Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT

EPILEPSI

Perceptor :

dr. Nailan A , Sp.S, M.Kes

Oleh :

Ria Arisandi, S.Ked

Nurulia Astri, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAF

RSUD DR. H. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan case report dengan judul “Epilepsi”
sebagai rangkaian kegiatan Kepaniteraan Klinik di SMF Saraf RSUD Dr. Abdoel
Moeloek Bandar Lampung.

Dengan ketulusan hati penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
dr. Nailan A , Sp.S, M.Kes, selaku dosen pembimbing di bagian Saraf, atas semua
bantuan dan kesabarannya membimbing penulis sehingga penulis dapat menjalani
kepaniteraan klinik di bagianSarafRSUD Dr. Abdoel Moeloek Bandar Lampung.

Penulis menyadari bahwa case report ini tentu tidak terlepas dari kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat
diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

Penulis

Ria/ Nurulia

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Umur : 28 tahun
Alamat : Dusun Tegal Rejo, Kec Sukadana. Kab/Kota
Lampung Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 2 Maret 2018
Tanggal Anamnesis : 7 Maret 2018
Pasien : Bangsal saraf

B. Riwayat Perjalanan Penyakit

Anamnesis : Alloanamnesis
Keluhan Utama : Kejang berulang sejak 10 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien rujukan dari RS Umum Daerah Sukadana (Lampung Timur) datang
dengan keluhan kejang berulang yang terjadi sejak ± 10 hari yang lalu.
Pasien kejang secara tiba-tiba, seringnya terjadi kejang pada saat pasien
sedang tidak beraktivitas yakni paling sering saat sedang tertidur di malam
hari. Menurut keluarga, kejang diawali dengan mengecap-ngecapkan mulut
kemudian gerakan cepat pada kaki kanan diikuti anggota gerak yang lainnya,
dengan kedua lengan dan tungkai menekuk dan kemudian lurus
(kelojotan), badan melengkung, mata mendelik keatas, lidah tidak tergigit,
tidak mengompol dan tidak keluar busa dari mulut, dengan frekuensi kejang
sebanyak 4 kali dalam sehari dan durasi selama kurang lebih 15 menit.
Demam sebelum bangkitan kejang disangkal. Pada saat sebelum kejang
pasien dalam keadaan sadar dan tidak merasakan gejala akan terjadinya

3
kejang. Saat kejang pasien dalam keadaan berbaring tidak sadar dan tidak
dapat berkomunikasi. Setelah kejang pasien tertidur dan merasa lemas
pada seluruh tubuh. Ayah pasien mengatakan bahwa dalam ± 10 hari terakhir
sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang berulang setiap hari dengan
frekuensi rata-rata 10 kali dalam sehari dengan durasi rata-rata ± 15 menit.
Sebelumnya pasien tidak mengalami kelemahan pada anggota gerak dan
tidak ada gangguan berbicara dikarenkan kejang yang berulang pada 10 hari
yang lalu pasien mulai mengalami kelemahan hingga tidak bisa digerakan
pada tangan dan kaki kanan, bicara menjadi tidak jelas dan mulai sulit diajak
berkomunikasi serta terjadi penurunan kesadaran, selain itu pasien juga
mengeluhkan demam, batuk, dan pusing, keluhan tersebut mulai dirasakan
sejak 10 hari yang lalu.

Hari ini pasien mengeluhkan demam, batuk, pusing, tangan dan kaki kanan
tidak bisa digerakan, bicara menjadi tidak jelas dan mulai sulit diajak
berkomunikasi, pasien menjadi lebih sering tertidur dan keluhan kejang sudah
tidak ada. Keluhan muntah, mual, batuk yang lama, nafsu makan berkurang,
menelan, buang air kecil, dan buang air besar dalam batas normal dan tidak
ada gangguan. Riwayat trauma kepala sebelumnya disangkal oleh pasien.

Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sudah mengalami kejang sejak


usia 3 tahun. Namun saat itu kejang pada pasien diawali oleh demam tinggi.
Kejang pada kedua lengan dan tungkai menekuk dan kemudian lurus
(kelojotan), badan melengkung, mata mendelik keatas, lidah tidak tergigit,
tidak mengompol dan tidak keluar busa dari mulut, dengan frekuensi kejang
sebanyak 2 kali dalam sehari dan durasi selama kurang lebih 15 menit.
Kemudian pasien kembali kejang pada usia 12 tahun namun kejang tanpa
didahului demam. Menurut keluarga sifat kejangnya sama seperti pada saat
pasien berusia 3 tahun namun kejang diawali dengan mengecap-ngecapkan
mulut, dengan frekuensi kejang hanya 1 kali dalam sehari dan durasi selama
kurang lebih 15 menit. Setelah itu, pasien menjadi lebih sering kejang

4
dengan tanpa didahului demam dengan sifat kejang yang sama namun
frekuensi bervariasi dan durasi rata-rata ± 15 menit.

Pasien baru rutin mengkonsumsi obat antikejang sebanyak 2 tablet per hari
sejak 2 tahun terakhir. Selama rutin mengkonsumsi obat antikejang pasien
tidak pernah kejang namun 1 bulan terakhir ini pasien putus obat dengan
alas an sudah tidak ada biaya. Pasien belum pernah mendapatkan
pemeriksaan EEG saat kecil.

Riwayat Penyakit Dahulu


Ayah pasien mengatakan saat masih pasien berusia 3 tahun pernah kejang jika
demam sebanyak 2 kali selama 15 menit namun tidak pernah kejang lagi
hingga kelas 5 SD. Kejang yang terjadi pada pasien sama seperti kejang yang
dirasakan saat ini namun diawali dengan mengecap-ngecapkan mulut .
Riwayat trauma kepala sebelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit
Infeksi pada SSP disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien dan keluarga mengaku tidak ada anggota keluarga yang memiliki
riwayat epilepsi ataupun keluarga yang mengalami penyakit kejang-kejang.

Riwayat Pengobatan
Pada saat pasien berumur 3 tahun dan mengalami kejang disertai demam,
keluarga membawa pasien berobat ke bidan terdekat namun bidan hanya
memberikan obat penurun demam dan edukasi bahwa ini bukanlah penyakit
yang serius.

Pada saat pasien berumur 12 tahun dan mengalami kejang tanpa disertai
demam, keluarga membawa pasien berobat ke bidan terdekat, bidan
memberikan saran untuk berobat ke dokter penyakit dalam. Oleh dokter
penyakit dalam dirujuk ke dokter spesialis anak. Dikarenakan kendala biaya
keluarga belum berobat ke dokter spesialis anak.

5
Setelah pasien berumur 26 tahun, keluarga baru membawanya berobat ke
dokter spesialis saraf dan diberikan terapi rutin berupa obat fenitoin 2x1.
Selama 2 tahun pasien rutin mengkonsumsi obat tersebut namun 2 minggu
terakhir pasien putus obat dengan alasan tidak ada biaya.

Riwayat Kehamilan , Persalinan dan Perkembangan


Ibu pasien mengaku selama kehamilan tidak pernah sakit dan rajin
pemeriksaan kehamilan secara berkala 3 bulan sekali ke bidan. Persalinan
cukup bulan, dengan cara normal, dibantu bidan, setelah lahir bayi menangis
kuat. Pada usia 10 bulan pasien sudah bisa berbicara yakni mengucapkan
mama dan papa. Pada usia 12 bulan pasien sudah bisa berjalan. Kemudian
pada usia 6 tahun pasien mengikuti pendidikan formal yakni sekolah dasar
(SD), sekolah menengah pertama (SMP), pasien dapat mengikuti kegiatan
pembelajaran dan dapat berinteraksi dengan teman sebayanya namun pasien
tidak melanjutkan sekolah dengan alasan biaya.

Riwayat Sosioekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien tinggal di daerah yang
padat penduduk. Pasien tidak bekerja. Riwayat minum alkohol ataupun
merokok disangkal. Nafsu makan menurun, dan pasien jarang berolahraga.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : apatis
GCS : E4V2(afasia)M6 = 12

Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit,
RR : 26 x/menit
Suhu : 38o C

6
BB : 40 kg
TB : 152 cm
Status Gizi : (IMT 14,3) Gizi kurang

Status Generalis
- Kepala
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik,
edema palpebra tidak ada
Telinga : Liang telinga lapang, serumen minimal
Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-),
deviasi (-), epistaksis (-)
Mulut : Kering(-), lidah putih(-), sianosis (-),
stomatitis (-)
- Leher
Pembesaran KGB : tidak terlihat dan teraba pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak terlihat dan teraba pembesaran kelenjar
tiroid
Trakhea : central, deviasi (-)

- Toraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba pada ICS IV linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-),gallop(-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

7
- Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+)

- Extremitas
Superior : oedem (-/-), edema (-/-), turgor kulit baik,
CRT ≤ 2 detik
Inferior : oedem (-/-), edema (-/-), turgor kulit baik,
CRT ≤ 2 detik

Status Neurologis
- Saraf Kranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung : normal (normosmia)

N.Opticus (N.II)
- Tajam penglihatan : 6/60- 6/60 bedsite
- Lapang penglihatan : sama dengan pemeriksa(dalam batas
normal)
- Tes warna : tidak dilakukan
- Fundus oculi : tidak dilakukan

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III – N.IV – N.VI)


Kelopak Mata
- Ptosis : (-/-)
- Endophtalmus : (-/-)
- Exopthalmus : (-/-)
Pupil
- Ukuran : 3 mm/3mm
- Bentuk : Bulat/Bulat

8
- Isokor/anisokor : Isokor
- Posisi : Sentral/Sentral
- Refleks cahaya langsung : (+/+)
- Refleks cahaya tidak langsung : (+/+)
Gerakan Bola Mata
- Medial : normal
- Lateral : normal
- Superior : normal
- Inferior : normal
- Obliqus superior : normal
- Obliqus inferior : normal
- Refleks pupil akomodasi : normal / normal
- Refleks pupil konvergensi : normal / normal

N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus : normal
- Ramus maksilaris : normal
- Ramus mandibularis : normal
Motorik
- M. masseter : normal
- M. temporalis : normal
- M. pterygoideus : normal

Refleks
- Refleks kornea : (+/+)

N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam : simetris
- Tertawa : simetris
- Meringis : simetris

9
- Bersiul : simetris
- Menutup mata : simetris
Pasien disuruh untuk
- Mengerutkan dahi : simetris
- Menutup mata kuat-kuat : simetris
- Mengembungkan pipi : simetris
Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah : tidak dilakukan

N.Acusticus (N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran : normal
- Tinitus : tidak ditemukan

N.vestibularis
- Test vertigo : negatif
- Nistagmus : tidak ditemukan

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)


- Suara bindeng/nasal : tidak ditemukan
- Posisi uvula : normal
- Palatum mole : normal
- Arcus palatoglossus : normal
- Arcus palatoparingeus : normal
- Refleks batuk : normal
- Refleks muntah : tidak dilakukan
- Peristaltik usus : Normal
- Bradikardi : (-)
- Takikardi : (-)

N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus : normal
- M.Trapezius : normal

10
N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi : tidak ditemukan
- Fasikulasi : tidak ditemukan
- Deviasi : lidah deviasi kearah dextra

- Tanda Perangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk : (-)
Kernig test : (-/-)
Laseque test : (-/-)
Brudzinsky I : (-/-)
Brudzinsky II : (-/-)

- Sistem Motorik Superior ka/ki Inferior ka/ki


Gerak (pasif/aktif) (pasif/aktif)
Kekuatan otot 0/5 0/5
Klonus (-/-) (-/-)
Atropi (-/-) (-/-)
Refleks fisiologis Biceps (-/+) Pattela (-/+)
Triceps (-/+) Achiles (-/+)
Refleks patologis Hoffman Trommer (-/-) Babinsky (-/-)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)
Gordon (-/-)
Gonda (-/-)
- Sensibilitas
Eksteroseptif
- Rasa raba : normal
- Rasa nyeri : normal
- Rasa suhu panas : sulit dilakukan
- Rasa suhu dingin : sulit dilakukan
Proprioseptif
- Rasa sikap : tidak dilakukan

11
- Rasa gerak : tidak dilakukan
- Rasa getar : tidak dilakukan
- Rasa nyeri dalam : tidak dilakukan
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
- Steriognosis : tidak dilakukan
- Grafognosis : tidak dilakukan

- Koordinasi
Tes telunjuk hidung : tidak dilakukan
Tes pronasi supinasi : tidak dilakukan

- Susunan Saraf Otonom


Miksi : Normal
Defekasi : Normal

- Fungsi Luhur
Fungsi bahasa : afasia
Fungsi orientasi : disorientasi
Fungsi memori : tidak baik
Fungsi emosi : normal

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
Hematologi ( 03 Maret 2018 )

Hb : 11,1 g/dL
Leukosit : 11.800 /µL
Trombosit : 218.000/µL
Hematokrit : 32 %
MCV : 92 fL
MCH : 32 g/dl
MCHC : 34 g/dl
Hitung Jenis

12
Basofil :0%
Eosionfil :0%
Batang :0%
Segmen : 73 %
Limfosit : 16 %
Monosit : 11 %
LED : 50 mm/jam
GDS : 98 mg/dl
Ureum : 17 mg/dl
Creatinin : 0,51 mg/dl
Kolesterol : 117 mg/dl
HDL : 42 mg/dl
LDL : 53 mg/dl
Trigliserida : 114 mg/dl
Asam urat : 5,0 mg/dl
Natrium : 138 mmol/L
Kalium : 3,2 mmol/L
Kalsium : 7,7 mg/dl
Chlorida : 96 mmol/L

Hematologi ( 07 Maret 2018 )


Kalium : 3,7 mmol/L
Kalsium : 7,7 mg/dl

Tes Widal (07 Maret 2018)


Typhi H Antigen 1/320
Typhi O Antigen 1/320
Paratyphi A-O Antigen 1/320
Paratyphi B-O Antigen 1/320

Urinalisis (07 Maret 2018)


Warna : kuning
Kejernihan : Jernih
Berat Jenis : 1,005
pH :8
Leukosit : negative
Nitrit : negative
Protein : negative
Glukose : negative
Keton : negative
Urobilinogen : negative
Bilirubin : negative

13
Darah samar : 10 Ery/ul
Sediaan
Leukosit : 3-5
Eritrosit : 2-3
Epitel : 1-3
Bakteri : negative
Kristal : negative
Silinder : negative
Lain-lain : negative

Hematologi ( 10 Maret 2018 )

Hb : 10,5 g/dL
Leukosit : 3.500 /µL
Trombosit : 194.000/µL
Hematokrit : 31 %
MCV : 91 fL
MCH : 31 g/dl
MCHC : 34 g/dl
Hitung Jenis
Basofil :0%
Eosionfil :0%
Batang :0%
Segmen : 53 %
Limfosit : 33 %
Monosit : 10 %

Ureum : 13 mg/dl
Creatinin : 0,52 mg/dl
Malaria : tidak ditemukan

EEG ( 06 Maret 2018)


Interpretasi : Gelombang sharp di lobus frontal sinistra

CT Scan( 09 Maret 2018)


Kesan : Infark cerebri pada kortikal subkortikal temporoparietalis
kanan

14
15
Foto Thoraks (10 Maret 2018)
Interpretasi: suspek Bronkopneumonia kanan, tidak ditemukan kardiomegali

E. Resume
Pasien rujukan dari RS Umum Daerah Sukadana (Lampung Timur) datang
dengan keluhan kejang berulang yang terjadi sejak ± 10 hari yang lalu.
Pasien kejang secara tiba-tiba, seringnya terjadi kejang pada saat pasien
sedang tidak beraktivitas yakni paling sering saat sedang tertidur di malam
hari. Menurut keluarga, kejang diawali dengan mengecap-ngecapkan mulut
kemudian gerakan cepat pada kaki kanan diikuti anggota gerak yang lainnya,
dengan kedua lengan dan tungkai menekuk dan kemudian lurus
(kelojotan), badan melengkung, mata mendelik keatas, lidah tidak tergigit,
tidak mengompol dan tidak keluar busa dari mulut, dengan frekuensi kejang

16
sebanyak 4 kali dalam sehari dan durasi selama kurang lebih 15 menit.
Demam sebelum bangkitan kejang disangkal. Pada saat sebelum kejang
pasien dalam keadaan sadar dan tidak merasakan gejala akan terjadinya
kejang. Saat kejang pasien dalam keadaan berbaring tidak sadar dan tidak
dapat berkomunikasi. Setelah kejang pasien tertidur dan merasa lemas
pada seluruh tubuh. Ayah pasien mengatakan bahwa dalam ± 10 hari terakhir
sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang berulang setiap hari dengan
frekuensi rata-rata 10 kali dalam sehari dengan durasi rata-rata ± 15 menit.
Sebelumnya pasien tidak mengalami kelemahan pada anggota gerak dan
tidak ada gangguan berbicara dikarenkan kejang yang berulang pada 10 hari
yang lalu pasien mulai mengalami kelemahan hingga tidak bisa digerakan
pada tangan dan kaki kanan, bicara menjadi tidak jelas dan mulai sulit diajak
berkomunikasi serta terjadi penurunan kesadaran, selain itu pasien juga
mengeluhkan demam, batuk, dan pusing, keluhan tersebut mulai dirasakan
sejak 10 hari yang lalu.

Hari ini pasien mengeluhkan demam, batuk, pusing, tangan dan kaki kanan
tidak bisa digerakan, bicara menjadi tidak jelas dan mulai sulit diajak
berkomunikasi, pasien menjadi lebih sering tertidur dan keluhan kejang sudah
tidak ada. Keluhan muntah, mual, batuk yang lama, nafsu makan berkurang,
menelan, buang air kecil, dan buang air besar dalam batas normal dan tidak
ada gangguan. Riwayat trauma kepala sebelumnya disangkal oleh pasien.

Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sudah mengalami kejang sejak


usia 3 tahun. Namun saat itu kejang pada pasien diawali oleh demam tinggi.
Kejang pada kedua lengan dan tungkai menekuk dan kemudian lurus
(kelojotan), badan melengkung, mata mendelik keatas, lidah tidak tergigit,
tidak mengompol dan tidak keluar busa dari mulut, dengan frekuensi kejang
sebanyak 2 kali dalam sehari dan durasi selama kurang lebih 15 menit.
Kemudian pasien kembali kejang pada usia 12 tahun namun kejang tanpa
didahului demam. Menurut keluarga sifat kejangnya sama seperti pada saat
pasien berusia 3 tahun namun kejang diawali dengan mengecap-ngecapkan

17
mulut, dengan frekuensi kejang hanya 1 kali dalam sehari dan durasi selama
kurang lebih 15 menit. Setelah itu, pasien menjadi lebih sering kejang
dengan tanpa didahului demam dengan sifat kejang yang sama namun
frekuensi bervariasi dan durasi rata-rata ± 15 menit.

Pasien baru rutin mengkonsumsi obat antikejang sebanyak 2 tablet per hari
sejak 2 tahun terakhir. Selama rutin mengkonsumsi obat antikejang pasien
tidak pernah kejang namun 1 bulan terakhir ini pasien putus obat dengan
alas an sudah tidak ada biaya. Pasien belum pernah mendapatkan
pemeriksaan EEG saat kecil.

RPD: pasien pernah kejang jika demam saat berusia 3 tahun namun tidak
pernah kejang lagi hingga kelas 5 SD. Kejang yang terjadi pada pasien sama
seperti kejang yang dirasakan saat ini namun diawali dengan mengecap-
ngecapkan mulut . Riwayat trauma kepala sebelumnya disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit Infeksi pada SSP disangkal.

RPK: tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat epilepsi ataupun
mengalami penyakit kejang-kejang.

RPO: pasien mengkonsumsi obat anti kejang 2 tablet sehari.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,


kesadaran apatis, GCS E4V2M6 = 12. Tanda vital didapatkan tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 92 x/menit reguler, RR 26 x/menit, suhu 38oC. Pada
status generalis dalam batas normal. Hasil pemeriksaan Nervus Kranialis
ditemukan parese N XI dengan lidah deviasi kearah kanan. Refleks fisiologis,
bisep kanan dan trisep kanan negative. Kekutan otot tangan kanan dan kaki
kanan adalah 0. Refleks patologis Babinski (-/-), Chadock (-/-), Schaefer (-/-
) dan Gonda (-/-) H. Trommer (-/-).Rangsang meningeal Kaku kuduk (-),
Burdzinsky sign I (-), Burdzinsky sign II (-), Kernigsign (-), Laseque sign (-).

18
Dari pemeriksaan hematologi didapatkan kesan hipokalium dan
hipokalsemi, tidak spesifik demam tifoid, dan tidak ditemukan plasmodium
malaria, EEG tanggal 9 Maret 2018 didapatkan gelombang epileptik ada
lobus frontal sinistra, hasil CT-Scan didapatkan Infark cerebri pada kortikal
subkortikal temporoparietalis kanan dan pemeriksaan foto thoraks
didapatkan suspek bronkopneumonia kanan.

F. Diagnosis

Diagnosis klinis : Konvulsi parsial kompleks menjani umum tonik klonik


Diagnosis topik : Kortek cerebri lobus frontal sinistra
Diagnosis etiologi : Simtomatik e.c Infark cerebri pada kortikal
subkortikal temporoparietalis kanan

G. Penatalaksanaan
1. Umum
- Kurangi aktivitas yang melelahkan
- Minum obat rutin
- Pantau tanda-tanda vital dan kejadian kejang kembali

2. Medikamentosa

- IVFD Aminofluid XV gtt/hari


- Fenitoin 3 x 1 amp
- Asam folat 3 x 1 tab
- KSR 2 x 1 tab
- Ca glukonas 1 x 1 ampul
- Paracetamol 3 x 500 mg tab

H. Prognosa

- Quo ad vitam = dubia ad bonam


- Quo ad functionam = dubia ad malam
- Quo ad sanationam = dubia ad malam

19
BAB II

ANALISIS KASUS

A. Apakah diagnosis pada pasien sudah tepat?

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan


epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi
(PERDOSSI, 2014). Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi
(epileptic seizure) adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktivitas
listrik otak yang abnormal dan belebihan dalam sekelompok neuron.
Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan
perilaku stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik, otonom, ataupun psikik (Engel J, 2008).

International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for


Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya.
Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala
yang timbul sepintas akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron
yang terjadi di otak.

Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru


dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu :
1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

20
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut(unprovoked) (ILAE and IBE, 2005).

Diagnosis epilepsi ditegakkan secara sistematis dengan 3 langkah, yaitu


1. Langkah pertama, melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang
diperoleh dari anamnesis yang mencakup autoanamnesis maupun
alloanamnesis.
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
 Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/berdiri/
berbaring/tidur/berkemih.
 Gejala awitan (aura gerakan/sensasi awal / speech arrest).
 Apa yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik atau klonik,
vokalisasi otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, deviasi mata.
 Keadaan setelah kejang, bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah.
 Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan atau terdapat
perubahan pola bangkitan
b. Ada tidaknya penyakit lain yang disertai serangan, maupun riwayat
penyakit neurologis dan riwayt penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin jadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi.
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.

21
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologi lain, penyakit psokiatrik
atau iskemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan
bayi atau anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain.

Pada anamnesis secara alloanamnesis yang dilakukan didapatkan data bahwa


pasien Nn. S (28 th) rujukan dari RS Umum Daerah Sukadana (Lampung
Timur) datang dengan keluhan kejang berulang yang terjadi sejak ± 10 hari
yang lalu. Pasien kejang secara tiba-tiba, seringnya terjadi kejang pada saat
pasien sedang tidak beraktivitas yakni paling sering saat sedang tertidur di
malam hari. Menurut keluarga, kejang diawali dengan mengecap-ngecapkan
mulut kemudian gerakan cepat pada kaki kanan diikuti anggota gerak yang
lainnya, dengan kedua lengan dan tungkai menekuk dan kemudian lurus
(kelojotan), badan melengkung, mata mendelik keatas, lidah tidak tergigit,
tidak mengompol dan tidak keluar busa dari mulut, dengan frekuensi kejang
sebanyak 4 kali dalam sehari dan durasi selama kurang lebih 15 menit.
Demam sebelum bangkitan kejang disangkal. Pada saat sebelum kejang
pasien dalam keadaan sadar dan tidak merasakan gejala akan terjadinya
kejang. Saat kejang pasien dalam keadaan berbaring tidak sadar dan tidak
dapat berkomunikasi. Setelah kejang pasien tertidur dan merasa lemas
pada seluruh tubuh. Ayah pasien mengatakan bahwa dalam ± 10 hari terakhir
sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang berulang setiap hari dengan
frekuensi rata-rata 10 kali dalam sehari dengan durasi rata-rata ± 15 menit.
Sebelumnya pasien tidak mengalami kelemahan pada anggota gerak dan
tidak ada gangguan berbicara dikarenkan kejang yang berulang pada 10 hari
yang lalu pasien mulai mengalami kelemahan hingga tidak bisa digerakan
pada tangan dan kaki kanan, bicara menjadi tidak jelas dan mulai sulit diajak
berkomunikasi serta terjadi penurunan kesadaran, selain itu pasien juga
mengeluhkan demam, batuk, dan pusing, keluhan tersebut mulai dirasakan
sejak 10 hari yang lalu.

22
Hari ini pasien mengeluhkan demam, batuk, pusing, tangan dan kaki kanan
tidak bisa digerakan, bicara menjadi tidak jelas dan mulai sulit diajak
berkomunikasi, pasien menjadi lebih sering tertidur dan keluhan kejang sudah
tidak ada. Keluhan muntah, mual, batuk yang lama, nafsu makan berkurang,
menelan, buang air kecil, dan buang air besar dalam batas normal dan tidak
ada gangguan. Riwayat trauma kepala sebelumnya disangkal oleh pasien.

Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sudah mengalami kejang sejak


usia 3 tahun. Namun saat itu kejang pada pasien diawali oleh demam tinggi.
Kejang pada kedua lengan dan tungkai menekuk dan kemudian lurus
(kelojotan), badan melengkung, mata mendelik keatas, lidah tidak tergigit,
tidak mengompol dan tidak keluar busa dari mulut, dengan frekuensi kejang
sebanyak 2 kali dalam sehari dan durasi selama kurang lebih 15 menit.
Kemudian pasien kembali kejang pada usia 12 tahun namun kejang tanpa
didahului demam. Menurut keluarga sifat kejangnya sama seperti pada saat
pasien berusia 3 tahun namun kejang diawali dengan mengecap-ngecapkan
mulut, dengan frekuensi kejang hanya 1 kali dalam sehari dan durasi selama
kurang lebih 15 menit. Setelah itu, pasien menjadi lebih sering kejang
dengan tanpa didahului demam dengan sifat kejang yang sama namun
frekuensi bervariasi dan durasi rata-rata ± 15 menit.

Pasien baru rutin mengkonsumsi obat antikejang sebanyak 2 tablet per hari
sejak 2 tahun terakhir. Selama rutin mengkonsumsi obat antikejang pasien
tidak pernah kejang namun 1 bulan terakhir ini pasien putus obat dengan
alas an sudah tidak ada biaya. Pasien belum pernah mendapatkan
pemeriksaan EEG saat kecil.

2. Langkah kedua: untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan


memperhatikan klasifikasi ILAE.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi, antara lain :
1. Bangkitan parsial/ fokal

23
a. Bangkitan parsial sederana dengan gejala motorik, somato
sensorik, otonom, psikis.
b. Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum
Parsial sederhana yang menjadi umum, parsial kompleks menjadi
umum, parsial sederhana yang menjadi kompleks lalu menjadi
umum.

2. Bangkitan umum
a. Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan
klonik pada mata, dagu dan bibir.
b. Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot.Dapat berulang atau tunggal.
c. Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi.Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas.Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan
pupil dilatasi.
d. Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau
menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
e. Bangkitan klonik

24
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang kelojot.
f. Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat
kemudian diikuti oleh gerakan klonik.

3. Bangkitan tidak terklasifikasi

Berdasarkan anamnesis pasien pada kasus ini dapat ditentukan bahwa


jenis bangkitan yang dialami oleh pasien berupa bangkitan parsial yang
menjadi umum tonik-klonik.

3. Langkah ketiga, menentukan etiologi epilepsi


Menurut ILAE 1989, etiologi epilepsi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Idiopatik : Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi
genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui.
3. Simtomatik : Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi
SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelinan neurodegeneratif.

Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologiepilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :

Kejang fokal Kejang umum

a. Trauma kepala a. Penyakit metabolic


b. Stroke b. Reaksi obat
c. Infeksi c. Idiopatik
d. Malformasi vaskuler d. Faktor genetik

25
e. Tumor (Neoplasma) e. Kejang fotosensitif
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

Epilepsi yang dialami pasien ini termasuk dalam epilepsi simtomatik karena
terdapat Infark cerebri pada kortikal subkortikal temporoparietalis kanan.

Setelah dilakukan anamnesis, penegakan diagnosis epilepsi dilanjutkan


dengan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa
pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologi.

1. Pemeriksaan fisik umum


Pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang,
kelainan pada kulit, kanker dan devisit neurologik fokal atau difus.

2. Pemeriksaan neurologik
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat tergantung dari
interval antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
 Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka
akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda vokal seperti todds
paresis, transient aphasic symptoms, yang tidak jarang jadi petunjuk
lokalisasi.
 Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan berlalu, sasaran
utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
sistem syaraf permanent dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakanial.

Dari hasil pemeriksaan fisik dan neurologis yang dilakukan pada pasien
didapatkan hasil yang menunjukkan adanya tanda-tanda gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi maupun tanda-tanda defisit neurologi berupa

26
kelemahan pada tangan dan kaki bagian kanan serta deviasi lidah kearah
kanan.

Penegakan diagnosis selanjutnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang.


Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila memungkinkan
pemeriksaan ini mencakup :
a. Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan
pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan.
Pemeriksaan EEG akan membantu menunjukan diagnosis dan membantu
menentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan
tertentudapat membantu menentukan prognosis dan menentukan perlu atau
tidaknya pengobatan dengan OAE.
b. Pemeriksaan CT scan dan MRI
Meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesiepileptogenik
diotak.Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologi dapat
terdiagnisi secara non infasif, misalnya nesial temporal sclerosis, glioma,
ganglioma, malformasikavernosus, DNET.Ditemukanya lesi-lesi ini
menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan hematologik mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit,
trombosit, akusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan ini dilakukan ini
dilakukan pada awal pengobatan beberapa bulan kemudian diulang
bila timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun sekali.
2. Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan
pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan ini timbul lagi,
atau bila timbul gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat
lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain.

Hasil pemeriksaan CT- Scan didapatkan infark serebri kortikal subkortikal


temporoparietalis kanan dan hasil pemeriksaan EEG pada pasien

27
menunjukkan gambaran epileptogenik berupa gelombang sharp di lobus
frontal sinistra yang memperkuat diagnosis, bahwa pasien mengalami
bangkitan epilepsi.

B. Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat?


Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini terdiri dari penatalaksanan
umum berupa mengurangi aktivitas yang membuat os lelah, dan memantau
tanda-tanda vital, serta tanda-tanda kejadian kejang dan diberikan terapi
medikamentosa berupa Phenytoin 3 x 1 ampul, Asam folat 1 x 1 tab,
Paracetamol 3 x 500 mg, KSR 2 x 1 tab, Ca glukonas 1 x 1 ampul.

Penatalaksanaan pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian OAE. Prinsip


terapi farmakologi pada pasien epilepsi antara lain :
1. OAE diberikan apabila :
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari
c. Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun
d. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan
e. Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping obat.
2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efeksamping.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

28
TIPE OAE LINI OAE LINI OAE LINI
BANGKITAN PERTAMA KE DUA/ KETIGA/
TAMBAHAN TAMBAHAN

LENA Valproat Etosuksimid Levetiracetam


Lamotrigin Zonisamid
Valproat

MIOKLONIK Valproat Topamax Lamotrtgin


Levetiracetam Klobazam
Zonizamid Klonazepam
Fenobarbital

TONIK KLONIK Karbamazepin Lamotrigin Topamax


Fenitoin Oxcarbazepin Levetiractam
Fenobarbital Zonisamid
Pirimidon

ATONIK Valproat Lamotrigin Felbamat


Topamax
PARSIAL Karbamazepin Valproat Tiagabin
Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
Fenobarbital Zonizamid Felbamat
Oxkarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin Lamotrigin
Topamax
Gabapentin
TIDAK Valproat Topamax
TERKLASIFIKASI Levetiractam
Zonizamid

29
Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain:
1. Secara klinis: bebas bangkitan selama 2 tahun
2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan)
3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan
kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol
bangkitan.

Berdasarkan riwayat pengobatan epilepsi pasien ini didapatkan data bahwa


pasien sudah pernah mengkonsumsi obat anti kejang. Berdasarkan
literatur, terapi lini pertama untuk pasien kejang (epilepsi) tipe bangkitan
parsial, yaitu Karbamazepin, Fenitoin, Fenobarbital, Oxkarbazepin,
Lamotrigin, Topamax Dan Gabapentin (PERDOSSI, 2014). Terapi yang
diberikan kepada sudah diapat dikatakan tepat, di mana pemberian lini
pertama yaitu phenytoin Phenytoin 3 x 1 ampul (150mg/hari), ditambah
dengan asam folat 1x1 tablet, dan tidak langsung diganti dengan lini
kedua sebelum diberikan dosis maksimal. Phenytoin dapat menyebabkan
deprsi sumsum tulang dengan mereduksi kadar asam folat, dan
menyebabkan pasien menderita anemia megaloblastik. Phenytoin
mempunyai efek samping sabagai penghambat enzim pembentukan asam
folat oleh karenanya penggunaan phenytoin jangka panjang akan
menyebabkan defisiensi asam folat yang nantinya akan menyebabkan
anemia megaloblastik. Oleh karena itu, pengunaan phenytoin jangka
panjang perlu diberikan juga asam folat yang nantinya akan menurunkan

30
kadar phenytoin dalam serum. Pemberian obat paracetamol 3 x 500 mg
diindikasikan untuk mengatasi demamnya yang disebabkan karena kejang
itu sendiri dan suspek bronkopneumonia dekstra. Pemberian KSR
diindikasikan untuk mengatasi kekurangan atau penurunan kalium dalam
darah. Sedangkan pemberian Ca glukonas adalah untuk mengatasi kadar
kalsium darah yang rendah.

31
DAFTAR PUSTAKA

Adrian T. 2010. Carbamazepine (Antikonvulsi) Dalam Terapi Epilepsy Sebagai


Penyebab Eritema Multiformis Mayor. [SKRIPSI]. Universitas
Kedokteran Sumatera Utara.

Enjel J. Introduction : What is Epilepsy. Epilepsy a comprehensive textbook 2nd


Ed. Vol one. USA; 2008;1-7.

Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. 2005.An Operational Clinical


Definition of Epilepsy. International League Against Epilepsy (ILAE).

Glauser T, Menachem B, Borgeouis B, et al. 2013.Updated ILAE evidence


review of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as initial
monotherapy for epileptic seizures and syndromes.Epilepsia.
Mar;54(3):551-63.

International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for


Epilepsy (IBE). 2005. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy.
Geneva.

Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. 2014. Pedoman dan tatalaksana


epilepsi.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Price, A. S., Wilson M. L., 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit. Alih Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC. hlm: 292 – 9.

32

Anda mungkin juga menyukai