Co.

Hickman, C. F. 1972. Biology of Animals. Saint Louis: The C. V. Mosby Company.

Kay, Ian. 1998. Introduction to Animal Physiology. New York: Bios Scientific Publisher.

Schmidt-Nielsen, K. 1990. Animal Physiology – Adaptation and Environment Fourth


Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Soetarto,1986. Biologi. Surakarta: Widya Duta.

Susilo, U., dan S. Sukmaningrum. 2010. Osmoregulasi Ikan Sidat Anguilla bicolor
McCelland Pada Media Dengan Salinitas Berbeda. Sains Akuatik 10 (2):111-
119, Purwokerto.
LAMPIRAN

berisi beberapa konten dengan urutan sebagai berikut:

data pengamatan yang di acc

foto kegiatan praktikum


ACARA III
PENGUKURAN GLUKOSA DARAH

SEBAGAI RESPON STRES PADA IKAN

Oleh :

Utari Desfitya Dewi


NIM. L1A016010

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara ………. adalah:

sesuaikan dengan diktat


II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum acara ……….. adalah…….. (sesuaikan
dengan yang kalian pakai ketika praktikum)
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum acara …………. adalah……..
(sesuaikan dengan yang kalian pakai ketika praktikum)
2.2. Metode

sesuaikan dengan yang kalian lakukan ketika praktikum, dibuat paragraf dengan

kalimat petunjuk bukan perintah, contoh ikan dianastesikan menggunakan air es lalu

diletakan ……..

2.3. Waktu dan Tempat


Praktikum acara ……….. dilaksanakan pada tanggal……. di……….
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Tabel 2. Hasil perhitungan Glukosa darah pada ikan….. (nama latin) dan
ikan….. (nama latin
Nilai
Ikan Glukosa
(satuan)
Nilem 1
dst
Nila 1
dst

3.2. Pembahasan

Glukosa darah dalam tubuh ikan merupakan sumber energi utama dan sumber

pasokan bahan bakar dan substrat esensial untuk metabolisme sel terutama sel otak.

Untuk berfungsinya otak secara kontinyu dibutuhkan glukosa secara terus menerus

(Steward 1991 dalam Hastuti et al., 2003). Volume darah pada ikan berkisar 1,5-3 %

dari bobot tubuh. Kadar glukosa darah ikan yang normal mengandung 40-90 mg/dl,

kandungan glukosa darah tersebut hampir sama dengan glukosa darah pada manusia

yaitu 70-110 mg/dl (Rahardjo et al., 2011).

paragraf 2. jelaskan cara kerja sesuai dengan yang kalian lakukan ketika praktikum, lalu

tuliskan cara penentuan glukosa darah pada ikan menurut referensi. Hasil praktikum

acara……… dapat dilihat pada grafik sebagai berikut:


Gambar 3. Grafik Nilai Glukosa Darah pada ikan……. (nama latin) dan ikan .... (nama

latin)

paragraf 3. jelaskan hasil dari grafik, lalu cari tahu faktor apa saja yang mempengaruhi

hasil tersebut disertai pustaka. Dan jelaskan mengapa Glukosa darah dapat sebagai

penentu Stress pada Ikan (referensi).


IV.KESIMPULAN DAN SARAN
IV.3. Kesimpulan
disesuaikan dengan menjawab dari tujuan
IV.4. Saran

Untuk praktikum selanjutnya


DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, M. F., Sjafei, D. S., Affandi, R., & Sulistiono (2011). Ikhtiologi. Jakarta :

LubukAgung.
LAMPIRAN

berisi beberapa konten dengan urutan sebagai berikut:

data pengamatan yang di acc

foto kegiatan praktikum


ACARA IV
PEMIJAHAN BUATAN IKAN NILEM

(OSTEOCHILUS HASSELTI)

Oleh :

Utari Desfitya Dewi


NIM. L1A016010

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan merupakan hewan vertebrata akuatik yang memiliki kemampuan fertilisasi

secara internal. Kemampuan ikan dalam fertilisasi yaitu mampu mengeluarkan telur dan

menghasilkan anakan dalam jumlah yang sangat banyak bisa mencapai puluhan bahkan

ratusan. Kemampuan ikan ini sebenarnya terjadi karena adanya rangsangan dalam

ovulasi melalui sekresi hormonal dalam tubuh ikan tersebut. Kemampuan ikan dalam

ovulasi dan pemijahan sangat bergantung sekali dengan kadar hormon dan efek

hormonal dari dalam tubuhnya, jika ikan dalam keadaan stress maka kadar hormonal

ikan akan mengalami penurunan (Sumantadinata, 1981).


Pemijahan merupakan peristiwa bertemunya ikan jantan dan betina dengan

tujuan terbuahinya sel telur ikan betina oleh spermatozoa ikan jantan. Pembuahan ikan

pada umumnya terjadi di luar tubuh. Salah satu teknik pemijahan yaitu teknik hipofisasi

melalui pemberian suntikan hormon pada tubuh ikan. Pemijahan hipofisasi merangsang

pemijahan induk ikan dengan menyuntikkan kelenjar hipofisis (Muhammad dan Irfan,

2003).
Ada 3 cara penyuntikkan hipofisasi yaitu intramuscular, intracranial dan

intraperineal. Kelenjar hipofisis ikan terdapat di bawah otak sebelah depan. Kelenjar ini

menempel pada infundibulum dengan satu tangkai yang pendek, agak panjang atau

pipih tergantung pada jenis ikannya. Suatu lekukan tulang pada lantai otak yang disebut

cella turcica melindungi kelenjar ini. Pengambilan kelenjar ini yaitu dengan membuka

tulang tengkorak dan otak diangkat, biasanya butir kelenjar hipofisis akan tertinggal di

dalam cella turcica (Sumantadinata, 1981).

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara pemijahan buatan pada ikan nilem adalah:
1. Untuk mengetahui, memahami, dan melakukan bagaimana teknik pemijahan

buatan pada ikan nilem


2. Untuk membedakan induk yang matang gonad dengan ciri-ciri yang telah

ditentukan
II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum acara pemijahan buatan pada ikan nilem
adalah bak permanen/aquarium, mangkok/baskom, bulu ayam, kakaban/nampan, spuid,
ember, serokan induk, lap dan aerator.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum acara pemijahan buatan pada ikan
nilem adalah induk ikan nilem jantan dan betina, aquades, larutan NaCl.
2.2. Metode

Pertama, alat dan bahan disiapkan. Ikan nilem jantan dan betina dinestesi

menggunakan es batu. Sebelum penyuntikan hormon ovaprim, ikan ditimbang terlebih

dahulu untuk menentukan kadar ovaprim yang akan diberikan. Hormon ovaprim

diambil menggunakan spuit sebanyak 0,5 (ml/kg bobot ikan) untuk betina sedangkan

untuk ikan jantan sebanyak 0,3 (ml/kg bobot ikan). Hormon ovaprim dicampur dengan

akuades sebanyak 0,5 ml dengan spuit hingga warnanya menjadi putih. Hormon

ovaprim disuntikkan di daerah lima jari-jari lemah kebawah dua sisik dengan sudut 45º.

Ikan bisa digunakan setelah 12 jari dari penyuntikkan hormon ovaprim.Setelah selesai

penyuntikan, ikan betina dan ikan jantan distripping, kemudian sel telur dan sperma

dicampur dalam baskom pemijahan menggunakan bulu ayam. Setelah itu dimasukkan

ke dalam akuarium yang telah diberi aerasi. 24 jam kemudian telur diamati dan dihitung

berapa telur yang dibuahi dan tidak dibuahi.

2.3. Waktu dan Tempat


Praktikum acara pemijahan buatan ikan nilem dilaksanakan pada tanggal 4 Juni
2018 di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Jenderal Soedirman.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Hasil

Tabel 5. Hasil perhitungan hatcing rate pada ikan nilem (Osteochilus hasselti)

Hatcing Rate
Kelompok
(%)
1 30 %
2 30 %
3 30 %
4 30 %
5 30 %
6 10 %
7 10 %
8 10 %
9 10 %
10 10 %

3.2. Pembahasan

Pemijahan merupakan proses perkawinan antara ikan jantan dan betina yang

mengeluarkan sel telur dari betina, sel sperma dari jantan dan terjadi di luar tubuh ikan

(eksternal) (Yuatiati et al. 2015). Ovulasi adalah proses keluarnya sel telur (oosit) yang

telah mengalami pembelahan meiosis pertama dari folikel dan masuk ke dalam rongga

ovarium atau rongga perut (Knight & Van Der Kraak, 2015 dalam Jamalaay et al.

2016). Fertilisasi adalah bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur dalam

sitoplasma hingga membentuk zigot. Pada dasarnya fertilisasi adalah merupakan satuan

atau fusi sel gamet jantan dan gamet betina untuk membentuk sel zigot. (Effendie,

1978). Ciri-cirinya telur terbuahi memiliki warna kuning bening dan inti sel terlihat utuh

atau sempurna sebaliknya telur tidak terbuahi memiliki warna putih susu dan inti sel

telur terlihat tidak utuh atau tidak sempurna (Fitrani, 2013). Pemijahan adalah salah satu

fase dari reproduksi, pada proses pemijahan induk betina bertelur 12 jam setelah proses

penyuntikan. Telur-telur yang dikeluarkan lalu dibuahi. Setelah itu, telur-telur tersebut

dimasukan pada akuarium penetasan (Susanto, 2006).


Manipulasi hormonal dapat dikatakan efektif untuk proses pematangan gonad

dan pemijahan karena hormon yang diberikan dapat langsung mempercepat tersedianya

hormon sesuai dengan konsentrasi yang diperlukan ikan. Menurut Sumantadinata

(1997) manipulasi hormonal dapat dilakukan antara lain dengan menstimulasi hipofisis

atau gonad untuk menghasilkan hormon yang dapat mempercepat kematangan gonad,

ovulasi dan pemijahan. Semakin cepat kematangan gonad, ovulasi dan pemijahan ikan

nilem maka pemenuhan konsumen akan cepat terpenuhi. Hormon reproduksi ikan yang

berperan menurut Susanto (1992) adalah gonadotropin yaitu Leuteinizing Hormone

(LH) dan Folicle Stimulating Hormone (FSH). Hormon gonadotropin tersebut

dihasilkan oleh kelenjar adenohipofisa yang akan merangsang proses pemasakan

ovulasi yang pada akhirnya merangsang induk betina untuk memijah. Kelenjar hipofisa

akan menghasilkan hormon yang berperan dalam kegiatan seksual dan gonadotropin

(Gutenberg et al. 2009). Ovaprim adalah campuran analog salmon GnRH dan Anti

dopamine dinyatakan bahwa setiap 1 mL ovaprim mengandung 20 mg sGnRH-a (D-

Arg6-Trp7, Lcu8,Prog-NET) – LHRH dan 10 mg Anti dopamine. Ovaprim juga

berperan dalam memacu terjadinya ovulasi. Peranan-peranan hormon LHRH adalah

untuk kematangan gonad ikan (Simanjuntak, 1985). Ovaprim adalah campuran analog

salmon Gonadotropihin Releasing Hormon (sGnRH-a) dan anti dopamine. Ovaprim

adalah hormon yang berfungsi untuk merangsang dan memacu hormon gonadothropin

pada tubuh ikan sehingga dapat mempercepat proses ovulasi dan pemijahan, yaitu pada

proses pematangan gonad dan dapat memberikan daya rangsang yang lebih tinggi,

menghasilkan telur dengan kualitas yang baik serta menghasilkan waktu laten yang

relatif singkat juga dapat menekan angka mortalitas (Sukendi, 1995 dalam Sinjal,

2014). Hormon ini juga dapat bekerja pada organ target yang lebih tinggi pada ikan

(Harker, 1992 dalam Sinjal, 2014).


Pertama, alat dan bahan disiapkan. Ikan nilem jantan dan betina dinestesi

menggunakan es batu. Sebelum penyuntikan hormon ovaprim, ikan ditimbang terlebih

dahulu untuk menentukan kadar ovaprim yang akan diberikan. Hormon ovaprim

diambil menggunakan spuit sebanyak 0,5 (ml/kg bobot ikan) untuk betina sedangkan

untuk ikan jantan sebanyak 0,3 (ml/kg bobot ikan). Hormon ovaprim dicampur dengan

akuades sebanyak 0,5 ml dengan spuit hingga warnanya menjadi putih. Hormon

ovaprim disuntikkan di daerah lima jari-jari lemah kebawah dua sisik dengan sudut 45º.

Ikan bisa digunakan setelah 12 jari dari penyuntikkan hormon ovaprim.Setelah selesai

penyuntikan, ikan betina dan ikan jantan distripping, kemudian sel telur dan sperma

dicampur dalam baskom pemijahan menggunakan bulu ayam. Setelah itu dimasukkan

ke dalam akuarium yang telah diberi aerasi. 24 jam kemudian telur diamati dan dihitung

berapa telur yang dibuahi dan tidak dibuahi.

Hasil praktikum acara pemijahan buatan pada ikan nilem dapat dilihat pada grafik

berikut ini:

Gambar 5. Grafik hatcing rate pada ikan nilem (Osteochilus hasselti)

paragraf 3. jelaskan hasil dari grafik, jelaskan definisi hatching rate (referensi), lalu cari

tahu faktor apa saja yang mempengaruhi hasil tersebut disertai pustaka
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

disesuaikan dengan menjawab dari tujuan

5.2. Saran

Untuk praktikum selanjutnya


DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

berisi beberapa konten dengan urutan sebagai berikut:

data pengamatan yang di acc

foto kegiatan praktikum

Anda mungkin juga menyukai